Anda di halaman 1dari 29

PEMERINTAH KABUPATEN BLITAR

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH “NGUDI WALUYO” WLINGI


Jalan. Dr. Soecipto No. 5 Wlingi Telp. (0342) 691006 Fax. (0342) 691040

PERATURAN
DIREKTUR RSUD “NGUDI WALUYO” WLINGI
NOMOR : /2019

TENTANG

PANDUAN PRAKTEK KLINIK PENYAKIT MATA


RSUD ”NGUDI WALUYO” WLINGI

DIREKTUR RUMAH SAKIT UMUM DAERAH “NGUDI WALUYO” WLINGI

Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas dan keamanan


pelayanan di Poli Penyakit Mata, maka perlu disusun Panduan
Praktek Klinik Penyakit Mata sebagai acuan dalam pelaksanaan
pelayanan bidang Penyakit Mata;
b. bahwa sebagaimana dimaksud pada huruf a perlu ditetapkan
Peraturan Direktur RSUD ”Ngudi Waluyo” Wlingi tentang
Panduan Praktek Klinik Penyakit Mata di RSUD “Ngudi
Waluyo” Wlingi;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;


2. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit;
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah
Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir
dengan Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah;
4. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 129/Menkes/SK/II/2008
tentang Standart Pelayanan Minimal Rumah Sakit;
5. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1438/Menkes/PER/2010 Tentang Standar Pelayanan
Kedokteran;
6. Keputusan Bupati Blitar Nomor 188/255/409.012/KPTS/2008
tentang Penetapan RSUD ”Ngudi Waluyo” Wlingi Kabupaten
Blitar sebagai Badan Layanan Umum Daerah;

MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KESATU : Dengan Peraturan Direktur Rumah Sakit Umum Daerah “Ngudi
Waluyo” Wlingi ditetapkan Panduan Praktek Klinik Penyakit
Mata di RSUD “Ngudi Waluyo” Wlingi, sebagaimana tercantum
dalam Lampiran Peraturan ini.

KEDUA Panduan sebagaimana dimaksud Diktum KESATU sebagai


acuan dalam penatalaksanaan pelayanan di bidang Penyakit
Mata.

KETIGA : Akan dilakukan pembetulan sebagaimana mestinya apabila


terdapat kekeliruan dalam penetapan peraturan ini.

KEEMPAT : Peraturan Direktur ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : WLINGI
pada tanggal : 05 Juli 2019

DIREKTUR
RSUD “NGUDI WALUYO” WLINGI

dr. ENDAH WORO UTAMI, MMRS


Pembina Tingkat I
NIP. 19720202 200212 2 004

SALINAN Peraturan ini disampaikan kepada Yth.:


Sdr.1.Wadir/ Kabid/ Kabag/ Kasubbid/ Kasubbag./ Ka.Instalasi/ Ka. Ru./Ketua Komite;
2. Dokter / Dokter Gigi / Dokter Spesialis yang bersangkutan.
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
RSU AN-NISAA’ BLITAR JAWA TIMUR
2018 – 2021

ABLASI RETINA (ICD 10: H33.1)

1. Pengertian Lepasnya retina sensoris dari epitel pigmen.


(Definisi)
2. Anamnesis 1. Gejala dini :
a. floters
b. fotopsia
2. Gangguan lapang pandangan
3. Melihat seperti tirai
4. Visus menurun tanpa disertai rasa sakit.
3. Pemeriksaan Fisik 1. Visus menurun.
2. Gangguan lapang pandangan
3. Fundus okuli tampak retina yang terlepas berwarna pucat
dengan pembuluh darah retina yang berkelok-kelok disertai /
tanpa adanya robekan retina.
4. Kriteria Diagnosis Anamnesa dan pemeriksaan fisik.

5. Diagnosis Kerja Ablasi Retina (ICD 10: H33.1)


6. Diagnosis 1. Retinoskisis senil. (ICD 10: H33.1)
Banding 2. Separasi koroid. (ICD 10: H31.4)
3. Tumor koroid (melanoma maligna).
(ICD 10: D31.3 )

7. Pemeriksaan 1. Oftalmoskop indirek binokular.


Penunjang 2. Lensa kontak Goldmann-3-miror dengan biomikroskop.
3. Lensa hruby dengan biomikroskop.
8. Terapi 1. Penderita tirah baring sempurna.
2. Mata yang sakit ditutup dengan bebat mata.
3. Pada penderita dengan ablasi retina non regmatogen, jika
penyakit primernya sudah diobati tetapi masih terdapat ablasi
retina, dapat dilakukan operasi cerclage.
4. Pada ablasi retina regmatogen:
a. Fotokoaggulasi retina.
b. Plombage lokal : dengan silicone sponge.
c. Membuat radang steril pada koroid dan epitel pigmen.
d. Operasi cerclage.
9. Edukasi Berobat teratur
10. Prognosis Penanganan dini prognosis baik
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis dr. Henny Budhi Prajitno, Sp.M
14. Indikator Medis 1. Visus membaik.
2. Tidak didapatkan ablasi retina.
15. Kepustakaan 1. Hollowich F : Ophthalmology a short Texbook, 1985, pp. 225
– 229.
2. Hilton G.F, Mc Lean E.B, Norton E.W : Retinal Detachment a
Manual prepared for the Use of graduate in Medicine, 4th ed,
American Academy of Ophthalmology, San Francisco, 1981,
pp. 42 – 46, 58, 77-91.
3. Vaughan D, Asbury T : General Ophthalmology, 12th ed,
Lange Medical Publication, Maruzen asia, 1989, pp 156-158.
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
RSU AN-NISAA’ BLITAR JAWA TIMUR
2018 – 2021

GLAUKOMA SUDUT TERBUKA PRIMER (ICD 10: H40.1)

1. Pengertian Merupakan penyakit mata dengan gangguan integritas struktur


(Definisi) dan fungsi berupa penggaungan papil saraf optik dan gangguan
lapang pandang sebagai akibat dari peningkatan TIO karena
hambatan pembuangan akuos pada saluran-saluran pembuangan.
2. Anamnesis Riwayat adanya bayangan gelap pada lapang pandang atau
keaktifan sehari-hari mulai terganggu, sering tersenggol sehingga
harus berjalan dengan perlahan-lahan.
3. Pemeriksaan 1. Visus sentral baik ( kecuali stadium lanjut)
Fisik 2. Tidak ada hiperemia konjungtiva dan siliar.
3. Kornea jernih, bilik mata depan dalam, pupil normal.
4. fundoskopi : gaung pupil ( + )  dinyatakan dalam
perbandingan antara diameter gaung (cupping) dan diameter
papil (disc)  C/D ratio.
5. tonometri : TIO 21 mmHg.
6. lapang pandang :
 dini : scotoma daerah superior
 lanjut : scotoma luas, lapang pandang sempit.
7. gonioskopi : sudut bilik mata depan terbuka.
4. Kriteria TIO sudut BMD terbuka, C/D > 0.3
Diagnosis
5. Diagnosis Glaukoma Sudut Terbuka Primer (ICD 10: H40.1)
Kerja
6. Diagnosis -
Banding
7. Pemeriksaan -
Penunjang
8. Terapi 1. Pilokarpin 1 – 2 % 4X / hari
2. Timolol Maleate 0.24 – 0.5 % 2X /hari.
3. Acetazolamide 3X 250mg
9. Edukasi Berobat secara teratur
10. Prognosis Baik
11. Tingkat IV
Evidens
12. Tingkat C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis dr. Henny Budhi Prajitno, Sp.M
14. Indikator 1. TIO menurun
Medis 2. C/D ratio tidak bertambah

15. Kepustakaan 1. Hoskins Jr DH, Kass MA : Beker-Shaeffer”s Diagnosis


and Therapy of Glaucomas; The C.V Mosby Co, 6th ed, St,
Louis, Toronto, Baltimore, 1989,pp. 277-291, 406-416.
2. Krupin T : Manual ogf Glaucoma Diagnosis and
Management, Churchill Livingstone, New York, Edinburgh,
London, Melbourne, 1988,pp. 149-153
3. Van Buskirk EM : Clinical Atlas of Glaucoma, WB
Saunders Co, Philadelphia, London, Toronto, Mexico City,
Rio de Janeiro, Sydney, Tokyo, Hogkong, 1986, p. 46.
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
RAU AN-NISAA’ BLITAR JAWA TIMUR
2018 – 2021

HORDEOLUM (ICD 10: H00.0)

1. Pengertian Hordeolum adalah suatu peradangan supuratif kelenjar Zeis,


(Definisi) kelenjar Moll (hordeolum eksterternum) atau kelenjar Meibom
(hordeolum internum).
2. Anamnesis Dirasakan mengganjal pada kelopak mata, rasa sakit yang
bertambah kalau menunduk, dan nyeri bila ditekan.
3. Pemeriksaan Fisik Benjolan pada kelopak mata atas/bawah yang berwarna merah
dan sakit bila ditekan didekat pangkal bulu mata.
4. Kriteria Diagnosis Gejala klinis.
5. Diagnosis Kerja Hordeolum (ICD 10: H00.0)
6. Diagnosis Hiperemi pulpa (ICD 10: K02.1)
Banding
7. Pemeriksaan -
Penunjang
8. Terapi 1. Kompres hangat
2. Antibiotika topikal (neomycin, polimyxin B, gentamycin)
selama 7-10 hari, bila dipandang perlu dapat ditambahkan
antibiotika sistemik, misal Ampisillin 4 X 250mg
per-oral/hari.
3. Bila tidak terjadi resorbsi dengan pengobatan konservatif,
dianjurkan insisi.
9. Edukasi Jaga kebersihan mata.
10. Prognosis Baik
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis dr. Henny Budhi Prajitno, Sp.M
14. Indikator Medis 1. Keluhan berkurang
2. Benjolan mengecil.
15. Kepustakaan 1. Miller J.H : Parson’s disease of the eye, 18th ed, Churchill
Livingstone, 1990, pp. 353-357.
2. Vaughan D, Asbury T, Tabbara KF : General Ophthalmology,
12th ed, Lange Medical Publication, Maruzen Asia, 1989, pp.
55-56.
3. Wright P : Clinical Ophthalmology, wright, IOP Publishing
Limited, Bristol BSI6NX, 1987, pp.107 – 129.
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
RSU AN- NISAA’ BLITAR JAWA TIMUR
2018 – 2021

KERATITIS NUMULARIS (ICD 10: H16.1)

1. Pengertian Keradangan kornea dengan gambaran infiltrat sub epitel


(Definisi) berbentuk bulatan seperti mata uang (coin lesion).
2. Anamnesis 1. Keluhan adanya benda asing, fotobi, kadang-kadang
diserta penglihatan kabur.
2. Visus umumya baik dan menurun bila infiltarat berada
ditengah aksis visual.
3. Pemeriksaan Fisik Retroiluminasi :
1. Tampak bercak putih bulat dibawah epitel kornea baik di
daerah sentral atau perifer. Umur bulatan infiltrat tidaki selalu
sama dan terdapat kecenderungan bergabung menjadi satu.
2. Besar infiltrat bervariasi ± 0,5 – 1,5 mm.
4. Kriteria Diagnosis 1. Bercak putih bulat di kornea.
2. Multiple, umur bulatan tidak selalu sama.
5. Diagnosis Kerja Keratitis Numularis (ICD 10: H16.1)
6. Diagnosis 1. E.K.C. (Epidemic Kerato Conjungtiva). (KODE ICD 10:
Banding B30.0†H19.2*)
2. Varicella Keratitis. (KODE ICD 10: B01.8)
7. Pemeriksaan -
Penunjang
8. Terapi a. Keratitis numuralis dapat sembuh sendiri.
b. Kortikosteroid topikal (misal : dexamethasone) diberikan 3 –
4kali sehari akan mengurangi keluhan penderita, diberikan
sampai 5 – 7 hari dan pemberian dapat diulang sampai 4 – 6
minggu untuk mencegah timbulnya keluhan berulang.
9. Edukasi a. Jaga kebersihan mata
b. Berobat teratur.
10. Prognosis Baik
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis dr. Henny Budhi Prajitno, Sp.M.
14. Indikator Medis 1. Dapat sembuh sendiri
2. Lesi di kornea akan menghilang sampai 6 tahun.
15. Kepustakaan 1. Grayson Merill : Disease of the cornea, 2nd ed, CV Mosby
Co, St Louis, 1983, pp. 97-100.
2. Smolin Gilbert, Thoft Ricard A : The Cornea – Scintific
foundation and Clinical practice, 1st ed, edited by Gilbert
Smolin, 1983, pp.226-229.
3. Vaughan D, Asbury T : General Ophthalmology, Lange
Medical Publication, 11th ed, 1986, p.107.
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
RSU AN-NISAA’ BLITAR JAWA TIMUR
2018 – 2021

KONJUNGTIVITIS VERNAL (ICD 10: H10.4)

1. Pengertian Keradangan bilateral konjungtiva yang berulang menurut musim


(Definisi) dengan gambaran spesifik hipertropi papiler didaerah tarsus dan
limbus.
2. Anamnesis Keluhan utama gatal.
3. Pemeriksaan Fisik a. Ptosis
b. Getah mata.
c. Horner trantas dots.
d. Kelainan di kornea.
Dapat berupa pungtat epitelial keratopati.
4. Kriteria Diagnosis Berdasarkan atas pemeriksaan klinik dan laboratorium.
5. Diagnosis Kerja Kunjungtivitis Vernal (ICD 10: H10.4)
6. Diagnosis 1. Trakoma (KODE ICD 10: A71.9)
Banding 2. Hay fever konjungtivitis (KODE ICD 10: H10.1)
7. Pemeriksaan 1. Vitalitester
Penunjang
8. Terapi 1. Kortikusteroid lokal diberikan setiap 2 jam selama 4 hari,
untuk selanjutnya digantikan dengan obat-obatan yang lain.
2. Kompres dingin.
3. Kortikusteroid dan antihistamin per-oral dapat dianjurkan pada
kasus-kasus berat
9. Edukasi Hindari panas atau sinar matahari
10. Prognosis Konjungtivitis vernal diderita sekitar 4-10 tahun, dengan remisi
dan eksaserbasi.
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis dr. Henny Budhi Prajitno, SpM
14. Indikator Medis Gatal berkurang
15. Kepustakaan 1. Miller J,H : Parson’s disease of the eye, 18th ed, Churchill
Livingstone, 1990, pp 140-141.
2. Vaughan D, Asbury T : General Opthalmology, Lange Medical
Publication, 12th ed, 1989, pp. 91-93, 320-322.
3. Wright P : Clinical Opththalmology, Wright IOP Publishing
Limited, Bristol BSI6NX, 1987,pp.120-122.
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
RSU AN-NISAA’ BLITAR JAWA TIMUR
2018 – 2021

KONJUNGTIVITIS (ICD 10: H10.9)

1. Pengertian Suatu keradangan konjungtiva yang disebabkan bakteria, virus,


(Definisi) jamur, chlamidia, alergi atau iritasi dengan bahan-bahan kimia.
2. Anamnesis Keluhan utama berupa rasa neres, seperti ada pasir di dalam mata.
Gatal, panas, kemeng sekitar mata, epifora, dan mata merah.
3. Pemeriksaan Fisik a. Hiperemia kunjungtiva.
b. Epifora.
c. Pseudoptosis.
d. Hipertrofi papiler.
e. Folikel.
f. Khemosis.
g. Membran atau pseudomembran.
h. Preaurikular adenopati.
4. Kriteria Diagnosis Diagnosis konjungtivitis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan
klinik dan pemeriksaan laboratorium.
5. Diagnosis Kerja Konjungtivitis (ICD 10: H10.9)
6. Diagnosis
Banding
7. Pemeriksaan Pemeriksaan secara langsung dari kerokan atau getah mata dicat
Penunjang dengan pengecatan Gram atau Giemsa.
8. Terapi a. Pada umumnya konjungtivitis karena bakteri dapat diobati
dengan sulfonamide (Sulfacetamide 15%) atau antibiotika
(Gentamycin 0,3%, Chloramphenicol 0,5%).
b. Konjungtivitis karena jamur sangat jarang,sedangkan
konjungtivitis karena virus, pengobatan terutama ditujukan
untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder (antibiotika).
c. Konjungtivitis karena alergi diobati dengan antihistamin
(Antazoline 0,5%, Naphazoline 0,05%) atau kortikosteroid
(misal: Dexametazone 0,1%).
9. Edukasi a. Jaga kebersihan mata.
b. Hindari penularan.
10. Prognosis a. Konjungtivitis pada umumnya self limited disease
b. Tanpa pengobatan biasanya sembuh dalam 10-14 hari
c. Bila diobati akan sembuh dalam waktu 1-3 hari.
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis dr. Henny Budhi Prajitno, Sp.M
14. Indikator Medis a. Keluhan berkurang.
b. Mata tidak merah.
15. Kepustakaan a. Miller J.H: Parson’s disease of the eye, 18th ed, Churchill
Livingstone, 1990, pp.127-134.
b. Vaughan D, Asbury T : General Ophthalmology, Lange
Medical Publication, 12th ed, 1989, pp. 78-83.
c. Wright, P: Clinical Ophthalmology, Wright IOP Publishing
Limited, Bristol BSI6NX, 1987, pp. 107-129.
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
RSU AN-NISAA’ BLITAR JAWA TIMUR
2018– 2021

NEURITIS OPTIK (ICD 10: H46)

1. Pengertian Neuritis Optik adalah peradangan saraf optik, biasanya mengenai


(Definisi) satu mata, ditandai dengan papil batas kabur dan warna lebih
merah, tajam penglihatan mendadak menurun.
2. Anamnesis Tajam penglihatan menurun secara mendadak.
3. Pemeriksaan Fisik a. Tajam penglihatan :
menurun
b. Lapang pandangan sentral :
skotoma sentral, sekosentral atau parasentral.
c. Lapang pandangan perifer :
penyempitan konsentris
d. Pergerakan bola mata :
rasa nyeri apabila bola mata digerakan atau ditekan.
e. Pupil “Marcus Gunn”
f. Fundus :
1. papil saraf optik batas kabur
2. warna hiperemi.
4. Kriteria Diagnosis a. Visus.
b. Lapang pandangan.
c. Funduscopy.
5. Diagnosis Kerja Neuritis Optik (ICD 10: H46)
6. Diagnosis Edema papil. (ICD 10 : I47.1)
Banding Anterior Iskhemik Optik Neuropati (ICD 10 : H47.0)
7. Pemeriksaan Radiografik
Penunjang
8. Terapi Kortikusteroid parenteral atau retrobulber dianjurkan.
9. Edukasi Berobat teratur
10. Prognosis 75% kasus prognosis baik
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis dr. Henny Budhi Prajitno, Sp.M
14. Indikator Medis Visus membaik.
15. Kepustakaan 1. Miller Stephen J.H : Parson”s Disease of the Eye, 7th ed,
Longman Group Ltd, New York, 1984, pp. 225 – 226, 349.

2. Pavan Langston D: Manual of Diagnosis and Therapy, Little


Brown & Co, Boston, 1980, pp. 318 – 330.
3. Philips CI : Basic Clinical Ophthalmology, 1st ed, Churchill
Livingstone, Medical Division of Longman Group UK, ELBS
ed, 1986, p. 141.
4. Vaughan D: General Ophthalmology, 11th ed, Lange Medical
publication, California, pp. 231 – 242.
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
RSU AN-NISAA’ BLITAR JAWA TIMUR
2018 – 2021

GLAUKOMA SUDUT TERTUTUP PRIMER AKUT (ICD 10: H40.2)

1. Pengertian Kelainan mata yang terjadi karena Tekanan Intra Okuler (TIO)
(Definisi) meningkat dengan cepat akibat tertutupnya sudut bilik mata depan
(BMD) secara total dan mendadak karena kondisi primer bola mata
dengan segmen anterior yang kecil.
2. Anamnesis Keluhan: nyeri periokuler hebat, mual muntah, penglihatan
menurun mendadak, melihat warna pelangi di sekitar sumber
cahaya (lampu).
3. Pemeriksaan Berdasarkan gambaran klinis hiperemi konjungtiva dan limbal,
Fisik edema kornea, iris bombans, BMD dangkal dan terdapat flare dan
cell, pupil midriasis, TIO sangat tinggi, sudut BMD tertutup pada
pemeriksaan gonioskopi.
4. Kriteria 1. Anamnesis mata erah, silau, nyeri, berair.
Diagnosis 2. Penurunan visus
3. Hiperemi silier, edema kornea, bmd dangkal, iris bombans.
4. Peningkatan TIO akut > 21 mmHg
5. Sudut tertutup pada gonioskopi
5. Diagnosis Glaukoma Sudut Tertutup Primer Akut
6. Diagnosis 1. Glaukoma sudut tertutup sekunder karena faktor lensa.
Banding 2. Glaukoma sudut tertutup sekunder karena inflamasi intra
okuler
3. Glaukoma neovaskuler
4. Glaukoma maligna
7. Pemeriksaan 1. Gonioskopi kedua mata
Penunjang 2. Lab: BSN/2jam pp
3. Pemeriksaan Cardiologi pre operatif
8. Terapi 1. Turunkan TIO dengan larutan hiperosmotik Glycerine
1.5g/kgBB bentuk 50% larutan per oral, atau Manitol 1-
1.5g/kgBB bentuk 20%larutan intravena (dalam infus 3-
5cc/menit = 60-100 tetes/menit).
2. Acetazolamide 500 mg intravena atau 500mg oral
dilanjutkan 4x250mg.
3. Tmolol 0.5% tetes mata, 2x sehari
4. Steroid tetes mata: Prednisolon 1% atau Dexamethasone
0.1% 4x sehari.
5. Bila kondisi mata sudah mulai tenang dan kornea lebih
jernih, dilakukan Bedah Iridektomi Perifer (Bedah IP) atau
Laser Peripheral Iridectomy (laser PI).
9. Edukasi Bila dari pemeriksaan gonioskopi mata jiran didapatkan keadaan
sudut yang tertutup, edukasi pasien untuk dilakukan iridektomi
preventif pada mata jiran.
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumgsionam : dubia ad malam
11. Tingkat IV
Evidens
12. Tingkat C
Rekomendasi
13. Penelaah dr. Henny Budhi Prajitno, Sp.M.
Kritis
14. Indikator 1. TIO menurun.
Medis 2. Visus membaik.
15. Kepustakaan 1. Pedoman Diagnosis dan Terapi SMF Ilmu Penyakit Mata
Edisi III RSU dr.Soetomo Surabaya 2006.
2. Pedoman Standar Pelayanan Diagnostik dan Tindakan
Medis RS Mata Cicendo Bandung 2010.
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
RSU AN-NISAA’ BLITAR JAWA TIMUR
2018 – 2021

KATARAK SENIL (ICD 10: H25.9)

1. Pengertian Kekeruhan lensa yang terjadi pada usia lanjut


(Definisi)
2. Anamnesis Penurunan penglihatan seperti melihat kabut, mata terasa silau
3. Pemeriksaan Penurunan tajam penglihatan, kekeruhan lensa, fundus refleks
Fisik negatif pada katarak matur
4. Kriteria 1. Penurunan tajam penglihatan
Diagnosis 2. Kekeruhan lensa mata
3. Fundus refleks negatif pada katarak matur
5. Diagnosis Katarak Senilis
6. Diagnosis 1. Katarak komplikata
Banding 2. Katarak traumatika
3. Kekeruhan vitreus
7. Pemeriksaan 1. ARK dan Biometri
Penunjang 2. Lab: BSN/2jam pp
3. Pemeriksaan cardiologi pre operatif
8. Terapi 1. Operatif: Ekstraksi Katarak + Implantasi Lensa
Intra Okuler dengan lokal anestesi

ECCE
a. Rawat Inap, bila incisi corneosclera 9 mm atau lebih,
karena untuk menghindari komplikasi durante operasi
seperti ruptur capsul posterior, prolaps corpus vitreous,
IOL yang tidak bisa dipasang dan untuk menghindari
resiko infeksi, prolaps iris, corpus vitreous pasca operasi.
b. Rawat jalan, bila incisi corneosclera kurang dari 9 mm.

SICS
a. Rawat jalan
b. Rawat inap, bila ada komplikasi durante operasi.

Pemilihan tehnik ECCE atau SICS diserahkan kepada operator.


2. Post operatif:
a. Thiamfenicol 3x500mg
b. Asam mefenamat 3x500mg
c. Antibiotik dan steroid topikal: Xitrol tetes mata 6x
sehari 1 tetes
d. Dexamethason 3x0.5mg
9. Edukasi 1. Mata tidak boleh diucek, tidak boleh terkena air
2. Tidur tidak boleh miring ke arah mata yang dioperasi
3. Tidak boleh menunduk atau sujud untuk sementara waktu
4. Tidak boleh mengangkat berat untuk sementara waktu
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam
11. Tingkat IV
Evidens
12. Tingkat C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis dr. Henny Budhi Prajitno, Sp.M
14. Indikator Visus pasca operasi membaik.
Medis
15. Kepustakaan 1. Pedoman Diagnosis dan Terapi SMF Ilmu Penyakit Mata
Edisi III RSU dr.Soetomo Surabaya 2006.
2. Pedoman Standar Pelayanan Diagnostik dan Tindakan
Medis RS Mata Cicendo Bandung 2010.
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
RSU AN-NISAA’ BLITAR JAWA TIMUR
2018 – 2021

ULKUS KORNEA KARENA BAKTERI (ICD 10: H16.0)

1. Pengertian Ulkus kornea yang timbul karena infeksi kuman / bakteri.


(Definisi)
2. Anamnesis Mata merah, nyeri, kabur, silau (fotofobi), berair (epifora).
3. Pemeriksaan Hiperemi konjungtiva dan perikornea, infiltrat kornea berupa
Fisik bercak putih pada epitel sampai stroma, penggaungan pada lesi
kornea ditandai dengan adanya tes fluoresin positif di tepi lesi,
dapat disertai dengan hipopion.
4. Kriteria a. Anamnesis mata merah, nyeri, kabur, silau, berair
Diagnosis b. Penurunan visus, hiperemi konjungtiva dan perikornea, infiltrat
kornea berupa bercak putih pada epitel sampai stroma,
penggaungan pada lesi kornea.
c. Sekret mukopurulen.
d. Tes fluoresin positif di tepi lesi
5. Diagnosis Ulkus kornea bakterial
6. Diagnosis a. Ulkus steril
Banding b. Ulkus kornea karena jamur
c. Benda asing pada kornea
7. Pemeriksaan a. Pemeriksaan kerokan kornea (scrapping) dengan hapusan
Penunjang langsung maupun biakan kuman
b. Darah Lengkap, BSN/2jam pp
8. Terapi a. Atropin 1% tetes mata, 3x sehari 1 tetes
b. Antibiotik sistemik, golongan Cefalosporin, seperti Cefotaxime
2x1g intravena
c. Antibiotik tetes gram positif: Levofloxacin tetes mata tiap jam
1 tetes
d. Antibiotik tetes gram negatif: Tobramycin tetes mata tiap jam
1 tetes
e. Injeksi subkonjungtiva Gentamycin 20mg selama 3 hari,
f. Analgesik, asam mefenamat 3x500mg prn
g. Bebat mata
9. Edukasi a. Mata tidak boleh diucek
b. Mata tdak boleh terkena air
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad fungsionam : dubia ad malam
11. Tingkat IV
Evidens
12. Tingkat C
Rekomendasi
13. Penelaah dr. Henny Budhi Prajitno, Sp.M
Kritis
14. Indikator 1. Ulkus kornea mengecil /hilang
Medis 2. Visus membaik
15. Kepustakaan 1. Pedoman Diagnosis dan Terapi SMF Ilmu Penyakit Mata
Edisi III RSU dr.Soetomo Surabaya 2006.
2. Pedoman Standar Pelayanan Diagnostik dan Tindakan
Medis RS Mata Cicendo Bandung 2010.
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
RSU AN-NISAA’ BLITAR JAWA TIMUR
2018 – 2021

PTERIGIUM (ICD 10: H11.0)

1. Pengertian Penebalan konjungtiva bulbi yang berbentuk segitiga, mirip daging


(Definisi) yang menjalar ke kornea.
2. Anamnesis 1. Mata merah.
2. Timbulnya bentukan seperti daging yang menjalar ke
kornea.
3. Pemeriksaan Fisik 1. Yang tebal dan mengandung banyak pembuluh
darah.
2. Yang tipis dan tidak mengandung pembuluh darah.
4. Kriteria Diagnosis Anamnesa dan gejala klinis
5. Diagnosis Kerja Pterigium (ICD 10: H11.0)
6. Diagnosis 1. Pinguekulum. (KODE ICD 10: H11.1)
Banding 2. Pseudopterigium. (KODE ICD 10: H11.8)
7. Pemeriksaan -
Penunjang
8. Terapi 1. Ringan tidak perlu diobati.
2. Yang mengalami iritasi.
3. Diberikan anti inflamasi tetes mat dan vasokonstriktor tetes
mata.
4. Yang menjalar ke kornea sampai lebih 3mm, dari limbus
sebaiknya dioperasi.
9. Edukasi 1. Mengurangi kontak dengan debu, sinar ultraviolet.
2. Pakai kacamata pelindung.
10. Prognosis Baik
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis dr. Henny Budhi Prajitno, Sp.M
14. Indikator Medis Selaput di kornea hilang.
15. Kepustakaan 1. Bankes JLK : Clinical Ophthalmology A Text Colour and Atlas
ELBS / Churchill Livingstone Reprint ed. 1986, pp. 42-43.
2. Miller J.H : Parson’s disease of the eye, 18th ed, Churchill
Livingstone, 1990,p. 142.
3. Vaughan D, Asbury T : General Ophthalmology, Lange Medical
Publication, ed 12th, 1989,p.98.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)


RSU AN-NISAA’ BLITAR JAWA TIMUR
2018– 2021

SENTRAL SERUS KORIO RETINOPATI (ICD 10: H35.7)

1. Pengertian Kelainan makula retina dimana ada pengumpulan cairan dibawah


(Definisi) retina akibat adanya lubang kobocoran dari lapisan epitel pigmen.
2. Anamnesis 1. Mata kabur untuk membaca dan melihat jauh.
2. Jika melihat benda tampak kecil atau lebih besar
dari mata yang sehat.
3. Melihat suatu bayangan gelap berbentuk bulat
atau lonjong ditengah lapang pandangan.
3. Pemeriksaan Fisik 1. Visus : kabur, koreksi lensa positif akan lebih terang atau
mendekati normal (hipermetrop).
2. Penglihatan warna : melemah terhadap semua warna.
3. Amsler grid : terdapat kelainan.
4. Oftalmoskop tampak ada penonjolan retina didaerah makula
retina yang berbentuk bulat lonjong dengan batas yang jelas.
4. Kriteria Diagnosis 1. Visus menunjukkan adanya hipermetrop.
2. Melemahnya daya membedakan warna dan
kelainan Amsler grid.
3. Oftalmoskop tampak suatu peninjolan retina
didaerah makula yang terbatas jelas dan fovea refleks
menghilang.
4. FFA menunjukkan adanya kebocoran dilapisan
epitel pigmen.
5. Diagnosis Kerja Sentral Serus Korio Retinopati
(ICD 10: H35.7)
6. Diagnosis 1. Cystoid Macular Edema. (ICD 10: H35.8)
Banding 2. Neovaskularisasi koroidal. (ICD 10: H21.1)
3. Kelainan kongenital cawan papil saraf optik. (ICD 10: Q14.2)
7. Pemeriksaan Pemeriksaan Fundal Fluorescein Angiography (FFA) tampak
Penunjang adanya kebocoran (leakage) dan penumpukan cairan dibawah
retina disekitarnya.
8. Terapi 1. Sebagian besar (70%) akan sembuh sendiri.
2. Jika penderita belum sembuh, maka dilakukan pengobatan
dengan sinar LASER bertujuan menutup lubang kebocoran
dilapisan epitel pigmen.
9. Edukasi Berobat teratur.
10. Prognosis Baik.
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis dr. Henny Budhi Prajitno, Sp.M
14. Indikator Medis Visus membaik
15. Kepustakaan 1. L’esperance FA. Ophthalmic Lasers, CV Mosby CO, St.
Louis, 1983, pp. 357-376.
2. Pavan, Langston F : Manual of Ocular Diagnosis and Therapy,
second ed., Little, Brown and Company, Boston, 1985, pp.
149-150.
3. Robetson D.M and Illstrup D : Am. J. Ophthal, 1983, 95:457-
466.
4. Spencer W.H : Ophthalmic Pathology, Vol. 2, WB Saunders
Co, Philadelphia, 1985, pp. 1017-1018.
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
RSU AN-NISAA’ BLITAR JAWA TIMUR
2018– 2021

UVEITIS ANTERIOR AKUT (ICD 10: H20.0)

1. Pengertian Radang akut pada jaringan iris, badan siliar atau keduanya.
(Definisi)
2. Anamnesis 1. Mata terasa ngeres.
2. Mata merah.
3. Nyeri, baik ditekan maupun digerakkan.
4. Fotofobia.
5. Blefarospasme.
6. Penglihatan kabur.
3. Pemeriksaan Fisik 1. Kelopak mata edema disertai ptosis ringan.
2. Konjungtiva merah, kadang-kadang disertai kemosis.
3. Hiperemi perikorneal.
4. Bilik mata depan keruh, disertai adanya hipopion atau
keratik presipitat.
5. Iris edema dan warna menjadi pucat.
6. Sinekia posterior.
7. Pupil menyempit, bentuk tidak teratur, reflek lambat
sampai negatif.
4. Kriteria Diagnosis Berdasarkan pemeriksaan klinik.
5. Diagnosis Kerja Uveitis Anterior Akut (ICD 10: H20.0)
6. Diagnosis Banding 1. Konjungtivitis akut. (ICD 10: H10.3)
2. Glaukoma akut. (ICD 10: H40.2)
7. Pemeriksaan 1. Skin Test untuk pemeriksaan tuberkulosis dan histoplasmosis.
Penunjang 2. tes fiksasi komplemen untuk pemeriksaan toxoplasmosis.
8. Terapi Obat yang diberikan :
1. Medriatika :
a. Sulfas atropin 1% 3X 1 tetes/hari.
b. Homatropin 2% 3X1 tetes/hari.
c. scopolamin 0,2% 3X 1 tetes/hari. (terutama untuk
penderita anak)
2. Anti inflantasi :
Dewasa :
a. Preparat kortikosteroid :
(1) Oral : Prednison 3 X 2 tablet/hari.
(2) Subkonjungtiva : hidrokortison 0,3 cc.
b. Preparat non kortikosteroid.
Anak :
c. Klorampenikol 25 mg/kg BB, 3-4 X/hari.
3. Antibiotika :
4. Anak :
9. Edukasi Berobat secara teratur
10. Prognosis Baik.
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis dr. Henny Budhi Prajitno, Sp.M
14. Indikator Medis Visus membaik.
15. Kepustakaan 1. Kansky J. Jack : Uveitis, Butterworth & Co, 1987.
2. Spenser W.H : Uveal tract, Op.
3. Hilton G.F, Mc Lean E.B, Norton E.W : Retinal Detachment a
Manual prepared for the Use of graduate in Medicine, 4th ed,
American Academy of Ophthalmology, San Francisco, 1981,
pp. 42 – 46, 58, 77-91.
4. Vaughan D, Asbury T : General Ophthalmology, 12th ed,
Lange Medical Publication, Maruzen asia, 1989, pp 156-158.
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
RSU AN-NISAA’ BLITAR JAWA TIMUR
2018 – 2021

EKTRAKSI KATARAK EKSTRA KAPSULER/ ECCE (ICD 9CM: 13.59)


IMPLANTASI LENSA INTRAOKULER/ IOL (ICD 9CM: 13.19)

1. Pengertian Tindakan operasi dengan mengeluarkan katarak dan menggantinya


(Definisi) dengan menanam lensa intraokuler.
2. Indikasi Katarak dengan penurunan visus yang mudah mengganggu pekerjaan
sehari-hari.
3. Kontra Indikasi 3. Infeksi / radang mata (konjungtivitis, uveitis,
keratitis)
4. Glaukoma
16. Persiapan 1. Informed consent
2. Cukur bulu mata
3. Tetes mata midriatyl.
17. Prosedur 1. Lokal anestesi (pantocain, lidocain).
Tindakan 2. Insisi korneo sklera.
3. Keluarkan inti lensa katarak.
4. Irigasi aspirasi masa lensa.
5. Implantasi iol.
18. Pasca Prosedur 1. Evaluasi visus.
Tindakan 2. Tanda – tanda infeksi, radang.
3. Posisi iol.
4. Prolaps iris.
5. Jahitan korneo sklera.
19. Tingkat IV
Evidens
20. Tingkat C
Rekomendasi
21. Penelaah Kritis dr. Henny Budhi Prajitno, Sp.M
22. Indikator 1. Visus membaik
Prosedur 2. Tidak ada infeksi, Radang.
Tindakan
23. Kepustakaan 1. Pavan Langston D : Manual of Ocular Diagnosis and
Therapy, Little Brown & Co, Boston, 1980, p. 119 – 133.
2. Vaughan D, Asbury T : General Ophthalmology, 11
th ed, Lange Medical Publication, California, 1992, pp.170 -177.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)


RSU AN-NISAA’ BLITAR JAWA TIMUR
2018– 2021

INSISI CHALAZION (Kode ICD 9CM: 08.09)

1. Pengertian Tindakan operasi dengan melakukan insisi dan kuretase untuk


(Definisi) mengeluarkan isi kelenjar meibom.
2. Indikasi Kalazion yang tidak sembuh dengan pengobatan konservatif.
3. Kontra Infeksi
Indikasi
4. Persiapan Informed consent
5. Prosedur 1. Lokal anestesi (pantocain, lidocain)
Tindakan 2. Insisi.
3. Kuretase kalazion
6. Pasca 1. Evaluasi benjolan kalazion.
Prosedur 2. Tanda – tanda infeksi.
Tindakan
7. Tingkat IV
Evidens
8. Tingkat C
Rekomendasi
9. Penelaah dr. Henny Budhi Prajitno, Sp.M
Kritis
10. Indikator 1. Benjolan kalazion hilang.
Prosedur 2. Tidak ada infeksi
Tindakan
11. Kepustakaan 1. Miller J.H : Parson’s disease of the eye, 18th ed, Churchill
Livingstone, 1990, pp. 353 – 357.
2. Vaughan D, Asbury T, Tabbara KF : General Ophthalmology,
12th ed, Lange Medical Publication, Maruzen Asia, 1989, pp. 55 –
56.
3. Wright P: Clinical Ophthalmology, Wright, IOP Publishing
Limited, Bristol BSI6NX, 1987, pp. 107 – 129.

Anda mungkin juga menyukai