Anda di halaman 1dari 26

Paper

EPISIOTOMI
Paper ini di buat untuk melengkapi persyaratan mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian
Obstetri dan Ginekologi RSU Haji Medan

Pembimbing:

dr. H. Muslich Perangin-angin, Sp.OG

Disusun Oleh:

Novrizal Muhammad Fadillah (21360015)

KEPANITRAAN KLINIK SENIOR SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

RUMAH SAKIT UMUM HAJI MEDAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI

2021
KATA PENGNTAR

Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan proses penyusunan paper ini
dengan judul “Episiotomi”. Penyelesaian paper ini banyak bantuan dari berbagai pihak,
oleh karena itu adanya kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terimakasih yang
sangat tulus kepada dr. H. Muslich Perangin-angin, Sp.OG selaku pembimbing yang telah
banyak memberikan ilmu, petunjuk, nasehat dan memberi kesempatan kepada kami untuk
menyelesaikan paper ini.
Penulis menyadari bahwa paper ini tentu tidak lepas dari kekurangan karena
keterbatasan waktu, tenaga, dan pengetahuan penulis. Maka sangat diperlukan masukan
dan saran yang membangun. Semoga paper ini dapat memberikan manfaat.

Medan, 07 November 2021

Penulis
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Episiotomi yang dikenal masyarakat pedesaan dengan istilah “digunting” merupakan


tindakan untuk memperlebar jalan lahir untuk mencegah terjadinya ruptura perineum yang
sering kali menjadi penyebab kesakitan pada ibu bersalin dan tingginya angka kesakitan pada
ibu nifas.
Episiotomi dikembangkan di Inggris pada tahun 1970 dan awal tahun 1980-an, dimana
saat itu tindakan episiotomi dipakai sekitar 50%. Tindakan episiotomi umumnya dilakukan
pada wanita yang baru pertama kali melahirkan. Namun kadang - kadang episiotomi
dilakukan juga pada persalinan berikutnya, tergantung situasinya. Bila akan terjadi robekan
maka dilakukan episiotomi
Prinsip tindakan episiotomi adalah pencegahan kerusakan yang lebih hebat pada

jaringan lunak akibat daya regang yang melebihi kapasitas adaptasi atau elastisitas jaringan

tersebut. Oleh sebab itu, pertimbangan untuk melakukan episiotomi harus mengacu pada

pertimbangan klinik yang tepat dan tehnik yang paling sesuai dengan kondisi yang sedang

dihadapi.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan paper ini untuk mengetahui dan memahami tentang
Episiotomi dan sebagai salah satu pemenuhan tugas kepaniteraan Obstetri dan
Gynekologi di Rumah Sakit Umum Haji Medan Sumatera Utara.

1.3 Manfaat
Pada paper ini diharapkan dapat memberikan manfaat, sebagai berikut :
1. Menambah ilmu pengetahuan mengenai Episiotomi.
2. Bahan referensi dan dijadikan informasi berkaitan Episiotomi.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
2.1.1 Episiotomi
Episiotomi adalah suatu tindakan insisi pada perineum yang menyebabkan
terpotongnya selaput lendir vagina, cincin selaput dara, jaringan pada septum
rektovaginal, otot-otot dan fasia perineum dan kulit sebelah depan perineum. 1
Episiotomi dalam arti sempit adalah insisi pudenda. Insisi ini dapat dibuat di
linea mediana (episiotomi mediana) atau dapat mulai di linea mediana tetapi
diarahkan ke lateral dan kebawah menjauhi rektum (episiotomi mediolateralis).

2.1.2 Tujuan

Tujuan episiotomi, yaitu membentuk insisi bedah yang lurus, sebagai


pengganti robekan tak teratur yang mungkin terjadi. Episiotomi dapat mencegah
vagina robek secara spontan, karena jika robekanya tidak teratur maka menjahitnya
tidak rapi, tujuan lain dari episiotomi adalah mempersingkat waktu ibu dalam
mendorong bayinya keluar. 2
Tindakan upaya episiotomi memiliki tujuan, berupa :
1. Mempercepat persalinan dengan memperlebar jalan lahir lunak
2. Mengendalikan robekan perineum untuk memudahkan menjahit
3. Menghindari robekan perineum spontan
4. Memperlebar jalan lahir pada operasi persalinan pervaginam.

2.1.3 Jenis Episiotomi


Macam-macam Episiotomi
1. Episiotomi Medialis
Pada teknik ini insisi dimulai dari ujung terbawah introitus vagina sampai batas
atas otot-otot sfingter ani.
Cara anestesi yang dipakai adalah cara anestesi infiltrasi antara lain dengan
larutan procain 1%-2%; atau larutan lidonest 1%-2%; atau larutan xylocain 1%-
2%. Setelah pemberian anestesi, dilakukan insisi dengan mempergunakan gunting
yang tajam dimulai dari bagian terbawah introitus vagina menuju anus, tetapi tidak
sampai memotong pinggir atas sfingter ani, hingga kepala dapat dilahirkan. Bila
kurang lebar disambung ke lateral (episiotomi mediolateralis).
 Untuk menjahit luka episiotomi medialis mula-mula otot perineum kiri dan
kanan dirapatkan dengan beberapa jahitan. Kemudian fasia dijahit dengan
beberapa jahitan. Lalu selaput lendir vagina dijahit pula dengan beberapa
jahitan. Terakhir kulit perineum dijahit dengan empat atau lima jahitan. Jahitan
dapat dilakukan secara terputus-putus (interrupted suture) atau secara jelujur
(continuous suture). Benang yang dipakai untuk menjahit otot, fasia, dan
selaput lendir adalah catgut khromik, sedang untuk kulit perineum dipakai
benang sutera.

a. Perineum digunting mulai dari ujung paling bawah introitus vagina menuju anus
melalui kulit, selaput lender vagina, fasia dan otot perineum.
b. Otot perineum kiri dan kanan dijahit dan dirapatkan.
c. Pinggir fasia kiri dan kanan dijahit dan dirapatkan.
d. Selaput lendir vagina dan kulit perineum dijahit dengan benang sutera.

2. Episiotomi Mediolateralis
a. Pada teknik ini insisi dimulai dari bagian belakang introitus vagina menuju ke
arah belakang dan samping. Arah insisi dapat dilakukan ke arah kanan ataupun
kiri, tergantung pada kebiasaan orang yang melakukannya. Panjang insisi kira-
kira 4 cm.
b. Teknik menjahit luka pada episiotomi mediolateralis hampir sama dengan
teknik menjahit episiotomi medialis. Penjahitan dilakukan sedemikian rupa
sehingga setelah penjahitan selesai hasilnya lurus simetris.
a. Menjahit jaringan otot-otot dengan jahitan terputus-putus
b. Benang jahitan pada otot-otot ditarik
c. Selaput lendir vagina dijahit
d. Jahitan otot-otot dikaitkan
e. Fasia dijahit
f. Penutupan fasia selesai
g. Kulit dijahit

3. Episiotomi Lateralis.
a. Pada teknik ini insisi dilakukan ke arah lateral mulai dari kira-kira pada jam 3
atau 9 menurut arah jarum jam.
b. Teknik ini sekarang tidak dilakukan lagi oleh karena banyak menimbulkan
komplikasi. Luka insisi dapat melebar ke arah dimana terdapat pembuluh darah
pudendeal interna, sehingga dapat menimbulkan perdarahan yang banyak.
Selain itu parut yang terjadi dapat menimbulkan rasa nyeri yang mengganggu
penderita.
4. Insisi Schuchardt
Jenis ini merupakan variasi dari episiotomi mediolateralis, tetapi sayatannya
melengkung ke arah bawah lateral, melingkari rektum, serta sayatannya lebih
lebar.

2.1 Indikasi dan Kontraindikasi


 Indikasi
Indikasi episiotomi dapat berasal dari faktor ibu maupun faktor janin.
 Indikasi ibu antara lain adalah :
a. Primigravida umumnya.
b. Perineum kaku dan riwayat robekan perineum pada persalinan yang
lalu.
c. Apabila terjadi peregangan perineum yang berlebihan misalnya
padapersalinan sungsang, persalinan dengan cunam, ekstraksi vakum
dan anak besar.
d. Arkus pubis yang sempit.
 Indikasi janin antara lain adalah :
a. Sewaktu melahirkan janin prematur. Tujuannya untuk mencegah
terjadinya trauma yang berlebihan pada kepala janin.
b. Sewaktu melahirkan janin letak sungsang, letak defleksi, janin besar.
c. Pada keadaan dimana ada indikasi untuk mempersingkat kala II seperti
pada gawat janin, tali pusat menumbung.
 Kontraindikasi
a. Bila persalinan tidak berlangsung pervaginam.
b. Bila terdapat kondisi untuk terjadinya perdarahan yang banyak seperti
penyakit kelainan darah maupun terdapatnya varises yang luas pada
vulva dan vagina.

2.1.5 Saat Melakukan Episiotomi


1. Episiotomi sebaiknya dilakukan ketika kepala bayi meregang perineum
pada janin matur, sebelum kepala sampai pada otot-otot perineum pada
janin matur. Bila episiotomi dilakukan terlalu cepat, maka perdarahan
yang timbul dari luka episiotomi bisa terlalu banyak, sedangkan bila
episiotomi dilakukan terlalu lambat maka laserasi tidak dapat dicegah.
sehingga salah satu tujuan episiotomi itu sendiri tidak akan tercapai.
2. Episiotomi biasanya dilakukan pada saat perineum menipis dan pucat
serta kepala janin sudah terlihat dengan diameter 3 - 4 cm  pada saat
kontraksi . Jika dilakukan bersama dengan penggunaan ekstraksi forsep,
sebagian besar dokter melakukan episiotomi setelah pemasangan sendok
atau bilah forsep.
3. Pertama pegang  gunting tajam disinfeksi tingkat tinggi atau steril dengan
satu tangan, kemudian letakkan jari telunjuk dan jari tengah di antara
kepala bayi dan perineum searah dengan rencana sayatan.  Hal ini akan
melindungi kepala bayi dari gunting dan meratakan perineum sehingga
membuatnya lebih mudah di episiotomi.
4. Setelah itu, tunggu fase acme (puncak his). Kemudian selipkan gunting
dalam keadaan terbuka di antara jari telunjuk dan tengah. Gunting
perineum  mengarah ke sudut yang diinginkan untuk melakukan
episiotomi, misalnya episiotomi mediolateral  dimulai dari fourchet
(komissura posterior) 45 derajat ke lateral kiri atau kanan. Pastikan untuk
melakukan palpasi/ mengidentifikasi sfingter ani eksternal dan
mengarahkan gunting cukup jauh kearah samping untuk rnenghindari
sfingter.
5. Gunting perineum sekitar 3-4 cm dengan arah mediolateral menggunakan
satu atau dua guntingan yang mantap. Hindari “menggunting” jaringan
sedikit demi sedikit karena akan menimbulkan tepi yang tidak rata
sehingga akan menyulitkan penjahitan dan waktu penyembuhannya lebih
lama.
6. Jika kepala bayi belum juga lahir, lakukan tekanan pada luka episiotomi
dengan di lapisi kain atau kasa disinfeksi tingkat tinggi atau steril di antara
kontraksi untuk membantu mengurangi perdarahan.  Karena dengan
melakukan tekanan pada luka episiotomi akan menurunkan perdarahan.
7. Kendalikan kelahiran kepala, bahu dan badan bayi untuk mencegah
perluasan episiotomi.
8. Setelah bayi dan plasenta lahir, periksa dengan hati-hati apakah
episiotomi, perineum dan vagina mengalami perluasan atau laserasi,
lakukan penjahitan jika terjadi perluasan episiotomi atau laserasi
tambahan.

2.1.6 Penjahitan Luka Episiotomi


Tujuan menjahit laserasi atau episiotomi adalah untuk menyatukan
kembali jaringan tubuh (mendekatkan) dan mencegah kehilangan darah yang
tidak perlu (memastikan hemostasis). Ingat bahwa setiap kali jarum masuk ke
dalam jaringan tubuh, jaringan akan terluka dan menjadi tempat yang potensial
untuk timbulnya infeksi. Oleh sebab itu pada saat menjahit laserasi atau
episiotomi gunakan benang yang cukup panjang dan gunakan sesedikit
mungkin jahitan untuk mencapai tujuan pendekatan dan hemostasis.
 Keuntungan-keuntungan teknik penjahitan jelujur :
1. Mudah dipelajari (hanya perlu belajar satu jenis penjahitan dan satu atau
dua jenis simpul).
2. Tidak terlalu nyeri karena lebih sedikit benang yang digunakan.
3. Menggunakan lebih sedikit jahitan.
 Mempersiapkan penjahitan :
1. Bantu ibu mengambil posisi litotomi sehingga bokongnya berada di tepi
tempat tidur atau meja. Topang kakinya dengan alat penopang atau minta
anggota keluarga untuk memegang kaki ibu sehingga ibu tetap berada
dalam posisi litotomi.
2. Tempatkan handuk atau kain bersih di bawah bokong ibu.
3. Jika mungkin, tempatkan lampu sedemikian rupa sehingga perineum bisa
dilihat dengan jelas.
4. Gunakan teknik aseptik pada saat memeriksa robekan atau episiotomi,
memberikan anestesi lokal dan menjahit luka.
5. Cuci tangan menggunakan sabun dan air bersih yang mengalir.
6. Pakai sarung tangan disinfeksi tingkat tinggi atau yang steril.
7. Dengan menggunakan teknik aseptik, persiapkan peralatan dan bahan-
bahan disinfeksi tingkat tinggi untuk penjahitan.
8. Duduk dengan posisi santai dan nyaman sehingga luka bisa dengan mudah
dilihat dan penjahitan bisa dilakukan tanpa kesulitan.
9. Gunakan kain/kasa disinfeksi tingkat tinggi atau bersih untuk menyeka
vulva, vagina dan perineum ibu dengan lembut, bersihkan darah atau
bekuan darah yang ada sambil menilai dalam dan luasnya luka.
10. Periksa vagina, serviks dan perineum secara lengkap. Pastikan bahwa
laserasi/sayatan perineum hanya merupakan derajat satu atau dua. Jika
laserasinya dalam atau episiotomi telah meluas, periksa lebih jauh untuk
memeriksa bahwa tidak terjadi robekan derajat tiga atau empat. Masukkan
jari yang bersarung tangan ke dalam anus dengan hati-hati dan angkat jari
tersebut perlahan-lahan untuk mengidentifikasi sfingter ani. Raba tonus
atau ketegangan sfingter. Jika sfingter terluka, ibu mengalami laserasi
derajat tiga atau empat dan harus dirujuk segera. Ibu juga dirujuk jika
mengalami laserasi serviks.
11. Ganti sarung tangan dengan sarung tangan disinfeksi tingkat tinggi atau
steril yang baru setelah melakukan pemeriksaan rektum.
12. Berikan anestesia lokal.
13. Siapkan jarum (pilih jarum yang batangnya bulat, tidak pipih) dan benang.
Gunakan benang kromik 2-0 atau 3-0. Benang kromik bersifat lentur,
kuat, tahan lama dan paling sedikit menimbulkan reaksi jaringan.
14. Tempatkan jarum pada pemegang jarum dengan sudut 90 derajat, jepit dan
jepit jarum tersebut.
 Dalam penjahitan episiotomi, penting menggunakan benang yang dapat
diserap untuk menutup robekan. Benang poliglikolik lebih dipilih
dibandingkan catgut kromik karena kekuatan regangannya, bersifat non
alergenik, kemungkinan komplikasi infeksi dan kerusakan episiotominya lebih
rendah. Catgut kromik dapat digunakan sebagai alternative, tetapi bukan
benang yang ideal.
2.1.7 Penyembuhan Luka Episiotomi
Proses penyembuhan sangat berhubungan dengan usia, berat badan,
status nutrisi, dehidrasi, aliran darah yang adekuat ke area luka, dan status
imunologinya. Penyembuhan luka sayatan episiotomi yang sempurna
tergantung kepada beberapa hal. Tidak adanya infeksi pada vagina sangat
mempermudah penyembuhan. Keterampilan menjahit juga sangat diperlukan
agar otot-otot yang tersayat diatur kembali sesuai dengan fungsinya atau
jalurnya dan juga dihindari sedikit mungkin pembuluh darah agar tidak
tersayat. Jika sel saraf terpotong, pembuluh darah tidak akan terbentuk lagi.
 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Proses Penyembuhan Luka
1. Status nutrisi yang tidak tercukupi memperlambat penyembuhan luka.
2. Kebiasaan merokok dapat memperlambat penyembuhan luka.
3. Penambahan usia memperlambat penyembuhan luka.
4. Peningkatan kortikosteroid akibat stress dapat memperlambat
penyembuhan luka.
5. Ganguan oksigenisasi dapat mengganggu sintesis kolagen dan
menghambat epitelisasi sehingga memperlambat penyembuhan luka.
6. Infeksi dapat memperlambat penyembuhan luka.
 Menurut Walsh (2008) proses penyembuhan terjadi dalam tiga fase, yaitu:
1. Fase 1: Segera setelah cedera, respons peradangan menyebabkan
peningkatan aliran darah ke area luka, meningkatkan cairan dalam
jaringan,serta akumulasi leukosit dan fibrosit. Leukosit akan
memproduksi enzim proteolitik yang memakan jaringan yang
mengalami cedera.
2. Fase 2: Setelah beberapa hari kemudian, fibroblast akan membentuk
benang-benang kolagen pada tempat cedera.
3. Fase 3: Pada akhirnya jumlah kolagen yang cukup akan melapisi
jaringan yang rusak kemudian menutup luka.

2.1.8 Anastesi Lokal Pada Episiotomi


Obat anastesi disuntikkan disekitar daerah operasi dengan cara
infiltrasi. Pada episiotomi, infiltrasi obat anastesi harus mengenai mukosa
vagina dan kulit perineum.
 Prosedur Tindakan Episiotomi

PROSEDUR/LANGKAH KLINIK

1 PERSETUJUAN TINDAKAN MEDIK

1.1 Memperkenalkan diri selaku petugas yang akan menolong pasien

1.2 Menjelaskan diagnosis dan penanganan luka episiotomi dan robekan


perineum

1.3 Menjelaskan pula bahwa setiap tindakan medik mempunyai risiko

1.4 Memastikan bahwa pasien dan keluarganya telah mengerti semua aspek
diatas

1.4 Memberi kesempatan pasien dan keluarganya mendapat penjelasan ulang

1.6 Membuat Persetujuan Tindakan Medik tertulis dan memasukkan kedalam


catatan medik pasien

2 PERSIAPAN SEBELUM TINDAKAN

2.1 Memeriksa dan menyiapkan peralatan

2.2 Menjelaskan pada ibu untuk tidur terlentang dengan posisi kaki ½ flexi

3 PENCEGAHAN INFEKSI SEBELUM TINDAKAN

3.1 Mencuci tangan dan lengan sampai siku dan keringkan dengan handuk DTT

3.2 Memakai baju dan perlengkapan kamar tindakan dan sarung tangan tindakan
DTT/ steril

4 EPISIOTOMI

4.1 Anestesi Lokal

4.1.1 Jelaskan pada ibu tentang apa yang akan dilakukan dan bantulah agar ibu
merasa tenang

4.1.2 Pasanglah jarum no.22 pada semprit 10 ml, kemudian isi semprit dengan
bahan anestesi (lidokain HCl 1% atau Xilokain 10 mg/ml)

4.1.3 Letakkan 2 jari (telunjuk dan jari tengah) di antara kepala dan janin daN
perineum. Masuknya bahan anestesi (secara tidak sengaja) ke dalam sirkulasi
bayi, dapat menimbulkan akibat fatal, oleh sebab itu gunakan jari-jari
penolong sebagai pelindung kepala bayi.

4.1.4 Tusukkan jarum tepat di bawah kulit perineum pada daerah comissura
posterior (fourchette) yaitu bagian sudut bawah vulva
4.1.5 Arahkan jarum dengan membuat sudut 450 ke sebelah kiri(atau kanan) garis
tengah perineum. Lakukan aspirasi untuk memastikan bahwa ujung jarum
tidak
memasuki pembuluh darah (terlihat cairan darah dalam semprit). (Intravasasi
bahan anestesi lokal kedalam pembuluh darah, dapat menyebabkan syok pada
ibu)

4.1.6 Sambil menarik mundur jarum suntik, infiltrasikan 5-10 ml lidokain 1%

4.1.7 Tunggu 1-2 menit agar efek anestesi bekerja maksimal, sebelum episiotomy
dilakukan.
-Penipisan dan peregangan perineum berperan sebagai anestesi alamiah.
-Apabila kepala bayi menjelang ke luar, lakukan episiotomi dengan segera.
* Jika kepala janin tidak segera lahir, tekan insisi episiotomi di antara his
sebagai upaya untuk mengurangi perdarahan
* Jika selama melakukan penjahitan robekan vagina dan perineum, ibu masih
merasakan nyeri, tambahkan 10 ml lidokain 1% pada daerah nyeri
* Penyuntikan sambil menarik mundur, bertujuan untuk mencegah akumulasi
bahan anestesi hanya pada satu tempat dan mengurangi kemungkinan
penyuntikan ke dalam pembuluh darah.

4.2 Tindakan Episiotomi

4.2.1 Pegang gunting yang tajam dengan satu tangan.

4.2.2 Letakkan jari telunjuk dan tengah di antara kepala bayi dan perineum, searah
dengan rencana sayatan

4.2.3 Tunggu fase acme (Puncak His) kemudian selipkan gunting dalam keadaan
terbuka di antara telunjuk dan tengah

4.2.4 Gunting perineum, dimulai dari fourchet (comissura posterior) 45O ke lateral
(kiri atau kanan)

4.2.5 Lanjutkan pimpinan persalinan

4.3 Penjahitan Luka Episiotomi

4.3.1 Atur posisi ibu menjadi posisi litotomi dan arahkan cahaya lampu sorot pada
daerah yang benar

4.3.2 Keluarkan sisa darah dari dalam lumen vagina, bersihkan daerah vulva dan
perineum

4.3.3 Kenakan sarung tangan yang bersih/DTT. Bila diperlukan pasanglah tampon
atau kasa ke dalam vagina untuk mencegah darah mengalir ke daerah yang
akan dijahit

4.3.4 Letakkan handuk atau kain bersih di bawah bokong ibu

4.3.5 Uji efektifitas anestesi lokal yang diberikan sebelum episiotomi masih
bekerja (sentuhkan ujung jarum pada kulit tepi luka). Jika terasa sakit,
tambahkan anestesi lokal sebelum penjahitan dilakukan

4.3.6 Atur posisi penolong sehingga dapat bekerja dengan leluasa dan aman dari
cemaran

4.3.7 Telusuri daerah luka menggunakan jari tangan dan tentukan secara jelas batas
luka. Lakukan jahitan pertama kira-kira 1 cm di atas ujung luka di dalam
vagina. Ikat dan potong salah satu ujung dari benang dengan menyisakan
benang kurang lebih 0,5 cm

4.3.8 Jahitlah mukosa vagina dengan menggunakan jahitan jelujur dengan jerat ke
bawah sampai lingkaran sisa himen

4.3.9 Kemudian tusukkan jarum menembus mukosa vagina di depan himen dan
keluarkan pada sisi dalam luka perineum. Periksa jarak tempat keluarnya
jarum di perineum dengan batas atas irisan episiotomi

4.3.10 Lanjutkan jahitan jelujur dengan jerat pada lapisan subkutis dan otot sampai
ujung luar luka (pastikan setiap jahitan pada ke dua sisi memiliki ukuran
yang sama dan lapisan otot tertutup dengan baik)

4.3.11 Setelah mencapai ujung luka, balikkan arah jarum ke lumen vagina dan
mulailah merapatkan kulit perineum dengan jaitan subkutikuler

4.3.12 Bila telah mencapai lingkaran himen, tembuskan jarum keluar mukosa vagina
pada sisi yang berlawanan dari tusukkan terakhir subkutikuler

4.3.13 Tahan benang (sepanjang 2 cm) dengan klem, kemudian tusukkan kembali
jarum pada mukosa vagina dengan jarak 2 mm dari tempat keluarnya benang
dan silangkan ke sisi berlawanan hingga menembus mukosa pada sisi
berlawanan

4.3.15 Ikat benang yang dikeluarkan dengan benang pada klem dengan simpul kunci

4.3.16 Lakukan kontrol jahitan dengan pemeriksaan colok dubur (lakukan tindakan
yang sesuai bila diperlukan)

4.3.17 Tutup jahitan luka episiotomi dengan kasa yang dibubuhi cairan antiseptik

5 PENCEGAHAN INFEKSI PASCA TINDAKAN

5.1 Kumpulkan dan masukkan instrumen kedalam wadah yang berisi khlorin
0,5%

5.2 Kumpulkan bahan habis pakai dan masukkan ke tempat sampah medis

5.3 Bubuhilah benda-benda didalam kamar tindakan yang terkena darah atau
cairan tubuh pasien dengan khlorin 0,5%

5.4 Bersihkanlah sarung tangan, dilepaskan dan direndam dalam khlorin 0,5%

5.5 Cuci tangan dengan sabun dalam air mengalir

5.6 Keringkan tangan dengan handuk/kertas tissue yang bersih

6 PERAWATAN PASCA TINDAKAN

6.1 Periksa tanda vital pasien

6.2 Catat kondisi pasien dan buat laporan tindakan dalam status pasien

6.3 Buat insruksi pengobatan lanjutan dan pemantauan kondisi pasien

6.4 Memberitahu pasien dan keluarganya bahwa tindakan telah selesai

6.5 Tegaskan kepada perawat untuk menjalankan instruksi dan pengobatan serta
melaporkan segera apabila ditemukan perubahan pascatindakan

 Anatomi dan Fisiologi


1. Anatomi Organ Genetalia Eksterna

Gambar 2: Organ Genetalia Eksterna Pada Wanita


( Sumber: Wiknjo Sastro, 2002)
Keterangan :
 Mons Veneris
Mons veneris adalah bagian menonjol diatas simfisis. Pada wanita
dewasa ditutupi oleh rambut kemaluan.pada wanita umumnya batas atasnya
melintang sampai pinggir atas simfisis,sedangkan ke bawah sampai sekitar
anus dan paha.
 Labia Mayora (bibir-bibir besar)
Terdiri atas bagian kanan dan kiri, lonjong mengecil ke bawah,terisi
jaringan lemak serupa dengan yang ada di monsveneris.Ke bawah dan
belakang kedua labia mayora bertemu dan membentuk kommisura posterior.
 Labia Minora (bibir-bibir kecil)
Labia Minora adalah suatu lipatan tipis dari kulit sebelah dalam bibir
besar.Ke depan kedua bibir kecil bertemu dan membentuk diatas klitoris
preputium klitoridis dan dibawah klitoris frenulum klitoridis.Ke belakang
kedua bibir kecil bersatu dan membentuk fossa navikulare. Kulit yang
meliputi bibir kecil mengandung banyak glandula sebasea dan urat saraf yang
menyebabkan bibir kecil sangat sensitif dan dapat mengembang.
 Klitoris
Kira-kira sebesar kacang ijo tertutup oleh preputium klitoridis, terdiri
atas glans klitoridis ,korpus klitoridis, dan dua krura yang menggantungkan
klitoris ke os pubis. Glans klitoridis terdiri atas jaringan yang dapat
mengembang, penuh urat saraf dan amat sensitif.
 Vulva
Bentuk lonjong dengan ukuran panjang dari muka ke belakang dan
dibatasi dimuka oleh klitoris, kanan dan kiri oleh kedua bibir kecil dan
dibelakang oleh perineum; embriologik sesuai sinus urogenitalis.Di vulva 1-
1,5 cm di bawah klitoris ditemukan orifisium uretra eksternum (lubang kemih)
berbentuk membujur 4-5 mm dan .tidak jauh dari lubang kemih di kiri dan
kanan bawahnya dapat dilihat dua ostia skene.Sedangkan di kiri dan bawah
dekat fossa navikular terdapat kelenjar bartholin, dengan ukuran diameter ± 1
cm terletak dibawah otot konstriktor kunni dan mempunyai saluran kecil
panjang 1,5-2 cm yang bermuara di vulva.Pada koitus kelenjar bartolin
mengeluarkan getah lendir.
 Bulbus Vestibuli Sinistra et Dekstra
Terletak di bawah selaput lendir vulva dekat ramus os pubis, panjang
3-4 cm ,lebar 1-2 cm dan tebal 0,51- 1cm; mengandung pembuluh darah,
sebagian tertutup oleh muskulus iskio kavernosus dan muskulus konstriktor
vagina.Saat persalinan kedua bulbus tertarik ke atas ke bawah arkus pubis,
tetapi bagian bawahnya yang melingkari vagina sering mengalami cedera dan
timbul hamatoma vulva atau perdarahan.
 Introitus Vagina
Mempunyai bentuk dan ukuran berbeda , ditutupi selaput dara
(hymen). Himen mempunyai bentuk berbeda – beda.dari yang semilunar
(bulan sabit) sampai yang berlubang- lubang atau yang ada
pemisahnya(septum); konsistensinya dari yang kaku sampai yang lunak sekali.
Hiatus himenalis (lubang selaput dara) berukuran dari yang seujung jari
sampai yang mudah dilalui oleh 2 jari. Umumnya himen robek pada koitus.
Robekan terjadi pada tempat jam 5 atau jam 7 dan sampai dasar selaput dara.
Sesudah persalinan himen robek pada beberapa tempat.
 Perineum
Terletak antara vulva dan anus , panjangnya rata-rata 4 cm.

2. Fisiologi Organ Reproduksi Wanita


Adaptasi Fisiologis Pada Post Partum :
 Proses Involusi
Proses kembalinya uterus ke keadaan sebelum hamil setelah
melahirkan disebutinvolusi. Proses dimulai setelah plasenta keluar akibat
konstraksi otot-otot polos uterus. Pada akhir persalinan tahap III, uterus
berada digaris tengah, kira-kira 2 cm dibawah umbilikus dengan fundus
bersandar pada promontorium sakralis. Ukuran uterus saat kehamilan enam
minggu beratnya kira15 kira 1000 gr. Dalam waktu 12 jam, tinggi fundus
kurang lebih 1 cm diatas umbilikus. Fundus turun kira-kira 1-2 cm setiap 24
jam. Pada hari keenam fundus normal berada dipertengahan antara umbilikus
dan simfisis fubis. Seminggu setelah melahirkan uterus berada didalam
panggul sejati lagi, beratnya kira-kira 500 gr, dua minggu beratnya 350 gr,
enam minggu berikutnya mencapai 60 gr (Bobak, 2004: 493).
 Konstraksi Uterus
Intensitas kontraksi uterus meningkat segera setelah bayi lahir, diduga
adanya penurunan volume intrauterin yang sangat besar. Hemostatis
pascapartum dicapai akibat kompresi pembuluh darah intramiometrium,
bukan oleh agregasi trombosit dan pembentukan pembekuan. Hormon
desigen dilepas dari kelenjar hipofisis untuk memperkuat dan mengatur
konstraksi. Selama 1-2 jam I pascapartumintensitas konstraksi uterus bisa
berkurang dan menjadi tidak teratur, karena untuk mempertahankan
kontraksi uterus biasanya disuntikkan aksitosan secara intravena atau
intramuscular diberikan setelah plasenta lahir (Bobak, 2004: 493).
 Tempat Plasenta
Setelah plasenta dan ketuban dikeluarkan, kontriksi vaskuler dan
trombosis menurunkan tempat plasenta ke suatu area yang meninggi dan
bernodul tidak teratur. Pertumbuhan endometrium menyebabkan pelepasan
jaringan nekrotik dan mencegah pembentukan jaringan parut yang menjadi
karakteristik penyembuhan luka. Proses penyembuhan memampukan
endometrium menjalankan siklusnya seperti biasa dan memungkinkan
implantasi untuk kehamilan dimasa yang akan datang. Regenerasi
endometrium selesai pada akhir minggu ketiga pascapartum, kecuali bekas
tempat plasenta (Bobak, 2004: 493).
 Lochea
Lochea adalah rabas uterus yang keluar setelah bayi lahir, mula-mula
berwarna merah lalu menjadi merah tua atau merah coklat. Rabas
mengandung bekuan darah kecil. Selama 2 jam pertama setelah lahir, jumlah
cairan yang keluar dari uterus tidak boleh lebih dari jumlah maksimal yang
keluar selama menstruasi.Lochea rubra mengandung darah dan debris
desidua dan debris trofoblastik.Aliran menyembur menjadi merah muda dan
coklat setelah 3-4 hari (lochea serosa). lochea serosa terdiri dari darah lama
(old blood), serum, leukosit dan debris jaringan. Sekitar 10 hari setelah bayi
lahir, warna cairan ini menjadi kuning sampai putih (lochea alba). Lochea
alba mengandung leukosit, desidua, sel epitel, mucus, serum dan bakteri.
Lochea alba bertahan selama 2-6 minggu setelah bayi lahir (Bobak, 2004:
494).
 Serviks
Serviks menjadi lunak setelah ibu malahirkan. 18 jam pascapartum,
serviks memendek dan konsistensinya lebih padat kembali kebentuk semula.
Muara serviks berdilatasi 10 cm, sewaktu melahirkan, menutup bertahap 2
jari masih dapat dimasukkan Muara serviks hari keempat dan keenam
pascapartum (Bobak, 2004: 495).
 Vagina dan Perinium
Estrogen pascapartum yang menurun berperan dalam penipisan
mucosa vagina dan hilangnya rugae. Vagina yang semula sangat teregang
akan kembali secara bertahap keukuran sebelum hamil, 6-8 minggu setelah
bayi lahir . Rugae akan kembali terlihat pada sekitar minggu keempat
(Bobak, 2004:495).

 ROBEKAN JALAN LAHIR


 Robekan Perineum
Ada beberapa penyebab robekan pada perineum, antara lain :
1. Kepala janin terlalu cepat lahir.
2. Persalinan tidak dipimpin sebagaimana mestinya.
3. Sebelumnya pada perineum terdapat banyak jaringan parut.
4. Pada persalinan dengan distosia bahu.
Laserasi vagina dan perineum diklasifikasikan menjadi derajat I-IV, yaitu :

1. Laserasi derajat I melibatkan fourchette, kulit perineum, dan membran


mukosa vagina tapi tidak mengenai fascia dan otot. Penjahitan robekan
perineum derajat I dapat dilakukan hanya dengan catgut yang dijahitkan
secara kontinu atau dengan cara angka delapan.

Gambar 2. Laserasi Derajat I


2. Laserasi derajat II melibatkan fascia dan otot (muskulus perinei transversalis)
dari badan perineum tapi tidak mengenai sfinkter anus. Robekan ini biasanya
melebar ke atas pada salah satu atau kedua sisi vagina, membentu luka
segitiga yang ireguler. Sebelum dilakukan penjahitan pada robekan perineum
tingkat II atau III, jika dijumpai pinggir robekan yang tidak rata atau
bergerigi, maka pinggir yang bergerigi tersebut harus diratakan terlebih
dahulu. Pinggir robekan sebelah kiri dan kanan masing-masing diklem
terlebih dahulu, kemudian digunting. Setelah pinggir robekan rata, baru
dilakukan penjahitan luka robekan. Mula-mula otot dijahit dengan catgut.
Kemudian selaput lendir vagina dijahit dengan catgut secara interuptus atau
kontinu. Penjahitan selaput lendir vagina dimulai dari puncak robekan.
Terakhir kulit perineum dijahit dengan benang secara interuptus.

Gambar 3. Laserasi Derajat II

3. Laserasi derajat III meluas melewati kulit, membran mukosa, dan badan
perineum, dan melibatkan sfinkter anus. Sama seperti teknik menjadi pada
laserasi derajat 2, namun otot-otot levator ani dijahit terlebih dahulu dengan
jahitan interuptus.
Gambar 4. Laserasi Derajat III

4. Laserasi derajat IV meluas sampai mukosa rektum sampai ke lumen rektum.


Robekan di daerah uretra dengan perdarahan hebat bisa menyertai laserasi
tipe ini. Teknik menjahit : Mula-mula dinding depan rektum yang robek
dijahit. Kemudian fasia perirektal dan fasia septum rektovaginal dijahit
dengan catgut kromik, sehingga bertemu kembali. Ujung-ujung otot sfingter
ani yang terpisah oleh karena robekan dikelm dengan klem Pean lurus,
kemudian dijahit dengan 2-3 jahitan catgut kromik sehingga bertemu
kembali. Selanjutnya robekan dijahit lapis demi lapis seperti menjahit
robekan perineum tingkat II.

Gambar 5. Laserasi Derajat IV


 Robekan Vulva

Perlukaan vulva sering terjadi pada waktu persalinan. Jika diperiksa dengan
cermat, akan sering terlihat robekan-robekan kecil pada labium minus, vestibulum,
atau bagian belakang vulva. Jika robekan atau lecet hanya kecil dan
tidakmenimbulkan perdarahan banyak, tidak perlu dilakukan tindakan apa-apa.
Tetapi jika luka robek agak besar dan banyak berdarah, lebih-lebih jika robekan
terjadi pada pembuluh darah di daerah klitoris, perlu dilakukan penghentian
perdarahan dan penjahitan luka robekan. Luka robekan dijahit dengan catgut secara
interuptus ataupun kontinu. Jika luka robekan terdapat di sekitar orifisium uretra
atau diduga mengenai vesika urinaria, sebaiknya sebelum dilakukan penjahitan,
dipasang dulu kateter tetap.
BAB III
KESIMPULAN

Episiotomi adalah suatu tindakan insisi pada perineum yang menyebabkan


terpotongnya selaput lendir vagina, cincin selaput dara, jaringan pada septum
rektovaginal, otot-otot dan fasia perineum dan kulit sebelah depan perineum.
Episiotomi bertujuan untuk membentuk insisi bedah yang lurus, sebagai pengganti
robekan tak teratur yang mungkin terjadi. Episiotomi terdiri atas beberapa macam,
antara lain episiotomi medial, mediolateralis, lateral dan Insisi Schuchardt. Tujuan
menjahit laserasi atau episiotomi adalah untuk menyatukan kembali jaringan tubuh
(mendekatkan) dan mencegah kehilangan darah yang tidak perlu (memastikan
hemostasis). Ingat bahwa setiap kali jarum masuk ke dalam jaringan tubuh, jaringan
akan terluka dan menjadi tempat yang potensial untuk timbulnya infeksi. Proses
penyembuhan sangat dihubungi oleh usia, berat badan, status nutrisi, dehidrasi, aliran
darah yang adekuat ke area luka, dan status imunologinya.
DAFTAR PUSTAKA

1. Prawirohardjo S. 2008. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono


Prawirohardjo.
2. Cunningham FG, et al. 2010. Williams Obstetrics, ed. 23. Appleton and Lange.
3. Wiknjosastro,Hanifa. 2007. Ilmu Bedah Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawiroharjo.
4. Rusda,Muammad. 2004. Anastesi Infiltrasi pada Episiotomi. USU Digital Library.
5. Bonica, John J. Principles and Practice of Obstetric Analgesia and Anesthesia, FA
Davis Co. Philadelphia, 2nd ed, 1995;501-513
6. Sastrawinata S. Obstetri Patologi : Ilmu Kesehatan Reproduksi, ed. 2. Bandung :
EGC, hal. 179-186.

Anda mungkin juga menyukai