Anda di halaman 1dari 14

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas karunia-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang bejudul “ EPISIOTOMI “ ini tepat pada
waktunya.

Keberhasilan dalam pembuatan makalah ini juga tak lepas dari bantuan dan bimbingan dari
bebagai pihak,untuk itu kami ucapkan terima kasih kepada Dosen pembimbing dan juga
teman-teman semua yang telah ikut berperan serta dalam pembuatan makalah ini.

Disini penulis berharap semoga dengan adanya makalah ini dapat berguna bagi orang-
orang yang membacanya.

Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini belumlah sempurna, untuk itu
penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari para pembaca demi
kesempurnaan pada pembuatan makalah-makalah yang selanjutnya.

Balikpapan, 15 April 2019

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Episiotomi adalah pengguntingan mulut rahim sebagai jalan lahir pada saat
proses persalinan. Bila persalinan dilakukan dengan tindakan episiotomi, maka
sebaiknya jika habis ke buang air kecil atau besar, bekas luka dikompres dengan obat
antiseptik. Hal ini untuk menghindari terjadinya infeksi. Selain kompres, bisa juga
dilakukan dengan mengolesinya dengan salep antibiotik. Salep ini biasanya sekaligus
juga menyembuhkan wasir ibunya yang kerap keluar saat persalinan. Jika robekan
tersebut hingga mengenai anus, maka sesudah anusnya dibenahi, pasien harus diet
sampai luka di anusnya sembuh, kira-kira 5-7 hari. Ibu harus mengatur makanannya
agar buang air besarnya menjadi lembek atau encer. Kalau perlu dibantu dengan obat
pencahar.
Kalau robekannya banyak, maka sebaiknya di minggu pertama sesudah
persalinan, ibu jangan banyak bergerak dulu. Terutama yang membuat gerakan di
daerah perineumnya. Misalnya, berjalan-jalan, karena berjalan-jalan akan membuat
pergeseran di daerah perineum. Jadi, lakukan kegiatan yang tidak banyak
menggerakkan daerah perineum tersebut. Misalnya, dengan duduk atau berbaring.
Pengguntingan mulut rahim sebagai jalan untuk kelahiran janin pada saat persalinan
kadangkala perlu dilakaukan. Melahirkan tanpa pengguntingan bisa mengakibatkan
robekan ke mana-mana. Saat bayi dilahirkan, terutama kala kepala atau pantat bayi
mulai “nongol”, maka bisa jadi membuat robek leher rahim, vagina, labia, hingga
perineum sang ibu. Terlebih lagi pada kelahiran dengan bayi besar atau proses
kelahirannya terlalu cepat. Perobekan itu bisa melebar ke mana-mana dengan bentuk
yang tak beraturan, sehingga proses penjahitan kembali akan mengalami kesulitan.
B. Rumusan Masalah
Adapun masalah yang diangkat pada makalah ini yaitu:
1. Apa yang dimaksud dengan Episiotomi ?
2. Apa tujuan dan bagaimana tekhnik episiotomi ?
3. Kapan saat yang tepat untuk melakukan episiotomy?
4. Apa indikasi, kontraindikasi dan komplikasi dari Episiotomi?
C. Tujuan Penulisan Makalah
Dari rumusan masalah diatas, maka penulis mempunyai tujuan:
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Episiotomi
2. Untuk mengetahui tujuan dan tekhnik episiotomi
3. Untuk mengetahui Kapan saat yang tepat untuk melakukan episiotomi
4. Untuk mengetahui indikasi, kontraindikasi dan komplikasi dari Episiotomi
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Defenisi

Episiotomi dalam artian sempit adalah insisi pudenda. Periniotomi adalah insisi pada
perineum. Akan tetapi , dalam bahasa biasa episiotomi sering sama digunakan dengan
episiotomi. Dengan kata lain episiotomi adalah insisi pada perineum untuk memperbesar
mulut vagina. Pengertian lain dari episiotomi adalah insisi dari perineum untuk
memudahkan persalinan dan mencegah ruptur perineum totalis. Pada masa lalu
dianjurkan untuk melakukan episiotomi secara rutin yang tujuannya untuk mencegah
ruptur yang secara berlebihan pada perineum, membuat tepi luka rata agar memudahkan
penjahitan, mencegah penyulit atau tahanan pada kepala dan infeksi, tetapi hal itu tidak
didukung oleh bukti-bukti ilmiah yang cukup.

Sebaliknya, hal ini tidak boleh diartikan bahwa episiotomi tidak diperbolehkan, karena
ada indikasi tertentu untuk dilakukan episiotomi . para penolong persalinan harus cermat
membaca kata rutin pada episiotomi karena hal itulah yang dianjurkan, bukan
episiotominya.

Alasan mengapa episotomi bukan merupakan tindakan rutin adalah sebagai berikut :

1. Perineum dapat dipersiapkan melalui latihan keagel dan periode pada masa
pranatal. Latihan keagel pada peiode post partum dapat memperbaiki tonus otot-otot
perineum.
2. Robekan dapat terjadi walaupun sudah dilakukan episiotomi.
3. Nyeri dan tidak nyaman akibat episotomi dapat menghambat interaksi ibu anak dan
dimulai kembalinya hubungan seksual orang tua.
4. Kejadian laserasi derajat tiga dan empat lebih banyak terjadi pada episiotomi rutin
daripada tanpa episiotomi.
5. Meningkatnya resiko infeksi ( terutama jika prosedur PI ).

B. Indikasi Episiotomi

1. Gawat janin.
2. Penyulit persalinan pervaginam ( sunsang, distosia bahu, ekstraksi forcep dan vakum,
bayi besar, presentasi muka, dll ).
3. Pada persalinan prematur.
4. Jaringan parut pada perineum atau vagina yang memperlambat kemajuan persalinan.

C. Tujuan episotomi

Tujuan episiotomi adalah supaya tidak terjadi robekan perineum yang tidak teratur
dan robekan pada muskulus sfinter ani ( ruptura perineum totalis ) yang tidak bisa dijahit
dan dirawat dengan baik jika terjadi akan mengakibatkan beser berak ( inkontinensia alvi
).

1. Mempercepat persalinan dengan memperlebar jalan lahir lunak.


2. Mengendalikan robekan perineum untuk memudahkan jahitan.
3. Menghindari robekan perineum spontan.
4. Memperlebar jalan laahir pada persalinan pervaginam dengan tindakan.

D. Manfaat episiotomi

1. Mencegah robekan perineum derajat tiga, terutama sekali dimana sebelumnya ada
laserasi yang luas didasar panggul. Insisi yang bersih dan dilakukan pada posisi yang
benar akan lebih cepat sembuh daripada luka yang tidak teratur.
2. Menjaga uretra dan klitoris dari trauma yang luas. Kemungkinan mengurangi
regangan otot penyangga kandung kemih atau rektum yang terlalu kuat dan
berkepanjangan, yang dikemudian hari akan menyebabkan inkonensia urin daan
prolaps vagina.
3. Mengurangi lama kala II yang mungkin penting terhadap kondisi ibu atau keadaan
janin ( fetal distress ).
4. Memperlebar vagina jika diperlukan menipulasi untuk melahirkan bayi, contohnya
pada presentasi bokong atau pada persalinan dengan tindakan.
5. Mengurangi resiko luka intrakranial pada baayi prematur. Pada saat tindakan
episiotomi mungkin diperlukan pada keadaan yang pasti.

E. Pencegahan Laserasi

Laserasi spontan pada vagina atau perineum dapat terjadi saat kepala janin
dilahirkan, kejadian ini akan meningkat jika bayi atau janin yang dilaahirkan terlalu cepat
dan tidak terkendali. Adanya kerjasama yang baik antara pasien dan penolong saat
kepala sedang crowning ( kepala nampak 5-6 cm di vulva ) sangat berperan dalam
pencegahan laserasi. Dalam tahap ini pasien dan penolong bekerjasama dalam
mengendalikan kecepatan dan pengaturan diameter kepala saat melewati introitus
vagina melalui pengaturan irama, kekuatan dan durasi meneran.

F. Pengertian Etik & Moral

1. Etik merupakan suatu pertimbangan yang sistematis tentang perilaku benar atau
salah, kebajikan atau kejahatan yang berhubungan dengan perilaku.
2. Etika merupakan aplikasi atau penerapan teori tentang filosofi moral kedalam situasi
nyata dan berfokus pada prinsip-prinsip dan konsep yang membimbing manusia
berpikir dan bertindak dalam kehidupannya yang dilandasi oleh nilai-nilai yang
dianutnya. Banyak pihak yang menggunakan istilah etik untuk mengambarkan etika
suatu profesi dalam hubungannya dengan kode etik profesional seperti Kode Etik
PPNI atau IBI.
3. Moral hampir sama dengan etika, biasanya merujuk pada standar personal tentang
benar atau salah. Hal ini sangat penting untuk mengenal antara etika dalam agama,
hukum, adat dan praktek profesional.

Secara harfiah Informed Consent merupakan padanan kata dari: Informed artinya
telah diberikan penjelasan/informasi ,dan Consent artinya persetetujuan yang
diberikan kepada seseorang untuk berbuat sesuatu. “Informed Consent” terdiri dari
dua kata yaitu “informed” yang berarti telah mendapat penjelasan atau keterangan
(informasi), dan “consent” yang berarti persetujuan atau memberi izin. Jadi “informed
consent” mengandung pengertian suatu persetujuan yang diberikan setelah
mendapat informasi. Dengan demikian “informed consent” dapat didefinisikan
sebagai persetujuan yang diberikan oleh pasien dan atau keluarganya atas dasar
penjelasan mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya serta
resiko yang berkaitan dengannya.

Menurut D. Veronika Komalawati, SH , “informed consent” dirumuskan sebagai


“suatu kesepakatan/persetujuan pasien atas upaya medis yang akan dilakukan
dokter terhadap dirinya setelah memperoleh informasi dari dokter mengenai upaya
medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya disertai informasi mengenai
segala resiko yang mungkin terjadi.

Definisi operasionalnya adalah suatu pernyataan sepihak dari orang yang berhak
(yaitu pasien, keluarga atau walinya) yang isinya berupa izin atau persetujuan
kepada dokter untuk melakukan tindakan medik sesudah orang yang berhak
tersebut diberi informasi secukupnya.
Persetujuan tindakan adalah kesepakatan yang dibuat seorang klien untuk
menerima rangkaian terapi atau prosedur setelah informasi yang lengkap, termasuk
risiko terapi dan fakta yang berkaitan dengan terapi tersebut, telah diberikan oleh
dokter. Oleh karena itu, persetujuan tindakan adalah pertukaran antara klien dan
dokter. Biasanya, klien menandatangani formulir yang disediakan oleh institusi.
Formulir itu adalah suatu catatan mengenai persetujuan tindakan, bukan persetujuan
tindakan itu sendiri.

Mendapatkan persetujuan tindakan untuk terapi medis dan bedah spesifik adalah
tanggung jawab dokter. Meskipun tanggung jawab ini didelegasikan kepada perawat
di beberapa institusi dn tidak terdapat hukum yang melarang perawat untuk menjadi
bagian dalam proses pemberian informasi tersebut, praktik tersebut sangat tidak
dianjurkan (Aiken dan Catalano, 1994, hlm. 104).

G. Tujuan Informed Consent

Di Indonesia informed Consent tentu memiliki maksud tujuan diatur terlihat dari arti
pentinganya perlindungan terhadap hak-hak azasi pasien untuk menentukan nasib
sendiri (hak informasi tentang penyakitnya, hak untuk menerima/menolak rencana
perawatan). Juga merupakan suatu tindakan konkrit atas penghormatan kalangan
kesehatan terhadap hak perorangan. mengingat perlu dan pentinya pembatasan
Otorisasi Tenaga kesehatan terhadap pasien juga merupakan hal yang bisa dilepaskan.

Dalam hubungan antara pelaksana (dokter) dengan pengguna jasa tindakan medis
(pasien), maka pelaksanaan “informed consent”, bertujuan : Melindungi pengguna jasa
tindakan medis (pasien) secara hukum dari segala tindakan medis yang dilakukan tanpa
sepengetahuannya, maupun tindakan pelaksana jasa tindakan medis yang sewenang-
wenang, tindakan malpraktek yang bertentangan dengan hak asasi pasien dan standar
profesi medis, serta penyalahgunaan alat canggih yang memerlukan biaya tinggi atau
“over utilization” yang sebenarnya tidak perlu dan tidak ada alasan medisnya;

Memberikan perlindungan hukum terhadap pelaksana tindakan medis dari tuntutan-


tuntutan pihak pasien yang tidak wajar, serta akibat tindakan medis yang tak terduga dan
bersifat negatif, misalnya terhadap “risk of treatment” yang tak mungkin dihindarkan
walaupun dokter telah bertindak hati-hati dan teliti serta sesuai dengan standar profesi
medik. Sepanjang hal itu terjadi dalam batas-batas tertentu, maka tidak dapat
dipersalahkan, kecuali jika melakukan kesalahan besar karena kelalaian (negligence)
atau karena ketidaktahuan (ignorancy) yang sebenarnya tidak akan dilakukan demikian
oleh teman sejawat lainnya.

Perlunya dimintakan informed consent dari pasien karena informed consent


mempunyai beberapa fungsi sebagai berikut :

1. Penghormatan terhadap harkat dan martabat pasien selaku manusia


2. Promosi terhadap hak untuk menentukan nasibnya sendiri
3. Untuk mendorong dokter melakukan kehati-hatian dalam mengobati pasien
4. Menghindari penipuan dan misleading oleh dokter
5. Mendorong diambil keputusan yang lebih rasional
6. Mendorong keterlibatan publik dalam masalah kedokteran dan kesehatan
7. Sebagai suatu proses edukasi masyarakat dalam bidang kedokteran dan kesehatan.

Pada prinsipnya iformed consent deberikan di setiap pengobatan oleh dokter. Akan
tetapi, urgensi dari penerapan prinsip informed consent sangat terasa dalam kasus-kasus
sebagai berikut :

1. dalam kasus-kasus yang menyangkut dengan pembedahan/operasi


2. dalam kasus-kasus yang menyangkut dengan pengobatan yang memakai teknologi
baru yang sepenuhnya belum dpahami efek sampingnya.
3. dalam kasus-kasus yang memakai terapi atau obat yang kemungkinan banyak efek
samping, seperti terapi dengan sinar laser, dll.
4. dalam kasus-kasus penolakan pengobatan oleh klien
5. dalam kasus-kasus di mana di samping mengobati, dokter juga melakukan riset dan
eksperimen dengan berobjekan pasien.

Tujuan dari informed consent adalah agar pasien mendapat informasi yang cukup
untuk dapat mengambil keputusan atas terapi yang akan dilaksanakan. Informed consent
juga berarti mengambil keputusan bersama. Hak pasien untuk menentukan nasibnya
dapat terpenuhi dengan sempurna apabila pasien telah menerima semua informasi yang
ia perlukan sehingga ia dapat mengambil keputusan yang tepat. Kekecualian dapat
dibuat apabila informasi yang diberikan dapat menyebabkan guncangan psikis pada
pasien.

Bidan harus menyadari bahwa informed consent memiliki dasar moral dan etik yang
kuat. Menurut American College of Physicians’ Ethics Manual, pasien harus mendapat
informasi dan mengerti tentang kondisinya sebelum mengambil keputusan. Berbeda
dengan teori terdahulu yang memandang tidak adanya informed consent menurut hukum
penganiayaan, kini hal ini dianggap sebagai kelalaian. Informasi yang diberikan harus
lengkap, tidak hanya berupa jawaban atas pertanyaan pasien.

H. Bentuk-Bentuk Informed Consent

Ada dua bentuk persetujuan tindak medik yang sesuai dengan peraturan berlaku antara
lain:

1. Tersirat ( Implied Consent) dimana persetujuan tindakan medik dianggap telah


diberikan kepada pihak pasien Persetujuan Tersirat ( Implied Consent) Tanpa
pernyataan yang tegas, hanya dengan isyarat yang diterima tenaga kesehatan
berdasarkan sikap dan tindakan pasien. Dalam kondisi normal : umumnya merupakan
tindakan yang sudah diketahui umum/biasa. Dalam kondisi darurat : pasien tak
mungkin diajak komunikasi, keluarga tak ditempat ( Permenkes 585/1989, Pasal 11)
merupakan Presumed consent.
2. Dinyatakan ( Expressed Consent) merupakan persetujuan dinyatakan dengan lisan
atau tulisan. Pada tindakan yang melebihi prosedur yang umum /biasa dilakukan ;
pemeriksaan genital / rectal atau lisan. Tindakan invasif/ berisiko; pembedahan untuk
terapi/diagnosis dengan tertulis

Secara umum bentuk persetujuan yang diberikan pengguna jasa tindakan medis (pasien)
kepada pihak pelaksana jasa tindakan medis (dokter) untuk melakukan tindakan medis
dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu :

1. Persetujuan Tertulis, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang mengandung


resiko besar, sebagaimana ditegaskan dalam PerMenKes No.
585/Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 3 ayat (1) dan SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 butir 3,
yaitu intinya setiap tindakan medis yang mengandung resiko cukup besar,
mengharuskan adanya persetujuan tertulis, setelah sebelumnya pihak pasien
memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis serta resiko
yang berkaitan dengannya (telah terjadi informed consent);
2. Persetujuan Lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang bersifat non-
invasif dan tidak mengandung resiko tinggi, yang diberikan oleh pihak pasien;
3. Persetujuan dengan isyarat, dilakukan pasien melalui isyarat, misalnya pasien yang
akan disuntik atau diperiksa tekanan darahnya, langsung menyodorkan lengannya
sebagai tanda menyetujui tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya.
I. Aspek Hukum Informed Consent

Dalam hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis (dokter, dan
pasien) bertindak sebagai “subyek hukum ” yakni orang yang mempunyai hak dan
kewajiban, sedangkan “jasa tindakan medis” sebagai “obyek hukum” yakni sesuatu yang
bernilai dan bermanfaat bagi orang sebagai subyek hukum, dan akan terjadi perbuatan
hukum yaitu perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum, baik yang dilakukan satu pihak
saja maupun oleh dua pihak.

Dalam masalah “informed consent” dokter sebagai pelaksana jasa tindakan medis,
disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter, juga tetap
tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun perdata, hukum pidana
maupun hukum administrasi, sepanjang hal itu dapat diterapkan.

Pada pelaksanaan tindakan medis, masalah etik dan hukum perdata, tolok ukur yang
digunakan adalah “kesalahan kecil” (culpa levis), sehingga jika terjadi kesalahan kecil
dalam tindakan medis yang merugikan pasien, maka sudah dapat dimintakan
pertanggungjawabannya secara hukum. Hal ini disebabkan pada hukum perdata secara
umum berlaku pada “barang siapa merugikan orang lain harus memberikan ganti rugi”.

Sedangkan pada masalah hukum pidana, tolak ukur yang dipergunakan


adalah “kesalahan berat” (culpa lata). Oleh karena itu, adanya kesalahan kecil (ringan)
pada pelaksanaan tindakan medis belum dapat dipakai sebagai tolak ukur untuk
menjatuhkan sanksi pidana.

Aspek Hukum Perdata, suatu tindakan medis yang dilakukan oleh pelaksana
jasa tindakan medis (dokter) tanpa adanya persetujuan dari pihak pengguna jasa
tindakan medis (pasien), sedangkan pasien dalam keadaan sadar penuh dan mampu
memberikan persetujuan, maka dokter sebagai pelaksana tindakan medis dapat
dipersalahkan dan digugat telah melakukan suatu perbuatan melawan hukum
(onrechtmatige daad) berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(KUHPer). Hal ini karena pasien mempunyai hak atas tubuhnya, sehingga dokter dan
harus menghormatinya;

Aspek Hukum Pidana, “informed consent” mutlak harus dipenuhi dengan


adanya pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penganiayaan.
Suatu tindakan invasive (misalnya pembedahan, tindakan radiology invasive) yang
dilakukan pelaksana jasa tindakan medis tanpa adanya izin dari pihak pasien, maka
pelaksana jasa tindakan medis dapat dituntut telah melakukan tindak pidana
penganiayaan yaitu telah melakukan pelanggaran terhadap Pasal 351 KUHP.

Sebagai salah satu pelaksana jasa tindakan medis dokter harus menyadari
bahwa “informed consent” benar-benar dapat menjamin terlaksananya hubungan hukum
antara pihak pasien dengan dokter, atas dasar saling memenuhi hak dan kewajiban
masing-masing pihak yang seimbang dan dapat dipertanggungjawabkan. Masih banyak
seluk beluk dari informed consent ini sifatnya relative, misalnya tidak mudah untuk
menentukan apakah suatu inforamsi sudah atau belum cukup diberikan oleh dokter. Hal
tersebut sulit untuk ditetapkan secara pasti dan dasar teoritis-yuridisnya juga belum
mantap, sehingga diperlukan pengkajian yang lebih mendalam lagi terhadap masalah
hukum yang berkenaan dengan informed consent ini.

Adanya kewajiban dari pihak pemberi informasi dalam menyampaikan sebuah


persetujuan tindak medik yang akan dilakukan atau setelah dilakukan. Tentunya tenaga
kesehatan harus menyampaikan informasi atau penjelasan kepada pasien/ keluarga
diminta atau tidak diminta. Informasi tersebut: harus dengan jelas yang berkaitan dengan
penyakit pasien ; prosedur diagnostik, tindakan/terapi, alternatif terapi dan pembiayaan
serta resiko yang mungkin timbul dari proses tersebut dan harus dijelaskan selengkap-
lengkapnya, kecuali dipandang merugikan pasien atau pasien menolak untuk diberikan
informasi. Informasi itu juga sewajarnya diberikan oleh tenaga kesehatan yang
melakukan tindakan atau tenaga kesehatan lain yang diberi wewenang, dan bila
dipandang perlu informasi bisa diberikan pada pihak keluarga pasien.

Persetujuan dari pasien dari merupakan hal yang harus sangat diperhatikan,
pasien tepat tidak dibawah tekanan hubungan tenaga – pasien. Sebelum dan
sesudahnya telah mendapatkan informasi lengkap, dan pihak yang membuat persetujuan
adalah mereka pasien dewasa (lebih dari 21 tahun atau sudah menikah ) atau dapat
diwakilkan pihak Keluarga/ Wali/ induk semang.

Syarat sahnya persetujuan tindakan medik yang dilakukan oleh tenaga medis
terhadap pasien, sejatinya pasien diberikan secara bebas, diberikan oleh orang yang
sanggup membuat perjanjian.Telah mendapatkan penjelasan dan memahaminya,
Mengenai susuatu hal yang khas dari persetujuan ini, tindakan dilakukan pada situasi
yang sama.

Tetapi penolakan (informed refusal) bisa juga dilakukan oleh pasien, karena
merupakan hak pasien/ keluarga pasien dan tiada satupun tenaga kesehatan yang bisa
memaksa sekalipun berbahaya bagi pasien maka sebaiknya pihak rumah sakit/ dokter
meminta pasien/ kel menandatangani surat penolakan terhadap anjuran tindakan medik
tersebut di lembaran khusus.

J. Sanksi Hukum terhadap Informed Consent

1. Sanksi pidana

Apabila seorang tenaga kesehatan menorehkan benda tajam tanpa persetujuan


pasien dipersamakan dengan adanya penganiayaan yang dapat dijerat Pasal 351
KUHP.

2. Sanksi perdata

Tenaga kesehatan atau sarana kesehatan yang mengakibatkan kerugian dapat


digugat dengan 1365, 1367, 1370, 1371 KUHPer

3. Sanksi administratif

Pasal 13 Pertindik mengatur bahwa :

Terhadap Bidan/Dokter yang melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien


atau keluarganya dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan izin
praktik.
BAB III
STUDY KASUS
A. KASUS
Seorang ibu PP masuk kamar bersalin dalam keadaan inpartu. S Sewaktu dilakukan
anamnesa dia mengatakan tidak mau di episiotomi. Sekarang ini pasen tersebut
berada dalam kala II dan kala II yang berlangsung agak lambat, tetapi ada kemajuan.
Perineum masih kaku dan tebal. Keadaan ini dijelaskan kepada ibu oleh bidan, tetapi
ibu tetap pada pendiriannya. Sementara waktu berjalan terus dan bjj mulai
menunjukkan keadaan yang tidak stabil/fetal distress dan ini mengharuskan bidan
untuk mempertimbangkan melakukan episiotomi, tetapi ibu tersebut tidak
menggubrisnya. Bidan berharap bayinya selamat. Sementara itu ada bidan yang
memberitahukan bahwa dia pernah melakukan hal ini tanpa persetujuan pasen untuk
melindungi bayinya. Jika bidan melakukan episiotomi tanpa persetujuan pasen,
maka bidan akan dihadapkan kepada sederetan tuntutan.

B. ANALISIS KASUS

Bidan ingin melakukan tindakan Episiotomi

Ibu tidak ingin dilakukan tindakan Episiotomi

Dalam kala II Parineum masih kaku dan tebal

Djj mulai menunjukan keadaan tidak stabil/fetal distress

C. PENYELESAIAN

Bidan tidak melakukan tindakan Episiotomi. Karna kalau bidan tetap melakukan berarti
bidan dapat dianggap melanggar hak pasien. Tetapi disini bidan harus menunjukkan
pernyataan penolakan tindakan (Informed Consent) untuk ditandatangani oleh pasien
agar bidan tidak digugat suatu saat nantibila terjadi komplikasi.
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan

Episiotomi adalah insisi dari perineum untuk memudahkan persalinan dan


mencegah ruptur perineum totalis. Pada masa lalu dianjurkan untuk melakukan
episiotomi secara rutin yang tujuannya untuk mencegah ruptur yang secara
berlebihan pada perineum, membuat tepi luka rata agar memudahkan penjahitan,
mencegah penyulit atau tahanan pada kepala dan infeksi, tetapi hal itu tidak didukung
oleh bukti-bukti ilmiah yang cukup.

Sebaliknya, hal ini tidak boleh diartikan bahwa episiotomi tidak diperbolehkan, karena
ada indikasi tertentu untuk dilakukan episiotomi . para penolong persalinan harus
cermat membaca kata rutin pada episiotomi karena hal itulah yang dianjurkan, bukan
episiotominya.

Tujuan episiotomi adalah supaya tidak terjadi robekan perineum yang tidak teratur
dan robekan pada muskulus sfinter ani ( ruptura perineum totalis ) yang tidak bisa
dijahit dan dirawat dengan baik jikaa terjaadi aakan mengakibatkan beser berak
( inkontinensia alvi ).

Dalam melaksanakan episotomi, berikan anestesi lokal secara dini agar obat tersebut
mempunyai tepat waktu untuk memberikan efek sebelum dilakukan episotomi. Pada
episiotomi diberikan anastesi karena tindakaan ini menimbulkan rasa sakit dan
memberikaansatesi lokal merupakaan asuhan sayang ibu.

A. Saran

Karena episotomi adalah tindakan yang menyebabkan kesakitan pada ibu, maka
kita sebagai seorang bidan tidak boleh melakukan episiotomi tanpa adanya indikasi
yang mendukung.

Penulis berharap setelah mambaca makalah ini Bidan tidak lagi menganggap
bahwa episotomi merupakan kegiatan yang rutin dilakukan pada ibu bersalin, tetapi
Bidan melakukan episotomi atas adanya indikasi.
DAFTAR PUSTAKA

Sulistiyawati, Ari. 2010. Asuhan Kebidanan Pada Ibu Bersalin. Salemba Medika. Jakarta

Rohani. Dan Reni Saswita. 2011. Asuhan Kebidanan Pada Masa Persalinan. Salemba
Medika. Jakarta

JNPK-KR. 2012. Asuhan Persalinan Normal Dan Inisiasi Menyusu Dini. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai