Segala puji bagi Allah SWT, berkat ridho-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“Titrasi Redoks”.
Dalam menyusun makalah ini, terdapat hambatan yang penulis alami, namun berkat dukungan,
dorongan dan semangat sehingga penulis mampu menyelesaikan makalah ini. Oleh karena itu
penulis tidak lupa pada kesempatan ini mengaturkan terima kasih kepada Bapak Arif Santoso,
S.Farm.,Apt selaku dosen pembimbing.
Kami menyadari bahwa terdapat banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca.
Semoga makalah “Titrasi Redoks” ini bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan penulis pada
khususnya.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................................... i
KATA PENGANTAR........................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
BAB II ISI
3.1 Kesimpulan.............................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam melakukan percobaan di laboratorium kimia, kita tidak akan terlepas dari analisis, baik itu
kualitatif ataupun kuantitatif. Kedua analisis ini akan selalu beriringan. Setelah kita mengidentifikasi
suatu zat melalui analisis kualitatif, langkah selanjutnya adalah menentukan banyaknya jumlah zat
yang terdapat dalam sampel tersebut yang biasa kita kenal dengan analisis kuantitatif. Dalam analisis
kuantitatif, kita beberapa metode dan salah satunya yaitu metode titrimetri.
Metode titrimetri yang dikenal juga sebagai metode volumetri merupakan cara analisis kuantitatif
yang didasarkan pada prinsip stoikiometri reaksi kimia. Dalam setiap metode titrimetri selalu terjadi
reaksi kimia antara komponen analit dengan zat pendeteksi yang disebut titran.
Istilah titrasi untuk penambahan titran ke dalam analit didasarkan pada proses pengukuran volume
titran untuk mencapai titik ekivalen. Istilah metode titrimetri lebih cocok diterapkan untuk analisis
kuantitatif dibandingkan metode volumetri, sebab pengukuran volume tidak selalu berkaitan dengan
titrasi.
Jenis metode titrasi didasarkan pada jenis reaksi kimia yang terlibat dalam proses titrasi.
Berdasarkan jenis reaksinya, maka metode titrimetri dapat dibagi menjadi empat golongan, yaitu;
asidi-alkalimetri, oksidimetri, kompleksometri, dan titrasi pengendapan. Namun dalam makalah ini
kita hanya akan membahas tentang titrasi oksidimetri (redoks) secara khusus.
1.3 TUJUAN
1.4 MANFAAT
.
BAB II
ISI
Titrasi redoks adalah metode penentuan kuantitatif yang reaksi utamanya adalah reaksi redoks,
reaksi ini hanya dapat berlangsung kalau terjadi interaksi dari senyawa/unsure/ion yang bersifat
oksidator dengan unsure/senyawa/ion bersifat reduktor. Jadi kalau larutan bakunya oksidator, maka
analit harus bersifat reduktor atau sebaliknya (Hamdani, S: 2011).
Titrasi ini didasarkan pada reaksi oksidasi-reduksi antara analit dan titran. Analit yang mengandung
spesi reduktor dititrasi dengan titran berupa larutan standar dari oksidator atau sebaliknya. Berbagai
reaksi redoks data digunakan sebagai dasar reaksi oksidimetri, misalnya penetapan ion besi(II), Fe2+
dalam analit dengan menggunakan titran larutan standar cesium(IV), Ce4+ yang mengikuti
persamaan reaksi
Titrasi redoks banyak dipergunakan untuk penentuan kadar logam atau senyawa yang bersifat
sebagai oksidator atau reduktor. Sepertinya akan menjadi tidak mungkin bisa mengaplikasikan titrasi
redoks tanpa melakukan penyetaraan reaksinya dulu. Selain itu pengetahuan tentang perhitungan
sel volta, sifat oksidator dan reduktor juga sangat berperan. Dengan pengetahuan yang cukup baik
mengenai semua itu maka perhitungan stoikiometri titrasi redoks menjadi jauh lebih mudah. Perlu
diingat dari penyetaraan reaksi kita akan mendapatkan harga equivalen tiap senyawa untuk
perhitungan (Hamdani, S: 2011).
Titik akhir titrasi dalam titrasi redoks dapat dilakukan dengan membuat kurva titrasi antara potensial
larutan dengan volume titrant (potensiomteri), atau dapat juga menggunakan indicator. Dengan
memandang tingkat kemudahan dan efisiensi maka titrasi redoks dengan indicator sering kali yang
banyak dipilih. Beberapa titrasi redoks menggunakan warna titrant sebagai indicator contohnya
penentuan oksalat dengan permanganate, atau penentuan alkohol dengan kalium dikromat
(Hamdani, S: 2011).
Reaksi redoks secara luas digunakan dalam analisa titrimetri baik untuk zat anorganik maupun
organik. Reaksi redoks dapat diikuti dengan perubahan potensial, sehingga reaksi redoks dapat
menggunakan perubahan potensial untuk mengamati titik akhir satu titrasi. Selain itu cara
sederhana juga dapat dilakukan dengan menggunakan indicator (Hamdani, S: 2011).
Semula istilah “oksidasi” diterapkan pada reaksi suatu senyawa yang bergabung dengan oksigen dan
istilah “reduksi” digunakan untuk menggambarkan reaksi dimana oksigen diambil dari suatu
senyawa. Suatu reaksi redoks dapat terjadi apabila suatu pengoksidasian bercampur dengan zat
yang dapat tereduksi. Dari percobaan masing-masing dapat ditentukan pereaksi dan hasil reaksi
serta koefisiennya masing-masing (Syukri, 1999).
Reduksi–oksidasi adalah proses perpindahan elektron dari suatu oksidator ke reduktor. Reaksi
reduksi adalah reaksi penangkapan elektron atau reaksi terjadinya penurunan bilangan oksidasi.
Sedangkan reaksi oksidasi adalah pelepasan elektron atau reaksi terjadinya kenaikan bilangan
oksidasi. Jadi, reaksi redoks adalah reaksi penerimaan elektron dan pelepasan elektron atau reaksi
penurunan dan kenaikan bilangan oksidasi. Reaksi redoks secara umum dapat dituliskan sebagai
berikut :
Artinya logam Ni dioksidasi menjadi Ni2+ dan Cu2+ di reduksi menjadi logam Cu.Demikian pula
peristiwa redoks tersebut terjadi pada logam lain seperti besi. Sepotong besi yang tertutup lapisan
air yang mengandung oksigen akan mengalami korosi (Arsyad, 2001)
(http://annisanfushie.wordpress.com/2008/12/07/titrasi-redoks)
Titrasi redoks melibatkan reaksi oksidasi dan reduksi antara titrant dan analit.Titrasi redoks banyak
dipergunakan untuk penentuan kadar logam atau senyawa yang bersifat sebagai oksidator atau
reduktor. Aplikasi dalam bidang industri misalnya penentuan sulfite dalam minuman anggur dengan
menggunakan iodine, atau penentuan kadar alkohol dengan menggunakan kalium dikromat.
Beberapa contoh yang lain adalah penentuan asam oksalat dengan menggunakan permanganate,
penentuan besi(II) dengan serium(IV), dan sebagainya.
Titik akhir titrasi dalam titrasi redoks dapat dilakukan dengan mebuat kurva titrasi antara potensial
larutan dengan volume titrant, atau dapat juga menggunakan indicator. Dengan memandang tingkat
kemudahan dan efisiensi maka titrasi redoks dengan indicator sering kali yang banyak dipilih.
Beberapa titrasi redoks menggunakan warna titrant sebagai indicator contohnya penentuan oksalat
dengan permanganate, atau penentuan alkohol dengan kalium dikromat.
Beberapa titrasi redoks menggunakan amilum sebagai indicator, khususnya titrasi redoks yang
melibatkan iodine. Indikator yang lain yang bersifat reduktor/oksidator lemah juga sering dipakai
untuk titrasi redoks jika kedua indicator diatas tidak dapat diaplikasikan, misalnya ferroin, metilen,
blue, dan nitroferoin.
Berdasarkan jenis oksidator atau reduktor yang dipergunakan dalam titrasi redoks, maka dikenal
beberapa jenis titrimetri redoks seperti iodometri, iodimetri dan permanganometri.
4. Serimetri
Larutan serium IV sulfat dalam asam sulfat encer merupakan zat pengoksidasi yang kuat dan
lebih stabil daripada larutan kalium permanganat, dengan suatu syarat bahwa asam sulfat cukup
mampu menghindari hidrolisis dan pengendapan garam basanya.kalau larutan kalium permanganate
dapat direduksi menjadi beberapa macam keadaan hasil reduksi, maka reduksi larutan serium (IV)
sulfat selalu menghasilkan ion serium (III), menurut reaksi :
Ce4+ e- à Ce3+
Keuntungan Serimetri :
1. Larutan serium (IV) sulfat sangat stabil pada penyimpanan yang lama dan tidak perlu terlindung
dari cahaya, seperti kalium permanganate. Bahkan pada pendidihan yang terlalu lamatidak
mengalamiperubahan konsentrasi.
2. Larutan serium (IV) sulfat dapat digunakan untuk menetapkan kadar larutan yang mengandung
klorida yang konsentrasinya tinggi.
3. Reaksi ion serium (IV) dengan reduktor dalam larutan asam memberikan perubahan valensi yng
sederhana (valensi 1).
Ce4+ e- à Ce3+
Sehingga berat ekivalennya adalah sama dengan berat molekulnya, sedangkan pada permanganate
karena hasil reduksinya bermacam-macam, maka brat ekivalennya tergantung pada kondisi
percobaannya.
4. Larutan serium (IV) sulfat merupakan pengoksidasi (oksidator) yang baik sehingga semua
senyawa yang dapat ditetapkan dengan kalium permanganate dapat ditetapkan dengan serium (IV)
sulfat bahkan dengan reduktor yang lain
5. Larutan serium (IV) sulfat kurang berwarna sehingga tidak mengkaburkan pemngamatan titik
akhir indicator. Penggunaan indicator ion fero-fenantrolin (ferroin) sangat memuaskan pada titrasi
dengan larutan baku serium (IV) sulfat.
Beberapa senyawa yang ditetapkan kadarnya secara serimetri dalam Farmakope Indonesia
Edisi IV adalah : besi (II) fumarat, besi (II) glukonat, besi (II) sulfat, hidrokuinon, vitamin K
(menadion), vitamin E (tokoferol) bebas.
Larutan serium (IV) sulfat dalam asam klorida pada suhu didih tidak stabil karena terjadi reduksi oleh
asam dan terjadi pelepasan klorin (Zulfikar, 2010).
5. Nitrimetri
Reaksi ini tidak stabil dalam suhu kamar, karena garam diazonium yang terbentu mudah
tergedradasi membentuk senyawa fenol dan gas nitrogen. Sehingga reaksi dilakukan pada suhu
dibawah 15oC. Reaksi diazotasi dapat dipercepat dengan panambahan garam kalium bromida.
Reaksi dilakukan dibawah 15 oC, sebab pada suhu yang lebih tinggi garam diazonium akan
terurai menjadi fenol dan nitrogen. Reaksi diazonasi dapat dipercepat dengan menambahkan kalium
bromida.
Titik ekivalensi atau titik akhir titrasi ditunjukan oleh perubahan warna dari pasta kanji iodide atau
kertas iodida sebagai indicator luar.
Kelebihan asam nitrit terjadi karena senyawa fenil sudah bereaksi seluruhnya, kelebihan ini
dapat berekasi dengan yodida yang ada dalam pasta kanji atas kertas, reaksi ini akan mengubah
yodida menjadi iodine diikuti dengan perubahan warna menjadi biru. Kejadian ini dapat ditunjukkan
setelah larutan didiamkan selama beberapa menit. Reaksi perubahan warna yang dijadikan infikator
dalam titrasi ini adalah :
KI +HCl → KCl + HI
2 HI + 2 HONO → I2 + 2 NO + H2O
Penetapan titik akhir dapat juga ditunjukkan dengan campuran tropiolin dan metilen blue
sebagai indikator dalam larutan. Titik akhir titrasi juga dapat ditentukan dengan teknik potensiometri
menggunakan platina sebagai indikator elektroda dan saturated calomel elektroda sebagai elektroda
acuan (Zulfikar, 2010).
Bromatometri merupakan salah satu metode oksidimetri dengandasar reaksi oksidasi dari ion
bromat ( BrO3 ).
BrO3 + 6 H + 6 e à Br + 3 H2O
Dari persamaan reaksi ini ternyata bahwa satu gram ekuivalen sama dengan 1/6 gram molekul.
Disini dibutuhkan lingkungan asam karena kepekatan ion H+ berpengharuh terhadap perubahan ion
bromat menjadi ion bromida.
Oksidasi potensiometri yang relatif tinggi dari sistem menunjukkan bahwa kalium bromat adalah
oksidator yang kuat. Hanya saja kecepatan reaksinya tidak cukup tinggi. Untuk menaikkan kecepatan
ini titrasi dilakukan dalam keadaan panas dan dalam lingkungan asam kuat.
Seperti yang terlihat dari reaksi di atas, ion bromat direduksi menjadi ion bromide selama
titrasi. Adanya sedikit kelebihan kalium bromat dalam larutan akan menyebabkan ion bromide
bereaksi dengan ion bromat
BrO3 + 6 H + 5 Br à 3Br2 + 3 H
Bromine yang dilepaskan akan merubah larutan menjadi warna kuningpucat. Warna ini sangat
lemah sehingga tidak mudah untuk menetapkan titik akhir. Bromine yang dilepaskan tidak stabil
karena mempunyai tekanan uap yang tinggi dan mudah menguap. Karena itu penetapan harus
dilakukan pada suhu serendah mungkin, serta labu yang dipakai harus ditutup.
Jika reaksi antara senyawa reduktor dan bromine dalam lingkungan asam berjalam cepat,
maka titrasi dapat dijalankan langsung, dimana titik akhir titrasi ditunjukkan denghan munculnya
warna bromine dalam larutan.Tetapi jika reaksi antara bromine dan zat yang akan ditetapkan
berjalan lambat, maka dilakukan titrasi secara tidak langsung, yaitu dengan menambahkan bromine
yang berlebih dan bromine yang berlebih ini ditetapkan secara iodometri dengan dititrasi dengan
natrium tiosulfat baku.(3). Dengan terbentunya brom, titik akhir titrasi dapat ditentukandengan
terjadinya warna kuning dari brom, akan tetapi supaya warna inimenjadi jelas maka perlu ditambah
indicator seperti jingga metal, merah fiuchsin, dan lain-lain (Zulfikar, 2010).
2.3 Prinsip Reaksi Titrasi Redoks
Reaksi oksidasi reduksi atau reaksi redoks adalah reaksi yang melibatkan penangkapan dan
pelepasan elektron. Dalam setiap reaksi redoks, jumlah elektron yang dilepaskan oleh reduktor
harus sama dengan jumlah elektron yang ditangkap oleh oksidator. Ada dua cara untuk
menyetarakan persamaan reaksi redoks yaitu metode bilangan oksidasi dan metode setengah reaksi
(metode ion elektron). Hubungan reaksi redoks dan perubahan energi adalah sebagai berikut: Reaksi
redoks melibatkan perpindahan elektron; Arus listrik adalah perpindahan elektron; Reaksi redoks
dapat menghasilkan arus listrik, contoh: sel galvani; Arus listrik dapat menghasilkan reaksi redoks,
contoh sel elektrolisis. Sel galvani dan sel elektrolisis adalah sel elektrokimia.
Persamaan elektrokimia yang berguna dalam perhitungan potensial sel adalah persamaan
Nernst. Reaksi redoks dapat digunakan dalam analisis volumetri bila memenuhi syarat. Titrasi redoks
adalah titrasi suatu larutan standar oksidator dengan suatu reduktor atau sebaliknya, dasarnya
adalah reaksi oksidasi-reduksi antara analit dengan titran (Steven, 2012).
Faktor–faktor yang mempengaruhi pembentukan lapisan oksidasi reduksi yaitu sebagai berikut:
(1) adanya faktor pencucian dari lapisan di dalam tanah yang menyebabkan tanah membentuk
lapisan oksidasi dan lapisan reduksi.
(2) adanya zat-zat protein yang berhubungan langsung oleh mikroorganisme yang sangat berperan
penting dalam proses oksidasi reduksi dalam tanah.
Beberapa faktor yang mempengaruhi kecepatan reaksi antara lain konsentrasi, sifat zat yang
bereaksi, suhu dan katalisator.
a. Konsentrasi
Dari berbagai percobaan menunjukkan bahwa makin besar konsentrasi zat-zat yang bereaksi makin
cepat reaksinya berlangsung. Makin besar konsentrasi makin banyak zat-zat yang bereaksi sehingga
makinbesar kemungkinan terjadinya tumbukan dengan demikian makin besar pula kemungkinan
terjadinya reaksi.
Sifat mudah sukarnya suatu zat bereaksi akan menentukan kecepatan berlangsungnya reaksi. Secara
umum dinyatakan bahwa:
Hal ini disebabkan oleh adanya gaya tarik menarik antara ion-ion yang muatannya berlawanan.
Contoh:
Reaksi ini berjalan lambat reaksinya dapat dipercepat apabila diberi energi misalnya cahaya
matahari.
c. Suhu
Pada umumnya reaksi akan berlangsung lebih cepat bila suhu dinaikkan. Dengan menaikkan suhu
maka energi kinetik molekul-molekul zat yang bereaksi akan bertambah sehingga akan lebih banyak
molekul yang memiliki energi sama atau lebih besar dari Ea. Dengan demikian lebih banyak molekul
yang dapat mencapai keadaan transisi atau dengan kata lain kecepatan reaksi menjadi lebih besar.
d. Katalisator
Katalisator adalah zat yang ditambahkan ke dalam suatu reaksi dengan maksud memperbesar
kecepatan reaksi. Katalis terkadang ikut terlibat dalam reaksi tetapi tidak mengalami perubahan
kimiawi yang permanen, dengan kata lain pada akhir reaksi katalis akan dijumpai kembali dalam
bentuk dan jumlah yang sama seperti sebelum reaksi. Fungsi katalis adalah memperbesar kecepatan
reaksinya (mempercepat reaksi) dengan jalanmemperkecil energi pengaktifan suatu reaksi dan
dibentuknya tahap-tahap reaksi yang baru. Dengan menurunnya energi pengaktifan maka pada suhu
yang sama reaksi dapat berlangsung lebih cepat
Indikator Redoks adalah indikator yang berubah warnanya karena terjadi reaksi reduksi-
oksidasi (redoks). Disini indikator memperlihatkan warna teroksidasi dan warna tereduksi. Dalam
titrasi redoks ada 3 jenis indikator:
Indikator oksidasi - reduksi yang sebenarnya yang tidak tergantung dari salah satu zat, tetapi
hanya pada perubahan potensial larutan selama titrasi. Indikator ini dapat dioksidasi dan direduksi
secara reversibel (bolak-balik).
Tidak semua indikator redoks dapat dipakai untuk sembarang titrasi redoks. Pemilihan indikator
yang cocok ditentukan oleh kekuatan oksidasi titrat dan titrant, dengan perkataan lain, potensial titik
ekivalen titrasi tersebut. Bila potensial peralihan indikator tergantung dari pH, maka juga harus
diusahakan agar pH tidak berubah selama titrasi berlangsung.
Untuk titrasi dengan Ce4+ dapat dipakai Ferroin; sedangkan untuk titrasi dengan Cr2O7 = Ferroin
tidak cocok karena potensial perubahan ferroin terlalu tinggi dibandingkan dengan potensial TE.
Maka dipakai difenilamin atau difenilamin sulfonat. Sebenarnya kedua indikator ini kebalikan dari
ferroin dalam arti potensial peralihannya terlalu rendah. Namun dengan asam fosfat 3 M kesulitan
ini teratasi karena potensial TE diturunkan sehingga sesuai untuk penggunaan difenilamin atau
garam sulfonatnya. Penurunan potensial terjadi karena asam fosfat (H3PO4) mengkompleks Fe3+
tetapi tidak mengkompleks Fe2+, sehingga konsentrasi Fe3+ bebas selalu rendah. Berikut Beberapa
Contoh – contoh Indikator Redoks yang sering digunakan :
1. Kompleks Fe ( II ) – ortofenentrolin
Suatu golongan senyawa organik yang dikenal dengan nama 1,10 fenantrolin ( Ortofenantrolin ) yang
membentuk kompleks yang stabil dengan Fe ( II ) dan ion-ion lain melalui kedua atom N pada
struktur induknya. Sebuah ion Fe2+ berikatan dengan tiga buah molekul fenantrolin dan membentuk
kelat dengan struktur.
Kompleks ini terkadang disebut FERROIN dan ditulis (Ph)3Fe2+ agar sederhana. Besi yang terikat
dalam ferroin itu mengalami oksidasi reduksi secara reversible.
Walaupun kompleks (Ph)3 Fe2+ berwarna biru muda, dalam kenyataannya, warna dalam titrasi
berubah dari hampir tak berwarna menjadi merah. Karena kedua warna berbeda intensitas, maka
titik akhir dianggap tercapai pada saat baru 10 % dari indikator berbentuk (Ph)3Fe2+. Oleh sebab itu
maka potensial peralihannya kira – kira 1,11 Volt dalam larutan H2SO4 1 M.
Diantara semua indikator redoks, Ferroin paling mendekati bahan yang ideal. Perubahan warnanya
sangat tajam, larutannya mudah dibuat dan sangat stabil. Bentuk teroksidasinya amat tahan
terhadap oksidator kuat. Reaksinya cepat dan reversibel. Diatas 60 oC, Ferroin terurai.
Ditemukan pertama kali dan penggunaannya dianjurkan oleh Knop pada tahun 1924 untuk titrasi
Fe2+ dengan kalium bikhromat.
Reaksi pertama membentuk difenilbenzidine yang tak berwarna; reaksi ini tidak reversibel. Yang
kedua membentuk violet difenilbenzidine, reversibel dan merupakan reaksi indikator yang
sebenarnya.
Potensial reduksi reaksi kedua kira – kira 0.76 volt. Walaupun ion H+ tampak terlibat, ternyata
perubahan keasaman hanya berpengaruh kecil atas potensial ini, mungkin karena asosiasi ion
tersebut denga hasil yang berwarna itu.
Kekurangan difenilamain antara lain ialah indikator ini harus dilarutkan dalam asam sulfat pekat
karena sulit larut dalam air. Hasil oksidasi ini membentuk endapan dengan ion Wolfram sehingga
dalam Analisa , ion tersebut tidak dapat dipakai. Akhirnya ion merkuri memperlambat reaksi
indikator ini.
Derivat difenilamin yaitu Asam Difenilamin Sulfonat, tidak mempunyai kelemahan – kelemahan
diatas :
Garam Barium atau Natrium dari asam ini dapat digunakan untuk membuat larutan indikator dalam
air dan sifatnya serupa dengan induknya. Perubahan warna sedikit lebih tajam, dari tak berwarna ,
melalui hijau menjadi violet. Potensial peralihannya 0.8 volt dan juga tak tergantung dari konsentrasi
asam. Asam sulfonat derivat ini sekarang banyak digunakan dalam titrasi redoks.
Indikator yang berubah warnanya karena oksidasi dari oksidator dan sifatnya tidak dapat
berubah kembali seperti semula.
Indikator ini digunakan pada titrasi Bromatometri. Contoh yang sering digunakan adalah
Methyl Red (MR) dan Methyl Orange (MO).
Reaksi yang terjadi berupa oksidasi dari indikator MR atau MO menjadi senyawa yang tidak
berwarna oleh Brom bebas (Br2).
Indikator khusus yang bereaksi dengan salah satu komponen yang bereaksi, Contoh indikator
yang paling kita kenal ialah Amilum, yang membentuk kompleks biru tua dengan ion triIodida.
Indikator yang sebenarnya jauh lebih luas penerapannya karena hanya tergantung dari perubahan
potensial larutan . Sudah dikemukakan bahwa indikator tersebut sebenarnya juga dapat dioksidasi –
reduksi dan mempunyai warna yang berbeda dalam bentuk tereduksi.
Indikator ini dipakai pada Iodometri dan Iodimetri, indikator yang biasa digunakan adanya
Amylum dan Chloroform. Pemakaian indikator ini tidak terpengaruh oleh naik turunnya bilangan
oksidasi atau potensial larutan, melainkan berdasarkan pembentukan kompleks dengan iodium.
1. Amylum
Penggunaan Indikator ini berdasarkan pembentukan kompleks Iod-Amylum yang larut dengan
Iodium (I2) yang berwarna biru cerah. Mekanisme pewarnaan biru ini karena terbentuknya suatu
senyawa dala dari amilum dan atom iod. Fraksi Amilosa-amilum mempunyai bentuk helikal dan
dengan itu membentuk celah berbentuk saluran. Dalam saluran itu terdapat suatu rantai iod linear,
Warna biru disebabkan oleh ketujuh elektron luar atom Iod yang mudah bergerak.
Setelah penambahan titrant Tiosulfat maka kompleks ini dipecah dan bila konsentrasi Iod habis
maka warna biru tadi akan hilang. Penambahan indikator amylum sebaiknya menjelang titik akhir
titrasi karena kompleks iod-amilum yang terbentuk sukar dipecah pada titik akhir titrasi sehingga
penggunaan Tiosulfat kelebihan berakibat terjadi kesalahan titrasi. Bila Iod masih banyak sekali
bahkan dapat menguraikan amilum dan hasil penguraian ini mengganggu perubahan warna pada
titik akhir titrasi.
2.Chloroform
Penggunaan indikator ini untuk titrasi Iodometri, berdasarkan fungsi Chloroform sebagai pelarut
organik yang melarutkan iodium dalam fase organik (fase nonpolar). Melarutnya Iodium dalam
Chloroform memberi warna violet. Hal ini patut dipahami karena Iodium sukar larut dalam air, larut
hanya sekitar 0,0013 mol perliter pada suhu 25O C. Tetapi sangat mudah larut dalam larutan KI
karena membentuk Ion TriIodida (I3-)dan dalam Chloroform.
Setelah penambahan titrant Tiosulfat maka Iodium akan diubah menjadi Iodida dan bila konsentrasi
iod habis maka warna violet tadi akan hilang
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
Underwood, A.L., day, RA., (1993), “Analisa Kimia Kuantitatif”, Edisi V, Alih Bahasa : R. Soedonro,
Erlangga, Surabaya.
Roth, J., Blaschke, G., (1988), “Analisa Farmasi”, UGM Press, Yogyakarta.
Dirjen POM, (1979), “Farmakope Indonesia”, edisi III, Departemen Kesehatan RI., Jakarta.
Dirjen POM, (1995), “Farmakope Indonesia”, edisi IV, Depatemen Kesehatan RI., Jakarta.