Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

CT Scan merupakan perpaduan antara teknologi Sinar-X, komputer

dan televisi sehingga mampu menampilkan gambar anatomi tubuh manusia

dalam bentuk irisan. Prinsip kerja CT scan menggunakan Sinar-X sebagai

sumber radiasi. Sinar- X berasal dari tabung yang terletak berhadapan dengan

sejumlah detektor, dimana keduanya bergerak secara sinkron memutari

pasien sebagai objek yang ditempatkan. Pemeriksaan CT scan merupakan

cara terbaik untuk memperlihatkan sifat dan sumber masalah pada komplikasi

sinus paranasal (Rasad, 2005).

Sinus paranasal adalah rongga berisi udara yang dilapisi oleh

membran mukosa yang berada di sekitar rongga hidung. Sinus paranasal

dibagi menjadi empat kelompok menurut letak tulang, yaitu sinus frontal, sinus

maksila, sinus ethmoid dan sinus sphenoid. Sinus maksila termasuk bagian

dari tulang wajah sedangkan sinus frontal, sinus ethmoid dan sinus sphenoid

dimasukkan ke dalam golongan tulang cranium (Bontrager, 2010).

Irisan axial merupakan standar pemeriksaan yang baik dilakukan dalam

bidang inferior orbito meatal (IOM), pemeriksaan sinus paranasal pada irisan

axial dilakukan dengan irisan setebal 5 mm, dimulai dari sinus maksilaris

sampai sinus frontalis, pemeriksaan ini dapat menganalisis perluasan penyakit

dari gigi-geligi dan sinus palatum. Irisan melalui bidang IOM dapat menyajikan

anatomi paranasalis dengan baik dan gampang dibandingkan dengan irisan

1
2

standar cross section (Malueka, 2006). Pada pemeriksaan CT Scan sinus

paranasal gambaran sinus paranasal bagus ditampakkan dalam irisan coronal

tetapi kadang juga dibuat irisan axial (Neseth, 2000).

Gambar CT scan yang baik tergantung pada kualitas gambar yang di

hasilkan, sehingga aspek klinis dari gambar tersebut dapat dimanfaatkan

untuk menegakan diagnosa. Kualitas gambar pada CT scan dinilai dari

berbagai komponen dan masing-masing dipengaruhi oleh beberapa teknik

parameter, komponen yang mempengaruhi kualitas gambar pada CT scan

antara lain spasial resolusi, kontras resolusi, image noise, dan artefak

(Seeram, 2009). Kualitas gambar yang baik berpengaruh terhadap informasi

anatomi pada suatu gambar radiograf, sedangkan parameter yang terdapat

didalamnya meliputi faktor eksposi, pitch, slice thicness, matrik, gray scal,

enhansmen, zoomming, window widht, window level dan filter (Amarudin,

2007).

Kontras resolusi adalah kemampuan untuk membedakan atau

menampakkan obyek-obyek dengan perbedaan densitas yang sangat kecil

dan dipengaruhi oleh faktor eksposi, slice thickness, FOV dan filter/kernel

(Rekonstruksi algorithma). Spasial resolusi adalah kemampuan untuk

membedakan objek berukuran kecil dengan densitas yang berbeda pada latar

belakang sama (Seeram, 2009).

Rekonstruksi algorithma adalah prosedur matematis yang digunakan

dalam merekonstruksi gambar. Hasil dan karakteristik dari gambar CT Scan

tergantung pada kuatnya algorithma yang dipilih. Semakin tinggi rekontruksi


3

algorithma yang dipilih maka semakin tinggi resolusi gambar yang dihasilkan.

Dengan adanya metode ini maka gambaran seperti tulang, soft tissue, dan

jaringan-jaringan lain dapat dibedakan dengan jelas di layar monitor, filter

resolusi tinggi yaitu mampu memperjelas tepian atau ujung-ujung gambar akan

menghasilkan image yang lebih bagus, tetapi level noisenya akan lebih tinggi.

Sebaliknya, filter smooth yang memiliki level noise rendah tetapi tepian dan

ujung gambar menjadi kurang jelas. Sebagian besar CT Scan sudah memiliki

algorithma standar untuk pemeriksaan kepala, abdomen dan Iain-lain. Maka

dari itu, metode rutin yang direkomendasikan untuk pemeriksaan CT scan

menggunakan algorithma standard (Seeram, 2009).

Algorithma standard menyediakan kontras resolusi yang baik oleh

sebab itu algorithma ini menjadi pilihan untuk pemeriksaan brain. Selain itu

juga berguna untuk soft tissue pada kepala, wajah, dan tulang belakang

(Seeram, 2009).

Algorithma bone membantu meningkatkan spatial resolusi tetapi

menghasilkan kontras resolusi yang buruk. Jenis algorithma ini hanya

digunakan pada area dengan perbedaan densitas jaringan yang tinggi seperti

sinus paranasal atau tulang temporal (Seeram, 2009). Untuk memperlihatkan

tulang dan tepian dengan jelas dapat menggunakan algorithma bone plus

(Generel Elektrik, 2014).

Di Instalasi Radiologi RSUD Sunan Kalijaga Kabupaten Demak, pada

pemeriksaan sinus paranasal rekontruksi algorithma yang digunakan

algorithma standard. Sedangkan Seeram (2009), menyebutkan bahwa


4

algorithma standard baik digunakan untuk pemeriksaan brain, algorithma bone

plus digunakan pada area dengan densitas jaringan yang tinggi seperti sinus

paranasal atau tulang temporal.

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan

penelitian sejauh mana manfaat penggunaan antara algorithma standard dan

algorithma bone plus ke dalam karya tulis Ilmiah dengan judul “PERBEDAAN

INFOMASI ANATOMI ANTARA REKONSTRUKSI ALGORITHMA STANDARD

DENGAN ALGORITHMA BONE PLUS PADA PEMERIKSAAN MSCT SINUS

PARANASAL “.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas penulis merumuskan masalah penelitian

yaitu:

1. Apakah ada perbedaan infomasi anatomi antara rekonstruksi algorithma

standard dengan algorithma bone plus pada pemeriksaan MSCT sinus

paranasal?

2. Manakah rekonstruksi algorithma yang memberikan informasi anatomi lebih

baik antara penggunaan algorithma standard dan algorithma bone plus

pada pemeriksaan MSCT sinus paranasal?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian dan penyusunan karya tulis ilmiah ini adalah:
5

1. Untuk mengetahui perbedaan infomasi anatomi antara rekonstruksi

algorithma standard dengan algorithma bone plus pada pemeriksaan MSCT

sinus paranasal.

2. Untuk mengetahui rekonstruksi algorithma yang dapat memberikan

informasi anatomi lebih baik antara penggunaan algorithma standard dan

algorithma bone plus pada pemeriksaan MSCT sinus paranasal.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian yang diharapkan dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini

sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan

penulis pada kususnya dan pembaca pada umumnya, mengenai perbedaan

informasi anatomi antara rekonstruksi algorithma standard dan bone plus

pada pemeriksaan MSCT Sinus paranasal.

2. Manfaat Praktis

Membantu petugas Radiologi, dokter dan rumah sakit untuk mengetahui

mana yang lebih baik pada informasi anatomi dengan menggunakan

rekonstruksi algorithma standard dan bone plus pada pemeriksaan MSCT

Sinus paranasal.
6

E. Keaslian Penelitian

Penetian yang berkaitan dengan “Perbedaan informasi anatomi

penggunakan rekonstruksi algorithma standard dan algorithma bone plus pada

pemeriksaan MSCT sinus paranasal“ belum pernah dilakukan sebelumnya.

Namun, penelitian yang sejenis pernah dilakukan oleh peneliti lain, yaitu :

1. Ni Putu Fida Windhrayani (2012), tentang “perbedaan informasi diagnostik

pada ct scan mastoid dengan menggunakan rekonstruksi alghoritma

standard dan bone plus di radiologi RSUP DR. Soeradji Tirtonegoro Klaten”

persamaan dalam penelitian ini sama-sama membahas algorithma / kernel

perbedaan dalam penelitian ini yaitu objek yang diteliti dan tempat

pengambilan data yang di ambil.

2. Taufik Eko Prakoso (2013), tentang “Analisa perbedaan infomasi anatomis

CT scan Sinus paranasal dengan potongan coronal pada pemakaian variasi

filter menggunakan modalitas MSCT General Electrik”. Persamaan dalam

penelitian ini adalah sama-sama membahas tentang kernel / filter dengan

objek sinus paranasal. Perbedaan pada kernel yang digunakan yaitu

menggunakan kernel E1, E2, E3. Dan penulis menggunakan recontruksi

algorithma standard dan bone plus.

3. Tantomo Prasojo (2010), tentang “Evaluasi Informasi diagnostik pada CT

scan Sinus paranasal Dengan Menggunakan rekonstruksi algorithma

Standard dan Bone Plus di Radiologi RSUP DR. Soeradji Tirtonegoro

Klaten”. Persamaan pada penelitian ini adalah pada teknik dan objek yang

diteliti. Perbedaanya pada teknik pengambilan datanya yang hanya


7

mengeksprolasi kernel standard dan bone plus, penelitian terdahulu

menggunakan teknik evaluasi eksploitasi kernel yang digunakan, dan

penulis menggunakan teknik SPSS untuk mengolah data dengan

menambahkan jumlah sempel untuk penelitian.

Anda mungkin juga menyukai