Anda di halaman 1dari 15

Diterjemahkan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia - www.onlinedoctranslator.

com

Diterima: 17 September 2020 | Revisi: 24 November 2020 | Diterima: 19 Desember 2020 DOI:
10.1002/jcop.22505

ARTIKEL PENELITIAN

Identitas bangsa di perbatasan: kesadaran dan


sikap berbahasa Indonesia melalui pelibatan
masyarakat multietnis

Martono Martono1 | Jagad Aditya Dewantara2 |


Efriani Efriani3 | Wibowo Heru Prasetiyo4

1Jurusan Bahasa Indonesia,


Universitas Tanjungpura, Pontianak, Abstrak
Indonesia
Batas negara merupakan wilayah yang rentan terhadap
2Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan, Universitas
Tanjungpura, Pontianak, Indonesia
degradasi identitas nasional. Tujuan dari penelitian ini adalah

3Jurusan Antropologi, Universitas untuk mengetahui sikap dan perilaku penggunaan bahasa di
Tanjungpura, Pontianak, Indonesia kalangan multietnis Indonesia yang didominasi Dayak,
4Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan, Melayu, dan Tionghoa yang tinggal di perbatasan Indonesia-
Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta,
Indonesia Malaysia. Penelitian ini menerapkan pendekatan etnografi
kualitatif untuk mendokumentasikan dan mendeskripsikan
Korespondensi
Martono, Jurusan Bahasa Indonesia, Fakultas bagaimana sekelompok komunitas multi-etnis berpartisipasi
Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas dalam membangun kesadaran, sikap, dan praktik bahasa
Tanjungpura, Jl. Prof. Dr. H. Hadari Nawawi,
Bansir Laut, SE Pontianak, Pontianak, mereka sebagai identitas nasional. Data diambil dari 20
Kalimantan Barat 78124, Indonesia. Surel: informan. Mereka adalah guru, siswa, masyarakat sekitar,
martono@fkip.untan.ac.id
pengusaha, dan aparatur sipil negara. Hasil penelitian
menemukan bahwa suku-suku di perbatasan sangat sadar
menggunakan bahasa Indonesia yang dibuktikan melalui
bentuk pelibatan masyarakat, kesukarelaan dan sikap sosial
dalam membudayakan bahasa Indonesia sebagai bahasa
dominan di perbatasan. Kesadaran mereka ditunjukkan
melalui keterlibatan, kesukarelaan, dan sikap sosial mereka
dalam mengembangkan bahasa Indonesia sebagai bahasa
dominan di perbatasan. Dikatakan bahwa keterlibatan semua
etnis di perbatasan berdampak positif pada penguatan sikap
dan kesadaran mereka dalam menggunakan bahasa
Indonesia.

KE YWO RDS
pelibatan masyarakat, bahasa Indonesia, jati diri bangsa,
kerelawanan

J Psikolog Komunitas. 2021; 1–15. wileyonlinelibrary.com/journal/jcop © 2021 Wiley Periodicals LLC | 1


2 | MARTONO ET AL.

1 | PENGANTAR

Keanekaragaman suku bangsa di Indonesia dapat memiliki logat dan bahasa yang berbeda antara suku yang satu
dengan suku yang lain (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2016). Hal ini juga berdampak pada kebiasaan
masyarakat setempat dalam menggunakan bahasa Indonesia sebagai identitas nasional. Bahasa tidak hanya
sebagai alat komunikasi tetapi juga merupakan bentuk sikap dan perilaku cinta tanah air dan bangsa (Léglise &
Migge,2019). Sangat penting untuk mengembangkan kelompok-kelompok sosial untuk menunjukkan bela negara
dan nasionalisme mereka secara perilaku. Selain itu, tinjauan bahasa tidak hanya tentang bahasa dan komunikasi,
tetapi juga tentang bagaimana seorang individu memahami sikap bahasa dan praktik interaktif sosial dalam
lingkup yang lebih luas (Ernanda,2018). Bahasa juga mampu menentukan sikap nasionalisme kelompok
masyarakat. Oleh karena itu, setiap orang berhak memilih bahasa yang digunakannya sebagai bahasa resmi atau
bahasa yang lebih dominan. Masyarakat perbatasan juga sangat perlu dilibatkan dalam menjaga kelestarian
nasionalisme melalui sikap mereka terhadap bahasa Indonesia (Schnee et al.,2016). Pandangan masyarakat
terhadap nasionalisme pada umumnya tergantung pada seberapa besar kecintaan mereka terhadap negara.
Dengan demikian, jika sekelompok orang dalam lingkup sosial budaya meninggalkan bahasa persatuannya, sama
saja dengan mengabaikan identitas nasionalnya. Selanjutnya, dengan memperhatikan fenomena-fenomena yang
dapat diamati dalam masyarakat di perbatasan dua negara, mereka harus mengalami akulturasi bahasa. Artinya,
bahasa dapat mencerminkan dan menjadi tolak ukur nasionalisme. Pada hakikatnya, sikap bahasa merupakan
pengidentifikasi yang signifikan dan dominan dari kelompok etnis tertentu. Fakta yang relevan dapat diamati
melalui fenomena di perbatasan Indonesia-Malaysia. Masyarakat di Kecamatan Entikong, Indonesia,
menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi yang dominan di perbatasan.2005).
Namun, di era globalisasi saat ini banyak masalah yang sering muncul, salah satunya adalah masalah yang berkaitan dengan

pergeseran budaya sipil dalam masyarakat multi-bahasa dan multi-etnis (Sari et al., 2018). Fenomena seperti itu terlihat di wilayah

perbatasan yang rawan konflik antarnegara. Fokus penelitian kali ini adalah Indonesia. Selama ini penggunaan bahasa Indonesia

masih diterapkan sebagai indikator utama untuk mengidentifikasi nasionalisme seseorang (Piattoeva,2015; Saputra dkk.,2019).

Dilihat dari aspek penguatan jati diri bangsa, bahasa Indonesia merupakan faktor penentu untuk mengidentifikasi nasionalisme

seseorang. Bahasa membedakan orang Indonesia dari orang lain, dalam contoh seperti tampil sebagai bahasa resmi, budaya sipil,

dan ideologi. Aspek ini merupakan bentuk pelibatan masyarakat dalam menjaga nasionalisme dan merupakan ciri khas yang tidak

dapat dipisahkan dari bangsa Indonesia (Abbott,2017). Sebagaimana tercantum dalam konstitusi, warga negara Indonesia dari

berbagai suku bangsa sama-sama wajib menggunakan bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia.2008; Nababan,1991). Meski

begitu, penting juga untuk dicatat bahwa mereka diberi hak untuk melestarikan dan mengembangkan bahasa ibu dari budaya

mereka (Iredale et al.,2001). Bagi suatu bangsa dan negara yang berdaulat, bahasa merupakan kekuatan politik yang dapat

menentukan apakah seorang individu memiliki rasa kesetiaan kepada rakyatnya atau tidak (Gao,2009). Orang Indonesia perlu

melihat bahwa perubahan bahasa Melayu ke bahasa Indonesia adalah peristiwa politik. Berawal dari pengaruh politik kekuasaan

kolonial Belanda yang mendirikan lembaga penerbitan buku bacaan yang dikenal dengan “commissie voor de volkslecuur” pada

tahun 1908, yang literasinya sebagian besar ditulis dalam bahasa Melayu dan Belanda (Mahayana,1970). Didukung oleh

kepentingan strategis politik kolonial Belanda, mereka menginginkan bahasa Belanda dan bahasa Melayu menjadi bahasa resmi

nusantara saat itu. Sejarah bangsa Indonesia juga mencatat bahwa pada tanggal 28 Oktober 1928, Muhammad Yamin secara resmi

mengusulkan penggantian bahasa Melayu dengan bahasa Indonesia sebagai Bahasa Persatuan. Di sisi lain, pada akhir pertengahan

tahun 1928, pemerintah Indonesia melalui sumpah pemuda mulai menetapkan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional. Dari

sumpah pemuda itu lahir tiga janji penting tentang jati diri bangsa; (1) Mengakui satu ibu pertiwi, Indonesia; (2) Mengakui satu

bangsa, bangsa Indonesia; (3) Menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia (Foulcher,2000). Oleh karena itu, bahasa Indonesia

dapat dikategorikan sebagai pengenal nasional yang melekat pada masyarakat Indonesia (Aziz,2014).

Masyarakat di Kecamatan Entikong sangat sensitif terhadap kebijakan politik kedua negara karena kecamatan
ini terletak di Kalimantan Barat yang strategis, di perbatasan Malaysia-Indonesia. Meski kedua negara (Indonesia–
Malaysia) ini berdampingan, namun sejarah mencatat aksi/konflik politik yang memanas. Aksi ini
MARTONO ET AL. | 3

dikenal sebagai “Hancurkan Malaysia” (Budiawan, 2017; Harun dkk.,2015). Konflik ini juga membuat kedua negara saling mengklaim
budaya lokal, khususnya Malaysia yang mengklaim budaya Indonesia (Asri,2018; Clark,2013). Klaim seperti itu menyebabkan
hubungan politik kedua negara sering memanas (Fakih,2017). Namun, konflik-konflik tersebut bukanlah masalah berarti yang
menonjol di kawasan perbatasan. Masyarakat di perbatasan Entikong lebih merupakan komunitas multi etnis yang kehilangan
identitas sebagai warga negara Indonesia, terutama dalam hal kepercayaan sebagai bagian dari pemerintahan yang berdaulat. Di
sisi lain, Malaysia menawarkan kehidupan yang lebih sejahtera dibandingkan dengan Indonesia (Amster & Lindquist,2005). Oleh
karena itu, Pemerintah Indonesia mengambil sikap konstitusional yang mewajibkan seluruh warga negara Indonesia untuk
menggunakan bahasa Indonesia dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat untuk menunjukkan lambang identitas nasional
(Eric Hobsbawm,1996; Nababan,1991; Rovira,2008). Bahasa Indonesia telah menjadi bahasa yang identik bagi orang Indonesia. Oleh
karena itu, bahasa merupakan simbol yang tidak dapat dipisahkan dari pandangan warga negara sebagai ciri khas. Tentang
observasi lapangan terhadap suku Melayu, Dayak, dan Tionghoa, peneliti dapat mengidentifikasi bahwa semakin kuat suku Entikong
memiliki afiliasi kesukuan, semakin sedikit mereka menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dalam pergaulan
sehari-hari. Oleh karena itu, penelitian ini difokuskan pada keterlibatan masyarakat dan instansi pemerintah dalam penggunaan
bahasa Indonesia tanpa harus mengabaikan bahasa daerah masing-masing suku. Hal ini mencerminkan bahwa identitas suku asli
tidak boleh dihilangkan. Merupakan bagian penting dari unsur pembentuk budaya dan identitas bangsa Indonesia.

Penting bagi peneliti untuk melakukan kajian tentang Kesadaran Bahasa Nasional di Indonesia, karena masyarakat di
Entikong menjunjung tinggi bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia. Subyek penelitian ini adalah tiga suku bangsa yang
ada di Entikong. Kajian terhadap mata pelajaran tersebut dirancang untuk melihat kesadaran berbahasa dan keterlibatan
warga negara dalam mengantisipasi degradasi identitas warga negara. Perlu disadari bahwa banyak fenomena
masyarakat Indonesia di perbatasan yang beralih kewarganegaraan dari Indonesia ke Malaysia. Fenomena ini bahkan
menjadi isu penting yang harus disikapi oleh semua pihak di Indonesia. Belakangan fenomena seperti itu bisa menjadi
bumerang jika semakin banyak masyarakat perbatasan yang tidak bangga menggunakan bahasa nasional sebagai bahasa
persatuan yang dominan. Justru berdampak pada kedaulatan suatu negara. Oleh karena itu, menarik untuk mengangkat
dan mengkaji masalah ini berdasarkan kondisi nyata di perbatasan. Beberapa masalah yang peneliti uraikan dan jawab
dalam penelitian ini adalah:

(1) Bagaimana bentuk loyalitas dan kesadaran Masyarakat Entikong dalam menggunakan bahasa Indonesia dalam praktik nyata?

(2) Bagaimana keterlibatan masyarakat multietnis di perbatasan dalam mempertahankan identitas nasionalnya dalam
konteks bahasa?

2 | METODE

Tahapan pengumpulan data lapangan dipilih menggunakan metode pra penelitian yang didahului dengan observasi lapangan.

Pengamatan menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat di perbatasan terdiri dari Dayak, Melayu, dan Tionghoa. Pengamatan

lapangan menunjukkan bahwa ada masyarakat dari kelompok etnis besar yang menggunakan bahasa Indonesia, dan ada pula yang

menggunakan bahasa non-Indonesia atau bahasa daerah dalam komunikasi sehari-hari. Kemudian peneliti mengidentifikasi calon

informan dengan metode wawancara individu dan FGD. Dari tahap ini, 20 informan diklasifikasikan memenuhi syarat sebagai objek

penelitian. Kemudian dianalisis menggunakan pendekatan etnografi untuk menggambarkan secara jelas dan mendalam melalui

metode kualitatif (Creswell,2009). Observasi dilakukan terlebih dahulu terhadap 20 informan. Dilanjutkan dengan langkah

selanjutnya yaitu wawancara. Dari 20 informan, 17 informan teridentifikasi menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar,

dan 3 orang ditemukan tidak lancar berbahasa Indonesia. Selain informan di atas, ditambahkan informan pendukung yang terdiri

dari tokoh masyarakat setempat, masyarakat pendatang di luar tiga suku utama (Dayak, Melayu, dan Tionghoa) dan guru sekolah.

Observasi dilakukan terhadap 20 informan terpilih untuk mengumpulkan perilaku masing-masing individu dengan menggunakan

pendekatan etnografi. Pendekatan etnografi diterapkan untuk memiliki perilaku nasionalisme yang jelas dan rinci masing-masing
4 | MARTONO ET AL.

individu yang diamati dan diwawancarai. Semua informan dari etnis Melayu, Dayak, dan Tionghoa, yang
berkewarganegaraan Indonesia, berpartisipasi dalam penelitian ini. Penelitian yang menggunakan pendekatan
etnografi harus melibatkan partisipan yang perilakunya dapat diamati secara individu dan peneliti yang mampu
menggunakan pendekatan etnografi (Gibbons et al.,1986). Untuk lebih mudah mengamati situasi sosial dan
membangun interaksi sosial dan hubungan baik dengan informan, peneliti menempatkan dirinya sebagai
partisipan. Strategi ini memungkinkan peneliti untuk memahami pola perilaku yang ingin mereka sampaikan.
Asisten lapangan dilibatkan bila diperlukan. Peneliti bersikap terbuka bahkan mengaku tertarik untuk mengamati
dan menelitinya. Teknik ini membuat peneliti merasa bebas dan mampu menyelaraskan hubungan baik dengan
informan. Peneliti juga melakukan observasi di dalam kelas. Jika memungkinkan, peneliti mendampingi informan
saat melakukan kegiatan di luar rumah, seperti di tempat umum dan tempat lainnya.
Saat melakukan observasi, peneliti harus menjaga sikap agar tidak menonjol dalam observasi. Namun terkadang saat berbuka, berkumpul dengan masyarakat, dan

saat makan, peneliti berinteraksi secara informal dan ramah. Saat pengambilan data lapangan, informan yang telah diberi data koding kemudian diwawancarai untuk

menggali informasi lebih lanjut tentang praktik sikap bahasa dan wawasan tentang Indonesia. Pertanyaan wawancara dirinci tentang bagaimana perilaku dan sikap

masyarakat Entikong terhadap bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia, bagaimana keterlibatan mereka sebagai warga negara Indonesia dan bagaimana pilihan sikap

bahasa di perbatasan dapat mempengaruhi perilaku nasionalisme mereka dalam kehidupan sehari-hari. Para informan diwawancarai secara individu di rumahnya masing-

masing. Durasi setiap wawancara tidak lebih dari 2 jam. Setiap wawancara direkam dan ditranskrip. Selama wawancara, percakapan dilakukan secara informal dan alami

dengan informan Dayak, Melayu, Tionghoa dan terkadang melibatkan keluarga informan. Peneliti melibatkan semua kelompok masyarakat dengan strata sosial yang

berbeda. Ini adalah pengalaman berharga yang peneliti dapat mengeksplorasi pengaturan yang lebih faktual. Melalui sikap bahasa, masyarakat perbatasan dapat menjadi

agen sosial yang dapat menjaga jati diri bangsa dari segala bentuk ancaman di luar batas negara (Parekh, keluarga. Peneliti melibatkan semua kelompok masyarakat

dengan strata sosial yang berbeda. Ini adalah pengalaman berharga yang peneliti dapat mengeksplorasi pengaturan yang lebih faktual. Melalui sikap bahasa, masyarakat

perbatasan dapat menjadi agen sosial yang dapat menjaga jati diri bangsa dari segala bentuk ancaman di luar batas negara (Parekh, keluarga. Peneliti melibatkan semua

kelompok masyarakat dengan strata sosial yang berbeda. Ini adalah pengalaman berharga yang peneliti dapat mengeksplorasi pengaturan yang lebih faktual. Melalui

sikap bahasa, masyarakat perbatasan dapat menjadi agen sosial yang dapat menjaga jati diri bangsa dari segala bentuk ancaman di luar batas negara (Parekh,1995).

2.1 | Tempat penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Entikong, Kalimantan Barat yang berbatasan langsung dengan Malaysia.
Data dikumpulkan dari empat lokasi. Mereka adalah Desa Entikong, Desa Pala Pasang, Desa Suruh Tembawang,
dan Desa Semanget.

3| HASIL

3.1 | Loyalitas dan kesadaran masyarakat Entikong dalam menggunakan bahasa Indonesia
kesatuan

Penelitian ini menemukan bahwa Entikong merupakan daerah perbatasan tempat berdomisilinya suku-suku seperti Dayak, Melayu, dan

Tionghoa. Kebanyakan orang yang tinggal di Entikong adalah Dayak dan Melayu. Suku Dayak terdiri dari sekitar 400 sub-etnis dengan bahasa

atau dialek yang berbeda (Hariyanto et al.,2014). Kebanyakan orang Melayu yang tinggal di Entikong berbicara dengan dialek Indonesia-

Melayu, yang berbeda dengan bahasa Melayu Malaysia (Phillips,1973). Bahasa yang digunakan di Entikong adalah (1) bahasa sub-etnis Dayak

antara lain Bidayuh-sontas, Sungkung, Badat, Gun, Suruh, dan Entebang; (2) dialek Melayu Indonesia dituturkan oleh sebagian besar orang

Melayu yang tinggal di Entikong; dan (3) Bahasa Cina dan Indonesia dituturkan oleh penutur non-Melayu dan Dayak, seperti keturunan

Tionghoa yang umumnya menggunakan bahasa Tionghoa di antara kelompok etnis internal mereka, dan bahasa Melayu serta bahasa

Indonesia ketika berkomunikasi dengan kelompok etnis eksternal mereka. Orang Dayak sering menggunakan bahasa Indonesia dalam

kehidupan sehari-hari. Mereka mengklaim bahwa bahasa Indonesia adalah


MARTONO ET AL. | 5

bahasa yang harus mereka pertahankan sebagai identitas nasional warga negara Indonesia. Selama ini masyarakat Indonesia
menganggap bahwa identitas nasional hanya berupa nasionalisme dan patriotisme. Identitas nasional sebenarnya mencakup
pandangan warga negara terhadap ideologi bangsa, budaya warga negara, dan sikap terhadap Bahasa Nasional (Teeuw,1967).
Sebagian besar masyarakat Indonesia memiliki cara untuk menonjolkan identitas nasionalnya, salah satunya dengan mengadakan
upacara bendera secara rutin setiap hari Senin untuk memperkuat pemahaman masyarakat tentang ideologi dan sejarah nasional
(Clark,2013). Dalam sejarahnya, bahasa Indonesia pertama kali dituturkan oleh Jahja Datoek saat menyampaikan pidato pada sidang
Volksraad tahun 1927. Setelah Muhammad Yamin meresmikan bahasa Indonesia sebagai Bahasa Persatuan pada tahun 1993, para
sastrawan muda yang dikenal dengan sebutan “Pujangga Baru” dan dipimpin oleh Sutan Takdir menulis ulang Tata Bahasa Baru
Bahasa Indonesia. Pada tahun 1938, Kongres Bahasa Indonesia pertama diadakan di Solo pada tanggal 25-28 Juni (Mulyadi,1978).
Pada tanggal 18 Agustus 1945, Bahasa Indonesia diresmikan sebagai salah satu identitas bangsa. Hal itu tertuang dalam Pasal 36
UUD 1945. Cepatnya pengakuan bahasa Indonesia oleh masyarakat Indonesia juga tidak terlepas dari fungsi bahasa ini yang
dinyatakan secara konstitusional sebagai bahasa resmi negara. Saat ini bahasa Indonesia dituturkan sebagai bahasa nasional di
seluruh Indonesia.

Identitas nasional merupakan landasan yang kuat untuk menunjukkan jati diri bangsa Indonesia. Salah satu ciri khas
masyarakat Indonesia adalah dapat berekspresi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar (Zein,2018). Para siswa di
Entikong juga diajarkan bahasa Indonesia secara wajib sebagai media komunikasi antara guru dan siswa dalam kegiatan
belajar mengajar. Semua interaksi baik di dalam maupun di luar proses belajar mengajar disampaikan dalam bahasa
Indonesia, kecuali bahasa daerah dan bahasa asing yang diajarkan. Untuk menunjukkan jati diri bangsa Indonesia, semua
sekolah di sepanjang perbatasan internasional harus menerapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar untuk
menghindari bahasa daerah menggantikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Orang Melayu di Entikong lebih
suka berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan logat Melayu dalam kesehariannya. Orang Melayu yang tinggal di
Entikong juga meminta anak-anak mereka dan masyarakatnya untuk menjaga bahasa Indonesia sebagai bahasa
persatuan, dan untuk mereka,2018). Selama studi lapangan, kami berinteraksi dengan masyarakat di Entikong, baik di
sekolah maupun di desa. Kebanyakan dari mereka berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Salah
satu guru di Entikong mengaku masih banyak siswa yang menggunakan bahasa daerah sebagai media berkomunikasi
dengan guru. Untungnya, tidak ada siswa yang ditemukan berinteraksi dalam bahasa Melayu Malaysia selama kegiatan
sekolah mereka; dan bahkan mereka tidak mengerti bahasa Melayu Malaysia.

3.2 | Sikap dan praktik berbahasa di kalangan masyarakat di Entikong

Bahasa yang digunakan oleh masyarakat di Entikong adalah bahasa suku-suku yang tinggal di Entikong. Orang Dayak lebih sering

berinteraksi dalam bahasa Indonesia selain bahasa atau dialek sub-etnisnya. Penggunaan bahasa dominan memperkuat perbedaan

terstruktur dalam kekuatan sosial dan prestise di antara kelompok etnis (Eastman & Stein,1993). Interaksi mereka memanifestasikan

posisi masing-masing individu dalam hierarki identitas sosial-etnis. Fransiska, seorang Dayak Bidayuh yang berpartisipasi dalam

penelitian ini, lebih suka berbicara dalam bahasa Indonesia daripada berbicara dalam bahasa lokalnya seperti yang disebutkan di

bawah ini.

“Orang tua saya berasal dari kelompok etnis yang berbeda. Ayah saya keturunan Tionghoa dan ibu saya adalah orang Dayak

Bidayuh. Keduanya merupakan warga negara Indonesia. Ayah saya lebih sering berkomunikasi dalam bahasa Cina daripada

bahasa Indonesia. Ibu tidak bisa berbahasa Cina; dia selalu berinteraksi dalam bahasa Indonesia dengan Ayah. Saya selalu

berbicara bahasa Indonesia ketika saya berbicara dengan ayah saya karena dari awal ibu saya mengajari saya bahasa

Indonesia. Walaupun saya lebih condong berbicara Bidayuh, saya tetap bangga berkomunikasi dalam bahasa Indonesia

untuk menunjukkan bahwa saya orang Indonesia.”


6 | MARTONO ET AL.

Orang tua, guru, dan teman sebaya anak-anak berkontribusi pada fondasi yang kuat dalam membuat kesuksesan mereka di
masa depan. Karena itu; pembentukan karakter harus ditanamkan sejak dini oleh orang tua agar pola pikirnya matang dan kuat
dalam menginternalisasi suatu identitas etnis (Campbell,2016; Davies & Whitehead,2012). Orang tua di Indonesia memiliki sikap
berbahasa yang baik terhadap bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Sikap mereka sangat berpengaruh dalam mempertahankan
identitas berbahasa Indonesia di tempat tinggalnya. Selain itu, sebagian besar masyarakat di sepanjang perbatasan Entikong
(Indonesia) dan Tebedu (Malaysia) memiliki hubungan keluarga. Banyak orang Dayak Indonesia yang bekerja di Malaysia karena
orang-orang di Malaysia memiliki pendapatan yang lebih baik. Orang Indonesia yang bekerja di Malaysia umumnya terikat
hubungan keluarga. Mereka adalah Dayak Bidayuh–Sontas, Dayak Sungkung, Dayak Gun, Dayak Suruh, dan Dayak Entebang yang
berasal dari Indonesia. Identitas etnis asal yang begitu kuat membuat mereka tidak mudah meninggalkan identitas nasionalnya.
Meski keturunan Tionghoa berkewarganegaraan Indonesia, mereka menolak menjadi milik Dayak atau Melayu. Suku Melayu asal
Indonesia mengaku berbeda dengan suku Melayu Malaysia. Sebagian besar dari mereka beranggapan bahwa identitas kesukuan
mereka berasal dari bahasa Melayu yang berasal dari komunitas Protomalay (Melayu Kuno) yang tersebar di seluruh Nusantara
(Tumonggor et al.,2013), tetapi dialek mereka berbeda dengan bahasa Melayu yang digunakan di Malaysia. Berdasarkan identifikasi
tersebut, bahasa Melayu Indonesia dan Melayu Malaysia berasal dari bahasa Melayu kuno, dan bahasa Melayu merupakan rumpun
bahasa Austronesia yang merupakan putri dari Malay-Western Polynesia (Noerwidi,2014; Tukang pos,2011). Bagi suku bangsa
Melayu, bahasa Indonesia dan bahasa Melayu merupakan hal yang penting dan tidak dapat dipisahkan dari identitas
kebangsaannya yang berfungsi sebagai identitas untuk membedakan. Dari segi ekonomi dan pasar, perbatasan di Entikong
didominasi oleh orang Tionghoa. Mereka memiliki hubungan yang baik dengan kelompok etnis lain dan bahkan mereka
diperlakukan berbeda ketika memasuki kedua negara. Asal-usul Cina memiliki pengaruh bisnis dan ekonomi yang besar di kedua
negara, berbagi perbatasan di Entikong. Orang-orang yang lahir dari keturunan Tionghoa dan etnis Melayu yang orang tuanya
adalah orang Indonesia dan Malaysia (yang orang tuanya berbeda kewarganegaraan), adalah orang-orang yang memiliki hak
istimewa untuk memasuki perbatasan tanpa paspor. Meskipun mereka memiliki hak istimewa di perbatasan,

“Saya berdarah campuran. Ayah saya menikah dengan seorang Tionghoa Malaysia. Tapi, saya memilih menjadi warga

negara Indonesia. Saya bisa berbicara bahasa Melayu Malaysia dan Cina, tetapi saya lebih banyak berkomunikasi dalam

bahasa Indonesia. Secara linguistik, saya memiliki identitas bahasa yang berbeda, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa

Tionghoa. Saya bersyukur bisa menguasai bahasa Indonesia, Malaysia dan China. Di sisi lain, saya dikenal dengan 2 identitas

etnis, tetapi saya tetap menjaga dan membuktikan bahwa saya cinta Indonesia, dengan lebih memilih berbicara dalam

bahasa Indonesia daripada bahasa Malaysia-Melayu dan Tionghoa dalam komunikasi sehari-hari saya.”

Secara umum, masyarakat berdarah campuran Dayak-Melayu, Tionghoa-Melayu, dan Dayak-Tionghoa yang tinggal di
Entikong memiliki keunggulan identitas. Sikap bahasa mereka mempengaruhi pergerakan sosial masyarakat dari satu
kelompok etnis ke kelompok etnis lainnya. Mereka juga bisa mengadopsi konsep bilingualisme dan bilingualitas (Tinajero
& Englander,2011; Triyono,2006), bahkan mereka dicirikan menjadi transnasional (Vertovec, 2011) dan etnonasional (Deol,
2019). Konsep dasar sikap bahasa Dayak Bidayuh mengarah pada transnasionalisme bahasa, sehingga bahasa lokal
dituturkan oleh warga dua negara yang berbeda, tetapi masih satu suku (Rensch et al.,2012). Dalam konteks yang lebih
luas, suku Bidayuh cenderung menguasai bahasa yang berbeda dari bahasa ibu mereka. Tujuannya agar mereka dapat
memasuki atmosfir global tanpa kehilangan jati dirinya sebagai warga negara yang taat dan nasionalis. Dilihat dari sikap
bahasanya, mereka menyukai bahasa persatuannya yaitu bahasa Indonesia seperti yang diungkapkan oleh seorang siswa
di Enttikong berikut ini.

“Saya harus belajar bahasa Inggris dan Melayu Malaysia dengan sungguh-sungguh tanpa meninggalkan jati diri saya

sebagai warga negara Indonesia yang dominan menggunakan bahasa Indonesia. Saya berniat untuk belajar di universitas

terbaik di Malaysia. Namun, penting juga bagi saya untuk menguasai bahasa Mandarin dan bahasa daerah saya untuk

menjaga identitas etnis saya dan untuk mempertahankan bahasa Dayak Bidayuh saya. Sangat penting untuk menjaga

bahasa daerah.”
MARTONO ET AL. | 7

Meja 1 menunjukkan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang digunakan oleh setiap suku bangsa dalam
interaksi sosial. Bahkan suku Dayak menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa interaksi antar suku Dayak. Bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional telah menjadi alat pemersatu berbagai suku bangsa meskipun berada di daerah
perbatasan. Terbukti bahasa Indonesia dapat memperkuat rasa nasionalisme, kesadaran penuh akan pentingnya menjaga
identitas nasional sebagai bangsa Indonesia bertanggung jawab untuk setiap suku yang tinggal di daerah perbatasan
(Tabel2).
Setiap elemen masyarakat memiliki perannya masing-masing dalam mencapai kesadaran dan keterlibatan dalam memelihara

jati diri bangsa melalui sikap berbahasa. Pertama, keluarga merupakan unsur terpenting dan tempat pertama dalam

menginternalisasi nilai-nilai nasionalisme (Suter et al.,2011). Keluarga telah menjadi tempat yang baik bagi anak-anak untuk

mengenal bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Kedua, sekolah adalah tempat kedua dan tempat terbaik untuk memelihara

dan memperkuat nasionalisme (McDonough & Cormier,2013). Di sekolah perbatasan, bahasa Indonesia sebagai bahasa formal telah

menjadi praktik yang baik dalam mewujudkan sikap berbahasa siswa. Ketiga, lembaga pemerintah dan swasta merupakan elemen

penting untuk menyesuaikan sikap bahasa di tingkat publik. Kewajiban menggunakan bahasa Indonesia dalam interaksi sosial di

acara-acara resmi dan semua ruang publik telah membuat setiap warga di Entikong terbiasa berbahasa Indonesia. Keempat,

masyarakat atau etnisitas adalah komunitas pada tingkat yang tinggi dan beragam. Kesadaran dan kesungguhan dalam menjaga

jati diri bangsa melalui bahasa Indonesia dalam interaksi sosial mencerminkan perwujudan sikap nasionalis setiap individu di

daerah perbatasan.
Interaksi sosial antar masyarakat Entikong merupakan penguatan modal sosial. Seperti yang ditunjukkan pada Gambar1, masyarakat di

Entikong mengekspresikan nasionalismenya dengan berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dalam setiap acara dan kegiatan. Sikap positif ini

ditunjukkan meskipun mereka menganut bilingualisme bahasa. Mereka memiliki visi dan tujuan yang positif dalam memajukan bahasa

Indonesia di daerah perbatasan sehingga mobilitas sosial mereka tentang bahasa Indonesia dapat membudayakan setiap individu di

masyarakat perbatasan seperti yang diungkapkan oleh seorang warga negara Indonesia keturunan Tionghoa di bawah ini.

“Menurut saya, sangat penting untuk memahami semua bahasa termasuk bahasa Inggris dan Mandarin. Di era global ini,

saya perlu mengembangkan potensi saya melalui bahasa asing. Saya ingin kuliah di universitas yang bagus dan kemudian

mendapatkan pekerjaan yang bagus. Saya sering berkomunikasi dalam bahasa Mandarin dengan keluarga saya tanpa

TABEL 1 Bahasa yang dominan dalam interaksi sosial tiga etnis di perbatasan Entikong

Kebanyakan bahasa

etnis penggunaan Gaya penggunaan bahasa Kompromi bahasa antaretnis

Dayak bahasa Indonesia Dayak memiliki subkultur yang berbeda Bahasa Indonesia adalah bahasanya
etnis bahasa dipahami oleh setiap suku Dayak dan
digunakan secara luas

Melayu bahasa indonesia dan Bahasa Indonesia juga merupakan bagian dari Proto- Bahasa Indonesia dan Bahasa Melayu digunakan dalam

etnis Melayu rumpun bahasa melayu. Dengan demikian, baik interaksi sehari-hari
bahasa Melayu maupun bahasa Indonesia sama-

sama dipahami oleh etnis Melayu

Cina bahasa indonesia, melayu, Bahasa Cina umumnya hanya Bahasa Indonesia digunakan secara lebih luas

etnis dan Cina dipahami dan digunakan di kalangan etnis interaksi, sedangkan bahasa Cina

Tionghoa sebagai warisan nenek moyang digunakan dalam berinteraksi dengan

mereka dan kewajiban untuk mengucapkannya sesama orang Tionghoa dan dalam

kepada keturunan mereka. Namun, karena etnis keluarga untuk melestarikan bahasa Cina

Tionghoa pada umumnya merupakan etnis yang


dominan dalam dunia ekonomi, mereka
menggunakan bahasa Indonesia dan Melayu
dalam interaksinya dengan etnis di luar etnisnya
sendiri.
8 | MARTONO ET AL.

MEJA 2 Keterlibatan etnis dalam mempertahankan Indonesia sebagai identitas nasional

Peran Strategi keterlibatan Bentuk keterlibatan

Keluarga Pembiasaan dan internalisasi pembiasaan berbahasa Indonesia dalam keluarga


sikap nasionalisme

Sekolah Pemeliharaan dan penguatan Kegiatan belajar baik di dalam maupun di luar
nilai-nilai nasionalisme kelas harus disampaikan bahasa Indonesia

Pemerintah & swasta Kode etik organisasi Penggunaan bahasa Indonesia dalam semua kegiatan sosial dan semua

agensi dan birokrasi tempat umum

Masyarakat etnis Kesukarelaan dan kesadaran akan Kampanye dan sosialisasi penggunaan
identitas nasional Bahasa Indonesia dalam segala aspek sosial

GAMBAR 1 Kelompok multi-etnis di Entikong

kehilangan jati diri saya sebagai orang Indonesia. Oleh karena itu, saya berinteraksi dalam bahasa Indonesia di setiap kesempatan, agar

semua orang dan teman-teman saya dapat meniru perilaku dan sikap saya yang masih mencintai Indonesia.”

Lingkungan sosial sangat berpengaruh dalam pemilihan bahasa dan karakter individu (Dewantara et al., 2020). Namun tidak

dapat dipungkiri jika guru dan keluarga juga mempengaruhi perspektif linguistik yang mereka gunakan (Luscombe & Kazdal,2014).

Penelitian ini menemukan bahwa siswa di Entikong mendapat ajaran dari guru mereka. Doktrin tersebut menyatakan bahwa untuk

sukses, para mahasiswa harus bertindak seperti orang Tionghoa yang saat ini menguasai mobilitas ekonomi dan pasar global.

Untuk itu, mahasiswa di perbatasan harus menguasai bahasa asing yang dominan, yaitu bahasa Inggris dan bahasa Mandarin

(Stille,2015). Para guru juga berpesan agar para siswa tidak pernah mengabaikan bahasa Indonesia meskipun mereka menguasai

bahasa asing. Mereka menunjukkan sikap bahasa yang positif dengan selalu berkomunikasi dalam bahasa Indonesia sehari-hari,

meskipun mereka memiliki rasa Cina yang kuat. Sikap bahasa yang positif menunjukkan bahwa mereka bangga dengan bahasa

Indonesia sebagai bukti menjaga nasional mereka


MARTONO ET AL. | 9

identitas diri, agar tidak luntur dari terjangan arus globalisasi (Tondo, 2009). Kesadaran yang tinggi di kalangan masyarakat Tionghoa juga

berdampak pada kelompok etnis lain yang terlibat dalam mengkampanyekan bahasa Indonesia di wilayah perbatasan. Meskipun iklim sosial

ekonomi di perbatasan sangat kompetitif, orang Indonesia tetap berinteraksi dalam bahasa Indonesia dengan orang Malaysia dalam transaksi

sosial ekonomi mereka meskipun di distrik berbahasa Melayu. Bagi masyarakat Indonesia, merupakan suatu kebanggaan jika dapat

menunjukkan jati diri bangsanya melalui status akademik dan finansialnya. Individu yang memiliki kompetensi lebih baik dalam bahasa

memiliki peluang lebih besar untuk memiliki pekerjaan di kedua negara. Orang-orang Tionghoa, serta keturunan Tionghoa berdarah

campuran, sering berbicara bahasa Indonesia kepada rekan-rekan etnis mereka, dan kadang-kadang berbicara bahasa Mandarin kepada

rekan-rekan Tionghoa mereka. Kecenderungan ini menunjukkan bahwa etnis Tionghoa di Entikong memiliki sikap yang kuat terhadap nilai-nilai

bahasa di masyarakat. Menurut salah satu informan Tionghoa, berlatih bahasa Tionghoa adalah suatu keharusan bagi orang Tionghoa sejati.

Orang tua mereka memegang teguh tradisi nenek moyang mereka, salah satunya fasih berbahasa Mandarin. Adalah suatu keharusan bagi

mereka untuk menunjukkan kepada orang lain bahwa mereka berasal dari kelompok etnis Tionghoa. Salah satu informan mengatakan:

Orang tua saya memegang teguh tradisi Tionghoa, salah satunya berkomunikasi dalam bahasa Tionghoa di rumah. Karena saya dan keluarga saya

adalah orang Indonesia, bukan orang Tionghoa, keluarga kami tetap berbicara dalam bahasa Tionghoa, agar tidak lepas dari generasi sebelumnya.

Tapi, sebagai orang Indonesia saya dan keluarga tetap menggunakan bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari. Suatu kebanggaan bagi saya

untuk menunjukkan bahwa saya seorang nasionalis.

4| DISKUSI

4.1 | Keterlibatan masyarakat dalam menjaga identitas nasional

Suku bangsa di Entikong memiliki cara pandang yang berbeda dalam mempertahankan bahasa sebagai identitas bangsa. Contoh
paling nyata ditunjukkan oleh kelompok etnis Melayu. Mereka selalu berbicara bahasa Indonesia meskipun dalam logat Melayu.
Berbeda dengan suku Dayak dan keturunan Tionghoa. Orang Dayak hanya menggunakan bahasa atau dialek lokal untuk
berkomunikasi dalam kelompok. Orang Tionghoa asli menggunakan bahasa Mandarin untuk komunikasi dalam kelompok dan itu
untuk menunjukkan prestise mereka kepada orang lain. Temuan ini menunjukkan bahwa komunitas etnis minoritas memiliki
semangat kesukarelaan untuk mempertahankan budaya dan bahasa leluhurnya (Adha et al.,2019). Meski keturunan Tionghoa
memiliki identitas etnis yang kuat dan memegang teguh bahasa nenek moyangnya, mereka tetaplah warga negara Indonesia yang
memiliki loyalitas tinggi terhadap bahasa dan negara Indonesia. Nasionalisme mereka terlihat dari penggunaan bahasa Indonesia
dalam komunikasi kelompok keluar etnis. Orang Tionghoa juga menunjukkan interaksi mereka dalam bahasa Indonesia dalam
kegiatan pasar dan sosial ekonomi. Orang Tionghoa asal tidak berkomunikasi dalam bahasa Melayu untuk transaksi perdagangan.
Bahkan di Tebedu, pusat masyarakat Malaysia, sebagian besar keturunan Tionghoa Indonesia mendominasi pasar dan
perekonomian di sana. Sikap bahasa mereka menandakan bahwa mereka adalah nasionalis Indonesia.

Kemajuan global memaksa para pelajar di perbatasan untuk menguasai bahasa asing seperti Mandarin dan
Inggris (Dubravac & Skopljak, 2020). Kuatnya arus globalisasi di perbatasan mendorong sekolah-sekolah di sana
untuk berperan aktif mendorong para siswa dan guru untuk mewujudkan sekolah bilingual atau multilingual
(Etxeberria,2003; Luchtenberg,2002). Era digital mengubah gaya bahasa remaja dan pelajar di seluruh dunia
(Vanek et al.,2018) dan juga diekspos ke orang-orang di perbatasan. Oleh karena itu, dianggap penting bagi
masyarakat dan guru untuk berperan dalam menjaga nilai-nilai kebangsaan di sekolah perbatasan. Peran penting
kelompok etnis ditunjukkan melalui perilaku nasionalisme mereka. Salah satu indikator penting nasionalisme
adalah civic engagement yang melibatkan empati, simpati, kerjasama, dan tanggung jawab bersama (Karliani et
al.,2019). Komunitas multi-etnis di perbatasan menunjukkan simpati dan tanggung jawab positif terhadap identitas
mereka melalui peran dan keterlibatan dalam komunitas. Masyarakat mulai gotong royong melakukan kampanye
dan sosialisasi penggunaan bahasa Indonesia di seluruh instansi pemerintah, sekolah
10 | MARTONO ET AL.

dan tempat-tempat umum. Perilaku tersebut menunjukkan bentuk mobilitas sosial masyarakat terhadap pentingnya
konsep civic engagement dalam menghadapi krisis identitas di wilayah perbatasan (Gardner,2014). Civic engagement di
sini merupakan konsep yang mengacu pada perilaku masyarakat yang pro terhadap sikap berbahasa Indonesia. Sikap dan
perilaku tersebut dapat mengurangi dampak negatif remaja yang menganggap bahwa jati diri bangsa tidak terlalu
penting. Perilaku yang tampak antara lain gerakan wajib berbicara dalam bahasa Indonesia di tempat umum. Gerakan ini
dimaksudkan untuk membudayakan bahasa Indonesia. Kemudian, bahasa Indonesia dituturkan oleh orang-orang dari
berbagai kelompok etnis. Perilaku ini merupakan bentuk kesadaran masyarakat yang meliputi sikap, komunikasi dan
kesadaran akan norma, dan yang terakhir adalah menjamurnya masyarakat yang berpindah dari bahasa Indonesia ke
bahasa asing. Perilaku-perilaku yang diperlihatkan oleh masyarakat di perbatasan berfungsi untuk menjaga bahasa
Indonesia dan bahasa daerah agar tidak punah atau punah. Kematian bahasa biasanya dimulai dari kontak bahasa. Proses
ini memakan waktu lama dan ditandai dengan munculnya bahasa asing yang jauh lebih bergengsi (Nichols,1992). Oleh
karena itu, keterlibatan masyarakat dalam segala kegiatan sangat diperlukan untuk mengatasi berbagai permasalahan
sosial yang muncul di masyarakat (Prasetiyo et al.,2019; Santinello dkk.,2012; Stamm,2009), dan dalam masalah ini, itu
adalah identitas nasional. Sikap dan perilaku positif terhadap bahasa Indonesia yang ditunjukkan oleh mayoritas
masyarakat Tionghoa, Melayu, dan Dayak merupakan implementasi dari nilai-nilai dasar kewargaan. Unsur pelibatan
masyarakat dalam masyarakat sipil didasarkan pada perilaku peduli terhadap kondisi negara dan lingkungan sosial. Jadi,
setiap individu sadar akan pentingnya berpartisipasi aktif, bekerja sama untuk membangun nilai bersama dan kebaikan
bersama (Lawry et al.,2006). Adler dan Goggin (2005) mengkategorikan keterlibatan sipil ke dalam kesukarelaan, kerja
sama antarpribadi, keterlibatan masyarakat dalam politik atau pembuatan kebijakan, dan perubahan sosial yang lebih
baik. Keempat indikator tersebut telah ditunjukkan oleh masyarakat di perbatasan Entikong dalam menjaga identitas
nasional (Adler & Goggin,2005). Pertama, masyarakat secara sukarela berperan aktif dalam mempromosikan penggunaan
bahasa Indonesia dalam setiap kegiatan dan acara adat. Kedua, masyarakat dan instansi swasta dan pemerintah
bekerjasama untuk mewajibkan masyarakat berbahasa Indonesia secara wajib dalam setiap pekerjaan dan kegiatan.
Ketiga, masyarakat berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan kebijakan penguatan jati diri bangsa. Keempat,
masyarakat di Entikong memberikan contoh dan pembiasaan berbahasa Indonesia di manapun dan kapanpun. Kegiatan
yang dilakukan oleh kelompok etnis di perbatasan telah memberikan bukti bahwa partisipasi aktif yang meliputi
kesukarelaan dan gotong royong dapat mengatasi krisis identitas nasional yang dihadapi masyarakat perbatasan. Pada
tataran ini, pelibatan masyarakat secara garis besar meliputi dua tingkatan pelibatan warga yang penting, yaitu,2015).
Disebut tingkat individu karena keterlibatan masyarakat telah menjadi faktor penentu yang mempengaruhi interaksi
sosial, nilai karakter individu, dan kesadaran individu untuk melakukan hal-hal yang positif. Pada tataran sistem,
keterlibatan masyarakat dipengaruhi oleh kekerabatan/keluarga, suku, strata sosial dan agama.

Peran pelibatan masyarakat dan mahasiswa sebagai relawan di perbatasan merupakan salah satu bentuk agen
perubahan (Adha et al., 2019). Hal ini dibuktikan dengan beberapa penelitian mengenai keterlibatan mahasiswa sebagai
aktor muda dalam perubahan sosial dan lingkungan (Thomas,1990; Wyn & Woodman,2006). Keterlibatan masyarakat dan
agen-agen muda dalam pemeliharaan bahasa di negara multietnis dan multikultural setidaknya mengarah pada
pencegahan kematian bahasa tertentu (Short,2010). Genosida linguistik berdampak pada matinya budaya lokal minoritas.
Beberapa kasus ini tercatat dalam sejarah pada tahun 1979 sejak Singapura mengkampanyekan bahasa Mandarin untuk
pemeliharaan bahasa bagi generasi muda dan tua (Chan,1999; Orang baru,1988; Teo,2005), Rusiaisasi bahasa yang terjadi
pada abad ke-19 untuk menumpas para pemberontak di Uni Soviet (Dostál & Jelen, 2015; Kulik,2016), dan pembatasan,
larangan bahasa Kurdi di tahun 1930-an (Yücel, 2011). Di Indonesia, berbeda dengan peneliti sebelumnya; penggunaan
bahasa Indonesia dimaknai sebagai bahasa persatuan dan tidak mengenalkan bahasa daerah atau budaya lokal minoritas
(Halim,1971; Sari dkk.,2019). Namun identitas etnik lokal tetap dipertahankan, tujuannya untuk membudayakan bahasa
Indonesia agar bahasa asing (di luar bahasa Indonesia dan bahasa daerah) tidak menjadi bahasa yang dominan atau
punah (Tondo,2009). Hal ini disebabkan secara sosial dominan terhadap transnasionalisme dan bilingualisme bahasa. Oleh
karena itu, peran bahasa Indonesia dan bahasa daerah harus dimaknai ke jenjang kurikulum Pendidikan. Sikap dan
keterlibatan siswa ditunjukkan dengan
MARTONO ET AL. | 11

perilaku mereka dalam penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Meski menguasai dua bahasa atau lebih,
mereka tetap bangga dengan bahasa Indonesia. Oleh karena itu, peran, perilaku dan keterlibatan seluruh elemen warga
yang tinggal di Entikong penting untuk membudayakan dan mengkampanyekan jati dirinya sebagai warga negara
Indonesia dengan “Saya Bangga Berbicara Bahasa Indonesia”. Berdasarkan uraian di atas, keterlibatan warga negara
Indonesia di Entikong merupakan bentuk partisipasi positif warga negara yang ditunjukkan melalui sikap dan perilaku
nasionalisme dalam menyelesaikan degradasi identitas nasional. Peran dan kesukarelaan seluruh lapisan masyarakat
perbatasan sebagai agen perubahan menjadi penentu keterlibatan warga yang berkelanjutan (Martens & Hobbs,2015).
Komponen penting dari keterlibatan masyarakat adalah solidaritas dan kesukarelaan masyarakat setempat (Duarte Alonso
& Liu,2013). Melalui kerelawanan, partisipasi aktif dan inisiatif masyarakat lokal dalam memecahkan masalah yang
berkaitan dengan lingkungan sosial dapat diselesaikan dengan kesadaran diri masing-masing (Kapucu,2011; Zhu,2015).
Upaya partisipatif yang dilakukan masyarakat etnis secara intensif dilakukan dengan alasan seperti aspek geografis yang
mempengaruhi kedwibahasaan bahasa, perilaku individu yang mengarah pada transnasionalisme bahasa, dan faktor
demografi yaitu persebaran penduduk multikultural. Upaya pelibatan dan partisipasi aktif tersebut bertujuan agar
masyarakat perbatasan dapat berkontribusi secara penuh dalam memelihara bahasa Indonesia dan budaya lokal di
Indonesia, khususnya di wilayah perbatasan Entikong (Indonesia–Malaysia) sebagai bentuk identitas nasional bangsa
Indonesia. bangsa.

5 | KESIMPULAN

Peran pelibatan masyarakat di Entikong memiliki relevansi konseptual dengan upaya dan pemeliharaan serta loyalitas terhadap

bahasa. Hal itu tersirat dalam bentuk gagasan, peran, keterlibatan dan sikap bahasa yang terletak pada sistem budaya dan interaksi

sosial di perbatasan. Terbukti dengan peran guru di sekolah melalui pengajaran bahasa Indonesia yang dapat meningkatkan

kebiasaan siswa untuk menggunakan bahasa Indonesia di dalam dan di luar sekolah. Jelas bahwa pengurangan penggunaan

bahasa Indonesia di masyarakat perbatasan yang bersangkutan berpotensi melemahkan posisi identitas nasional warga negara.

Untuk alasan ini, pelibatan masyarakat sangat penting untuk mendukung dan mensosialisasikan penggunaan bahasa Indonesia di

daerah perbatasan (dapat mendorong kesadaran masyarakat lokal yang multi etnis untuk membiasakan menggunakan bahasa

Indonesia saat berinteraksi dengan suku yang berbeda). Dalam interaksi sosial sehari-hari, masih banyak masyarakat etnis

perbatasan yang berinteraksi dalam bahasa daerah. Bahkan banyak orang yang berinteraksi dengan lawan bicaranya yang berbeda

suku berkomunikasi dalam bahasa tertentu. Oleh karena itu, harus ada dukungan dari pemerintah Indonesia dan seluruh

masyarakat setempat untuk membudayakan penggunaan bahasa Indonesia dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat. Namun,

ditemukan bahwa penggunaan bahasa Indonesia sebagai identitas nasional Indonesia berdampak positif dalam menjaga stabilitas

nasional di wilayah perbatasan antar negara. Masyarakat Indonesia di perbatasan Indonesia-Malaysia dikategorikan sebagai

masyarakat nasionalis. Oleh karena itu, kebangsaan tidak akan pernah pudar akibat globalisasi di antara warga di wilayah

perbatasan. Sikap berbahasa masyarakat perbatasan tetap terjaga dengan baik karena kesadaran dan kesukarelaan yang

mendorong masyarakat perbatasan untuk terlibat langsung dalam menjaga dan mewujudkan nasionalisme.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis mengucapkan terima kasih kepada setiap informan dari masyarakat etnis Dayak, Melayu, dan Tionghoa di Entikong
yang bersedia menjadi nara sumber untuk melakukan penelitian ini. Selain itu, terima kasih kepada kepala sekolah dan
guru-guru di SMA 1 Sekayam atas keramahan dan bantuannya selama proses pendataan lapangan.

KONFLIK KEPENTINGAN
Para penulis menyatakan bahwa tidak ada konflik kepentingan.
12 | MARTONO ET AL.

KONTRIBUSI PENULIS
Martono: Konseptualisasi, kurasi data, perolehan dana, investigasi, metodologi, supervisi, penulisan draft asli,
penulisan—review dan editing. Jagad Aditya Dewantara: Konseptualisasi, kurasi data, analisis formal,
pengumpulan data, investigasi, metodologi, supervisi, penulisan—draf asli, penulisan—review dan penyuntingan.
Efriani: Kurasi data, analisis formal, penulisan—review dan editing, penulisan—draf asli. Wibowo Heru Prasetiyo:
Konseptualisasi, metodologi, penulisan—review dan editing.

ORCID
Martono Martono https://orcid.org/0000-0002-3881-5622
Jagad Aditya Dewantara https://orcid.org/0000-0002-3734-4283
Efriani Efriani https://orcid.org/0000-0003-1087-9429
Wibowo Heru Prasetiyo http://orcid.org/0000-0002-9146-063X

REFERENSI
Abbott, A. (2017). identitas dan nilai budaya Indonesia.Kedaulatan pendidikan dan pertukaran transnasional di pasca-
pendidikan menengah Indonesia (hlm. 135-161). Peloncat.https://doi.org/10.1007/978-3-319-53985-0
Adha, MM, Budimansyah, D., Kartadinata, S., & Sundawa, D. (2019). Munculnya kerelawanan untuk milenial Indonesia
generasi: Partisipasi dan tanggung jawab sukarelawan. Jurnal Perilaku Manusia Dalam Lingkungan Sosial, 29(4), 467–
483. https://doi.org/10.1080/10911359.2018.1550459
Adler, RP, & Goggin, J. (2005). Apa yang kami maksud dengan “keterlibatan masyarakat”?Jurnal Pendidikan Transformatif, 3(3), 236–
253. https://doi.org/10.1177/1541344605276792
Amster, MH, & Lindquist, J. (2005). Perbatasan, kedaulatan, dan taktik perkawinan: Perbandingan dari dataran tinggi borneo
dan segitiga pertumbuhan Indonesia–Malaysia–Singapura. Jurnal Antropologi Asia Pasifik, 6(1), 1–17. https://doi. org/
10.1080/144422105000074846
Asri, DPB (2018). Perlindungan hukum terhadap kebudayaan Melalui World Heritage Center UNESCO.Jurnal Hukum Ius
Quia Iustum, 25(2), 256–276. https://doi.org/10.20885/iustum.vol25.iss2.art3
Azis, AL (2014). Penguatan identitas bahasa Indonesia sebagai lambang identitas nasional dan bahasa persatuan jelang
penerapan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015. Studi Sosial, 6(1), 14–20.
Budiawan. (2017). Bagaimana orang Indonesia mengingat Konfrontasi? Hubungan Indonesia–Malaysia dan kenangan populer tentang
“Konfrontasi” setelah jatuhnya Suharto. Studi Budaya Antar-Asia, 18(3), 364–375. https://doi.org/10.1080/
14649373.2017.1345349
Campbell, JW (2016). Model motivasi kerja dan ambiguitas peran berbasis kolaborasi dalam organisasi publik.Publik
Tinjauan Kinerja dan Manajemen, 39(3), 655–675. https://doi.org/10.1080/15309576.2015.1137763
Chan, LK (1999). Komunikasi, identitas nasional, dan identitas budaya di Singapura: tanggapan grafis terhadap "Bicara"
kampanye Mandarin”. Desain Jurnal, 2(1), 24-38. https://doi.org/10.2752/146069299790718651
Clark, M. (2013). Politik warisan: kontestasi budaya Indonesia-Malaysia.Indonesia dan Dunia Melayu,
41(121), 396–417. https://doi.org/10.1080/13639811.2013.804979
Creswell, JW (2009). Desain penelitian: Pendekatan kualitatif, kuantitatif, dan metode campuran (Edisi Ketiga). SAGE
Publikasi, Inc.
Davies, S., & Whitehead, NL (2012). Dari peta hingga kutukan mumi: Memikirkan kembali pertemuan, etnografi, dan etnologi.
Sejarah dan Antropologi, 23(2), 173-182. https://doi.org/10.1080/02757206.2012.675779
Deol, SS (2019). Etnonasionalisme dan militansi Sikh: Manifestasi dan prognosis.Etnis Asia, 20(2), 183–209.https://doi.org/
10.1080/14631369.2018.1491289
Dewantara, JA, Efriani, S.ulistyarini, & Prasetiyo, WH (2020). Optimalisasi pendidikan karakter melalui komunitas
partisipasi di sekitar lingkungan sekolah (studi kasus di lab sekolah SMP Negeri Bandung). Jurnal Etika Demokrasi, 5(
1), 53–66.
Dostal, P., & Jelen, L. (2015). De-russianisasi ruang pasca-soviet barat: Antara nasionalisasi tebal dan tipis
proses. Geopolitik, 20(4), 757–792. https://doi.org/10.1080/14650045.2015.1057815
Duarte Alonso, AA, & Liu, Y. (2013). Komunitas lokal, relawan dan pengembangan pariwisata: Kasus kayu hitam
lembah sungai, Australia barat. Isu Terkini dalam Pariwisata, 16(1), 47–62. https://doi.org/10.1080/13683500.2011.
644770
Dubravac, V., & Skopljak, N. (2020). Bahasa asing dan multibahasa bermain di situs sosial sebagai penanda identitas.Jurnal dari
Wacana Multikultural, 15(1), 61–79. https://doi.org/10.1080/17447143.2019.1701678
MARTONO ET AL. | 13

Eastman, CM, & Stein, RF (1993). Tampilan bahasa: Otentikasi klaim identitas sosial.Jurnal Multibahasa dan
Pengembangan Multikultural, 14(3), 187–202. https://doi.org/10.1080/01434632.1993.9994528
Eric Hobsbawm. (1996). Budaya dan identitas nasional.Penelitian Sosial, 63(4), 1065–1080. Ernanda. (2018). Pemilihan Bahasa dan
Sikap Bahasa pada masyarakat pondok tinggi kerinci.Titian: Jurnal Ilmu Humaniora,
02(02), 193–211.
Etxeberria, F. (2003). Tantangan baru untuk pendidikan bilingual di negara Basque.Pendidikan Antarbudaya, 14(1), 93–107.
https://doi.org/10.1080/1467598032000044683
Fakih, F. (2017). Malaysia sebagai “Lainnya” dalam wacana populer Indonesia.Studi Budaya Antar-Asia, 18(3), 376–390. https://
doi.org/10.1080/14649373.2017.1354687
Foulcher, K. (2000). Sumpah pemuda: Pembuatan dan Arti Lambang Kebangsaan Indonesia.Ulasan Studi Asia,
24(3), 377–410. https://doi.org/10.1080/10357820008713281
Gao, F. (2009). Bahasa dan kekuatan: sikap dan praktik bahasa siswa Korea–Cina.Jurnal Multibahasa dan
Pengembangan Multikultural, 30(6), 525–534. https://doi.org/10.1080/01434630903147922
Gardner, P. (2014). Peran keterlibatan sosial dan identitas dalam mobilitas komunitas di antara lansia yang menua.
Disabilitas dan Rehabilitasi, 36(15), 1249–1257. https://doi.org/10.3109/09638288.2013.837970
Gibbons, JA, Hammersley, M., & Atkinson, P. (1986). Etnografi: Prinsip dalam praktik.Sosiologi Kontemporer, 15(Isu
3). https://doi.org/10.2307/2070079
Halim, A. (1971). Multilingualisme dalam kaitannya dengan perkembangan bahasa Indonesia.Jurnal RELC, 2(2), 4–19. https://doi.
org/10.1177/003368827100200202
Hariyanto, G., Tangdililing, AB, & Suja'ie, H. (2014). Konstruksi dan ekonstruksi Identitas kelompok etnis dayak katolik di
desa korek kecamatan sungai ambawang kabupaten kubu raya. Tesis PSIS-PMIS Untan, 1–16.
Harun, A., Razak, MRA, Ali, A., Nasir, MNF, & Lili Eliana, R.adzuan (2015). Antropomorfisme dalam kartun politik:
Studi kasus konfrontasi Malaysia-Indonesia 1965. Di dalamKolokium Internasional Penelitian Pendidikan Seni dan
Desain (i-CADER 2014). Springer Science + Media Bisnis Singapura,53–60. https://doi.org/10.1007/978-981-287- 332-3

Iredale, R., Bilik, N., Su, W., Guo, F., & Hoy, C. (2001). Migrasi minoritas kontemporer, pendidikan dan etnis di Cina.
Edward Elgar.
Kapucu, N. (2011). Modal sosial dan keterlibatan sipil.Jurnal Internasional Penyelidikan Sosial, 4(1), 23–43.
Karliani, E., Kartadinata, S., Winataputra, US, & Komalasari, K. (2019). Keterlibatan masyarakat Indonesia di kalangan perguruan tinggi
siswa. Jurnal Perilaku Manusia Dalam Lingkungan Sosial, 00(00), 1–11. https://doi.org/10.1080/10911359.2019.
1571980
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2016).Analisis kondisi jati diri kebudayaan.Kulyk, V. (2016). Bahasa dan identitas
di Ukraina setelah Euromaidan.Tesis Sebelas, 136(1), 90–106. https://doi.org/10.
1177/0725513616668621
Pengacara, S., Laurison, DL, & Van Antwerpen, J. (2006). Pendidikan liberal dan keterlibatan sipil: Proyek Ford
Program pengetahuan, kreativitas, dan kebebasan yayasan.
Luchtenberg, S. (2002). Bilingualisme dan pendidikan kedwibahasaan dan hubungannya dengan kewarganegaraan dari perbandingan
Perspektif Jerman-Australia. Pendidikan Antarbudaya, 13(1), 49–61. https://doi.org/10.1080/14675980120112931
Luscombe, LD, & Kazdal, V. (2014). Bahasa dan identitas di dunia pasca-Soviet: bahasa pendidikan dan linguistik
identitas di kalangan mahasiswa Azerbaijan. Makalah Kebangsaan, 42(6), 1015–1033. https://doi.org/10.1080/00905992.
2014.938034
Léglise, I., & Migge, B. (2019). Konstruksi bahasa dan identitas di perbatasan Guyana Prancis-Suriname.Internasional
Jurnal Multilingualisme, 0(0), 1–15. https://doi.org/10.1080/14790718.2019.1633332
Mahayana, S. (1970). Perkembangan Bahasa Indonesia—Melayu di Indonesia dalam konteks sistem pendidikan.INSANIA:
Jurnal Pemikiran Alternatif Kependidikan, 14(3), 395–424. https://doi.org/10.24090/insania.v14i3.350
Marsudi, M. (2008). Eksistensi Bahasa Indonesia sebagai Bahasa persatuan.Jurnal Sosial Humaniora, 1(2), 172–184. https://
doi.org/10.12962/j24433527.v1i2.674
Martens, H., & Hobbs, R. (2015). Bagaimana literasi media mendukung keterlibatan sipil di era digital.Jurnal Atlantik
Komunikasi, 23(2), 120–137. https://doi.org/10.1080/15456870.2014.961636
McDonough, K., & Cormier, AA (2013). Di luar pendidikan patriotik: Menemukan tempat nasionalisme di sekolah umum
kurikulum. Pendidikan, Kewarganegaraan dan Keadilan Sosial, 8(2), 135–150. https://doi.org/10.1177/1746197913483657
Mulyadi, R. (1978). Beberapa hasil kongres Bahasa Indonesia III.Lingkaran Indonesia. Sekolah Studi Oriental & Afrika.
Buletin, 6(17), 44. https://doi.org/10.1080/03062847808723722
Nababan, PWJ (1991). Bahasa dalam Pendidikan: kasus Indonesia.Tinjauan Internasional Pendidikan-Internasional
Zeitschrift Fiir Erziehungswissenschaft-Revue Internationale de Pedagogie, 37(1), 115-131.
Newman, J. (1988). Kampanye berbahasa mandarin Singapura.Jurnal Pengembangan Multibahasa dan Multikultural, 9(5),
437–448. https://doi.org/10.1080/01434632.1988.9994348
14 | MARTONO ET AL.

Nichols, PC (1992). Investigasi keusangan: Studi dalam kontraksi bahasa dan kematian. Diedit oleh Nancy C. Dorian.
Jurnal Bahasa Pidgin dan Kreol, 7(1), 172-177. https://doi.org/10.1075/jpcl.7.1.21nic
Noerwidi, S. (2014). Migrasi Austronesia dan kejutannya terhadap perkembangan budaya di pulau Indonesia.Amerika,
32(Tidak 1), 1–10. https://doi.org/10.24832/amt.v32i1.374
Pancer, SM (2015). Psikologi kewarganegaraan dan keterlibatan sipil. Pers Universitas Oxford. https://doi.org/10.1017/
CBO9781107415324.004
Parekh, B. (1995). Konsep identitas nasional.Jurnal Studi Etnis dan Migrasi, 21(2), 255–268. https://doi.org/
10.1080/13691830802364924
Phillips, N. (1973). Perbedaan Bahasa Indonesia dan Bahasa Malaysia.Lingkaran Indonesia. Sekolah Oriental & Afrika
Studi. Buletin, 1(2), 7–9. https://doi.org/10.1080/03062847308723526
Piattoeva, N. (2015). Kewarganegaraan dan Kebangsaan.Ensiklopedia Ras, Etnis, dan Nasionalisme Wiley Blackwell, 1-4.
https://doi.org/10.1002/9781118663202.wberen560
Tukang Pos, WA (2011). Beberapa perhatian kritis untuk mengadaptasi tes Aphasia bilingual ke Bahasa Indonesia.Klinis
Linguistik dan Fonetik, 25(6–7), 619–627. https://doi.org/10.3109/02699206.2011.566665
Prasetiyo, WH, Kamarudin, KR, & Dewantara, JA (2019). Surabaya hijau dan bersih: Menjaga lingkungan perkotaan
melalui keterlibatan masyarakat sipil. Jurnal Perilaku Manusia Dalam Lingkungan Sosial, 29(8), 997–1014. https://
doi.org/10.1080/10911359.2019.1642821
Rensch, CR, Rensch, CM, Noeb, J., & Ridu, RS (2012). Bahasa Bidayuh: Kemarin, Hari Ini dan Besok.Rovira, L. (2008).
Hubungan antara bahasa dan identitas. Penggunaan bahasa ibu sebagai hak asasi manusia
imigran. Remhu-Revista Interdisipliner Da Mobilidade Humana, XVI(31), 63–81.
Santinello, M., Cristini, F., Vieno, A., & Scacchi, L. (2012). "Kesukarelawanan secara kebetulan" untuk mempromosikan tanggung jawab sipil dan kewarganegaraan

keterlibatan: Apakah itu berhasil? Jurnal Pencegahan dan Intervensi di Masyarakat, 40(1), 64–79. https://doi.org/10.
1080/10852352.2012.633068
Saputra, NE, Ekawati, YN, & Islamiah, R. (2019). Konstruksi Alat Ukur Karakter Nasional.Jurnal Psikologi Terapan Dan
Pendidikan, 1(2), 63–98. https://doi.org/10.26555/jptp.v1i2.15137
Sari, BT, Chasiotis, A., van de Vijver, FJR, & Bender, M. (2018). Pemeliharaan budaya orang tua, bilingualisme, identitas, dan
kesejahteraan remaja Jawa, Batak, dan Tionghoa di Indonesia. Jurnal Pengembangan Multibahasa dan Multikultural,
39(10), 853–867. https://doi.org/10.1080/01434632.2018.1449847
Sari, BT, van de Vijver, FJR, Chasiotis, A., & Bender, M. (2019). Bilingualisme kontekstual di kalangan remaja dari
empat suku bangsa yang berbeda di Indonesia. Jurnal Internasional Bilingualisme, 23(6), 1469-1482. https://doi.org/10.
1177/1367006918803678
Schnee, E., Lebih Baik, A., & Cummings, MC (2016). Pedagogi Keterlibatan Masyarakat di Community College: Teori dan Praktek.
Peloncat. https://doi.org/10.1007/978-3-319-22945-4_13
Pendek, D. (2010). Genosida budaya dan masyarakat adat: Pendekatan sosiologis.Jurnal Internasional Hak Asasi Manusia,
14(6), 833–848. https://doi.org/10.1080/13642987.2010.512126
Stamm, L. (2009). Keterlibatan masyarakat dalam pendidikan tinggi: Konsep dan praktik.Jurnal Perguruan Tinggi dan Karakter, 10(4).
https://doi.org/10.2202/1940-1639.1050
Stille, S. (2015). Identitas sebagai situs perbedaan: Menuju pemahaman identitas yang kompleks dalam multibahasa, multikultural
ruang kelas. Pendidikan Antarbudaya, 26(6), 483–496. https://doi.org/10.1080/14675986.2015.1109777
Suter, EA, Reyes, KL, & Ballard, RL (2011). Pembingkaian orang tua angkat tentang konsepsi orang awam tentang keluarga.Kualitatif
Laporan Penelitian dalam Komunikasi, 12(1), 44–50. https://doi.org/10.1080/17459435.2011.601524
Teeuw, A. (1967). Sastra Indonesia masa kini. Di dalamSastra Indonesia masa kini. https://doi.org/10.1007/978-94-015-
0768-4
Teo, P. (2005). Mandarinising Singapura: Analisis kritis terhadap slogan-slogan dalam kampanye “Bicara Mandarin” Singapura.Kritis
Studi Wacana, 2(2), 121-142. https://doi.org/10.1080/17405900500283565
Thomas, E. (1990). Kesalehan berbakti, perubahan sosial dan pemuda Singapura.Jurnal Pendidikan Moral, 19(3), 192-205. https://doi.
org/10.1080/0305724900190305
Tinajero, G., & Englander, K. (2011). Pendidikan bilingual-interkultural untuk anak-anak pribumi: Kasus Meksiko di era
globalisasi dan pemberontakan. Pendidikan Antarbudaya, 22(3), 163-178. https://doi.org/10.1080/14675986.2011.
592019
Tondo, FH (2009). Kepunahan Bahasa Daerah: Faktor penyebab dan pemicu etnolinguistik.Jurnal Masyarakat &
Budaya, 11(2), 277–296.
Triyono, S. (2006). Pembahasan hasil penelithian: Pegeseran Bahasa daeah akibat kontak Bahasa melalui pembauran. Sulis
Triyono FBS Universitas Negeri Yogyakarta. Sastra.
Tumonggor, MK, Karafet, TM, Hallmark, B., Lansing, JS, Sudoyo, H., Hammer, MF, & Cox, MP (2013). NS
Kepulauan Indonesia: Jalan raya genetik kuno yang menghubungkan Asia dan Pasifik. Jurnal Genetika Manusia, 58(3), 165-173.
https://doi.org/10.1038/jhg.2012.154
MARTONO ET AL. | 15

Vanek, J., King, K., & Bigelow, M. (2018). Kehadiran dan Identitas Sosial: Facebook di kelas bahasa Inggris.jurnal
Bahasa, Identitas dan Pendidikan, 17(4), 236–254. https://doi.org/10.1080/15348458.2018.1442223
Vedder, P., & Virta, E. (2005). Bahasa, identitas etnis, dan adaptasi pemuda imigran Turki di Belanda
dan Swedia. Jurnal Internasional Hubungan Antarbudaya, 29(3), 317–337. https://doi.org/10.1016/j.ijintrel.2005.
05.006
Wyn, J., & Woodman, D. (2006). Generasi, pemuda dan perubahan sosial di Australia.Jurnal Studi Pemuda, 9(5), 495–514.
https://doi.org/10.1080/13676260600805713
Yucel, CS (2011). Bahasa dan definisi sastra: Batas kabur sastra Kurdi di masa kini
Turki. Sastra Timur Tengah, 14(2), 171–184. https://doi.org/10.1080/1475262X.2011.583467
Zein, RA (2018). Ada apa dengan menjadi orang Indonesia? Pendekatan representasi sosial untuk mengungkap Indonesia
identitas nasional/Qué significa ser indonesio? Una perspectiva de la representación social para desentrañar la
identidad nacional indonesia.Revista de Psicologia Sosial, 33(2), 390–423. https://doi.org/10.1080/02134748.2018.
1435219
Zhu, Y. (2015). Menuju keterlibatan masyarakat: Dapatkah lingkungan binaan membantu? partisipasi akar rumput dan komunal
ruang di komunitas perkotaan Cina. Habitat Internasional, 46, 44–53. https://doi.org/10.1016/j.habitatint.2014.
10.013

Cara mengutip artikel ini: Martono M, Dewantara JA, Efriani, Prasetiyo WH. Identitas bangsa di
perbatasan: kesadaran dan sikap berbahasa Indonesia melalui pelibatan masyarakat multietnis.J Psikolog
Komunitas. 2021; 1–15. https://doi.org/10.1002/jcop.22505

Anda mungkin juga menyukai