Anda di halaman 1dari 16

BUKU JAWABAN UJIAN (BJU)

UAS TAKE HOME EXAM (THE)


SEMESTER 2021/22.2 (2022.1)

Nama Mahasiswa : ISTIQOMAH

Nomor Induk Mahasiswa/NIM : 041259598

Tanggal Lahir : 20 Maret 1986

Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM4408/HUKUM ISLAM DAN ACARA PERADILAN AGAMA

Kode/Nama Program Studi : 311/ILMU HUKUM

Kode/Nama UPBJJ : 50/SAMARINDA

Hari/Tanggal UAS THE : MINGGU, 26 JUNI 2022

Tanda Tangan Peserta Ujian

Petunjuk

1. Anda wajib mengisi secara lengkap dan benar identitas pada cover BJU pada halaman ini.
2. Anda wajib mengisi dan menandatangani surat pernyataan kejujuran akademik.
3. Jawaban bisa dikerjakan dengan diketik atau tulis tangan.
4. Jawaban diunggah disertai dengan cover BJU dan surat pernyataan kejujuran akademik.

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN


RISET, DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS TERBUKA
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

Surat Pernyataan Mahasiswa


Kejujuran Akademik

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama Mahasiswa : ISTIQOMAH…………………………………………………………………..


NIM : 041259598.…………………………………………………………………..
Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM4408/HUKUM ISLAM DAN ACARA PERADILAN
AGAMA
Fakultas : FHISIP.…………………………………………………………………………..
Program Studi : 311/ILMU HUKUM………………………………………………………..
UPBJJ-UT : 50/SAMARINDA…..…………………………………………………………

1. Saya tidak menerima naskah UAS THE dari siapapun selain mengunduh dari aplikasi THE pada laman
https://the.ut.ac.id.
2. Saya tidak memberikan naskah UAS THE kepada siapapun.
3. Saya tidak menerima dan atau memberikan bantuan dalam bentuk apapun dalam pengerjaan soal ujian
UAS THE.
4. Saya tidak melakukan plagiasi atas pekerjaan orang lain (menyalin dan mengakuinya sebagai pekerjaan
saya).
5. Saya memahami bahwa segala tindakan kecurangan akan mendapatkan hukuman sesuai dengan aturan
akademik yang berlaku di Universitas Terbuka.
6. Saya bersedia menjunjung tinggi ketertiban, kedisiplinan, dan integritas akademik dengan tidak
melakukan kecurangan, joki, menyebarluaskan soal dan jawaban UAS THE melalui media apapun, serta
tindakan tidak terpuji lainnya yang bertentangan dengan peraturan akademik Universitas Terbuka.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari terdapat pelanggaran
atas pernyataan di atas, saya bersedia bertanggung jawab dan menanggung sanksi akademik yang ditetapkan oleh
Universitas Terbuka.
Balikpapan, 26 Juni 2022

Yang Membuat Pernyataan

ISTIQOMAH
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

1. Studi Kasus Mr. X memiliki seorang ibu yang sedang sakit dan harus dioperasi sesegera mungkin sehingga
memerlukan uang untuk biaya operasinya .Pada waktu yang bersamaan Mr. X sudah berjanji kepada isterinya
akan membelikan gelang emas sebagai kado ulang tahun perkawinan. Selain itu juga, Mr. X juga sudah
berjanji pada anaknya yang sekarang ini duduk di kelas 4 SD untuk membelikan sepeda agar lebih mudah
pergi ke sekolah dan sebagai bentuk apresiasi karena mendapat rangking 1 di kelasnya.
Pertanyaan:
1. Buatlah klasifikasi pembagian tingkatan kemaslahatan yang terdapat dalam hukum Islam!
Jawaban :
Klasifikasi pembagian tingkatan kemaslahatan yang terdapat dalam Hukum Islam
Kemaslahatan yang menjadi tujuan syari’at ini dibatasi dalam lima hal, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan
dan harta. Setiap hal yang mengandung penjagaan atas lima hal tersebut disebut maslahah dan setiap hal
yang membuat hilangnya lima hal disebut mafsadah. Dalam usaha untuk mewujudkan dan
mempertahankan lima hal pokok tersebut, maka al-Syatibi membagi kemaslahatan tersebut pada tiga
tingkat, yaitu:
1. Kemaslahatan dharuri, Kemaslahatan ini adalah kepentingan yang harus ada untuk terwujudnya
kemaslahatan dunia dan akhirat. Apabila kepentingan tersebut tidak ada maka kelangsungan hidup di
dunia tidak dapat dipertahankan dan akhirat akan mengalami kerugian eskatologis.Kepentingan ini
disebut juga dengan kepentingan primer. Menurut al-Syatibi, perlindungan terhadap lima
kemaslahatan yang telah disebutkan di atas digolongkan ke dalam kategori kemaslahatan ini. Untuk
mewujudkan tujuan ini disyari’atkan hukuman terhadap orang yang membawa dan menyebarkan
ajaran sesat, disyari’atkannya qiyas yang bertujuan untuk melindungi jiwa, pidana dera untuk minum
khamar yang bertujuan melindungi akal, pidana zina yang bertujuan melindungi keturunan, pidana
pencurian untuk melindungi kekayaan orang yang merupakan sendi kehidupan manusia.
2. Kemaslahatan hajji, yakni kepentingan yang harus ada demi terwujudnya kemaslahatan yang
tanpanya kemaslahatan hidup masih dipertahankan, akan tetapi dalam kesulitan dan tidak normal.
Contohnya adalah pemberian hak kepada wali mujbir untuk mengawinkan anak dibawah umur Ini
memang bukan merupakan suatu yang bersifat dharuri, akan tetapi sangat dibutuhkan dengan alasan
supaya tidak kehilangan jodoh yang sepadan. Ini berbeda halnya dengan hak wali untuk melakukan
pengurusan kepentingan pendidikan anak dan pemenuhan kebutuhan lainnya yang berada pada
tingkat dharuri karena kebutuhan kepada nafkah dan pemeliharaan yang menyangkut kelangsungan
hidup anak.
3. Kemaslahatan tahsini, yakni perwujudan kepentingan yang tidak bersifat dharuri dan tidak bersifat
haji. Dengan kata lain, jika kepentingan ini tidak terwujud, maka tidak menyebabkan kesulitan apalagi
mengancam kelangsungan hidup. Sifatnya hanyalah komplementer yang bertujuan untuk
mewujudkan praktek ibadah dan muamalat yang lebih baik serta mendorong akhlak dan kebiasaan
terpuji. Contohnya adalah pendapat Syafi’i yang melarang jual beli kotoran dan anjing serta semua
benda najis. Alasannya dianalogikan dengan jual beli khamar dan bangkai karena najisnya. Penetapan
kenajisan kedua benda tersebut mengisyaratkan pandangan bahwa benda tersebut kurang berguna.
Kalau dibolehkan jual beli benda tersebut, berarti memberikan penilaian yang menghargai barang itu
dan ini bertentangan dengan isyarat-isyarat yang menganggapnya sebagai benda tidak berharga.

Berdsarkan berbagai pandangan para ulama dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa mereka sepakat
tentang tujuan Allah mensyari’atkan sebuah hukuman adalah untuk memelihara kemaslahatan selruh
manusia. Dilain sisi untuk menghindari mafsadat, baik di dunia maupun di akhirat. Tujuan tersebut
dicapai lewat taklif, yang pelaksanaannya sangat tergantung pada pemahaman sumber hukum utama,
al-quran dan hadits.

2. Berikanlah analisis terkait studi kasus tersebut dihubungkan dengan tingkatan kemaslahatan dalam
hukum Islam!
Jawaban :
Menurut pandangan saya terkait kasus Mr.X memiliki seorang ibu yang sedang sakit dan harus dioperasi
sesegera mungkin sehingga memerlukan uang untuk untuk biaya operasinya. Hal ini merupakan
kepentingan esensial dan merupakan kebutuhan pokok atau paling mendasar dalam kehidupan manusia/
kebutuhan primer. Karena hal tersebut menyangkut pemeliharaan kemaslahatan yang menyangkut
kehidupan di akhirat. Apabila kemaslahatan tersebut tidak terpenuhi untuk segera mengoperasikan Ibu
dari Mr. X, maka mengakibatkan masfadah (kerusakan atau bahaya) dengan demikian akan menyebabkan
kehidupan manusia menjadi cacat/ cedera bahkan sampai meninggal dunia.

Adapula dalam waktu yang bersamaan Mr.X sudah berjanji kepada istrinya akan membelikan gelang emas
sebagai kado ulang tahun perkawinan dan dalam waktu yang sama Mr.X juga berjanji akan
kepadaanaknya untuk memebelikan sepeda sebagai bentuk apresiasi karena mendapat rangking 1. Apa
yang dijanjikan oleh Mr. X sebagai penunjang atau didalamnya terdapat kemaslahatan pelengkap dan
sebagai penyempurnaan dari dua kemaslahatan sebelumnya. apabila kemaslahatan ini tidak terpenuhi,
maka tidak akan mempersulit apalagi merusak kehidupan manusia.

Dari kasus tersebut dapat disimpulkan bahwa Mr. X lebih mengutamakan Ibunya yang sedang sakit dan
membutuhkan biaya untuk dioperasikan (kebutuhan dharuriyat) bila dibandingkan dengan janji kepada
istri dan anaknya Mr.X dapat membeli gelang emas dan sepeda dilain waktu yang tidak mengganggu
apalagi mempersulit mereka berdua.

2. Mrs. Y berasal dari Kota Bandung. Tetangganya mengenal ia sebagai seorang yang rajin beribadah shalat dan
puasa. Ia bekerja di salah satu perusahaan ternama sebagai seorang manager. Suatu ketika tepatnya pada
bulan Januari 2020, ia diberi bonus dari kantor berupa 2 gelang emas, masing-masing 30 gram, kalung 30
gram, dan anting 5 gram. Perhiasan emas tersebut tidak dipakai tapi hanya disimpan dalam lemari sampai
masuk bulan Januari 2021.
Pertanyaan:
a. Tentukan syarat-syarat orang yang mengeluarkan zakat!
Jawaban:
Syarat – syarat orang mengeluarkan zakat! Antara lain:
1) Mukmin dan muslim
Zakat adalah rukun islam ke empat, oleh karena itu zakat hanya diwajibkan kepada seorang muslim dan
mukmin. Tidak ada kewajiban zakat bagi orang yang beragama selain Islam.
2) Baligh dan berakal sehat
Anak – anak yang belum cukup umur atau orang – orang tidak waras akalnya tidak wajib untuk
mengeluarkan zakat. Kewajiban terhadap harta yang sudah memenuhi nishab dibebankan kepada wali
atau orang yang mengurus tentang hal tersebut. Contohnya adalah anak yatim yang mempunyai harta
yang telah memenuhi syarat untuk dikeluarkan zakatnya.
3) Memiliki harta yang mencapai nishab dengan milik sempurna Harta yang akan dikeluarkan sudah
mencakup jumlah dan waktu yang telah ditetapkan berdasarkan syariah agama

b. Buat analisis dari kasus tersebut dihubungkan dengan syarat orang yang mengeluarkan zakat!
Jawaban :

Menurut pandangan saya, Mr. Y adalah seorang yang rajin beribadah shalat dan puasa sehingga yang
bersangkutan adalah merupakan bagian dari seorang muslim yang wajib mengeluarkan zakat kepada anak
yatim dimana Mr. Y memiliki harta yang mencapai nishab dengan milik sempurna berupa 2 gelang emas,
masing – masing 30 gram, kalung 30 gram dan anting 5 gram, bahkan perhiasan emas tersebut sudah
tersimpan selama 1 tahun terhitung bulan Januari 2020 sampai dengan bulan Januari 2021. Dapat saya
jelaskan pula bahwa berdasarkan kasus tersbut syarat zakat yang harus di zakati adalah berlaku satu
tahun(Haul), artinya bahwa harta itu harus mencapai waktu tertentu pengeluaran zakat, biasanya dua belas
bulan atau setiap kali menunaikan panen. Persyaratan ini berlaku pada salah satu harta berupa emas dan
bagian dari harta yang wajib dizakati. Sesuai Firman Allah SWT dalam At Taubah 60: “Sesungguhnya zakat –
zakat itu, hanyalah untuk orang – orang fakir, orang – orang miskin, pengurus – pengurus zakat, para mu’allaf
yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang – orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan
untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

3). Studi Kasus Pada tanggal 01 Januari 2010, Mr. X mengajukan pembiayaan murabahah ke Bank Syariah guna
penambahan modal usaha sebesar 1 miliar rupiah dengan jaminan sertifikat perusahaan. Bank Syariah menyanggupi
pengajuan pembiayaan murabahah tersebut dengan permintaan margin 1% dari seluruh pembiayaan sehingga terjadi
kesepakatan antara Mr. X dengan Bank Syariah pada tanggal 02 Januari 2010 dengan pembayaran secara dicicil
selama 10 tahun. Pada 5 tahun pertama tidak terjadi permasalahan dalam pembayaran tetapi masuk pada tahun ke-6
(2016) Mr. X tidak melakukan pembayaran bahkan cicilan berhenti sama sekali dengan alasan usaha sedang
mengalami kelesuan. Setelah diingatkan melalui Surat Peringatan sebanyak 3 kali oleh Bank Syariah tentang
kewajiban pembayaran kepada Mr. X, namun tidak ada respon sama sekali sehingga Bank Syariah mengajukan
gugatan wanprestasi ke Pengadilan Negeri dengan dasar terdapat kesepakatannya dalam akad murabahah mengenai
lembaga penyelesaian sengketanya.
Pertanyaan:
1. Bagaimana pengaturan mengenai lembaga penyelesaian sengketa Bank Syariah.
“Penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkup peradilan agama,
Kecuali para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa dengan jalur lain sebelumnya,dimana
penyelesaian sengketa tersebut dilaksanakan sesuai apa yang diperjanjikan tersebut sebelumnya, yakni
bisa dengan cara musyawarah, mediasi perbankan, melalui badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas)
atau lembaga arbitrase lain, dan atau melalui pengadilan dalam lingkup peradilan umum” sesuai dengan
isi Akad berdasarkan Undang – Undang No 21 tahun 2008 tentang berbankan Syariah Pasal 55 yaitu:
1. Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Agama; 2. Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan dengan isi Akad;
3. Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan Prinsip
Syariah.
2. Buatlah analisis kasus di atas dengan menggunakan peraturan-peraturan mengenai lembaga penyelesaian
sengketa Bank Syariah di Indonesia!
Jawaban :
Untuk mempertahankan perkembangan perbankan syariah ke depan, dukungan hukum terhadap perbankan
syariah dari berbagai aspek yang sangat diperlukan. Salah satu aspek penting yang perlu diperhatikan adalah
mengenai penyelesaian sengketa perbankan syariah yang mungkin terjadi antara bank syariah, nasabah, dan
pemangku kepentingan ( stakeholder). Seperti bisnis lainnya, perselisihan di perbankan syariah juga tidak
dapat dihindarkan. Oleh karena perbankan didasarkan pada prinsip syariah ( syariah based ), maka
mekanisme penyelesaian sengketanya juga harus berdasarkan syariah ( sesuai dengan syariah ).

Di Indonesia, pengadilan yang menyelesaikan sengketa perbankan syariah adalah Pengadilan Agama. Sejak
tahun 2006, dengan diamendemennya UU No. 7 Tahun 1989 dengan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan
Agama, kewajiban Peradilan Agama diperluas. Di samping memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa
di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawaninan, waris, wasiat, hibah,
wakaf, zakat, infak, dan shadaqah, Pengadilan Agama juga di bidang ekonomi syariah (Pasal 49 ayat [i] UU No.
3 Tahun 2006). Dalam penjelasannya, yang dimaksud dengan “ekonomi syariah” adalah 'perbuatan atau
kegiatan yang dilaksanakan sesuai prinsip syariah, antara lain meliputi: (a) bank syariah; (b) lembaga
keuangan mikro syari'ah; (c) asuransi syariah; (d) reasuransi syariah; (e) reksa dana syariah; (f) obligasi syariah
dan surat berharga berjangka menengah syariah; (g) sekuritas syariah; (h) pembiayaan syariah; (i) pegadaian
syariah; (j) dana pensiunan lembaga keuangan syariah; dan (k) bisnis syariah.”

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa Pengadilan Agama tidak menyelesaikan sengketa perbankan
syariah. Kewenangan tersebut tidak hanya terbatas di bidang perbankan syariah saja, tapi juga di bidang
ekonomi syariah lainnya. Kemudian, Pengadilan Agama Kembali dalam Pasal 55 (1) UU No. 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah yang menyatakan bahwa penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh
Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Agama. Namun, Pasal 55 (2) UU ini memberi peluang kepada para
pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan perkara mereka di luar Pengadilan Agama apabila disepakati
bersama dalam isi akad. Sengketa tersebut dapat diselesaikan melalui musyawarah, mediasi perbankan.

Penyelesaian sengketa perbankan syariah melalui mekanisme penyelesaian sengketa alternatif di luar
pengadilan seperti musyawarah, mediasi, dan arbitrase syariah merupakan langkah yang dan layak untuk
diapresasi. Akan tetapi, masalah muncul ketika Pengadilan Negeri juga memberikan kewenangan yang sama
dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Terjadi dualisme penyelesaian sengketa dan
ketidakpastian hukum serta tumpang tindih dengan penyelesaian dalam suatu penyelesaian yang sama oleh
dua lembaga peradilan yang berbeda. Padahal, kewenangan ini merupakan kewenangan Pengadilan Agama
sebagaimana diatur dalam Pasal 49 (i) UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.

Karena adanya ketidakpastian hukum seperti inilah, maka Dadang Achmad, Direktur CV Benua Engineering
Consultant, mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi, memohon memohon Pasal 55 ayat (2) dan
(3) UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan syariah dengan alasan bertentangan dengan Pasal 28 UUD
1945. Pada tanggal 29 Agustus 2013, Majelis Mahkamah Konstitusi membuat putusan atas perkara Nomor
93/PUU-X/2012, permohonan permohonan Dadang Achmad, menyatakan bahwa penjelasan Pasal 55 ayat [2]
UU 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan
hukum mengikat. Lebih lanjut dalam salah satu pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa
adanya pilihan penyelesaian sengketa ( choice of forum)) untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah
sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU 21 Tahun 2008 pada akhirnya akan
menyebabkan adanya tumpang tindih kewenangan untuk mengadili, karena ada dua peradilan yang diberikan
kewenangan untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah, sedangkan dalam UU 3 Tahun 2006 tentang
Peradilan Agama tegas dinyatakan bahwa peradilan agama yang dilaksanakan secara lengkap tersebut.

Dengan adanya putusan Mahkamah Kontitusi tersebut, maka tidak ada lagi dualisme dalam penyelesaian
sengketa Perbankan Syariah. Pengadilan Agama menjadi satu-satunya pengadilan yang hanya menyelesaikan
sengketa Perbankan syariah. Hal ini semakin mengokohkan eksistensi Pengadilan Agama di Indonesia, tetapi
di sisi lain menjadi tantangan tersendiri, karena bidang perbankan syariah secara khusus dan ekonomi secara
umum merupakan bidang baru yang sangat kompleks permasalahannya. Keraguan banyak pihak akan
kemampuan Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa hukum syariah harus dibuktikan dengan
pembuktian para hakim di lingkungan peradilan agama dalam menyelesaikan sengketa-sengketa yang
memutuskanya. Para hakim harus memiliki pengetahuan yang mendalam tentang ilmu ekonomi syariah, baik
dari segi teori maupun praktik. Kapan pun diperlukan, di setiap pengadilan dibentuk hakim khusus dalam
menyelesaikan sengketa perbankan dan keuangan syariah. Penandatanganan Surat Keputusan Bersama (SKB)
yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dengan Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia tentang Kerjasama
Pelatihan Hakim di Bidang Kebanksentralan dan Sektor Jasa Keuangan pada bulan Juli 2014 lalu adalah
langkah-langkah yang perlu diapresiasi dan harus ditindaklanjuti.

4) Studi Kasus Mr. X, usia 70 tahun, agama Islam, pekerjaan pegawai bank telah menghibahkan sebidang
tanah seluas 5 hektare di daerah Bandung kepada Mr. Z, usia 45 tahun, agama Kristen, pekerjaan
wiraswasta yang dituangkan dalam Akta Hibah pada tanggal 15 Juni 2020. Setelah Mr. X meninggal, Mrs.
Y selaku ahli waris mempermasalahkan pemberian hibah yang telah dilakukan dengan mengajukan
gugatan ke Pengadilan Negeri Bandung mengenai kepemilikan tanah seluas 5 hektare di daerah Bandung
yang dikuasai oleh Mr. Z.
Pertanyaan:
1. Bagaimana pengaturan mengenai lembaga penyelesaian sengketa kepemilikan dalam UU Nomor 3
Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama?
Jawaban :
Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menetapkan kewenangan Peradilan
Agama yaitu memeriksa,memutus dan menyelesaikan perkara antara orang - orang yang beragama
Islam dan perkara perdata tertentu seputar perkawinan,kewarisan,wasiat,hibah,wakaf dan sedekah
yang dilakllkan berdasarkan hukum Islam. dalam perkembangannya UU No.3 tahun 2006 tentang
perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, kewenangan Peradilan Agama telah
memberikan tambahan kewenangan kepada Peradilan Agama yaitu memeriksa,memutus dan
menyelesaikan perkara zakat,infaq dan ekonomi syariah.

UU No.3 tahun 2006 menyatakan bahwa sengketa ekonomi syariah menjadi kewenangan Peradilan
Agama secara mutlak. Undang-undang pun menyebutkan apa yang dimaksud dengan ekonomi
syariah, yaitu perbuatan atau kegiatan usaha yang di laksanakan menuru! prinsip syariah, meliputi
bank syariah,lembaga keuangan mikro syariah,asuransi syariah,reasuransi syariah,reksadana
syariah,obl igasi syariah,pegadaian syariah.

Berkaitan dengan perkembangan perbankan syariah di Indonesia, pada tahun 1998 eksistensi Bank
Syariah telah dikukuhkan dengan dikeluarkannya UV No 10 Tahun 1998 tentang Perubahan VU No.7
Tahun 1992 tentang Perbankan. Oalam undang-undang ini terdapat beberapa perubahan yang
memberikan peluang yang lebih besar bagi pengembangan perbankan syariah di Indonesia.
Undangundang ini pun memberikan penegasan terhadap konsep perbankan Islam dengan mengubah
penyebutan "Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil" pada Undang-Undang NO.7 Tahun 1992, menjadi
"Bank Berdasarkan Prinsip Syariah", Juga terdapat penguatan kedudukan Hukum Islam bidang
perikatan dalam tatanan hukum positif.

Kompetensi absolut Peradilan Agama diatur dalam Pasal 49 Undang-undang No.3 Tahun 2006
tentang Perubahan atas undngundang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yaitu khusus
memeriksa,memutus,dan menyeiesaikan perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam
di bidang :
a. Perkawinan;
b. kewarisan (meliputi wasiat dan hibah);
c. Zakat,wakaf,infaq,dan shadaqah; dan
d. Ekonomi syariah; (bank syariah,lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah,reasuransi
syariah,reksadana syariah, obligasi syariah,surat berharga berjangka syariah, dana pensiun lembaga
keuangan syariah, dan bisnis syariah).

Kewenangan Peradilan Agama dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah mulai diatur seiring
dengan perkembangan ekonomi syariah di Indonesia. Hal ini terlihat dari undang-ulldang yang
mengatur Peradilan Agama. UU No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama tidak mengatur tentang
kewenangan peradilan Agama dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah.Mulai tahun 1990-an
muneul lembaga lembaga keuangan syariah di Indonesia dan semakin marak perkembangannya
dalam dekade terakhir. Untuk itu diperlukan pengaturan dan penegasan lembaga apa yang diberi
kewenangan untuk menyelesaikan sengketajika terjadi sengketa dalam ekonomi syariah.

Hal ini sangat diperlukan mengingat lembaga keuangan syariah dalam operasionalnya menggunakan
akad yang lahir dari sistem eknomi syariah sehingga diperlukan konsistensi pelaksanaan ekonomi
syariah term as uk dalam penyelesaian sengketa.

Dengan melihat uraian di atas, tampak bahwa dengan UU No.3 Tahun 2006 kewenangan Peradilan
Agama menjadi semakin luas dibandingkan dengan apa yang telah diatur dalam UU No.7 Tahun 1989.
Wildan Suyuti." mengemukakan bahwa UU No.3 tahun 2006 membawa perubahan penting di
lingkungan Peradilan Agama. Undang-undang ini lahir dari tuntutan sosial di tengah maraknya pasar
transaksi berdasarkan praktik ekonomi syariah. Selain kewenangan lama seperti perkawinan, waris,
dan wakaf,kini hakim agama dibebani tanggungjawab baru mengadili perkara-perkara ekonomi
syariah.

Pasal 50 UU No. 7 tahun 1989 diubah dengan UU No.3 tahun 2006 menjadi dua aya!. Pasal ini
menetapkan:
1. Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara yang menjadi kewenangan
Peradilan Agama, khusus mengenai objek sengketa tersebut harus diputus terlebih dahulu oleh
peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
2. Apabila terjadi sengketa hak milik yang subjek hukumnya orang-orang yang beragama Islam, objek
sengketa tersebut diputuskan oleh Peradina Agama bersama-sama perkara yang sedang diperiksa.

Berkaitan dengan Undang – Undang Peradilan Agama, perubahan utama merupakan perluasan
ditemukan dalam Pasal 2 UU No. 3 Tahun 2006 yang menyatakan: “Peradilan Agama adalah salah
satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai
perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang – Undang ini”. Ketentuan Pasal 2 menjadi
lebih luas bila dibandingkan dengan ketentuan Pasal 2 UU No 7 Tahun 1989 yang hanya membatasi
mengenai perkara peradata tertentu. Berarti berasarkan Pasal 2 UU No 3 Tahun 2006 kewenangan
peradilan agama tidak lagi hanya sebatas perkara perdata saja namun kemungkinan dapat saja
berkembang seperti perkara pidana umum berkaitan dengan perkara tertentu yang telah ditetapkan
dalam Pasal 49 UU No 3 Tahun 2006.

2. Buatlah analisis terkait Mrs. Y yang telah mengajukan gugatan kepemilikan tanah ke Pengadilan
Negeri menggunakan UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama.
Jawaban :

Pengadilan Agama merupakan pengadilan khusus bagi orang – orang yang beragama Islam. Akan
tetapi dalam perkar hibah dapat saja melibatkan orang – orang yang bukan beragama Islam, terutama
jika objek perkara tersangkut dengan pihak ke tiga yang bukan beragama Islam. Objek hibah yang
paling sering menjadi sengketa adalah objek dalam bentuk benda tak bergerak, seperti tanah dan
rumah. Hal ini dapat dimengerti karena tanah merupakan harta yang paling bernilai dan semakin hari
nilainya semakin tinggi. Berbeda dengan objek hibah berupa benda bergerak, penyerahan objek hibah
bisa langsung dilakukan dan bisa pula disimpan dengan aman tanpa dapat diganggu oleh siapapun.
Tetapi jika objek hibah adalah tanah dan rumah, bendanya tidak dapat disimpan, tempatnya terbuka
dan dapat dilihat oleh semua orang. Ditambah dengan nilai ekonomisnya yang semakin hari semakin
meningkat, menyebabkan banyak orang yang semakin tergiur untuk memiliknya dengan berbagai
cara, antaralain dengan mengingkari adanya hibah atau setidak – tidaknya menyatakan hibah tesebut
tidak sah.

Menurut Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama tidak diatur tentang
hibah, kecuali tentang kewenangan menagdili dari perkara tersebut yaitu pada pasal 49. Kemudian
didalam Undang – Undang perubahannya yaitu Undang – undang Nomor 3 Tahun 2006 selain
menguatkan kembali kewenangan pengadilan agama atas perkara hibah, juga disinggung tentang
pnegertian hibah, yang dituangkan didalam penjelasan pasal demi pasal, yaitu pada penjelasan Pasal
49 huruf (d), dimana disebutkan bahwa yang dimaksud dengan hibah adalah pemberian suatu benda
secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada orang lain atau badan
hukum untuk dimiliki.

Dengan demikian menurut pendapat saya Mrs. Y selaku ahli waris tidak dapat mempermasalhkan
pemberian hibah yang telah dilakukan oleh Mr. X tersebut, dikarenakan Hal itu sah dimata Hukum
dan tertera pada akta ketentuan hibah tersebut, Mrs. Y harusnya dapa mengajukan gugatan
kepengadilan agama bukan ke Pengadilan Negeri Bandung dikarenakan Hal tersebut merupakan
kewenangan Pengadilan Agama.

Terima kasih.
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

Anda mungkin juga menyukai