Anda di halaman 1dari 23

AL ISLAM KEMUHAMMADIYAHAN

ETIKA KELUARGA DALAM ISLAM:


ETIKA ANAK KEPADA ORANG TUA, ETIKA SUAMI ISTRI,
ETIKA ANTAR SAUDARA

Dosen Pembimbing:
Fatulkhoir. M.Pd

Disusun Oleh:

KELOMPOK 3

1. Faridawati
2. Fery gunawan

INSTITUT TEKNOLOGI DAN KESEHATAN MUHAMMADIYAH


PONTIANAK
2022/2023
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Tuhan YME, yang telah


melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis memperoleh kesehatan
dan kekuatan untuk dapat menyelesaikan “Makalah etika keluarga dalam islam”
ini.
Penghargaan yang tulus dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya
penulis sampaikan kepada seluruh pihak, khususnya kepada dosen pembimbing
atas kebijaksanaan dan kesediaanya dalam membimbing sehingga “Makalah Etika
Keluarga dalam Islam ini dapat terselesaikan.
Penulis menyadari sepenuhnya atas keterbatasan ilmu maupun dari segi
penyampaian yang menjadikan “Al Islam Kemuhammadiyahan Etika Keluarga
Dalam Islam: Etika Anak Kepada Orang Tua, Etika Suami Istri, Etika Antar
Saudara” ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun sangat diperlukan dari semua pihak untuk kesempurnaan makalah
ini.

Pontianak, 8 Dsember 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................... i


DAFTAR ISI......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................. 1
A. Latar Belakang............................................................................. 1
B. Tujuan Penulisan ........................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN................................................................................ 2
A. Pengertian ................................................................................... 2
B. Etika Anak Kepada Orang tua
C. Etika Suami-Istri
D. Etika Antar Saudara
BAB III PENUTUP......................................................................................... 32
A. Kesimpulan.................................................................................. 32
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pada kehidupan manusia, seringkali kita dapati orang-orang yang tidak
terlalu mengedepankan etika padahal tidak jarang orang-orang seperti itu adalah
orang-orang yang mempunyai pendidikan tinggi atau mempunyai latar belakang
pendidikkan yang religius, dari keluarga yang taat dalam beragama, namun yang
terjadi justru tidak sesuai dengan ajaran agama. Pada hakikatnya tentu
manusia itu sendiri mempunyai keinginan untuk menjadi orang yang baik,
ingin dihargai, dihormati, disegani, dan di tempatkan pada posisi yang tinggi,
itulah sifat manusia pada umumnya yang sulit untuk dihilangkan.
Dalam dunia pendidikan misalnya belajar sekarang tidak lagi
mengutamakan agama. Para pelajar lebih condong belajar pelajaran umum,
sebab mempertimbangkan dunia, harta, nama dan jabatan. Belakangan banyak
yang tidak memilih mendalami pendidikan agama sebab lebih tertarik kepada
hal-hal yang terkait materi dan kedunawian. Hal ini mengakibatkan sifat-sifat
religius dalam kehidupan sehari-hari juga turut tergerus, misalnya saja mengenai
etika.
Etika merupakan salah satu hal yang sering kita gunakan dalam kehidupan
sehari-hari terutama dalam kegiatan interaksi sosial. Etika dalam berinteraksi
sosial sangat penting diperhatikan karena akan mempengaruhi hubungan sosial
yang ada. Permasalahan etika yang tidak kalah penting dan spesifik adalah
mengenai etika dalam keluarga yaitu etika anak kepada orangtua, etika suami
istri serta etika antar saudara.
Keluarga merupakan ruang lingkup sosial terkecil di masyarakat. Keluarga
juga merupakan lingkungan sosial yang lebih intens kita temui dibandingkan
dengan lainnya. Keluarga merupakan lingkungan yang mempengaruhi tumbuh
kembang berbagai aspek bagi manusia. Melalui keluarga ini juga kemampuan
dasar manusia mengenai etika berkembang.
Etika merupakan landasan bagi seseorang untuk melakukan suatu tindakan
menjadi baik atau buruk. Dengan perkembangan etika di dalam keluarga,
seseorang dapat mempertimbangkan untuk berperilaku dan bertindak khususnya
di dalam keluarga. Maka dari itu sebelum melakukan suatu perbuatan,
sebelum mengambil keputusan tentang sutau hal, maka terlebih dahulu
dipertimbangkan: apakah jika kulakukan perbuatan ini tidak menimbulkan
kemurkaan Allah atas diriku, sehingga dikenakan hukuman masuk ke alam

1
lautan api yang menyala di akhirat kelak? Atau “apakah jika kelakuan perbuatan
ini tidak menjadi penghalang bagiku untuk mendapat villa yang indah dalam
jannah akhirat? “ (Hawi, 2008: 155).
Etika merupakan acuan bagi seseorang untuk melakukan hal baik atau hal
buruk. Penilaian manusia tentang buruk dan baiknya dapat dilihat dari
perilakunya sehari-hari. Perilaku tersebut didorong dengan adanya kesadaran
dalam dirinya, sehingga mampu menanggapi akan makna hidup dalam
pengertian yang benar. Dengan demikian dapat dipahami terdapat corak
kehidupan manusia yang beraneka ragam. Manusia mampu. membedakan
mana yang baik dan buruk kemudian mengamalkannya merupakan suatu
kenyataan yang tidak bisa dibantah, sebab telah ada sejak masih berada dalam
kandungan seorang ibu. Jadi pengertian baik buruk merupakan tanggapan
pembawaan manusia. Hal ini dijelaskan dalam al-Qur’an surat As-Syam ayat 7-
8:“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan
kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya”. (Q.S. as-Syam/91: 7-8).

B. Tujuan
Untuk memahami tentang etika keluarga dalam Islam: etika anak kepada
orang tua, etika suami istri, dan etika antar saudara.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Etika
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Etika adalah ilmu yang
berkenaan tentang yang baik dan yang buruk dan tentang hak dan kewajiban
moral. Di dalam buku kompetensi Guru Pendidikan Agama Islam karangan
Akmal Hawi etika berasal dari bahasa yunanni “Etios” yang berarti watak
kesusilaan atau adat. Identik dengan perkataan moral “Mos” yang dalam bentuk
jamaknya “mores” yang berarti juga adat atau cara hidup (Hawi, 2013: 49).
Menurut Hamzah Ya’kub, pengertian etika teologis ialah yang menjadi ukuran
baik dan buruknya perbuatan manusia, didasarkan atas ajaran Tuhan. Segala
perbuatan yang diperintahkan Tuhan itulah yang baik dan segala perbuatan yang
dilarang oleh Tuhan itulah yang buruk (Hawi, 2013: 49).

Ahmad Amin, mengartikan etika adalah ilmu yang menjelaskan arti baik
dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia,
menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia dalam perbuatan mereka dan
menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat (Putra,
Wahyudin, 2005: 59). Soegarda Poerbakawatja, mengartikan etika sebagai filsafat
nilai, kesusilaantentang baik buruk, serta berusaha mempelajari nilai-nilai dan
merupakan juga pengetahuan tentang nilai-nilai itu sendiri. Etika lebih bersifat
teoritis filosofis sebagai acuan untuk mengkaji sistem nilai dan memandang
perilaku secara universal (Aravik, 2018: 118). Berikutnya Austin Fogothey,
sebagaimana dikutip Ahmad Charris Zubair mengatakan bahwa etika
berhubungan dengan seluruh ilmu pengetahuan tentang manusia dan masyarakat
sebagai antropologi, psikologi, sosiologi, ekonomi, ilmu politik, dan ilmu hukum.
Sebagaimana juga dikutip Ahmad Charris Zubair mengatakan bahwa etika
adalah sebagai cabang filsafat yaitu filsafat moral atau pemikiran filsafat
tentang moralitas, problema moral, dan pertimbangan moral.

Dari beberapa defenisi etika tersebut, dapat segera diketahui bahwa etika
berhubungan dengan empat hal sebagai berikut:

1. Dilihat dari segi obyek pembahasannya, etika berupaya membahas perbuatan


yang dilakukan oleh manusia.

2. Dilihat dari segi sumbernya, etika bersumber dari akal fikiran atau
filsafat. Sebagai hasil pemikiran, maka etika tidak bersifat mutlak, absolut,

3
dan tidak pula univerasal, ia terbatas, dapat berubah, memiliki kekurangan,
kelebihan dan sebagainya. Selain itu etika juga memanfaatkan berbagai
ilmuyang membahas perilaku manusia seperti ilmu antropologi, psikologi,
sosiologi, ilmu politik, ilmu ekonomi, dan sebagainya. Hal ini
dimungkinkan karena berbagai ilmu yang disebutkan itu sama-sama
memiliki obyek pembahasan yang sama dengan etika, yaitu perbuatan
manusia.

3. Dilihat dari segi fungsinya, etika berfungsi sebagai penilai, penentu, dan
penetap terhadap suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia,
yaitu perbuatan tersebut akan dinilai baik, buruk, mulia, terhormat, hina, dan
sebagainya. Dengan demikian etika lebih berperan sebagai konseptor
terhadap sejumlah perilaku yang dilaksanakan oleh manusia. Peranan etika
dalam hal ini tampak sebagai wasit atau hakim, dan bukan sebagai pemain. Ia
merupakan konsep atau pemikiran mengenai nilai-nilai untuk digunakan
dalam menentukan posisi atau status perbuatan yang dilakukan manusia.
Etika lebih mengacu kepada pengkajian sistem nilai-nilai yang ada.

4. Dilihat dari segi sifatnya, etika bersifat relatif yakni dapat berubah-ubah
sesuai dengan tuntutan zaman.

Pengertian etika lebih lanjut dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara.


Menurutnya, etika adalah ilmu yang mempelajari soal kebaikan dan keburukan di
dalam hidup manusia semuanya teristimewa yang mengenai gerak-gerik pikiran
dan rasa yang dapat merupakan pertimbangan dan perasaan sampai mengenai
tujuan yang dapat merupakan perbuatan (Putra, Wahyudin, 2005: 60).

B. Etika Anak Kepada Orang tua

Allah SWT berfirman, dan kepada kedua orang tua hendaknya berbuat
Ihsan. Seorang menemui nabi SAW. Dan berkata, “Ya Rasullullah, aku berjanji
padamu untyuk berhijrah dan berjihad.” Mendengar hal itu , Nabi bertanya,
“Adakah diantara kedua orang tuamu yang masih hidup?” orang itu menjawab,
“Ya. Nahkan keduanya masih hidup” Nabi berkata, pulanglah kekedua orang
tuamu dan temani mereka dengan baik. Dari hal tersebut dapat kita ambil
kesimpulan bahwa berbuat ihsan kepada orang tuaa maka sama artinya pahala
yayng kita dapatkan dalam berjihat dijalan Allah SWT.

Arti berbakti kepada orang tua ialah berbuat Ihsan kepadanya dengan
menyelesaikan atau menunaikan yabf wajib atas anak terhadap orang tua, baik
4
dalam segi moril maupun spiritual, yang sesuai dengan ajaran Islam. (karena ada
perintah dan kehendak orang tua yang tidak sesuai atau bertentangan dengan
ajaran agama Islam, hal ini tidak perlu ditaati). Segala amalan yang kita
laksanakan henmdaklah di sertai ihsan yang meliputi ikhlas, kebagusan serta
kesempurnaan pekerjaan itu. Ihsan dalam beribadah, ialah “mengerjakanya
dengan sempurna baiknya, sempurna kaifiatnya, sempurna syarat rukunya adab-
adabnya,” modal utama dari ihsan ialah Ikhlas. Dalam suatu hadits Nabi
Muhaammad SAW bersabda : Innallaha katabalihsaana ‘alaa kulli sayyi, yang
berarti “sesungguhnya Allah telah mewajibkan Ihsan atas segala sesuatu”

Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa ada kondisi tertentu yang


menjadikan bakti kepada orang tua lebih disukai Allah dari pada jihad di jalan
Allah.

Banyak cara yang bisa dilakukan anak dalam berbakti atau beradab yang
baik kepada orang tuanya diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Mematuhi nasihat orang tua
Sudah seharusnya setiap anak mengikuti saran dan nasihat kedua
orantuanya. Tujuan orang tua menyampaikan saran dan nasihat kepada anak
adalah untuk kebaikan anak itu sendir. Mengingat hal ini, sang anak
selayaknya patuh dan mengikuti petuah serta amanat orang tuanya. Dengan
catatan, selama nasihat orang tua tersebut baik dan sesuai dengan ajaran
islam, jika tidak, maka anak berhak, bahkan diharuskan menolaknya. Akan
tetapi, penolakan tersebut harus dilakukan dengan cara yang baik dan santun.
Allah berfirman, dalam surat lukman ayat 15:

Artinya: “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan


sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau
menaati keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah
jalan orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian hanya kepada-Ku tempat
kembalimu, maka akan Aku beritahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan

2. Berterimakasih kepada kedua orang tua


Jasa kedua orang tua terhadap anak begitu besar bahkan, limpahan jasa
yang tercurah kepada anak tersebut tidak bisa ditukar dengan apapun, Ibu
dan bapak sama-sama memiliki cinta dan kasih sayang tak terhingga kepada

5
anak. mereka berdua telah bahu membahu membesarkan anak tanpa pamrih
secuil apapun.
Cinta dan kasih sayang ibu dan bapak berlaku sepanjang massa,karena
itu, ada pepatah mengatakan “kasih sayang ibu sepanjang jalan, kasih anak
sepanjang galah” artinya kasih sayang orang tua kepada anak tidaklah
terbatas, sementara kasih sayang anak kepada orang tua sangat terbatas.
Perjuangan keduanya untuk membesarkan anak tiada ter bayangkan.setengah
mati mereka berikhtiar agar anaknya bisa mendapatkan kebahagiaan. Nahkan,
mereka relaa menderita dan menelan kepahitan hidup asal anak bisa
mengecap madu kehidupan.
Begitu agung pengetahuan orang tua untuk anak. Karena itu, allah
mewasiatkan kepada umat manusia untuk selalu berterimakasih kepada orang
tua. Seperti dalam firman Allah SWT

‫ش ُك ْر لِى َول ٰ َِولِ َد ْي َك ِإلَ َّى ٱ ْل َمصِ ي ُر‬


ْ ‫صلُهُۥ فِى َعا َم ْي ِن َأ ِن ٱ‬
َ ٰ ِ‫نسنَ بِ ٰ َولِدَ ْي ِه َح َملَ ْت ُه ُأ ُّمهُۥ َوهْ ًنا َعلَ ٰى َوهْ ٍن َوف‬
َ ٰ ‫ص ْي َنا ٱِإْل‬
َّ ‫َو َو‬

Artinya: "Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua
orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku
dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu." (QS.
Luqman:14)

3. Bersikap lemah lembut terhadap orang tua

Sudah seharusnya seworang anak bersikap hormat kepada kedua orang tuanya.
Wujud penghormatan tersebut bisa bermacam - macam diantaranya adalah bertutur
kata yang baik, berbicara dengan sikap lemah lembut, dan tidak mengucapkan kata-
kata kasar.
Seorang anak juga sepantasanya berpamitan kepada orang tua ketika hendak
meninggalkan rumah, mencium tanganya, dan mengucapkan salam. Apabila ia
terlambat pulang karena ada suatu uzur atau halangan, maka ia memberikan kabar
kepada orang tua. Itu merupakan bentuk-bentuk penghormatan kepada kedua orang
tua. Disamping itu, masih banyak akhlak lain yang mesiti diperhatikan seorang anak
ketika berhubungan dengan kedua orang tuanya.

Kewajiban untuk berlaku sopan santun ini ditegaskan Allah dalam Al-Qur’an
surat al-Isra’ ayat 23: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan
menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah
seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam
pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya
perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah
kepada keduanya perkataan yang baik.” (QS.Al-Isra’:23).
6
Ayat tersebut menggambarkan kedudukan orang tua yang sangat mulia. Karena
itu, Misalnya dengan berkata yang baik, tidak membentak-bentak, bertutur dengan
penuh kesopanan santunan, dman m,enaati perintah orang tua. Jika anak dapat
menerapkan ahklak ini, berarti ia anak sholeh. Sebab, salah satu ciri anak soleh
adalah berbakti kepada kedua orang tuanya. Selain itu kata – kata yang baik juga
merupakan sedekah, sebagaimana yang disabdakan Rasullah. Kata-kata yang baik
akan membuka pintu-pintu langit dan diteerima oleh Allah. Allah berfirman:

Artinya:
Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah
kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nya-lah naik perkataan-perkataan yang
baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya. Dan orang-orang yang
merencanakan kejahatan bagi mereka azab yang keras. Dan rencana jahat
mereka akan hancur (QS.Fathir ayat 10).
Selain itu juga dijelaskan bahwa lisan adalah alat komunikasi oral yang
dimiliki manusia dalam penyampaian gagasan, pikran, unek-unek, dan
perasaan. Oleh sebab itu, Allah SWT memuliakan hati dengan ma’rifat dan
bertauhid kepadanya, memuliakan lisan dengan mengucapkan syahadat dan
membaca Kitab-Nya dan memuliakan anggota badan lainya dengan Shalat,
Puasa, Berkata santun kepada orang tua dan bentuk-bentuk ketaatan lainya.

4. Meringankan beban orang tua

Salah satu jalan meraih kerukunan dalam kehidupan keluarga adalah


dengan saling membantu, antar anggota keluarg ada prinsip bahu-membahu
untuk meringan kan beban. Prinsip ini juga berlaku atas anak dalam
berhubungan dengan orang tuanya.
Sudah sepatutnya seorang anak membantu orang tuanya untuk meringan
knabebanya. Dimulai dari yang paling kecil dan sederhana saja. Misalnya,
anak membantu ibu merampungkan pekerjaan rumah, menyapu halaman,
mencuci pakaian, merapikan tempat tidur, dan memasak.
Jjika anak sudah mandiri dan berpenghasilan cukup, maka ia
berkewajiban membantu orang tua secara materi. Tanpa diminta, semestinya
hati hati anak tergerak untuk menyantuni orang tua. Meski demikian, sebesar

7
apapun bantuan yang diberikan anak kepada orang tua tidak sebanding
dengan jasa orang tua yang melimpah

Nabi SAW bersabda: ‘an abii hurairota qoola rosuulullah


shollaallahualaihi wasallam, laa yaj’zii waladu walida illa ‘an yajidahu
mamlukaa fayash tariyahuu fayu’tiqohu.
Artinya : “dari Abu Hurrairah R.A berkata, seorang anak tidak dapat
membalas budi kebaikan orang tuanya ecuali jika ia endapatkan orang
tuanya tertawan menjadi hamba sahaya, kemudian ia menembus dan
memerdekakannya” (H.R. Muslim).

Hadits tersebut menerangkan keluhuran derajat, harkat dan martabat


orang tua. Karena itu, sebesar apapun bantuan anak kepada orang tua tidaklah
bisa menyamai keagungan jasa mereka. Bantuan-bantuan yang diberikan
kepada orang tua tidak lain hanyalah sebagai ungkapan gerimakasih atyau
syukur kepada orang tua. Jangan pernah anak berfikir bahwa dengan
memberikan bantuan kepada orang tua berarti ia telah melunasi semua jasa
orang tua. Begitu juga kepada bapaknya dimana anak bagi bapak merupakan
penyejuk hatinya, buah hatinya, perhiasan hidupnya, tumpuan hidupnya,
tumpuan harapannya, dan keindahan sanubarinya. Apabila ia melihat
anaknya, maka duunia akan terpancar di kedua matanya, senyuman di kedua
bibirnya akan tampak, keceriaan di wajahnya pun akan terlihat. Betapa besar
jerih payah seorang bapak demi anak-anaknya, betapa besar kesungguhanya
dalam mewujudkan kepentingan dan kebahagiaannya.
Selain itu seorang anak di wajibkan bershodaqoh kepada kepada kedua
orang tuanya, yang mana seorang yang bersodaqoh untuk kedua oranag
tuanya, jika kdua orang tua adalah seorang muslim, maka pahala sodaqohnya
akan sampai kepada mereka, dan orang tersebut akan memperoleh pahala
yang tampak mengurangi dari pahala itu

5. Mendoakan orang tua agar senantiasa dikaruniani rahmat dan ampunan

Salah satu bentuk sikap Birulwalidin adalah mendoakan kebaikan untuk


orang tua. Sehabis sholat fardhu ataupun sunah, bahkan setiap saat, setiap
anak dianjurkan untuk mendoakan orang tuanya agar senantiasa berlimpah
kasih sayang dan ampunan dari Allah. Inilah ungkapan kasih sayang anak
kepada orang tua. Cara ini juga sangat ampuh untuk membina kerukunan
hidup ditengah keluarga, antara anak dengan orang tua. Betapa indah jika
lisan anak senantiasa memanjatkan doa kepada orang tua. Begitu juga, orang
tua tak henti-henti memohon kepada Allah untuk agar anak selali diselimuti
kebahagian dan kesuksesan. Allah berfirman:
8
Artinya “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan
penuh kesayangan dan ucapkanlah: “ wahai Tuhanku, kasihilah mereka
keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”.
(Q.S. al-Isra’:24).

Dengan demikian berbuat baik kepada orang tua dengan mendoakan agar
dikaruniai rahmat dan ampunan merupakan kewajiban anak. Orang tua pun
dihimbau tak jemu berdoa untuk anaknya. Dengan saling mendoakan
tersebut, niscaya Allah berkenan menurunkan kasih sayang-Nya. Allah bakal
menyatukan hati anak dan orang tua tersebut dalam satu ikatan yang kokoh
jika sudah denikian, maka kerukunan yang diidamkan telah berada di depan
mata.

6. Birr all walidain setelah orang tua wafat


Setelah orang tua wafat, bukan berarti bakti anak kepada orang tua
berhenti. Bakti dan penghormatan kepada orang tua masih tetap dapat
dilakukan. Hubungan anak dengan orang tua pun tidak teroutus meskipun
orang tua sudah menghadapi sang khalik.
Beberaoa cara bisa ditempuh untuk tetap memajukan bakti kepada orang
tua. Misalnya, ketika orang tua wafat, anak merawat jenazah orang tua
dengan sebaik-baiknya. Mulai dari memandikan, mengkafani, menyalatkan,
hingga menguburkannya. Kalau orang tua memiliki hutang yang belom lunas
ketika wafat, anak melunasi hutang-hutang tersebut. Wasiat orang tua pun
harus ditunaikan. Hubungan dengan sejumlah kerabat dan teman dekat oang
tua semasa hidup juga perlu terus dijalin oleh anak, yang lebih penting lagi
adalahntak jemu mendoakan orang tua supaya mendapat rahmat dari Allah
SWT.

C. Etika Terhadap Suami-Istri


Pernikahan dalam Islam pada dasarnya mempunyai tujuan untuk
membentuk keluarga yang harmonis (sakinah) yang dilandasi dengan perasaan
kasih dan sayang (mawaddah wa rahmah). Salah satu cara supaya keharmonisan
tersebut dapat terbangun dan tetap terjaga adalah dengan adanya hak dan
kewajiban diantara masing-masing anggota keluarga. Adanya hak dan kewajiban
dalam keluarga ini bertujuan supaya masing-masing anggota sadar akan

9
kewajibannya kepada yang lain, sehingga dengan pelaksanaan kewajiban tersebut
hak anggota keluarga yang lain pun dapat terpenuhi sebagaimana mestinya.
Dengan demikian, adanya hak dan kewajiban tersebut, pada dasarnya adalah
untuk menjaga keharmonisan hubungan antar anggota keluarga, karena masing-
masing anggota keluarga memiliki kewajiban yang harus dilaksanakan demi
untuk menghormati dan memberikan kasih sayang kepada anggota keluarga yang
lainnya.

Islam, melalui al-Qur‟an dan sunah, menyatakan bahwa dalam keluarga,


yaitu antara suami dan istri, masing-masing memiliki hak dan kewajibannya
tersendiri. Manusia diciptakan oleh Allah dengan cara yang seimbang antara fisik
dan ruhaninya. Dan kebahagiaan hidup manusia juga ditentukan oleh aneka
keseimbangan, seperti; keseimbangan akal, jiwa, emosi, dan jasad; keseimbangan
kepentingan antara jasmani dan ruhani, keseimbangan antara kebutuhan material
dan spiritual serta keperluan individu dan masyarakat. Hubungan dengan sesama
manusia pun harus seimbang, bahkan tidak keliru jika dinyatakan bahwa
hubungan yang seimbang antar manusia merupakan faktor terpenting dalam
memelihara keseimbangan di bumi ini. Jika demikian, kebahagiaan suami istri
dalam rumah tangga ditentukan oleh keseimbangan neraca. Kelebihan atau
kekurangan pada satu sisi neraca mengakibatkan kegelisahan serta mengenyahkan
kebahagiaan. Departemen Agama RI, Membangun Keluarga Harmonis (Tafsir al-
Qur‟an Tematik).

Salah satu keseimbangan yang di garis bawahi al-Qur‟an dalam konteks


kehidupan suami istri adalah keseimbangan antara hak-hak suami istri dan
kewajiban-kewajiban mereka. Sebagaimana firman Allah swt:

Artinya:
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'.
Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam
rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-
suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami)
menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu

10
tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana” (Q.S al-Baqarah 227)
Dalam konteks hubungan suami istri, ayat ini menunjukkan bahwa istri
mempunyai hak dan kewajiban terhadap suami, sebagaimana pula suami pun
mempunyai hak dan kewajiban terhadap istri, keduanya dalam keadaan seimbang,
bukan sama. Dengan demikian, tuntunan ini menuntut kerja sama yang baik,
pembagian kerja yang adil antara suami istri walau tidak ketat, sehingga terjalin
kerja sama yang harmonis antara keduanya, bahkan seluruh anggota keluarga.

Ayat ini juga memberi pengertian bahwa istri memiliki hak yang wajib
dipenuhi oleh suami seimbang dengan hak yang dimiliki suami yang wajib
dipenuhi oleh istri, yang dilaksanakan dengan cara yang ma‟ruf (baik menurut
kondisi internal masing-masing keluarga). Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa bentuk hak dan kewajiban suami istri pada hakikatnya didasarkan pada
adat kebiasaan dan fitrah manusia serta dilandasi prinsip “setiap hak yang diterima
sebanding dengan kewajiban yang diemban”.

Hak dan kewajiban dalam keluarga, dengan demikian, harus dipahami


sebagaisalah satu sarana untuk mewujudkan tujuan pernikahan. Pelaksanaan
kewajiban dapat diartikan sebagai pemberian kasih sayang dari satu anggota
keluarga kepada anggota keluarga yang lainnya. Sebaliknya, penerimaan hak
merupakan penerimaan kasih sayang oleh satu anggota keluarga dari anggota
keluarga yang lain. Keluarga adalah “umat kecil” yang memiliki pimpinan dan
anggota, mempunyai pembagian tugas dan kerja, serta hak dan kewajiban bagi
masing-masing anggotanya. Sehingga alangkah idealnya jika manusia selain
menuntut pemenuhan hak dalam sebuah keluarga juga mampu menyeimbangkan
dengan pemenuhan kewajibannya dalam keluarga tersebut sesuai dengan tuntunan
yang luhur tanpa sengaja melanggar norma-norma moral. Sehingga antara satu
sama lainnya tidak saling memberatkan. Jika sebuah keluarga telah terbentuk,
maka ia akan menimbulkan akibat hukum dan dengan demikian pula akan
menimbulkan hak serta kewajiban selaku suami istri. Al-Qur‟an sebagai kitab
petunjuk yang tidak ada keraguan di dalamnya yang juga berperan sebagai sumber
hukum Islam mempunyai penjelasan tentang hak dan kewajiban dalam keluarga
khususnya antara suami dan istri. Hak dan kewajiban suami istri ini terbagi dalam
2 macam, yaitu : hak istri dan kewajiban suami serta hak suami dan kewajiban
istri.

Orang Muslim meyakini adanya etika timbal balik antara suami dan istri,
dan etika tersebut adalah hak atas pasangannya yang lain berdasarkan dalil-dalil

11
berikut; Firman Allah Ta ‘ala, “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang
dengan kewajibannya menurut cara yang baik, akan tetapi para suami
mempunyai satu tingkatan kelebihan dari isterinya. Dan Allah Maha perkasa lagi
Maha bijaksana.” (Al-Baqarah: 228).

Ayat yang mulia di atas menegaskan, bahwa setiap suami-istri mempunyai


hak atas pasangannya, dan suami (laki-laki) diberi tambahan derajat atas wanita
(istri) karena alasan-alasan khusus.

Sabda Rasulullah saw. di Haji Wada’, “Ketahuilah, bahwa kalian mempunyai


hak-hak atas wanita-wanita (istri-istri) kalian, dan sesungguhnya wanita-wanita
(istri-istri) kalian mempunyai hak-hak atas kalian.” (Diriwayatkan para pemilik
Sunan dan At-Tirmidzi men-shahih-kan hadits ini).

Hak-hak ini, sebagian sama di antara suami-istri dan sebagiannya tidak sama.
Hak-hak yang sama di antara suarni-istri adalah sebagian berikut:

 Amanah

Masing-masing suami-istri harus bersikap amanah terhadap


pasangannya, dan tidak mengkhianatinya sedikit atau banyak, karena suami
istri adalah laksana dua mitra di mana pada keduanya harus ada sifat
amanah, saling menasihati, jujur, dan ikhlas dalam semua urusan pribadi
keduanya, dan urusan umum keduanya.

 Cinta kasih

Artinya, masing-masing suami-istri harus memberikan cinta kasih yang


tulus kepada pasangannya sepanjang hidupnya karena firman Allah Ta‘ala,
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk
kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan
merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan
sayang.” (Ar-Ruum: 21). Dan karena sabda Rasulullah saw., “Barangsiapa
tidak menyayangi ia tidak akan disayangi.” (HR Ath-Thabrani dengan sanad
yang baik).

 Saling percaya

Artinya masing-masing suami-istri harus mempercayai pasangannya,


dan tidak boleh meragukan kejujurannya, nasihatnya, dan keikhlasannya,
karena firman Allah Ta‘ala, “Sesungguhnya orang-orang Mukmin adalah
bersaudara.” (Al Hujurat: 10). Dan karena sabda Rasulullah saw“. Salah

12
seorang dan kalian tidak beriman hingga ia mencintai saudaranya
sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR Bukhari, Muslim, dan lain-
lain).

Ikatan suami-istri itu memperkuat, dan mengokohkan ikatan (ukhuwwah)


iman. Dengan cara seperti itu, masing-masing suami-istri merasa, bahwa dirinya
adalah pribadi pasangannya. Oleh karena itu, bagaimana ia tidak mempercayai
dirinya sendiri, dan tidak menasihatinya? Atau bagaimana seseorang itu kok
menipu dirinya sendiri, dan memperdayainya?

Etika umum, seperti lemah lembut dalam pergaulan sehari-hari, wajah


yang berseri-seri, ucapan yang baik, penghargaan, dan penghormatan. Itulah
pergaulan baik yang diperintahkan Allah Ta‘ala dalam firman-Nya, “Dan
bergaullah dengan mereka dengan cara yang baik.” (An-Nisa’: 19). Itulah
perlakuan baik yang diperintahkan Rasulullah saw. dalam sabdanya, “Perlakukan
wanita dengan baik.” (HR Muslim).

Inilah sebagian hak-hak bersama antar suami-istri, dan masing-masing dan


keduanya harus memberikan hak-hak tersebut kepada pasangannya untuk
merealisir perjanjian kuat yang diisyaratkan firman Allah Ta‘ala, “Bagaimana
kalian akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kalian telah bergaul
(bercampur) dengan yang lain sebagai suami istri. Dan mereka (istri-istri) telah
mengambil dari kalian penjanjian yang kuat.” (An-Nisa’: 21). Dan karena taat
kepada Allah Ta‘ala yang berfirman, “Dan janganlah kalian melupakan
keutamaan di antara kalian, Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang
kalian kerjakan.” (A1-Baqarah: 237).

Etika suami terhadap istri adalah sebagi berikut:

 Memperlakukannya dengan baik karena dalil-dalil berikut: Firman Allah


Ta‘ala, “Dan bergaullah dengan mereka dengan cara yang baik.” (An-
Nisa’: 19). Ia memberi istrinya makan jika ia makan, memberinya pakaian
jika ia berpakaian, dan mendidiknya jika ia khawatir istrinya
membangkang seperti diperintahkan Allah Ta‘ala kepadanya dengan
menasihatinya tanpa mencaci-maki atau menjelek-jelekkannya. Jika istri
tidak taat kepadanya, ia pisah ranjang dengannya. Jika istri tetap tidak taat,
ia berhak memukul dengan pukulan yang tidak melukainya, tidak
mengucurkan darah, tidak meninggalkan luka, dan membuat salah satu
organ tubuhnya tidak dapat menjalankan tugasnya, karena firman Allah
Ta‘ala, “Wanita-wanita yang kalian khawatirkan nusyuznya

13
(pembangkangannya), maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di
tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka
mentaati kalian, maka janganlah kalian mencari-cari jalan untuk
menyusahkan mereka.” (An-Nisa’: 34). Sabda Rasulullah saw. kepada
orang yang bertanya kepada beliau tentang hak istri atas dirinya,
“Hendaknya engkau memberinya makan jika engkau makan, engkau
memberinya pakaian jika engkau berpakaian, tidak memukul wajahnya,
tidak menjelek-jelekkannya, dan tidak mendiamkannya kecuali di dalam
rumah.” (HR Abu Daud dengan sanad yang baik). Sabda Rasulullah saw.,
“Ketahuilah bahwa hak-hak wanita-wanita atas kalian ialah hendaknya
kalian berbuat baik kepada mereka dengan memberi mereka makan dan
pakaian”. Sabda Rasulullah saw., “Laki-laki Mukmin tidak boleh
membenci wanita Mukminah. Jika ia membenci sesuatu pada pisiknya, ia
menyenangi lainnya.” (HR Muslim dan Ahmad).
 Mengajarkan persoalan-persoalan yang urgen dalam agama kepada istri
jika belum mengetahuinya, atau mengizinkannya menghadiri forum-forum
ilmiah untuk belajar di dalamnya. Sebab, kebutuhan untuk memperbaiki
kualitas agama, dan menyucikan jiwanya itu tidak lebih sedikit dan
kebutuhannya terhadap makanan, dan minuman yang wajib diberikan
kepadanya. Itu semua berdasarkan dalil-dalil berikut: Firman Allah Ta‘ala,
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah diri kalian dan keluarga
kalian dari api neraka.” (At-Tahrim: 6). Wanita termasuk bagian dan
keluarga laki-laki, dan penjagaan dirinya dan api neraka ialah dengan
iman, dan amal shalih. Amal shalih harus berdasarkan ilmu, dan
pengetahuan sehingga ia bisa mengerjakannya seperti yang diperintahkan
syariat. Sabda Rasulullah saw., “Ketahuilah, hendaklah kalian
memperlakukan wanita-wanita dengan baik, karena mereka adalah ibarat
tawanan-tawanan pada kalian.” (Muttafaq Alaih). Di antara perlakuan
yang baik terhadap istri ialah mengajarkan sesuatu yang bisa memperbaiki
kualitas agamanya, menjamin bisa istiqamah (konsisten) dan urusannya
menjadi baik.
 Mewajibkan istri melaksanakan ajaran-ajaran Islam beserta etika-etikanya,
melarangnya buka aurat dan berhubungan bebas (ikhtilath) dengan laki-
laki yang bukan muhrimnya, memberikan perlindungan yang memadai
kepadanya dengan tidak mengizinkannya merusak akhlak atau agamanya,
dan tidak membuka kesempatan baginya untuk menjadi wanita fasik
terhadap perintah Allah Ta‘ala dan Rasul-Nya, atau berbuat dosa, sebab ia

14
adalah penanggung jawab tentang istrinya dan diperintahkan menjaganya,
dan mengayominya, berdasarkan firman Allah Ta‘ala, “Kaum laki-laki itu
adalah pemimpin bagi kaum wanita.” (An-Nisa’ 34). Dan berdasarkan
sabda Rasulullah saw., “Seorang suami adalah pemimpin di rumahnya,
dan ia akan diminta pertanggungan jawab tentang kepemimpinannya.”
(Muttafaq Alaih).
 Berlaku adil terhadap istrinya dan terhadap istri-istrinya yang lain, jika ia
mempunyai istri lebih dan satu. Ia berbuat adil terhadap mereka dalam
makanan, minuman, pakaian, rumah, dan tidur di ranjang. Ia tidak boleh
bersikap curang dalam hal-hal tersebut, atau bertindak zhalim, karena ini
diharamkan Allah Ta‘ala dalam firman-Nya, “Kemudian jika kalian takut
tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah) seorang saja, atau budak-
budak wanita yang kalian miliki.” (An-Nisa’: 3). Rasulullah saw.
mewasiatkan perlakuan yang baik terhadap istri-istri dalam sabdanya,
“Orang terbaik dan kalian ialah orang yang paling baik terhadap
keluarganya, dan aku orang terbaik dan kalian terhadap keluarganya.” (HR
Ath-Thabrani dengan sanad yang baik).
 Tidak membuka rahasia istrinya dan tidak membeberkan aibnya, sebab ia
orang yang diberi kepercayaan terhadapnya, dituntut menjaga, dan
melindunginya. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya manusia yang
paling jelek kedudukannya di sisi Allah ialah suami yang menggauli
istrinya, dan istrinya bergaul dengannya, kemudian ia membeberkan
rahasia hubungan suami-istri tersebut.” (Diriwayatkan Muslim).

Etika Istri terhadap suami adalah sebagai berikut:


 Taat kepadanya selama tidak dalam kemaksiatan kepada Allah Th ‘ala,
karena dalil-dalil berikut: Firman Allah Ta‘ala, “Kemudian jika mereka
mentaati kalian, maka janganlah kalian mencari-cari jalan untuk
menyusahkan mereka.” (An-Nisa’: 34). Sabda Rasulullah saw., “Jika
seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidur, kemudian istrinya tidak
datang kepadanya, dan suaminya pun marah kepadanya pada malam itu,
maka istrinya dilaknat para malaikat hingga pagi harinya.” (Muttafaq
Alaih). “Seandainya aku suruh seseorang untuk sujud kepada orang lain,
maka aku suruh seorang istri sujud kepada suaminya.” (HR Abu Daud dan
Al-Hakim. At-Tirmidzi meng-shahih-kan hadits ini).
 Menjaga kehormatan suaminya, kemuliaanya, hartanya, anak-anaknya, dan
urusan rumah tangga lainnya, karena dalil-dalil berikut: Firman Allah
Ta’ala, “Maka wanita-wanita yang shalihah ialah wanita-wanita yang
15
taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh
karena Allah telah memelihara (mereka).” (An-Nisa’: 34). Sabda
Rasulullah saw., “Seoranq istri adalah pemimpin di rumah suaminya, dan
anaknya.” (Muttafaq Alaih). Sabda Rasulullah saw., “Maka hak kalian atas
istri-istri kalian ialah hendaknya orang-orang yang kalian benci tidak boleh
menginjak ranjang-ranjang kalian, dan mereka tidak boleh memberi izin
masuk ke rumah kepada orang orang yang tidak kalian sukai.” (HR At-
Tirmidzi dan Ibnu Majah).
 Tetap berada di rumah suami, dalam arti, tidak keluar kecuali atas izin dan
keridhaannya, menahan pandangan dan merendahkan suaranya, menjaga
tangannya dari kejahatan, dan menjaga mulutnya dari perkataan kotor yang
bisa melukai kedua orang tua suaminya, atau sanak keluarganya, karena
dalil-dalil berikut: Firman Allah Ta‘ala, “Dan hendaklah kalian tetap di
rumah kalian dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti
orang-orang jahiliyah yang dahulu.” (Al-Ahzab: 33). “Maka janganlah
kalian tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada
penyakit dalam hatinya.” (Al-Ahzab: 32). “Allah tidak menyukai ucapan
buruk.” (An-Nisa’: 148). “Katakanlah kepada wanita-wanita beriman,
‘Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara
kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya,
kecuali yang (biasa) nampak daripadanya’.” (An-Nuur: 31). Sabda
Rasulullah saw., “Wanita (istri) terbaik ialah jika engkau melihat
kepadanya, ia menyenangkanmu. Jika engkau menyuruhnya, ia taat
kepadamu. Jika engkau pergi darinya, ia menjagamu dengan menjaga
dirinya dan menjaga hartamu.” (HR Muslim dan Ahmad). Sabda
Rasulullah saw., “Kalian jangan melarang wanita-wanita hamba-hamba
Allah untuk pergi ke masjid-masjid Allah. Jika istri salah seorang dari
kalian meminta izin kepada kalian untuk pergi ke masjid, engkau jangan
melarangnya.” (HR Muslim, Ahmad, Abu Daud, dan At Tirmidzi). Sabda
Rasulullah saw., “Izinkan wanita-wanita pergi ke masjid pada malam
hari.”

D. Etika Antar Saudara


Sebagian orang tua mengeluhkan adanya hubungan kurang harmonis
antara anak-anaknya. Kakak dan adik selalu bertengkar. Tiada hari berlalu tanpa
16
‘perseteruan’ di antara mereka. Seharusnya hal tersebut tidak dianggap sebagai
sebuah fenomena yang wajar. Justru sebagai orang tua kita perlu membiasakan
anak beretika dengan saudara-saudaranya.

Dasar etika sesama saudara adalah penghormatan yang muda kepada yang
tua dan kasih sayang yang tua kepada yang muda.

Rasulullah ‫ ﷺ‬menjelaskan :

َ ‫ْس ِمنَّا َم ْن لَ ْم يَرْ َح ْم‬


ِ ِ‫ص ِغي َرنَا َوي ُِجلُّ َكب‬
‫يرنَا‬ َ ‫لَي‬

“Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menyayangi yang muda
dan tidak menghormati yang tua”. (HR. Ath-Thabarany dalam al-Mu’jam
al-Kabîr dan dinilai sahih oleh al-Albany)

Di antara detil etika sesama saudara :

 Mengucapkan salam di saat bertemu.

Hal itu adalah sikap terpuji. Karena memang hal tersebut juga
dicontohkan oleh Rasulullah ‫ﷺ‬. Makna salam mengandung do’a, dengan
kita mengucapkan salam maka sama halnya kita mendo’akan kebaikan
saudara kita.

 Tersenyum.

Senyum adalah ibadah, demikian keterangan dari Nabi Muhammad ‫ﷺ‬.


Senyum juga sama dengan kita bersedekah. Niat tulus dari dalam hati
disertai senyum yang ikhlas, akan memancarkan sensasi berbeda kepada
orang yang kita berikan senyum. Sehingga membangkitkan semangat
bagi saudara kita, tentunya memberikan efek positif juga bagi pribadi
dalam menjernihkan hati dari penyakit hati.

 Berbicara dengan lemah lembut.

Cara Rasulullah ‫ ﷺ‬berbicara tidak terlalu cepat sehingga sulit dipahami


dan tidak terlalu lambat sehingga membuat bosan. Juga tidak terlalu
keras sehingga membuat telinga pekak atau terlalu lirih sehingga sulit
didengar. Yang benar adalah pertengahan.

 Tidak memotong pembicaraan.

Sebab hal itu akan menimbul rasa dongkol dan jengkel yang sangat. Juga
menumbuhkan prasangka bahwa kita sok tahu dan keras kepala. Namun
hargailah saudara agar berbicara hingga selesai.
17
 Tidak mengejek dan menertawai kekurangannya.

Tidak ada seseorang yang sempurna di dunia ini, setiap orang memiliki
kekurangan dan kelebihan masing-masing, karena semua adalah karunia
Allah Subhanahu wa Ta’ala.

 Tidak mengambil hak saudaranya.

Contoh kecil, mainan milik saudara tidak boleh diambil tanpa seizin
darinya. Biasakan anak untuk selalu meminta izin saat akan mengambil
sesuatu yang bukan miliknya.

 Memberikan hadiah.

Saling memberikan hadiah adalah sesuatu yang sering terjadi di kalangan


para sahabat Nabi ‫ ﷺ‬dulu. Salah satu gunanya saling menyebarkan kasih
sayang.

Rasulullah ‫ ﷺ‬mengajarkan : ‫تَهَادَوْ ا تَ َحابُّوا‬

“Salinglah memberi hadiah; niscaya kalian akan saling mencintai”. (HR.


Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad dan dinilai hasan oleh al-Albany)

Kita semua pasti sangat bergembira jika ada seseorang yang memberikan
sesuatu yang istimewa. Ajarilah anak manakala membeli jajan, untuk tidak
melupakan saudaranya. Sehingga beli dua misalnya. Dan masih ada adab-
adab lain yang perlu kita tanamkan dalam jiwa anak-anak kita.

BAB III
PENUTUP

18
Etika dalam keluarga adalah sesuatu yang sangat mendasari kehidupan
individu dalam bermasyarakat, karena semua baik- buruk perilaku manusia pada
dasarnya tercipta pada lingkungan keluarga karena seorang individu lahir dan
menjalani kehidupan pertama-tama dalam lingkungan keluarga tersebut

Etika adalah nilai moral dan norma yang menjadi pedoman, baik bagi
suatu individu maupun suatu kelompok, dalam mengatur tindakan atau perilaku.
Dengan kata lain, pengertian ini disebut juga sebagai sistem nilai di dalam hidup
manusia, baik perorangan maupun bermasyarakat. Bagaimana pandangan Islam
tentang etika? Etika dalam Islam merupakan misi kenabian yang paling utama
setelah pengesaan Allah Swt. (al-tauhid). Dalam hal ini Rasulullah Saw. pernah
bersabda: “Bahwasanya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik”.

Etika Islam menetapkan bahwa yang menjadi sumber moral, ukuran baik
buruknya perbuatan, didasarkan kepada ajaran Allah Swt. Etika Islam bersifat
universal dan komprehensif, dapat diterima dan dijadikan pedoman oleh seluruh
umat manusia di segala waktu dan tempat. Etika harus ditata dalam keluarga agar
tiap-tiap individu mengerti berperilaku yang baik sesuai dengan peran nya sebagai
Ayah, Ibu, Anak, Adik, Kakak sehingga tercipta keluarga yang harmonis dalam
kehidupan sehari-hari
Adab tentu penting bagi manusia, sebab adab merupakan salah satu bagian
dari akhlak mulia yang kelak akan menuntut manusia untuk bisa menjadi pribadi
yang lebih baik dan bisa menempatkan diri pada tempat maupun waktu tertentu.

Adab memiliki makna kebaikan budi pekerti atau kesopanan dan berkaitan
erat dengan akhlak. Adab sangat penting dimiliki seseorang dalam membina
hubungan dengan sesama. Jika tiap manusia memiliki nilai-nilai adab yang bagus
dalam berhubungan dengan saudara, teman, dan tetangga, maka keberuntungan
bakal bisa didapat selama menjalani kehidupan di dunia ini.

DAFTAR PUSTAKA

19
An-Nahlawi, Abdurrahman, Ushul al-tarbiyah al-islamiyyah wa Asalibuha,
Terj.Herry Noer Ali, Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam : Dalam
keluarga, di Sekolah dan di Masyarakat Bandung: CV. Diponegoro, 1989
Hasan Alwi, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2005)
Abdullah, M. Yatimin, Pengantar Pendidikan Etika, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2006.
Al-Adawy Mustofa. Fiqih Akhlak (Jakarta: Qisthi Press, 2006
https://ridwan202.wordpress.com/2014/01/07/etika-terhadap-suami-istri/
https://khoiruummah.id/adab-terhadap-saudara/
Quraish Shihab Pengantin al-Qur‟an hlm. 107 127M.,..., hlm. 15483 (Jakarta:
Penerbit Aku Bisa, 2012),

20

Anda mungkin juga menyukai