Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

AKHLAK, ETIKA, DAN MORAL

Makalah Ini Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan Agama

Disusun Oleh :

Dini Milatul Huniyah (2384203007)

Dosen Pengampu : Muhammad Saiful Amin, M.Pd

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA


UNIVERSITAS NURUL HUDA
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
TAHUN AJARAN 2023
KATA PENGATAR
Puji syukur kehadirat Alllah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Akhlak,
Etika, Dan Moral.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
Bapak Muhammad Saiful Amin, M.Pd. pada bidang studi Pendidikan Agama.
Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan Akhlak, Etika,
Dan Moral..

Kami menyadari bahwa dalam membuat makalah ini masih banyak


terdapat kekurangan, baik dari segi isi maupun segi penulisan yang kurang tepat
yang disebabkan oleh terbatasnya pengetahuan penulis. Penulis berharap semoga
makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semua dalam meningkatkan ilmu
pengetahuan. Tidak lupa kritik dan saran pada makalah ini sangat kami harapkan
untuk dijadikan bahan pembelajaran dan perbaikan kedepannya. Atas perhatian,
bantuan, dan kerja samanya kami mengucapkan terimakasih.

Oku Timur, November 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGATAR................................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
B. Latar Belakang..................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.............................................................................................1
C. Tujuan...............................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Etika, Moral dan Akhlak................................................................3
B. Perbedaan Akhlak, Etika dan Moral...............................................................10
C. Hubungan Akhlak dengan Tasawuf dan Ilmu-Ilmu Lainnya.........................11
D. Indikator Berakhlak dan Beriman...................................................................14
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan.....................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................17

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Belakangan ini muncul beberapa gejala yang kurang baik yang
menyebabkan terjadinya kehancuran dalam kehidupan keluarga,
masyarakat dan bangsa, seperti kenakalan remaja yang sangat
memprihatinkan, tawuran, dan korupsi oleh para pejabat negara. Salah satu
faktor penyebab dari timbulnya kenakalan remaja adalah kurangnya
perhatian orang tua terhadap anak, terutama dalam hal pembinaan akhlak.
Pembinaan akhlak adalah mutiara hidup yang membedakan manusia
dengan hewan, jadi dapat disimpulkan bahwa manusia yang tanpa akhlak
akan hilang derajat kemanusiaannya sebagai makhluk mulia, sesuai
dengan fitrah dan perannya sebagai hamba Allah serta khalifah di muka
bumi. Oleh karena itu nilai-nilai akhlak harus ditanamkan sejak dini baik
melalui pendidikan keluarga, masyarakat, maupun lembaga pendidikan
formal.
Perlu kita ketahui juga bahwa kesuksesan suatu bangsa bukan
ditentukan oleh luasnya wilayah, kekayaan sumber daya alam, serta
kuantitas penduduknya, akan tetapi karena adanya kualitas akhlak atau
tingginya nilai-nilai peradaban yang dimilikinya. Integritas, dedikasi,
kredibilitas dan kualitas keilmuan populasi yang ada pada suatu negara
akan memajukan bangsa dan mampu menghadapi tantangan globalisasi.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah perbedaan antara etika, moral dan akhlak?
2. Bagaimana hubungan akhlak dengan ilmu-ilmu lainnya?
3. Bagaimana cara menciptakan manusia yang berbudaya dalam arti
beretika, bermoral dan berakhlak?

1
C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui perbedaan antara etika, moral dan akhlak
2. Untuk Mengetahui hubungan akhlak dengan ilmu-ilmu lainnya
3. Untuk Mengetahui cara menciptakan manusia yang berbudaya dalam
arti beretika, bermoral dan berakhlak

2
BAB III
PEMBAHASAN
A. Pengertian Etika, Moral dan Akhlak
Etika adalah sebuah tatanan perilaku berdasarkan suatu sistem tata
nilai suatu masyarakat tertentu. Etika Lebih banyak dikaitkan dengan ilmu
atau filsafat, karena itu yang menjadi standar baik dan buruk adalah akal
manusia (Rahmat Djatnika, 1992:26).
Sementara kata "akhlak" merupakan bentuk jamak dari kata khuluk
secara etimologis artinya budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabi'at.
Sedangkan secara terminologis akhlak adalah ilmu yang menentukan batas
antara baik dan buruk, antara yang terbaik dan tercela, tentang perkataan
atau perbuatan manusia lahir dan batin.
Dalam definisi yang agak panjang Ahmad Amin menjelaskan
bahwa akhlak adalah ilmu yang menjelaskan baik dan buruk, menerangkan
apa yang seharusnya dilakukan oleh sebagian manusia kepada yang
lainnya, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia dalam
perbuatan mereka dan menunjukan jalan untuk melakukan apa yang harus
diperbuat.
Moral secara lugawi berasal dari bahasa latin "mores" kata jamak
dari kata "mos" yang berarti adat kebiasaaan, susila. Yang dimaksud adat
kebiasaan dalam hal ini adalah tindakan manusia yang sesuai dengan ide-
ide umum yang diterima oleh masyarakat, mana yang baik dan wajar. Jadi
bisa dikaitkan moral adalah perilaku yang sesuai dengan ukuran-ukuran
tindakan yang oleh umum diterima meliputi kesatuan sosial atau
lingkungan tertentu..
Jadi dapat disimpulkan bahwa etika adalah suatu ilmu yang
mengkaji tentang persoalan baik dan buruk berdasarkan akal pikiran
manusia, sedangkan moral adalah suatu hal yang berkenaan dengan baik
dan buruk dengan ukuran tradisi dan budaya yang dimiliki seseorang atau
sekelompok orang. Berbeda dengan etika dan moral, akhlak adalah bagian

3
yang membicarakan masalah baik dan buruk dengan ukuran wahyu atau al
Qur’an dan hadits.
Persoalan baik (al husnu) dan buruk (al khutb) telah menjadi
perdebatan sejak era awal kebangkitan Islam. Pada era itu kaum
Mu’tazilah berpandangan bahwa ukuran baik dan buruk adalah ditentukan
oleh akal manusia. Manusia memiliki kualitas akal yang menyebabkannya
mampu bahkan menentukan mana yang baik dan mana yang buruk.
Berbeda dengan aliran Mu’tazilah, aliran Ahlu Sunnah berpandangan
bahwa ukuran tentang al husnu dan al khutb adalah ditentukan oleh
wahyu, bukan oleh akal atau rasio manusia. Memang Allah telah
mengkaruniai manusia dengan kualitas akal, akan tetapi akal tersebut
terbatas hanya mampu mengenal hal-hal yang kongkrit, sesuatu yang bisa
dinalar (rasional).
Masalah perbuatan baik dan buruk, terpuji dan tercela adalah
wilayah kajian akhlak. Akhlak merupakan barometer yang menyebabkan
seseorang mulia dalam pandangan Allah dan manusia. Akhlak adalah
sikap atau prilaku baik dan buruk yang dilakukan secara terus-menerus
dan diperankan oleh seseorang tanpa disengaja atau melakukan
pertimbangan terlebih dahulu. Akhlak yang terpuji dinamakan akhlak al
karimah (akhlak mahmudah). Sedangkan akhlak buruk atau tercela
dinamakan akhlak mazmumah. Seseorang akan berakhlak baik atau
sebaliknya karena dipengaruhi oleh hati (al qalb). Artinya, bahwa
perbuatan baik atau buruk dalam kategori akhlak bukan didasarkan kepada
pertimbangan akal, tradisi atau pengalaman, tetapi karena bisikan hati
sanubari yang ada pada setiap orang itu. Menurut Ibn Arabi, dorongan
untuk melakukan perbuatan baik atau sebaliknya adalah karena pada diri
seseorang itu terdapat tiga jenis nafsu, yaitu nafsu syahwaniyyah, nafsu
ghadabiyyah, dan nafsu anhathiqah.
a. Nafsu syahwaniyyah adalah nafsu yang mendorong seseorang untuk
menikmati kesenangan hidup. Nafsu jenis ini bukan hanya ada pada
manusia, tetapi juga ada pada binatang. Seseorang yang dikendalikan

4
oleh nafsu syahwaniyyah akan senantiasa terbiasa melakukan
perbuatan-perbuatan yang hanya menyenangkan kebutuhan fisik atau
biologis, seperti makan, minum, berhubungan sex, dan sejenisnya.
Manusia yang kelebihan nafsu syahwaniyyah akan mendorongnya
bersifat hedonis, materialis dan individualis.
b. Nafsu yang kedua adalah nafsu ghadabiyyah. Seperti halnya nafsu
syahwaniyyah, nafsu ghadabiyyah juga dimiliki oleh selain manusia
yaitu binatang. Seseorang yang dikendalikan oleh nafsu ghadabiyyah
akan menyebabkannya cenderung bersifat pemarah, tegas, tidak
tenang, egois, tidak kompromi, menang sendiri, dan tergesa-gesa.
Nafsu jenis ini bahkan lebih berbahaya dari pada nafsu syahwaniyyah
karena di samping menyebabkan seseorang bersifat pemarah, juga
mendorong seseorang untuk bersifat iri, dengki, hasut dan fitnah.
c. Nafsu yang ketiga adalah nafsu anhatiqqah. Nathiq artinya berpikir
atau berwawasan luas. maka yang dimaksud dengan nafsu nathiqah
adalah dorongan yang menyebabkan seseorang itu berpikir, dan
berzikir terhadap fenomena-fenomena alam dan kekuasaan Allah.
Seseorang yang dikendalikan oleh nafsu nathiqah akan
menyebabkannya menjadi orang yang sadar, bersyukur dan berterima
kasih kepada Allah karena telah memberikan sejumlah nikmah dan
angerah-Nya kepada manusia.
Seseorang yang bersyukur kepada Allah akan senantiasa melakukan
segala perintah Allah dan meninggalkan segala larangan-Nya yang
lazimnya dinamakan taqwa. Dalam bahasa lain bahwa manusia yang
dikendalikan oleh nafsu nathiqah akan selalau bersikap terpuji, sopan,
santun, punya tatakrama, saling menyayangi dan menghormati, gemar
membantu, peka atau peduli, hidup bersih, disiplin, tekun dan rajin, sabar,
jujur, adil, amanah, selalu benar, merasakan apa yang dirasakan orang lain
(empati), punya semangat hidup dan senantiasa toleran, transparan dan
akuntabel. Berikut merupakan macam-macam akhlak:

5
1. Akhlak kepada Allah
a. Beribadah kepada Allah, yaitu melaksanakan segala perintah Allah dan
menjauhi larangannya.
b. Berzikir kepada Allah, yaitu mengingat Allah dalam berbagai situasi
dan kondisi, baik diucapkan dengan mulut maupun dalam hati.
Berzikir kepada Allah melahirkan ketenangan dan ketentraman hati.
c. Berdo’a kepada Allah, yaitu memohon apa saja kepada Allah. Do’a
merupakan inti ibadah, karena itu merupakan pengakuan akan
keterbatasan dan ketidakmampuan manusia, sekaligus pengakuan akan
kemahakuasaan Allah terhadap segala sesuatu. Kekuatan do’a dalam
ajaran Islam sangat luar biasa, karena itu mampu menembus kekuatan
akal manusia. Oleh karena itu berusaha dan berdo’a merupakan dua
sisi tugas hidup manusia yang bersatu secara utuh dalam aktifitas
hidup setiap muslim. Sedangkan orang yang tidak pernah berdo’a
adalah orang yang tidak menerima keterbatasan dirinya sebagai
manusia karena itu dipandang sebagai orang yang sombong dan Allah
sangat membenci perilaku sombong.
d. Tawakal kepada Allah, yaitu berserah diri sepenuhnya kepada Allah
dan menunggu hasil pekerjaan atau menanti akibat dari suatu keadaan.
e. Tawaduk kepada Allah, yaitu rendah hati di hadapan Allah. Mengakui
bahwa dirinya rendah dan hina di hadapan Allah Yang Maha Kuasa,
dengan mengakui secara sadar bahwa tidak layak hidup dengan angkuh
dan sombong, tidak mau memaafkan orang lain, dan pamrih dalam
melaksanakan ibadah kepada Allah.
2. Akhlak kepada diri sendiri
a. Sabar, yaitu perilaku seseorang terhadap dirinya sendiri sebagai hasil
dari pengendalian nafsu dan penerimaan terhadap apa yang
menimpanya. Sabar diungkapkan ketika melaksanakan perintah,
menjauhi larangan dan ketika ditimpa musibah.
b. Syukur, yaitu sikap berterima kasih atas pemberian nikmat Allah yang
tidak bisa terhitung banyaknya. Syukur diungkapkan dalam bentuk

6
ucapan dan perbuatan. Syukur dengan ucapan adalah memuji Allah
dengan bacaan alhamdulillah, sedangkan syukur dengan perbuatan
dilakukan dengan menggunakan dan memanfaatkan nikmat Allah
sesuai dengan aturan-Nya.
c. Tawaduk, yaitu rendah hati, selalu menghargai siapa saja yang
dihadapinya, orang tua, muda, kaya atau miskin. Sikap tawaduk
melahirkan ketenangan jiwa, menjauhkan dari sifat iri dan dengki yang
menyiksa diri sendiri dan tidak menyenangkan orang lain.
3. Akhlak kepada keluarga
a. Akhlak terhadap keluarga adalah mengembangkann kasih sayang di
antara anggota keluarga yang diungkapkan dalam bentuk komunikasi.
b. Akhlak kepada ibu bapak adalah berbuat baik kepada keduanya dengan
ucapan dan perbuatan. Berbuat baik kepada ibu bapak dibuktikan
dalam bentuk-bentuk perbuatan antara lain, menyayangi dan mencintai
ibu bapak sebagai bentuk terima kasih dengan cara bertutur kata sopan
dan lemah lembut, mentaati perintah, meringankan beban, serta
menyantuni mereka jika sudah tua.
4. Akhlak kepada sesama manusia
A. Akhlak terpuji (Mahmudah)
1. Husnuzan, berasal dari lafal husnun (baik) dan Adhamu
(Prasangka). Husnuzan berarti prasangka, perkiraan, dugaan baik.
Lawan kata husnuzan adalah suuzan yakni berprasangka buruk
terhadap seseorang .
2. Hukum kepada Allah dan rasul nya wajib, wujud husnuzan kepada
Allah dan Rasul-Nya antara lain:
 Meyakini dengan sepenuh hati bahwa semua perintah Allah
dan Rasul-Nya Adalah untuk kebaikan manusia.
 Meyakini dengan sepenuh hati bahwa semua larangan agama
pasti berakibat buruk.

7
Hukum husnuzan kepada manusia mubah atau jaiz (boleh
dilakukan). Husnuzan kepada sesama manusia berarti menaruh
kepercayaan bahwa dia telah berbuat suatu kebaikan. Husnuzan
berdampak positif baik bagi pelakunya sendiri maupun orang lain.
1. Tawaduk
Tawaduk berarti rendah hati. Orang yang tawaduk berarti orang
yang merendahkan diri dalam pergaulan. Lawan kata tawaduk adalah
takabur. Allah berfirman , Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya,
dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, ”Wahai Tuhanku! Sayangilah
keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu
kecil.” (Q.S. Al Isra/17:24)
Ayat di atas menjelaskan perintah tawaduk kepada kedua orang tua.
2. Tasamu
sikap tenggang rasa, saling menghormati dan saling menghargai
sesama manusia.Allah berfirman, ”Untukmu agamamu, dan untukku
agamaku (Q.S. Alkafirun/109: 6) Ayat tersebut menjelaskan bahwa
masing-masing pihak bebas melaksanakan ajaran agama yang diyakini.
3. Ta’awun
Ta’awun berarti tolong menolong, gotong royong, bantu membantu
dengan sesama manusia. Allah berfirman, ”...dan tolong menolonglah
kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong
menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan...”(Q.S. Al Maidah/5:2).
Akhlak tercela (Mazmumah)

4. Hasad
Artinya iri hati, dengki. Iri berarti merasa kurang senang atau
cemburu melihat orang lain beruntung. Allah berfirman, ”Dan janganlah
kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada
sebagian kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian
dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari

8
mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya...”
(Q.S. AnNisa/4:32)
5. Dendam
Dendam yaitu keinginan keras yang terkandung dalam hati untuk
membalas kejahatan. Allah berfirman, ”Dan jika kamu membalas, maka
balaslah dengan (balasan) yang sama dengan siksaan yang ditimpakan
kepadamu. Tetapi jika kamu bersabar, sesungguhlah itulah yang terbaik
bagi orang yang sabar” (Q.S. An Nahl/16:126)
6. Gibah dan Fitnah
Membicarakan kejelekan orang lain dengan tujuan untuk
menjatuhkan nama baiknya. Apabila kejelekan yang dibicarakan tersebut
memang dilakukan orangnya dinamakan gibah. Sedangkan apabila
kejelekan yang dibicarakan itu tidak benar, berarti pembicaraan itu disebut
fitnah. Allah berfirman, ”...dan janganlah ada diantara kamu yang
menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada diantara kamu yang suka
memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik...”
(Q.S. Al Hujurat/ 49:12)
7. Namimah
Adu domba atau namimah, yakni menceritakan sikap atau
perbuatan seseorang yang belum tentu benar kepada orang lain dengan
maksud terjadi perselisihan antara keduanya. Allah berfirman, ”Wahai
orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu
membawa suatu berita maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak
mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang
akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.” (Q.S. Al Hujurat/49:6)
Berikut adalah beberapa cara agar seseorang mampu mengendalikan
nafsu syahwaniyyah dan ghadabiyyah yang dapat menyebabkan manusia
tidak berakhlak mulia, yaitu:
a. Tekun melakukan segala perintah Allah dan meninggalkan segala
laranganNya (ijtinabu al manhiyat)

9
b. Melakukan amalan-amalan wajib (adaa al wajibah), amal-amalan
sunnat (adaa al nafillah)
c. Melakukan al-riyadhah, berupa latihan-latihan spiritual seperti
berzikr, berpikir, bertahannus, instropeksi diri, dan sejenisnya.
Dengan tiga pendekatan ini memungkinkan hati seseorang akan
menjadi lebih bersih dalam arti beriman dan berakhlak mulia. Sedangkan
menurut para sufi, hati manusia terbagi menjadi 3, diantaranya:
1. Hati yang mati, yaitu hatinya orang kafir.
2. Hati yang hidup, yaitu hatinya orang beriman.
3. Hati yang redup, yaitu hatinya orang munafik.
B. Perbedaan Akhlak, Etika dan Moral
Berbeda dengan etika filsafat, etika Islam mempunyai karakteristik
sebagai berikut. (Hamzah Yakub. 1996:11)
 Etika Islam mengajarkan dan menuntun manusia kepada tingkah
laku yang baik dan menjauhkan diri dari tingkah laku yang buruk.
 Etika Islam menetapkan bahwa yang menjadi sumber moral,
ukuran baik buruknya perbuatan, didasarkan kepada ajaran Allah
SWT.
 Etika Islam menetapkan bahwa yang menjadi sumber moral,
ukuran baik buruknya perbuatan, didasarkan kepada ajaran Allah
SWT.
 Etika Islam bersifat universal dan komprehensif, dapat diterima
dan dijadikan pedoman oleh seluruh umat manusia di segala waktu
dan tempat.
 Etika Islam mengatur dan mengarahkan fitrah manusia ke jenjang
akhlak yang luhur dan meluruskan perbuatan manusia.
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa akhlak berbeda
dengan etika dan moral. Akhlak lebih bersifat transcendental karena
berasal dan bersumber dari Allah, sedangkan etika dan moral bersifat
relatif, dinamis, dan nisbi karena merupakan pemahaman dan pemaknaan
manusia melalui elaborasi ijtihadnya terhadap persoalan baik dan buruk

10
demi kesejahteraan hidup manusia di dunia dan kebahagiaan hidup di
akhirat. Sehingga etika dan moral senantiasa bersifat dinamis, berobah-
obah sesuai dengan perkembangan kondisi, situasi dan tuntutan manusia.
Etika sendiri baik dan buruknya ditentukan oleh akal pikiran manusia yang
bertujuan untuk menciptakan keharmonisan.

Begitu juga dengan moral sebagai aturan baik buruk yang didasarkan
kepada tradisi, adat budaya yang dianut oleh sekelompok masyarakat juga
bertujuan untuk terciptanya keselarasan hidup manusia. Etika, moral dan
akhlak merupakan salah satu cara untuk menciptakan keharmonisan dalam
hubungan antara sesama manusia (habl minannas) dan hubungan vertikal
dengan khaliq (habl minallah).

C. Hubungan Akhlak dengan Tasawuf dan Ilmu-Ilmu Lainnya


Hubungan vertikal antara manusia dengan Allah sebagai rabbul
‘alamin, dalam khazanah keislaman dikenal dengan istilah tasawuf.
Tasawuf adalah proses pendekatan diri kepada Tuhan dengan cara
mencucikan hati sesuci-sucinya (tasfiat al Qalb). Tuhan yang Maha
Suci tidak dapat didekati kecuali oleh orang yang suci hatinya. Cara
bagaimana mensucikan hati dijelaskan dalam ilmu tasawuf. Dalam
pengamalannya tasawuf tidak dapat lepas dari fiqh, sebab fiqh
merupakan aspek zhahir ajaran agama Islam sementara tasawuf
merupakan aspek bathinnya. Islam yang sebenarnya adalah paduan
dari aspek zhahir dan bathin secara seimbang.
Orang yang suci hatinya akan tercermin dari air muka dan perilaku
yang baik (akhlak mahmudah). Akhlak yang baik sebenarnya
merupakan gambaran dari hati yang suci, sebaliknya akhlak yang
buruk merupakan gambaran dari hati yang busuk. Dengan demikian,
agar seorang mukmin memiliki akhlak yang baik (akhlak mahmudah)
adalah dengan mengamalkan tasauf secara sistematis. Yatu ada Al-
Wajibaat (melaksanakan semua kewajiban), ada Al-Nafilaat

11
(Melaksanakan yang sunat-sunat dan Al-Riyaadlooh (latihan spiritual).
Inti riyadhoh dalam tasawuf adalah dzikir.
(Syaifullah, 1998). Menurut Zun Nun al Misri salah seorang sufi
terkenal, bahwa hati yang suci bukan hanya bisa dekat dengan Tuhan
tetapi bahkan bisa mengenal dan melihat Tuhan (al Ma’rifah). (Hamka,
1778) Menurutnya, pengetahuan manusia itu terbagi tiga, yaitu;
 Pengetahuan orang awam yang mengenal Allah hanya dengan cara
mengucap dua kalimat Syahadat.
 Pengetahuan ulama, yaitu mengenal Allah dengan menggunakan
akal pikirannya (ra’yu)
 Pengetahuan orang sufi, dimana mengenal dan mendekati Allah
dengan menggunakan hati sanubarinya yang terdalam (Basyirah).
Dalam konteks ini dapat dipahami bahwa antara akhlak dan tasawuf
memiliki hubungan yang erat dan saling mendukung. Artinya, bahwa
akhlak yang baik, terpuji (mahmudah) dan mulia (karimah) bukanlah
didasari oleh ucapan dan akal pikiran semata, melainkan dari hati sanubari
yang terdalam.

Manusia yang berakhlak adalah manusia yang suci dan sehat hatinya.
Sebaliknya, manusia yang tidak berakhlak (amoral) adalah manusia yang
kotor dan sakit hatinya. Seseorang yang mengalami penyakit hati dalam
arti fisik, jika tidak segera diobati maka kondisi akan bertambah parah atau
bahkan akan mati. Padahal hakikatnya mati bukanlah akhir dari segalanya,
tetapi merupakan pintu dari kehidupan selanjutnya. Hal ini tentu berbeda
dengan orang yang mengalami penyakit hati dalam arti kebatinan, jika
tidak dibersihkan atau segera diobati, maka malapetaka yang
diakibatkannya bukan hanya di dunia, tetapi sampai ke akhirat yang abadi
kelak. Oleh karena itu upaya untuk membersihkan, memelihara, mencegah
dan mengobati agar hati tetap senantiasa sehat, bersih dalam arti berakhlak
mulia senantiasa perlu dijadikan prioritas utama.

12
Al-Qur’an dan al-hadits sangat menekankan kejujuran,
kesetiakawanan, persaudaraan, rasa kesosialan, keadilan, tolong-
menolong, murah hati, suka memberi maaf, sabar, baik sangka, berkata
benar, pemurah, ramah-tamah, bersih hati, berani, kesucian, hemat,
menepati janji, disiplin, mencintai ilmu, dan berpikir lurus. Sejumlah nilai-
nilai positif tersebut adalah amalan tasawuf yang harus dimiliki oleh
seorang muslim agar senantiasa dekat dengan Allah SWT.

Selain dengan tasawuf, akhlak juga berkaitan dengan ilmu tauhid,


psikologi, dan ilmu pendidikan. Kalau ilmu tauhid tampil dalam
memberikan landasan terhadap ilmu akhlak, maka akhlak tampil dengan
memberikan penjabaran dan pengalaman dari Tauhid. Tauhid tanpa akhlak
yang mulia tiada artinya, dan akhlak yang mulia tanpa tauhid maka tidak
akan kokoh. Selain itu tauhid memberikan arah terhadap akhlak, dan
akhlak memberi isi terhadap arahan tersebut.

Kaitan akhlak dengan ilmu Jiwa ada pada pokoh bahasannya, yaitu
sama-sama membicarakan gejala-gejala kejiwaan yang tampak dalam
tingkah laku. Melalui ilmu jiwa dapat diketahui psikologis yang dimiliki
seseorang. Jiwa yang bersih dari dosa dan maksiat serta dekat dengan
Tuhan, akan melahirkan perbuatan yang baik, dan benar, sebaliknya jiwa
yang kotor, banyak berbuat kesalahan dan jauh dari Tuhan akan
melahirkan perbuatan yang jahat, sesat dan digolongkan sebagai akhlak
buruk (mazmumah).

Hubungan akhlak dengan pendidikan juga sangat erat. Tujuan


pendidikan dalam pandangan Islam adalah berhubungan dengan kualitas
manusia yang berakhlak. Ahmad D. Marimba misalnya mengatakan
bahwa tujuan pendidikan adalah identik dengan tujuan hidup seorang
muslim, yaitu menjadi hamba Allah yang mengandung implikasi
kepercayaan dan penyerahan diri kepada-Nya. Sementara itu Mohd.
Athiyah al-Abrasyi mengatakan bahwa, pendidikan budi pekerti adalah

13
adalah jiwa dari pendidikan islam, dan islam telah menyimpulkan bahwa
pendidikan budi pekerti dan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam. (Azmi,
2006). Mencapai suatu akhlak yang sempurna adalah tujuan sebenarnya
dari pendidikan. Selanjutnya Al-Attas mengatakan bahwa tujuan
pendidikan Islam adalah manusia yang baik. Kemudian Abdul fatah jalal
mengatakan bahwa tujuan umum pendidikan Islam ialah terwujudnya
manusia sebagai hamba Allah.

D. Indikator Berakhlak dan Beriman


Hati yang bersih dan sehat merupakan indikator orang yang
berakhlak dan beriman. Hal ini sesuai dengan apa yang diisyaratkan
oleh Al Ghazali bahwa indikator manusia berakhlak (husnu al khuluq)
adalah tertanamnya iman dalam hatinya. Sebaliknya, manusia yang
tidak berakhlak (su’ al khuluq) adalah manusia yang ada nifaq dalam
hatinya. Nifaq adalah sikap mendua terhadap Tuhan, tidak ada
kesesuaian antara hati dan perbuatan.
Iman menurut sebagian para sufi adalah diibaratkan dengan akar
bagi sebuah pohon. Akar yang baik, sehat, segar dan kuat akan
menyebabkan tumbuhnya pohon dengan besar, cabangnya yang
rindang, daun-daunnya yang hijau serta buahnya yang banyak. Pohon
yang rindang tersebut akan senantiasa bermanfaat bagi alam sekitar,
baik untuk tempat berteduh bagi orang yang kelelahan, atau bisa
dimanfaatkan daun, bunga, buah, dahan, ranting dan batangnya.
Sebaliknya akar yang rusak, keropos dan busuk akan menyebabkan
pohon dan daunnya akan layu, kering dan tidak berbuah. Pohon seperti
ini akan menjadi ancaman bagi alam sekitar, karena ranting-rantingnya
yang kering dan rapuh bisa menimbulkan malapetaka bagi setiap
makhluk yang lewat di bawahnya.
Pohon yang rindang diibaratkan dengan orang beriman yang
hatinya berkilau, bercahaya dan bersinar. Seseorang yang memiliki
iman di dalam hatinya, maka akan senantiasa menjadi bermanfaat bagi

14
diri sendiri dan orang lain. Sebaliknya pohon yang kering dan rapuh
diibaratkan dengan orang kafir, munafiq dan musyrik yang hatinya
hitam, kotor dan pekat. Hidup dan kehidupannya senantiasa
menyebabkan kerusakan bagi lingkungan sekitarnya.
Dalam konteks ini, mengutip pandangan Muhammad al Ghazali
(1996), bahwa ciri atau tanda-tanda manusia beriman adalah sebagai
berikut:
1. Manusia yang khusuk dalam shalatnya;
2. Berpaling dari hal-hal yang tidak berguna;
3. Selalu kembali pada Allah;
4. Selalu memuji dan mengagungkan Allah;
5. Selalu mengabdi kepada Allah;
6. Bergetar hatinya bila disebut-sebut nama Allah;
7. Berjalan di muka bumi dengan tawadhu tidak sombong dan
angkuh;
8. Bersikap arif terhadap orang awam;
9. Mencintai orang lain seperti mencintai diri sendiri;
10. Menghormati tamu dan selalu menghargai tetangga;
11. Berbicara selalu baik, santun dan penuh makna;
12. Tidak banyak bicara dan bersikap tenang dalam menghadapi segala
persoalan;
13. Tidak menyakiti orang lain, baik dengan ucapan, pemikiran dan
perbuatan.
Sedangkan menurut Anwar ciri-ciri orang berakhlak adalah selalu
ridho kepada Allah, cinta dan beriman rukun iman yang enam, taat
beribadah, selalu menepati janji, amanah, sopan dalam ucapan dan
perbuatan, qanaah, tawakal, sabar, syukur, dan tawadhu. (Anwar, 2008).

15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat kita ketahui bahwa antara etika,
moral, dan akhlak memiliki kesamaan arti, cakupan dan tujuan. Namun
memiliki perbedaan satu sama lainnya. Dalam perspektif Islam akhlak dan
tasawuf sangat berkaitan erat karena sama-sama bertujuan untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Akhlak adalah salah satu dimensi
keilmuan yang perlu digunakan dalam berbagai lini dan profesi kehidupan
untuk meningkatkan kualitas ilmu, iman dan amal. Keberadaannya bahkan
dianggap mampu menentukan maju atau mundurnya suatu negara, agama,
dan bangsa. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa :
1. Akhlak, etika dan moral adalah suatu disiplin ilmu yang membicarakan
tentang persoalan baik dan buruk
2. Antara akhlak, etika dan moral, memiliki persamaan dan perbedaan.
Persamaannya adalah sama-sama mengkaji masalah baik dan buruk,
sedangkan perbedaanya adalah terletak pada landasan yang dipakai;
3. Dalam konteks sejarah, antara akhlak dan tasawuf memiliki tujuan dan
esensi yang sama, yaitu sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada
Allah;
4. Indikator orang berakhlak adalah beriman atau tidaknya seseorang.
Salah satu karakter seseorang dikatakan beriman adalah ketika ia
mampu melahirkan kedamaian dan ketenteraman bagi alam
lingkungannya.

16
DAFTAR PUSTAKA
Daud Ali, 2002. Muhammad, Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Raja Grafindo
Persada

Djatnika, Rahmat. 1996. Sistem Ethika Islami, Jakarta: Pustaka Panjimas.

Hamka, 1987. Tasawuf Modern, Jakarta: Pustaka Panjimas

Kahar Masyur, tt, Membina Moral dan Akhlak, Jakarta : Rineka Cipta

Moh Saifulloh Al Azizz, 1998, Memahami Ilmu Tasawuf, Surabaya:Terbit Terang

Muhyidin, Muhammad. 2010: Kok Aku Susah Melulu Ya. Jogjakarta:Flashbooks

Syaikh Muhammad Al-Ghazali, 1996, Kayfa Nata’amal Ma’al-Qur’an, Bandung:


Mizan Zainal

17

Anda mungkin juga menyukai