Anda di halaman 1dari 2

Menurut riwayat Ibn Abbas, Luqman Al Hakim adalah seorang pencari kayu bakar di Habsy.

Ia tidak
terlahir dari kalangan nabi, ulama, maupun kaum terpandang lain. Dalam riwayat lain, dikatakan
bahwa Luqman Al Hakim hidup di zaman Nabi Daud AS.

Dalam sebuah kesempatan, saat Luqman mengajari puteranya dengan kehidupan nyata di tengah-
tengah masyarakat, Luqman berkata, ”Wahai putraku! Lakukanlah hal-hal yang mendatangkan
kebaikan bagi agama dan duniamu. Terus lakukan hingga kau mencapai puncak kebaikan. Jangan
pedulikan omongan dan cacian orang, Sebab takkan pernah ada jalan untuk membuat mereka semua
lega dan terima. Takkan pula ada cara untuk menyatukan hati mereka.”

”Wahai puteraku! Datangkan seekor keledai kepadaku, dan mari kita buktikan.”

Luqman bermaksud mengajak puteranya jalan-jalan di tengah masyarakat untuk membuktikan bahwa
membuat semua orang “legawa” itu sangatlah sulit. Bahkan bisa dibilang sama sekali tidak mungkin
terjadi.

Apapun yang diperbuat oleh seseorang akan selalu ada yang mempersalahkan. Selalu saja ada yang
tidak setuju. Kemudian perjalanan mereka segera dimulai.

Luqman menaiki keledai dan menyuruh puteranya berjalan menuntun keledai. Sekelompok orang
yang menangkap pemandangan –yang menurut mereka- aneh tersebut, segera berkomentar
mencaci: ”Anak kecil itu menuntun keledai, sedang orang tuanya duduk nyaman di atas keledai.
Alangkah congkak dan sombongnya orang tua itu.” Luqman pun berkata: ”Puteraku, coba dengar,
apa yang mereka katakan.”

Luqman lalu bergantian dengan puteranya, kini giliran Luqman yang menuntun keledai, dan
puteranya naik di atasnya. Mereka melanjutkan perjalanan hingga bertemu sekelompok orang.

Tak pelak, orang-orang pun segera angkat bicara setelah menangkap pemandangan yang tak nyaman
di mata mereka. ”Lihatlah, anak kecil itu menaiki keledai, sementara orang tua itu malah berjalan kaki
menuntunnya. Sungguh, alangkah buruknya akhlak anak itu.” Luqman kemudian berkata kepada
puteranya: ”Anakku, dengarlah apa yang mereka katakan.”

Mereka berdua melanjutkan perjalanan. Kali ini, keduanya menaiki keledai mungil itu. Mereka berdua
terus berjalan hingga melewati sekelompok orang yang duduk-duduk di pinggir jalan. Lagi-lagi,
mereka unjuk gigi saat melihat Luqman dan puteranya.

”Dua orang itu naik keledai berboncengan, padahal mereka tidak sedang sakit. Mereka mampu
berjalan kaki. Ahh, betapa mereka tak tahu kasihan pada hewan,” sindir seseorang yang melihat
luqman. ”Lihatlah apa yang mereka katakan, wahai puteraku!” Luqman kembali menasihati
puteranya.

Tanpa menghiraukan caci maki orang-orang itu, Luqman dan puteranya kembali melanjutkan
perjalanan. Terakhir kali, mereka berjalan kaki bersama, sambil menuntun keledai.

”Subhanallah! Lihat, dua orang itu menuntun keledai bersama, padahal keledai itu sehat dan kuat.
Kenapa mereka tidak menaikinya saja? Ahh, betapa bodohnya mereka.”

”Dengarlah apa yang mereka katakan! Bukankah telah aku katakan padamu? Lakukan apa yang
bermanfaat bagimu dan jangan kau hiraukan orang lain. Aku harap kau bisa mengambil pelajaran dari
perjalanan ini,” kata Luqman mengakhiri perjalanan bersama puteranya.
Ada 2 pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah ini.
‫ى‬
1. ‫رض الناس غاية ال تدرك‬
“Ridho manusia itu adalah tujuan yang tidak akan pernah tercapai.” (Imam Syafi’i)

Dan yang terbaik bagi kita adalah untuk fokus pada diri kita, fokus pada tujuan kita sendiri, fokus
pada orang-orang yang kita cintai, pada apa-apa yang benar-benar paham dan bisa menghargai
setiap usaha kita.

‫خي الناس أنفعهم للناس‬


‫ر‬
“Sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia.” (HR. Thabrani dan
Daruquthni)

Aisyah pernah berujar kepada Mu’awiyah:


“Sesungguhnya barangsiapa yang mencari keridhoan manusia dengan mendatangkan kemurkaan
Allah maka Allah akan murka kepadanya dan akan menjadikan manusia juga marah kepadanya, dan
orang yang memunjinya akan berubah menjadi mencelanya. Dan barangsiapa yang mencari
keridhoan Allah meskipun mendatangkan kemarahan manusia maka Allah akan ridho kepadanya
dan akan membuat mereka ridho kepadanya”.
(Majmu’ Al-fatawa 3/232-233)

2. Tidak seharusnya kita teramat mudah menghakimi orang lain.


Salah satu nasihat guru saya, mentor saya sekaligus sahabat saya:
“Everyone is fighting their own battle we can’t always know. Setiap orang sedang berjuang dengan
perjuangannya masing-masing yang mana kita tidak selalu mengetahuinya.”
Ada yang sekian tahun menikah belum memiliki keturunan, mungkin saja dia pernah atau
sedang mengidap penyakit yang berhubungan dengan kandungan. And people never try to
understand it. Ada ibu yang terpaksa membeli susu formula untuk anaknya kemudian kita
menganggap ia melakukan pemborosan, padahal bisa saja itu karena ASI si ibu tidak bisa dikeluarkan.
And we don’t know it. Ada yang terlihat jarang berinfaq di masjid, dimintai donasi hanya
memberikan sedikit, tapi mungkin saja dia memiliki yayasan atau panti yang rutin ia nafkahi. We
don’t really know it. Kita tidak pernah benar-benar tahu apa yang orang lain tengah perjuangkan.
Maka diam adalah pilihan terbaik bagi kita dari pada harus berkata yang menyakitkan orang
lain. Dan jika kita memang sungguh-sungguh ingin membantu orang lain, maka baiknya kita
berbicara langsung dengan ybs, tanyakan segalanya, diskusikan permasalahannya, dan temukan
solusinya Bersama, tanpa bersikap merasa paling tahu dan paling benar karena kebenaran manusia
itu sifatnya relative yang dibumbui dengan ego masing-masing pribadi.

Semoga kita semua termasuk ke dalam golongan orang-orang yang bisa terus tumbuh dan
menumbuhkan, yang berfokus pada kebaikan dan manfaat tanpa harus menyakiti orang lain.
InsyaAllah…

Anda mungkin juga menyukai