Anda di halaman 1dari 22

Judul:

Menyikapi Kesalahan Guru

Pemateri:
Ust. Abdullah Zaen, Lc., M.A

Perangkum:
Abu Yusuf Wisnu Prasetya, S.H

Tata Letak:
Team Pustaka an-Nafidzah

Layout:
Team Pustaka an-Nafidzah

Cetakan:
Pertama, Sya’ban 1445 H / Febuari 2024 M

14x20 cm | 20 hlm.

Penerbit Pustaka an-Nafidzah

Boleh dicetak untuk pribadi atau memperbanyak untuk


dibagikan secara gratis. Dilarang keras memperbanyak
untuk komersial. Baarakallahu fiikum.

1
MUKADIMAH PERANGKUM

Bismillah, wash shalatu was salamu’ala rasulillah,


amma ba’d;
Ini adalah rangkuman dari kajian yang disampaikan
oleh guru kami, Ust. Abdullah Zaen, M.A hafizohullah di
Masjid Jamilurrahman, Yogyakarta, pada hari Jum’at,
tanggal 14 Sya’ban 1445 H atau yang bertepatan dengan 23
Febuari 2024 M.
Penulis merangkum kajian yang disampaikan oleh
beliau melalui live streaming yang disiarkan oleh Yufid TV
dengan tema; “Menyikapi Kesalahan Guru”, link:
https://youtube.com/live/KzEx9BVJRdI?si=T84Vp1WW7a
Y9zQZ8.

Kami berharap, semoga apa yang terangkum pada


lembaran-lembaran setelah mukadimah ini bisa menjadi amal
baik untuk kami, guru kami dan setiap orang yang membaca
lalu mengambil manfaatnya. Rangkuman ini belum dibaca
ulang oleh pemateri (ust. Abdullah Zaen) maka dari itu,
apabila ada kekurangan atau kesalahan dalam merangkum,
kami mohon dengan sebesar-besarnya kepada para pembaca
sekalian untuk menyampaikannya kepada kami, agar kami
bisa memperbaikinya di kemudian hari. Baarakallahu fiikum.

Abu Yusuf Wisnu Prasetya


2
MENYIKAPI
KESALAHAN GURU

3
4
MENYIKAPI KESALAHAN GURU

Bismillah wash sholatu was salamu’ala rasulillah,


amma ba’d;
Pembahasan kita pada kesempatan yang berbahagia
kali ini ialah “Menyikapi kesalahan guru”. Guru yang
dimaksud dalam pembahasan kali ini, ialah para ahli ilmu,
ulama, ustaz, dan guru-guru yang mengajarkan ilmu agama
kepada kita.
Guru, sebagaimana manusia pada umumnya,
terkadang ia benar dan terkadang melakukan kesalahan,
namun kesalahan mereka dengan kesalahan orang awam
harus beda dalam menyikapinya.
Pertanyaannya, mengapa harus dibedakan dalam
menyikapi? Jawabannya ialah;
a. Karena mereka berjasa kepada kita.
Apa jasa guru? Banyak, di antaranya; mengajarkan
Al-Qur’an kepada kita, mengajarkan tata cara salat yang
benar, dan yang lainnya. Dalam sebuah hadis disebutkan,
bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

ِ ِ ِ
ُ‫ فَإِ ْن ََلْ ََت ُدوا َما تُ َكاف ُؤونَه‬،ُ‫ فَ َكاف ُؤوه‬،‫صنَ َع إِلَْي ُك ْم َم ْعُروفًا‬ َ ‫َوَم ْن‬
.ُ‫فَ ْادعُوا لَهُ َح ىَّت تَ َروا أَنى ُك ْم قَ ْد َكافَأُُْتُوه‬
5
“Barangsiapa yang melakukan kebaikan kepada
kalian, maka balaslah kebaikannya.Seandainya engkau tidak
punya sesuatu untuk membalas kebaikannya, maka
doakanlah dia sampai kira-kira doa kalian itu sepadan dengan
kebaikannya.”1
Sabda beliau, “Barangsiapa berbuat kebaikan kepada
kalian…,” kebaikan di sini mencakup kebaikan duniawi
maupun ukhrowi.
Contoh kebaikan duniawi; seseorang memberikan
makanan kepada kita, maka kita membalasnya dengan
mengirim makanan yang jauh lebih baik dari apa yang dia
beri.

Contoh kebaikan ukhrowi; yaitu apa yang telah


dilakukan oleh guru kita untuk kita. Apa yang telah diberikan
oleh guru-guru kita, itu jauh lebih baik dari sekedar makan
dan kebaikan duniawi yang lainnya. Mereka telah
mengajarkan kepada kita agama dan ilmu-ilmu yang
bermanfaat. Apakah pantas, jika guru yang telah mengajari
kita baca Al-Qur’an dari alif, ba, ta kemudian kita jatuhkan
kehormatannya hanya karena satu dua kesalahan yang dia
lakukan?

Mana bukti praktek dari hadis yang tadi kita dengar?


Jangan-jangan -maaf- anjing jauh lebih pintar untuk
membalas jasa dibandingkan manusia.

1
HR. Abu Dawud, no. 1672. Dinilai shahiih oleh Imam Ibnu Hibban, al-
Hakim, adz-Dzahabi dan Syekh al-Albani.
6
Ada seorang petani masuk ke ladang. Sampai di pintu
ladang, ada seekor anjing yang kondisinya terlihat kelaparan.
Maka, petani itu pun masuk ke tempat peristirahatan, lalu
memakan makanan yang ia bawa sebagai bekal, kemudian
sisa-sisa makanan itu ia berikan kepada si anjing tadi. Maka,
mulai hari itu juga, anjing tersebut selalu menjaga ladang si
petani itu sampai bertahun-tahun.
Anjing “saja” tahu membalas budi, nah ini kok ada
murid tidak tahu balas budi?!

b. Dampak buruk dari jatuhnya kehormatan guru.


Jangan pernah berfikir bahwa, ketika ada seorang
guru, ustaz atau ulama yang kehormatannya jatuh, dampak
buruk yang ditimbulkan hanya akan menimpa kepada beliau
saja. Tidak. Efeknya bisa dahsyat.
Keadaan mereka (para ahli ilmu) berbeda dengan
manusia biasa. Ketika orang biasa (awam) melakukan sebuah
kesalahan lalu kehormatannya jatuh, paling-paling yang kena
getahnya (dampak buruknya) hanya dia atau keluarganya
saja. Tidak sampai ke masyarakat luas.
Ketika kehormatan, nama baik atau reputasi seorang
ulama hancur, maka yang terkena efek buruknya bukan hanya
satu atau dua orang saja, namun bisa ribuan orang yang akan
terkena dampak buruknya. Mengapa bisa demikian? Karena
biasanya kalau ulama sudah dijatuhkan harga dirinya, maka
akibatnya umat akan menjauhi ulama tersebut, dan kalau
ulama sudah dijauhi oleh umat, maka akhirnya mereka akan

7
jauh dari ilmu. Inilah salah satu proyek iblis untuk
menyesatkan manusia.
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah ta’la ketika
menjelaskan beberapa perangkap iblis, beliau menyatakan
ada enam perangkap. Saat beliau menjelaskan perangkap-
perangkap itu, beliau menyampaikan seperti ini; bahwa salah
satu perangkap iblis adalah menjerumuskan manusia ke dosa
besar. Ketika yang terjerumus adalah ahli ilmu, maka setan
akan berupaya bagaimana caranya agar ahli ilmu ini jatuh
kehormatannya di hadapan manusia. Ketika kehormatan
jatuh, maka umat akan menjauhi ulama, dan mereka tidak
mau menghadiri majelis-majelis ilmu, hingga pada akhirnya
mereka pun berada di dalam kebodohan. Dan itu pula yang
pernah disampaikan oleh Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah.
Jadi, menyikapi kesalahan ulama tidak boleh
sembarangan. Karena dampak buruk yang akan ditimbulkan
tidak hanya mengenai beliau (ulama/ustaz) saja, namun juga
bisa menimpa (berdampak kepada) umat.

Ulama kita hargai, namun kebenaran lebih kita hargai


Muncul pernyataan, “Ulama kita hargai, namun
kebenaran jauh lebih kita hargai.”

Ada ulama yang mengatakan, “Al-Haqqu ahaqqu an


yuttaba’ (kebenaran itu jauh lebih berhak untuk kita ikuti)”
ini adalah pernyataan yang betul. Kebenaran maqomnya jauh
lebih tinggi dari ulama.
Namun harus kita pahami dua hal penting berikut;

8
1. Kita punya kewajiban untuk menjelaskan kebenaran
dan menerangkan kesalahan.
2. Kita punya kewajiban untuk menghargai dan
menghormati para ulama.
Dua kewajiban ini sangat bisa untuk dilakukan secara
bersamaan. Sebagian orang mengira, bahwa dua hal ini tidak
bisa dilakukan secara bersama-sama. Menurut mereka, kalau
kita menjelaskan kebenaran, menerangkan kesalahan ulama,
berarti harus menjatuhkan harga diri atau kehormatan ulama
yang melakukan kesalahan tersebut, dari mana aturan seperti
ini?! Sebaliknya, ketika kita ingin menghormati ulama, bukan
berarti kita membiarkan kesalahan mereka. Bukan berarti kita
membuat kebenaran itu menjadi kabur tidak jelas.
Demikianlah pernyataan Lajnah ad-Da’imah, ketika
ditanya tentang bagaimana menyikapi orang-orang yang suka
menjatuhkan kehormatan harga diri dan kehormatan ulama,
maka mereka menjelaskan dua poin penting di atas, yaitu;
yang pertama bayaanul haq (kewajiban menjelaskan
kebenaran), dan yang kedua ihtiraamu ahlil ‘ilmi (menjaga
kehormatan dan harga diri ulama walaupun mereka
melakukan kesalahan).

Cara menyikapi kesalahan ulama atau guru kita


Apakah langkah yang harus kita lakukan ketika
menjumpai kesalahan yang dilakukan oleh para ulama, ustaz
atau ahli ilmu? Asy-Syekh al-‘Ushoimiy hafizohullahu
ta’ala, dalam kitabnya Ta’zhiimul ‘ilmi, beliau
menyampaikan, bahwa ada enam langkah dalam menyikapi
kesalahan ulama, berikut penjelasannya:
9
1. Pastikan berita itu benar

Datang berita kepada kita, bahwa ustaz fulan


melakukan kesalahan, entah itu berita dari medsos, entah itu
ada orang yang datang kepada kita lalu menyampaikannya,
entah itu karena ada yang menukilkan berita tersebut kepada
kita. Maka, langkah pertama yang kita lakukan ialah jangan
mengambil sikap sebelum memastikan bahwa beliau (ulama
tersebut) benar-benar melakukan kesalahan.
Mengapa? Karena mungkin saja berita yang sampai
kepada kita tidak sesuai dengan realita. Mungkin tidak?
Jawabannya sangat mungkin. Apalagi kalau kita sudah
menjadi “orang yang kesepuluh.”

Jadi, orang yang pertama kali melihat cerita sama


orang yang kedua, yang kedua cerita kepada yang keempat,
kelima sampai kesepuluh. Kemungkinan besar kabar yang
didengar bisa berubah total. Demikianlah realita yang terjadi.
Biasanya berita akan berubah ketika sampai ke lisan orang
yang kesekian.

Contoh: si A, melihat ada orang kecelakaan di alun-


alun. Korbannya lecet (luka-luka ringan). Begitu si A sampai
ke rumah lalu cerita ke si B, si A ini cerita ke si B dengan
cerita yang sedikit berbeda, ia mengatakan, “Tangannya si
korban patah,” padahal aslinya hanya lecet. Kenapa dia
tambahi? Karena sengaja, agar beritanya sedikit waw. Supaya
ceritanya didengarkan dengan seksama oleh yang lain.
Kemudian si B cerita ke si C bahwa tangan korban
lepas. Lalu si C cerita ke si D bisa jadi cerita lebih aneh lagi,
10
kepalanya hilang misalnya, dan seterusnya. Lihat bagaimana
berita itu ditambah-tambahi.
Demikian pula dengan kabar mengenai ustaz yang
katanya melakukan kesalahan, belum tentu yang dia dengar
itu benar. Bisa jadi kabar yang didengar tidak sesuai dengan
realita. Misal, ada yang mengatakan bahwa si ustaz Fulan
sekarang sudah menjadi dukun. Lalu dia membawa buktinya,
bahwa dia katanya melihat kalau si ustaz telah memelihara
tuyul dan suka menyalakan kemenyan, makanya sekarang di
rumahnya banyak asap dan pasien. Rame terus. Hati-hati,
jangan ngaji lagi sama ustaz Fulan. Dia sekarang sudah
menjadi dukun.”

Mungkin tidak kalau berita itu tidak bener?


Jawabannya, mungkin. Perlu bagi kita untuk tabayyun.
Ketahuilah, ada berita yang benar, ada yang aneh, dan ada
pula berita yang kita belum tau kevalidannya, maka perlu
bagi kita untuk mendatangi kepada yang bersangkutan. Kalau
kita tidak sanggup untuk mendatanginya, kita bisa
menghubunginya lewat WA, telfon atau yang semisalnya.
Alhamdulillah sarana komunikasi di zaman ini sangatlah
banyak.

“Ustaz, apakah benar, bahwa antum sekarang


memelihara tuyul?”
“Astaghfirullah, ya tidaklah. Ana tidak memelihara
tuyul.”

11
“Lah, tapi kata fulan antum memelihara tuyul. Dia
melihat bahwa ada anak kecil gundul lari-lari di depan rumah
antum, ustaz?”

“Ya Allah, itu anak ana itu, baru pulang umrah.”


“Loh tapi kan antum sekarang bakar menyan ustaz?”
“Itu juga sama, itu namanya ‘Ud (gaharu, kayu yang
dibakar dengan tujuan untuk pengharum ruangan). Itu di
masjid Nabawi juga ada kok dan sering dipakai untuk
pengharum ruangan.”

“Lah terus, itu kok banyak orang datang ke rumah


antum ustaz? Mereka pasien antum ustaz?”
“Mereka itu orang-orang yang ingin minta konsultasi.
Menanyakan masalah agama kepada ana.”
Lihat bagaimana ketika kita memastikan suatu berita,
ternyata berita itu tidak benar, dan banyak sekali berita-berita
yang belum dipastikan kebenarannya sudah disikapi. Maka
ini adalah kekeliruan. Jangan buru-buru menyikapi sebelum
memastikan berita itu valid.

2. Pastikan bahwa hal tersebut benar-benar


kesalahan
Setelah kita memastikan bahwa ustaz tersebut
melakukan apa yang dianggap oleh sebagian orang adalah
sebuah kesalahan, maka langkah yang kedua ialah kita
pastikan terlebih dahulu, apakah hal tersebut benar-benar
kesalahan atau enggak.

12
Contoh: Sekarang sudah banyak yang memakai batik,
kan? Dan banyak pula yang pakai songkok hitam. Dahulu,
“salafi” ndak ada yang begitu. Sebagian dari mereka tidak ada
yang memakai batik dan songkok hitam. Rata-rata dari
mereka memakai gamis dan peci putih. Dulu, memakai batik
terasa aneh sekali, sehingga dahulu memakai baju batik
dianggap sebagai penyimpangan dalam manhaj.
Ada salah seorang ustaz, beliau memakai baju koko
dan bawahnya memakai sarung, lalu dia dicap sebagai Sururi.
Subhanallah! Jadi, belum tentu juga permasalahan yang
katanya dianggap kesalahan itu sebuah kesalahan. Bisa jadi,
itu bukan termasuk kesalahan. Dan ternyata benar, setelah
kita dipelajari lebih dalam, ternyata itu bukan sebagai
tasyabbuh, justru para ulama kita menjelaskan agar kita
mengenakan pakaian yang umum, yang dipakai oleh
masyarakat sekitar selama tidak menyelisihi syariat.
3. Jangan mengikuti kesalahan tersebut
Kapankah kita melakukan langkah yang ketiga ini?
Yaitu setelah memastikan bahwa apa yang dilakukan itu
adalah kesalahan. Setelah memastikan bahwa itu adalah
kesalahan, maka jangan sampai mengikuti kesalahan tersebut
sebagai bentuk balas budi kepada guru kita.
Kok bisa begitu? Ya, begitu, karena guru kita
mengajari kita ingin mendapatkan pahala jariyah, bukan dosa
jariyah. Jika murid mengikuti kesalahan gurunya, maka yang
akan didapatkan oleh sang guru adalah dosa jariyah.

13
Oleh karena, itu saya (ust. Abdullah Zaen) sering
menyampaikan kepada murid-murid saya, “Antum tau bahwa
ana itu manusia biasa, dan mungkin sekali melakukan
kesalahan. Tolong, jangan ikuti kesalahan ana. Ana ingin
mendapatkan pahala jariyah, bukan dosa jariyah.”
Maka, salah satu bentuk kebaikan (balas budi) kita
kepada guru kita, adalah dengan tidak mengikuti kesalahan
yang dilakukan oleh guru kita, supaya guru kita tidak terkena
“getahnya”, yaitu getah atas kesalahan yang dilakukan oleh
beliau, yang kemudian ditiru oleh murid- muridnya. Guru kita
adalah manusia biasa, yang mana kemungkinan bisa
melakukan kesalahan dan kekurangan dalam mendidik
anaknya, istrinya, keluarganya, maka jika kita melihat itu
terjadi pada guru kita, maka jangan hal itu dijadikan sebagai
dalih.

Contoh; ada seorang ustaz memiliki anak yang suka


mainan HP terus. Si ustaz ini belum mendapatkan taufik dan
kemudahan dari Allah untuk mendidik anaknya dengan baik,
maka jangan kemudian muridnya mengatakan, “Lah anaknya
ustaz juga begitu, apalagi anak jemaahnya, ya memper lah.”
Jangan begitu. Belum tentu apa yang dilakukan oleh
ustaz itulah yang untuk dicontoh. Maka perlu ditimbang
terlebih dahulu, benar atau salah, benar atau keliru. Kalau
ternyata keliru atau salah, maka jangan ditiru.

4. Carikan uzur untuk guru

14
Apa itu uzur? Uzur adalah alasan, yaitu alasan untuk
memaklumi kesalahan yang dilakukan oleh ustaz tersebut.
Ingat pesan Umar bin al-Khaththab radhiyallahu’anhu,

ُ ‫ك املسل ِم سوءًا وأنت‬


‫َتد‬ ِ ‫ال تَظُنى ىن بِ َكلِمة خرجت ِمن أ‬
َ ‫َخْي‬ ْ َ ََ َ
.‫هلا ِف اخل ِي َْم َم ًل‬
“Jangan pernah menafsirkan buruk ucapan saudaramu
sesama muslim, selama engkau bisa mencarikan celah untuk
menafsirkannya secara baik.”
Umar sedang memberikan nasihat kepada kita agar
bersikap baik kepada sesama muslim. Ustaz seorang muslim
atau bukan? Jawabannya jelas muslim. Bahkan bisa
dikatakan levelnya lebih tinggi daripada muslim yang biasa
saja.
Kalau sesama muslim biasa saja Umar pesan seperti
itu, lalu bagaimana dengan ahli ilmu, bagaimana dengan
ulama?! Oleh karena itu, demi untuk menjelaskan bahwa
ulama itu punya uzur saat melakukan kesalahan atau
kekeliruan, Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah sampai Menyusun
kitab yang membahas tentang hal ini, yaitu Raf’ul Malaam
‘anil A’immatil A’laam. Di mana kitab ini membahas tentang
bagaimana kita menyikapi kesalahan yang dilakukan oleh
para ulama.
Kata beliau, di antara sikap yang harus kita lakukan
ketika melihat ulama melakukan sesuatu yang kita anggap

15
keliru, maka carilah uzur untuknya. Bisa jadi dalil belum
sampai ke ulama tersebut.
“Masa ulama tidak tahu dalil?”

Loh ulama juga manusia. Tidak sempurna.


Bisa jadi dalil sudah sampai ke beliau, hanya saja
beliau memiliki penafsiran yang berbeda daripada penafsiran
kita. atau dalil itu sudah sampai ke beliau, cuman menurut
beliau dalil tersebut dha’iif.
Mungkin tidak para ulama berbeda pendapat dalam
menilai shahiih dan dha’iif-nya hadis? Jawabannya sangat
mungkin.
Contoh; dalam permasalahn qunut Subuh, itu para
ulama sampai sekarang masih berbeda pendapat. Tidak
sedikit dari ulama pakar hadis mengatakan bahwa hadis,

.‫َما َز َال رسول هللا يقنط ف الفجر حَّت فارق الدنيا‬


“Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam senantiasa
melakukan qunut Subuh sampai beliau berpisah dengan
dunia.”
Ada di antara mereka (para ulama) yang mengatakan
bahwa hadis ini shahiih, dan yang menyatakan itu bukanlah
ulama kaleng-kaleng. Mereka adalah ulama hadis, semisal
Ibnu Mulaqqin dan ulama-ulama mazhab Syafi’i yang
lainnya. Ada pula ulama yang menilai bahwa hadis tersebut

16
dha’iif. Perbedaan semacam ini merupakan hal yang lumrah.
Biasa di kalangan para ulama hadis.
Jadi, yang kita bahas di sini ialah perbedaan pendapat
yang terjadi di antara para ulama, bukan para juhala. Para
ulama yang berbeda pendapat semisal Ibnu Abdil Hadi
dengan Ibnul Mulaqqin, Ibnul Jauzi dengan an-Nawawi,
mereka itu semua para ulama. Perbedaan pendapat yang
terjadi di antara mereka adalah sesuatu yang wajar dan biasa.
5. Berilah nasihat secara halus dan rahasia

Kenapa harus halus? Karena beliau memiliki jasa


kepada kita. selain itu, jika kita nasihati secara kasar dan di
depan umum, nanti akan mencemarkan nama baik ustaz
tersebut. Maka, lakukanlah proses menasihati itu secara
lembut dan rahasia. Bukan dengan cara yang kasar dan di
hadapan umum, baik di dunia nyata maupun maya.

Tidak sedikit di antara orang-orang yang ingin


menasihati gurunya, mereka menasihatinya di grup. Itu sama
saja di hadapan umum, meskipun itu dunia maya. Sama saja
itu di hadapan umum. Ia bagaikan menasihati ustaz di atas
mimbar.
Imam Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah menulis
sebuah risalah yang berjudu “al-Farqu bainan Nashiihati wat
Ta’yiir (perbedaan antara nasihat dengan mempermalukan).”
Jadi, jangan sampai kita tujuannya awalnya memberi nasihat,
namun pada akhirnya apa yang kita lakukan itu hanyalah
mempermalukan.
6. Jaga reputasi ulama yang jatuh pada kesalahan
17
Walaupun kita sudah menyampaikan nasihat, tidaklah
perlu bagi kita untuk mengumbar ke khalayak umum
mengenai apa yang telah kita lakukan. Jika permasalahan itu
rahasia, maka biarkanlah yang mengetahui itu hanyalah
antum, beliau dan Allah.
Nasihat yang kita berikan belum diterima, bisa jadi
suatu saat nanti si ustaz tersebut menerima nasihat dari orang
lain. Mungkin saja. Bisa jadi karena cara penyampaiannya
berbeda, sehingga yang bersangkutan lebih menerima sesuai
dengan perasaannya.
Demikianlah enam hal yang perlu kita perhatikan
dalam menyikapi kesalahan yang dilakukan oleh ulama, ahli
ilmu atau guru-guru kita. Semoga yang sedikit ini
bermanfaat.

***

18
………………………………………………………………
………………………………………………………………
………………………………………………………………
………………………………………………………………
………………………………………………………………
………………………………………………………………
………………………………………………………………
………………………………………………………………
………………………………………………………………
………………………………………………………………
………………………………………………………………
………………………………………………………………
………………………………………………………………
………………………………………………………………
………………………………………………………………
………………………………………………………………
………………………………………………………………
………………………………………………………………
………………………………………………………………
………………………………………………………………
………………………………………………………………
………………………………………………………………
………………………………………………………………
………………………………………………………………
………………………………………………………………
………………………………………………………………
………………………………………………………………
………………………………………………………………
………………………………………………………………
………………………………………………………………
19
………………………………………………………………
………………………………………………………………
………………………………………………………………
………………………………………………………………
………………………………………………………………
………………………………………………………………
………………………………………………………………
………………………………………………………………
………………………………………………………………
………………………………………………………………
………………………………………………………………
………………………………………………………………
………………………………………………………………
………………………………………………………………
………………………………………………………………
………………………………………………………………
………………………………………………………………
………………………………………………………………
………………………………………………………………
………………………………………………………………
………………………………………………………………
………………………………………………………………
………………………………………………………………
………………………………………………………………
………………………………………………………………
………………………………………………………………
………………………………………………………………
………………………………………………………………
………………………………………………………………
………………………………………………………………
20

Anda mungkin juga menyukai