Anda di halaman 1dari 48

BAB I

PENDAHULUAN

 Latar Belakang

System saraf pada tubuh manusia sangatlah penting, pada kenyataannya juga
tidak lepas dari ancaman penyakit. Penyakit system saraf sangat fatal bagi seorang
manusia terutama pada anak- anak. Kemungkinan seorang anak untuk terkena penyakit
yang berhubungan dengan saraf sangatlah besar. Penyakit yang sering muncul
diantaranya adalah meningitis yang artinya merupakan inflamasi yang terjadi pada lapisan
arahnoid dan piamatter di otak serta spinal cord.

Inflamasi ini lebih sering disebabkan oleh bakteri dan virus meskipun penyebab lainnya
seperti jamur dan protozoa juga terjadi. Selain itu juga yang sering menyerang pada anak- anak
adalah penyakit hidroshepalus yakni Hidrosefalus adalah kelainan patologis otak yang
mengakibatkan bertambahnya cairan serebrospinal dengan atau pernah dengan tekanan
intrakranial yang meninggi, sehingga terdapat pelebaran ventrikel.

 Ruang Lingkup
a. Asuhan keperawatan pada anak dengan penyakit meningitis
b. Asuhan keperawatan pada anak dengan penyakit enchepalitis
c. Asuhan keperawatan pada anak dengan penyakit hidrosefalus
d. Asuhan keperawatan pada anak dengan penyakit kejang demam
e. Asuhan keperawatan pada anak dengan penyakit spina bifida
f. Asuhan keperawatan pada anak dengan penyakit cerebral palsi

 Sistematika Penulisan
Kata Pengantar
Daftar Isi
Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang
B. Ruang Lingkup
C. Maksud dan Tujuan
D. Sistematika Penulisan

1
E. Metode Penulisan
Bab II Pembahasan
A. Asuhan keperawatan pada anak dengan penyakit meningitis
B. Asuhan keperawatan pada anak dengan penyakit enchepalitis
C. Asuhan keperawatan pada anak dengan penyakit hidrosefalus
D. Asuhan keperawatan pada anak dengan penyakit kejang demam
E. Asuhan keperawatan pada anak dengan penyakit spina bifida
F. Asuhan keperawatan pada anak dengan penyakit cerebral palsi
Bab III Penutup
A. Kesimpulan
B. Saran
Daftar Pustaka
 Metode Penulisan
Metode yang digunakan adalah :
a. Studi Dokumentasi
Yaitu suatu metode yang dilakukan dengan mempelajari naskah-naskah dan
dokumen-dokumen lainnya baik berbentuk buku sumber ataupun dari internet.
b. Studi Kepustakaan
Yaitu metode penelitian yang dilakukan dengan mempelajari teori-teori dalam
buku atau literature lainnya yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. asuhan keperawatan pada anak dengan pnyakit meningitis
 Definisi

Meningitis merupakan inflamasi yang terjadi pada lapisan arahnoid dan piamatter di
otak serta spinal cord. Inflamasi ini lebih sering disebabkan oleh bakteri dan virus
meskipun penyebab lainnya seperti jamur dan protozoa juga terjadi. (Donna D.,1999).

Meningitis merupakan infeksi akut dari meninges, biasanya ditimbulkan oleh salah
satu dari mikroorganisme pneumokok, Meningokok, Stafilokok, Streptokok, Hemophilus
influenza dan bahan aseptis (virus) (Long, 1996).

Meningitis adalah peradangan pada selaput meningen, cairan serebrospinal dan spinal
column yang menyebabkan proses infeksi pada sistem saraf pusat (Suriadi & Rita, 2001).

 Klasifikasi

1. Meningitis Bakterial (Meningitis sepsis)

Sering terjadi pada musim dingin, saat terjadi infeksi saluran pernafasan. Jenis
organisme yang sering menyebabkan meningitis bacterial adalah streptokokus pneumonia
dan neisseria meningitis.Meningococal meningitis adalah tipe dari meningitis bacterial
yang sering terjadi pada daerah penduduk yang padat, spt: asrama, penjara.

Klien yang mempunyai kondisi spt: otitis media, pneumonia, sinusitis akut atau sickle
sell anemia yang dapat meningkatkan kemungkinan terjadi meningitis. Fraktur tulang
tengkorak atau pembedahan spinal dapat juga menyebabkan meningitis . Selain itu juga
dapat terjadi pada orang dengan gangguan sistem imun, spt: AIDS dan defisiensi
imunologi baik yang congenital ataupun yang didapat.

Tubuh akan berespon terhadap bakteri sebagai benda asing dan berespon dengan
terjadinya peradangan dengan adanya neutrofil, monosit dan limfosit. Cairan eksudat yang
terdiri dari bakteri, fibrin dan lekosit terbentuk di ruangan subarahcnoid ini akan
terkumpul di dalam cairan otak sehingga dapat menyebabkan lapisan yang tadinya tipis
menjadi tebal. Dan pengumpulan cairan ini akan menyebabkan peningkatan intrakranial.
Hal ini akan menyebabkan jaringan otak akan mengalami infark.

3
2. Meningitis Virus (Meningitis aseptic)

Meningitis virus adalah infeksi pada meningen; cenderung jinak dan bisa sembuh
sendiri. Virus biasanya bereplikasi sendiri ditempat terjadinya infeksi awal (misalnya
sistem nasofaring dan saluran cerna) dan kemudian menyebar kesistem saraf pusat melalui
sistem vaskuler.

Ini terjadi pada penyakit yang disebabkan oleh virus spt: campak, mumps, herpes
simplek dan herpes zoster. Virus herpes simplek mengganggu metabolisme sel sehingga
sell cepat mengalami nekrosis. Jenis lainnya juga mengganggu produksi enzim atau
neurotransmitter yang dapat menyebabkan disfungsi sel dan gangguan neurologic.

3. Meningitis Jamur

Meningitis Cryptococcal adalah infeksi jamur yang mempengaruhi sistem saraf pusat
pada klien dengan AIDS. Gejala klinisnya bervariasi tergantung dari system kekebalan
tubuh yang akan berefek pada respon inflamasi Respon inflamasi yang ditimbulkan pada
klien dengan menurunnya sistem imun antara lain: bisa demam/tidak, sakit kepala, mual,
muntah dan menurunnya status mental.

 Etiologi

1. Bakteri

Merupakan penyebab tersering dari meningitis, adapun beberapa bakteri yang secara
umum diketahui dapat menyebabkan meningitis adalah :

o Haemophillus influenzae

o Nesseria meningitides (meningococcal)

o Diplococcus pneumoniae (pneumococcal)

o Streptococcus, grup A

o Staphylococcus aureus

4
2. Virus

Merupakan penyebab sering lainnya selain bakteri. Infeksi karena virus ini biasanya
bersifat “self-limitting”, dimana akan mengalami penyembuhan sendiri dan penyembuhan
bersifat sempurna. Beberapa virus secara umum yang menyebabkan meningitis adalah:

 Coxsacqy

 Virus herpes

 Arbo virus

 Campak dan varicela

3. Jamur

Kriptokokal meningitis adalah serius dan fatal. Bentuk penyakit pada pasien
HIV/AIDS dan hitungan CD< 200.Candida dan aspergilus adalah contoh lain jamur
meningitis.

4. Protozoa

 Faktor resiko terjadinya meningitis :

1. Infeksi sistemik

Didapat dari infeksi di organ tubuh lain yang akhirnya menyebar secara hematogen
sampai ke selaput otak, misalnya otitis media kronis, mastoiditis, pneumonia, TBC,
perikarditis, dll.

2. Trauma kepala

Bisanya terjadi pada trauma kepala terbuka atau pada fraktur basis cranii yang
memungkinkan terpaparnya CSF dengan lingkungan luar melalui othorrhea dan rhinorhea

3. Kelainan anatomis

Terjadi pada pasien seperti post operasi di daerah mastoid, saluran telinga tengah,
operasi cranium

5
 Tanda dan gejala meningitis secara khusus:

1. Anak dan Remaja

a) Demam

b) Mengigil

c) Sakit kepala

d) Muntah

2. Bayi dan Anak Kecil

Gambaran klasik jarang terlihat pada anak-anak usia 3 bulan dan 2 tahun.

a) Demam

b) Muntah

c) Peka rangsang yang nyata

d) Sering kejang (sering kali disertai denagan menangis nada tinggi)

e) Fontanel menonjol.

3.Neonatus:

a) Tanda-tanda spesifik: Secara khusus sulit untuk didiagnosa serta manifestasi tidak jelas
dan spesifik tetapi mulai terlihat menyedihkan dan berperilaku buruk dalam beberapa hari,
seperti

b) Menolak untuk makan.

c) Kemampuan menghisap menurun.

d) Muntah atau diare.

e) Tonus buruk.

f) Kurang gerakan.

 Patofisiologi

Meningitis bakteri dimulai sebagai infeksi dari oroaring dan diikuti dengan
septikemia, yang menyebar ke meningen otak dan medula spinalis bagian atas.

Faktor predisposisi mencakup infeksi jalan nafas bagian atas, otitis media,
mastoiditis, anemia sel sabit dan hemoglobinopatis lain, prosedur bedah saraf baru, trauma
kepala dan pengaruh imunologis. Saluran vena yang melalui nasofaring posterior, telinga

6
bagian tengah dan saluran mastoid menuju otak dan dekat saluran vena-vena meningen;
semuanya ini penghubung yang menyokong perkembangan bakteri.

Organisme masuk ke dalam aliran darah dan menyebabkan reaksi radang di dalam
meningen dan di bawah korteks, yang dapat menyebabkan trombus dan penurunan aliran
darah serebral. Jaringan serebral mengalami gangguan metabolisme akibat eksudat
meningen, vaskulitis dan hipoperfusi. Eksudat purulen dapat menyebar sampai dasar otak
dan medula spinalis. Radang juga menyebar ke dinding membran ventrikel serebral.
Meningitis bakteri dihubungkan dengan perubahan fisiologis intrakranial, yang terdiri dari
peningkatan permeabilitas pada darah, daerah pertahanan otak (barier oak), edema serebral
dan peningkatan TIK.

Pada infeksi akut pasien meninggal akibat toksin bakteri sebelum terjadi
meningitis. Infeksi terbanyak dari pasien ini dengan kerusakan adrenal, kolaps sirkulasi
dan dihubungkan dengan meluasnya hemoragi (pada sindromWaterhouse-Friderichssen)
sebagai akibat terjadinya kerusakan endotel dan nekrosis pembuluh darah yang disebabkan
oleh meningokokus

 Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan laboratorium yang khas pada meningitis adalah analisa cairan otak.
Analisa cairan otak diperiksa untuk jumlah sel, protein, dan konsentrasi glukosa Lumbal
Pungsi

Lumbal pungsi biasanya dilakukan untuk menganalisa hitung jenis sel dan
protein.cairan cerebrospinal, dengan syarat tidak ditemukan adanya peningkatan TIK.
Lumbal punksi tidak bisa dikerjakan pada pasien dengan peningkatan tekanan tintra
cranial.

 Penatalaksanaan

1. Farmakologis

a. Obat anti inflamasi

Meningitis tuberkulosa

a) Isoniazid 10 – 20 mg/kg/24 jam oral, 2 kali sehari maksimal 500 gr selama 1 ½ tahun

b) Rifamfisin 10 – 15 mg/kg/ 24 jam oral, 1 kali sehari selama 1 tahun

7
c) Streptomisin sulfat 20 – 40 mg/kg/24 jam sampai 1 minggu, 1 – 2 kali sehari, selama 3
bulan

Meningitis bacterial, umur < 2 bulan

a) Sefalosporin generasi ke 3

b) ampisilina 150 – 200 mg (400 gr)/kg/24 jam IV, 4 – 6 kali sehari

c) Koloramfenikol 50 mg/kg/24 jam IV 4 kali sehari

Meningitis bacterial, umur > 2 bulan

a) Ampisilina 150-200 mg (400 mg)/kg/24 jam IV 4-6 kali sehari

b) Sefalosforin generasi ke 3.

b. Pengobatan simtomatis

1) Diazepam IV : 0.2 – 0.5 mg/kg/dosis, atau rectal 0.4 – 0.6/mg/kg/dosis kemudian klien
dilanjutkan dengan.

2) Fenitoin 5 mg/kg/24 jam, 3 kali sehari.

3) Turunkan panas :

a) Antipiretika : parasetamol atau salisilat 10 mg/kg/dosis.

b) Kompres air PAM atau es

c. Pengobatan suportif

1) Cairan intravena

2) Zat asam, usahakan agar konsitrasi O2 berkisar antara 30 – 50 %

 Pencegahan

Meningitis dapat dicegah dengan cara mengenali dan mengerti dengan baik faktor
presdis posisi seperti otitis media atau infeksi saluran napas (seperti TBC) dimana dapat
menyebabkan meningitis serosa. Dalam hal ini yang paling penting adalah pengobatan
tuntas (antibiotik) walaupun gejala-gejala infeksi tersebut telah hilang.

Setelah terjadinya meningitis penanganan yang sesuai harus cepat diatasi. Untuk
mengidentifikasi faktor atau janis organisme penyebab dan dengan cepat memberikan
terapi sesuai dengan organisme penyebab untuk melindungi komplikasi yang serius

8
 Asuhan keperawatan pada anak dengan penyakitmeningitis

sumber data :

Nama : By. L

Tempat tanggal lahir : Jombang, 17 Desember 2002

Usia : 5 bulan/ anak ke-5

Jenis kelamin : Perempuan.

Nama ayah/ ibu : Tn. S/ Ny. S

Pendidikan ayah/ ibu : SMA/ SMP

Agama : Islam

Suku bangsa : Jawa/ Indonesia

Alamat : Mojowarno/ Jombang

No. DMK : 10-392-85

Tgl MRS : 13 April 2003

Sumber informasi : Ibu

Diagnosa medis : S. Meningitis

Sebelumnya di rumah klien sudah seminggu menderita demam, flu dan batuk. klien
mulai kejang pada tanggal 13 April 2003 jam 23.00 (pada saat kejang mata melirik ke atas,
kejang pada seluruh badan, setelah kejang klien sadar dan menangis pada saat kejang
keluar buih lewat mulut) dan langsung dibawa ke IRD RSUD Dr. Soetomo Surabaya dan
MRS di Ruang anak B2 Neorologi. Sebelumnya klien pernah MRS dengan diare pada saat
berumur 1 bulan.

Ibu mengungkapkan bahwa saat klien menderita panas dan kejang didalam keluarga
tidak ada yang menderita sakit flu/ batuk. selama hamil ia rajin kontrol ke bidan didekat
rumahnya, ia mengatakan bahwa ia juga mengkonsumsi jamu selama hamil. Menurut ibu,
klien lahir kembar di rumah sakit Mojowarno Jombang dengan berat badan lahir 1200
gram, tidak langsung menangis, menurut ibu air ketubannya berwarna kehitaman dan

9
kental. Menurut ibu anaknya telah mendapatkan imunisasi BCG, polio I, DPT I dan
hepatitis

Ibu mengungkapkan by.L diberikan ASI mulai lahir sampai berumur 1 bulan, setelah
dirawat di ruang anak ibu tidak menenteki dan diganti dengan PASI Lactogen. Pada saat
pengkajian BB 3700 gram, panjang badan 56 cm, lingkar lengan atas 7 cm. Ibu
mengungkapkan anak tidak mual dan tidak pernah muntah Pada saat ini anak memasuki
masa basic trust Vs Mistrust (dimana rasa percaya anak kepada lingkungan terbentuk
karena perlakuan yang ia rasakan). Ia juga berada pada fase oral dimana kepuasan berasal
pada mulut.

Ibu mengungkapkan bahwa ia menerima keadaan anaknya, dan berharap agar


anaknya bisa cepat sembuh dan pulang berkumpul bersama dengan keluarga serta kakak
klien. Ibu dan nenek klien selalu menunggui klien dan hanya pada hari minggu ayah dan
kakak klien datang mengunjungi klien, karena harus bekerja dan sekolah.

1. Pengkajian

Pengkajian dilakukan pada tanggal 14 April 2003 pukul 10.00 WIB di Ruang anak
(Ruang neurologi/ B II) RSUD Dr. Soetomo surabaya

a. Biodata

Nama : By. L

Tempat tanggal lahir : Jombang, 17 Desember 2002

Usia : 5 bulan/ anak ke-5

Jenis kelamin : Perempuan.

Nama ayah/ ibu : Tn. S/ Ny. S

Pendidikan ayah/ ibu : SMA/ SMP

Agama : Islam

Suku bangsa : Jawa/ Indonesia

Alamat : Mojowarno/ Jombang

10
No. DMK : 10-392-85

Tgl MRS : 13 April 2003

Sumber informasi : Ibu

Diagnosa medis : S. Meningitis

b. Keluhan utama

Kejang.

c. Riwayat penyakit sekarang

Seminggu menderita demam, flu dan batuk. klien mulai kejang pada tanggal 13 April
2003 jam 23.00 (pada saat kejang mata melirik ke atas, kejang pada seluruh badan, setelah
kejang klien sadar dan menangis pada saat kejang keluar buih lewat mulut) dan langsung
dibawa ke IRD RSUD Dr. Soetomo Surabaya dan MRS di Ruang anak B2 Neorologi.

d. Riwayat penyakit dahulu

Sebelumnya klien pernah MRS dengan diare pada saat berumur 1 bulan.

e. Riwayat penyakit keluarga

Saat klien menderita panas dan kejang didalam keluarga tidak ada yang menderita
sakit flu/ batuk.

f. Riwayat kehamilan dan persalinan

Selama hamil ibu rajin kontrol ke bidan didekat rumahnya juga mengkonsumsi jamu
selama hamil. Klien lahir kembar di rumah sakit Mojowarno Jombang dengan berat badan
lahir 1200 gram, tidak langsung menangis, dan air ketubannya berwarna kehitaman dan
kental.

g. Status imunisasi

Klien telah mendapatkan imunisasi BCG, polio I, DPT I dan hepatitis

h. Status nutrisi

11
By.L diberikan ASI mulai lahir sampai berumur 1 bulan, setelah dirawat di ruang
anak ibu tidak menenteki dan diganti dengan PASI Lactogen. Pada saat pengkajian BB
3700 gram, panjang badan 56 cm, lingkar lengan atas 7 cm. Ibu mengungkapkan anak
tidak mual dan tidak pernah muntah.

i. Riwayat perkembangan

Pada saat ini anak memasuki masa basic trust Vs Mistrust (dimana rasa percaya anak
kepada lingkungan terbentuk karena perlakuan yang ia rasakan). Ia juga berada pada fase
oral dimana kepuasan berasal pada mulut.

j. Data Psikososial

Ibu menerima keadaan anaknya, dan berharap agar anaknya bisa cepat sembuh dan
pulang berkumpul bersama dengan keluarga serta kakak klien. Ibu dan nenek klien selalu
menunggui klien dan hanya pada hari minggu ayah dan kakak klien datang mengunjungi
klien, karean harus bekerja dan sekolah.

k. Pemeriksaan fisik

1) Keadaan umum

Anak tampak tidur dengan menggunakan IV Cath pada tangan kanan, kesadaran
compomentis, nadi 140 x/mnt, suhu 38OC, pernafasan 40 x/mnt teratur.

2) Kepala dan leher

 Kepala berbentuk simetris, rambut bersih, hitam dan penyebarannya merata, ubun-
ubun besar masih belum menutup, teraba lunak dan cembung, tidak tegang. Lingkar
kepala 36 cm.

 Reaksi cahaya +/+, mata nampak anemi, ikterus tidak ada, tidak terdapat sub
kunjungtival bleeding.

 Telinga tidak ada serumen.

 Hidung tidak terdapat pernafasan cuping hidung.

 Mulut bersih, tidak terdapat moniliasis.

 Leher tidak terdapat pembesaran kelenjar, tidak ada kaku kuduk.

12
3) Dada dan thoraks

Pergerakan dada simetris, Wheezing -/-, Ronchi -/-, tidak terdapat retraksi otot bantu
pernafasan. Pemeriksaan jantung, ictus cordis terletak di midclavicula sinistra ICS 4-5,
S1S2 tunggal tidak ada bising/ murmur.

4) Abdomen

Bentuk supel, hasil perkusi tympani, tidak terdapat meteorismus, bising usus+ normal
5 x/ mnt, hepar dan limpa tidak teraba. Kandung kemih teraba kosong.

5) Ekstrimitas

Tidak terdapat spina bifida pada ruas tulang belakang, tidak ada kelainan dalam segi
bentuk, uji kekuatan otot tidak dilakukan. Klien mampu menggerakkan ekstrimitas sesuai
dengan arah gerak sendi. Ekstrimitas kanan sering terjadi spastik setiap 10 menit selama 1
menit.

6) Refleks

Pada saat dikaji refleks menghisap klien +, refleks babinsky +,

2. Pemeriksaan penunjang

Laboratorium tanggal 14 april 2003:

1. Hemoglobine 8,2 gr%

2. Leucocyt 24.400

3. Thrombocyt 483×109

4. GDA 96 mg/dl

3. Pemeriksaan penunjang medis

Laboratorium tanggal 17 april 2003:

1. Kalium serum 4,0 normal 3,5-5,5 mEq/L

2. Na Serum 134 normal 135-145 mEq/L

3. Kalsium serum 5,4 normal 8,0-10 mg/dl

13
4. Laboratorium tanggal 22 april 2003:

5. Hemoglobine 16,2 gr%

4. Terapi Medis :

1. IVFD D51/4S 400 cc/24 jam

2. Injeksi Cefotaxime 3 x 250 mg iv

3. Injeksi Dilantin 3 x 8 mg intravena

4. Tranfusi WB 37 cc / hari

5. K/p Injeksi Diazepam 1 mg kalau kejang

5. Diagnosa keperawatan

Diagnosa 1

Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial

Tujuan: Pasien kembali pada, keadaan status neurologis sebelum sakit

Kriteria hasil: Tanda-tanda vital dalam batas normal

Implementasi :

1. Pasien bed rest total dengan posisi tidur terlentang tanpa bantal

2. Monitor tanda-tanda status neurologis dengan GCS.

3. Monitor intake dan output

4. Monitor tanda-tanda vital seperti TD, Nadi, Suhu, Respirasi dan hati-hati pada
hipertensi sistolik

5. Bantu pasien untuk membatasi gerak atau berbalik di tempat tidur.

6. Berikan cairan perinfus dengan perhatian ketat.

7. Monitor AGD bila diperlukan pemberian oksigen

8. Berikan terapi sesuai advis dokter seperti: Steroid, Aminofel, Antibiotika

14
Rasional :

1. Perubahan pada tekanan intakranial akan dapat meyebabkan resiko untuk terjadinya
herniasi otak

2. Dapat mengurangi kerusakan otak lebih lanjt

3. Pada keadaan normal autoregulasi mempertahankan keadaan tekanan darah sistemik


berubah secara fluktuasi. Kegagalan autoreguler akan menyebabkan kerusakan vaskuler
cerebral yang dapat dimanifestasikan dengan peningkatan sistolik dan diiukuti oleh
penurunan tekanan diastolik. Sedangkan peningkatan suhu dapat menggambarkan
perjalanan infeksi.

4. hipertermi dapat menyebabkan peningkatan IWL dan meningkatkan resiko dehidrasi


terutama pada pasien yang tidak sadra, nausea yang menurunkan intake per oral

5. Aktifitas ini dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan intraabdomen. Mengeluarkan


napas sewaktu bergerak atau merubah posisi dapat melindungi diri dari efek valsava

6. Meminimalkan fluktuasi pada beban vaskuler dan tekanan intrakranial, vetriksi cairan
dan cairan dapat menurunkan edema cerebral

7. Adanya kemungkinan asidosis disertai dengan pelepasan oksigen pada tingkat sel dapat
menyebabkan terjadinya iskhemik serebral.

8. Terapi yang diberikan dapat menurunkan permeabilitas kapiler, menurunkan edema


serebri, menurunkan metabolik sel / konsumsi dan kejang

Diagnosa 2

Resiko terjadi kejang ulang berhubungan dengan hipertermi

Tujuan: Klien tidak mengalami kejang selama berhubungan dengan hiperthermi

Kriteria Hasil:

 Tidak terjadi serangan kejang ulang.

 Suhu 36,5 – 37,5 º C (bayi), 36 – 37,5 º C (anak)

 Nadi 110 – 120 x/menit (bayi)

15
 100-110 x/menit (anak)

 Respirasi 30 – 40 x/menit (bayi)

 24 – 28 x/menit (anak)

 Kesadaran composmentis

Implementasi :

1. Longgarkan pakaian, berikan pakaian tipis yang mudah menyerap keringat

2. Berikan kompres dingin

3. Berikan ekstra cairan (susu, sari buah, dll)

4. Observasi kejang dan tanda vital tiap 4 jam

5. Batasi aktivitas selama anak panas

6. Berikan anti piretika dan pengobatan sesuai advis

Rasional :

1. proses konveksi akan terhalang oleh pakaian yang ketat dan tidak menyerap keringat.

2. perpindahan panas secara konduksi

3. saat demam kebutuhan akan cairan tubuh meningkat

4. Pemantauan yang teratur menentukan tindakan yang akan dilakukan

5. aktivitas dapat meningkatkan metabolisme dan meningkatkan panas

6. Menurunkan panas pada pusat hipotalamus dan sebagai propilaksis

16
B. Asuhan keperawatan pada anak dengan penyakit enchepalitis

 Definisi

Ensefalitis adalah infeksi yang mengenai CNS yang disebabkan oleh virus atau
mikro organisme lain yang non purulent.

 Patogenesis Ensefalitis

Virus masuk tubuh pasien melalui kulit,saluran nafas dan saluran cerna.setelah masuk ke
dalam tubuh,virus akan menyebar ke seluruh tubuh dengan beberapa cara:

a) Setempat:virus alirannya terbatas menginfeksi selaput lendir permukaan atau organ


tertentu.

b) Penyebaran hematogen primer:virus masuk ke dalam darah. Kemudian menyebar ke


organ dan berkembang biak di organ tersebut.

c) Penyebaran melalui saraf-saraf : virus berkembang biak di permukaan selaput lendir


dan menyebar melalui sistem saraf.

 Gejala-Gejala yang mungkin terjadi pada Ensefalitis :

a) Panas badan meningkat ,photo fobi,sakit kepala ,muntah-muntah lethargy ,kadang


disertai kaku kuduk apabila infeksi mengenai meningen.

b) Anak tampak gelisah kadang disertai perubahan tingkah laku. Dapat disertai
gangguan penglihatan ,pendengaran ,bicara dan kejang.

 Asuhan keperawatan pada anak dengan penyakit enchepalitis

1. Pengkajian

1. Identitas

Ensefalitis dapat terjadi pada semua kelompok umur.

2. Keluhan utama

Panas badan meningkat, kejang, kesadaran menurun.

17
3. Riwayat penyakit sekarang

Mula-mula anak rewel ,gelisah ,muntah-muntah ,panas badan meningkat kurang lebih 1-4
hari , sakit kepala.

4. Riwayat penyakit dahulu

Klien sebelumnya menderita batuk , pilek kurang lebih 1-4 hari, pernah menderita
penyakit Herpes, penyakit infeksi pada hidung,telinga dan tenggorokan.

5. Riwayat Kesehatan Keluarga

Keluarga ada yang menderita penyakit yang disebabkan oleh virus contoh : Herpes dll.
Bakteri contoh : Staphylococcus Aureus,Streptococcus , E , Coli, dll.

6. Imunisasi

 Kapan terakhir diberi imunisasi DTP

 Karena ensefalitis dapat terjadi post imunisasi pertusis.

2. Pola-Pola Fungsi Kesehatan

a. Kebiasaan

sumber air yang dipergunakan dari PAM atau sumur ,kebiasaan buang air besar di
WC,lingkungan penduduk yang berdesakan (daerah kumuh)

b. Status Ekonomi

Biasanya menyerang klien dengan status ekonomi rendah.

c. Pola Nutrisi dan Metabolisme

Menyepelekan anak yang sakit ,tanpa pengobatan yang semPemenuhan Nutrisi

Biasanya klien dengan gizi kurang asupan makana dan cairan dalam jumlah kurang dari
kebutuhan tubuh.,

d. Pola Eliminasi

Kebiasaan Defekasi sehari-hari. Biasanya pada pasien Ensefalitis karena pasien tidak
dapat melakukan mobilisasi maka dapat terjadi obstipasi.

18
e. Kebiasaan Miksi sehari-hari

Biasanya pada pasien Ensefalitis kebiasaan mictie normal frekuensi normal.

Jika kebutuhan cairan terpenuhi.

Jika terjadi gangguan kebutuhan cairan maka produksi irine akan menurun, konsentrasi
urine pekat.

f. Pola tidur dan istirahat

Biasanya pola tidur dan istirahat pada pasien Ensefalitis biasanya tidak dapat dievaluasi
karena pasien sering mengalami apatis sampai koma.

g. Pola Aktivitas

a. Aktivitas sehari-hari : klien biasanya terjadi gangguan karena bx Ensefalitis dengan


gizi buruk mengalami kelemahan.

b. Kebutuhan gerak dan latihan : bila terjadi kelemahan maka latihan gerak dilakukan
latihan positif.

Upaya pergerakan sendi : bila terjadi atropi otot pada px gizi buruk maka dilakukan
latihan pasif sesuai ROM

Kekuatan otot berkurang karena px Ensefalitisdengan gizi buruk .

Kesulitan yang dihadapi bila terjadi komplikasi ke jantung ,ginjal ,mudah terkena infeksi
berat,aktifitas togosit turun ,Hb turun ,punurunan kadar albumin serum, gangguan
pertumbuhan.

3. Pemeriksaan Laboratorium / Pemeriksaan Penunjang

Gambaran cairan serebrospinal dapat dipertimbangkan meskipun tidak begitu


membantu. Biasanya berwarna jernih ,jumlah sel 50-200 dengan dominasi limfasit. Kadar
protein kadang-kadang meningkat, sedangkan glukosa masih dalam batas normal.

Gambaran EEG memperlihatkan proses inflamasi difus (aktifitas lambat


bilateral).Bila terdapat tanda klinis flokal yang ditunjang dengan gambaran EEG atau CT
scan dapat dilakukan biopal otak di daerah yang bersangkutan. Bila tidak ada tanda klinis

19
flokal, biopsy dapat dilakukan pada daerah lobus temporalis yang biasanya menjadi
predileksi virus Herpes Simplex.

4. Diagnosa Keperawatan Yang Sering Terjadi

1. Resiko tinggi infeksi b/d daya tahan terhadap infeksi turun.

2. Resiko tinggi perubahan peR/usi jaringan b/d Hepofalemia, anemia.

3. Resiko tinggi terhadap trauma b/d aktivitas kejang umu.

4. Nyeri b/d adanya proses infeksi yang ditandai dengan anak menangis, gelisah.

5. Gangguan mobilitas b/d penurunan kekuatan otot yang ditandai dengan ROM
terbatas.

6. Gangguan asupan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual
muntah.

7. Gangguan sensorik motorik (penglihatan, pendengaran, gaya bicara) b/d kerusakan


susunan saraf pusat.

8. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan sakit kepala mual.

9. Resiko gangguan integritas kulit b/d daya pertahanan tubuh terhadap infeksi turun.

10. Resiko terjadi kontraktur b/d spastik berulang.

 Diagnosa keperawatan 1

Resiko tinggi infeksi b/d daya tahan tubuh terhadap infeksi turun

Tujuan:

- tidak terjadi infeksi

Kriteria hasil:

- Masa penyembuhan tepat waktu tanpa bukti penyebaran infeksi endogen

Intervensi

20
1. Pertahanan teknik aseptic dan teknik cuci tangan yang tepat baik petugas atau
pengunmjung. Pantau dan batasi pengunjung.

R/. menurunkan resiko px terkena infeksi sekunder . mengontrol penyebaran Sumber


infeksi, mencegah pemajaran pada individu yang mengalami nfeksi saluran nafas atas.

2. Abs. suhu secara teratur dan tanda-tanda klinis dari infeksi.

R/. Deteksi dini tanda-tanda infeksi merupakan indikasi perkembangan


Meningkosamia .

3. Berikan antibiotika sesuai indikasi

R/. Obat yang dipilih tergantung tipe infeksi dan sensitivitas individu.

 Diagnosa Keperawatan 2

Resiko tinggi terhadap trauma b/d aktivitas kejang umum

Tujuan :

- Tidak terjadi trauma

Kriteria hasil :

- Tidak mengalami kejang / penyerta cedera lain

Intervensi :

1. Berikan pengamanan pada pasien dengan memberi bantalan,penghalang tempat


tidur tetapn terpasang dan berikan pengganjal pada mulut, jalan nafas tetap bebas.

R/. Melindungi px jika terjadi kejang , pengganjal mulut agak lidah tidak tergigit.

Catatan: memasukkan pengganjal mulut hanya saat mulut relaksasi.

2. Pertahankan tirah baring dalam fase akut.

R/. Menurunkan resiko terjatuh / trauma saat terjadi vertigo.

21
3. Kolaborasi.

Berikan obat sesuai indikasi seperti delantin, valum dsb.

R/. Merupakan indikasi untuk penanganan dan pencegahan kejang.

4. Abservasi tanda-tanda vital

R/. Deteksi diri terjadi kejang agak dapat dilakukan tindakan lanjutan.

C. Asuhan keperawatan pada anak dengan penyakit hidrosefalus

 Definisi

Hidrosefalus adalah kelainan patologis otak yang mengakibatkan bertambahnya


cairan serebrospinal dengan atau pernah dengan tekanan intrakranial yang meninggi,
sehingga terdapat pelebaran ventrikel (Darsono, 2005:209). Pelebaran ventrikuler ini
akibat ketidakseimbangan antara produksi dan absorbsi cairan serebrospinal. Hidrosefalus
selalu bersifat sekunder, sebagai akibat penyakit atau kerusakan otak. Adanya kelainan-
kelainan tersebut menyebabkan kepala menjadi besar serta terjadi pelebaran sutura-sutura
dan ubun-ubun (DeVito EE et al, 2007:328).
 Epidemiologi

Insidensi hidrosefalus antara 0,2-4 setiap 1000 kelahiran. Insidensi hidrosefalus


kongenital adalah 0,5-1,8 pada tiap 1000 kelahiran dan 11%-43% disebabkan oleh stenosis
aqueductus serebri. Tidak ada perbedaan bermakna insidensi untuk kedua jenis kelamin,
juga dalam hal perbedaan ras. Hidrosefalus dapat terjadi pada semua umur. Pada remaja
dan dewasa lebih sering disebabkan oleh toksoplasmosis. Hidrosefalus infantil; 46%
adalah akibat abnormalitas perkembangan otak, 50% karena perdarahan subaraknoid dan
meningitis, dan kurang dari 4% akibat tumor fossa posterior (Darsono, 2005:211).

 Etiologi

Hidrosefalus terjadi bila terdapat penyumbatan aliran cairan serebrospinal (CSS)


pada salah satu tempat antara tempat pembentukan CSS dalam sistem ventrikel dan tempat
absorbsi dalam ruang subaraknoid. Akibat penyumbatan, terjadi dilatasi ruangan CSS
diatasnya (Allan H. Ropper, 2005). Teoritis pembentukan CSS yang terlalu banyak dengan
kecepatan absorbsi yang abnormal akan menyebabkan terjadinya hidrosefalus, namun
22
dalam klinik sangat jarang terjadi. Penyebab penyumbatan aliran CSS yang sering terdapat
pada bayi dan anak ialah :

1) Kelainan Bawaan (Kongenital)

a. Stenosis akuaduktus Sylvii

b. Spina bifida dan kranium bifida

c. Sindrom Dandy-Walker

d. Kista araknoid dan anomali pembuluh darah

2) Infeksi

Akibat infeksi dapat timbul perlekatan meningen. Secara patologis terlihat


penebalan jaringan piamater dan araknoid sekitar sisterna basalis dan daerah lain.
Penyebab lain infeksi adalah toxoplasmosis.

3) Neoplasma

Hidrosefalus oleh obstruksi mekanik yang dapat terjadi di setiap tempat aliran
CSS. Pada anak yang terbanyak menyebabkan penyumbatan ventrikel IV atau akuaduktus
Sylvii bagian terakhir biasanya suatu glioma yang berasal dari serebelum, penyumbatan
bagian depan ventrikel III disebabkan kraniofaringioma.

4) Perdarahan

Perdarahan sebelum dan sesudah lahir dalam otak, dapat menyebabkan fibrosis
leptomeningen terutama pada daerah basal otak, selain penyumbatan yang terjadi akibat
organisasi dari darah itu sendiri (Allan H. Ropper, 2005:360).

23
 Manifestasi Klinis

Tanda awal dan gejala hidrosefalus tergantung pada awitan dan derajat
ketidakseimbangan kapasitas produksi dan resorbsi CSS (Darsono, 2005). Gejala-gejala
yang menonjol merupakan refleksi adanya hipertensi intrakranial. Manifestasi klinis dari
hidrosefalus pada anak dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu :

1. Awitan hidrosefalus terjadi pada masa neonatus

Meliputi pembesaran kepala abnormal, gambaran tetap hidrosefalus kongenital dan


pada masa bayi. Lingkaran kepala neonatus biasanya adalah 35-40 cm, dan pertumbuhan
ukuran lingkar kepala terbesar adalah selama tahun pertama kehidupan. Kranium
terdistensi dalam semua arah, tetapi terutama pada daerah frontal. Tampak dorsum nasi
lebih besar dari biasa. Fontanella terbuka dan tegang, sutura masih terbuka bebas. Tulang-
tulang kepala menjadi sangat tipis. Vena-vena di sisi samping kepala tampak melebar dan
berkelok. (Peter Paul Rickham, 2003)

2. Awitan hidrosefalus terjadi pada akhir masa kanak-kanak

Pembesaran kepala tidak bermakna, tetapi nyeri kepala sebagai manifestasi


hipertensi intrakranial. Lokasi nyeri kepala tidak khas. Dapat disertai keluhan penglihatan
ganda (diplopia) dan jarang diikuti penurunan visus. Secara umum gejala yang paling
umum terjadi pada pasien-pasien hidrosefalus di bawah usia dua tahun adalah pembesaran
abnormal yang progresif dari ukuran kepala. Makrokrania mengesankan sebagai salah satu
tanda bila ukuran lingkar kepala lebih besar dari dua deviasi standar di atas ukuran normal.

 asuhan keperawatan pada anak dengan penyakit hidrosefalus

Asuhan Keperawatan Anak J E dengan Hidrosephalus

Di IRD Lt. I RSUD Dr. Soetomo Surabaya

Tanggal 9 April 2002

24
1. Pengkajian.

A. Identitas. Penanggung jawab

Nama : Anak J E Nama : J H

Umur : 4 tahun Umur : 40 th

Suku bangsa : Jawa / Indonesia Suku bangsa : sda

Agama : Islam Agama : Islam

Pekerjaan : Swasta Pendidikan : SMA

Alamat : Genangan Bandungan Surabaya sda

2. Riwayat Penyakit.

Riwayat penyakit sebelumnya:

Menurut pengakuan orang tua sejak 4 bulan yang lalu anaknya pernah panas kemudian
disertai mual dan kejang-kejang serta terlihat kepala anaknya mulai membesar kemudian
oleh keluarga anaknya diantar ke wat di RSUD Madiun kemudian dirawat selama 7 hari
dan pulang paksa dalam keadaan tidak sadar.

Riwayat penyakit sekarang.

Pasien datang diantar oleh orang tuanya ke RSUD Dr. Soetomo Surabaya tanggal 9 April
2002 Jam 09.00 WIB dalam keadaan tidak sadar ( apatis ) ,muntah tidak proyektil, suhu
tubuh meningkat dari normal ( 38 C ), keadaan umum lemah, paralisa.

3. Pemeriksaan fisik per sistem tubuh.

1. Sistem Pernafasan.

Pada pengkajian sistem pernafasan tidak ditemukan adanya kelainan baik saat
inspirasi maupun ekspirsi.

25
2. Sistem kardiovaskuler

Tidak ditemukan adanya kelainan

3. Sistem persarafan.

4. Diagnosa keperawatan :

 Resiko tinggi injuri berhubungan dengan peningkatan tekanan intra kranial

a. Data obyektif :

Tidak sadar, panas( 38 C), muntah tanpa proyektil, strabismus. serta gelisah,paralisa.

b. Data Subyektif : Orangnya mengatakan anaknya tidak sadar ,muntah tubuhnya


panas.
c. Rencana tindakan.

Tujuan :

Tidak terjadi peningkatan tekanan intra kranial dengan kriteria :

Tidak menunjukkan adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intra kranial ( mual,


muntah, kejang, gelisah ).

d. Tindakan keperawatan :

 Observasi ketat tanda-tanda peningkatan tekanan intra kranial.

Rasional : Untuk mengetahui secara dini peningkatan TIK

 Tentukan skala tingkat kesadaran

Rasional :Menurunnya kesadaran menunjukkan adanya tanda-tanda adanya


peningkatan TIK.

 Ajari keluarga mengenai tanda-tanda peningkatan tekanan intra kranial

Rasional : Keluarga dapat berpartisipasi dalam perawatan anaknya.

 Kolaborasi

26
Rasional : Dapat mencegah atau mempercepat proses penyebuhan penyakit.

e. Evaluasi

S : Orang tua mengatakan anaknya belum sadar

O : kesadaran apatis, tidak ada mual dan muntah,tidak gelisah

A : Masalah teratasi sebagian

P : Lanjutkan sesuai rencana

D. Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan Kejang Demam

 Pengertian

Kejang demam adalah terbebasnya sekelompok neuron secara tiba-tiba yang


mengakibatkan suatu kerusakan kesadaran, gerak, sensasi atau memori yang bersifat
sementara (Hudak and Gallo,1996).

Kejang demam adalah serangan pada anak yang terjadi dari kumpulan gejala
dengan demam (Walley and Wong’s edisi III,1996).

Kejang demam adalah bangkitan kejang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu
rektal di atas 38° c) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Kejang demam
sering juga disebut kejang demam tonik-klonik, sangat sering dijumpai pada anak-anak
usia di bawah 5 tahun. Kejang ini disebabkan oleh adanya suatu awitan hypertermia yang
timbul mendadak pada infeksi bakteri atau virus. (Sylvia A. Price, Latraine M. Wikson,
1995).

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan kejang demam adalah bangkitan kejang
yang terjadi karena peningkatan suhu tubuh yang sering di jumpai pada usia anak dibawah
lima tahun.

27
 Patofisiologi

Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel / organ otak diperlukan energi


yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang terpenting
adalah glucose,sifat proses itu adalah oxidasi dengan perantara pungsi paru-paru dan
diteruskan keotak melalui system kardiovaskuler.

Berdasarkan hal diatas bahwa energi otak adalah glukosa yang melalui proses
oxidasi, dan dipecah menjadi karbon dioksidasi dan air. Sel dikelilingi oleh membran sel.
Yang terdiri dari permukaan dalam yaitu limford dan permukaan luar yaitu tonik. Dalam
keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui oleh ion NA + dan elektrolit lainnya,
kecuali ion clorida.

Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi NA+ rendah.
Sedangkan didalam sel neuron terdapat keadaan sebaliknya,karena itu perbedaan jenis dan
konsentrasi ion didalam dan diluar sel. Maka terdapat perbedaan membran yang disebut
potensial nmembran dari neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini
diperlukan energi dan bantuan enzim NA, K, ATP yang terdapat pada permukaan sel.

Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah dengan perubahan konsentrasi


ion diruang extra selular, rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis,
kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya. Perubahan dari patofisiologisnya membran
sendiri karena penyakit/keturunan. Pada seorang anak sirkulasi otak mencapai 65 % dari
seluruh tubuh dibanding dengan orang dewasa 15 %. Dan karena itu pada anak tubuh
dapat mengubah keseimbangan dari membran sel neuron dalam singkat terjadi dipusi di
ion K+ maupun ion NA+ melalui membran tersebut dengan akibat terjadinya lepasnya
muatan listrik.

Lepasnya muatan listrik ini sedemikian besarnya sehingga dapat meluas keseluruh
sel maupun membran sel sekitarnya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter
sehingga mengakibatkan terjadinya kejang. Kejang yang yang berlangsung singkat pada
umumnya tidak berbahaya dan tidak meninggalkan gejala sisa.

28
Tetapi kejang yang berlangsung lama lebih 15 menit biasanya disertai apnea, NA
meningkat, kebutuhan O2 dan energi untuk kontraksi otot skeletal yang akhirnya terjadi
hipoxia dan menimbulkan terjadinya asidosis.

 Manifestasi klinik

Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan
kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat, yang disebabkan oleh infeksi di luar susunan
saraf pusat : misalnya tonsilitis, otitis media akut, bronkhitis, serangan kejang biasanya
terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam berlangsung singkat dengan sifat bangkitan
dapat berbentuk tonik-klonik.

Kejang berhenti sendiri, menghadapi pasien dengan kejang demam, mungkin


timbul pertanyaan sifat kejang/gejala yang manakah yang mengakibatkan anak menderita
epilepsy. Untuk itu livingston membuat kriteria dan membagi kejang demam menjadi 2
golongan yaitu :

1. Kejang demam sederhana (simple fibrile convulsion)

2. Epilepsi yang di provokasi oleh demam epilepsi trigered off fever

 Klasifikasi kejang

Kejang yang merupakan pergerakan abnormal atau perubahan tonus badan dan
tungkai dapat diklasifikasikan menjadi 3 bagian yaitu : kejang, klonik, kejang tonik dan
kejang mioklonik.

1. Kejang Tonik

Kejang ini biasanya terdapat pada bayi baru lahir dengan berat badan rendah
dengan masa kehamilan kurang dari 34 minggu dan bayi dengan komplikasi prenatal
berat. Bentuk klinis kejang ini yaitu berupa pergerakan tonik satu ekstrimitas atau
pergerakan tonik umum dengan ekstensi lengan dan tungkai yang menyerupai deserebrasi
atau ekstensi tungkai dan fleksi lengan bawah dengan bentuk dekortikasi. Bentuk kejang
tonik yang menyerupai deserebrasi harus di bedakan dengan sikap epistotonus yang
disebabkan oleh rangsang meningkat karena infeksi selaput otak atau kernikterus

29
2. Kejang Klonik

Kejang Klonik dapat berbentuk fokal, unilateral, bilateral dengan pemulaan fokal
dan multifokal yang berpindah-pindah. Bentuk klinis kejang klonik fokal berlangsung 1 –
3 detik, terlokalisasi dengan baik, tidak disertai gangguan kesadaran dan biasanya tidak
diikuti oleh fase tonik. Bentuk kejang ini dapat disebabkan oleh kontusio cerebri akibat
trauma fokal pada bayi besar dan cukup bulan atau oleh ensepalopati metabolik.

3. Kejang Mioklonik

Gambaran klinis yang terlihat adalah gerakan ekstensi dan fleksi lengan atau
keempat anggota gerak yang berulang dan terjadinya cepat. Gerakan tersebut menyerupai
reflek moro. Kejang ini merupakan pertanda kerusakan susunan saraf pusat yang luas dan
hebat. Gambaran EEG pada kejang mioklonik pada bayi tidak spesifik.

 Pemeriksaan fisik dan laboratorium

a. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik lengkap meliputi pemeriksaan pediatrik dan neurologik,


pemeriksaan ini dilakukan secara sistematis dan berurutan seperti berikut :

1) hakan lihat sendiri manifestasi kejang yang terjadi, misal : pada kejang multifokal yang
berpindah-pindah atau kejang tonik, yang biasanya menunjukkan adanya kelainan struktur
otak.

2) Kesadaran tiba-tiba menurun sampai koma dan berlanjut dengan hipoventilasi, henti
nafas, kejang tonik, posisi deserebrasi, reaksi pupil terhadap cahaya negatif, dan
terdapatnya kuadriparesis flasid mencurigakan terjadinya perdarahan intraventikular.

3) Pada kepala apakah terdapat fraktur, depresi atau mulase kepala berlebihan yang
disebabkan oleh trauma. Ubun –ubun besar yang tegang dan membenjol menunjukkan
adanya peninggian tekanan intrakranial yang dapat disebabkan oleh pendarahan
sebarakhnoid atau subdural. Pada bayi yang lahir dengan kesadaran menurun, perlu dicari
luka atau bekas tusukan janin dikepala atau fontanel enterior yang disebabkan karena
kesalahan penyuntikan obat anestesi pada ibu.

30
4) Terdapatnya stigma berupa jarak mata yang lebar atau kelainan kraniofasial yang
mungkin disertai gangguan perkembangan kortex serebri.

5) Pemeriksaan fundus kopi dapat menunjukkan kelainan perdarahan retina atau


subhialoid yang merupakan gejala potogonomik untuk hematoma subdural. Ditemukannya
korioretnitis dapat terjadi pada toxoplasmosis, infeksi sitomegalovirus dan rubella. Tanda
stasis vaskuler dengan pelebaran vena yang berkelok – kelok di retina terlihat pada sindom
hiperviskositas.

6) Transluminasi kepala yang positif dapat disebabkan oleh penimbunan cairan subdural
atau kelainan bawaan seperti parensefali atau hidrosefalus.

7) Pemeriksaan umum penting dilakukan misalnya mencari adanya sianosis dan bising
jantung, yang dapat membantu diagnosis iskemia otak.

b. Pemeriksaan laboratorium

Perlu diadakan pemeriksaan laboratorium segera, berupa pemeriksaan gula dengan


cara dextrosfrx dan fungsi lumbal. Hal ini berguna untuk menentukan sikap terhadap
pengobatan hipoglikemia dan meningitis bakterilisasi.

Selain itu pemeriksaan laboratorium lainnya yaitu :

1) Pemeriksaan darah rutin ; Hb, Ht dan Trombosit. Pemeriksaan darah rutin secara
berkala penting untuk memantau pendarahan intraventikuler.

2) Pemeriksaan gula darah, kalsium, magnesium, kalium, urea, nitrogen, amonia dan
analisis gas darah.

3) Fungsi lumbal, untuk menentukan perdarahan, peradangan, pemeriksaan kimia. Bila


cairan serebro spinal berdarah, sebagian cairan harus diputar, dan bila cairan supranatan
berwarna kuning menandakan adanya xantrokromia. Untuk mengatasi terjadinya trauma
pada fungsi lumbal dapat di kerjakan hitung butir darah merah pada ketiga tabung yang
diisi cairan serebro spinal

4) Pemeriksaan EKG dapat mendekteksi adanya hipokalsemia

31
5) Pemeriksaan EEG penting untuk menegakkan diagnosa kejang. EEG juga diperlukan
untuk menentukan pragnosis pada bayi cukup bulan. Bayi yang menunjukkan EEG latar
belakang abnormal dan terdapat gelombang tajam multifokal atau dengan brust supresion
atau bentuk isoelektrik. Mempunyai prognosis yang tidak baik dan hanya 12 %
diantaranya mempunyai / menunjukkan perkembangan normal. Pemeriksaan EEG dapat
juga digunakan untuk menentukan lamanya pengobatan. EEG pada bayi prematur dengan
kejang tidak dapat meramalkan prognosis.

6) Bila terdapat indikasi, pemeriksaan lab, dilanjutkan untuk mendapatkan diagnosis yang
pasti yaitu mencakup :

a) Periksaan urin untuk asam amino dan asam organic

b) Biakan darah dan pemeriksaan liter untuk toxoplasmosis rubella, citomegalovirus


dan virus herpes.

c) Foto rontgen kepala bila ukuran lingkar kepala lebih kecil atau lebih besar dari
aturan baku

d) USG kepala untuk mendeteksi adanya perdarahan subepedmal, pervertikular, dan


vertikular

 asuhan keperawatan pada anak dengan penyakit kejang demam

1. pengkajian

Yang paling penting peran perawat selama pasien kejang adalah observasi
kejangnya dan gambarkan kejadiannya. Setiap episode kejang mempunyai karakteristik
yang berbeda misal adanya halusinasi (aura ), motor efek seperti pergerakan bola mata ,
kontraksi otot lateral harus didokumentasikan termasuk waktu kejang dimulai dan lamanya
kejang.

Riwayat penyakit juga memegang peranan penting untuk mengidentifikasi faktor


pencetus kejang untuk pengobservasian sehingga bisa meminimalkan kerusakan yang
ditimbulkan oleh kejang.

32
1. Aktivitas / istirahat : keletihan, kelemahan umum, perubahan tonus / kekuatan otot.
Gerakan involunter

2. Sirkulasi : peningkatan nadi, sianosis, tanda vital tidak normal atau depresi dengan
penurunan nadi dan pernafasan

3. Integritas ego : stressor eksternal / internal yang berhubungan dengan keadaan dan atau
penanganan, peka rangsangan.

4. Eliminasi : inkontinensia episodik, peningkatan tekanan kandung kemih dan tonus


spinkter

5. Makanan / cairan : sensitivitas terhadap makanan, mual dan muntah yang berhubungan
dengan aktivitas kejang, kerusakan jaringan lunak / gigi

6. Neurosensor : aktivitas kejang berulang, riwayat truma kepala dan infeksi serebra

7. Riwayat jatuh / trauma

2. Diagnosa keperawatan

Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul

1. Resiko tinggi trauma / cidera b/d kelemahan, perubahan kesadaran, kehilangan


koordinasi otot.

2. Resiko tinggi terhadap inefektifnya bersihan jalan nafas b/d kerusakan neoromuskular

3. Resiko kejang berulang b/d peningkatan suhu tubuh

4. Kerusakan mobilitas fisik b/d kerusakan persepsi, penurunan kekuatan

5. Kurang pengetahuan keluarga b/d kurangnya informasi

3. Intervensi

Diagnosa 1

33
Resiko tinggi trauma / cidera b/d kelemahan, perubahan kesadaran, kehilangan koordinasi
otot.

Tujuan ; Cidera / trauma tidak terjadi

Kriteria hasil ;

Faktor penyebab diketahui, mempertahankan aturan pengobatan, meningkatkan keamanan


lingkungan

Intervensi

Kaji dengan keluarga berbagai stimulus pencetus kejang. Observasi keadaan umum,
sebelum, selama, dan sesudah kejang. Catat tipe dari aktivitas kejang dan beberapa kali
terjadi. Lakukan penilaian neurology, tanda-tanda vital setelah kejang. Lindungi klien dari
trauma atau kejang.

Berikan kenyamanan bagi klien. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian therapi anti
compulsan

Diagnosa 2

Resiko tinggi terhadap inefektifnya bersihan jalan nafas b/d kerusakan neuromuskular

Tujuan ; Inefektifnya bersihan jalan napas tidak terjadi

Kriteria hasil

Jalan napas bersih dari sumbatan, suara napas vesikuler, sekresi mukosa tidak ada, RR
dalam batas normal

Intervensi

Observasi tanda-tanda vital, atur posisi tidur klien fowler atau semi fowler. Lakukan
penghisapan lendir, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian therapy

34
E. Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan Penyakit Spina Bifida

 Pengertian

Spina bifida adalah defek pada penutupan kolumna vertebralis dengan aatau tanpa
tingkatan protusi jaringan melalui celah tulang (Donna L, Wong,2003).
Spina bifida (sumbing tulang belakang) adalah suatu celah pada tulang belakang
(vertebra) yang terjadi karena bagian dari satu atau beberapa vertebra gagal menutup atau
gagal terbentuk secara utuh (http : //WWW.medicastore.com)
Spina bifida adalah kegagalan arkus vertebralis untuk berfusi di posterior (Rosa M
Sacharin, 1996). Spina bifida merupakan suatu kelainan bawaan berupa defek pada arkus
posterior tulang belakang akibat kegagalan penutupan elemen saraf dari kanalis pada
perkembangan awal dari embrio (Chairuddin Rasyad, 1998)
 Etiologi

Penyebab spesifik dari spina bifida tidak diketahut, tetapi diduga akibat :
1.     Genetik (keturunan)
2.     Kekurangan asam folat pada masa kehamilan
3.     Kekurangan asam folid acid
Folid acid dipercaya berperan membantu tabung saraf tulang belakang tertutup
dengan sempurna.
 Klasifikasi    

Kegagalan penyatuan arkus vertebralis posterior tanpa menyertai herniasi medulla


spinalis atau meninges, tidak dapat dilihat secara eksternal, kadang merupakan penemuan
sinar-X kebetulan yang tidak bermakna.
        Sering terdapat nervus kapiler, seberkas rambut atau lipoma supervisial terhadap lesi
ini yang menunjukkan kehadirannya. Spina bifida okulta merupakan spina bifida yang
paling ringan. Panas tinggi dalam kehamilannya mengkonsumsi obat-obat asam volproic,
anti konvulsan, klomifen.

 Manifestasi Klinik

35
   Gejala bervariasi tergantung kepada beratnya kerusakan pada korda spinalis dan akar
saraf yang terkena. Beberapa anak memiliki gejala ringan atau tanpa gejala, sedangkan
yang lainnya mengalami kelumpuhan pada daerah yang dipersarafi oleh korda spinalis
maupun nakar saraf yang terkena.

 Pemeriksaan Diagnostik

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik. Pada trimester
pertama wanita hamil menjalani pemeriksaan darah yang disebut Triple Screen. Tes ini
merupakan tes penyaringan untuk spina bifida, sindroma down dan kelainan bawaan
lainnya. 85 % wanita yang mengandung bayi dengan spina bifida akan memiliki kadar
serum alfa feytoprotein yang tinggi. Tes ini memiliki angka positif palsu yang tinggi,
karena itu jika hasilnya positif, perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk memperkuat
diagnosis. Dilakukan USG yang biasanya dapat menemukan adanya spina bifida.
 Komplikasi

Komplikasi lain dari spina bifida yang berkaitan yang berkaitan dengan kelahiran
antara lain adalah :
1.      Paralisis Cerebri
2.      Retardasi Mental
3.      Atrofi Otot
4.      Osteoporosis
5.      Fraktur (akibat penurunan massa otot)
 Asuhan Keperawatan Anak Pada Kasus Spina Bifida
1. Pengkajian
a. Riwayat kesehatan keluarga.
Adakah yang menderita penyakit sejenis, bagaimana kondisi kehamilan ibu (demam
selama kehamilan, epilepsi, mengkonsumsi obat-obat tertentu, dsb), kaji kehamilan
sebelumnya (angka kejadian semakin meningkat jika pada kehamilan dua sebelumnya
menderita meningomielokel atau anencefali).
b. Riwayat kesehatan sekarang.
Apa keluhan utama (kelumpuhan, gangguan eliminasi, dsb), adakah penderita yang sama
di lingkungan penderita, sudah berapa lama menderita, kapan gejala terasa dan keluhan
lain apa yang mengikutinya.

36
c. Pengkajian fisik
Pada pengkajian fisik didapat data-data sebagai berikut :
Ø Aktivitas/istirahat
Tanda : kelumpuhan tungkai tanpa terasa atau refleks pada bayi.
Gejala : dislokasi pinggul.
Ø Sirkulasi
Tanda : pelebaran kapiler dan pembuluh nadi halus, hipotensi, ekstremitas dingin atau
sianosis.
Ø Eliminasi
Tanda : diurnal ataupun nocturnal, inkontinensia urin/alfi, konstipasi kronis.
Ø Nutrisi
Tanda : distensi abdomen, peristaltic usus lemah/hilang (ileus paralitik).
Ø Neuromuskuler
Tanda : gangguan sensibilitas segmental dan gangguan trofik paralisis kehilangan refleks
asimetris termasuk tendon dalam, kehilangan tonus otot/vasomotor ; kelumpuhan lengan
tungkai dan otot bawah.
Ø Pernapasan
Tanda : pernapasan dangkal, periode apneu, penurunan bunyi napas.
Gejala : napas pendek, sulit bernapas.
Ø Kenyamanan
Gejala : suhu yang berfluktuasi.
d. Pemeriksaan diagnostic
Ø MRI, CT scan, X-ray
Ø Tes serum alfa fetoprotein (AFP)
Ø Ultrasound
(Cecily L Betz dan Linda A Sowden, 2002)

2. Diagnosa Keperawatan
Pre Operasi
1. Kerusakan mobilitas fisik b.d kerusakan neuromuskuler
2. Resiko kerusakan integritas kulit b.d inkontinensia ani dan alvi
3. Perubahan proses keluarga b.d krisis situasi (anak dengan defek fisik)

37
Post Operasi
4. Nyeri akut b.d Agen cedera fisik (luka post operasi)
5. Resiko tinggi infeksi b.d prosedur pembedahan.
3. Intervensi
Dx 1
Kerusakan mobilitas fisik b.d kerusakan neuromuskuler.
NOC : Mobility level
Kriteria hasil :
1. Penampilan pasien seimbang
2. Penampilan posisi tubuh pasien
3. Pergerakan otot pasien normal
4. Pergerakan sendi pasien normal
5. Pasien dapat melakukan perpindahan
NIC : Exercise therapy : ambulation
1. Konsultasikan dengan terapi fisik tentang rencana ambulasi sesuai dengan kebutuhan
2. Ajarkan pasien tentang teknik ambulasi
3. Kaji kemampuan klien dalam mobilisasi
4. Dampingi dan bantu pasien saat mobilisasi
5. Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan jika diperlukan.
Dx 2
Resiko kerusakan integritas kulit b.d inkontinensia ani dan alvi
NOC : Tissue Integrity : skin & mucous membranes
Kriteria hasil :
1. Suhu kulit dalam batas normal
2. Tidak ada kemerahan pada kulit
3. Turgor kulit baik
4. Perfusi jaringan baik
5. Tidak terdapat lesi di kulit
NIC : Pressure management
1. Anjurkan pasien untuk mengenakan pakaian yang longgar
2. Hindari kerutan pada tempat tidur
3. Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering
4. Mobilisasi pasien secara teratur
5. Monitor kulit akan adanya kemerahan
38
6. Oleskan lotion pada daerah yang tertekan
Dx 3
Perubahan proses keluarga b.d krisis situasi (anak dengan defek fisik)
NOC : Family coping
Kriteria hasil :
1. Percaya dapat mengatasi masalah yang dihadapi
2. Mencari bantuan
3. Gunakan strategi penurunan stress
NIC : Conseling
1. Kaji pemahamn keluarga
2. Kenali masalah keluarga dan kebutuhan akan informasi dukungan
3. Tekankan dan jelaskan penjelasan professional kesehatan
4. Gunakan setiap kesempatan untuk meningkatkan pemahaman keluarga tentang penyakit
dan terapinya
5. Ulangi informasi sesering mungkin
Dx 4
Nyeri akut b.d Agen cedera fisik (luka post operasi)
NOC : Pain level
Kriteria hasil :
1. Mengenali faktor penyebab
2. Menggunakan metode pencegahan
3. Menggunakan metode pencegahan non analgetik untuk mengurangi nyeri.
4. Menggunakan analgetik sesuai kebutuhan
5. Menganali gejala – gejala nyeri
NIC 1 : Pain management
1. Kaji secara komprehensif tentang nyeri meliputi : lokasi , karakteristik dan onset, durasi,
frekuensi, kualitas, intensitas atau beratnya nyeri dan faktor – faktor presipitasi
2. Observasi isyarat – isyarat non verbal dari ketidaknyamana, khususnya dalam
ketidakmampuan untuk komunikasi secara efektif
3. Gunakan komunikasi terapeutik agar pasien dapat mengekspresikan nyeri
4. Kontrol faktor – faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon pasien terhadap
ketidaknyamanan (ex : temperatur ruangan , penyinaran)
5. Ajarkan penggunaan teknik nonfarmakologi (misalnya : relaksasi, guided imagery,
distraksi, terapi bermain, terapi aktivitas)
39
F. Asuhan keperawatan dengan penyakit cerebral palsi

 Definisi

Berbagai definisi telah dikemukakan oleh para sarjana. Clark (1964) mengemukakan,
yang dimaksud dengan CP ialah suatu keadaan kerusakan jaringan otak pada pusat
motorik atau jaringan penghubungnya, yang kekal dan tidak progresif, yang terjadi pada
masa prenatal, saat persalinan atau sebelum susunan saraf pusat menjadi cukup matur,
ditandai dengan adanya paralisis, paresis, gangguan kordinasi atau kelainan-kelainan
fungsi motorik. Pada tahun 1964 World Commission on Cerebral Palsy mengemukakan
definisi CP sebagai berikut : CP adalah suatu kelainan dari fungsi gerak dan sikap tubuh
yang disebabkan karena adanya kelainan atau cacat pada jaringan otak yang belum selesai
pertumbuhannya. Sedangkan Gilroy dkk (1975), mendefinisikan CP sebagai suatu
sindroma kelainan dalam cerebral control terhadap fungsi motorik sebagai akibat dari
gangguan perkembangan atau kerusakan pusat motorik atau jaringan penghubungnya
dalam susunan saraf pusat.

Definisi lain : CP ialah suatu keadaan kerusakan jaringan otak yang kekal dan tidak
progresif, terjadi pada waktu masih muda (sejak dilahirkan), dan merintangi
perkembangan otak normal dengan gambaran klinik yang dapat berubah selama hidup, dan
menunjukkan kelainan dalam sikap dan pergerakan, disertai kelainan neurologik berupa
kelumpuhan spastik, gangguan ganglia basalis dan serebelum.

 Etiologi

CP bukan merupakan satu penyakit dengan satu penyebab. CP merupakan group


penyakit dengan masalah mengatur gerakan, tetapi dapat mempunyai penyebab yang
berbeda. Untuk menentukan penyebab CP, harus digali mengenai hal : bentuk CP, riwayat
kesehatan ibu dan anak, dan onset penyakit.

Di USA, sekitar 10 – 20 % disebabkan karena penyakit setelah lahir (prosentase


tersebut akan lebih tinggi pada negara-negara yang belum berkembang). CP dapat juga
merupakan hasil dari kerusakan otak pada bulan-bulan pertama atau tahun-tahun pertama
kehidupan yang merupakan sisa dari infeksi otak, misalnya meningitis bakteri atau

40
enchepalitis virus, atau merupakan hasil dari trauma kepala yang sering akibat kecelakaan
lalu lintas, jatuh atau penganiayaan anak.

 Faktor Resiko

Faktor-faktor resiko yang menyebabkan kemungkinan terjadinya CP semakin besar


antara lain adalah :

1. Letak sungsang.

2. Proses persalinan sulit.

Masalah vaskuler atau respirasi bayi selamaa persalinan merupakan tanda awal yang
menunjukkan adanya masalah kerusakan otak atau otak bayi tidak berkembang secara
normal. Komplikasi tersebut dapat menyebabkan kerusakan otak permaanen.

3. Apgar score rendah.

Apgar score yang rendah hingga 10 – 20 menit setelah kelahiran.

4. BBLR dan prematuritas.

Resiko CP lebih tinggi diantara bayi dengan berat lahir <>

5. Kehamilan ganda.

6. Malformasi SSP.

Sebagian besar bayi-bayi yang lahir dengan CP memperlihatkan malformasi SSP yang
nyata, misalnya lingkar kepala abnormal (mikrosefali). Hal tersebut menunjukkan bahwa
masalah telah terjadi pada saat perkembangan SSP sejak dalam kandungan.

7. Perdarahaan maternal atau proteinuria berat pada saat masa akhir kehamilan.

Perdarahan vaginal selama bulan ke 9 hingga 10 kehamilan dan peningkatan jumlah


protein dalam urine berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya CP pada bayi.

8. Hipertiroidism maternal, mental retardasi dan kejang.

41
 Gambaran Klinis Dan Klasifikasi

Manifestasi klinik CP bergantung pada lokalisasi dan luasnya jaringan otak yang
mengalami kerusakan, apakah pada korteks serebri, ganglia basalis atau serebelum.
Dengan demikian secara klinik dapat dibedakan 3 bentuk dasar gangguan motorik pada
CP, yaitu : spastisitas, atetosis dan ataksia.

a) Spastisitas.

Spastisitas terjadi terutama bila sistem piramidal yang mengalami kerusakan, meliputi
50--65% kasus CP. Spastisitas ditandai dengan hipertoni, hiperrefleksi, klonus, refleks
patologik positif. Kelumpuhan yang terjadi mungkin monoplegi, diplegi/hemiplegi,
triplegi atau tetraplegi. Kelumpuhan tidak hanya mengenai lengan dan tungkai, tetapi juga
otot-otot leher yang berfungsi menegakkan kepala.

b) Atetosis.

Atetosis meliputi 25% kasus CP, merupakan gerakan-gerakan abnormal yang timbul
spontan dari lengan, tungkai atau leher yang ditandai dengan gerakan memutar
mengelilingi sumbu "kranio-kaudal", gerakan bertambah bila dalam keadaan emosi.
Kerusakan terletak pada ganglia basalis dan disebabkan oleh asfiksi berat atau jaundice.

c) Ataksia.

Bayi/anak dengan ataksia menunjukkan gangguan koordinasi, gangguan


keseimbangan dan adanya nistagmus. Anak berjalan dengan langkah lebar, terdapat
intention tremor meliputi ± 5%. Lokalisasi lesi yakni di serebelum.

d) Rigiditas.

Merupakan bentuk campuran akibat kerusakan otak yang difus. Di samping gejala-
gejala motorik, juga dapat disertai gejala-gejala bukan motorik, misalnya gangguan
perkembangan mental, retardasi pertumbuhan, kejang-kejang, gangguan sensibilitas,
pendengaran, bicara dan gangguan mata.

42
 Pemeriksaan Diagnostik

Diagnosis dini dan tepat adanya lesi di otak sangat penting sebagai dasar dalam
seleksi prosedur-prosedur terapeutik yang akan diambil.

Pada anamnesis perlu diketahui mengenai riwayat prenatal, persalinan dan post natal
yang dapat dikaitkan dengan adanya lesi otak. Tahap-tahap perkembangan fisik anak harus
ditanyakan, umpamanya kapan mulai mengangkat kepala, membalik badan, duduk,
merangkak, berdiri dan berjalan.

Pada pemeriksaan fisik diperhatikan adanya spastisitas lengan/tungkai, gerakan


involunter, ataksia dan lain-lain. Adanya refleks fisiologik seperti refleks moro dan tonic
neck reflex pada anak usia 4 bulan harus dicurigai adanya CP, demikian pula gangguan
penglihatan, pendengaran, bicara dan menelan, asimetri dari kelompok otot-otot,
kontraktur dan tungkai yang menyilang menyerupai gunting.

 Pencegahan

Pencegahan merupakan usaha yang terbaik. CP dapat dicegah dengan jalan


menghilangkan faktor etiologik kerusakan jaringan otak pada masa prenatal, natal dan
post natal. Sebagian daripadanya sudah dapat dihilangkan, tetapi masih banyak pula yang
sulit untuk dihindari. "Prenatal dan perinatal care" yang baik dapat menurunkan insidens
CP. Kernikterus yang disebabkan "haemolytic disease of the new born" dapat dicegah
dengan transfusi tukar yang dini, "rhesus incompatibility" dapat dicegah dengan
pemberian "hyperimmun anti D immunoglobulin" pada ibu-ibu yang mempunyai rhesus
negatif. Pencegahan lain yang dapat dilakukan ialah tindakan yang segera pada keadaan
hipoglikemia, meningitis, status epilepsi dan lain-lain.

 Asuhan keperawatan pada anak dengan penyakit cerebral palsi

1. Pengkajian

1. Biodata

 Laki-laki lebih banyak dari pada wanita.


 Sering terjadi pada anak pertama  kesulitan pada waktu melahirkan.

43
 Kejadin lebih tinggi pada bayi BBLR dan kembar.

 Umur ibu lebih dari 40 tahun, lebih-lebih pada multipara.

2. Riwayat kesehatan.

Riwayat kesehaataan yang berhubungan dengan factor prenatal, natal dan post natal
serta keadaan sekitar kelaahiran yang mempredisposisikan anoksia janin.

3. Keluhan dan manifestasi klinik

Observasi adanya manivestasi cerebral palsy, khususnya yang berhubungan dengan


pencapaian perkembangan :

 Perlambatan perkembangan motorik kasar

Manifestasi umum, pelambatan pada semua pencapaian motorik, meningkat sejalan


dengan pertumbuhan.

 Tampilan motorik abnormal

Penggunaan tangan unilateral yang terlaalu dini, merangkaak asimetris abnormal,


berdiri atau berjinjit, gerakan involunter atau tidak terkoordinasi, menghisap buruk,
kesulitan makaan, sariawan lidah menetap.

 Perubahan tonus otot

Peningkatan ataau penurunan tahanan pada gerakan pasif, postur opistotonik


(lengkung punggung berlebihan), merasa kaku dalam memegang atau berpakaian,
kesulitan dalam menggunakan popok, kaku atau tidak menekuk pada pinggul dan
sendi lutut bila ditarik ke posisi duduk (tanda awal).

 Posture abnormal

Mempertahankan agar pinggul lebih tinggi dari tubuh pada posisi telungkup,
menyilangkan ataau mengekstensikan kaki dengan telapak kaki plantar fleksi pada
posisi telentang, postur tidur dan istirahat infantile menetap, lengan abduksi pada
bahu, siku fleksi, tangan mengepal.

44
 Abnormalitas refleks

Refleks infantile primitive menetap (reflek leher tonik ada pada usia berapa pun, tidak
menetap diatas usia 6 bulan), Refleks Moro, plantar, dan menggenggam menetaap
atau hiperaktif, Hiperefleksia, klonus pergelangan kaki dan reflek meregang muncul
pada banyak kelompok otot pada gerakan pasif cepat.

 Kelainan penyerta (bisa ada, bisa juga tidak).

Pembelajaran dan penalaran subnormal (retardasi mental pada kira-kira dua pertiga
individu).

Gejala lain yang juga bisa ditemukan pada CP:


- Kecerdasan di bawah normal
- Keterbelakangan mental
- Kejang/epilepsi (terutama pada tipe spastik)
- Gangguan menghisap atau makan
- Pernafasan yang tidak teratur
- Gangguan perkembangan kemampuan motorik (misalnya menggapai sesuatu,
duduk, berguling, merangkak, berjalan)
- Gangguan berbicara (disartria)
- Gangguan penglihatan
- Gangguan pendengaran
- Kontraktur persendian
- Gerakan menjadi terbatas.

4. Pemeriksaan penunjang

2. Diagnosa Keperawatan

1. Resiko terhadap perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
disfagia sekunder terhadap gangguan motorik mulut.
2. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imobilitas.

3. Resiko terhadap cedera berhubungan dengan ketidak mampuan mengontrol gerakan


sekunder terhadap spastisitas.

45
4. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengaan kerusakaan kemampuan untuk
mengucap kata-kata yang berhubungan dengan keterlibatan otot-otot fasial sekunder
adanya rigiditas.

3. Intervensi, Rasional Dan Evaluasi

 Resiko terhadap perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
disfagia sekunder terhadap gangguan motorik mulut.

Tujuan : Anak berpartisipasi dalam aktivitas makan sesuai kemampuannya

Anak mengkonsumsi jumlah yang cukup

Intervensi :

 Baringkan pasien dengan kepala tempat tidur 30-45 derajat, posisi duduk dan
menegakkan leher

R/ posisi ideal saat makan sehingga menurunkan resiko tersedak

 Berikan makanan semipadat dan cairan melalui sedotan untuk anak yang
berbaring pada posisi telungkup

R/ mencegah aspirasi dan membuat makan/minum menjadi lebih mudah

 Berikan makanan daan kudapaan tinggi kalori dan tinggi protein

R/ memenuhi kebutuhan tubuh untuk metabolisme dan pertumbuhan

 Beri makanan yang disukai anak

R/ mendorong anak agar mau makan

 Perkaya makanan dengan suplemen nutrisi mis.susu bubuk atau suplemen


yang lain

R/ memaksimalkan kualitas asupan makanan

46
 Pantau berat badan dan pertumbuhan

R/ intervensi pemberian nutrisi tambahan dapat diimpementasikan bila


pertumbuhan mulai melambat dan berat badan menurun

 Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imobilitas.

Tujuan :

Klien mempertahankan integritas kulit.

Intervensi :

 Kaji kulit setiap 2 jam dan prn terhadap area tertekan, kemerahan dan pucat.

R/ pengkajian yang tepat dan lebih dini akan cepat pula penanganan terbaik
pada masalah yang terjadi pada klien

 Tempatkan anak pada permukaan yang mengurangi tekanan

R/ mencegaah kerusakan jaringan dan nekrosis karena tekanan

 Ubah posisi dengan sering, kecuali jika dikontraindikasikan

R/ mencegah edema dependen dan merangsang sirkulasi

 Lindungi titik-titik tekanan (misalnya : trikanter, sakrum, pergelangaan


kaki,bahu dan oksiput)
 Pertahankan kebersihan kulit dan kulit dalam keadaan kering

 Berikan cairan yang adekuat untuk hidrasi

 Berikan masukan makanan dengan jumlah protein dan karbohidrat yang


adekuat.

BAB III
PENUTUP

47
A. Kesimpulan
Tergangguannya system saraf pada tubuh bisa berakibat fatal bagi kesehatan
manusia terutama bagi anak-anak. Dan apabila penyakit ini menyerang anak-anak
bisa mengakibatkan terganggunya proses pertumbuhan, karena apabila ada system
saraf yang terganggu karena suatu penyakit saraf, maka anak tersebut tidak dapat
melakukan kegiatan yang sehari-hari mereka suka lakukan.

B. Saran
Sebagai seorang perawat yang professional, kita harus bisa memahami tentang
berbagai jenis penyakit pada anak- anak yang berhubungan dengan system saraf.
Karena dengan mempelajari tentang hal tersebut, kita bisa memahami bagaimana
proses penyakit yang berhubungan denagn system saraf. Sehingga proses keperawatan
yang dilakukan bias berjalan dengan denagn baik.

48

Anda mungkin juga menyukai