Anda di halaman 1dari 176

Accelerat ing t he world's research.

implementasi kebijakan .pdf


Dr. Drs. suparno MSi

Related papers Download a PDF Pack of t he best relat ed papers 

RENST RA kement rian pert anian 2015 2019


Teazzo Mara

RENST RA 2015-
Aprida susant i

RENST RA_ 2015-2019.pdf


Yehezkiel Tahapary
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
PUBLIK DALAM PRAKTEK
(Implementasi Kebijakan Ketahanan
Pangan Kabupaten Rembang)

Dr. Drs. Suparno, M.Si


IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK DALAM PRAKTEK

Penulis : Dr. Drs. Suparno, M.Si


Layout : Hafit. S
vi + 168 Hlmn
© 2017, Dwiputra Pustaka Jaya

Diterbitkan dan dicetak oleh:


Dwiputra Pustaka Jaya
Star Safira-Nizar Mansion E4 No.14
Sidoarjo - 61265
Telp: 085-58414756
e-mail: dwiputra.pustaka@gmail.com

Hak cipta dilindungi Undang-undang

Sanksi Pelanggaran Pasal 22


Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002
Tentang Hak Cipta:
Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan
perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau
Pasal 49 ayat(1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
masing-masing paling singkat (satu) bulan dan/ atau denda
paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana
penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/ atau denda paling
banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan,
mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau
barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait
sebagaiman dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratusjuta rupiah).

Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, atau memperbanyak


sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat ALLAH SWT,


karena dengan ridho-Nya kami dapat menyelesaikan buku
yang kami beri judul Implementasi Kebijakan Publik Dalam
Praktek (Implementasi Kebijakan Ketahanan Pangan
Kabupaten Rembang). Buku ini merupakan ringkasan dari
disertasi kami, dengan judul asli Implementasi Kebijakan
Ketahanan Pangan (Studi Implementasi Kebijakan
Ketersediaan Beras Dalam Rangka Peningkatan Ketahanan
Pangan di Kabupaten Rembang) yang kami susun pada
tahun 2013.
Buku ini berisi perkembangan teori-teori mengenai
kebijakan public berikut dengan implementasinya baik dari
pengertian sampai dengan model implementasi kebijakan
publik. Selanjutnya buku ini juga memuat (1) Deskripsi dan
analisa implementasi kebijakan ketersediaan beras dalam
rangka peningkatan ketahanan pangan di Kabupaten
Rembang yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 68 tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan. (2)
Deskripsi dan analisis model implementasi kebijakan
ketersediaan beras yang cukup aman, bermutu dan
terjangkau masyarakatdi Kabupaten Rembang. (3) Kajian
faktor penghambat dan pendukung keberhasilan kebijakan
publik terkait dengan peningkatan ketahanan pangan di
Kabupaten Rembang. Berikutnya kami kemukakan inovasi
model implementasi kebijakan publik, kemudian analisis
inovasi kebijakan public serta rumusan model implementasi

iii
kebijakan publik. Pada pembahasan terakhir kami gambar-
kan Eksisting Model Implementasi Kebijakan Ketersediaan
Beras Dalam Rangka Peningkatan Ketahanan Pangan
berdasarkan PP 68 Tahun 2002 dan selanjutnya kami tutup
dengan rekomendasi
Pada kesempatan ini kami sangat berterima kasih
kepada segenap civitas academica Universitas 17 Agustus
1945 (UNTAG) Semarang dan semua pihak yang telah
membantu terwujudnya buku ini.
Kami menyadari bahwa buku ini masih banyak
kekurangan sehingga memerlukan perbaikan-perbaikan,
oleh karena itu kami sangat terbuka terhadap kritikan dan
masukan demi kesempurnaan tulisan ini. Akhirnya kami
berharap sumbangan pemikiran kami melalui buku ini dapat
memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

Semarang, November 2017


Penulis,

Suparno

iv
DAFTAR ISI

PENGANTAR iii
DAFTAR ISI v

BAB TEORI KEBIJAKAN PUBLIK …………………………… 1


I
A Perkembangan Teori Administrasi Publik … 1
B Teori Kebijakan Publik …………………………….. 7
BAB IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK ……………… 15
II
A Pengertian Implementasi Kebijakan Publik.. 15
B Model Implementasi Kebijakan Publik ……… 22
C Kebijakan Ketahanan Pangan Sebuah
Kajian Empiris ………………………………………….. 35
BAB ANALISIS MODEL IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
III PUBLIK ……………..……………..……………..…………… 59
A Analisis Implementasi Kebijakan
Ketersediaan Beras Dalam Rangka
Peningkatan Ketahanan Pangan ……………… 59
B Analisis Model Implementasi Kebijakan
Ketersediaan Beras Yang Cukup Aman,
Bermutu dan Terjangkau Masyarakat ……… 78
C Kajian Faktor Penghambat dan Pendukung
Keberhasilan Kebijakan Publik ………………… 87
BAB INOVASI MODEL IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
IV PUBLIK ………………………………………………………… 135
A Inovasi Kebijakan Publik …………………………… 135

v
B Analisis Inovasi Kebijakan Publik ……………… 135
C Rumusan Model Implementasi Kebijakan
Publik …………………………….………………………… 135
BAB P E N U T U P ………………………………………………… 147
V
A Implementasi Kebijakan Ketersediaan
Beras Dalam Rangka Peningkatan
Ketahanan Pangan berdasarkan PP 68
Tahun 2002 (Eksisting Model) ………………… 147
B Rekomendasi …………………………………………… 154

vi
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

BAB I
TEORI KEBIJAKAN PUBLIK

A. Perkembangan Teori Administrasi Publik


Perkembangan ilmu adminsistrasi negara pada sekitar
tahun 1926, sebagaimana ditulis Leonard D White,
berkembang kecurigaan bahwa, pengamat pada lembaga
politik America tidak pernah memproduksi analisis yang
sistematis dari sistem adminitrasi kecuali dari ahli hukum.
Leonard D White menulis : “Until the last few years, even the
text books have obstinately closed their eyes to the enormous
terrain, studded with governmental problems of first
magnitude and fascinating interest. But certainly no one
pretends that administration can still be put aside as a
practical detail which clerks could arrange after doctor agreed
upon principles. The fact is the last two decades have
produced a voluminous literature dealing with the business
side of government.” Dalam pernyataan tersebut menun-
jukkan bahwa White merasa administrasi negara dengan
politik sesuatu yang harus berjalan seiring. Administrasi
negara hanya bisa berjalan apabila dikawinkan dengan ilmu
pemerintahan/ ilmu politik.ilmu administrasi negara adalah
bagian tak terpisahkan dari ilmu politik.
Bidang kajian ilmu administrasi negara ternyata
sekarang sudah mencakup hal-hal penting dalam kehidupan
masyarakat ini.Ilmu administrasi negara secara sensitive harus

1
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

mampu menanggapi issue-issue pokok dalam masayarakat


dan maupun memformulasikan ke dalam suatu rumusan
kebijaksanaan, serta cakap melaksanakan kebijakan tersebut
ke dalam realisasi kerja sehari-hari.Ilmu administrasi negara
tidak lagi seperti jamannya Woodrow Wilson dan Leonald D.
White yang ramai mempersoalkan antara politik dan
administrasi, yang pada akhirnya meletakkan administrasi
berada di luar kajian politik. Kata-kata Woodrow Wilson yang
terkenal menyatakan :
“Administration lies outside the proper sphere of politic.
Administration questions are not political question, although
politic sets the tasks for administration, it should not be
suffered to manipulate its offices”
Beberapa pemikir administrasi negara pada awal
perkembangannya, senantiasa memperdebatkan antara
politik dan administrasi ini. Pemikir lain setelah Woodrow
Wilson antara lain Leonal D White dengan bukunya yang
terkenal Introduction to Study of Public Administration dapat
dikatakan sebagai pembuka ke arah pengkajian disiplin baru
dikalangan ilmu-ilmu sosial, yang kemudian dikenal dengan
ilmu administrasi negara dan selanjutnya ilmu ini seringkali
disebut pula dengan sebutan birokrasi pemerintah. Buku
tersebut cocok untuk zamannya, sekarang buku itu dianggap
sebagai tonggak monumental dari awal perkembangan ilmu
ini. Sama halnya dengan Woodrow Wilson dalam buku
tersebut White mencoba mengawinkan ilmu pemerintahan
(politik) dengan ilmu administrasi. George Frederickson
(1980)mengatakan tentang buku White itu sebagai berikut:
“White’s book was for his time, an advanced and sophisticated
attempt to mary the science of government and science
administration”

2
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

Kalau Wilson berpendapat bahwa administrasi


merupakan suatu bidang usaha (a field of business) dan harus
dipisahkan dari politik, maka White kemudian menjawabnya
dengan berargumen bahwa ilmu administrasi negara hanya
dapat dijalankan secara efektif jika dikawinkan dengan teori
pemerintahan atau politik.
Gejolak untuk mengembangkan dan mengkritisi
perkembangan ilmu administrasi nampaknya sudah mulai
dirasakan pada dasa warsa 80 an. Akhir tahun 1960 an dan
awal tahun 1970an Dwight Waldo (1971) menggegerkan
masyarakat sarjana administrasi negara dengan isyaratnya
yang terkenal bahwa administrasi negara hidup di jaman yang
penuh kekacauan. Gejolak itu sebenarnya sudah dirasakan di
kala diadakan suatu konferensi oleh masyarakat administrasi
Negara dengan disponsori oleh American Academy of Political
and Social Science tahun1967.
Tulisan di atas mencerminkan bahwa para pemikir
sangat leluasa untuk mengembangkan disiplin ilmu, terutama
ilmu administrasi negara ini. Miftah Thoha mengatakan
perkembanganilmu administrasi negaraberjalan cukup pesat.
Paradigma old publicadministration sudah berkembang
cukup pesat. Jaman Leonard D White yang masih
memperdebatkan antara ilmu administrasi negaradengan
ilmu politik, sekarang telah dikenalkan model pengembangan
baru yang disebut oleh Miftah Thoha (2008) sebagai
administrasi negara kontemporer. Oreintase terakhir pada
New Public Service telah dikembangkan secara customize.
Praktek administrasi negara tidak bisa digeneralisasikan,
namun praktek administrasi negaramemiliki ciri khas pada
masing-masing negara. Konsep new public service selalu
mengedepankan warga negara sebagai the main customers.

3
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

Concept new public service menuntut pemerintah untuk


melayani warga negaranya secara akuntabel dan adil.
Sementara itu Leonard D White pada waktu itu masih
mempermasalahkan tentang penyelenggaraan Negara dilihat
dari aspek administrative. Pelayanan atau intervensi negara
baru pada hal-hal yang menyangkut pengelolaan sumberdaya
yang dimiliki masyarakat maupun negara secara efektif dan
efisien. Suatu jarak yang cukup jauh dalam hal perkembangan
ilmu administrasi negaraantara tahun 1926 dan tahun 2010
ini.Pengenalan ilmu administrasi negarasaat ini lebih pada
menanggapi keluhan-keluhan warga negara yang merasa tidak
pusa terhadap pelayanan yang diberikan oleh negara. Pada
chapter I Leonard D White menyatakan bahwa “Public
administration is then, the execution of public business, the
goal of administrative activity the most expedition,
economical and complete achievement of public program.This
obviously is not the sole objective of yhe state as an organized
unit; protection of private lirights, etc….”Pendapat ini
membuktikan bahwa administrasi negara juga bergerak pada
ranah yang bersifat public economic. Oleh karena itu selain
aspek politik, publik administration juga mencakup aspek
ekonomi.
Berdasarkan locus dan focus suatu disiplin ilmu, Henry
membagi paradigma administrasi negara menjadi lima, yaitu :
- Paradigma Dikotomi Politik dan Administrasi (1900-1926)
- Paradigma Prinsip-Prinsip Administrasi (1927-1937)
- Paradigma Administrasi Negara sebagai Ilmu Politik (1950-
1970)
- Paradigma Administrasi Negara sebagai Ilmu Administrasi
(1956-1970)
- Paradigma Administrasi Negara sebagai Administrasi Negara
(1970an)
4
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

Pada tahun 1970an, George Frederickson


memunculkan model Administrasi Negara Baru (New Public
Administration). Paradigma ini merupakan kritik terhadap
paradigma administrasi negara lama yang cenderung
mengutamakan pentingnya nilai ekonomi seperti efisiensi dan
efektifitas sebagai tolok ukur kinerja administrasi negara.
Menurut paradigma Administrasi Negara Baru, administrasi
negara selain bertujuan meraih efisiensi dan efektifitas pen-
capaian tujuan juga mempunyai komitmen untuk mewujudkan
manajemen publik yang responsif dan berkeadilan (social
equity).
Di era tahun 1980 – 1990an muncul paradigma baru
dengan berbagai macam sebutan seperti ’managerialism’, ’new
public management’, ’reinventing government’, dan sebagai-
nya. Paradigma administrasi negara yang lahir pada era tahun
1990an pada hakekatnya berisi kritikan terhadap administrasi
model lama yang sentralistis dan birokratis. Ide dasar dari
paradigma semacam NPM dan Reinventing Government adalah
bagaimana mengadopsi model manajemen di dunia bisnis
untuk mereformasi birokrasi agar siap menghadapi tantangan
global.
Sedangkan tahun 2003, muncul paradigma New Public
Service (NPS) yang dikemukakan oleh Dernhart dan Derhart.
Paradigma ini mengkritisi pokok-pokok pemikiran paradigma
administrasi negara pro-pasar. Ide pokok paradigma NPS adalah
mewujudkan administrasi negara yang menghargai citizenship,
demokrasi dan hak asasi manusia.
Untuk memberikan gambaran tentang perkembangan
paradigma dalam teori administrasi negara, buku ini membatasi
pada empat paradigma yaitu Paradigma Administrasi Negara
Tradisional atau disebut juga sebagai paradigma Administrasi
Negara Lama (Old Public Administration), Paradigma New Public
5
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

Administration, Paradigma New Public Management, dan


Paradigma Governance /New Public Service. (Henry, dalam Sri
Yuliany, 2012)
Dukungan teori administrasi publik bagi wacana publik
berfungsi sebagai alat untuk menyederhanakan gejala dan
fenomena publik. Di beberapa kejadian wacana publik menjadi
arena perdebatan di antara berbagai aliran pemikiran,
khususnya di antara penganut administrasi publik murni. Fungsi
administrasi publik yang terbentuk dari fakta menyebabkan
praktik administrasi harus berdasarkan pada teori sehingga
tercipta hubungan simbiosis mutualisme. Beberapa fungsi
administrasi publik antara lain : 1) Pedoman untuk bertindak;
(2) Pedoman untuk mengumpulkan fakta; (3) Pedoman untuk
memperoleh pengetahun baru; (4) Pedoman untuk
menjelaskan sifat-sifat administrasi (Zauhar & Indradi, 1993).
Di samping berfungsi sebagai pedoman bagi tindakan
yang harus dilakukan pada birokrat yang mewakili pemerintah
bagi perannya untuk mengadvokasi masyarakat sebagai salah
satu pilar publik. Mufitz (1984) dalam Rahayu (2010:52)
mengatakan bahwa administrasi publik menjadi sangat penting
dalam kehidupan bernegara karena :
1. Teori administasi publik menyatakan sesuatu makna yang
dapat diterapkan pada situasi kehidupan nyata.
2. Teori administasi publik dapat menyajikan suatu persfektif
yang baru pada situasi tertentu.
3. Teori administasi publik merangsang lahirnya cara-cara baru
dalam hal-hal yang berbeda.
4. Teori administasi publik telah ada dan merupakan dasar
dalam mengembang teori administrasi lainnya.
5. Teori administrasi publik membantu penggunaanya untuk
menjelaskan dan meramalkan fenomena yang dihadapinya.

6
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

Kelima aspek pentingya administrasi publik meru-


pakan poin utama, sehingga ranah administrasi publik dijadikan
sebagai rujukan utama dalam mengkaji fenomena-fenomena
publik.
Konsep new public management dan new public
service sebagai tahapan perkembangan terakhir dari ilmu
administrasi negaramemberikan dasar bagi penyelenggaraan
negara. Management publik yang baik selalu mengedepankan
kepentingan dan kepuasan masyarakat dalam penyelenggaraan
negara. Manajemen penyelengaraan negara diatur sedemikian
rupa sehingga dapat dipertanggungjawabkan (accountable),
transparan (transperence) dan mengakomadasikan kepenti-
ngan dan kebutuhan masyarakat (repsonsive).
New Public service sebagai perkembangan terakhir
dari ilmu administrasi negarabelum sepenuhnya dilaksanakan
sebagaimana konsep seharusnya. Fenomena yang berlangsung
di Indonesia berkaitan dengan pelayanan publik belum
termasuk kategori new public service. Upaya pemerintah dalam
mewujudkan pelayanan publik yang berkualitas terus
diupayakan.

B. Teori Kebijakan Publik


1. Pengertian Kebijakan Publik
Ahli kebijakan Anderson (1979) dalam Islamy (1998),
merumuskan bahwa kebijakan itu adalah : A purposive course
of action followed by an actor or set of actors in dealing with
problem or matter of concern (serangkaian tindakan yang
mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan dan
dilaksanakan oleh seorang atau sekelompok pelaku guna
memecahkan suatu masalah tertentu. Islamy mengutip
pendapat Frederick (1963) dalam Abdul Wahab (1997) yang
mendefinisikan "Kebijakan sebagai serangkaian tindakan yang
7
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

diusulkan seseorang, kelompok atau peme-rintah dalam suatu


lingkungan tertentu dengan menunjukkan kesulitan-kesulitan
dan kemungkinan-kemungkinan usulan kebijakan tersebut
dalam rangka mencapai tujuan tertentu."
Menurut Edi Suharto (2005) kebijakan adalah prinsip
atau cara bertindak yang dipilih untuk mengarahkan
pengambilan keputusan. Menurut Ealau dan Kenneth Prewitt
yang dikutip Charles O. Jones, kebijakan adalah sebuah
ketetapan yang berlaku yang dicirikan oleh perilaku yang
konsisten dan berulang, baik oleh yang membuatnya maupun
oleh mereka yang mentaatinya (a standing decision
characterized by behavioral consistency and repetitiveness on
the part of both those who make it and those who abide it).
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memberikan definisi
kebijakan sebagai pedoman untuk bertindak.Pedoman ini bisa
amat sederhana atau kompleks, bersifat umum atau khusus,
luas atau sempit, kabur atau jelas, longgar atau terperinci,
bersifat kualitatif atau kuantitatif, publik atau privat.Kebijakan
dalam maknanya yang seperti ini mungkin berupa suatu
deklarasi mengenai suatu program, mengenai aktivitas-
aktivitas tertentu atau suatu rencana.
Richard Rose (1969) sebagai seorang pakar ilmu politik
menyarankan bahwa kebijakan hendaknya dimengerti sebagai
serangkaian kegiatan yang sedikit banyak berhubungan
beserta konsekuensi-konsekuensinya bagi mereka yang
bersangkutan daripada sebagai suatu keputusan tersendiri.
Kebijakan menurutnya dipahami sebagai arah atau pola
kegiatan dan bukan sekadar suatu keputusan untuk
melakukan sesuatu.
Derbyshire dalam Wibawa (1994) memberikan batasan
bahwa kebijakan publik sebagai sekumpulan rencana kegiatan
terhadap kondisi-kondisi sosial dan ekonomi.Sedangkan
8
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

Hofferbert dalam Wibawa, (1994) membatasi kebijakan publik


sebagai hasil-hasil keputusan yang diambil oleh pelaku-pelaku
tertentu untuk tujuan publik.
Mengacu pada Dunn (1981), menyatakan bahwa
kebijakan publik sedikitnya mencakup hal-hal sebagai berikut:
(i) bidang kegiatan sebagai ekspresi dari tujuan umum atau
pernyataan-pernyataan yang ingin dicapai; (ii) proposal
tertentu yang mencerminkan keputusan-keputusan peme-
rintah yang telah dipilih; (iii) kewenangan formal seperti
undang-undang atau peraturan pemerintah; (iv) program,
yakni seperangkat kegiatan yang mencakup rencana
penggunaan sumberdaya lembaga dan strategi pencapaian
tujuan (v) keluaran (output), yaitu apa yang nyata telah
disediakan oleh pemerintah, sebagai produk dari kegiatan
tertentu; (vi) teori yang menjelaskan bahwa jika kita
melakukan X, maka akan diikuti oleh Y; (vii) proses yang
berlangsung dalam periode waktu tertentu yang relative
panjang.
Menurut Chandler dan Plano (1988:107) dalam Kamus
Administrasi Publik, kebijakan publik (public policy) adalah
pemanfaatan yang strategis terhadap sumberdaya yang ada
untuk memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah.
Shafriz dan Russel (1997:47) mendifinisikan kebijakan publik
sangat praktis, yaitu whateever a government dicides to do or
not to do atau apa-apa yang dilakukan atau tidak dilakukan
oleh pemerintah. Sedangkan Paterson (2003 :1030)
berpendapat bahwa kebijakan publik secara umum sebagai
aksi pemerintah dalam menghadapi masalah, dengan
mengarahkan perhatian terhadap siapa dapat apa, kapan dan
bagaimana.
Keban (2008:61) mengemukakan bahwa pada
umumnya kebijakan dapat dibedakan atas : 1) Bentuk
9
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

regulatory yaitu mengatur orang.; 2) Bentuk redistributive


yaitu mendistribusikan kembali kekayaan yang ada, atau
mengembil kekayaan dari orang yang kaya lalu membe-
rikannya kembali pada orang yang miskin; 3) Bentuk
distributive, yaitu melakukan distribusi yang sama atau
memberikan akses yang sama terhadap sumberdaya tertentu;
4) Bentuk constituent, yaitu ditujukan untuk melindungi
negara.
Dunn (2004) dalam Keban (2008:67) menyatakan
bahwa dalam rangka pemecahan masalah ada beberapa
tahap penting, antara lain agenda kebijakan (agenda setting),
formulasi kebijakan (policy formulation), adopsi kebijakan
(policy adoption), implementasi kebijakan (policy
implementation) dan penilaian kebijakan (policy assessment).
Mustopadidjaja (2002) menyatakan bahwa perumusan
kebijakan publik merupakan core business para pejabat Eselon
I dan II. Dalam pelaksanaannya, kebijakan publik merupakan
siklus kegiatan dan memerlukan analisis kebijakan secara
terus menerus. Dunn (2000) menyatakan bahwa analisis
kebijakan agar berorientasi pada masalah. Policy Agenda atau
Agenda Setting menurut Anderson dalam LAN (2011) adalah
awal dari Policy Process yang terdiri dari Agenda Setting,
Formulation, Adoption, Implementation dan Evaluation
Menurut Dunn (2000), suatu sistem kebijakan
dimana di dalamnya mencakup hubungan timbal balik
diantara tiga unsur, yaitu Kebijakan publik, pelaku kebijakan
dan lingkungan kebijakan. Mustopadidjaja (2002)
menambahkan elemen Kelompok Sasaran Kebijakan. Menurut
Mustopadidjaja (2002), tujuh langkah dalam formulasi
kebijakan publik adalah sebagai berikut: 1) Penemuan
Persoalan/Masalah; 2) Penentuan Tujuan; 3) Perumusan

10
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

Alternatif; 4) Penyusunan Model; 5) Penetapan Kriteria; 6)


Penilaian Alternatif; 7) Perumusan Rekomendasi
Berdasarkan definisi - definisi di atas, dapatlah
disimpulkan pengertian kebijakan publik adalah suatu
pedoman untuk melaksanakan kegiatan yang dipilih oleh
seseorang atau kelompok orang dan dapat dilaksanakan serta
berpengaruh terhadap sejumlah besar orang dalam rangka
mencapai suatu tujuan tertentu.
Untuk membantu analisis kebijakan publik, diguna-
kan alat (tools) AgendaSetting dan System Thinking.
a. Agenda Setting
Menurut Anderson dalam LAN (2011), Agenda
Setting atau Agenda Formulation adalah tahap awal dari
Policy Agenda.Policy Agenda berawal dari private problem
kemudian berkembang lebih lanjut menjadi public problem.
Selanjutnya Public Problem ini dikonversikan ke issue
masalah kebijakan, sehingga mengalir menjadi Systemic
Agenda dan terakhir ke institutional agenda.
b. System Thinking
Maní (2000) dalam Trilestari (2010) menjelaskan
ada 6 (enam) alasan mengapa metoda system thinking
diperlukan, yaitu:
1) Meningkatnya kompleksitas dan perubahan dalam
kehidupan.
2) Tumbuh dan meningkatnya kesalingbergantungan dari
dunia ini
3) Adanya pemikiran dalam manajemen teori dan praktek.
4) Terus meningkatnya kesadaran global, meskipun
pengambilan keputusan masih bersifat lokal.
5) Meningkatnya penghargaan terhadap pembelajaran
sebagai suatu kunci kemampuan organisasi.

11
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

6) Permasalahan yang muncul tak dapat diselesaikan


dengan cara berfikir yang menciptakan masalah
tersebut.
O’Connor (1997) dalam Trilestari (2010) menje-
laskan tentang manfaat pedekatan system thinking, yaitu :
1) Mendapatkan pengaruh dengan melihat pola yang
menggerakkan peristiwa.
2) Berfikir lebih stratejik dan efektif dalam menghadapi
permasalahan-permasalahan yang dihadapi.
3) Mengurangi upaya penyelesaian masalah dengan cara
coba-coba.
4) Berfikir dan berkomunikasi dengan jelas untuk melihat
lebih jauh ke depan.
5) Membantu untuk melangkah lebih jauh, dan tidak
sekedar menyalahkan orang lain atau diri sendiri.
6) Membantu mengelola diri kita serta orang lain sehingga
lebih efektif.
2. Perumusan Kebijakan Publik
Perumusan kebijakan publik merupakan sebuah proses
pengambilan keputusan yang melibatkan berbagai aktor dan
institusi. Proses analisis kebijakan publik adalah serangkaian
aktivitas intelektual yang dilakukan dalam proses kegiatan
yang bersifat politis. Aktivitas politik tersebut nampak dalam
serangkaian kegiatan, adopsi kebijakan, implementasi
kebijakan dan penilaian kebijakan.Sedangkan aktivitas
perumusan masalah, forecasting, rekomendasi kebijakan
monitoring dan evaluasi kebijakan adalah aktivitas yang
lebih bersifat intelektual. (Budi Winarno, 2005)
Dengan demikian proses perumusan kebijakan publik
merupakan proses intelektual yang memerlukan berbagai
kajian ilmiah sebelum kebijakan tersebut dirumuskan.

12
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

Perumusan kebijakan memerlukan berbagai tahap sampai


pada penetapan kebijakan. Proses kebijakan publik yang
dikemukakan William N. Dunn (1980) melalui 2 tahap.
Tahap pertama adalah tahap penyusunan agenda
(agenda setting). Para pejabat yang dipilih dan diangkat
menempatkan masalah pada agenda publik. Banyak masalah
tidak disentuh sama sekali, sementara lainnya ditunda untuk
waktu lama. Dalam perumusan agenda setting legislator
negara dan co-sponsornya menyiapkan rancangan undang-
undang mengirimkan ke legislatif untuk dipelajari dan
disetujui. Atau rancangan berhenti di komite dan tidak
terpilih. Apabila tidak dipilih sebagai agenda setting maka
pembahasan rancangan kebijakan tersebut dihentikan.
Tahap Penyusunan Agenda Kebijakan mencakup tiga
tahap yang perlu dilaksanakan. Tahapan tersebut adalah
sebagai berikut:
a. Membangun persepsi di kalangan stakeholdersbahwa
sebuah fenomena benar-benar dianggap sebagai
masalah. Hal ini penting karena bisa jadi suatu gejala yang
oleh sekelompok masyarakat tertentu dianggap sebagai
masalah, tetapi oleh kelompok masyarakat yang lainnya
atau bahkan oleh para elite politik bukan dianggap
sebagai suatu masalah.
b. Membuat batasan masalah. Tidak semua masalah harus
masuk dalam penyusunan agenda kebijakan dan memiliki
tingkat urgensi yang tinggi, sehingga perlu dilakukan
pembatasan terhadap masalah-masalah tersebut.
c. Memobilisasi dukungan agar masalah tersebut dapat
masuk dalam agenda pemerintah. Memobilisaasi
dukungan ini dapat dilakukan dengan cara
mengorganisasi kelompok-kelompok yang ada dalam

13
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

masyarakat, dan kekuatan-kekuatan politik, publikasi


melalui media massa dan sebagainya. (Dunn, 2003)
Tahap kedua adalah tahap Formulasi Kebijakan. Pada
tahap ini para pejabat merumuskan alternatif kebijakan
untuk mengatasi masalah. Alternatif kebijakan melihat
perlunya membuat perintah eksekutif, keputusan peradilan
dan tindakan legislatif. Pada tahap ini pula permasalahan
dan isu yang berkembang dikaji untuk dicarikan peneca-
hannya. Pengkajian dilakukan bersama antara pengambil
keputusan di tingkat negara yaitu eksekutif dan legislatif.
Pada tahap ini dirumuskan atau diusulkan berbagai macam
alternatif kebijakan. Alternatif kebijakan yang diadopsi
dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus di
antara direktur lembaga atau keputusan peradilan.Dari
berbagai alternatif tersebut selanjutnya di pilih satu
alternatif dengan kriteria yang mendatangkan manfaat
sebesar-besarnya dengan resiko sekecil-kecilnya yang selan-
jutnya kebijakan tersebut ditetapkan dengan pengesahan
dari pejabat berwenang.

14
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

BAB II
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK

A. Pengertian Implementasi Kebijakan Publik


Implementasi adalah bagian dari proses kebijakan
publik, disamping tahapan sebelumnya agenda setting,
formulation, adoption dan tahapan sesudahnya assesement.
Adapun yang dimaksud dengan implementasi kebijakan adalah
“kemampuan untuk membentuk hubungan-hubungan lebih
lanjut dalam rangkaian sebab-akibat yang menghubungkan
tindakan dengan tujuan“ (Charles O Jones, 1991) . Jadi dalam
kaitannya dengan suatu kebijakan publik , disini adanya upaya
membentuk linkage (kaitan) antara tindakan program dengan
tujuan/sasaran program yang hendak dicapai.
Sedangkan Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier
mendefinisikan implementasi adalah sebagai berikut :
“Pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam
bentuk undang-undangan, namun dapat berbentuk perintah
perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting
atau keputusan badan peradilan. Lazimnya, keputusan
tersebut mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi,
menyebutkan secara tegas tujuan atau sasaran yang ingin
dicapai, dan berbagai cara untuk menstrukturkan atau
mengatur proses implementasi“ (Solichin Wahab, 1991)
Dunn (1981), menyatakan bahwa kebijakan publik
meliputi beberapa hal, misalnya: (i) bidang kegiatan sebagai

15
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

ekspresi dari tujuan umum atau pernyataan-pernyataan yang


ingin dicapai; (ii) proposal tertentu yang mencerminkan
keputusan-keputusan pemerintah yang telah dipilih; (iii)
kewenangan formal seperti undang-undang atau peraturan
pemerintah; (iv) program, yakni seperangkat kegiatan yang
mencakup rencana penggunaan sumberdaya lembaga dan
strategi pencapaian tujuan (v) keluaran (output), yaitu apa
yang nyata telah disediakan oleh pemerintah, sebagai produk
dari kegiatan tertentu; (vi) teori yang menjelaskan bahwa jika
kita melakukan X, maka akan diikuti oleh Y; (vii) proses yang
berlangsung dalam periode waktu tertentu yang relative
panjang.
Abdul Wahab (1997) menjelaskan fungsi implementasi
kebijakan adalah untuk membentuk suatu hubungan yang
memungkinkan tujuan-tujuan atau sasaran diwujudkan
sebagai outcomes (hasil akhir dilakukan pemerintah).Oleh
sebab itu mencakup penciptaan policy delivery system
penyelenggaraan kebijaksanaan negara yang biasanya terdiri
atas cara-cara atau sarana-sarana tertentu yang dirancang /
didesain secara khusus serta diarahkan menuju tercapainya
tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran yang dikehendaki.
Pada mulanya studi implementasi cenderung me-
ngambil fokus lebih sempit, yaitu pada karakteristik birokrasi
pelaksana (Grindle, 1980). Studi implementasi dalam
perspektif ini misalnya yang dilakukan oleh Edward III (1980)
yang mengidentfikasi adanya 4 (empat) faktor determinan
utama yang akan mempengaruhi proses dan hasil imple-
mentasi kebijakan yaitu: (1) komunikasi (communication), (2)
struktur birokrasi (bureaucratic structure), (3) sumberdaya
(resources), dan (4) disposisi (disposition) (Edward III, 1980).
Keberhasilan implementasi, akan dipengaruhi sifat atau
jenis kepentingan yang hendak dicapai oleh kebijakan itu
16
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

sendiri. Jenis kebijakan tertentu, akanmemiliki dampak


tertentu terhadap akitivitas proses implementasi (Grindle,
1980). Misalnya, kebijakan pelistrikan dan air bersih, pada
umumnya tidak banyak menimbulkan konflik sehingga
kepatuhan dari kelompok sasaran relatif mudah diperoleh.
Sebaliknya, kebijakan yang bersifat redistributif, akan cende-
rung mudah mengundang munculnya konflik kepentingan,
sehingga akan relatif sulit diimplementasikan (Ripley, 1985).
Ripley (1985) menegaskan bahwa karakteristik struktur,
norma dan pola-pola hubungan dalam lembaga, memiliki,
pengaruh terhadap tingkat kinerja lembaga dalam imple-
mentasi kebijakan. la merinci sejumlah karakter lembaga
pelaksana yang dapat mempengaruhi implementasi kebijakan,
yaitu: (1) kompetensi dan besarnya staf, (2) tingkat kendali
hirarkhi pengambilan keputusan, (3) dukungan politik ter-
hadap lembaga pelaksana, (4) tingkat keterbukan komunikasi
dalam implementasi, dan (5) keterkaitan formal dan informal
lembaga pelaksanan dengan pembuat kebijakan dan penegak
hukum (Ripley, 1985).
Kegagalan implementasi terjadi apabila implementor
tidak memahami tujuan dan standar kebijakan, atau
implementor memiliki kepentingan yang berbeda dengan
tujuan dan standar kebijakan. Sebaliknya, keluasan peneri-
maan terhadap tujuan dan standar kebijakan, akan memberi-
kan potensi lebih besar bagi keberhasilan implementasi
kebijakan. Mazmanian (1983) memformulasikan 3 (tiga)
variabel independen implementasi kebijakan, yaitu: (1) mudah
tidaknya masalah dikendalikan, (2) kemampuan kebijakan
menstrukturkan implementasi, (3) variabel non-kebijakan yang
mempengaruhi implementasi. Tingkat besarnya kelompok
sasaran kebijakan, juga akan mempengaruhi keberhasilan
implementasi. Kebijakan dengan kelompok sasaran yang
17
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

jumlahnya relatif terbatas dan dapat diidentifikasikan dengan


jelas, akan relatif mudah untuk dimobilisir guna mendukung
impelementasi kebijakan. Sebaliknya, kebijakan dengan
kelompok sasaran yang besar dan sulit diidentifikasikan, akan
cenderung sulit dimobilisir. Demikian pula, keberhasilan
implementasi akan ditentukan oleh tingkat perubahan yang
hendak dicapai. Kebijakan yang memiliki sasaran mencapai
perubahan yang relatif besar (luas), akan cenderung sulit
dacapai dibanding kebijakan yang memiliki sasaran perubahan
perilaku yang relatif terbatas. Dari sisi sifat masalah yang
hendak dicapai (tractability problem), tujuan kebijakan akan
relatif mudah dicapai apabila tersedia teori yang handal untuk
mendukungnya, apabila keragaman perilaku dari berbagai
pihak yang terlibat relatif terbatas, kelompok sasaran relatif
terbatas dan mudah diidentifikasikan, serta perubahan
perilaku yang hendak dicapai relatif terbatas atau moderat.
Menurut Brian W. Hogwood dan Levis A. Gunn dalam
Abdul Wahab (1999) membagi pengertian kegagalan kebijak-
sanaan dalam dua kategori, yaitu : (i) tidak terimplemen-
tasikan; dan (ii) implementasi yang tidak berhasil. Tidak
terimplementasikan mengandung arti bahwa suatu kebijak-
sanaan tidak dilaksanakan sesuai dengan rencana, mungkin
pihak yang terkait di dalam pelaksanaannya tidak mau bekerja
sama, mereka telah bekerja tidak efisien, bekerja setengan
hati, atau karena mereka tidak sepenuhnya menguasai
permasalahan. Kemungkinan permasalahan yang digarap di
luar jangkauan kekuasaannya sehingga betapun gigih usaha
mereka, hambatan-hambatan yang ada tidak sanggup mereka
cari jalan keluarnya.Dampaknya implementasi eksekutif sukar
dipenuhi.Sementara itu, implementasi yang tidak berhasil
biasanya terjadi manakala suatu kebijaksanaan tertentu telah
dilaksanakan sesuai dengan rencana, namun mengingat
18
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

kondisi eksternal ternyata tidak menguntungkan (misalnya


tiba-tiba terjadi peristiwa pergantian kekuasaan, bencana alam
dan sebagainya). Kebijaksanaan tersebut tidak berhasil dalam
mewujudkan dampak atau hasil akhir yang dikehendaki.
Biasanya kebijaksanaan yang memiliki resiko untuk gagal
disebabkan oleh faktor-faktor : pelaksanaannya jelek (bad
execution), kebijaksanaannya sendiri memang jelek (bad
policy) atau kebijaksanannya itu bernasib jelek (bad luck).
Van Meter dan Van Horn (1975) memformulasikan
adanya 6 (enam) variabel yang mempengaruhi hasil imple-
mentasi kebijakan, yaitu: (1) standar dan tujuan kebijakan, (2)
sumberdaya, (3) komunikasi dan penggunaan paksaan, (4)
disposisi implementor, (5) karakter lembaga pelaksana, dan (6)
kondisi sosial, ekonomi dan politik. Tujuan/sasaran dan
standar kebijakan, merupakan faktor krusial dalam proses
impelementasi. Pada kasus tertentu, tujuan dan standar
kebijakan mungkin terumuskan dengan jelas dan spesifik, serta
relatif mudah diukur. Tetapi pada kasus lain, tujuan dan
standar kebijakan ini tidak terumuskan dengan jelas dan
spesifik, serta relatif sulit diukur. Tingkat kejelasan tujuan dan
standar kebijakan, dapat mementukan corak respon
implementor terhadap kebijakan (Van Meter dan Van Horn,
1975). Ketidakmenentuan tujuan dan standar kebijakan, dapat
membuat kesulitan bagi implementor untuk memahami dan
sekaligus memunculkan keragaman disposisi berbagai aktor
yang terlibat dalam proses implementasi yang akhirnya kurang
mendukung kelancaran dan keberhasilan implementasi
kebijakan.
Adapun kaitannya dengan penjelasan studi imple-
mentasi kebijakan publik tak lain adalah menunjuk pada
penelitian implementasi sendiri diarahkan kepada usaha
mencari jawab untuk mengetahui berbagai faktor yang
19
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

mempengaruhi proses implementasi kebijakan. Hal ini seperti


dikatakan Amir Santoso sebagai berikut :
”Bahwa analisis mengenai pelaksanaan kebijaksanaan
(policy implementation) mencoba mempelajari sebab-sebab
keberhasilan atau kegagalan kebijaksanaan publik mengenai
pemahaman faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan
kebijaksaan itu ” (Santoso,1988:8)
Model implementasi kebijakan publik pada dasarnya
merupakan abstraksi yang bersifat penyederhanaan dari
fenomena implementasi kebijakan publik di dunia nyata.
Berdasarkan hasil kritikan terhadap teori implementasi
kebijakan publik yang dilakukan oleh Raj Paudel (2009) dalam
Nepalese Journal of Public Policy and Governance, mengatakan
bahwa “ In general, Implementation research is supposed to
have evolved through three generation. The first generation of
research ranged from the early 1970s to the 1980s; the second
generation from the 1980s to the 1990s; and the third
generation research from 1990 and onward (Matland, 1995 in
Raj Paudel, 2009). Menurut Raj Paudel (2009)
Riset ImplementasiGenerasi Pertama (First Generation
Implementation) menurut Raj Paudel (2009) memfokuskan
pada bagaimana keputusan otoritatif tunggal dilaksanakan,
baik pada lokasi tunggal maupun pada banyak lokasi (multiple
sites). Ahli implementasi kebijakan yang masuk pada generasi
ini adalah Pressman and Wildavsky.Berdasarkan analisis yang
mereka lakukan, mereka menemukan bahwa permasalahan
implementasi kebijakan adalah ketidak pastian hubungan
antara kebijakan dengan implementasi program dan lingkup
parameternya yang luas.Generasi pertama ini memiliki upaya
yang lebih sistematis untuk memahami faktor pendukung dan
penghambat implementasi kebijakan publik.Penelitian
generasi pertama ditandai oleh pioneering yang sebagian
20
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

besar atheoretical, studi kasus spesifik, dan non-kumulatif


seperti yang dari Pressman dan Wildavsky.
Riset Implementasi Generasi Kedua,studi implementasi
generasi kedua memfokuskan pada diskripsi dan analisis
hubungan antara kebijakan dan praktek. Penelitian-penelitian
yang dihasilkan sejumlah pelajaran penting bagi kebijakan,
praktek dan analisis. Misalnya, kebijakan tidak selalu dapat
mandat apa yang penting bagi hasil di tingkat lokal; insentif
individu dan keyakinan adalah pusat untuk respon lokal,
pelaksanaan yang efektif membutuhkan keseimbangan stra-
tegis tekanan dan dukungan; kebijakan diarahkan perubahan
pada akhirnya adalah masalah dari unit terkecil (McLaughlin ,
1987, p176). Implementasi generasi kedua ini merekomen-
dasikan variabel implementasi lintas waktu dan lintas
kebijakan serta lintas pemerintahan.Menurut Raj Paudel
sampai saat ini tidak ada teori implementasi umum (general)
yang muncul. Namun, karena pelaksanaan penelitian
berkembang, dua kelompok pemikiran dikembangkan untuk
mempelajari dan menggambarkan pelaksanaan: top-down dan
bottom-up.
Impelementasi Generasi Ketiga menguji teori imple-
mentasi pada tataran basis dan studi kasus yang lebih
komparatif, desain penelitian statistical yang dapat mening-
katkan jumlah observasi. Pada generasi ini Studi Implmenetasi
kebijakan lebih mengembangkan sebuah desain ekplisit model
teoritikal, definisi operasional dari konsep dan penetapan
indikator yang tepat dari implementasi variabel yang diduga.
Di dalam implementasi generasi ketiga terdapat penginte-
grasian antara policymaker makro dengan mikro.
Berdasarkan pengelompokan tersebut dalam penelitian
ini peneliti lebih cenderung menggunakan penelitian
implementasi generasi kedua.Studi implementasi generasi
21
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

kedua ini lebih relevan dengan fokus penelitan tentang


implementasi ketahanan pangan khususnya tentang
ketersediaan beras.Implementasi kebijakan ketersediaan beras
merefleksikan penelitian dengan variable lintas waktu, lintas
sektor dan lintas pemerintahan. Selain itu implementasi
kebijakan ketersediaan beras juga memadukan antara top
down dan bottom up.

B. Model Implementasi Kebijakan Publik


Model implementasi kebijakan publik pada dasarnya
merupakan abstraksi yang bersifat penyederhanaan dari
fenomena implementasi kebijakan publik di dunia nyata.
Berikut akan disajikan beberapa model implementasi kebijakan
publik dari para pakar kebijakan yang antara lain dikemukakan
oleh Van Meter dan Van Horn dalam Nugroho sebagai berikut :
”Model ini mengandaikan bahwa implementasi kebijakan
berjalan secara linier dari kebijakan publik, implementor,
dan kinerja kebijakan publik. Beberapa variabel yang
dimasukkan sebagai variabel yang mempengaruhi kebi-
jakan publik adalah variabel : (1) Aktivitas implementasi
dan komunikasi antar organisasi, (2) Karakteristik dari
agen pelaksana/implementasi, (3). Kondisi ekonomi, sosial
dan politik, dan (4) Kecenderungan (disposition) dari
pelaksana/implementor ” (Nugroho, 2003: 167)
Beberapa pakar menyusun berbagai model kebijakan
publik berdasar pada kajian-kajian terhadap implementasi
kebijakan publik. Beberapa model tersebut diuraikan sebagai
berikut:
1) Model ImplementasiKebijakan Publik Grindle
Model implementasi kebijakan menurut Grindle
dalam bukunya Samodra Wibawa dkk (1994) untuk
mengukur efektivitas suatu kebijakan dalam memecahkan
22
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

suatu masalah sangat terkait dengan kualitas substansi


atau kualitas isi dari kebijakan dan kontek implementasi
kebijakan tersebut, karena tujuan suatu kebijakan
diimplementasikan pada hakekatnya untuk mendapatkan
suatu perubahan atau peningkataan baik secara kualitas
maupun kuantitas suatu masalah yang menjadi obyek
kebijakan. Grindle menyatakan bahwa keberhasilan
mengimplementasikan suatu kebijakan dipengaruhi oleh
beberapa faktor yang dikelompokkan ke dalam dua
kelompok fenomena. Dua kelompok fenomena tersebut
adalah isi kebijakan (content of policy) dan konteks
kebijakan atau (context of policy)
Model kebijakan yang diusulkan oleh Grindle yang
menghubungkan antara fenomena isi kebijakan dan kontek
kebijakan untuk mempengaruhi keberhasilan implementasi
digambarkan dalam diagaram berikut:

23
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

Diagram : 2. 1
Implementasi Kebijakan Berdasarkan Isi dan Konteks
Implementasinya

Melaksanakan Kegiatan
Dipengaruhi :

a. Isi Kebijakan :
1. Kepentingan yang dipengaruhi
2. Tipe manfaat
Tujuan 3. Derajat perubahan yang diharapkan
Kebijakan 4. Letak pengambilan keputusan
5. Pelaksanaan Program
6. sumberdaya yang dilibatkan

b. Kontek Implementasi
1. Kekuasaan, kepentingan dan Hasil Kebijakan:
strategi aktor yang terlibat 1. Dampak pada
2. Karakteristik lembaga & penguasa masyarakat,indivi
3. Kepatuhan & daya tanggap du dan kelompok
2. Perubahan dan
penerimaan oleh
masyarakat.

Tujuan
Yang Ingin
Dicapai Program aksi dan
Proyek Individu yang
didesain dan dibiayai
Program yang dijalankan
sesuai yang direncanakan

Mengukur Keberhasilan
Program

Sumber : Evaluasi Kebijakan Publik ( Samudra Wibawa dkk )

24
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

Dari gambar tersebut dapat didiskripsikan bahwa


penerapan atau implementasi kebijakan adalah upaya yang
harus dilakukan agar tujuan kebijakan dapat dicapai secara
maksimal dan efisien. Agar tujuan yang direncanakan dapat
tercapai, tujuan tersebut dijabarkan ke dalam program aksi dan
berbagai kegiatan. Agar pencapaian program jelas dan terukur
maka perlu disusun indikator keberhasilan program atau
proyek.Kebijakan dikatakan berhasil apabila tujuan yang
diharapkan dapat tercapai dan mendatangkan hasil sesuai yang
diharapkan. Hal itu terjadi karena pelaksanaan program sesuai
dengan yang direncanakan. Agar program menghasilkan apa
yang diharapkan sangat tergantung pada dua hal yaitu isi
kebijakan atau content of policy dan kontek implementasi
(implementation context).
Menurut Grindle (1980), keberhasilan implementasi
sangat tergantung pada isi kebijakan yaitu seberapa besar
kepentingan yang dipengaruhi, semakin besar kepentingan
yang dipengaruhi, semakin sulit dalam implementasinya.
Demikian juga keberhasilan implementasi sangat tergantung
pada tipe manfaat yang ingin dihasilkan oleh kebijakan
tersebut. Semakin tangible manfaat yang dihasilkan semakin
mudah dalam implementasinya. Derajat perubahan juga
mempengaruhi keberhasilan dalam implementasi. Apabila
derajad perubahan yang dikehendaki oleh kebijakan tersebut
besar dan luas, maka implementasinya lebih sulit. Demikian
juga sebaliknya jika derajad perubahan yang kecil atau sedikit
maka kebijakan tersebut mudah dilaksanakan.
Keberhasilan implementasi menurut Grindle (1980), juga
dipengaruhi oleh tempat pengambilan keputusan, pelaksana
program dan sumberdaya yang dilibatkan. Apabila tempat
pengambilan keputusan jauh dari kelompok sasaran, maka
akan sulit diimplementasikan. Pelaksana program merupakan
25
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

pelaku kunci yang memiliki peran strategis dalam implementasi


kebijakan. Sebaik apapun kebijakan yang telah disusun, tetapi
pelaksana tidak memiliki kemampuan, atau pelaksana salah
menginterpretasikan kebijakan tersebut, maka kebijakan terse-
but akan gagal diimplementasikan. Peran yang tidak dapat
ditinggalkan yang berpengaruh terhadap implementasi
kebijakan adalah sumberdaya. Sumberdaya yang dilibatkan
dalam implementasi kebijakan adalah sumberdaya manusia,
dana, peralatan, barang-barang dan metode. Kunci sumberdaya
yang berpengaruh terhadap keberhasilan dalam implementasi
kebijakan adalah sumberdaya manusia. Sumberdaya manusia
yang terlibat dalam implementasi kebijakan harus memahami
dan melaksanakan apa yang terdapat dalam kebijakan tersebut.
Agar sumberdaya manusia yang terlibat dalam kebijakan mam-
pu melaksanakan kebijakan dengan baik perlu diberdaya-
kan.Pemberdayaan sumberdaya manusia khususnya aparatur
dilakukan melalui strategi yang tepat.Hal ini dimaksudkan agar
sumberdaya yang terlibat dalam implementasi meningkat
pengetahuannya. Setelah aparatur yang terlibat dalam imple-
mentasi kebijakan memahami, selanjutnya mereka akan
bersikap dan selanjutnya akan berperilaku atau bertindak
berdasarkan apa yang dipahami.
Strategi pemberdayaan aparatur pelaksana kebijakan
menurut Pranaka (1996) adalah:
“Suatu strategi untuk memperbaiki sumber daya manusia
dengan pemberian tanggungjawab dan kewenangan
terhadap mereka yang nantinya diharapkan dapat
memungkinkan mereka mencapai kinerja yang lebih
tinggi di era yang selalu berubah” (Pranaka, 1996:121).
Pendapat di atas menunjukkan bahwa agar aparatur
dapat memiliki kinerja yang baik dalam pelaksanaan kebijakan
harus diberi tanggung jawab dan wewenang. Setiap aparatur
26
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

dalam implementasi kebijakan diberikan wewenang dan


tanggungjawab, walaupun besarnya tanggung jawab dan
wewenang tidak sama. Dengan tanggung jawab dan wewenang
yang mereka miliki mereka akan bekerja dengan sungguh-
sungguh dan mereka memiliki tujuan yang akan dicapai. Khusus
berkaitan dengan hal ini Yudoyono (2001) mengatakan:
“Dari sisi aparatur pemerintah, perbaikan kualitas harus
dimulai dengan menggunakan suatu sistem yang benar-
benar menjamin diperolehnya sumber daya yang
memang mempunyai kualitas dasar yang baik, pembinaan
melalui penempatan/penugasan yang mendidik dan
pengembangan melalui program pendidikan dan
pelatihan yang memungkinkan tersedianya tenaga-tenaga
siap pakai (Yudoyono, 2001:71).
Pendapat di atas memperkuat bahwa pemberdayaan
aparatur menjadi satu aspek yang sangat strategis di dalam
implementasi kebijakan.Dengan mengetahui sistem yang
digunakan aparatur pelaksana menjadi lebih peka terhadap
permasalahan yang dihadapi.Oleh karena itu mereka menjadi
dapat bersikap lebih waspada dalam melaksanakan tugasnya
agar masalah tersebut dapat diatasi.Kemampuan untuk lebih
waspada tersebut menyebabkan aparat tersebut menjadi
tanggap dan dalam menyelesaikan tugas untuk mengatasi
permasalahan menjadi lebih cekatan dan trampil.
Menurut Fologba (2009 : 1) pemberdayaan sumberdaya
manusia memiliki fungsi yang strategis. Dia mengatakan:
“Pemberdayaan Sumber Daya Manusia (Empowering of
Human resources atau Empowering Resources) merupa-
kan suatu aspek manajemen yang sangat penting, kunci
dan strategis, karena dimana Sumber Daya Manusia harus
mampu berperan untuk menterjemahkan daya terhadap
sumber-sumber lainnya pada suatu tatanan manajemen
27
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

yang menjadi tujuan Organisasi. Bila manusia tidak dapat


memfungsikan daya untuk kemajuan organisasi, maka
dapat dipastikan manajemen organisasi akan tidak
efisien,tidak efektif dan tidak ekanomis.” (Fologba, 2009,
1)
Secara implisit aparatur atau pegwai dalam menangani
permasalahan dalam implementasi kebijakan, mereka lebih
bisa menterjemahkan tugas pokok dan fungsinya. Kondisi ini
memberikan kontribusi yang sangar bagus bagi keberhasilan
implementasi kebijakan.
Selain isi kebijakan (content of policy), setting lingkungan
strategis juga memiliki pengaruh yang besar. Setting lingkungan
strategis ini disebut sebagai context of implementation atau
konteks implementasi. Konteks implementasi Islamy (2001)
meliputi kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang
terlibat; karakteristik lembaga & penguasa; kepatuhan dan
daya tanggap.
Kekuasaan yang sedang berkuasa pada saat kebijakan
diimplementaskan memiliki peran yang besar dalam implemen-
tasinya. Selain itu aktor yang berperan dalam kebijakan dan
kekuasaan serta kepentingan yang dimiliki oleh aktor tersebut
dapat mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan.
Semakin banyak aktor yang terlibat dan semakin sulit
implementasinya. Karakteristik pemerintahan atau lembaga
juga merupakan unsur penting dalam implementasi kebijakan.
Strukur organisasi dan tata kerja lembaga tempat kebijakan
tersebut diimplementasikan turut berperan dalam pelaksanaan
kebijakan. Selain itu karakteristik hubungan antar atasan dan
bawahan, iklim kerja dan budaya organisasi sangat mempe-
ngaruhi implementasi kebijakan.
Kondisi masyarakat yang menyangkut tingkat kepatuhan
dan daya tanggap juga turut berpengaruh terhadap keber-
28
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

hasilan implementasi kebijakan. Responsibilitas masyarakat


adalah seberapa besar masyarakat menanggapi kebijakan yang
diluncurkan atau yang dibuat oleh pemerintah. Semakin
responsif masyarakat, semakin tinggi tingkat keberhasilannya.
2) Model ImplementasiKebijakan Publik Van Meter Van Horn
Beberapa model yang dikembangkan oleh para pakar
kebijakan public khususnya pakar implementasi menggam-
barkan kajian implementasi lintas sector dan lintas pemerin-
tahan. Berikut akan disajikan beberapa model implementasi
kebijakan publik dari para pakar kebijakan yang antara lain
dikemukakan oleh Van Meter dan Van Horn dalam Nugroho
sebagai berikut :
”Model ini mengandaikan bahwa implementasi kebijakan
berjalan secara linier dari kebijakan publik, implementor,
dan kinerja kebijakan publik. Beberapa variabel yang
dimasukkan sebagai variabel yang mempengaruhi
kebijakan publik adalah variabel : (1) Aktivitas imple-
mentasi dan komunikasi antar organisasi, (2) Karakteristik
dari agen pelaksana / implementasi, (3). Kondisi ekonomi,
sosial dan politik, dan (4) Kecenderungan (disposition)
dari pelaksana/implementor ” (Nugroho, 2003: 167)
Van Meter dan Van Horn (1975) memformulasikan
adanya 6 (enam) variabel yang mempengaruhi hasil imple-
mentasi kebijakan, yaitu: (1) standar dan tujuan kebijakan, (2)
sumberdaya, (3) komunikasi dan penggunaan paksaan, (4)
disposisi implementor, (5) karakter lembaga pelaksana, dan (6)
kondisi sosial, ekonomi dan politik. Tujuan/sasaran dan standar
kebijakan, merupakan faktor krusial dalam proses implemen-
tasi. Pada kasus tertentu, tujuan dan standar kebijakan
mungkin terumuskan dengan jelas dan spesifik, serta relatif
mudah diukur. Tetapi pada kasus lain, tujuan dan standar
kebijakan ini tidak terumuskan dengan jelas dan spesifik, serta
29
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

relatif sulit diukur. Tingkat kejelasan tujuan dan standar


kebijakan, dapat mementukan corak respon implementor
terhadap kebijakan (Van Meter dan Van Horn, 1975). Ketidak
menentuan tujuan dan standar kebijakan, dapat membuat
kesulitan bagi implementor untuk memahami dan sekaligus
memunculkan keragaman disposisi berbagai aktor yang terlibat
dalam proses implementasi yang akhirnya kurang mendukung
kelancaran dan keberhasilan implementasi kebijakan.
Adapun untuk memperjelas model tersebut Van Meter
dan Van Horn menggambarkan modelnya sebagai berikut :

Diagram :2.2
Implementasi Kebijakan

Aktivitas
Standar implementasi
dan dan
Tujuan komunikasi
antarorganis Kecendrungan
asi (disposition) dari
Pelaksana
KEBIJAKAN / Implementor KINERJA
PUBLIK KEBIJAKAN
PUBLIK
Karakteristik dari
agen pelaksana /
implementori

Sumber Kondisi
ekonomi, sosial
Daya dan politik

Sumber: Van Meter dan Van Horn (1975)

30
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

3) Model Implementasi Kebijakan Publik Mazmanian dan


Sabatier
Mazmanian dan Sabatier memiliki model implementasi
yang diberi nama model kerangka analisis implementasi.
Melalui Model Kerangka Analisis Implementasi (A Framework
for Implementation Analysis) tersebut mereka mengklasifi-
kasikan proses implementasi kebijakan ke dalam tiga variabel :
”Pertama,variabel independen, yaitu mudah tidaknya
masalah dikendalikan yang berkenaan dengan indikator
masalah teori dan teknis pelaksanaan, keragaman obyek, dan
perubahan seperti apa yang dikehendaki, Kedua, variabel
intervening, yaitu variabel kemampuan untuk menstrukturkan
proses implementasi dengan indikator kejelasan dan
konsistensi tujuan, dipergunakannya teori kausal, ketepatan
alokasi sumberdana,keterpaduan hierarkis di antara lembaga
pelaksana, aturan pelaksana dari lembaga pelaksana, dan
perekrutan pejabat pelaksana dan keterbukaan kepada pihak
luar, Ketiga, variabel di luar kebijakan yang mempengaruhi
proses implementasi yang berkenaan dengan indikator kondisi
sosial ekonomi dan teknologi, dukungan publik, sikap dan
risorsis dari konstituen, dukungan pejabat yang lebih tinggi,
dan komitmen dan kualitas kepemimpinan dari pejabat
pelaksana ”. (Nugroho, 2003: 169)
Adapun gambar model implementasi kebijakan publik
yang dikembangkan oleh Mazmanian dan Sabatier adalah
sebagai berikut :

31
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

Diagram : 2.3
Model Implementasi Kebijakan Publik

Variabel Independen

Mudah tidaknya masalah dikendalikan


1. Dukungan teori danteknologi
2. Keragaman perilaku kelompok sasaran
3. Tingkat perubahan perilaku
yangdikehendaki
Variabel Intervening

Kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses Variabel di luar Kebijakan yang mempengaruhi
implementasi proses implementasi
1. Kejelasan dan konsistensi tujuan 1. Kondisi sosio-ekonomi dan teknologi
2. Dipergunakan teori kausal 2. Dukungan public
3. Ketepatan alokasi sumberdaya 3. Sikap dan risorsis dari konstituen
4. Keterpaduan hirarkis di antara lembaga pelaksana 4. Dukungan pejabat yang lebih tinggi
5. Aturan pelaksana dari lembaga pelaksana 5. Komitmen dan kualitas kepemimpinan dari
6. Rekrutan pejabat pelaksana pejabat pelaksana
7. Keterbukaan kepada pihak luar

Tahapan Dalam Proses Implementasi

Output Kepatuhan Hasil Diterima


Target untuk Revisi
Kebijakan nyata nya Undang-
dari mematuhi output Hasil
Output Undang
lembaga kebijakan tersebut
pelaksana kebijakan

Sumber : Mazmanian dan Sabatier, 2003

32
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

4) Model ImplementasiKebijakan Publik George C. Edward III


Sedangkan George C. Edward III mengemukakan model
implementasi kebijakan sebagai berikut :

Diagram : 2.4
Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Implementasi
Kebijakan Publik

KOMUNIKASI
SUMBERDAYA

IMPLEMENTASI
DISPOSISI
STRUKTUR
ORGANISASI

Sumber : George C. Edward III (dalam Agustinus 2006)

Berikut penjelasan model yang dikembangkan oleh


George C. Edward III dimana ada 4 (empat) variabel yaitu
komunikasi, struktur organisasi, sumber daya dan disposisi yang
mempengaruhi kinerja implementasi kebijakan publik seperti
diterjemahkan oleh Leo Agustinus “ (Agustinus:2006) sebagai
berikut :
1. Variabel komunikasi. Variabel komunikasi sangat menen-
tukan efektivitas implementasi kebijakan kebijakan publik.
Efektivitas implementasi kebijakan sangat tergantung dari
adanya pemahaman para pembuat keputusan mengenai
apa yang harus dikerjakan dan hal ini ditentukan oleh
adanya komunikasi yang baik. Oleh karena itu setiap

33
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

keputusan dan peraturan kebijakan harus ditransmisikan


secara tepat akurat kepada pembuat kebijakan dan para
implementor. Ada tiga indikator dari variabel komunikasi ,
yaitu (1) transmisi yang baik, (2) kejelasan komunikasi dan
(3) konsistensi pemerintah dalam pelaksanaan komunikasi
2. Variabel sumber daya. Variabel sumber daya sangat
mempengaruhi efektivitas implementasi kebijakan publik.
Kekurangan atau ketidak lengkapan sumber daya baik
personal, kewenangan, keuangan dan peralatan akan
menyulitkan dalam implementasi kebijakan publik.
Indikator dari sumberdaya mencakup beberapa elemen,
yaitu (1) Staff yang mencukupi dan berkompentensi, (2)
Informasi cara pelaksanaan data kepatuhan, (3) Wewenang
formal, dan (4) Fasilitas.
3. Variabel disposisi. Variabel disposisi (sikap) berkaitan
dengan kepatuhan para implementor untuk mampu
melaksanakan kebijakan publik. Tanpa adanya kemampuan
pelaksana kebijakan, maka implementasi kebijakan publik
akan tidak efektip. Ada beberapa indikator dari disposisi
yaitu (1) Pengangkatan birokrat dan (2) Insentif.
4. Variabel struktur organisasi.Variabel struktur organisasi
yang menyangkut didalamnya mengenai kerjasama,
koordinasi, dan prosedur atau tata kerja sangat menen-
tukan efektivitas implementasi kebijakan publik. Oleh
karena itu kondisi struktur organisasi birokrasi harus
kondusif terhadap pelaksanaan kebijakan publik yang
ditetapkan secara politis dengan jalan melakukan
koordinasi dengan baik. Ada beberapa indikator struktur
organisasi, yaitu (1) Standar OperatingProcedures (SOPs)
dan (2) Fragmentasi.

34
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

C. Kebijakan Ketahanan Pangan Sebuah Kajian Empiris,


1. Ketahanan Pangan (Food Securiy)
Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar
manusia oleh karena itu penyediaan,pengolahan, keamanan,
ketersediaan dan keberlanjutan merupakan hal yang sangat
diperlukan untuk eksistensi manusia itu sendiri. Perkem-
bangan bioteknologi untuk menghasilkan sumber-sumber
pangan baik yang tradisional maupun melalui rekayasa
genetika telah dilakukan baik di dalam maupun di luar
negeri. Masyarakat juga diharapkan kehati-hatiannya
terutama dalam mengkonsumsi bahan pangan, karena telah
terjadi pelbagai kasus baik yang disengaja maupun yang
tidak disengaja yang dapat mencemarkan baik sumber
maupun pengolahan bahan pangan.
Ketahanan pangan yang merupakan terjemahan dari
food security dan merupakan lawan kata dari food insecurity
mencakup banyak aspek dan luas sehingga setiap orang
mencoba menterjemahkan sesuai dengan tujuan dan
ketersediaan data. Braun dkk, (1992) mengungkapkan
bahwa pemakaian istilah ketahanan pangan dapat menim-
bulkan perdebatan dan banyak isu yang membingungkan
karena aspek ketahanan pangan adalah luas dan banyak,
tetapi merupakan salah satu konsep yang sangat penting
bagi banyak orang di seluruh dunia.
Selanjutnya diungkapkan bahwa konsep ketahanan
pangan berubah dari satu periode waktu ke periode waktu
lainnya sesuai dengan situasi pangan dan kebutuhan pangan
pada masa tersebut. Pada tahun 1970-anketahanan pangan
lebih banyak memberikan perhatian pada ketersediaan
pangan tingkat global dan nasional daripada tingkat rumah
tangga. Sementara pada tahun 1980-an ketahanan pangan

35
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

beralih ke akses panganpadatingkat rumah tangga dan


individu.
Indonesia, sebagai salah satu negara yang menyatakan
komitmen untuk melaksanakan deklarasi Roma menerima
konsep ketahanan pangan tersebut yang dilegitimasi pada
rumusan dalam Undang-Undang Pangan No. 7 tahun
1996.Namun konsep ketahanan pangan di Indonesia telah
memasukkan aspek keamanan, mutu dan keragaman
sebagai kondisi yang harus dipenuhi dalam pemenuhan
kebutuhan pangan penduduk secara cukup, merata serta
terjangkau. Dari kegiatan Lokakarya Ketahanan Pangan
Rumah Tangga pada tahun 1996 juga menghasilkan rumusan
konsep ketahanan pangan rumah tangga yang didefinisikan
sebagai berikut: ketahanan pangan rumah tangga adalah
kemampuan untuk memenuhi pangan anggota keluarga dari
waktu ke waktu dan berkelanjutan baik dari produksi sendiri
maupun membeli dalam jumlah, mutu dan ragamnya sesuai
dengan rumah tangga agar dapat hidup sehat dan mampu
melakukan kegiatan sehari-hari secara produktif.
Konsep ketahanan pangan dapat diterapkan untuk
menyatakan situasi pangan pada beberapa tingkatan yaitu
tingkat global, nasional, regional (daerah), dan tingkat
rumah tangga serta individu (Soehardjo, 1996). Sementara
itu Simatupang (1999) menyatakan bahwa ketahanan
pangan tingkat global, nasional, regional, komunitas lokal,
rumah tangga dan individu merupakan suatu rangkaian
sistem hierarkis. Dalam hal ini ketahanan pangan rumah
tangga tidak cukup menjamin ketahanan pangan individu.
Kaitan antara ketahanan pangan individu dan rumah tangga
ditentukan oleh alokasi dan pengolahan pangan dalam
rumah tangga, status kesehatan anggota rumah tangga,
kondisi kesehatan dan kebersihan lingkungan setempat.
36
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

Selain itu faktor tingkat pendidikan suami-istri, budaya dan


infrastruktur setempat juga sangat menentukan ketahanan
pangan individu/rumah tangga.
Lebih jauh Simatupang (1999) mengungkapkan bahwa
ketahanan pangan tingkat komunitas lokal merupakan syarat
keharusan tetapi tidak cukup menjamin ketahanan pangan
untuk seluruh rumah tangga.Selanjutnya ketahanan pangan
tingkat regional merupakan syarat keharusan bagi keta-
hanan pangan tingkat komunitas lokal tetapi tidak cukup
menjamin ketahanan pangan komunitas lokal. Pada akhirnya
ketahanan pangan tingkat nasional tidak cukup menjamin
terwujudnya ketahanan pangan bagi semua orang, setiap
saat sehingga dapat mencukupi kebutuhan pangan agar
dapat hidup sehat dan produktif.
Sawit dan Ariani (1997) mengemukakan bahwa pe-
nentu utama ketahanan pangan di tingkat nasional, regional
dan lokal dapat dilihat dari tingkat produksi, permintaan,
persediaan dan perdagangan pangan. Sementara itu
penentu utama di tingkat rumah tangga adalah akses
terhadap pangan, ketersediaan pangan dan risiko yang
terkait dengan akses serta ketersediaan pangan tersebut.
Menurut FAO (1996) salah satu kunci terpenting dalam
mendukung ketahanan pangan adalah tersedianya dana
yang cukup (negara dan rumah tangga) untuk memperoleh
pangan. Indikator ketahanan pangan juga dapat dilihat dari
pangsa pengeluaran pangan. Hukum Working 1943 yang
dikutip oleh Pakpahan dkk. (1993) menyatakan bahwa
pangsa pengeluaran pangan mempunyai hubungan negatif
dengan pengeluaran rumah tangga, sedangkan ketahanan
pangan mempunyai hubungan yang negatif dengan pangsa
pengeluaran pangan. Hal ini berarti semakin besar pangsa
pengeluaran pangan suatu rumah tangga semakin rendah
37
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

ketahanan pangannya.Pengukuran seperti ini juga digunakan


oleh Rachman dan Suhartim (1996) dalam mengkaji
ketahanan pangan masyarakat berpendapatan rendah di
Jawa Tengah dan Nusa Tenggara Barat.
Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mema-
hami masalah pangan dan kemiskinan secara menyeluruh
dan terpadu adalah dengan menggunakan kerangka kerja
sustainable livelihood approach yang dikembangkan oleh
DFID (Departement For International Develompment)dan
konsep entitlement yang diperkenalkan Amartya Sen.
Kerangka kerja ini menggambarkan manusia (individu
maupun kelompok) merupakan penggerak berbagai aset dan
kebijakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan mengatasi
berbagai masalah dan ancaman. Menurut pendekatan
Sustainaibie Livelihood (Twigg, 1998), ada lima sumber
kehidupan yang dimiliki oleh setiap individu atau unit sosial
yang lebih tinggi di dalam upayanya mengembangkan
kehidupannya yaitu: (i) humane capital, yakni modal yang
dimiliki berupa keterampilan, pengetahuan, tenaga kerja,
dan kesehatan; (ii) social capital, adalah kekayaan sosial
yang dimiliki masyarakat seperti jaringan, keanggotaan dari
kelompok-kelompok, hubungan berdasarkan kepercayaan,
pertukaran hak yang mendorong untuk berkoperasi dan juga
mengurangi biaya-biaya transaksi serta menjadi dasar dari
sistem jaringan pengaman sosial yang informal; (iii) natural
capital adalah persediaan sumber daya alam seperti tanah,
hutan, air, kualitas udara, perlidungan terhadap erosi,
keanekaragaman hayati, dan lainnya; (iv) physical capital,
adalah infrastruktur dasar jalan, saluran irigasi, sarana
komunikasi, sanitasi dan persediaan air yang memadai, akses
terhadap komunikasi, dsbnya; dan (v) financial capital,
adalah sumber-sumber keuangan yang digunakan oleh
38
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

masyarakat untuk mencapai tujuan-tujuan kehidupannya


seperti uang tunai, persediaan dan peredaran uang reguler.
Hubungan individu atau unit sosial yang lebih tinggi
terhadap pangan dalam studi ini didasarkan pada konsep
entitlement atau hak terhadap pangan.Dalam konsep ini,
memproduksi dan mendapatkan pangan bagi manusia
adalah hak asasi.
Dalam konsep entitlement sebagaimana dirumuskan
oleh Amartya Sen (dalam Witoro, 2003) terdapat beberapa
cara manusia dalam mengakses pangan yaitu: (i) direct
entitlement, yakni hak atas pangan yang diperoleh melalui
hubungan; (ii) hubungan di dalam kegiatan proses produksi
pangan; (iii) exchange entitlement, yakni hak dan akses atas
pangan yang diperoleh melalui hubungan tukar menukar
jasa atau keahlian; (iv) trade entitlement, yakni hak atas
pangan yang diperoleh melalui hubungan jual beli komoditi
yang diproduksi sendiri; dan (v) social entitlement, yakni hak
dan akses terhadap pangan yang diperoleh melalui pertu-
karan sosial di antara anggota komunitas sosial. Sedangkan
berdasarkan definisi ketahanan pangan dari FAO (1996) dan
UU Rl No. 7 tahun 1996, yang mengadopsi definisi dari FAO,
ada 4 komponen yang harus dipenuhi untuk mencapai
kondisi ketahanan pangan yaitu: (i) kecukupan ketersediaan
pangan (availability); (ii) stabilitas ketersediaan pangan dari
musim ke musim (stability); (iii) aksesibilitas/keterjangkauan
terhadap pangan serta (assesibility); (iv) kualitas/keamanan
pangan (safety).
Sistem pangan individu, keluarga atau masyarakat
yang lebih luas bukanlah sesuatu yang statis tetapi dinamis.
Dinamika ini antara lain dipengaruhi oleh tingkat kerentanan
(vulnerability) dan kemampuan individu atau unit sosial yang
lebih besar dalam menghadapi perubahan. Penyebab
39
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

kerentanan adalah (1) shock yaitu perubahan mendadak dan


tidak terduga (karena alam, ekonomi, konflik, dan lainnya).
(2) Trendadalah perubahan yang masih dapat diamati seperti
pertumbuhan penduduk, perkembangan teknologi, pertum-
buhan ekonomi, dan perkembangan politik). (3) Seasonally
atau musiman yang dapat diperkirakan dengan hampir pasti,
seperti perubahan secara musiman dari harga, produksi, dan
iklim. Setiap individu dan unit sosial yang lebih besar
mengembangkan sistem penyesuaian diri dalam merespon
perubahan tersebut (shocks, trends, dan seasonally).
Renspons itu bersifat jangka pendek yang disebut coping
mechanism atau yang lebih jangka panjang yang disebut
adaptive mechanism, Mekanisme dalam menghadapi
perubahan dalam jangka pendek terutama bertujuan untuk
mengakses pangan (entitlement), sedangkan jangka panjang
bertujuan untuk memperkuat sumber-sumber kehidupannya
(livelihood assets). Ketidakmampuan menyesuaikan diri
dalam jangka pendek akan membawa ke kondisi rawan
pangan. Penyesuaian rawan pangan yang tidak memperhi-
tungkan aspek penguatan sumber-sumber kehidupan dalam
jangka panjang justru tidak akanmenjamin keberlanjutan
ketahanan pangan individu maupun unit sosial yang lebih
tinggi. Situasi dan kondisi individu, keluarga, masyarakat
maupun unit sosial yang lebih tinggi terkait dan dipengaruhi
oleh berbagai faktor dari luar. Sistem pangan sangat
dipengaruhi oleh struktur (institusi dan tingkatannya) dan
proses (kebijakan) di dalam sistem tersebut. Pendekatan SM
menekankan pemahaman akan keterkaitan antara persoalan
mikro dan makro.
Paradigma baru pembangunan ketahanan pangan
lebih menekankan pada pemantapan ketahanan pangan

40
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

rumah tangga yang didukung dengan daya beli dan


keberdayaan masyarakat.

Tabel : 2. 1
Perubahan Paradigma Penetapan Ketahanan Pangan

Pendekatan Paradigma Lama Paradigma baru


Pendekatan Pemantapan Pemantapan ketahanan
pengembangan ketahanan pangan pangan rumah tangga
pada tatanan
makro/agregat
Pendekatan manajemen Pola sentralistik Pola desentralistis
pembangunan
Pendekatan utama Dominasi Dominasi peran
pembangunan pemerintah masyarakat
Fokus pengembangan Bertumpu pada Pengembangan
komoditas pangan beras komoditas pangan
secara keseluruhan
Upaya mewujudkan Pengadaan pangan Peningkatan daya beli
keterjangkauan rumah murah
tangga atas pangan
Sumber: Dewan Katahanan Pangan, 2001

Ketersediaan pangan mengisyaratkan adanya rata-rata


pasokan pangan yang cukup tersedia setiap saat. Stabilitas
distribusi pangan didefinisikan sebagai kemampuan
meminimalkan kesenjangan ketersediaan pangan terhadap
permintaan konsumsi pangan, khususnya pada tahun atau
musim sulit.Aspek ketersediaan mencakup tingkat nasional,
wilayah dan rumah tangga.Ketersediaan diharapkan sampai
tingkat rumah tangga minimal 2200 kkal/kap/hari dan
protein 57 gram/kap/hah. Aspek ketersediaan dapat

41
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

dipenuhi tidak hanya dari potensi domestik saja tetapi juga


dari perdagangan antar daerah maupun impor dalam
perdagangan luar negeri. Namun demikian akan sangat
berbahaya jika suatu wilayah hanya menggantungkan aspek
ketersediaan dari impor. Hal ini dikarenakan perdagangan
pangan merupakan residual atas terpenuhinya kebutuhan
domestiknya, sehingga berimplikasi pada pasar pangan yang
cenderung bersifat thin market.
Pentingnya ketahanan pangan seperti yang ditunjuk-
kan oleh Timmer (1996; dalam Amang dan Sawit, 2001) yang
menyimpulkan dari studinya untuk kasus Indonesia, Jepang,
dan Inggris bahwa tidak satupun negara yang dapat
mempertahankan proses pertumbuhan ekonomi tanpa
terlebih dahulu memecahkan masalah ketahanan pangan.
Untuk Indonesia, perekonomian beras terbukti secara
signifikan merupakan pendukung pesatnya pertumbuhan
ekonomi Indonesia sejak 1960-an. Selain itu, pentingnya
ketahanan pangan antara lain karena adanya fakta bahwa
ketersediaan pangan yang cukup secara nasional ternyata
tidak menjamin adanya ketahanan pangan tingkat wilayah
(regional), rumah tangga dan individu. Hal ini ditunjukkan
antara lain dari studi yang dilakukan oleh Saliem (2001).
Terkait dengan fakta tersebut, maka masalah bagaimana
mengelola ketersediaan pangan yang cukup tersebut agar
dapat diakses oleh rumah tangga/individu di masing-masing
wilayah merupakan isu menarik untuk ditelaah. Pengelolaan
pangan terkait dengan masalah bagaimana mengelola
cadangan pangan. Dalam hal ini, manajemen cadangan
pangan merupakan salah satu aspek yang belum banyak
dikaji secara baik. Ketersediaan pangan tingkat nasional dan
regional tidak menjamin adanya ketahanan pangan tingkat
rumah tangga atau individu. Hal ini karena di samping
42
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

ketersediaan pangan, ketahanan pangan rumah tangga/


individu sangat ditentukan pula oleh akses mereka untuk
mendapat pangan tersebut.
Undang-undang Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan
pada Pasal 47 menyebutkan bahwa cadangan pangan nasio-
nal terdiri dari cadangan pangan pemerintah dan cadangan
pangan masyarakat. Cadangan pangan pemerintah ditetap-
kan secara berkala dengan memperhitungkan tingkat
kebutuhan nyata pangan masyarakat dan ketersediaan,
serta mengantisipasi terjadinya kekurangan pangan.
Cadangan pangan pemerintah adalah cadangan pangan yang
dikelola atau dikuasai pemerintah. 'Keadaan darurat' adalah
terjadinya peristiwa bencana alam, paceklik yang hebat, dan
sebagainya yang terjadi di luar kemampuan manusia untuk
mencegah atau menghindarinya meskipun dapat diperki-
rakan (Perum Bulog, 2004). Yang dimaksud pemerintah disini
adalah pemerintah pusat karena baru pemerintah pusatlah
yang menguasai cadangan pangan secara signifikan. Yang
dimaksud pedagang disini adalah semua pihak yang
melakukan aktifitas pemasaran dan distribusi bahan pangan
termasuk usaha penggilingan. Sementara itu yang dimaksud
dengan cadangan pangan rumah tangga adalah cadangan
pangan yang dikuasai rumah tangga baik secara individual
maupun secara kolektif dalam bentuk misalnya lumbung
pangan.
Cadangan pangan yang dikuasai oleh pemerintah
maupun rumah tangga masing-masing memiliki fungsi yang
berbeda. Cadangan pangan yang dikuasai pemerintah
berfungsi untuk: (1) Melakukan operasi pasar murni (OPM)
dalam rangka stabilisasi harga, (2) Memenuhi kebutuhan
pangan akibat bencana alam atau kerusuhan sosial, (3)
Memenuhi jatah beras golongan berpendapatan tetap
43
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

dalam hal ini TNI/PoIri, dan (4) Memenuhi penyaluran


pangan secara khusus seperti program-Raskin. Cadangan
pangan yang dikuasai pedagang umumnya berfungsi untuk:
(1) mengantisipasi terjadinya lonjakan permintaan, dan (2)
mengantisipasi terjadinya keterlambatan pasokan pangan.
Sementara itu, cadangan pangan yang dikuasai oleh rumah
tangga baik secara individu maupun secara kolektif berfungsi
untuk: (1) mengantisipasi terjadinya kekurangan bahan
pangan pada musim paceklik, dan (2) mengantisipasi
ancaman gagal panen akibat bencana alam seperti serangan
hama dan penyakit, anomali iklim, dan banjir. Perlu
disebutkan bahwa aktifitas ekonomi pangan di Indonesia
secara prinsip dijalankan berdasarkan mekanisme pasar
bebas.
Dalam Undang-undang No. 7 tahun 1996 tentang
Pangan, khususnya yang dinyatakan pada pasal 45, 46, 47,
dan 48 pada prinsipnya menjelaskan bahwa untuk
mewujudkan ketahanan pangan merupakan tanggungjawab
pemerintah bersama masyarakat, dimana pemerinlah
menyelenggarakan, membina dan atau mengkordinasikan
segala upaya untuk mewujudkan ketahanan pangan, antara
lain melalui penyelenggaraan cadangan pangan nasional,
yang terdiri atas cadangan pangan pemerintah dan cada-
ngan pangan masyarakat. Hal ini dipertegas oleh Peraturan
Pemerintah No. 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan
(pasal 5 ayat 1 dan 2) yang menyatakan bahwa cadangan
pangan nasional terdiri atas cadangan pangan pemerintah
dan cadangan pangan masyarakat. Adapun cadangan pa-
ngan pemerintah terdiri atas cadangan pangan pemerintah
desa, pemerintah kabupaten/kota, pemerintah propinsi, dan
cadangan pangan pemerintah pusat.

44
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

Sebagaimana disebutkan dimuka bahwa cadangan


pangan masyarakat diatur dalam Kepmendagri dan Otda No.
6 Tahun 2001 tentang Lumbung Pangan Masyarakat
Desa/Kelurahan. LPMD/K adalah lembaga milik masyarakat
desa/kelurahan yang bergerak di bidang penyimpanan,
pendistribusian, pengolahan bahan pangan yang dibentuk
dan dikelola oleh masyarakat. Pemberdayaan Lumbung
Pangan adalah suatu proses dimana lumbung pangan
didorong untuk semakin mandiri dalam mengembangkan
usahanya sehingga lumbung pangan dapat tumbuh dan
berkembang menjadi lembaga penggerak ekonomi masya-
rakat di perdesaan, yang mampu meningkatkan kesejahte-
raan serta mewujudkan ketahanan pangan masyarakat.
Selanjutnya, dalam rangka mewujudkan ketahanan
pangan masyarakat, terdapat sejumlah kebijakan dan atau
peraturan tambahan yang mendukung pelaksanaan UU No
7/1996 tentang Pangan dan PP No 68/2002 tentang
Ketahanan Pangan, yang ditindaklanjuti dengan : (i) Inpres
Nomor 13 Tahun 2005 tentang Kebijakan Perberasan; (ii)
SKB. Menko Ekuin dan Menko Kesra Nomor KEP-
46/M.EKON/08/2005 dan Nomor 34/KEP/MENKO/KESRA/
VIII 2005 tentang Pedoman Umum Koordinasi Pengelolaan
Cadangan Beras Pemerintah. Peraturan Memperindag
Nomor 22 Tahun 2005 tentang Penggunaan Cadangan Beras
Pemerintah untuk pengendalian harga; (iii) Surat Menteri
Pertanian kepada Gubernur dan Bupati/Walikota se-
lndonesia Nomor 64/PP.310/M/3/2006 tanggal 13 Maret
2006 tentang Pengelolaan Cadangan Pangan.
Meskipun sudah diatur dalam PP No 68/2002,
cadangan pangan pemerintah desa sebagai bagian dari
cadangan pangan pemerintah sampai dengan saat ini belum
diatur secara tersendiri dalam sebuah peraturan pemerin-
45
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

tah, padahal tentang cadangan pangan masyarakat sudah


diatur sejak tahun 2001 melalui Kepmendagri No. 6/2001
tentang Lumbung Pangan Masyarakat Desa (LPMD).
Cadangan pangan pemerintah desa seharusnya ditetapkan
secara berkala dengan memperhitungkan tingkat kebutuhan
nyata pangan masyarakat dan ketersediaan, serta mengatasi
terjadinya kekurangan dan keadaan darurat.
Dengan berjalannya mekanisme economic heavy, maka
program pemberdayaan dalam jangka panjang tidak terjerat
dalam ketergantungan terhadap pihak pemerintah. Sebab
jika sebuah program pemerdayaan terjerat ketergantungan
pada pemerintah, maka program tersebut akan mati atau
tidak berjalan ketika intervensi pemerintah dihentikan.
Dengan kata lain, social heavy pada konteks ini tidak menjadi
tujuan akahir, namun lebih menjadi instrumen untuk
memberi "nafas" bagi keberlanjutan social heavy.
2. Ketersediaan Pangan
Di Indonesia sesuai dengan Undang-undang No. 7
Tahun 1996, pengertian ketahanan pangan adalah kondisi
terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin
dari: (1) tersedianya pangan secara cukup, baik dalam
jumlah maupun mutunya; (2) aman; (3) merata; dan (4)
terjangkau. Berdasarkan pengertian tersebut, untuk mewu-
judkan ketahanan pangan dapatdijabarkansebagai berikut:
(a). Terpenuhinya pangan dengan kondisi ketersediaan yang
cukup, diartikan ketersediaan pangan dalam arti luas,
mencakup pangan yang berasal dari tanaman, ternak,
dan ikan untuk memenuhi kebutuhan atas karbohidrat,
protein, lemak, vitamin dan mineral serta turunannya,
yang bermanfaat bagi pertumbuhan kesehatan manusia;

46
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

(b). Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang aman,


diartikan bebas dari cemaran biologis, kimia, dan benda
lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan memba-
hayakan kesehatan manusia, serta aman dari kaidah
agama;
(c) Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata,
diartikan pangan yang harus tersedia setiap saat dan
merata di seluruh tanah air:
(d) Terpenuhinya pangan dengan kondisi terjangkau,
diartikan pangan mudah diperoleh rumah tangga
dengan harga yang terjangkau.
Sistem ketersediaan (food availability): yaitu keter-
sediaan pangan dalam jumlah yang cukup aman dan bergizi
untuk semua orang dalam suatu negara baik yang berasal
dari produksi sendiri, impor, cadangan pangan maupun
bantuan pangan. Ketersediaan pangan ini harus mampu
mencukupi pangan yang didefinisikan sebagai jumlah kalori
yang dibutuhkan untuk kehidupan yang aktif dan sehat..
Menurut Patrick Webb (2003) ketersediaan pangan
dipengaruhi oleh empat faktor yaitu produksi, pasokan
pangan dari luar (impor), cadangan pangan dan bantuan
pangan. Produksi pangan dipengaruhi oleh luas panen,
produktifitas padi dan diversifikasi pangan.Ketersediaan
pangan dipengaruhi oleh jumlah penduduk, jumlah
penduduk sangat berpengaruh pada jumlah ketersediaan
pangan. Mekanisme ketersediaan pangan secara skematis
terlihat pada diagram alir sebagai berikut:

47
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

Diagram : 2.5
Mekanisme Ketersediaan Pangan

Produksi

Ketersediaan Pasokan Pangan


Pangan Per dari luar (impor)
kapita
Luas Penen Bantuan Pangan
Produktifitas Sarana dan
Diversifikasi produk prasarana Cadangan Pangan
Pemasaran
Sarana dan
prasarana Iklim, Hama, Bencana
Pemasaran Alam, dll

Jumlah Penduduk

Gambar 6. Sub Sistem Ketersediaan Ketahanan Pangan Sumber :


Patrick Webb and Beatrice Rogers. 2003 (dimodifikasi)

Diagram di atas terlihat bahwa iklim di suatu tempat


juga mempengaruhi ketersediaan pangan khususnya beras.
Pada satu daerah yang iklimnya tropis dengan dua musim
pada saat kemarau atau musim kering ketersediaan air
untuk tanaman terutama irigasi sangat kurang sehingga
areal pertanian tidak dapat dpergunakan untuk mempro-
duksi beras. Di Indonesia khususnya beberapa wilayah di
Jawa Tengah, terdapat wilayah dengan musim kemarau lebih
panjang dibandingkan dengan musim penghujan. Wilayah
tersebut antara lain Kabupaten Rembang, Pati, Blora dan
Grobogan. Pada wilayah tersebut areal persawahan hanya
dapat ditanami paling banyak 2 kali dalam satu tahun yaitu

48
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

sekali padi dan sekali palawija. Kondisi iklim seperti ini


sangat berpengaruh terhadap produksi beras dan pada
gilirannya juga berpengaruh terhadap penyediaan beras dari
lokal kabupaten.
Selain itu juga dari diagram di atas terlihat bahwa
untuk meningkatkan dan mempertahankan ketersediaan
pangan khususnya beras juga dilihat dari aspek produksi.
Untuk meningkatkan produksi beras ditempuh berbagai
upaya antara lain:
a. Peningkatan komoditas pangan agar tercapai lonjakan
produksi pangan yang dapat dihasilkan dalam negeri,
sekaligus untuk menjaga tingkat efisiensi pada sistem
produksi. Peningkatan komoditas terutama beras harus
dapat mencapai surplus beras. Peningkatan produksi
beras dilakukan dengan berbagai cara dan upaya. Upaya
tersebut antara lain dengan pengefektifan lumbung
pangan, pengurangan konsumsi beras dengan diversi-
fikasi pangan.
b. Pemanfaatan sumberdaya lahan, terutama yang
”tertidur” dan tidak produktif khusus bagi mereka yang
akan memanfaatkan sumberdaya lahan terbengkalai
tersebut. Lahan tidur merupakan lahan yang kurang atau
tidak produktif. Peningkatan produksi beras dapat
dilakukan dengan memanfaatkan lahan yang kurang
produktif. Pengolahan lahan yang baik dilakukan melalui
mekanisasi pertanian dengan traktor untuk membalik dan
meratakan tanah agar siap ditanami. Pengolahan lahan
yang baik untuk mengurai unsur hara di dalam tanah
sehingga memberikan supprot makanan bagi tanaman
padi. Pemanfaatan lahan dalam konteks ketersediaan
beras harus semaksimal mungkin untuk tanaman padi,
dan bukan tanaman yang lain.
49
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

c. Perluasan areal tanaman pangan, terutama ke Luar Jawa,


untuk mendukung penyediaan lahan berkelanjutan seluas
15 juta hektar untuk produksi pangan strategis. Perluasan
areal tanam adalah untuk meningkatkan produksi padi
dengan cara membuka areal baru atau mengalih
fungsikan lahan pertanian sawah dari yang ditanami
tanaman bukan padi ditanami dengan tanaman padi.
Perluasan areal tanaman padi juga dilakukan dengan cara
membuka areal baru yaitu dengan cara membuka hutan
untuk dijadikan lahan sawah.
d. Pengembangan konservasi dan rehabilitasi lahan, meliputi
usaha-usaha berbasis pertanian, peternakan, perkebu-
nan, perikanan dan kehutanan dan peningkatan
kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam pencegahan
kerusakan serta rehabilitasi lahan-lahan usaha pertanian
dan kehutanan secara luas.
e. Peningkatan efisiensi penanganan pasca panen dan
pengolahan melalui perakitan dan pengembangan
teknologi pasca panen dan pengolahan tepat guna
spesifik lokasi untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas
produk, peningkatan kesadaran dan kemampuan petani/
nelayan untuk memanfaatkan teknologi pasca panen dan
pengolahan yang tepat untuk meningkatkan efisiensi dan
kualitas produk, mendorong pemanfaatan teknologi dan
peralatan tersebut melalui penyediaan insentif bagi
pelaku usaha, khususnya skala kecil. Peningkatan efisiensi
pasca panen dilakukan mulai dari perontokan sampai
dengan penyelepan dan pengepakan beras. Toleransi
kehilangan beras pasca panen adalah 10% dari total
produksi.
f. Pelestarian sumberdaya air dan pegelolaan daerah aliran
sungai melalui penegakan peraturan untuk menjamin
50
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam secara ramah


lingkungan, rehabilitasi daerah aliran sungai dan lahan
kritis, konservasi air dalam rangka pemanfaatan daerah
curah hujan dan aliran permukaan, pengembangan
infrastruktur pengairan untuk meningkatkan efisiensi
pemanfaatan air, serta penyebarluasan penerapan tekno-
logi ramah lingkungan pada usaha-usaha yang meman-
faatkan sumberdaya air dan daerah aliran sungai.
g. Perbaikan jaringan irigasi dan drainase dengan fokus pada
rehabilitasi 700 ribu hektar saluran irigasi terutama di
daerah lumbung pangan sekaligus melalui pemanfaatan
dana stimulus fiscal serta upaya lain untuk mengantisipasi
dampak krisis ekonomi global. Perbaikan jaringan irigasi
merupakan pendukung utama untuk meningkatkan
produksi padi. Pembangunan irigasi baru untuk mening-
katkan pola tanam dari sekali menanam padi dalam satu
tahun menjadi minimal dua kali tanam padi selama satu
tahun. Pembangunan saluran irigasi juga diikuti dengan
pembangunan embung dan dam agar suplay air baku
menjadi lancar.
Berkaitan sumber daya air untuk pertanian Manning
(2008) dalam British Food Journal Vol. 110 No.8 tahun 2008
mengatakan:
”One of the key drivers of water security is the current and
continued ability of water resources in terms of quality and
quantity to meet the often-conflicting needs of domestic
supply, crop and livestock production and amenity uses.
This includes the requirement to irrigate food production
areas in order to improve food yields and feed the growing
global human population and mitigate the impact of any
environmental change. (Manning 2010)

51
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

Pendapat Manning (2008) di atas menunjukkan


bahwa untuk meningkatkan ketersediaan dan produksi
pangan air baku memiliki peran sangat penting. Keter-
sediaan sumber air baik secara kualitas maupun kuantitas
akan sangat berpengaruh pada peningkatan hasil pertanian.
Hal ini sejalan dengan Cribb (2013) dalam Proquest Agri-
culture Journal April 2013, menyebutkan :
”The first task in solving the growing crisis global food
insecurity is to invent how we produce food. We need
entire agriculture founded on ecosystem thinking, which
produce more food while using far less soil, water, energy,
and othe inputs and is resilient to climate shocks.” Cribb
(2013)
Pendapat Cribb (2013) di atas menunjukkan bahwa
permasalahan ketahanan pangan akan dapat diselesaikan
dengan meningkatkan produksi makanan khususnya beras.
Untuk meningkatkan produksi beras mereka membutuhkan
penemuan-penemuan di bidang pertanian secara menye-
luruh. Menurut Cribb akan sangat baik apabila produksi
meningkat namun efisien dalam penggunaan tanah, air,
energi dan input lainnya.
3. Kerangka Pikir
Teori yang dikemukakan Grindle terdiri dari dua
kelompok fenomena yaitu isi kebijakan dan konteks
kebijakan. Kelompok fenomena isi kebijakan Grindle menge-
mukakan 6 fenomena yang mempengaruhi implementasi.
Keenam fenomena tersebut adalah : Kepentingan yang
dipengaruhi, Tipe manfaat, Derajat perubahan yang diharap-
kan, Letak pengambilan keputusan, Pelaksanaan Program
dan sumberdaya yang dilibatkan. Dari enam fenomena
dalam kelompok fenomena isi kebijakan tersebut yang
digunakan dalam penelitian ini adalah 4 fenomena yaitu tipe
52
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

manfaat, derajad perubahan yang diharapkan, pelaksanaan


program dan sumberdaya yang dilibatkan.
Dalam penelitian implementasi kebijakan ketersediaan
beras di Kabupaten Rembang empat fenomena tersebut
yang diprediksi berpengaruh cukup besar terhadap
keberhasilan implementasi kebijakan ketersediaan beras di
Kabupaten Rembang. Dua fenomena lainnya yaitu kepen-
tingan yang dipengaruhi dan letak pengambilan keputusan
menurut peneliti kurang relevan dan tidak memberikan
kontribusi terhadap implementasi kebijakan ketersediaan
beras.
Kelompok fenomena yang kedua dari Grindle adalah
konteks kebijakan. Kelompok fenomena konteks kebijakan
terdiri dari tiga fenomena yaitu Kekuasaan, kepentingan dan
strategi aktor yang terlibat, karakteristik lembaga dan
penguasa serta Kepatuhan dan daya tanggap. Dari ketiga
fenomena tersebut hanya fenomena kepatuhan dan daya
tanggap yang digunakan dalam penelitian ini.
Namun demikian, dalam konteks implementasi kebi-
jakan ketersediaan, beras menurut peneliti ada beberapa
fenomena lain di luar tiga fenomena Grindle dalam kelom-
pok konteks kebijakan. Adapun fenomena lain tersebut
adalah : kondisi lahan pertanian, dukungan infrastruktur,
dukungan stakeholder dan kondisi alam (iklim dan cuaca)
yang berpengaruh besar terhadap implementasi kebijakan
ketersediaan beras di Kabupaten Rembang.
Teori yang dikemukakan Van Meter dan Van Horn
mengemukakan ada 6 (enam) fenomena yang berpengaruh
terhadap implementasi kebijakan.yaitu (1) standard dan
tujuan kebijakan, (2) sumberdaya, (3) Aktivitas implementasi
dan komunikasi antar organisasi, (4) Karakteristik dari agen
pelaksana/implementori, (5) Kondisi ekonomi, sosial dan
53
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

politik; (6) Kecenderungan (disposition) dari Pelaksana/


Implementor.
Teori yang dikemukakan oleh George Edward III
keberhasilan implementasi dipengaruhi oleh empat feno-
mena yaitu (1) komunikasi, (2) struktur organisasi, (3)
sumberdaya dan (4) disposisi.Dalam penelitian ini peneliti
menggunakan fenomena komunikasi dan struktur organisasi
untuk melengkapi sekelompok fenomena yang berpengaruh
terhadap keberhasilan implementasi kebijakan ketersediaan
beras di Kabupaten Rembang. Sedangkan fenomena sumber
daya sudah menggunakan teori Grindle dan disposisi
menggunakan teori dari Van Metter Van Horn.
Penggambaran proses penetapan kebijakan keterse-
diaan beras mancakup beberapa hal yaitu perumusan isu
ketersediaan beras, perumusan arah ketersediaan beras dan
perumusan program dan kegiatan ketersediaan beras. Selain
itu juga digambarkan hasil yang telah dicapai dalam rangka
ketersediaan pangan di Kabupaten Rembang yang berisi
antara lain berupa neraca ketersediaan pangan yang
menggambarkan sisi Suplly dan Demand ketersediaan beras
di Kabupaten Rembang, surplus atau defisit dalam rangka
ketersediaan beras dan strategi mengatasi defisit atau
mempertahankan surplus beras. Penggambaran kebijakan
keterediaan pangan juga dilihat dari pengelolaan atau
manajemen ketahanan pangan yang diawali dari peren-
canaan sampai dengan evaluasi kebijakan ketahanan
pangan. Penggambaran tersebut dengan cara menganalisis
apakah pelaksaaan kebijakan ketersediaan beras sesuai
dengan ketentuan dalam PP 68 tahun 2002 tentang
Ketahanan Pangan. Secara operasional pelaksanaan PP 68
telah diterjemahkan dalam Kebijakan Umum Ketahanan
Pangan 2010 – 2014 yang disusun oleh Dewan Ketahanan
54
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

Pangan Nasional. Kebijakan dan rencana aksi telah disusun


oleh Dewan Ketahanan Pangan Nasional dan menjadi
pedoman bagi pemerintah Kabupaten/Kota untuk melak-
sanakan kebijakan dan rencana aksi tersebut.
Berdasarkan analisis terhadap implementasi kebijakan
ketersediaan beras selanjutnya diidentifikasi aspek-aspek
penghambat dan pendukung keberhasilan penyediaan beras
bagi penduduk secara aman dan berkelanjutan. Identifikasi
terhadap aspek-aspek tersebut dibagi menjadi dua yaitu
faktor internal dan eksternal. Faktor internal terdiri dari isi
kebijakan (content of policy) yang merupakan teori dari
Grindle (1987), sikap dan kemampuan pelaksana yang
merupakan teori dari van Metter dan van Horn (1985) dan
struktur organisasi/birokrasi yang dikemukakan oleh George
Edward III (1980). Sedangkan faktor eksternal yang terdiri
dari latar belakang kebijakan atau Context of Policy (Grindle,
1987), dan Komunikasi merupakan konsep yang disusun
oleh Goerge Edward III (1980). Baik faktor internal maupun
eksternal lebih menekankan pada aspek proses pelaksanaan
kebijakan beras. Analisis aspek penghambat internal meng-
gunakan frame dari Grindle memfokuskan pada content of
policy yang meliputi tipe manfaat kebijakan yang dirasakan
oleh kelompok sasaran; perubahan yang diinginkan melalui
kebijakan ini; pelaksanaan program dan sumberdaya yang
dilibatkan dalam implementasi kebijakan tersebut. Analasis
faktor eksternal pada aspek context of policy difocuskan
pada kepatuhan dan daya tanggap dari masyarakat; kondisi
lahan pertanian; ketersediaan infrastruktur; dukungan stake-
holders; kondisi iklim dan cuaca. Analisis faktor internal
selain menggunakan frame dari grindle juga digunakan
frame dari Van Metter dan van Horn (1985). Fokus yang
diamati dalam identifikasi aspek adalah sikap dan
55
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

kemampuan pelaksana yang dilihat dari unsur-unsur


kemampuan aparat; ketersediaan saprotan; dan pembe-
rantasan hama. Sedangkan analisis faktor internal dari
George Edward III difokuskan pada struktur organisasi yaitu
pada standard operating procedures (SOPs), fragmentasi,
kerjasama dan koordinasi. Analisis faktor eksternal dari
George Edward III yaitu aspek komunikasi difokuskan pada
transmisi yang baik, kejelasan komunikasi dan konsistensi
pemerintah dalam melaksanakan komunikasi.
Hasil dari deskripsi implementasi kebijakan keterse-
diaan beras eksisting dan identifikasi aspek-aspek pendu-
kung dan penghambat digunakan untuk merumuskan model
kebijakan baru yang lebih efisien dan efektif dalam menye-
diakan beras bagi penduduk. Model tersebut berupaya
meningkatkan ketersediaan beras yang cukup, aman,
bermutu dan terjangkau.
Kerangka Implementasi Kebijakan Ketahanan Pangan
digambarkan dalam diagram sebagai berikut :

56
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

Diagram : 2.6
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN
(Studi Implementasi Kebijakan Ketersediaan Beras Dalam
Rangka Peningkatan Ketahanan Pangan di Kabupaten Rembang)

 UU 7/ 1996 tentang Pangan


 PP 68 tahun 2002 ttg ketahanan pangan
 Perda No 1 tahun 2010 ttg RPJPD Kab Rembang
 Perda No, 10 tahun 2010 ttg RPJMD Kab.
Rembang 2010 - 2015
 Perbub no. 16 tahun 2010 ttg RKPD tahun 2011

Implementasi Kebijakan Ketersediaan Beras


Dalam Rangka Peningkatan Ketahanan Pangan

Kebijakan Ketersediaan Analisis Ketersediaan


Beras Kondisi Saat ini Beras Kondisi Saat ini

Deskripsi Implementasi, Aspek Penghambat


dan Pendukung Implementasi Kebijakan
Ketersediaan Beras

Isi Kebijakan (Content Latar Belakang


Of Policy) Grindle, Kebijakan (Context Of
1987 (Internal). Policy) Grindle, 1987.
Analisis Implementasi (Eksternal)
Kebijakan Ketersediaan
Sikap Dan
Kemampuan
Beras
Pelaksana Komunikasi
(Van Metter Van Horn, (George Edward III,
1985) (Internal) 1980)
(Internal -Eksternal)
Struktur Organisasi Model Implementasi Kebijakan
(George Edward III, Ketersediaan Beras, melalui :
Strategi Implementasi Kebijakan
1980) (Internal)
Ketersediaan Beras Yang cukup,
Aman, Bermutu Dan Terjangkau
Oleh Masyarakat.

Ketahanan Pangan

57
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

58
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

BAB III
ANALISIS MODEL IMPLEMENTASI
KEBIJAKAN PUBLIK

A. Analisis Implementasi Kebijakan Ketersediaan Beras Dalam


Rangka Peningkatan Ketahanan Pangan
1. Analisis Penetapan Kebijakan Ketersediaan Beras
Proses implementasi kebijakan ketersediaan beras
yang ada berdasarkan hasil survey adalah diawali dari
penetapan kebijakan ketersediaan beras. Proses pene-
tapan kebijakan diawali dari penyusunan permasalahan
atau agenda setting. Permasalahan yang muncul berkaitan
dengan ketersediaan beras adalah meningkatkan keter-
sediaan beras di Kabupaten Rembang sampai dengan
tahun 2015. Surplus beras di Kabupaten Rembang sampai
dengan tahun 2012 sebesar 57.541 ton. Kebijakan yang
diambil untuk memecahkan permasalahan tersebut adalah
“terjaminnya ketersediaan pangan dan akses masyarakat
terhadap pangan yang bermutu, bergizi, aman dan
terjangkau“.
Rumusan kebijakan tersebut dihasilkan melalui mekanisme
sebagai berikut:

59
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

Diagram 3.1.
Implementasi Kebijakan Ketersediaan Beras
Dalam Rangka Peningkatan Ketahanan Pangan.

Pemantapan
ketersediaan dan
cadangan pangan
yang memenuhi
kualitas, kuantitas
dan kontinuitas Rumusan Program
bagi masyarakat dan Kegiatan Sebagai
Melakukan koordinasi serta diversifikasi Implementasi dari
antar SKPD dan produk pangan Kebijakan
institusi terkait (RPJMD 2010 – dalamRPJMD dan
seperti Bulog (leading 2015)
Sector Bappeda – Renstra
Meningkatkan
BKP & P4K) (Jarang Ketersediaan
dilakukan) pangan dalam
jumlah, mutu,
keamanan maupun
PP 68 tahun harga yang
2002, terjangkau.
Perpres 83/2006 (Renstra BKP &
P4K)
Pembentukan Dewan
Ketahanan Pangan
Daerah Kabupaten
Belum pernah
Rembang Tahun 2009
melakukan rapat
(SK Nomor
koordanisi sampai
500/96/2009)(baru
dengan akhir tahun
dibentuk tahun 2009)
2012. Baru akan
direncanakan tahun
2013 (alasan tidak
disetujui
anggarannya)

Seharusnya perumusan kebijakan di tingkat


Kabupaten Rembang juga harus menunggu peran Dewan
Ketahanan Pangan Daerah sebagai sebuah forum
pengambil kebijakan tentang Ketahanan pangan. Secara
normative Dewan Ketahanan Pangan yang sudah terbentuk
seharusnya merumuskan kebijakan ketahanan pangan
daerah namun sampai akhir tahun 2012 sejak dibentuk
Dewan Ketahanan Pangan yang diketuai oleh Bupati
Rembang (ex-oficio) belum melakukan kegiatan apapun.

60
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

Bupati kurang focus terhadap ketahanan pangan yang


menurut beliau hasilnya tidak kasat mata sebagai sebuah
monumen selama kepemrintahannya, sehingga Bupati
tidak memprioritaskan ketahanan pangan sebagai salah
satu program suksesnya.
Kebijakan ketahanan pangan Kabupaten Rembang
diputuskan tidak melalui Dewan Ketahanan Pangan, namun
melalui mekanisme penyusunan RPJMD dan Renstra SKPD
memanfaatkan momentum penyusunan RPJMD pada awal
kepemerintah Bupati.
Dari analisis tersebut di atas maka diusulkan proses
perumusan kebijakan ketersediaan beras yang. pada
diagram berikut:
Diagram 3.2
Usulan Prosedur Penetapan Kebijakan Ketersediaan Beras
Di Kabupaten Rembang

Pembahasan
Melakukan dan
koordinasi antar Menyeleng- kesepaktan
SKPD dan garakan dengan
institusi terkait Forum DPRD
seperti Bulog SKPD,
(leading Sector Musrenbang
Pemantapan
Bappeda – BKP ketersediaan dan
Implementasi & P4K) Penyusunan cadangan pangan yang
PP 68 tahun RPJMD, memenuhi kualitas,
2002, RPKD, kuantitas dan kontinuitas
Perpres bagi masyarakat serta
83/2006 diversifikasi produk
pangan (RPJMD 2010 –
Pembentukan 2015)
Dewan Meningkatkan
Menyeleng- Ketersediaan pangan
Ketahanan
garakan dalam jumlah, mutu,
Pangan Daerah
Rakor 2 kali keamanan maupun
Kabupaten
Rembang Tahun setahun harga yang terjangkau.
(Renstra BKP & P4K)
2009 (SK Nomor
500/96/2009)
Rumusan Program
dan Kegiatan
Sebagai
Implementasi dari
Kebijakan dalam
RPJMD dan
61 Renstra
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

2. Analisis Kondisi Ketersediaan Beras


Berdasarkan hasil penelitian dengan para informan
dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan
ketersediaan beras di Kabupaten Rembang pada tahun
2012 adalah sebagai berikut:

Diagram 3.3
Mekanisme Peningkatan Ketersediaan Beras Saat ini
1. Pemanfaatan Sumberdaya
Lahan (masih banyak lahan
sawah yang tidak ditanami
padi)
2. Perluasan Areal Tanam
(terhambat karena alih fungsi Monitoring dan
Upaya mencapai dan penanaman komoditas Evaluasi dengan
ketersediaan lain) SKPD terkait (Dinas
beras yang 3. Pengembangan konservasi Pertanian dan
mencukupi dan rehabilitasi lahan (belum Kehutanan, DPU, Surplus Beras
(Upaya mampu meningkatkan areal BKP & P4K,
peningkatan BAPPEDA) (masih
54.234,82
padi)
produksi beras terbatas pada ton
4. Peningkatan Efisiensi
belum Penanganan Pasca Panen pengkajian atas data
terkoordinasi (tingkat kehilangan masih di bukan observasi)
antar pelaksana) atas 10%)
5. Pelestarian sumberdaya air
dan Pengelolaan DAS
(dilaksanakan tidak
berkelanjutan)
6. Perbaikan Jaringan Irigasi
dan Drainasse (belum
mampu memperbaiki semua
kerusakan)

Berdasarkan hasil penelitian upaya penyediaan beras


dilakukan dengan mekanisme semakin meningkatkan
peran pihak-pihak terkait termasuk Bulog untuk menyerap
hasil panen masyarakat. Secara diagramatis diagambarkan
sebagai berikut:

62
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

Diagram 3.4
Usulan MekanismePeningkatan Ketersediaan Beras

1. Pemanfaatan
Sumberdaya Lahan
2. Perluasan Areal Tanam
3. Pengembangan
konservasi dan
Upaya Monitoring
rehabilitasi lahan
Mencapai dan Evaluasi
4. Peningkatan Efisiensi
Ketersediaan dengan
Penanganan Pasca
Beras yang SKPD terkait Surplus Beras
Panen
Mencukupi (Dinas 57.541 ton
5. Pelestarian sumberdaya
(Peningkatan Pertanian
air dan Pengelolaan
Produksi dan
DAS
Beras) Kehutanan,
6. Perbaikan Jaringan
DPU, BKP &
Irigasi dan Drainasse
P4K,
BAPPEDA)

1. Peran Instansi
Pemerintah (SKPD
terkait)
2. Optimalisasi Peran
Bulog dalam membeli
hasil panen petani
3. Peran pedagang beras
dalam menyediakan
beras di Rembang
4. Perilaku masyarakat
dalam menyisakan
nasi di piring makan
dikurangi.

3. Analisis Manajemen Ketersediaan Beras


Analisis manajemen untuk menjaga ketersediaan
beras di Kabupaten Rembang meliputi gambaran dan
kajian bagaimana pemerintah merencanakan, melaksa-
nakan dan melakukan evaluasi terhadap kebijakan menjaga
dan meningkatkan ketersediaan beras di Kabupaten
Rembang. Gambaran dan kajian terhadap manajemen
ketersediaan beras diawali dengan perencanaan,
63
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

pengorganisasian, pelaksanaan dan monitoring dan


evaluasi.
a. Perencanaan
Perencanaan pelaksanaan kebijakan meningkat-
kan dan menjaga ketersediaan beras agar cukup, aman
dan terjangkau oleh masyarakat. perencanaan ketaha-
nan pangan di Kabupaten Rembang direncanakan
dalam kurun waktu jangka panjang, jangka menengah
dan jangka pendek. Perencanaan ketahanan pangan
tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Daerah (RPJPD) Kabupaten Rembang Tahun 2005 –
2025, RPJMD Kabupaten Rembang tahun 2010 – 2015
dan RKPD tahun 2012, 2013 dan tahun 2014
(direncanakan setiap tahun). Selain itu di tingkat SKPD
dalam hal ini Dinas Ketahanan Pangan dan P4K juga
menyusun perencanaan ketahanan pangan dalam
bentuk dokumen Rencana Strategis (Renstra) Badan
Ketahanan Pangan dan P4K serta Rencana Kerja
Tahunan (Renja) Badan Ketahanan Pangan dan P4K.
Perencanaan dalam rangka implementasi kebijakan
ketersediaan beras adalah sabagai berikut:

64
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

Diagram3.5.
Mekanisme Perencanaan Program Peningkatan Ketersediaan
Beras di Kabupaten Rembang Saat Ini

Perencanaan Jangka
Panjang Daerah (RPJPD)

Rencana Pembangunan
Jangka Menengah
Permasalahan Daerah (RPJMD)
berkaitan Pembahasan
dengan dengan DPRD
peningkatan
surplus beras Rencana Strategis
mencapai (Renstra) SKPD BKP dan
100.000 ton P 4K
pertahun
Rencana Kerja Kebijakan Umum APBD
Pemerintah Daerah (KUA), Prioritas dan
(RKPD) (hasil Plafon Anggaran RAPBD APBD
Musrenbang belum Sementara (PPAS)
sepenuhnya
diakomodasikan)

Rencana Kerja SKPD 1. Program Peningkatan


(Renja SKPD) (hasil Ketersediaan Pangan pada
Musrenbang belum BKP & P4K,
sepenuhnya 2. Program Peningkatan
diakomodasikan) Produksi Pertanian pada
Dinas Pertaninian dan
Kehutanan.
3. Program perbaikan irigasi
pada DPU
4. Program Peningkatan
Distribusi Beras pada
Disperangkop UMKM.

Diagram tersebut masih mengandung


kelemahan dalam proses penyusunan perencanaan,
kesepakatan dari hasil Rakor Ketahanan Pangan
seharusnya juga menjadi dasar dalam penetapan
kebijakan umum anggaran dan prioritas plafon
anggaran sementara. Selain itu penetapan kebijakan
dalam RKPD maupun RPJMD juga harus

65
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

mengakomodasikan aspirasi masyarakat yang diserap


melalui Musrenbang dan masa reses DPRD. Dengan
memperhatikan hal tersebut diharapkan perencanaan
ketersediaan beras benar-benar sesuai dengan
kebutuhan masyarakat. Secara detail dapat dilihat
pada diagram berikut:

66
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

Diagram 3.6
Usulan Mekanisme Perencanaan Program Peningkatan
Ketersediaan Beras di Kabupaten Rembang

Perencanaan Jangka Kebutuhan dan


Panjang Daerah Aspirasi Masyarakat
(RPJPD) berkaitan dengan
ketersediaan beras

Permasalahan Rencana
berkaitan Pembangunan Jangka Pembahasan
dengan Menengah Daerah dengan DPRD
peningkatan (RPJMD)
surplus beras
mencapai
100.000 ton
Rencana Strategis
pertahun
(Renstra) SKPD BKP
dan P 4K
Kebijakan Umum
APBD (KUA), RAPBD APBD
Prioritas dan Plafon
Rencana Kerja Anggaran Sementara
Pemerintah Daerah (PPAS)
(RKPD)
1. Program Peningkatan
Ketersediaan Pangan
pada BKP & P4K,
Rencana Kerja SKPD
Hasil Kesepakatan 2. Program Peningkatan
(Renja SKPD) Produksi Pertanian
Rakor Dewan
Ketahanan Pangan pada Dinas Pertaninian
Daerah dan Kehutanan.
3. Program perbaikan
irigasi pada DPU
4. Program Peningkatan
Distribusi Beras pada
Disperangkop UMKM.

b. Pengorganisasian
Pengorganisasian dalam pelaksanaan kebijakan
ketahanan pangan dilakukan secara berjenjang dari
tingkat pusat sampai dengan kabupaten/kota. Secara
hierarchis pelaksanaan kebijakan ketahanan pangan
khususnya ketersediaan beras diawali dari tingkat
pusat. Pemerintah Pusat menyusun Norma, Standar,

67
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

Prosedur, Kriteria dan kebijakan ketahanan pangan


khususnya ketersediaan beras untuk scope nasional.
Kementerian yang menangani ketahanan pangan
adalah Kementerian Pertanian. Kementrian Pertanian
merupakan sekretaris eksekutif dari Dewan Ketahanan
Pangan Nasional yang secara langsung menangani
ketahanan pangan di tingkat nasional.
Pada tingkat Provinsi ketahanan pangan ditangani
oleh Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan. Badan
inilah yang menangani dan mengawasi pelaksanaan
kebijakan ketersediaan beras di tingkat provinsi. Di
tingkat provinsi juga dibentuk Dewan Ketahanan
Pangan tingkat Provinsi Jawa Tengah yang dipimpin
oleh Gubernur Jawa Tengah. Upaya menjamin keter-
sediaan beras di tingkat provinsi BKPP berkoordinasi
dengan Bulog untuk pemantauan stok beras provinsi.
Upaya menjaga ketersediaan beras di tingkat provinsi
BKPP melakukan kegiatan monitoring dan menyusun
regulasi ketersediaan beras di tingkat provinsi.
Di tingkat Kabupaten Rembang urusan
kewenangan ketahanan pangan dilaksanakan oleh BKP
dan P4K. Impelementasi kebijakan ketahanan pangan
terutama ketersediaan beras berada pada tingkat
kabupaten. Oleh karena itu tugas BKP dan P4K Kabu-
paten dalam menjaga ketersediaan pangan di tingkat
Kabupaten Rembang. Secara definitive pelaksanaan
kebijakan meningkatkan dan menjaga ketersediaan
beras berada pada BKP dan P4K, namun badan ini tidak
bisa bekerja sendirian, badan ini harus bekerja sama
dengan SKPD lain dan juga institusi lain seperti bulog,
asosiasi pedagang beras, Gapoktan dan kelompok tani.
Pengorganisasian di tingkat Kabupaten sepenuhnya
68
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

berada di BKP dan P4K. Hubungan dengan institusi yang


disebutkan di atas sebatas pada koordinasi. Forum
koordinasi Ketahanan Pangan di tingkat Kabuten
Rembang sebenarnya terletak pada Dewan Ketahanan
Pangan Daerah (DKPD) Kabupaten Rembang. Aktivitas
DKPD Kabupaten Rembang belum berfungsi optimal,
karena berlu pernah mangadakan rapat koordinasi
sejak dibentuk. Fungsi kordinasi akhirnya diperankan
oleh BKPdan P4K. Pengorganisasian dalam implemen-
tasi kebijakan ketersediaan beras terlihat pada diagram
berikut:
Diagram 3.7
Pengorganisasian Dalam Implementasi Kebijakan
Ketersediaan Beras Saat Ini
Kepala BKP dan P4K

Kepala Bidang Kepala Bidang


Ketahanan Pangan Penyuluhan

Kepala Sub Bidang Kepala Sub Bidang Kepala Sub Bidang


Ketersediaan dan Kewaspadaan dan Pengembangan dan
distribusi pangan Kerawanan pangan penganekaragaman
pangan

Organisasi dalam pelaksanaan kebijakan pening-


katan ketersediaan beras di atas hanya mencerminkan
pengorganisasian pada Badan Ketahanan Pangan dan
P4K belum mencerminkan secara keseluruhan pengor-
ganisasian implementasi kebijakan ketersediaan beras.
Seharusnya pengorganisasian tersebut terlihat pada
diagram berikut:
69
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

Diagram 3.8
Usulan Pengorganisasiaan Dalam Implementasi
Kebijakan Ketersediaan Beras

Dewan Ketahanan Pangan

Kepala BKP dan P4K

Kepala Bidang Ketahanan Kepala Bidang


Pangan Penyuluhan

Kepala Sub Bidang Kepala Sub Bidang Kepala Sub Bidang


Ketersediaan dan Kewaspadaan dan Pengembangan dan
Distribusi Pangan Kerawanan Pangan Penganekaragaman
Pangan

Dinas Pertanian Dinas BULOG


dan Kehutanan Perindagkop (Stock Beras)
(Produksi) UMKM (Distribusi
dan Harga beras)

Pedagang
beras di Pasar

c. Pelaksanaan Kebijakan Ketersediaan Beras


Upaya pelaksanaan kebijakan menjaga keter-
sediaan beras di Kabupaten Rembang peran Dinas
Pertanian dan Kehutanan dan BKP dan P4K sangat
penting. Kedua SKPD tersebut merupakan SKPD kunci
yang terus mengawal pelaksanaan kebijakan ketahanan
pangan khususnya ketersediaan beras di Kabupaten
Rembang. Dalam melaksanakan tugas menjaga tingkat
produksi beras di Kabupaten Rembang, Dinas Pertanian
70
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

dan Kehutanan melakukan berbagai upaya antara lain


dengan pengenalan sistem bercocok tanam padi yang
efisien dan menghasilkan produksi yang maksimal yaitu
sistem Jajar Legowo dan System Rice Intensification
(SRI). Selain itu Dinas Pertanian dan Kehutanan juga
melakukan upaya pengendalian hama terpadu dengan
menggunakan obat-obatan ramah lingkungan namun
memiliki tingkat efektivitas tinggi, sistem pemupukan
yang semakin baik dengan tingkat ketersediaan pupuk
yang terjangkau oleh petani. Penyediaan bibit padi
unggul yang sesuai dengan kondisi lahan di Kabupaten
Rembang juga terus diupayakan.
Sementara itu Badan Ketahanan Pangan dan P4K
melakukan tugas pemantauan dan evaluasi serta
distribusi ketersediaan beras ke berbagai pelosok
kecamatan di kabupaten Rembang. Badan Ketahanan
Pangan dan P4K melakukan kegiatan tersebut dengan
membuat pelaporan setiap bulan guna mengetahui
tingkat ketersediaan beras di Kabupaten Rembang.
Peran Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
Kabupaten Rembang dalam pelaksanaan kebijakan
ketahanan pangan lebih difokuskan pada Tupoksi
Bappeda yaitu menyusun perencanaan ketahanan
pangan khususnya ketersediaan beras. Bappeda sesuai
dengan fungsi perencanaan yang diembannya menyu-
sun perencanaan pembangunan di bidang ketahanan
pangan yang tertuan dalam RPJMD Kabupaten
Rembang Tahun 2010 – 2015. RPJMD tersebut meru-
pakan dokumen perencanaan jangka menengah. Agar
apa yang direncanakan dalam RPJMD dapat direalisa-
sikan Bappeda setiap tahunnya menyusun Rencana
Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). RKPD tersebut
71
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

disahkan melalui Peraturan Bupati (Perbup) yang


selanjutnya digunakan sebagai dasar dalam penyu-
sunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) Kabupaten Rembang. RKPD yang telah disahkan
melalui Perbup dijabarkan ke dalam Kebijakan Umum
APBD (KUA ) dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara
(PPAS) yang setelah disepakati bersama oleh Bupati
dan DPRD digunakan sebagai dasar penyusunan
RAPBD. Setelah RAPBD dibahas bersama dengan DPRD
selanjutnya disahkan menjadi Peraturan Daerah
tentang APBD.
Pelaksanaan Kebijakan ketersediaan beras juga
dilakukan dengan bekerjasama dengan kelompok
tani.Peran Kelompok tani atau petani itu sendiri lebih
pada upaya untuk meningkatkan produksi padi. BKP
dan P4K sebagai institusi yang juga memiliki tugas
untuk melakukan penyuluhan pertanian kepada petani
berperan membina petani dengan memberikan
penyuluhan kepada petani secara berkala dan bersifat
rutin. Peran petani dan kelompok tani dalam menjaga
ketahanan pangan khususnya ketersediaan beras
adalah mengupayakan agar para petani memiliki cada-
ngan pangan keluarga yang cukup untuk memenuhi
kebutuhannya.
Tingkat kesadaran petani untuk selalu menjaga
ketersediaan beras cukup tinggi. Mereka secara
swadaya mengupayakan agar keluarga mereka cukup
persediaan beras bagi kebutuhan keluarga selama
kurun waktu tertentu. Upaya yang dilakukan tersebut
hampir dilakukan setiap saat panen.Keluarga petani
selalu mementingkan ketersediaan beras bagi keluarga-
nya baru setelah sisa, sisanya tersebut yang dijual.
72
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

Unsur pedagang memiliki peran penting dalam


menjaga ketersediaan beras di satu wilayah.Pedagang
inilah yang melakukan distribusi beras kepada masya-
rakat. Para pedagang dengan naluri dagang yang
dimilikinya melakukan jual beli beras dan mendistri-
busikan kepada masyarakat. Pedagang juga menetap-
kan harga jual beras sesuai dengan prinsip ekonomi
dengan mengambil margin keuntungan tertentu bagi
mereka.
Berdasarkan beberapa keterangan dari beberapa
Informan disimpulkan bahwa penetapan harga beras
sangat tergantung dari mekanisme pasar.Hal ini berarti
bahwa harga jual beras sangat tergantung dari
penawaran dan permintaan akan beras di masyarakat.
Selain itu menurut para pedagang harga beras sangat
ditentukan oleh harga di tingkat pengepul yang
biasanya memiliki usaha ricemill. Apabila pada saat
beras langka atau belum musim panen biasanya harga
pada tingkat pengepul sudah tinggi. Hal ini berakibat
harga beras sampai pada konsumen atau masyarakat
menjadi tinggi juga.
Berdasarkan informasi dari informan dapat
diketahui bahwa distribusi beras sampai pada tingkat
konsumen (masyarakat) melalui proses tata niaga yang
cukup panjang. Harga beras mengalami kenaikan dari
pedagang tingkat I sebesar Rp. 6.750,00 /kg, sampai
pada konsumen (masyarakat) naik menjadi Rp.
8.700,00,- (kondisi pada bulan Januari 2013). Dengan
demikian selisih harga beras sebesar Rp 1.950,00/kg
dinikmati oleh pengepul dan pedagang.
Implementasi kebijakan ketersediaan beras di
Kabupaten digambarkan sebagai berikut:
73
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

Diagram 3.9
Pelaksanaan Kebijakan Ketersediaan Beras di
Kabupaten Rembang Saat Ini

Kebijakan
Ketersediaan
Beras Di
Rembang
(RPJMD Dan Ketersediaan Sosialisasi
Renstra BKP) Pangan Upaya
(Beras) peningkatan
ketersediaan

Produktivitas
BKP dan P4K – Beras meningkat
Pelaksanaan
Tupoksi

Pelaksanan Harga stabil dan


Distribusi peningkatan terjangkau
Pangan ketersediaan
(beras) beras

Penyuluhan
Pertanian

Pedagang tidak Stock Beras


Keamanan Monitoring dan menjual ke luar Meningkat
Pangan Evaluasi daerah

Ketersediaan beras
masyarakat terjamin

Berdasarkan diagram di atas tampak dalam


pelaksanaan kebijakan ketersediaan beras terlihat
bahwa pelaksanaan ketersediaan beras hanya terpusat
pada BKP dan P4K saja. Banyak aspek yang masih harus
dilakukan agar tujuan pelaksanaan kebijakan keter-
sediaan beras tercapai. Seharusnya pelaksanaan kebi-
jakan ketersediaan beras digambarkan pada diagram
berikut ini:

74
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

Diagram 3.10
Usulan Pelaksanaan Kebijakan Ketersediaan Beras di Kabupaten
Rembang

Kebijakan Sosialisasi
Ketersediaan Upaya
Beras Di peningkatan
Rembang ketersediaan
(RPJMD Dan
beras
Renstra BKP)

Mengendalikan
tingkat
BKP dan P4K , Produksi dan
Dinas Pertanian konsumsi beras
dan Kehutanan, Ketersediaan Produktivitas
Disperidag KOP Pangan (Beras) Beras meningkat
UMKKM dan
DPU Penyuluhan
(Pelaksanaan Pertanian
Tupoksi)

Monitoring dan
Evaluasi
(pembuatan
Neraca Kebutuhan
Beras, Produksi,
harga)

Pengendalian Harga stabil Meningkatkan


tataniaga beras dan terjangkau ketersediaan beras
keluar dan masuk dalam masyarakat
Rembang (lumbung pangan –
(Disperindag) tunda jual)

Ketersediaan beras
masyarakat terjamin

75
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

d. Monitoring dan Evaluasi Ketersediaan Beras


Mekanisme pemantauan dan evaluasi keter-
sediaan beras dan harga beras di tingkat BKP dan P4K
adalah dengan pembentukan tim yaitu staf Bidang
Ketahanan Pangan pada Badan Ketahanan Pangan dan
P4K yang bertugas memantau ketersediaan beras dan
perkembangan harga beras di pasar. Para petugas
tersebut melakukan survey ke pasar-pasar di wilayah
Kabupaten Rembang dan hasilnya selanjutnya dilapor-
kan kepada Kepala BKP dan P4K. Hasil laporan tersebut
selanjutnya dilakukan analisis tingkat ketersediaan dan
perkembangan harganya.
Mekanisme monitoring dan evaluasi ketersediaan
beras dilakukan secara periodik atau sesuai kebutuhan.
Periode monitoring dan evaluasi ketersediaan beras
secara reguler dilakukan setiap bulan oleh petugas BKP.
Monintoring juga dilakukan pada saat harga beras naik
dengan drastis.

76
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

Diagram 3 .11
Mekanisme Monitoring dan Evaluasi
Ketersediaan Beras di Kabupaten Rembang

Harga beras
tinggi,
pasokan beras
terganggu

Pelaporan Hasil
BKP dan SK Monitoring Monitoring dan
P4K – Pembentukan dan Evaluasi Evaluasi
Pelaksanaan Tim Monev Ketersediaan
Tupoksi Beras

Reguler
Rekomendasi
hasil monitoring
dan evaluasi

Tindakan koreksi/
antisipasi hasil
monev

Mekanisme monitoring dan evaluasi ketersediaan


beras pada diagram di atas terlalu sederhana tanpa
memperhatikan berbagai pelaku usaha lain atau
stakeholder lain serta kurang memperhatikan Standard
Operating Procedures (SOPs). Mekanisme seharusnya
terlihat pada diagram berikut:
.

77
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

Diagram 3.12
Usulan Mekanisme Monitoring dan Evaluasi Ketersediaan Beras
di Kabupaten Rembang
Monitoring
insidental pada
waktu harga
beras tinggi,
(kenaikan harga Pedagang
lebih dari 10%)
Monitoring dan pasokan beras Pelaporan Hasil
BKP dan P4K – terganggu
Pelaksanaan Evaluasi Monitoring dan
Petani
Tupoksi Ketersediaan Evaluasi
Beras
Bulog

Kepala BKP
Dinas Pertanian atau Ketahanan
Reguler
Standar Dan Kehutanan Pangan
Operating
Procedures

Tindakan
koreksi/
antisipasi hasil
monev

B. Analisis Model Implementasi Kebijakan Ketersediaan Beras


Yang Cukup Aman, Bermutu dan Terjangkau Masyarakat
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan model
implementasi kebijakan ketersediaan beras dalam rangka
peningkatan ketahanan pangan di Kabupaten Rembang.
Gambaran implementasi kebijakan ketersediaan beras saat ini
dari mulai perumusan kebijakan sampai dengan metode
monitoring dan evaluasi terlihat bahwa implementasi
kebijakan tersebut dikaji dari beberapa variabel, yaitu : isi
kebijakan, konteks kebijakan, sikap dan kemampuan
pelaksana, komunikasi dan struktur birokrasi.
Isi Kebijakan, kondisi eksisting isi kebijakan terdiri dari
beberapa variabel yaitu tipe manfaat, derajat perubahan yang
diharapkan, pelaksanaan program dan sumberdaya yang
dilibatkan.
78
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

Dukungan implementasi kebijakan ketersediaan beras


terlihat dari manfaat kebijakan ketersediaan beras yang
cukup, aman, bermutu dan terjangkau oleh masyarakat
secara langsung dapat dinikmati oleh kelompok sasaran.
Manfaat kebijakan ketersediaan beras dirasakan para petani
dengan adanya program antara lain penerapan sapta usaha
tani, penerapan pola tanam “Jajar Legowo”, pelaksanaan
SLPTT, penerapan System Rice Intensification (SRI).
Derajat perubahan yang dihasilkan dari kebijakan
ketersediaan beras adalah perubahan pola tanam baru “walik
dami” dan cara bercocok tanam dengan cara “Jajar Legowo”.
Peningkatan Kantor Ketahanan Pangan Kabupaten Rembang
menjadi Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyuluhan
Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan (BKP dan P4K) akan
meningkatkan kinerja urusan ketahanan pangan. Bentuk SKPD
Badan dimaksudkan agar Kepala SKPD BKP dan P4K mudah
melakukan koordinasi dengan SKPD lain Keterlibatan masya-
rakat cukup baik, khususnya masyarakat yang tergabung
dalam kelompok tani maupun gapoktan terlibat secara aktif
dalam program-program ketahanan pangan;
Hambatan dalam implementasi kebijakan ketersediaan
beras antara lain disebabkan belum terwujudnya keterpaduan
dan sinergitias antar SKPD maupun dengan stekoholder
terkait dan masih muncul egosektor dan tumpang tindih
dalam menjalankan tupoksinya. Belum terwujudnya keter-
paduan program-program antar pemangku kepentingan yang
satu dengan yang lain. Dukungan regulasi dan sarana
prasarana masih terbatas.
Sumberdaya yang dilibatkan dalam pelaksanaan
kebijakan ini adalah sumberdaya di tingkat birokrasi menjadi
permasalahan tersendiri dalam implementasi kebijakan
ketahanan pangan. Birokrasi merupakan pelaksana utama
79
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

yang harus mampu menggerakkan masyarakat untuk


melaksanakan apa yang diharapkan pemerintah melalui
kebijakan yang disusun.
Dari aspek pendanaan belum optimal karena dana
untuk operasional BKP khususnya bidang ketahanan pangan
hanya sebesar 250 juta dari APBD dan APBN sebesar 1 milyar.
Sumberdaya yang dilibatkan antara lain SDM baik kelompok
tani maupun PPL, Asosiasi Pedagang Beras, sarana dan
prasarana (dukungan ketersediaan air melalui revitalisasi
irigasi tersier maupun sekunder, pendanan baik APBN,
Provinsi maupun Kabupaten.
Konteks Kebijakan. konteks implementasi kebijakan
ketersediaan beras di Kabupaten Rembang terdiri dari
beberapa aspek yaitu kepatuhan dan daya tanggap, dukungan
stakeholders, dukungan infrastruktur, kondisi alam (iklim dan
cuaca) dan kondisi lahan pertanian. Aspek-aspek tersebut
melatarbelakangi implementasi kebijakan ketersediaan beras
di Kabupaten Rembang. Keberhasilan implementasi kebijakan
ketersediaan beras dipengaruhi oleh aspek-aspek tersebut.
1. Kepatuhan dan Daya Tanggap. Unsur penghambat dalam
aspek kepatuhan dan daya tanggap adalah belum semua
aparat memahami secara utuh kebijakan ketahanan
pangan, aparat masih mempunyai anggapan bahwa kebi-
jakan ketahanan pangan merupakan kebijakan pemerintah
yang menyediakan kebutuhan pangan dalam arti sempit
tidak sampai pada proses produksi atas komoditas pangan.
Pemahamannya hanya bersifat distribusi atas bahan
pangan, oleh karena itu perlu ada bintek tentang kebijakan
ketahanan pangan dalam arti yang lebih luas kepada aparat
maupun stakeholder. Keberhasilan implementasi kebijakan
ketahanan pangan di Kabupaten Rembang sangat tergan-
tung dari kepatuhan atau komitmen dan daya tanggap atau
80
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

responsif seluruh stakeholder yang terlibat baik kelompok


sasaran dalam hal ini petani maupun aparat selaku imple-
mentator kebijakan ketahanan pangan. Berdasarkan hasil
kajian dapat diketahui bahwa tingkat kepatuhan aparat
maupun petani sebagi kelompok sasaran cukup baik,
sehinggaakan mendukung implementasi kebijakan ketaha-
nan pangan.
2. Ketersediaan Infrastruktur. Pelayanan irigasi masih belum
menjangkau seluruh wilayah. Kondisi seperti ini sangat
tidak mendukung peningkatan produktivitas pertanian di
masa mendatang. Diperlukan pengembangan sarana prasa-
rana irigasi sehingga mampu meningkatkan jangkauan
areal persawahan yang dapat terairi. Diperlukan pula
pengelolaan jaringan irigasi agar tetap dapat berfungsi
secara optimal dalam meningkatkan produksi pertanian
sehingga berdampak pada peningkatan pendapatan masya-
rakat. Sistem irigasi belum sepenuhnya dapat memenuhi
kebutuhan, hal ini dikarenakan banyak kondisi saluran
irigasi sekunder yang mengalami kerusakan belum ada
tindak lanjut untuk diperbaiki. Selain itu pada wilayah
tertentu belum dibangun saluran irigasi. Jadi dengan
demikian dapat dikemukakan bahwa kualitas dan kuantitas
infrastruktur pertanian semakin menurun dan sangat ter-
batas jumlahnya, sehingga menghambat upaya mewujud-
kan keberhasilan pelaksanaan kebijakan ketahanan pangan
di Kabupaten Rembang.
3. Alam (Iklim dan Cuaca). Aspek iklim atau cuaca di Kabu-
paten Rembang merupakan penghambat terbesar bagi
pelaksanaan kebijakan peningkatan ketersediaan beras.
Secara umum berdasarkan hasil wawancara dapat dikemu-
kakan bahwa iklim dan cuaca kurang mendukung karena
hari hujan dalam setahun jumlahnya lebih kecil diban-
81
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

dingkan dengan hari kering. Sebagaimana telah dikemu-


kakan di atas, jumlah hari hujan pada tahun 2012 hanya
sebesar 76 hari dalam satu tahun. Rata-rata curah hujan di
Kabupaten Rembang juga rendah.
4. Kondisi Lahan Pertanian. Penggunaan lahan wilayah
Kabupaten Rembang secara umum dapat dikelompokkan
menjadi lahan sawah seluas 29.172 Ha dan lahan kering
seluas 72.236 Ha. Sebagian tanah sawah di Kabupaten
Rembang ini merupakan sawah tadah hujan sebesar
17,84% dari keseluruhan tanah sawah. Hal ini disebabkan
kondisi iklim di Kabupaten Rembang yang termasuk daerah
dengan curah hujan rendah. Sedang untuk tanah kering
sebagian besar merupakan tegalan yaitu sebesar 34,29%
dari luas tanah kering di Kabupaten Rembang. Sedangkan
penggunaan lahan untuk permukiman terkait dengan
pertambahan penduduk yang berdampak pada penyediaan
fasilitas pemukiman dan fasilitas pendukung lainnya.
Sikap dan Kemampuan Pelaksana. Sikap dan
Kemampuan Pelaksana dalam implementasi kebijakan
ketersediaan beras terdiri dari beberapa aspek yaitu
kemampuan aparat, kemampuan aparat dalam menyedia-
kan sarana produksi pertanian dan kemampuan aparat
dalam pemberantasan hama. Kemampuan aparat dalam
implementasi kebijakan ketersediaan beras di Kabupaten
Rembang terlihat bahwabanyak aparatur yang tergabung
dalam Dewan Ketahanan Pangan maupun instansi yang
berkaitan langsung dengan ketersediaan beras, seperti BKP
dan P4K, Dinas Pertanian dan Kehutanan, Dinas Pekerjaan
Umum pada Bidang Pengairan dan SDA, Dinas Perin-
dustrian dan Perdagangan dan Bappeda. Staf di lingkungan
instansi (SKPD) tersebut belum sepenuhnya memahami
tentang kebijakan ketersediaan beras, sehingga meng-
82
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

hambat pelaksanaan kebijakan ketersediaan beras.


Kemampuan pemerintah untuk menyediakan saprodi
pertanian kurang maksimal dalam memfasilitasi baik
penyediaan maupun penetapan standar harga pupuk,
obat-obatan pertanian dan bibit padi. Kemampuan
pemerintah Kabupaten Rembang sebagai pelaksana dalam
pemberantasan hama juga kurang optimal. Obat-obatan
pemberantas hama tanaman padi yang tersedia saat ini
belum mampu menanggulangi penyakit tanaman yang
diakibatkan jamur “blas“.
Komunikasi. Komunikasi antar aparatur pelaksana
yang memiliki tugas pokok dan fungsi berkaitan langsung
dengan ketersediaan beras dan komunikasi antar institusi
berjalan formal dan terkendala pada prosedur birokrasi,
sehingga respon terhadap masalah ketahanan pangan dan
upaya untuk mensinergikan kegiatan dalam upaya
meningkatkan ketersediaan beras menjadi terhambat.
Struktur Organisasi/Birokrasi. Struktur birokrasi
berpenegaruh terhadap keberhasilan implementasi kebi-
jakan ketahanan pangan. Pengaruh struktur birokarasi
tersebut diihat dari empat aspek yaitu Standard Operating
Procedures (SOPs), Fragmentasi, kerjasama dan koordinasi.
Standard operating procedures dalam struktur birokrasi
adalah Serangkaian instruksi tertulis yangdibakukan
mengenai berbagai proses penyelenggaraan aktivitas
organisasi, bagaimana dan kapan harus dilakukan, dimana
dan oleh siapa dilakukan. SOPs sangat dibutuhkan dalam
implementasi kebijakan ketersediaan beras. Di kabupaten
Rembang belum ada SOPs dalam implementasi kebijakan
ketersediaan beras. Belum adanya SOPs sebagai perwuju-
dan dari struktur organisasi ketahanan pangan menjadi
penghambat pelaksanaan kebijakan ketersediaan beras di
83
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

Kabupaten Rembang. Fragmentasi, fragmentasi adalah


pengelompokan disertai dengan pembagian tugas yang
seimbang diantara pihak-pihak yang terlibat dalam imple-
mentasi kebijakan ketersediaan beras. Implementasi kebi-
jakan ketersediaan beras di Kabupaten Rembang terdapat
hambatan yaitu kurangnya kesepahaman, koordinasi dan
sinkronisasi dalam pelaksanaan kebijakan ketahanan
pangan, mengakibatkan pelaksanaan kebijakan kurang
maksimal. Ego sektoral masih ditemukan dan dinas terkait
cenderung lebih fokus pada bidang tugas pokoknya, ketim-
bang ikut serius bersinergi dalam pelaksanaan kebijakan
ketahanan pangan. Dengan fragmentasi yang lebih bersifat
normatif dan masih kurangnya sinergi antar dinas terkait,
menjadi salah satu aspek penghambat bagi pelaksanaan
kebijakan ketersediaan beras di Kabupaten Rembang;
Kerjasama. Kerjasama dalam implmentasi kebija-
kan ketersediaan beras adalah saling membantu dan
bekerja bersama antara institusi terkait dengan implemen-
tasi kebijakan ketersediaan beras di Kabupaten Rembang.
Dalam implementasi kebijakan ketersediaan beras di
Kabupaten Rembang terdapat hambatan dalam kerjasama
yaitu kerjasama yang dilaksanakan kurang ditindaklanjuti
dan tidak diupayakan keberlanjutannya. Mata rantai
kebijakan pengadaan beras melibatkan berbagai tingkatan
dari petani, pengepul/penggiling, penyalur sampai pada
pedagang besar yang ada dipasar maupun instansi, baik
instansi pemerintah maupun pengusaha swasta. Efektivitas
kerjasama dalam rangka penyediaan beras di Kabupaten
Rembang masih perlu ditingkatkan lagi sehingga dapat
mendukung kebijakan ketersediaan beras.
Koordinasi. Koordinasi adalah kesatuan tindakan
dalam rangka mencapai keberhasilan implementasi
84
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

kebijakan ketersediaan beras. Terdapat hambatan koor-


dinasi dalam implementasi kebijakan ketersediaan beras
yaitu Koordinasi dilaksanakan lebih pada tahap perenca-
naan, sedangkan koordinasi pada tahap pelaksanaan serta
tahap evaluasi masih kurang memadai. Kurangnya koor-
dinasi menjadikan hambatan dalam pemecahan masalah
apabila terjadi kendala atau hambatan dalam pelaksanaan
ketahanan pangan.
Berdasarkan uraian tersebut model eksisting
implementasi kebijakan ketersediaan beras dalam rangka
peningkatan ketahanan pangan di Kabupaten Rembang
dapat digambarkan sepertei diagram 4.13 sebagai berikut :

85
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

Diagram 3.13
MODEL EKSISTING IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN
(Model Eksisting Implementasi Kebijakan Ketersediaan Beras Dalam
Rangka Peningkatan Ketahanan Pangan di Kabupaten Rembang)

 UU 7/ 1996 tentang Pangan


 PP 68 tahun 2002 ttg ketahanan pangan
 Perda No 1 tahun 2010 ttg RPJPD Kab Rembang
 Perda No, 10 tahun 2010 ttg RPJMD Kab. Rembang 2010 -
2015
 Perbub no. 16 tahun 2010 ttg RKPD tahun 2011

Implementasi Kebijakan Aspek Pendukung Dan Penghambat


Ketersediaan Beras Dalam Rangka Implementasi Kebijakan Ketersedaian Beras Dalam
Ketahanan Pangan Sesuai PP 68 Rangka Peningkatan Ketahanan Pangan
Tahun 2002.

Proses Penetapan Kebijakan Isi Kebijakan :


Ketahanan Pangan 1. Tipe manfaat
Pembentukan Dewan Pangan 2. Derajat perubahan yang diharapkan
Daerah, Rapat Koordinasi Pangan 3. Implementasi Program (kurang terstruktur)
Daerah Dan Perumusan Program 4. Sumberdaya yang dilibatkan (terbatas)
Dan Kegiatan Ketersediaan Pangan
Daerah (Beras)
Kontek Implementasi
Kondisi Ketersediaan Beras saat 1. Kepatuhan & daya tanggap (belum maksimal)
ini 2. Dukungan Stakholder (terbatas)
Peningkatan Ketersediaan Beras, 3. Dukungan Infrastruktur (terbatas)
Pemanfaatan Sumberdaya Lahan, 4. Dukungan Alam (Iklim dan cuaca)- (rendah)
Perluasan Areal Tanaman Pangan, 5. Kondisi Lahan Pertanian (kurang optimal)
Pengembangan Konservasi Dan
Rehabilitasi Lahan, Peningkatan
Efisiensi Penanganan Pasca Panen, Sikap dan Kemampuan Pelaksana:
Pelestarian Sumberdaya Air Dan 1. Kemampuan Aparat (belum optimal)
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, 2. Kemampuan menyediakan Saprodi Pertanian
Perbaikan Jaringan Irigasi Dan (cukup tersedia)
Drainase 3. Kemampuan Pemberantasan hama (rendah)

Manajemen Ketersediaan Beras


Pengorganisasian Perencanaan
Pelaksanaan Monitoring dan Komunikasi
Evaluasi 1. Media Komunikasi
2. Kejelasan Informasi

Struktur Birokasi
1. Fragmentasi (Ego sektor)
2. Kerjasama (terbatas)
3. Koordinasi (lemah)

86
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

C. Kajian Faktor Penghambat dan Pendukung Keberhasilan


Kebijakan Publik
Aspek pendukung dan penghambat adalah unsur-unsur
yang memberikan kontribusi terhadap keberhasilan atau
kegagalan implementasi kebijakan ketersediaan beras di
Kabupaten Rembang. Unsur pendukung dan penghambat
tersebut digali berdasarkan kelompok fenomena yaitu
fenomena isi kebijakan, konteks kebijakan, sikap dan kemam-
puan pelaksana, komunikasi dan Struktur Birokrasi/Organisasi.
Berdasarkan hasil wawancara mendalam, observasi dan
dokumentasi terhadap informan diperoleh Aspek pendukung
dan penghambat implementasi kebijakan ketersediaan pangan
khususnya beras di Kabupaten Rembang.

1. Aspek Pendukung
a. Isi Kebijakan (content of policy)
Isi kebijakan ketahanan pangan yang tercantum dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 68 tahun 2002 tentang
Ketahanan Pangan tentang ketersediaan pangan adalah
sebagai berikut:
Pasal 2
1) Penyediaan pangan diselenggarakan untuk meme-
nuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga yang terus
berkembang dari waktu ke waktu.
2) Untuk mewujudkan penyediaan pangan sebagai-
mana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan :
a) mengembangkan sistem produksi pangan yang
bertumpu pada sumberdaya, kelembagaan dan
budaya lokal;
b) mengembangkan efisiensi sistem usaha pangan;
c) mengembangkan teknologi produksi pangan;

87
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

d) mengembangkan sarana dan prasarana produksi


pangan;
e) mempertahankan dan mengembangkan lahan
produktif.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan pangan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan oleh
Menteri yang bertanggung jawab di bidang pertanian,
kelautan dan perikanan, kehutanan, perindustrian dan
perdagangan, kesehatan, koperasi, permukiman dan
prasarana wilayah, pemerintahan dalam negeri,
keuangan, dan riset dan teknologi, sesuai tugas dan
kewenangannya masing-masing.

Pasal 3
1) Sumber penyediaan pangan berasal dari produksi
pangan dalam negeri, cadangan pangan, dan
pemasukan pangan.
2) Sumber penyediaan pangan diutamakan berasal
dari produksi pangan dalam negeri.
3) Cadangan pangan dilakukan untuk mengantisipasi
kekurangan pangan, kelebihan pangan, gejolak
harga dan/atau keadaan darurat.
4) Pemasukan pangan dilakukan apabila produksi
pangan dalam negeri dan cadangan pangan tidak
mencukupi kebutuhan konsumsi dengan tetap
memperhatikan kepentingan produksi dalam
negeri.
5) Pelaksanaan pemasukan pangan wajib mengikuti
ketentuan peraturan perundangundangan yang
berlaku.

88
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

Pasal 4
Dalam rangka pemerataan ketersediaan pangan
dilakukan distribusi pangan ke seluruh wilayah sampai
tingkat rumah tangga.
Untuk mewujudkan distribusi pangan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan :
• mengembangkan sistem distribusi pangan yang
menjangkau seluruh wilayah secara efisien;
• mengelola sistem distribusi pangan yang dapat
mempertahankan keamanan, mutu dan gizi pangan;
• menjamin keamanan distribusi pangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai distribusi pangan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan oleh
Menteri yang bertanggung jawab di bidang pertanian,
kelautan dan perikanan, kehutanan, perhubungan,
industri dan perdagangan, dan koperasi, sesuai tugas
dan kewenangannya masing-masing.
Di Kabupaten Rembang kebijakan ketahanan
pangan yang merupakan implementasi dari PP 68 tahun
2002 tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah (RPJMD). Arah Kebijakan yang tertuang
dalam RPJMD Kabupaten Rembang tahun 2010 – 2015
adalah implementasi atas PP 68 tahun 2002. Arah
kebijakan ketahanan pangan dalam RPJMD Kabupaten
Rembang Tahun 2010 – 2015 adalah:
1) Pengembangan agrobisnis, melalui pengembangan
dan penguatan keterkaitan subsistem antara hulu dan
hilir guna meningkatkan nilai tambah produk pertanian
yang berdaya saing sesuai dengan permintaan pasar.

89
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

a) Peningkatan kuantitas dan kualitas serta menjamin


kontinuitas produk pertanian dalam rangka
pemenuhan pasar danketahanan pangan.
b) Peningkatan sarana prasarana pertanian dan
perdesaan.
c) Optimalisasi pemanfaatan hutan untuk diversifikasi
usaha dan mendukung produksi pangan.
d) Optimalisasi pemanfaatan sumber kekayaan laut
secara berkelanjutan.
e) Pengembangan agrobisnis berbasis keunggulan
komparative dan competitive.
f) Penguatan kemitraan jejaring pasar produk
pertanian.
2) Pemantapan ketersediaan dan cadangan pangan yang
memenuhi kualitas, kuantitas dan kontinuitas bagi
masyarakat serta diversifikasi produk pangan.
a) Peningkatan ketersediaan pangan yang aman dan
halal, serta terjangkau oleh daya beli masyarakat.
b) Pemantapan keragaman (diversifikasi) baik produksi
maupun konsumsi pangan yang berbasis sumber
daya lokal.
c) Terwujudnya kelembagaan pangan dalam mendu-
kung ketersediaan dan cadangan pangan
d) Peningkatan infrastruktur ketersediaan dan ketaha-
nan pangan di daerah. (RPJMD Kabupaten Rembang
2010 – 2015)

Arah kebijakan tersebut dilaksanakan selama periode


perencanaan, yaitu setiap tahun yang dituangkan dalam
Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). RKPD tahun
berjalan merupakan gabungan dari Rencana Kerja (Renja)
dari Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). RKPD
90
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

digunakan sebagai dasar penyusunan Kebijakan Umum


APBD (KUA) dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara
(PPAS) yang disepakati bersama antara Pemerintah daerah
dengan DPRD. KUA dan PPAS tersebut digunakan sebagai
dasar penyusunan RAPBD. Setelah RAPBD dibahas bersama
dengan DPRD dan ditetapkan menjadi Perda, maka apa
yang telah direnacanakan dilaksanakan dan didanai.
Aspek pendukung keberhasilan pada isi kebijakan
dilihat dari berbagai aspek yaitu aspek tipe manfaat,
derajat perubahan yang diharapkan, pelaksanaan program,
sumberdaya yang dilibatkan. Hasil survey dan analisis atas
aspek pendukung isi kebijakan diuraikan sebagai berikut :
1) Tipe manfaat
Menurut Grindle (1980), keberhasilan implemen-
tasi sangat tergantung pada isi kebijakan yaitu sebe-
rapa besar kepentingan yang dipengaruhi, semakin
besar kepentingan yang dipengaruhi, semakin sulit
dalam implementasinya. Oleh karena itu untuk melihat
keberhasilan implementasi kebijakan ketahanan
pangan di Kabupaten Rembang khususnya kebijakan
ketersediaan beras dapat dilihat dari tingkat manfaat
kebijakan tersebut apakah memberikan jaminan dan
kepastian akan tersedianya dan tercukupinya kebu-
tuhan beras untuk masyarakat Kabupaten Rembang
secara kontinyu dan berkelanjutan. Pendukung keber-
hasilan implementasi kebijakan ketersediaan berdasar-
kan kajian tipe manfaat kebijakan adalah:
a) Masyarakat khususnya petani merasakan manfaat
dari kebijakan pemerintah Kabupaten Rembang
untuk meningkatkan ketersediaan beras.
Manfaat yang dirasakan adalah petani dipacu
untuk meningkatkan produksi beras, sehingga
91
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

apabila produksi beras berhasil dan meningkat,


maka tingkat kesejahteraan petani juga akan
meningkat. Salah satu program kebijakan yang
dirasakan petani adalah program SLPTT(Sekolah
Lapang Pengelolaan Pertanian Terpadu).
Untuk memperoleh manfaat melalui suatu
proses pembelajaran, karena selama ini pola tanam
masih konvensional, berdasarkan implementasi
kebijakan SLPTT tahun 2008 memberikan manfaat
yang cukup baik bagi peningkatan produktivitas
hasil panen padi dan manfaat lain adalah mening-
katnya kapasitas petani dalam penerapan pola
tanam yang lebih efektif dan produktif. Selama ini
masyarakat Kabupaten Rembang sudah tercukupi
kebutuhan beras, sehingga kebijakan ketersediaan
beras memberikan manfaat langsung kepada
masyarakat selaku user.
Implementasi kebijakan ketahanan pangan
khususnya dalam mewujudkan ketersediaan beras
di Kabupaten Rembang memberikan manfaat
ganda, pertama manfaat diperoleh oleh petani
melalui kelembagaan kelompok tani (Poktan) mau-
pun gabungan kelompok tani (Gapoktan), manfaat
yang diperoleh antara lain meningkatnya kapasitas
Poktan maupun Gapoktan dalam pengelolaan usaha
pertanian melalui program SLPTT dan SLPHT serta
semakin meningkatnya kapasitas petani dalam
mengelola kelembagaan baik Poktan maupun
Gapoktan, kedua manfaat dapat dirasakan oleh
masyarakat miskin dengan penghasilan yang rendah
dapat menikmati dan membeli beras dengan harga
terjangkau.
92
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

b) Memberikan manfaat bagi pemberdayaan petani


dalam peningkatan produksi pangan.
Kebijakan ketahanan pangan khususnya kebijakan
ketersediaan beras di Kabupaten Rembang melalui
program SLPTT dan juga program sapta usaha tani
memberikan manfaat terhadap petani khususnya
menambah ketrampilan dalam pola bercocok
tanam padi. Pelatihan dalam SLPTT memberikan
pengetahuan kepada petani tentang bercocok
tanam padi yang baik khususnya pola Jajar Legowo
dengan pola 2 : 1 atau 4:1. Melalui cara tanam padi
seperti ini tingkat produktivitas tanaman padi per
hektar meningkat dari 5,5 ton per hektar mejadi 7,6
ton per hektar.

c) Isi kebijakan secara langsung menyentuh kepen-


tingan masyarakat terutama ketersediaan beras
bagi rumah-tangga.
Kebijakan yang diambil berkaitan dengan penye-
diaan beras untuk memenuhi kebutuhan konsumsi
rumah tangga yang terus berkembang dari waktu ke
waktu, dirasakan menyentuh langsung pada rumah
tangga atau keluarga secara langsung. Hal ini
menunjukkan tanggung jawab pemerintah untuk
memenuhi kebutuhan pangan rumah-tangga.
Masyarakat dengan adanya kebijakan ketahanan
pangan merasa diuntungkan karena harga beras
selalu dikontrol pemerintah sehingga harga beras
selalu dapat terjangkau oleh masyarakat atau
semua lapisan masyarakat.

93
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

Kebijakan ketersediaan beras memberikan manfaat


antara lain petani menjadi termotivasi karena
adanya dukungan pemerintah berupa program
SLPTT dan SLPHT serta dalam bentuk bantuan
antara lain LUEP, BLBU dan PUAB. Disamping itu
petani merasa lebih diberdayakan dalam pening-
katan produksi beras.Bagi masyarakat umum man-
faat yang dirasakan adalah terjaminnya persediaan
beras dengan harga yang stabil dan terjangkau.

2) Derajat perubahan yang diharapkan


Menurut Grindle (1980), keberhasilan implementasi
sangat tergantung pada isi kebijakan yaitu seberapa
besar perubahan yang diharapkan dari kebijakan
tersebut. Perubahan mendasarkan pada perubahan
sikap dan perilaku yang mencakup area yang cukup luas
memerlukan implementasi yang lebih sulit dibanding-
kan dengan perubahan mekanisme dan sistem yang
mencakup area lebih sempit atau regional.
Aspek pendukung dari variabel derajat perubahan
yang diharapkan adalah:
a) Masyarakat petani antusias dalam menanggapi
usulan perubahan yang disarankan oleh Pemerin-
tah Kabupaten Rembang berkaitan dengan cara
bercocok tanam padi.
Derajat perubahan yang diinginkan dari
kebijakan peningkatan ketersediaan beras yang
aman, halal dan terjangkau ini adalah masyarakat
Kabupaten Rembang diharapkan dapat meningkat-
kan produksi beras di tingkat petani sebagai cada-
ngan pangan daerah. Perubahan yang dilakukan
tidak terlalu besar hanya merubah cara bercocok
94
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

tanam dan pola penanaman. Pada dasarnya


masyarakat khususnya petani mau mengikuti apa
yang disarankan pemerintah melalui PPL. Mereka
cukup diberikan contoh (demplot) penanaman padi
yang ideal dan apabila hasilnya lebih baik, tanpa
diminta mereka mau merubah cara bercocok tanam
padi yang selama ini dilakukan, yang perlu dirubah
dalam rangka implementasi ketersediaan beras
adalah pola tanam dan cara bercocok tanam padi.
Tanggapan, respon dan antusiasme masya-
rakat, aspek derajat perubahan yang diharapkan
dapat terpenuhi. Hal tersebut terlihat dari tangga-
pan atau respon masyarakat khususnya petani yang
bersedia menerima pembaharuan dalam bidang
pertanian, baik dalam hal pembibitan, pemupukan,
pemberantasan hama sampai pada cara atau model
bercocok tanam demi untuk memperoleh produk-
tivitas yang lebih baik. Dalam hal pola konsumsi
harian masyarakat sudah mulai mencoba makanan
pokok selain beras/nasi, namun masih perlu
sosialisasi secara terus menerusagar masyarakat
mulai terbiasa dengan makanan pokok selain beras.
3) Pelaksanaan Program
Program ketahanan pangan sudah dilaksanakan sejak
lama, bahkan sebelum era reformasi. Pada jaman Orde
Baru dengan mendapatkan penghargaan dari FAO
terhadap keberhasilan swasembada beras, ketahanan
pangan Indonesia sudah mantap. Pelaksanaan urusan
ketahanan pangan di era reformasi diaksanakan
intensif oleh pemerintah kabupaten / kota pada sejak
tahun 2002. Kabupaten Rembang melaksanakan
kebijakan ketahanan pangan khususnya ketersediaan
95
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

sejak tahun 2004. Kebijakan untuk meningkatkan


produksi beras sudah mulai dilaksanakan. Pada periode
tahun 2010 - 2013 pelaksanaan kebijakan peningkatan
ketersediaan beras dilaksanakan melalui kebijakan
ketersediaan beras secara aman, terjangkau dan
kecukupan beras. Bahkan sesuai dengan target provinsi
Jawa Tengah surplus beras 10 juta ton, pemerintah
Kabupaten Rembang telah melaksanakan berbagai
program antara lain program unggulan dari pemerintah
pusat yaitu SLPTT, PUAP dan LUEP (sekarang sudah
tidak dilaksanakan/dihentikan). Sampai dengan akhir
tahun 2012 Kabupaten Rembang telah mengalami
surplus beras.
Aspek pendukung terhadap keberhasilan kebijakan
ketersediaan beras dari unsur pelaksanaan adalah :
a) Peningkatan dari Kantor Ketahanan Pangan
Kabupaten Rembang menjadi Badan Ketahanan
Pangan dan Pelaksana Penyuluhan Pertanian,
Perkebunan dan Kehutanan (BKP dan P4K)
Berdasarkan Perda Nomor 1 tahun 2012 tentang
Perubahan Perda Nomor 12 tahun 2011 tentang
Struktur Organisasi dan Tata Kerja Kabupaten
Rembang. Perubahan dari Kantor Ketahanan
Pangan menjadi Badan Ketahanan Pangan dan P4K,
kewenangan dalam mengendalikan dan mengkoor-
dinasikan ketahanan pangan menjadi lebih baik.
Mekanisme yang dilakukan antara lain memantau
hasil panen serta stok beras baik yang ada di pasar,
Bulog maupun pedagang besar di Kabupaten Rem-
bang, melakukan pemetaan lahan-lahan potensi
untuk dijadikan lahan pertanian produktif (sawah

96
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

lestari), penegakkan aturan terkait dengan pengali-


han fungsi lahan dan kebijakan lainnya.
Peningkatan SKPD Ketahanan Pangan dari Kantor
menjadi Badan dimaksudkan untuk meningkatkan
kinerja urusan ketahanan pangan dan agarKepala
SKPD BKP mudah melakukan koordinasi dengan
SKPD lain , sehingga dapat mendukung pelaksanaan
kebijakan ketahanan pangan.
b) Keterlibatan masyarakat cukup baik, khususnya
masyarakat yang tergabung dalam kelompok tani
maupun gapoktan terlibat secara aktif dalam
program-program ketahanan pangan
Dalam pelaksanaan program terkait dengan kebija-
kan ketahanan pangan di Kabupaten Rembang
cukup efektif dan berjalan dengan baik. Hal ini
dapat dilihat dari beberapa indikator bahwa
pelaksanaan program tersebut sangat mendukung
keberhasilan Pemerintah Kabupaten Rembang
dalam mewujudkan kebijakan ketahanan pangan,
adalah dukungan dari masyarakat khususnya petani
sebagai kelompok sasaran program sangat baik/
responsif serta terlibat dalam setiap tahapan
kegiatan. Petani atau kelompok tani memiliki tugas
meningkatkan produksi beras sehingga tersedia
beras yang cukup di Kabupaten Rembang.
Aktivitas dan partisipasi petani dalam mengikuti
setiap kegiatan yang berkaitan dengan peningkatan
produksi beras cukup baik. Hal ini menjadi aspek
pendukung dalam upaya peningkatan produksi
beras di Kabupaten Rembang.
Dari berbagai aspek temuan lapangan menunjukkan
bahwa dari aspek isi kebijakan ketersediaan beras
97
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

terdapat aspek pendukung yaitu tipe manfaat,


derajat perubahan dan pelaksanaan program. Isi
kebijakan ketersediaan beras dalam rangka
memperkuat ketahanan pangan yang baik adalah
yang mampu membuat masyarakat merasakan
manfaatnya, membawa perubahan kearah yang
lebih baik, kegiatan yang dilakukan merupakan
tindak lanjut program dan kebijakan itu sendiri
serta didukung oleh sumber daya yang memadai.
Pengertian ketahanan pangan adalah Ketersediaan
pangan mengandung prinsip penyediaan pangan
merata, aman, bermutu dan terjangkau. Hal ini
berarti salah satu prinsip yang ingin dicapai dengan
kebijakan ketersediaan beras adalah supaya beras
tersedia bagi masyarakat secara merata, aman,
bermutu dan terjangkau. Berdasarkan hasil
penelitian saat penelitian dilakukan beras tersedia
secara memadai, merata ke seluruh pelosok
Kabupaten Rembang dengan mutu beras yang baik.
Ketersediaan beras aman untuk dikonsumsi dan
aman untuk persediaan beberapa bulan mendatang
sampai dengan musim panen berikutnya. Selain itu
ketersediaan beras di Kabupaten Rembang
terjangkau oleh masyarakat terutama dari aspek
harga. Kebijakan pemerintah di bidang ketahanan
pangan khususnya ketersediaan beras salah satunya
memperhatikan daya beli masyarakat terhadap
komoditas beras. Kemampuan masyarakat untuk
membeli beras salah satunya tergantung pada
harga beras di pasar selain pendapatan masyarakat
setiap bulannya. Tingkat pendapatan masyarakat
berpengaruh terhadap daya beli masyarakat
98
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

terhadap beras. Pemanatauan terhadap harga beras


oleh Pemerintah Kabupten Rembang adalah
menjaga agar harga beras tetap dapat terjangkau
oleh masyarakat terutama golongan menengah ke
bawah. Apabila harga beras terjangkau oleh masya-
rakat kelas bawah, maka tingkat ketahanan pangan
di Kabupaten Rembang termasuk kategori baik.
Kebijakan pengendalian harga beras yang termasuk
dalam kebijakan ketersediaan beras dirasakan
manfaatnya oleh masyarakat terutama golongan
menengah ke bawah.
b. Konteks Kebijakan(Context of Policy)
Dari aspek Konteks Kebijakan (Context of Policy)
dukungan pada implementasi kebijakan keterse-
diaan beras dapat dilihat dari adanya kepatuhan
dan daya tanggap aparatur dan dukungan dari
stakeholder
1) Kepatuhan dan Daya Tanggap
Kepatuhan dan daya tanggap adalah kemauan
dari kelompok sasaran dan para pelaksana untuk
melaksanakan kegiatan yang disarankan oleh
dalam kebijakan dalam rangka melaksanakan
kebijakan. Daya tanggap pelaksana dan masya-
rakat adalah kemampuan dan kemauan pelak-
sana untuk memberikan bantuan atau menang-
gapi apabila ada keluhan dari masyarakat,
sebaliknya masyarakat juga cepat melaksanakan
apa yang menjadi kewajiban mereka.
Aspek yang mendukung keberhasilan dari unsur
kepatuhan dan daya tanggap adalah :

99
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

a) Dukungan komitmen dan tanggungjawab


instansi terkait dalam implementasi
kebijakan ketersediaan beras.
Komitmen dan tanggung jawab instansi ter-
kait dalam mendukung kebijakan ketahanan
pangan terlihat sampai ke level PPL di lapa-
ngan. PPL memiliki kompetensi di bidangnya
dan sangat berperan dalam mensosialisasikan
program-program kegiatan yang berkaitan
dengan peningkatan produktivitas petani.
Selain itu tanggung jawab instansi terkait
akan peningkatan ketersediaan beras juga
cukup baik.
b) Dukungan daya tanggap instansi terkait
dalam implementasi kebijakan ketersediaan
beras.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh infor-
masi bahwa daya tanggap pemerintah atau
aparatur dalam pelaksanaan kebijakan keter-
sediaan beras cukup baik. Hal ini merupakan
aspek pendukung dalam pelaksanaan kebija-
kan ketersediaan beras. Respon terhadap
ketersediaan beras adalah apabila terjadi
fluktuasi harga yang tinggi BKP dan P4K
segera melakukan survey ke pasar.
Aparat cukup merespon atas kebijakan
ketahanan pangan, hal ini terbukti program
pemerintah pusat dalam upaya mendorong
ketahanan pangan seperti program SLPTT,
PUAP dan program lainnya dapat berjalan
sesuai dengan arah dan tujuan program,
bahkan ada beberapa kelompok tani yang
100
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

menindaklanjuti demplot tersebut secara


mandiri dan berkelanjutan. Bentuk daya
tanggap aparat yang lain yaitu selalu
memantau distribusi beras yang berasal dari
potensi lokal maupun dari kabupaten lain
yang masuk ke Kabupaten Rembang.
c) Dukungan kepatuhandan respon petani
terhadap upaya peningkatan produksi beras.
Keberhasilan implementasi kebijakan
ketahanan pangan di Kabupaten Rembang
sangat dipengaruhi oleh kepatuhan atau
komitmen dan daya tanggap atau responsif
seluruh stakeholder yang terlibat baik kelom-
pok sasaran dalam hal ini petani maupun
aparat selaku implementator kebijakan
ketahanan pangan. Semakin tinggi komitmen
dan responsif, maka akan semakin berhasil
impelementasi kebijakan ketahanan pangan.
Berdasarkan hasil kajian dapat diketahui
bahwa tingkat kepatuhan aparat maupun
petani sebagai kelompok sasaran cukup baik,
sehingga implementasi kebijakan ketahanan
pangan dapat berjalan sesuai tujuan yang
diharapkan.
Kepatuhan dan responsif petani tercer-
min dari minat yang cukup baik mengikuti
setiap tahapan pelaksanaan program. Apabila
implementasi kebijakan ketahanan pangan
melalui kegiatan demplot dalam program
SLPPT berhasil maka akan memberikan
dampak tingkat kepatuhan dan responsive
yang cukup luas kepada seluruh petani untuk
101
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

mengikuti jejak keberhasilan demplot terse-


but. Jadi dengan demikian dapat dikemuka-
kan bahwa kepatuhan dan responsif sangat
mendukung berhasil tidaknya implementasi
kebijakan ketahanan pangan di Kabupaten
Rembang.
Kepatuhan petani menjadi aspek pendu-
kung dalam pelaksanaan kebijakan keterse-
diaan beras diKabupaten Rembang. Kesada-
ran mereka untuk mengikuti petunjuk dari
PPL merupakan sumbangan bagi keberhasilan
pelaksanaan kebijakan ketersediaan beras.
d) Dukungan Stakeholders
Dukungan stakholders adalah tingkat
aktivitas dan partisipasi para pihak yang
terlibat langsung maupun tidak langsung
dalam implementasi kebijakan. Dukungan
stakeholders merupakan Aspek penting bagi
implementasi kebijakan. Setiap stakeholders
mesti memiliki peran yang berbeda, namun
peran berbeda tersebut saling melengkapi
dan saling bekerjasama sehingga pelaksanaan
kebijakan dapa tercapai secara optimal.
Aspek pendukung terhadap implemen-
tasi kebijakan ketersediaan beras dari unsur
dukungan stakeholder adalah:
1. Adanya dukungan Pemerintah (SKPD),
Kelompok Tani, Gapoktan dan Stake-
holders.
Peran stakeholders sangat mendukung
keberhasilan implementasi kebijakan
ketahanan pangan di Kabupaten Rembang,
102
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

stakeholders yang terkait dalam


implementasi kebijakan ketahanan pangan
yang lain adalah instansi pemerintah. Ada
beberapa unsur yang menjadi Aspek
pendukung keberhasilan implementasi
kebijakan ketahanan pengan, antara lain
1) terjalinnya kerjasama yang baik antara
Badan Ketahananan Pangan dengan
instansi terkait (Dinas PU Pengairan, Dinas
Pertanian dan Kehutanan, Dinas
Pengairan, dan instansi terkait ) lainnya, 2)
komitmen dan dukungan aparat tingkat
kecamatan maupun desa sangat besar.
Kebijakan ketahanan pangan khususnya
ketersediaan beras mendapatkan duku-
ngan melalui peran masing-masing baik
SKPD, kelompok tani, pedagang beras dan
penyedia saprotan.
2. Adanya dukungan dalam kegiatan pasca
panen
Pemilik rice mill juga memberikan
dukungan bagi kebijakan peningkatan
ketersediaan beras di Kabupaten Rembang
dalam bentuk pelayanan bagi petani
maupun pedagang beras dengan melayani
proses perontokan padi menjadi gabah
(Dooz) serta menyediakan tempat untuk
menyimpan gabah kering panen dan
menyediakan tempat penjemuran dengan
upah Rp. 2000 per zak.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpul-
kan bahwa Konteks kebijakan ketersediaan
103
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

beras yang baik apabila disertai dengan


daya tanggap aparatur pelaksana, kondisi
lahan pertanian yang memadai, adanya
infrastruktur yang baik dan mencukupi
serta adanya dukungan stakeholders dan
dukungan kondisi iklim dan cuaca.
2) Sikap dan Kemampuan Pelaksana
Dukungan dari aspek sikap dan kemampuan
pelaksana dapat dilihat pada kemampuan aparat
dalam penyediaan saprodi pertanian.
3) Kemampuan Penyediaan Saprodi Pertanian
Sarana produksi pertanian (saprodi) adalah
bahan-bahan yang dibutuhkan petani untuk
merawat dan menjaga tanaman mereka agar
menghasilkan hasil yang optimal. Sarana pro-
duksi pertanian yaitu pupuk, obat pemberantas
hama dan benih. Ketersediaan saprodi dengan
harga terjangkau ini sangat vital bagi petani agar
tanaman mereka menghasilkan hasil yang
maksimal.
Sikap dan kemampuan pelaksana dalam
berbagai aspek dalam ketersediaan beras
terdapat aspek pendukung dan penghambat.
Sikap dan kemampuan pelaksana akan mendu-
kung kebijakan ketersediaan beras apabila
disertai dengan adanya sikap aparatur yang baik,
aparatur mampu menyediakan saprodi perta-
nian dan mampu melakukan pemberantasan
hama dengan baik.

104
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

4) Komunikasi
Dalam implementasi kebijakan ketahanan
pangan, aspek komunikasi sangat penting,
melalui komunikasi terjadi proses pemindahan
pengertian dalam bentuk gagasan atau
informasi dari seseorang kepada orang lain.
Perpindahan pengertian tersebut melibatkan
lebih dari sekedar kata-kata yang digunakan
dalam percakapan, tetapi juga ekspresi wajah,
intonasi, titik putus vokal dan sebagainya. Dan
perpindahan yang efektif memerlukan tidak
hanya transmisi data, tetapi bahwa seseorang
mengirimkan berita dan menerimanya sangat
tergantung pada ketrampilan – ketrampilan
tertentu (membaca, menulis, mendengar,
berbicara dan lain-lain) untuk membuat sukses
pertukaran informasi.
Sistem komunikasi organisasi mencermin-
kan berbagai macam individu dengan latar
belakang pendidikan, kepercayaan, kebudayaan,
keadaan jiwa, dan kebutuhan yang berbeda-
beda. Jika kebijakan-kebijakan ingin diimple-
mentasikan sebagaimana mestinya, maka
petunjuk-petunjuk pelaksanaan tidak hanya
harus dipahami melainkan juga petunjuk-pe-
tunjuk itu harus jelas. Jika petunjuk-petunjuk
pelaksanaan itu tidak jelas, maka para pelaksana
(implementor) akan mengalami kebingungan
tentang apa yang harus mereka lakukan. Selain
itu, mereka juga akan mempunyai keleluasaan
untuk memaksakan pandangan-pandangan
mereka sendiri pada implementasi kebijakan,
105
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

dari pada pandangan atasan atau pandangan-


pandangan yang seharusnya dijadikan acuan.
Aspek lain dari komunikasi menyangkut
petunjuk-petunjuk pelaksanaan adalah persoa-
lan konsistensi. Keputusan-keputusan yang
saling bertentangan akan membingungkan dan
menghalangi pelaksana untuk melaskanakan
kebijakan-kebijakan tersebut secara efektif.
Sementara itu, ada banyak hal yang mendorong
terjadinya komunikasi yang tidak konsisten dan
menimbulkan dampak-dampak buruk bagi
impelementasi kebijakan.
Dari uraian diatas jelas bahwa aspek
komunikasi kebijakan tidak sekedar proses
pertukaran informasi tetapi banyak aspek lain
yang harus diperhatikan. Agar komunikasi
kebijakan khususnya kebijakan peningkatan
ketahanan pangan di Kabupaten Rembang dapat
efektif beberapa aspek yang harus diperhatikan
yaitu aspek transmisi (media komunikasi),
kejelasan informasi dan konsistensi pemerintah
dalam melakukan komunikasi.
Komunikasi yang terbangun antar pemerin-
tah dengan petani dilakukan melalui berbagai
media. Media tersebut antara lain tatap muka
langsung yaitu sosialisasi kepada petani tentang
sesuatu hal berkaitan dengan pertanian.
Komunikasi merupakan aspek dominan
dalam implementasi kebijakan ketersediaan
beras terutama dalam peningkatan produksi
beras di tingkat petani. Kondisi ini disadari betul
oleh PPL dan dari DKP dan P4K serta Dinas
106
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

Pertanian dan Kehutanan. Mereka selalu mem-


bina komunikasi sebaik-baiknya dengan petani
dalam meningkatkan produksi beras.
5) Transmisi (Media Komunikasi)
Komunikasi dapat dilakukan secara tidak
langsung yaitu melalui transmisi atau media
komunikasi. Transmisi atau media komunikasi
dapat memberikan kejelasan atau bukti sehing-
ga informasi yang disampaikan lebih dipercaya
akurasinya.
Dalam menginformasikan kebijakan keter-
sediaan beras transmisi atau media komunikasi
yang digunakan adalah melalui penyuluhan
dengan didukung oleh media seperti poster,
leaflet dan alat peraga lainnya. Pada saat
menyampaikan penyuluhan PPL menggunakan
poster, leaflet dan alat peraga untuk memper-
kenalkan sistem tanam dengan metode Jajar
Legowo. Selain itu guna mendukung kebijakan
ketersediaan beras, melalui demplot diperkenal-
kan pola tanam 1: 4 atau 1:2, yang dapat mem-
berikan produktivitas hasil panen yang lebih
baik.
Media komunikasi merupakan salah satu
aspek pendukung dalam implementasi kebijakan
ketersediaan beras di Kabupaten Rembang.
Media yang paling tepat bagi petani adalah
Demonstrasi Plot atau Demplot metode tanam
“Jajar Legowo” yang hasilnya dapat dilihat
langsung oleh petani.

107
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

6) Kejelasan Informasi
Kejelasan informasi dari setiap program
terutama kebijakan ketahanan pangan sangat
penting. Agar kebijakan ketahanan pangan di
Kabupaten Rembang dapat diimplementasikan
sebagaimana yang diinginkan maka petunjuk-
petunjuk pelaksanaan tidak hanya harus
diterima oleh para pelaksana kebijakan, tetapi
juga informasi kebijakan tersebut harus jelas.
Kejelasan informasi kebijakan ketahanan pangan
ini penting karena seringkali instruksi-instruksi
yang diteruskan melalui PPL kepada masyarakat
khususnya kelompok tani dan stakeholders
sering kurang jelas atau kabur dan tidak
menetapkan kapan dan bagaimana suatu
program dilaksanakan.
Ketidakjelasan pesan informasi mendo-
rong terjadinya interpretasi yang salah bahkan
mungkin bertentangan dengan makna yang
sesungguhnya. Pada tataran tertentu, para
pelaksana membutuhkan fleksibilitas dalam
melaksanakan kebijakan. Sesuatu yang sering
dihambat oleh instruksi-instruksi yang sangat
spesifik menyangkut impelemntasi kebijakan.
Edwards III dalam Budi Winarno (2007),
mengidentifikasi enam aspek yang mendorong
terjadinya ketidakjelasan komuniasi kebijakan.
Aspek-Aspek tersebut adalah :
(1) kompleksitas kebijakan publik, (2)
keinginan untuk tidak mengganggu kelompok-
kelompok masyarakat, (3) kurangnya konsensus
mengenai tujuan-tujuan kebijakan, (4) masalah-
108
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

masalah dalam memulai suatu kebijakan baru,


(5) menghindari pertanggungjawaban kebijakan,
dan (6) sifat pembentukan kebijakan pengadilan.
Kejelasan informasi ini semakin meningkat
karena stakeholders dan para petani, tidak
hanya menunggu informasi/edaran/penyuluhan
dari petugas tetapi ada kesadaran dan
partisipasi dari petani yang ada di Kabupaten
Rembang.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan
bahwa kejelasan informasi menjadi pendukung,
karena informasi yang diberikan oleh instansi
terkait maupun PPL menyangkut kebijakan
Pemerintah Daerah Kabupaten Rembang
tentang ketersediaan beras dapat dipahami dan
ditindaklanjuti oleh masyarakat/petani.
7) Konsistensi Pemerintah Dalam Melakukan
Komunikasi
Aspek lain yang berpengaruh terhadap
keberhasilan komunikasi dalam implementasi
kebijakan ketersediaan beras untuk peningkatan
ketahanan pangan di Kabupaten Rembang,
adalah konsistensi. Agar implementasi kebijakan
ketahanan pangan dapat dilaksanakan secara
efektif artinya tersedianya produksi bahan
pangan yang memadai, maka perintah-perintah
atau petunjuk-petunjuk pelaksanaan harus
konsisten dan jelas. Walaupun perintah-perintah
yang disampaikan kepada para pelaksana
kebijakan mempunyai unsur kejelasan, tetapi
bila perintah tersebut bertentangan maka

109
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

perintah tersebut tidak akan memudahkan para


pelaksana kebijakan menjalankan tugasnya
dengan baik. Disisi yang lain, perintah-perintah
implementasi kebijakan yang tidak konsisten
dapat mendorong para pelaksana kebijakan
mengambil tindakan yang tidak konsisten dalam
menafsirkan dan mengimplementasikan kebi-
jakan yang ditetapkan. Bila hal ini terjadi, maka
akan berakibat pada ketidak efektifan imple-
mentasi kebijakan karena tindakan yang tidak
konsisten besar kemungkinan fokus untuk
melaksanakan tujuan-tujuan kebijakan.
Dengan memperhatikan hubungan antara
komunikasi dan implementasi kebijakan, maka
kita dapat mengambil kesimpulan bahwa sema-
kin cermat keputusan-keputusan dan perintah-
perintah pelaksanaan kebijakan ketahanan
pangan diteruskan kepada mareka yang harus
melaksanakannya, maka semakin tinggi
probabilitas keputusan-keputusan kebijakan dan
perintah-perintah pelaksanaan tersebut
dilaksanakan dan baik.
Komunikasi yang dilakukan selama ini di
Kabupaten Rembang, berkaitan dengan keta-
hanan pangan khususnya ketersediaan beras
baik yang dilakukan secara vertikal, lateral/
horisontal maupun diagonal cukup efektif. Hal
ini dapat dilihat sesuai dengan fakta bahwa apa
yang telah dikomunikasikan pada kenyataannya
telah dipahami, diterima, dan dipraktekan oleh
para petani. Bahkan proses umpan balik dari
petani melalui ketua kelomok tani masing-
110
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

masing, juga dapat berlangsung dengan baik


kepada petugas PPL, dan dicari solusi bersama
sesuai dengan bobot permasalahan dan lingkup
kewenangan masing-masing.
Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa sikap konsistensi pemerintah Kabupaten
Rembang dalam memberikan informasi terkait
dengan kebijakan ketahanan pangan khususnya
ketersediaan beras sebagai bahan pokok kon-
sumsi masyarakat, menjadi Aspek pendukung
dalam efektifitas komunikasi kebijakan program
ketahanan pangan di Kabupaten Rembang.

2. Aspek Penghambat Implementasi Kebijakan Ketersediaan


Beras
a. Isi Kebijakan (content of policy)
1) Pelaksanaan Program
Isi kebijakan dalam aspek pelaksaanaan program
yang menjadi Aspek penghambat adalah:
a) Belum terwujudnya keterpaduan dan sinergitas
antara stekoholder terkait, masih muncul
egosektor dan tumpang tindih dalam menjalankan
tupoksinya.
Terdapat beberapa instansi yang terlibat secara
langsung yaitu Bappeda, Kantor Ketahanan Pangan,
Dinas Pertanian dan Kehutanan, Dinas PU,
Bapermasdes, Dinas Perindustrian dan Perdagangan
dan Asosiasi Pedagang Beras. Untuk menciptakan
sinergitas antar stakeholder ketahanan pangan
khususnya tentang ketersediaan beras dibutuhkan
upaya keras karena masing-masing terfokus pada
peran sendiri-sendiri dengan tugas pokok sendiri-
111
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

sendiri. Dalam rangka melaksanakan kebijakan


ketersediaan beras koordinasi untuk menciptakan
sinergi masih sulit dilakukan. Kegiatan rapat koor-
dinasi ketahanan pangan khususnya juga memba-
has ketersediaan beras belum dapat dilaksanakan.
Masing-masing berjalan sendiri-sendiri bahkan
beberap SKPD tidak mengetahui adanya kebijakan
ketahanan pangan seperti apa.
Aspek penghambat khususnya berupa sinergi
dan keterpaduan dalam pelaksanaan kebijakan
ketersediaan beras belum sepenuhnya tercipta.
b) Belum terwujudnya keterpaduan program-
program antar pemangku kepentingan yang satu
dengan yang lain.
SKPD yang berkaitan langsung dengan
ketahanan pangan sebenarnya harus memadukan
program dan kegiatan mereka dalam pelaksanaan
kebijakan ketahanan pangan. Kenyataannya setiap
penyusunan program dan kegiatan setiap tahunnya
belum ada keterpaduan program dan kegiatan
tersebut. Masing-masing menyusun program dan
kegiatan sendiri-sendiri yang berpedoman pada
permasalahan masing-masing. Kondisi ini menye-
babkan upaya-upaya untuk memfokuskan program
dan kegiatan pada ketahanan pangan belum dapat
terwujud.
Koordinasi dan keterpaduan dalam penyusu-
nan program dan kegiatan belum tercipta. Hal ini
mejadi penghambat bagi pelaksanaan kebijakan
ketersediaan beras di Kabupaten Rembang.

112
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

c) Tidak Adanya Regulasi


Dalam pelaksanaan kebijakan ketersediaan
beras selain telah disusun arah kebijakan dan
program dalam RKPD maupun RPJMD, namun perlu
juga ditindaklanjuti dengan regulasi berupa Perda
atau Perbup yang mengatur dan menjamin
ketersediaan beras di Kabupaten Rembang.
Regulasi ini penting sifatnya untuk menimbulkan
sifat kepatuhan dan ketegasan dalam
pelaksanaannya.
hambatan dalam pelaksanaan juga belum
adanya regulasi yang mengatur pelaksanaan
ketahanan pangan. Selama ini para pelaksana hanya
berpedoman pada RPJM, Renstra, RKPD dan Renja
SKPD. Pedoman tersebut belum menjamin adanya
sinergi antar SKPD dan juga antar pemerintah
dengan masyarakat dan pedagang.
2) Sumberdaya Yang Dilibatkan
Sumberdaya yang menjadi penghambat dalam
kebijakan ketahanan pangan antara lain adalah :
a) Terbatasnya Sumber Daya Manusia
Pembentukan Dewan Pangan Daerah melalui
SK Bupati Nomor 500/96/2009 tentang Dewan
Ketahanan Pangan Kabupaten Rembang juga
menggambarkan betapa besar keterlibatan SDM
dalam ketahanan pangan. Dalam SK tersebut
diuraikan peran masing-masing SKPD sesuai dengan
tugas pokok dan fungsi yang selanjutnya digunakan
sebagai pedoman dalam pelaksanaan tugas Dewan
Ketahanan Pangan Kabupaten Rembang. Selain itu
dalam Dewan Ketahanan Pangan juga melibatkan

113
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

Ketua Tim Penggerak PKK, Ketua Assosiassi


LUEP,Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan, Ketua
Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Kab.
Rembang, Ketua Himpunan Nelayan Seluruh
Indonesia serta Camat Se Kabupaten Rembang.
Banyaknya SKPD yang terlibat dalam Dewan
Ketahanan Pangan Daerah Kabupaten Rembang
ternyata bukan merupakan dukungan bagi
implementasi kebijakan ketersediaan beras, karena
kinerja berkaitan dengan kebijakan tersebut belum
secara efektif dilakukan. Kurang optimalnya kinerja
SKPD ini disebabkan karena tidak adanya koor-
dinasi, kurangnya pemahaman secara utuh tentang
kebijakan ketersediaan beras dan munculnya ego
sektoral dalam menjalankan kebijakan ketahanan
pangan yang lebih berpedoman pada tupoksi
masing-masing SKPD.
Dinas Pertanian dan Kehutanan sebagai
instansi yang paling berkompeten dalam pelak-
sanaan kebijakan ketersediaan beras, telah
berusaha mewujudkan kebijakan tersebut melalui
peran Petugas Penyuluh Lapangan.Penyuluhan
pertanian merupakan pendidikan bagi para petani
guna mengembangkan pengetahuan, sikap dan
keterampilan petani sehingga secara mandiri
mereka dapat mengelola unit usaha taninya lebih
baik dan menguntungkan.
Berdasarkan data dari Dinas Pertanian dan
Kehutanan, jumlah tenaga PPL di Kabupaten
Rembang adalah 86 orang penyuluh PNS dan 91
orang penyuluh Tenaga Harian Lepas - Tenaga
Bantu (THL-TB), dengan kualifikasi pendidikan D3
114
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

dan S1 yang berlatar belakang pertanian. Dari


jumlah tersebut tersebar ke seluruh kecamatan dan
tiap kecamatan ditempatkan rata-rata 6 orang PPL
PNS dan 6 orang PPL THL-TB.
Dari data Dinas Pertanian dan Kehutanan
Kabupaten Rembang, jumlah Gabungan Kelompok
Tani (Gapoktan) sebanyak 225 dan jumlah
Kelompok Tani (Poktan) sebanyak 1047.
Dengan melihat banyaknya Gapoktan dan
Poktan maka keberadaan PPL sebanyak 177 orang
dirasakan masih kurang memadai apalagi bila dilihat
dari kondisi geografis dan luas wilayah Kabupaten
Rembang.
BKP dan P4K sebagai badan yang mengurusi
masalah ketahanan pangan yang seharusnya meru-
pakan pelaksana utama yang mampu menggerak-
kan masyarakat untuk melaksanakan apa yang
diharapkan pemerintah melalui kebijakan yang
disusun, ternyata kondisi tersebut tidak dapat
terlaksana secara optimal karena keterbatasan
sumber daya manusia.
BKP dan P4K masih kekurangan SDM
terutama pada Bidang Ketersediaan Pangan, sehing-
ga tidak dapat menangani seluruh permasalahan
pangan di Kabupaten Rembang.
b) Terbatasnya Pendanaan
Aspek pendanaan juga menjadi aspek
penghambat, karena dana untuk operasional BKP
khususnya bidang ketahanan pangan hanya sebesar
250 juta dari APBD dan APBN sebesar 1 milyar.
Kecilnya anggaran yang dialokasikan oleh
pemerintah Kabupaten Rembang dalam implement-
115
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

tasi kebijakan Ketahanan Pangan, dikarenakan


ketahanan pangan dianggap bukan merupakan
permasalahan prioritas bagi Kabupaten Rembang.

b. Konteks Kebijakan(Context of Policy)


Hambatan dari aspek konteks kebijakan (context of policy)
dapat dilihat dari ketersediaan infrastruktur pendukung
pertanian yang masih kurang memadai.
1) Ketersediaan Infrastruktur
a) Ketersediaan Infrastruktur Pengairan
Prasarana pengairan yang digunakan untuk
mengairi sawah terdiri dari bendungan dan saluran
irigasi. Sumber air bendungan berasal dari beberapa
sungai besar yang ada di Kabupaten Rembang,
antara lain Sungai Randugunting, Sungai Balang,
Sungai Panohan Babon, Sungai Waru dan Sungai
Kalipang.Sedangkan untuk dapat mendistribusikan
air dari sumber air menuju ke sawah, Kabupaten
Rembang memiliki saluran irigasi tersier sepanjang
36.567 Km. Namun kondisi saluran irigasi tersier
tersebut 2,65% (0,968 Km) baik, 7,35% (2.689 Km)
mengalami kerusakan berat dan sisanya 90%
(32,910Km) mengalami kerusakan ringan.
Ketersediaan infrastruktur belum semua
dapat mendukung usaha pertanian. Infrastruktur
yang tersedia tersebut belum mencukupi. Dam dan
Embung masih kurang untuk memenuhi kebutuhan
air baku di Kabupaten Rembang. Jaringan irigasi
yang ada masih sangat terbatas belum menjangkau
daerah-daerah kering yang ada di wilayah
Kecamatan Pancur dan Bulu.

116
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

Berdasarkan data dari DPU Bidang Sumber


Daya Air, panjang saluran irigasi primer Kabupaten
Rembang memiliki panjang 130,953 Km, dengan
kondisi di lapangan 45% ( 58,929 Km) baik, 15%
(19,643 Km) mengalami rusak berat, dan sisanya
40% (52,381 Km) mengalami kerusakan ringan,
sedangkan saluran irigasi sekunder selama enam
tahun terakhir memiliki panjang 119,495 Km
dengan kondisi 45% (53.772 Km) baik, 10% (11.950
Km) mengalami rusak berat dan 45% (53.773 Km)
mengalami kerusakan ringan.
Dari luas persawahan sebesar 29.209 ha,
sawah yang terairi dengan sarana pengairan teknis
sebanyak 18%, sedangkan yang menggunakan
sarana pengairan setengah teknis sebanyak 11,3%,
dan lainnya (60,94%) masih tergantung dengan air
hujan (tadah hujan). Kondisi ini menunjukkan
bahwa pelayanan irigasi masih belum menjangkau
seluruh wilayah. Kondisi seperti ini sangat tidak
mendukung peningkatan produktivitas pertanian di
masa mendatang.
Dengan melihat kondisi saluran yang ada,
diperlukan pengembangan dan perbaikan sarana
prasarana irigasi sehingga mampu meningkatkan
jangkauan areal persawahan yang dapat terairi.
Diperlukan pula pengelolaan jaringan irigasi agar
tetap dapat berfungsi secara optimal dalam
meningkatkan produksi pertanian sehingga berdam-
pak pada peningkatan pendapatan masyarakat.
Sistem irigasi belum sepenuhnya dapat
memenuhi kebutuhan, hal ini dikarenakan banyak
kondisi saluran irigasi sekunder yang mengalami
117
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

kerusakan belum ada tindak lanjut untuk diperbaiki.


Selain itu pada wilayah tertentu belum dibangun
saluran irigasi.
Untuk mengatasi kekurangan pasokan air
beberapa upaya yang dilakukan petani secara
swadaya membuat sumur bor untuk memenuhi
kebutuhan pasokan air. Kecukupan air/pasokan air
dalam mendukung pelaksanaan kebijakan keter-
sediaan beras pada beberapa kecamatan bervariasi
antar kecamatan. Ada kecamatan yang dalam
setahun dapat melakukan 3 x tanam padi, ada yang
2 x dan ada yang hanya dapat 1 x tanam. Tingkat
produktifitas hasil panen padi tidak terlepas dari
dukungan infrastruktur antara lain sarana dan
prasarana jaringan irigasi, dukungan potensi
sumberdaya air.
kulitas dan kuantitas infrastruktur pertanian
semakin menurun dan sangat terbatas jumlahnya,
sehingga menghambat upaya mewujudkan keber-
hasilan pelaksanaan kebijakan ketahanan pangan di
Kabupaten Rembang.
2) Ketersediaan Infrastruktur Jalan
Kondisi jalan sangat dibutuhkan guna menunjang
pembangunan pertanian yang efisien.Dengan adanya
jalan pengangkutan sarana produksi pertanian hingga
hasil pertanian menjadi lebih mudah dan murah
sehingga usaha pertanian menjadi lebih efisien. Infra-
struktur pertanian khususnya jalan pertanian merupa-
kan salah satu komponen dalam subsistem hulu yang
diharapkan dapat mendukung subsistem usahatani,
subsistem pengolahan dan subsistem pemasaran hasil
khususnya pada sentra-sentra produksi tanaman
118
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

pangan, hortikultura, perkebunan rakyat dan


peternakan.
Berdasarkan data dari Dinas Pekerjaan Umum
Kabupaten Rembang diketahui bahwa permukaan jalan
yang diaspal di Kabupaten Rembang pada tahun 2010
sepanjang 602,79 Km. Dari panjang jalan tersebut
346,61 km termasuk dalamkondisi baik. Sedangkan
pada tahun 2011 mengalami penurunan permukaan
jalan yang diaspal menjadi 593,49 km, dengan kondisi
jalan yang masih baik sepanjang 321,75 Km.
kondisi jalan kabupaten dari tahun 2010 sampai
tahun 2011 mengalami penurunan panjang jalan dan
kualitas jalan. Penurunan ini diakibatkan kerusakan
jalan aspal yang belum diperbaiki sehingga yang
sebelumnya merupakan jalan aspal berubah menjadi
jalan yang permukaannya kerikil.
c. Alam (Iklim dan Cuaca)
Aspek iklim atau cuaca di Kabupaten Rembang
merupakan penghambat terbesar bagi pelaksanaan
kebijakan peningkatan ketersediaan beras. Secara umum
berdasarkan hasil wawancara dapat dikemukakan bahwa
iklim dan cuaca kurang mendukung karena hari hujan
dalam setahun jumlahnya lebih kecil dibandingkan dengan
hari kering. Sebagaimana telah dikemukakan di atas,
jumlah hari hujan pada tahun 2012 hanya sebesar 76 hari
dari 365 hari dalam satu tahun. Rata-rata curah hujan di
Kabupaten Rembang juga rendah.
Tidak menentunya dukungan alam (iklim dan
cuaca) berdampak pada musim tanam, bahkan petani tidak
dapat melakukan kegiatan tanam, karena musim kemarau
yang berkepanjangan. Semakin rendahnya dukungan iklim

119
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

menurut beberapa pendapat informan dikarenakan


semakin rusaknya daya dukung hutan khususnya di daerah
penyangga air. Dengan meningkatnya daya rusak atas
kondisi hutan tersebut pada musim kemarau masyarakat
sangat sulit mendapatkan air untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari termasuk untuk pengairan sawah.
kondisi iklim kurang mendukung dalam imple-
mentasi kebijakan ketahanan pangan. Hal ini terbukti curah
hujan sangat sedikit sehingga pasokan kebutuhan air untuk
pertanian sangat rendah yang akibatnya ada beberapa
wilayah yang melakukan masa tanam satu tahun sekali dan
hasilnyapun tidak optimal.
1) Kondisi Lahan Pertanian
Penggunaan lahan wilayah Kabupaten Rembang
secara umum dapat dikelompokkan menjadi lahan
sawah seluas 29.172 Ha dan lahan kering seluas 72.236
Ha. Sebagian tanah sawah di Kabupaten Rembang ini
merupakan sawah tadah hujan sebesar 17,84% dari
keseluruhan tanah sawah. Sedang untuk tanah kering
sebagian besar merupakan tegalan yaitu sebesar
34,29% dari luas tanah kering di Kabupaten Rembang.
Sedangkan penggunaan lahan untuk permukiman
terkait dengan pertambahan penduduk yang
berdampak pada penyediaan fasilitas pemukiman dan
fasilitas pendukung lainnya.
Aspek penghambat kebijakan ketersediaan
beras dari kondisi lahan pertanian :
a) Penurunan kualitas lahan terjadi karena tingkat
kerusakan lahan pertanian semakin meningkat
tiap tahunnya.
Kondisi lingkungan yang kurang baik juga
ditunjukkan dengan bertambahnya luas lahan kritis.
120
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

Berdasarkan data spasial lahan kritis Balai


Pengelolaan DAS Pemali Jratun, pada tahun 2009 di
Kabupaten Rembang terdapat lahan potensial kritis
seluas 12.850,53Ha.
Konservasi lahan di Kabupaten Rembang terus
dilakukan, namun lahan kritis yang ada di Kabu-
paten Rembang berada di daerah atas sehingga
rehabilitasi yang dilakukan melalui reboisasi yang
tidak memiliki kemanfaatan langsung untuk pem-
bukaan lahan sawah baru. Rehabilitasi dan konser-
vasi lahan tersebut diharapkan bisa memperbaiki
sistem persediaan air atau resapan air untuk
mendukung ketersediaan air baku untuk pertanian.
Upaya penanggulangan lahan kritis melalui
konservasi berjalan kurang optimal. Lahan kritis di
wilayah Kabupaten Rembang cenderung bertambah
walau sudah dilakukan konservasi. Hal ini
diakibatkan upaya konservasi lahan yang dilakukan
tidak sebanding dengan tingkat kerusakan lahan
(erosi) yang terjadi akibat ulah manusia
b) Penurunan kuantitas lahan terjadi akibat
banyaknya alih fungsi lahan.
Lahan pertanian di Kabupaten Rembang
seluas 63.445 hektar sebanyak 6,68% atau 9.495
hektar telah dialih fungsikan ke non pertanian. Alih
fungsi lahan yang terbesar terjadi di daerah
perkotaan seperti Kecamatan Rembang. Pengen-
dalian alih fungsi lahan pertanian, dan upaya perlin-
dungan lahan pertanian produktif serta perlindu-
ngan terhadap petani merupakan salah satu bentuk
kebijakan yang strategis guna mewujudkan sistem
pertanian yang berkelanjutan serta ketahanan,
121
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

kemandirian dan kedaulatan pangan. Guna mewu-


judkan hal tersebut perlu koordinasi dan keter-
libatan lembaga-lembaga terkait, salah satunya
adalah Badan Pertanahan Nasional.
Kondisi yang terjadi di Kabupaten Rembang
menunjukkan bahwa dengan tidak adanya landasan
yuridis formal BPN tidak dapat melakukan
pengendalian alih fungsi lahan, karena memang
aturan yang ada saat ini tidak bisa mengendalikan
pemilik tanah untuk mengajukan alih fungsi lahan
pertanian menjadi non pertanian karena dianggap
lebih mengutungkan secara ekonomis. Peran BPN
terlihat tidak maksimal dalam pengendalian alih
fungsi lahan karena hanya sebatas melaksanakan
fungsi koordinasi berkaitan dengan administrasi
pertanahan.BPN tidak dapat menolak permohonan
alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian apabila
memang tidak bertentangan dengan tata ruang.
Dengan adanya landasan yuridis formal BPN
dapat lebih berperan dalam mengendalikan alih
fungsi lahan dari pertanian ke non pertanian. Oleh
karena itu Pemerintah Daerah sangat berkepen-
tingan untuk memberlakukan Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan, untuk menjadikan
pertanian sebagai bagian ketahanan nasional.
Disampingalih fungsi lahan adanya kebijakan
swa sembada gula dengan menghidupkan kembali
pabrik gula yang ada, mengakibatkan banyak areal
persawahan digunakan untuk tanaman tebu.
Sedangkan upaya untuk memperluas areal
tanam mengalami banyak kendala.Untuk perluasan
122
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

areal tanam secara geografis tidak memungkinkan.


Pembukaan lahan hutan baru untuk dijadikan lahan
sawah juga sulit sehingga upaya pemerintah untuk
memperluas areal tanam dilakukan dengan mening-
katkan jaringan irigasi dan perubahan dari lahan
kering (tegalan) menjadi lahan sawah.Perluasan
areal tanam di Kabupaten Rembang sulit dikem-
bangkan atau diperluas karena secara fakta luas
sawah di Kabupaten Rembang dari tahun-ke tahun
relative konstan atau bahkan berkurang. Oleh
karena itu yang lebih memungkinkan adalah
meningkatkan tingkat produksi padi dari pada
perluasan areal tanaman padi; Secara umum tanah
produktif/penyangga cenderung berkurang.
menurun, maka pemanfaatan lahan milik Perhutani
pasca tebang pohon terutama pada desa yang
berdekatan untuk jenis tanaman palawija dan padi
gogo.
Upaya pembukaan lahan baru untuk
pertanian relatif sulit dilakukan. Lahan pertanian
yang dibuka lebih banyak milik Perhutani dan
setelah dibuka ditanami palawija atau padi gogo.
Khusus untuk padi gogo membutuhkan persyaratan
tertentu yaitu curah hujan relatif mencukupi,
apabila curah hujan tidak mencukupi, maka yang
ditanam adalah palawija. Di Desa Ngulaan dan
Pasedan Kecamatan Bulu perluasan lahan areal
tanam padi sulit dilakukan. Luas areal tanam padi
tidak mengalami peningkatan, bahkan terjadi
penurunan akibat alih fungsi lahan dan diversifikasi
tanaman pada musim kemarau. Di Desa Pasedan
luas areal tanam padi justru mengalami penurunan
123
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

dengan adanya alih fungsi lahan dari pertanian ke


perkebunan jati dan kedondong
Kondisi lahan berupa pegunungan atau
perbukitan juga terdapat di Desa Sidorejo
Kecamatan Pamotan yang berada di wilayah Timur
Kabupaten Rembang.Perluasan areal tanam dalam
rangka peningkatan ketersediaan beras sulit
dilakukan karena terhambat olehkondisi geografis,
karenabeberapa kecamatan yang menjadi lokasi
penelitian secara geografis berupa pegunungan dan
perbukitan. Sedangkan alih fungsi lahan hutan
menjadi lahan pertanian tidak dapat dilakukan
karena hutan yang ada di wilayah tersebut
merupakan hutan lindung. Upaya yang dapat
dilakukan pemerintah untuk meningkatkan produksi
beras dilakukan dengan meningkatkan jaringan
irigasi dan perubahan dari lahan kering (tegalan)
menjadi lahan sawah.
Berdasarkan informasi dari informan
terdapat kebijakan-kebijakan kontra produktif
terhadap ketersediaan beras dan ketersediaan
lahan sawah untuk produksi beras secara makro
adalah kebijakan tentang swasembada gula dengan
mengaktifkan kembali pabrik-pabrik gula dalam
negeri. Kebijakan tersebut mendorong petani untuk
menanami sawah mereka dengan tanaman tebu,
sehingga lahan sawah untuk tanaman padi
berkurang. Kebijakan lain adalah kebijakan yang
dikeluarkan Pemerintah Kabupaten Rembang
sendiri yaitu tentang Pengembangan Ekonomi
Rembang (PER) yang salah satu kegiatan prioritas
adalah peningkatan investasi di bidang industri.
124
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

Dengan implementasi kebijakan tersebut banyak


industri yang dibangun di Kabupaten Rembang
sehingga mengurangi lahan sawah yang pada
gilirannya akan menurunkan ketersediaan beras di
Kabupaten Rembang.
Kebijakan lain adalah kebijakan tentang
penyediaan lahan untuk perumahan. Kebijakan ini
dikeluarkan untuk mengatasi kekurangan kebutu-
han akan rumah bagi penduduk. Pemerintah
kabupaten diharapkan dapat menyediakan lahan
yang dapat digunakan bagi pembangunan peruma-
han bagi masyarakat. Dengan adanya kebijakan ini
pemerintah Kabupaten Rembang wajib menyedia-
kan lahan bagi perumahan dengan mengalih-
fungsikan lahan pertanian atau sawah menjadi
lahan perumahan. Kebijakan ini akan mengurangi
luas lahan sawah yang ada sehingga dapat
berpengaruh terhadap penurunan luas lahan
pertanian. Penurunan lahan pertanian berakibat
turunnya ketersediaan beras di Kabupaten
Rembang.
d. Sikap dan Kemampuan Pelaksana
1) Kemampuan Aparat
Kemampuanaparat PPL memang dirasakan
sudah cukup baik. Aparat lain yang berkaitan dengan
ketersediaan pangan terutama dalam memahami
mekanisme ketersediaan beras dan pola distribusi
beras serta pemahaman terhadap arah kebijakan
ketersediaan beras belum optimal. Bahkan dapat
dikatakan merupakan Aspek penghambat bagi
pelaksanaan kebijakan ketersediaan beras. Banyak

125
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

aparatur yang tergabung dalam Dewan Ketahanan


Pangan maupun instansi yang berkaitan langsung
dengan ketersediaan beras, seperti BKP danP4K, Dinas
Pertanian dan Kehutanan, Dinas Pekerjaan Umum pada
Bidang Pengairan dan SDA, Dinas Perindustrian dan
Perdagangan dan Bappeda. Staf di lingkungan instansi
(SKPD) tersebut belum sepenuhnya memahami tentang
kebijakan ketersediaan beras.
kemampuan aparat dalam mengupayakan
pelaksanaan kebijakan ketahanan pangan belum
optimal. Hal ini menjadi hambatan dalam keberhasilan
pelaksanaan Kebijakan ketahanan pangan.
2) Kemampuan Pemberantasan Hama
Upaya pemberantasan hama yang menjadi
penghambat dalam pelaksanaan Kebijakan Keterse-
diaan beras adalah adanya hama tanaman padi
berbentuk jamur yang menyerang akar dan batang padi
yang sampai dengan penelitian ini dilakukan (januari
2013) belum ditemukan pestisidanya (fungisida).
Obat-obatan pemberantas hama tanaman padi yang
tersedia saat ini belum mampu menanggulangi
penyakit tanaman yang diakibatkan jamur “blas“.
Berdasarkan informasi tersebut dapat diambil
kesimpulan bahwa belum tersedianya obat pembasmi
hama “blas” menjadi penghambat dalam pelaksanaan
kebijakan ketersediaan pangan.
e. Struktur Birokrasi
Untuk menggambarkan struktur organisasi keta-
hanan pangan di Kabupaten Rembang akan dipaparkan
tentang standard operating prosedure, aspek fragmentasi,
kerjasama dan aspek koordinasi.

126
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

1) Standard Operating Procedures


Standar operating procedure merupakan peng-
hambat dalam pelaksanaan Kebijakan ketersediaan
beras. Prosedur-prosedur biasa yang dirumuskan pada
masa lalu mungkin dimaksudkan untuk menyelesaikan
keadaan-keadaan khusus yang berbeda dengan
keadaan sekarang sehingga justru akan menghambat
perubahan dalam kebijakan karena prosedur prosedur
biasa itu tidak sesuai dengan keadaan-keadaan baru
atau program-program baru. SOP sangat mungkin
menghalangi implememtasi kebijakan-kebijakan baru
yang membutuhkan cara-cara kerja baru atau tipe-tipe
personil baru untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan.
Disamping itu, semakin besar kebijakan membutuhkan
perubahan dalam cara yang lazim dari suatu organisasi,
semakin besar pula probabilitas SOP menghambat
implementasi.
Namun demikian disamping menghambat imple-
mentasi kebijakan SOP juga mempunyai manfaat.
Organisasi-organisasi dengan prosedur-prosedur peren-
canaan yang luwes dan kontrol yang besar atas
program-program yang luwes mungkin lebih dapat
menyesuaikan tanggung jawab yang baru ketimbang
birokrasi-birokrasi tanpa mempunyai ciri-ciri seperti ini.
Berdasarkan PP 68 tahun 2002 diserahkannya
urusan ketahanan pangan kepada daerah (kabupaten/
Kota). Secara lebih tegas penyerahan dan pembagian
kewenangan antara pemerintah pusat, provinsi baru
pada tahun 2007 yaitu dengan dikeluarkannya
Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 tentang
tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara
Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan
127
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Menindak-


lanjuti kebijakan normatif tersebut pemerintah Kabu-
paten Rembang baru merespon dengan membentuk
Dewan Ketahanan Pangan pada tahun 2009, dengan SK
Nomor 500/96/2009 tentang Dewan Ketahanan Pangan
Kabupaten Rembang. Adapun susunan Dewan
Ketahanan Pangan (DKP) kabupaten Rembang dengan
komposisi : Ketua, wakil Ketua, sekretaris, 3 orang
koordinator bidang dan 23 anggota yang berasal dari
berbagai instasi / kelompok terkait.
standardoperating procedures sebagai pedoman
operasional pelaksanaan ketahanan pangan di
Kabupaten Rembang secara normatif belum terbentuk.
Pelaksanaan kegiatan ketahanan pangan dalam
menghadapi emergency juga belum ada prosedur baku
yang harus dilalui. Dengan demikian dapat ditegaskan
bahwa Standard Operating Procedures (SOP) pelak-
sanaan penyediaan beras di kabupaten Rembang masih
perlu disusun dan dibakukan dengan SK Kepala BKP dan
P4K. Dengan masih belum adanya standardoperating
procedures menjadi aspek penghambat dalam imple-
mentasi kebijakan ketersediaan beras secara optimal.
2) Fragmentasi
Konsekuensi yang paling buruk dari fragmentasi
birokrasi adalah usaha menghambat koordinasi. Para
birokrat karena alasan alasan prioritas dari badan-
badan yang berbeda, mendorong para birokrat ini
untuk menghindari koordinasi dengan badan-badan
lain. Pada hal, penyebaran wewenang dan sumber-
sumber untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang
kompleks membutuhkan koordinasi. Hambatan ini
diperburuk oleh struktur pemerintah yang terpecah-
128
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

pecah. Pada umumnya, semakin besar koordinasi yang


diperlukan untuk melaksanakan kebijakan, semakin
berkurang kemungkinan untuk berhasil.
Fragmentasi mengakibatkan pandangan-panda-
ngan yang sempit dari banyak lembaga birokrasi. Hal ini
akan menimbukan dua konsensus pokok yang
merugikan implementasi yang berhasil. Pertama, tidak
ada orang yang akan mengakhiri implementasi
kebijakan dengan melaksanakan fungsi-fungsi tertentu
karena tanggung jawab bagi suatu bidang kebijakan
terpecah-pecah. Disamping itu, karena masing-masing
badan mempunyai yurisdiksi yang terbatas atas suatu
bidang maka tugas-tugas penting mungkin akan
berdampat antara retak-retak struktur organisasi.
Kedua, pandangan-pandangan yang sempit dari badan-
badan mungkin juga akan menghambat perubahan.
Jika suatu badan mempunyai fleksibilitas yang rendah
dalam misi-misinya, maka badan itu akan berusaha
mempertahankan esensinya dan besar kemungkinan
akan menentang kebijakan - kebijakan baru yang
membutuhkan perubahan.
Paparan fragmentasi dari kajian teoritis
tersebut bila dikaitkan dengan implementasi kebijakan
ketahanan pangan di Kabupaten Rembang, berda-
sarkan jawaban informan ternyata tidak berkorelasi
kuat. Hal ini terlihat dengan kurangnya kesepahaman,
kurangnnya koordinasi dan sinkronisasi agar kebijakan
ketahanan pangan dapat berjalan sebagaimana
diharapkan. Ego sektoral masih ditemukan dan dinas
terkait cenderung lebih fokus pada bidang tugas
pokoknya, ketimbang ikut serius bersinegi untuk

129
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

keberhasilan program ketahanan pangan yang menjadi


tugas tambahan di Kabupaten Rembang;
Dengan fragmentasi yang lebih bersifat
normatif dan masih kurangnya sinergi antar dinas
terkait yang masuk dalam Badan Ketahanan Pangan di
Kabupaten Rembang, menjadi salah satu Aspek
penghambat bagi upaya untuk keberhasilan
implementasi kebijakan ketahanan pangan khususnya
ketersediaan beras di Kabupaten Rembang.
3) Kerjasama
Dari aspek kerjasama, yang menjadi
penghambat kebijakan ketersediaan beras adalah :
Belum optimalnya kerjasama antar SKPD & tidak
adanya upaya keberlanjutan atas kerjasama yang telah
terjalin.Dalam perspektif administrasi secara luas, kerja
sama sangat penting karena melalui kerjasama dan
pembagian kerja sebagaimana ditentukan dalam
struktur, tujuan organisasi dapat dicapai secara efektif
dan efisien.
Kegiatan kerjasama dalam berbagai bentuknya
adalah disebabkan adanya kondisi saling membutuhkan
baik antar individu maupun antar organisasi karena
adanya kondisi saling membutukan yang dilandasi oleh
berbagai nilai. Pemenuhan atas nilai bisa karena rasio,
indra dan juga rasa. Rasio, indra dan rasa inilah yang
dimiliki oleh setiap manusia karena harkat dan
martabat yang sama namun dalam aktualisasi
ke’aku’annya yang berbeda.
Melalui pertimbangan rasio sangat dimungkin-
kan terbentuknya kerja sama guna mencapai tujuan
yang ditetapkan bersama. Kerjasama tersebut tentunya
melibatkan sejumlah sumber-sumber maupun
130
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

peralatan yang diperlukan. Dalam organisasi kerjasama


ditandai oleh adanya saling memberi dan saling mene-
rima, saling ketergantungan dan saling keterikatan
sehingga tercipta adanya hubungan yang teratur dalam
mencapai tujuan bersama.
Oleh karena itu, secara esensial kerjasama
adalah suatu keteraturan yang diciptakan oleh manusia
melalui ketergantungan dan keterikatan satu sama
lainnya untuk pencapaian tujuan bersama; Mata rantai
kebijakan pengadaan beras yang melibatkan berbagai
lembaga baik pemerintah maupun swasta termasuk
individu-individu baik petugas maupun petani harus
dibangun suatu sinergitas dan kerja sama yang baik.
Pada Dinas Pertanian dan Kehutanan menun-
jukkan bahwa dalam rangka pelaksanakan kebijakan
ketahanan pangan khususnya kebijakan penyediaan
beras, faktor kerja sama yang baik antara instansi
terkait masih perlu ditingkatkan. Demikian halnya perlu
ditingkatkan pula kerja sama yang baik dengan
stakeholders, pengusaha, termasuk petani / kelompok
tani.Perlunya kerjasama dan koordinasi karena pejabat
/instansi yang terlibat dalam program ketahanan
pangan di Kabupaten Rembang cukup banyak. Sesuai
dengan SK Bupati Kepala Daerah Kabupaten Rembang
maka pejabat/instansi yang bertanggung jawab baik
langsung maupun tidak langsung terhadap ketahanan
pangan yaitu : Asisten Ekonomi Pembangunan dan
Kesejahteraan Rakyat Sekretariat Daerah Kabupaten .
Rembang, Kepala Badan Ketahanan Pangan dan Pelak-
sana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan
Kabupaten Rembang, Kepala Dinas Pertanian dan
Kehutanan, Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan,
131
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

Koperasi dan UMKM, Kepala Dinas Kesehatanepala


Bappeda, Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perem-
puan dan KB, Dinas Kelautan dan Perikanan, Kepala
Dinas Perhubungan dan Kominfo, Kepala Dinas PU,
Kepala Dinsosnakertrans, Kepala Dinas Pendidikan,
Kepala Kantor Lingkungan Hidup, Kepala Badan Pusat
Statistik, Kepala Gudang Bulog 206 Rembang, Kepala
Dinas ESDM, Kepala DPPKAD, Kepala Bagian Kesra,
Kepala Bagian Administrasi Perekonomian, Ketua Tim
Penggerak PKK, Ketua Assosiassi LUEP, Ketua Kontak
Tani Nelayan Andalan, Ketua Himpunan Kerukunan
Tani Indonesia (HKTI) Kab. Rembang, Ketua Himpunan
Nelayan Seluruh Indonesia, Camat Se Kabupaten
Rembang.
Dari uraian diatas dapat dikemukakan bahwa
mata rantai kebijakan pengadaan beras melibatkan
berbagai tingkatan dari petani, pengepul / penggiling,
penyalur sampai pada pedagang besar yang ada
dipasar maupun instansi, baik instansi pemerintah
maupun pengusaha swasta. Begitu pentingnya aspek
kerjasama ini maka pemerintah daerah Kabupaten
Rembang, harus secara sungguh-sungguh mengupaya-
kan suatu sinergitas dan kerja sama yang baik. Tentang
efektivitas kerjasama dalam rangka penyediaan beras
di Kabupaten Rembang masih perlu ditingkatkan lagi.
4) Koordinasi
Koordinasi dalam implementasi kebijakan keter-
sediaan beras merupakan penghambat dalam imple-
mentasi. Pelaksanaan koordinasi masih lemah sehingga
sulit ditemukan kegiatan selaras dan terpadu mengarah
pada satu tujuan yaitu peningkatan ketersediaan beras.
Seharusnya melalui fungsi Dewan Pangan Daerah
132
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

Kabupaten Rembang, koordinasi di tingkat kabupaten


dapat dilaksanakan. Sampai dengan saat ini koordinasi
melalui dewan pangan belum dapat dilaksanakan.
Pentingnya koordinasi yang baik dalam imple-
mentasi kebijakan ketahanan pangan di Kabupaten
Rembang secara teoritis bahwa : (1) perasaan terlepas
satu sama lain, antara satuan-satuan organisasi atau
antar pejabat yang ada dalam kaitan dengan ketahanan
pangan tidak terjadi; (2) terhindar dari perasaan atau
pendapat bahwa satuan organisasi atau pejabat
tertentu merupakan yang paling penting; (3) tehindar
dari pertentangan antar bagian dalam organisasi
maupun antar instansi terkait, dan (4) menimbulkan
kesadaran diantara para pegawai untuk saling
membantu.
Bahwa koordinasi dalam pelaksanaan kebijakan
ketahanan pangan khususnya untuk menjaga keter-
sediaan beras jarang dilaksanakan. Permasalahan koor-
dinasi sudah dilaksanakan walaupun belum optimal.
Hanya saja selama ini koordinasi dilaksanakan lebih
pada tahap perencanaan, sedangkan pada tahap pelak-
sanaan serta tahap evaluasi masih kurang memadai.
Dengan kenyataan tingkat koordinasi yang belum
memadai serta lebih pada tahap perencanaan maka
konsekuensinya adalah apabila terjadi permasalahan
dalam pelaksanaan ketahanan pangan maka tidak
segera bisa diketahui dan dipecahkan bersama. Lemah-
nya koordinasi mengakibatkan implementasi kebijakan
ketersediaan beras dilaksanakan oleh masing-masing
SKPD berdasarkan tupoksinya.
Berdasarkan uraian tersebut, maka Dewan
Ketahanan Pangan Daerah sebagai institusi yang paling
133
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

berkompeten terhadap kebijakan ketahanan pangan


perlu mulai melakukan langkah-langkah koordinatif
sekaligus untuk membangun komunikasi dan kerjasama
antar SKPD agar implementasi kebijakan ketersediaan
beras dapat terselenggara secara terpadu dan
terintegrasi.

134
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

BAB IV
INOVASI MODEL IMPLEMENTASI
KEBIJAKAN PUBLIK

A. Inovasi Model Implemetasi Kebijakan Publik


Menurut berbagai pihak, inovasi model implemetasi kebijakan
publik yang diterapkan dalam berbagai bidang memiliki banyak
variasi. Inovasi model implementasi kebijakan adalah upaya
untuk menemukan model ideal yang digunakan untuk mening-
katkan dan memudahkan dalam melakukan implementasi
sebuah kebijakan.
B. Analisis Inovasi Kebijakan Publik
Analisis dalam rangka menemukan satu inovasi dalam
implementasi kebijakan publik perlu dilakukan dari berbagai
aspek da melalui beberapa tahap.
C. Rumusan Model Inovasi Implementasi Kebijakan Publik
Usulan Model Kebijakan Ketersediaan Beras yang Cukup,
Aman, Bermutu dan Terjangkau oleh Masyarakat
Rumusan usulan model implementasi kebijakan ketersediaan
beras yang cukup, aman, bermutu dan terjangkau oleh
masyarakat dilihat dari mulai perumusan kebijakan sampai
dengan metode monitoring dan evaluasi terlihat bahwa usulan
model kebijakan tersebut mencakup beberapa kelompok
variabel yaitu:

135
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

a. Isi Kebijakan atau Content Of Policy


Rumusan model implementasi kebijakan keterse-
diaan beras dari isi kebijakan terdiri dari beberapa variabel
yaitu tipe manfaat, derajat perubahan yang diharapkan,
pelaksanaan program dan sumberdaya yang dilibatkan.
Kebijakan ketersediaan beras yang cukup, aman, bermutu
dan terjangkau oleh masyarakat berdasarkan hasil
penelitian usulan model berkaitan dengan isi kebijakan
adalah :
1) Tipe manfaat dari kebijakan ketersediaan beras bagi
masyarakat dirumuskan kembali sehingga memberikan
manfaat secara langsung dapat dinikmati oleh
kelompok sasaran. Perumusan kembali tipe manfaat
kebijakan dilakukan dengan perumusan ulang kebijakan
ketersediaan beras yang termuat dalam RPJMD dan
Renstra Badan Ketahanan pangan.
2) Derajat perubahan yang diharapkan dari kebijakan
ketersediaan beras yang cukup, aman, bermutu dan
terjangkau oleh masyarakat adalah perubahan cara
bercocok tanam padi dari yang konvensional menjadi
pola Jajar Legowo; perubahan diversifikasi pangan
dengan tidak makan nasi sehari dalam satu tahun. Perlu
disosialisaikan dan dilaksanakan secara bertahap untuk
mencapai derajat perubahan yang diinginkan.
3) Peningkatan implementasi kebijakan ketersediaan
beras yang cukup, aman dan terjangkau, adalah dengan
mengoptimalkan Badan Ketahanan Pangan dan
Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perkebunan dan
Kehutanan (BKP dan P4K) sebagai leading sector dalam
mengkoordinir pelaksanaan kebijakan keahanan
pangan khususnya dalam hal kebijakan peningkatan
ketersediaan beras. Peningkatan peran Dewan
136
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

Ketahanan Pangan perlu dilakukan dengan mengemu-


kakan arti penting dari ketahanan pangan kepada
Bupati dan secara sinergi juga kepada DRPD. Petani dan
pedagang serta pelaku usaha tataniaga beras harus
selalu dibina dan diberikan pengarahan agar menjaga
ketersediaan beras di Kabupaten Rembang. BKP dan
P4K harus mampu berperan menjaga keterpaduan dan
sinergetias antara stekoholder terkait dan memini-
malisir egosektor dan tumpang tindih dalam menjalan-
kan tupoksinya. Selain itu pelaksanaan kebijakan
ketersediaan beras di Kabupaten Rembang perlu
ditindaklanjuti dengan penyusunan peraturan tentang
ketahanan pangan dan tataniaga beras, sehingga
pelaksanaan kebijakan ketahanan pangan memiliki
payung hukum yang tegas di daerah.
Dalam pelaksanaan, upaya yang harus dilakukan
adalah:
a. Dalam Implementasi kebijakan Ketersediaan Beras
di Kabupaten Rembang sebagaimana PP 68 tahun
2002 adalah optimalisasi dari Badan Ketahanan
Pangan Daerah dalam hal ini adalah optimalisasi
peran BKP dan P4K, sebagai sekretaris eksekutif dari
Dewan Ketahanan Pangan Daerah. Peran menjaga
ketersediaan pangan khususnya beras menjadi
tujuan utama dengan melakukan monitoring dan
evaluasi secara berkala.
b. Rapat Koordinasi tahunan dalam forum Dewan
Ketahanan Pangan Daerah Kabupaten Rembang
perlu dilakukan karena kebijakan pelaksanaan
kegiatan ketahanan pangan khususnya keterse-
diaan beras dapat dirumuskan dalam forum itu dan
segera dapat ditindaklanjuti.
137
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

c. Pengorganisasian di tingkat Kabupaten dilakukan


melalui BKP dan P4K dengan pusat kendali
ketahanan pangan ada di sana.
d. BKP dan P4k harus melakukan rapat koordinasi
resmi setiap enam bulan untuk memantau keterse-
diaan beras, sehingga semua kegiatan berkaitan
penyediaan beras dapat dilakukan secara terpadu
dari beberapa SKPD.
e. Peningkatan produksi padi dilakukan dengan ber-
bagai metode dan cara antara lain mempraktekkan
cara tanam Jajar Legowo, metode budidaya
tanaman padi dipraktekkan kepada seluruh petani,
pembatasan areal sawah yang ditanami tebu,
program sawah lestari, mengembangkan metode
bercocok tanam padi menggunakan metode System
Rice Intensification (SRI) yang hemat air, penanga-
nan pasca panen yang efisien.
f. Optimalisasi kelembagaan Gabungan Kelompok
Tani (Gapoktan) dan Kelompok Tani serta mengak-
tifkan kembali lumbung desa secara bertahap.
4) Sumberdaya yang dilibatkan
Sumber daya manusia yang tergabung dalam
Dewan Ketahanan Pangan Daerah dari sisi kuantitas
sudah sangat memadai. Hal tersebut dapat dilihat dari
banyaknya SKPD yang terlibat. Namun dari sisi kualitas
perlu ditingkatkan terutama mengenai pemahaman
tentang kebijakan ketersediaan beras.
Sedangkan dari aspek anggaran masih kurang
memadai, sehingga implementasi kebijakan keterse-
diaan beras tidak dapat berjalan sebagaimana yang
diharapkan.

138
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

b. Konteks Kebijakan atau Contex of Policy


1) Kepatuhan dan Daya Tanggap
Dalam konteks kebijakan atau setting kebijakan, suatu
kebijakan akan dengan mudah diimplementasikan
apabila tingkat pemahaman dan daya tanggap aparatur
pelaksana cukup baik.Walaupun berjalan dengan kurang
koordinasi namunimplementasi kebijakan ketersediaan
beras di Kabupaten Rembang sangat didukung oleh
kepatuhan dan daya tanggap aparatur pelaksana.Hal
tersebut terutama ditunjukkan oleh para PPL yang
mempunyai komitmen dan kompetensi dibidangnya.
2) Dukungan Stakeholders
Kebijakan akan dapat diimplentasikan dengan baik apa-
bila stakholders yang terlibat di dalamnya memberikan
dukungan yang optimal. Dukungan terhadap kebijakan
ketersediaan beras telah dilakukan sesuai dengan
kapasitasnya baik oleh SKPD, Bulog, PPL, Gapoktan,
Kelompok Tani, Petani, Pengusaha Rice Milll, Penyedia
Saprotan, Pengepul Beras Dan Pedagang Beras.
3) Dukungan Infrastruktur
Agar implementasi kebijakan ketersediaan beras
semakin baik perlu dukungan infrastruktur yang optimal.
Pelayanan irigasi masih belum menjangkau seluruh
wilayah. Perbaikan infrastruktur seperti saluran irigasi,
embung, dam, dan jalan pertanian harus dilakukan
secara bertahap sesuai kemampuan keuangan daerah.
Strategi pengadaan infrastruktur tersebut antara lain
dengan meminta dukungan pendanaan dari pemerintah
Pusat dan provinsi. Selain itu strategi lain adalah
memanfaatkan air tanah untuk irigasi dan membangun
saluran irigasi baru pada wilayah yang belum terdapat

139
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

irigasi seperti Kecamatan Bulu, Pancur, Sulang dan


Pamotan.
4) Alam (Iklim dan Cuaca)
Pengaruh iklim terhadap usaha pertanian sangat
besar. Terutama untuk tanaman semusim yang syarat
tumbuhnya tergantung ketersediaan air dan curah
hujan. Pada wilayah dengan anomali iklim dan cuaca
tinggi perlu kiranya menyiasati pola tanam dan sistem
tanam. Beberapa sistem tanam yang cocok antara lain
adalah System Rice Intensification (SRI) yaitu cara
bercocok tanam padi hemat air, sangat cocok untuk
daerah yang pasokan air baku untuk irigasi kecil. Pola
tanam walik dami merupakan sistem tanam padi
berdasarkan kearifan lokal untuk menyiasati singkatnya
musim penghujan di Kabupaten Rembang.
Pola tanam walik dami dipadukan dengan cara
tanam Jajar Legowo akan memberikan hasil yang
maksimal. Selain itu penggunaan varietas padi yang
toleran terhadap kekeringan akan memberikan hasil
yang maksimal.
Untuk “menangkap“ air hujan dan menahannya
selama mungkin perlu disediakan embung. Selain itu
untuk menyediakan air bisa melalui pembuatan sumur
artetis.
5) Kondisi Lahan Pertanian
Kondisi lahan pertanian di Kabupaten Rembang
relatif subur apabila memperoleh pengairan yang cukup.
Luas lahan pertanian harus diusahakan untuk diperta-
hankan secara ketat agar luasnya tidak semakin
berkurang. Di beberapa tempat lahan berkurang untuk
usaha batu bata, seperti di Desa Maguan Kaliori atau di
Kecamatan Kaliori. Upaya alih fungsi lahan tersebut
140
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

harus dibatasi dengan kebijakan pemerintah atau kalau


dapat harus dibatasi dengan Perda agar memiliki
kekuatan hukum.
Upaya lahan sawah untuk ditanami tebu dan
pembuatan batu bata dibatasi semaksimal mungkin.
Lahan tegalan yang harus diupayakan untuk ditanami
tebu bukan lahan sawah. Apabila sawah yang ada
banyak ditanami tebu dikhawatirkan produksi beras dari
Kabupaten Rembang menurun. Produksi beras yang
menurun akan mempengaruhi ketersediaan beras.
c. Sikap dan Kemampuan Pelaksana
1) Kemampuan Aparat
Secara umum kemampuan aparatur SKPD yang
tergabung dalam Dewan Ketahanan Pangan masih
kurang terutama dalam memahami arah dan tujuan
kebijakan ketersediaan beras.Sedangkan kompetensi
dan kemampuan teknis PPL sangat mendukung
implementasi kebijakan ketersediaan beras.
2) Kemampuan menyediakan Saprodi Pertanian
Saprodi pertanian di Kabupaten Rembang tersedia dan
mudah didapatkan dengan harga yang relatif
terjangkau.
3) Kemampuan Pemberantasan Hama
Upaya pemberantasan hama yang menjadi pengham-
bat dalam pelaksanaan Kebijakan Ketersediaan beras
adalah adanya hama tanaman padi berbentuk jamur
(”blas”) yang menyerang akar dan batang padi yang
sampai dengan penelitian ini dilakukan (Januari 2013)
belum ditemukan pestisidanya (fungisida).
d. Komunikasi
Komunikasi berkaitan dengan pelaksanaan kebijakan antar
institusi berjalan formal dan terkendala pada prosedur
141
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

birokrasi, sehingga respon terhadap masalah ketahanan


pangan dan upaya untuk mensinergikan kegiatan dalam
upaya meningkatkan ketersediaan beras menjadi
terhambat.
1) Transmisi (Media Komunikasi)
Transmisi atau media komunikasi yang digunakan
dalam implementasi kebijakan ketersediaan beras di
Kabupaten dilakukan melalui berbagai metode.
Sedangkan transmisi kepada petani melalui media
sosialiasi dan penyuluhan sebagaiamana dikemukakan
di atas cukup efektif dan tepat guna sehingga informasi
penting yang perlu dipahami dan dilaksanakan oleh
pihak terkait khususnya petani dapat tersampaikan
secara jelas dan efektif.
2) Kejelasan Informasi
Informasi yang disampaikan antar SKPD maupun
terhadap stakeholders maupun petani dapat diterima
dengan jelas. Namun untuk meningkatkan intensitas
komunikasi diperlukan sarana informasi dan komuni-
kasi berbasis IT agar menyebarluasan informasi lebih
cepat dan luas.
e. Struktur Organisasi / Birokrasi
1) Standard Operating Procedures
Standar prosedur operasional sebagai perwujudan dari
struktur organisasi ketahanan pangan di Kabupaten
Rembang belum ada sehingga menjadi aspek pengham-
bat bagi upaya untuk mengimplementasikan kebijakan
ketahanan pangan secara optimal.
2) Fragmentasi
Kurangnya kesepahaman dan kurangnya koordinasi
serta sinkronisasi mengakibatkan pelaksanaan kebijakan

142
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

ketahanan pangan tidak berjalan secara terintegrasi,


sehingga hasilnya masih kurang maksimal. Ego sektoral
masih ditemukan dan dinas terkait cenderung lebih
fokus pada bidang tugas pokoknya, ketimbang ikut
serius bersinegi untuk keberhasilan program ketahanan
pangan. Dengan fragmentasi yang lebih bersifat
normatif dan masih kurangnya sinergi antar dinas terkait
akan menghambat implementasi kebijakan ketersediaan
beras di Kabupaten Rembang.
3) Kerjasama
Kerjasama yang dilaksanakan harus ditindaklanjuti dan
terus diupayakan untuk keberlanjutannya. Mata rantai
kebijakan pengadaan beras melibatkan berbagai
tingkatan dari petani, pengepul/penggiling, penyalur
sampai pada pedagang besar yang ada dipasar maupun
instansi, baik instansi pemerintah maupun pengusaha
swasta. Begitu pentingnya aspek kerjasama ini maka
pemerintah daerah Kabupaten Rembang, harus secara
sungguh-sungguh mengupayakan suatu sinergitas dan
kerja sama yang baik. Tentang efektivitas kerjasama
dalam rangka penyediaan beras di Kabupaten Rembang
masih perlu ditingkatkan lagi.
4) Koordinasi
Koordinasi mulai tahap perencanaan, pelaksanaan
sampai dengan tahap evaluasi perlu lebih ditingkatkan.
Koordinasi yang belum memadai serta lebih pada tahap
perencanaan maka konsekuensinya adalah apabila
terjadi permasalahan dalam pelaksanaan ketahanan
pangan maka tidak segera bisa diketahui dan dipecah-
kan bersama. Lemahnya koordinasi akan menyebabkan
implementasi kebijakan tidak berjalan secara terpadu,
tiap SKPD cenderung berjalan sendiri berdasarkan
143
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

tupoksinya masing-masing. Kurang optimalnya koordi-


nasi menjadi salah satu aspek penghambat. Hal ini
karena instansi yang berwewenang untuk mengkoor-
dinir belum melaksanakan koordinasi sebagaimana yang
diharapkan.
Fenomena lain yang ditemukan dalam penelitian ini,yang
cukup berpengaruh terhadap keberhasilan implementasi
adalah law enforcement atau penegakan hukum. Keberhasilan
implementasi akan lebih besar apabila hukum dan peraturan
betul-betul ditegakkan. Penegakan peraturan salah satunya
dilakukan dengan penerapan sistem reward and punishment
dan sosialisasi untuk meningkatkan pemahaman dari para
pelaksana dan masyarakat. Penegakan hukum ini memiliki
pengaruh cukup besar pada keberhasilan implementasi
kebijakan publik. Penegakan hukum yang dimaksud antara lain
penegakan terhadap Perda Provinsi tentang sawah lestari, yaitu
alih fungsi lahan dari lahan pertanian (sawah) ke lahan non
pertanian atau permukiman.
Dari uraian di atas berbagai fenomena dan aspek yang
diupayakan untuk ditambahkan dan ditingkatkan disusun satu
model usulan yang dapat digunakan untuk memperbaiki
implementasi kebijakan di masa mendatang. Usulan tersebut
terlihat pada gambar berikut:

144
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

Diagram 4.1
USULAN MODEL IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN
(Usulan Model Implementasi Kebijakan Ketersediaan Beras Dalam
Rangka Peningkatan Ketahanan Pangan di Kabupaten Rembang)

Komunikasi

1. Media Komunikasi :
UU 7/ 1996 tentang Pangan

Penggunaan sarana informasi
PP 68 tahun 2002 ttg ketahanan pangan

berbasis IT
Perda No 1 tahun 2010 ttg RPJPD Kab Rembang 2. Kejelasan Informasi : Intensitas
 Perda No, 10 tahun 2010 ttg RPJMD Kab. Rembang 2010 - informasi, penyederhanaan
2015 prosedur (tdk terlalu birokratis)
 Perbub no. 16 tahun 2010 ttg RKPD tahun 2011 3. Konsistensi komunikasi
:Peningkatan konsistensi
komunikasi antar anggota DKP
dan stakeholders
Struktur Birokasi
1. SOPs : dibuat SOPs
Perbaikan terhadap 2. Fragmentasi : Peningkatan
aspek : intensitas koordinasi, kerjasama
Proses Penetapan dan komunikasi
Kebijakan ; 3. Kerjasama: kerjasama & sinergitas
Upaya Peningkatan antar anggota DKP dan
Ketersediaan Beras; stakeholders
Perbaikan Perumusan 4. Koordinasi : Rakor & rapat
Program dan Kegiatan evaluasi secara berkala Sikap dan Kemampuan
Peningkatan Pelaksana:
Ketersediaan Beras 1. Peningkatan Kemampuan
Aparat : Peningkatan
kemampuan teknis dan
kemampuan manjerial
Fenomena kebijakan 2. Peningkatan Kemampuan
penyediaan Saprodi Pertanian
: Peningkatan jaminan
b. Isi Kebijakan : ketersediaan saprodi
1. Tipe manfaat : Memperluas cakupan manfaat 3. Peningkatan Kemampuan
bagi masyarakat Pemberantasan hama :
2. Derajat perubahan yg diharapkan : Kemampuan dalam menentukan
Ketersediaan Optimalisasi diversifikasi pangan obat pembasmi hama dengan
Beras yang 3. Implementasi Program : Keterpaduan dan cepat,,terukur, dalam dosis yang
Cukup, Aman, sinergitas antara pemangku kepentingan dan tepat
Bermutu dan stekoholdersSumberdaya yang dilibatkan :
Terjangkau Alokasi anggaran yg menadai dan SDM yang
kapabel

c. Kontek Implementasi
1. Kepatuhan & daya tanggap : Peningkatan
respon aparatur
2. Dukungan Stakholder (Political will) : Keberhasilan
Perhatian dan dukungan Kepala Daerah Implementasi Kebijakan
3. Dukungan Infrastruktur : Pengembangan & Ketersediaan Beras:
perbaikan infrastruktur 1. Proses Perumusan
4. Dukungan Alam (Iklim dan cuaca) : Kebijakan (procedural)
Konservasi sumberdaya air, Penggunaan 2. Ketersediaan beras
benih yg toleran thd kekeringan & pola tanam meningkat
Walik Dami 3. Manajemen peningkatan
5. Kondisi Lahan Pertanian : Konservasi lahan, ketersediaanberas
meminimalisir alih fungsi lahan, dan insentif optimal.
bagi petani

Feed back Law Enforcement


1. Reward and Punishment
2. Kejelasan Sistem dan
prosedur

145
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

146
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

BAB V
PENUTUP

A. Implementasi Kebijakan Ketersediaan Beras Dalam Rangka


Peningkatan Ketahanan Pangan berdasarkan PP 68 Tahun
2002 (Eksisting Model)
1. Proses Penetapan Kebijakan Ketahanan Pangan :
Proses penetapan kebijakan ketahanan pangan diawali
dengan Perumusan Program dan Kegiatan Ketersediaan
Beras Dalam Rangka Peningkatan Ketahanan Pangan (PP 68
tahun 2002) yang dilakukan dalam forum SKPD dan
dituangkan dalam dokumen RPJMD Kabupaten Rembang.
Baru pada tahun 2009 Pemerintah Kabupaten
Rembang menindaklanjuti PP 68 tahun 2002 dan Peraturan
Presiden No. 83 Tahun 2006 tentang Dewan Ketahanan
Pangan dengan membentuk Dewan Pangan Daerah berda-
sarkan SK Bupati Nomor 500/96/2009. Sejak dibentuknya
Dewan Ketahanan Pangan Daerahbelum pernah melakukan
rapat koordinasi antar SKPD terkait.Koordinasi dilakukan
secara informal, yaitu dengan saling bertukar informasi atau
data. Kurangnya koordinasi tentang ketahanan pangan
menjadikan pelaksanaanuntuk mencapai kehananan pangan
tidak terarah dan terpadu, karena masing-masing SKPD
melaksanakan tugas pokok dan fungsi masing-masing.

147
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

2. Kondisi ketersediaan beras saat ini


Upaya peningkatan ketersediaan beras telah dilakukan
oleh BKP dan P4K, Dinas Pertanian dan Kehutanan serta
BULOG, namun dalam pelaksanaannya tidak dilakukan
secara koordinatif. Peningkatan ketersediaan beras dilaku-
kan dengan pemanfaatan sumberdaya lahan melalui :
a. Intensifikasi,berupa optimalisasi lahan pertanian yang
ada dengan upaya antara lain : penerapan sapta usaha
tani, penerapan pola tanam “Jajar Legowo”, pelaksa-
naan SLPTT, penerapan System Rice Intensification (SRI).
b. Ekstensifikasi, dengan cara perluasan lahan atau
pengembangan luas tanam melalui antara lain pene-
rapan kebijakan sawah lestari, kerjasama dengan
Perhutani dengan pembukaan areal pertanian baru dan
peningkatan lahan yang tidak atau kurang produktif
mejadi lahan produktif.
Sedangkan perluasan areal tanam sulit dilakukan
karena banyaknya alih fungsi lahan pertanian ke non
pertanian dan pembukaan lahan hutan baru untuk dijadikan
lahan sawah juga sulit, karena sebagian besar hutan
merupakan kawasan lindung. Upaya yang dilakukan adalah
meningkatkan jaringan irigasi dan perubahan dari lahan
kering (tegalan) menjadi lahan sawah.
Pengembangan konservasi dan rehabilitasi lahan
menjadi pilihan untuk mendukung produktivitas pertanian
yang dilakukan dengan cara :
a. Penanaman vegetasi berupa tanaman keras dan buah-
buahan disekitar sumber air atau bendungan untuk
menjaga ketercukupan air baku pertanian
b. Memperbaiki saluran irigasi tersier oleh petani

148
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

c. Pemetaan lahan produktif dan tidak produktif terutama


pada tanah di lereng pegunungan dengan membangun
lahan pertanian terasering.
Untuk meminimalisir bulir padi terbuang diusahakan
antara lain melalui penggunaan mesin perontok padi,
menggunakan terpal sebagai alas perontokan dan penje-
muran gabah.Guna menunjang kebutuhan air sebagai bahan
baku pada lahan pertanian diupayakan dengan melakukan
pelestarian sumberdaya air dan pengelolaan daerah aliran
sungaidengan upaya pengerukan embung, pembuatan
embung dan penanaman kembali lahan kritis dan hutan yang
rusak, dengan tanaman keras serta pembuatan biopori.
Selanjutnya pemeliharaan irigasi dan saluran drainase
oleh pemerintah dilakukan dengan mengoptimalkan saluran
irigasi yang ada dan terus menambah saluran irigasi pada
daerah-daerah yang belum memiliki saluran irigasi atau
daerah yang memiliki irigasi setengah teknis yang perlu
dikembangkan menjadi daerah pertanian dengan irigasi
teknis. Sedangkan oleh petani dilakukan dengan member-
sihkan saluran dari sampah dan tanaman liar, pengerukan
sedimentasi, pengaturan penggunaan air secara terjadwal
untuk tiap petani dan penyediaan embung secara swadaya

3. Manajemen Ketersediaan beras saat ini :


Perencanaan ketahanan pangan dibuat untuk kurun
waktu jangka panjang, jangka menengah dan jangka pendek
yang dituangkan dalam RPJPD, RPJMD dan RKPD. Yang
terlibat dalam proses perencanaan adalah : Bappeda, BKP
dan P4K, Dinas Pertanian dan Kehutanan, Dinas Pekerjaan
Umum, Bapermasdes, Diperindag, Dinas Koperasi dan
UMKM.

149
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

Pelaksanaan kebijakan ketersediaan beras menjadi


tugas dari Dinas Pertanian dan Kehutanan.Sedangkan
tupoksi SKPD terkait diatur dengan SK Bupati tentang
Pembentukan Dewan Pangan.
Mekanisme monitoring dan evaluasi ketersediaan
beras dan harga beras di tingkat BKP dan P4K adalah dengan
pembentukan tim yaitu staf Bidang Ketahanan Pangan pada
Badan Ketahanan Pangan dan P4K yang bertugas memantau
ketersediaan beras dan perkembangan harga beras di pasar.
Sedangkan BULOG melakukan monitoring dan evaluasi
secara berjenjang, Tim Gasar (harga dan pasar) Sub Divre
BULOG Kabupaten kepada Kantor Divre BULOG Provinsi dan
Divre BULOG Provinsi ke BULOG Pusat.

4. Aspek Pendukung dan Penghambat Implementasi


Kebijakan Ketersediaan Beras di Kabupaten Rembang.
a. Aspek Pendukung
Implementasi kebijakan ketersediaan beras di
Kabupaten Rembang mendapat dukungan dari fenomena
isi kebijakan atau content of policy. Aspek yang
mendukung adalah aspek manfaat, karena masyarakat
merasakan manfaat kebijakan yang mendorong adanya
pemberdayaan petani dan secara langsung menyentuh
kepentingan masyarakat. Program bantuan petani seperti
LUEP, BLBU dan PUAB bermanfaat dalam menjaga
kestabilan harga gabah kering panen. Sedangkan
kelompok tani juga dapat meningkat kapasitasnya melalui
program SLPTT dan SLPHT serta memberikan dampak
yang secara langsung yaitu meningkatnya hasil panen.
Kepatuhan dan daya tanggap aparat pelaksana
sebagai implementor kebijakan menunjukkan kinerja
yang baik dalam usaha peningkatan produktifitas
150
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

pertanian dan penyediaan cadangan pangan. Dukungan


lain berasal dari stakehokders terkait dengan P2BN
(Program Peningkatan Beras Nasional) dan program
pertanian Go Organic yaitu penggunaan pupuk organik
dengan melibatkan sektor swasta. Disamping itu BKP dan
P4K telah memfasilitasi 310 lumbung pangan masyarakat
dan mengembangkan Lembaga Distribusi Pangan Masya-
rakat (LDPM) sebanyak 139 gapoktan.
Untuk meningkatkan produktivitas padi, telah
didukung dengan ketersediaan saprodi yang mudah
didapatkan dengan harga yang terjangkau. Sedangkan
untuk mensosialisasikan kebijakan ketersediaan beras,
didukung komunikasi antara pemangku kepentingan
dengan stakeholders maupun petani yang dilakukan
secara konsisten dan jelas dengan memanfaatkan media
komunikasi.
b. Aspek Penghambat
Tidak adanya koordinasi mengakibatkan tidak adanya
kesepahaman, sinkronisasi dalam pelaksanaan kebijakan
ketahanan pangan, sehingga hasilnya kurang dapat
berjalan sebagaimana diharapkan. Ego sektoral masih
ditemukan dan dinas terkait cenderung lebih fokus pada
bidang tugas pokoknya, daripada serius bersinegi untuk
keberhasilan program ketahanan pangan. Disamping itu
dalam pelaksanaan kegiatan tidak ada Standard
Operating Procedures (SOPs) yang jelas, dan kurangnya
kerjasama antar SKPD mengakibatkan dinas terkait
cenderung lebih fokus pada bidang tugas pokoknya
masing-masing.
Dari aspek pelaksana dan sumber dana ditemukan
hambatan antara lain belum terwujudnya keterpaduan
dan sinergitas antara stekoholder terkait serta masih
151
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

muncul egosektor dan tumpang tindih dalam menja-


lankan tupoksinya, belum terwujudnya keterpaduan
program-program antar pemangku kepentingan yang satu
dengan yang lain,serta regulasi dan sarana prasarana
masih terbatas. Disamping itu dari sisi aparat pelaksana
masih ditemukan hambatan berupa belum semua aparat
memahami secara utuh kebijakan ketahanan pangan,
belum optimalnya kemampuan aparat SKPD dalam
mengupayakan pelaksanaan kebijakan ketahanan pangan
belum dan keterbatasan jumlah sumber daya manusia
pada BKP dan P4K sebagai lembaga yang paling berkom-
peten dalam bidang ketahanan pangan. Pendanaan juga
menjadi salah satu penghambat kebijakan ketahanan
pangan, alokasi anggaran belum sesuai harapan (masih
kecil) sedangkan kebutuhannya cukup besar, oleh karena
itu banyak program yang di back up melalui pendanaan
dari provinsi maupun pusat.
Hambatan dari aspek sumber daya alam berupa
penurunan kualitas lahan karena tingkat kerusakan lahan
pertanian semakin meningkat tiap tahunnya, penurunan
kuantitas lahan terjadi akibat banyaknya alih fungsi lahan
dan hambatan alam berupa rendahnya curah hujan
sehingga pasokan kebutuhan air untuk pertanian sangat
rendah. Sedangkan dari aspek sarana dan prasarana
antara lain berupa banyaknya saluran irigasi dan jalan
pertanian yang rusak sertabelum adanya pembasmi hama
untuk penyakit tanaman “blas” yang diakibatkan jamur.

152
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

5. Rumusan Model implementasi Kebijakan Ketersediaan


Beras dalam Rangka Ketahanan Pangan di Kabupaten
Rembang.
Model implementasi yang diusulkan ada beberapa
fenomena yang perlu mendapat penekanan khususnya pada
content of policy yaitu pada aspek sumberdaya yang
dilibatkan. Sumber daya yang dilibatkan perlu ditambahkan
alokasi anggaran dari APBD Kabupaten Rembang guna
mendukung operasional kegiatan yang berkaitan dengan
kebijakan ketersediaan beras, Kemudian pada fenomena
context of policy perlu ada penekanan atau perbaikan pada
dukungan stakeholders terutama adalah dari Bupati berupa
political wiill dengan menempatkan masalah ketahanan
pangan sebagai kebijakan prioritas dalam pembangunan
daerah. Fenomena lain yang perlu mendapatkan perhatian
adalah struktur birokrasi. Beberapa aspek dalam struktur
birokrasi yang perlu mendapat perhatian adalah perlu dibuat
SOPs. Adanya SOPs dapat digunakan sebagai acuan tentang
tugas dan tanggung jawab masing-masing implementor
kebijakan, sehingga implementasinya dapat berjalan secara
terintegrasi dan terpadu. Selanjutnya perlu adanya koor-
dinasi dan kerjasama antar SKPD terkait agar implementasi
kebijakan tidak terfragmentasi dan terlaksana dengan baik
Selain itu ada satu fenomena menarik yang muncul
yang cukup berpengaruh terhadap keberhasilan implemen-
tasi kebijakan ketersediaan beras adalah adanya penegakan
hukum yang tegas atau law enforcement. Penegakan hukum
diperlukan guna mendukung RTRW berkaitan dengan pene-
tapan kawasan pangan abadi (sawah lestari) serta untuk
membatasi alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian.

153
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

B. Rekomendasi
Ketersediaan beras yang cukup, aman dan terjangkau
oleh masyarakat dapat terpenuhi apabila dilakukan dengan
penguatan implementasi kebijakan di bidang pangan. Agar
penguatan implementasi kebijakan ketersediaan beras dapat
terwujud apabila penguatan kelembagaan ketahanan pangan
dapat merumuskan kebijakan secara jelas. Untuk itupeneliti
merekomendasikan hal-hal sebagai berikut :
1. Faktor Internal
Faktor internal yang mempengaruhi keberhasilan implemen-
tasi kebijakan ketersediaan beras pada kelompok fenomena
content of policy, sikap dan kemampuan pelaksana serta
struktur organisasi/birokrasi. Berdasarkan analisis teori dan
konsep serta dipadukan dengan temuan empiris direko-
mendasikan sebagai berikut:
a) Dewan Ketahanan Pangan Daerah perlu melakukan rapat
koordinasisetiap tahun sekali yang melibatkan seluruh
anggota/SKPD untuk merumuskan dan merencanakan
program kegiatan, strategi, dan tujuan secara bersama
atas dasar masukan seluruh anggota/SKPD dan dilaksa-
nakan secara terintegrasi dengan melibatkan seluruh
SKPD terkait dengan SOPs yang jelas agar singkron dan
selaras dalam pelaksanaan. Agenda ini juga dapat
digunakan mencari solusi terhadap permasalahan sarana
dan prasarana pertanian yang perlu dikembangkan atau
diperbaiki (misal sarana irigasi pertanian yang menjadi
tanggung jawab Dinas PU Bidang Sumber Daya Air),
sehingga dapat dibahas bersama untuk mencari
solusinya.
b) Dewan Ketahanan Pangan Daerah perlu melakukan rapat
evaluasi pelaksanaan kegiatan tiap 6 bulan sekali, dan
masing-masing anggota Dewan Ketahanan Pangan
154
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

Daerah melaporkan hasil kegiatannya sehingga dapat


segera melakukan antisipasi terhadap kendala dalam
impelementasi kebijakan.
c) Dewan Ketahanan Pangan Daerah perlu mengusulkan
penambahan sumber daya manusia yang kapabel dan
peningkatan sarana - prasarana serta mengajukan usulan
anggaran dalam RAPBD
d) Dewan Ketahanan Pangan Daerah perlu melakukan sosia-
lisasi dan pembinaan secara intensif ditingkat aparatur
pelaksana dan stakeholders tentang program kebijakan
ketersediaan beras agar terjadi pemahaman yang sama
dan utuh tentang program kebijakan ketersediaan beras
agar terbentuk komitmen yang kuat untuk mencapai
tujuan.
e) BKP dan P4K perlu meningkatkan kemampuaan PPL
dalam menentukan varietas padi yang toleran terhadap
kekeringan dan pola tanam yang cocok untuk lahan
kering, serta untuk mengurangi ketergantungan pada
pupuk kimia harus disosialisasikan penggunaan pupuk
organik.
2. Faktor Eksternal
Faktor eksternal yang mempengaruhi keberhasilan imple-
mentasi kebijakan ketersediaan beras pada kelompok
fenomena context of policy. Berdasarkan analisis teori dan
konsep serta dipadukan dengan temuan empiris disarankan
sebagai berikut:
a) Pemerintah perlu meminimalisir konversi lahan dari
pertanian ke non pertanian dan penurunan kualitas lahan
pertanian dengan penyusunan regulasi tata guna lahan
yang baik. Disamping itu hal yang sangat penting adalah
adanya Law Enforcement dan komitmen semua pihak
untuk menegakkan regulasi tersebut.
155
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

b) Pemerintah Kabupaten Rembang perlu menetapkan


Kawasan Pangan Abadi dengan insentif bagi pemilik lahan
pertanian yang tidak dialihfungsikan.
c) Pemerintah Kabupaten Rembang perlu membentuk
lembaga yang kompatible guna melakukan penelitian dan
pengembangan teknologi dibidang pertanian, meliputi
pembibitan/pembenihan, penemuan bibit unggul yang
cepat panen, tahan hama dan yang lebih penting adalah
sesuai dengan kondisi ekologi dan iklim serta rekayasa
genetika sehingga menghasilkan bibit padi yang hanya
membutuhkan lahan dan air sedikit namun menghasilkan
hasil yang melimpah.Pemanfaatan mesin pertanian yang
sederhana dan terjangkau serta mudah digunakan dalam
teknologi produksi dan teknik budidaya.
d) DPU harus terus melakukan perbaikan dan pengem-
bangan saluran irigasi dan drainase agar pelayanan irigasi
mampu menjangkau seluruh wilayah.
e) DPU-PSDA bersama Dinas Pertanian dan Kehutanan harus
melakukan konservasi sumber daya air dengan cara
melakukan penanaman, pemeliharaan, dan kegiatan
konservasi tanah lainnya pada kawasan lahan yang
gundul dan tanah kritis lainnya.
f) Pemerintah Kabupaten Rembang perlu mendorong
peningkatan SDM dibidang pertanian, saat ini ada
kecenderungan semakin rendahnya minat generasi muda
untuk terjun ke dunia pertanian karena alasan pertanian
bukan merupakan lahan yang menjanjikan secara
ekonomis dan bukan merupakan profesi yang menarik.
Berdasar pada realita tersebut, maka perlu peran
pemerintah melalui kebijakan pro pertanian, misalnya
dengan pengurangan PBB dan pengurangan ongkos
produksi dengan pemberian subsidi bibit, pupuk dan
156
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

obat-obatan pembasmi hama serta penyiapan tenaga


pertanian terdidik yang mendapat fasilitas beasiswa dari
pemerintah.
g) Pemerintah Kabupaten Rembangperlu melakukan
sosialisasi / kampanye secara intensif dan berkelanjutan
tentang :
 Diversifikasi makanan pokok untuk mengurangi
ketergantungan pada beras sebagai sumber
karbohidrat.
 Mengurangi kebiasaan pola makan diatas meja yang
sering menyisakan / tidak menghabiskan makanan.

157
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek

158
DAFTAR PUSTAKA

Abdul, Wahab, S., 1997., Analisis Kebijaksanaan dari Implementasi.


Kebijaksanaan Negara, Bumi Aksara. Jakarta.
---------., 1999., Analisis Kebijakan Publik Teori dan Aplikasinya. PT
Danar Wijaya. Malang.
Amang, B., 1995. Sistim Pangan Nasional. PT Dharma Karsa Utama.
Jakarta.
Anderson dalam LAN, 2011, Perumusan Kebijakan Publik dan
Pengambilan Keputusan, Lembaga Administrasi Negara RI,
Jakarta.
Braun, V.J., H. Bouis, S. Kumar, and L P. Lorch. 1992. Improving Food
Security of the Poor: Concept, Policy, and Programme.
InternationaI Food Policy Research Institute,.Washington, D.C.
Brian W. Hogwooddan Levis A. Gunn dalam Solichin Wahab, 1997,
Pengantar Kebijakan Publik, Bina Aksara, Jakarta.
Brown, Donald., 1995. "Poverty-Growth Dichotomy".Uner Kirdar dan
Leonard Silk (eds.), People: From Impoverishment to
Empowerment. New York: University Press, New York
Caiden, G.E. 1982. Public Administration. Second Edition. California:
Palasades Publisher.
Creswell, John W., 1994. Research Design Qualitative and Quantitative
Approaches. Sage Publications.
Chandler dan Plano (1988) dalam Kamus Administrasi Publik,
Kebijakan Publik (Public Policy), Gajah Mada University Press,
Jogjakarta.

159
Connors, O, 1997 dalam Trilestari ,2010, Kebijakan Publik Sebuah
Analisis, UI Press Jakarta.
Dunn, William.N. 1981, Public Policy Analysis: An Introduction, Prentice
Hall, New Jersey
Dunn, William. 1998. Pengantar Analisis Kebijakan Publik: Gajah Mada
University Press. Yogyakarta
Dunn, William. 2000. Kebijakan Publik: Gajah Mada University Press.
Yogyakarta
Dunn, William. 2004. Pengantar Analisis Kebijakan Publik: Gajah Mada
University Press. Yogyakarta
Dwiyanto, Agus, 2006, Good Governance dan Pelayanan Publik,
Pustaka Pelajar Jogjakarta.
Edwards III, George C., 1980. Implementing Public Policy, Congressional
Quartely, Inc. Washington D.C
FAO., 1996. World Food Summit. 13-17 November 1996. Food and
Agriculture Organisation of the United Nations. Rome. Italy.
Grindle, M.S, (Editor), 1997. Getting Good Government: Capacity
Building in the Public Sectors of Developing Countries.:Harvard
Institute for International Development, Boston MA
---------, 1980.Politic and Policy Implementation in The Third World,
Princeton-New Jersey: Princeton University Press, Boston MA
Islamy, M. Irfan, 2001,Manajemen Sumber Daya Aparatur, FIA,
Unibraw. Malang
---------, 2001, Agenda Kebijakan Reformasi Adminitrasi Negara,
Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya, Malang.
Iskandar, Johan, 2006. Metodologi Memahami Petani dan Pertanian
Dalam Jurnal Analisis Sosial Vol.11 No. 1 April 2006, Yayasan
AKATIGA Pusat Analisis Sosial, Bandung.

160
Keban, 2008, Jeremias, Enam Dimensi Administrasi Publik, Gramedia,
Jakarta.
Jones, Charles O., 1991. Pengantar Kebijakan Publik, Penterjemah,
Bashar Budiman, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Lassa, Jonatan, 2009, Politik Ketahanan Pangan Indonesia 1950 – 2005,
World Food Summit, Journal Ketahanan Pangan.
Lincoln, Yvonna S. & Egon G. Guba, 1985, Naturalistic Inquiry, SAGE
Publication, California, New Delhi, London.
Litbang Deptan., 2003. Kajian Situasi Lumbung Pangan Masyarakat di
Propinsi Jabar Dan Jateng. Departemen Pertanian. Jakarta
Maní, 2000 dalam Trilestari ,2010, Kebijakan Publik Sebuah Analisis, UI
Press Jakarta.
Miler, Matthew B. and Michael Huberman, 1984, Qualitave Data
Analysis: A Sourcebook of New Methode, First Edition, Sage
Publication, Baverly Hill, California.
Miles, B. Mathew dan A. Michael Huberman., 1992. Analisa Data
Kualitatif (terjemahan). Penerbit Universitas Indonesia (Ul-
Press). Jakarta.
Mirsha, Usha, 2010, Current Food Security and Challenges, dalam Food
Security in Bangladesh, Papers Presented In the National
Workshop. 2010.
Moleong, Lexy, 2000. Metode Penelitian Kualitatif, Edisi keempat,
Remaja Rosda Karya, Bandung.
Mustopadidjaja, 2002, Studi Kebijaksanaan Perkembangan Dan
Penerapannya Dalam Rangka Administrasi Dan Manajemen
Pembangunan, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi,
Universitas Indonesia
Nugroho, Hadi, 2003, Analisis Kebijakan Publik, Pustaka Pelajar,
Jogjakarta.

161
Patton, Patricia, 1998, Pelayanan Sepenuh Hati, Terjemahan Hermes,
Pustaka Delapatra, Jakarta.
Ripley, Randall B., 1985. Policy Analysis in Political Science, Nelson-Hall
Publisher, Inc. Chicago
Riyanto, Y., 2003, Penelitian Kwalitatif, Penerbit SIC, Surabaya.
Sawitdan Ariyani, 1997, Ketahanan Pangan di Indonesia, Sebuah
Catatan. Pustaka Jaya, Jakarta
Scott. James C. 1993, Perlawanan Kaum Tani, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia
Sen, Amartya., 1999. Development as Freedom. Oxford University
Press. New York.
Shafriz dan Russel 1997, dalam Mustopadidjaja, 2002, Studi
Kebijaksanaan Perkembangan Dan Penerapannya Dalam
Rangka Administrasi Dan Manajemen Pembangunan,
Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia
Simatupang, P., 1999. Toward Sustainable Food Security: The Need for
A New Paradigm in Simatupang, P. et a/- (edisi Indonesia's
Economic Crisis: Effects on Agriculture and Policy Responses.
1999. Centre for International Economic Studies. University of
Adelaide 5005 Australia.
Strauss & Corbin, 1980, Understanding & Conducting Qualitative
Research, Dubuque, Lowa.
Sugiono, 1993, Metode Penelitian Administrasi, Edisi Pertama,
Alfabeta, Bandung.
Strauss & Corbin, 1980, Understanding & Conducting Qualitative
Research, Dubuque, Lowa.
Van Meter, D.S and C.E Van Horn., 1975. The Policy Implementation
Process : A Conceptual Framework, Administration and Society

162
Warella, Y. 2009 dalam V. Priyo Bintoro, Pangan Antara Kebutuhan
dan Ancaman, Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang
Wasrlah, Chaedar Al, 2002. Pokoknya Kualitatif (Dasar-Dasar
Merancang & Melakukan Penelitian Kualitatif). Pustaka Jaya.
Bandung
Webb, Patrick and Beatrice Rogers. 2003, Dalam Nuhfil Hanani AR,
2011, Pengertian ketahanan Pangan, Jurnal Ketahanan
Pangan, Litbang Departemen Pertanian.
Wibawa, S. 1994. Evaluasi Kebijakan Publik. PT. Raja Grafindo Persada.
Jakarta.
Wahab, Solichin 1991, Pengantar Kebijakan Publik, Bina Aksara,
Jakarta.
Yin, K. Robert, 2004, Studi Kasus Desain dan Metode, penerjemah
M.Djauzi Mudzakir, edisi revisi, PT. Raja GrafindoPersada,
Jakarta.
Yuliany, Sri, 2011, Paradigma Administrasi Negara, FISIP UNS,
Surakarta.
Zauhar, S., 2001. Administrasi Publik, Universitas Negeri Malang.

Per Undang-Undangan:
Anonim, (1997). Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang
Pangan. Litbang Departemen Pertanian,
Anonim, (2002), Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002, tentang
Ketahanan Pangan, Litbang Departemen Pertanian.
Anonim, (2004), Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang
Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan
Anonim, (2006), Peraturan Presiden No 83 tahun 2006 tentang Dewan
Ketahanan Panqan

163
Anonim, (2006) Dokumen Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2006-
2009, Litbang Kementerian Pertanian
Anonim (2007), Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Propinsi dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota
Anonim, (2007), Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang
Organisasi Perangkat Daerah
-----------, (2001). Kepmendagri Nomor 6 Tahun 2001 Tentang Lumbung
Pangan Masyarakat Desa (LPMD). Direktorat Jenderal
Pemberdayaan Masyarakat & Desa – Departemen Dalam
Negeri
Anonim, (2008) Permendagri Nomor 30 Tahun 2008 tentang
Cadangan Pangan Pemerintah Desa (CPPD)

164
DAFTAR DIAGRAM
Diagram 2.1 Implementasi Kebijakan Berdasarkan Isi dan
Konteks Implementasinya ................. ............... 24
Diagram 2.2 Implementasi Kebijakan………………………………… 30
Diagram 2.3 Model Implementasi Kebijakan Publik .............. 32
Diagram 2.4 Faktor yang Mempengaruhi Kinerja
Implementasi Kebijakan Publik ………………………. 33
Diagram 2.5 Mekanisme Ketersediaan Pangan ………………….. 48
Diagram 2.6 IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KETAHANAN
PANGAN (Studi Implementasi Kebijakan
Ketersediaan Beras Dalam Rangka
Peningkatan Ketahanan Pangan di Kabupaten
Rembang) ………………………………………………………. 57
Diagram 3.1 Implementasi Kebijakan Ketersediaan Beras
Dalam Rangka Peningkatan Ketahanan
Pangan ............................................................... 60
Diagram 3.2 Usulan Prosedur Penetapan Kebijakan
Ketersediaan Beras Di Kabupaten Rembang ..... 61

Diagram 3.3 Mekanisme Peningkatan Ketersediaan Beras


Saat ini ............................................................... 62
Diagram 3.4 Usulan Mekanisme Peningkatan Ketersediaan
Beras .................................................................. 63
Diagram 3.5 Mekanisme Perencanaan Program
Peningkatan Ketersediaan Beras di Kabupaten
Rembang Saat Ini ............................................... 65
Diagram 3.6 Usulan Mekanisme Perencanaan Program
Peningkatan Ketersediaan Beras di Kabupaten
Rembang............................................................ 67
Diagram 3.7 Pengorganisasian Dalam Implementasi
Kebijakan Ketersediaan Beras Saat Ini .............. 69
Diagram 3.8 Usulan Pengorganisasiaan Dalam
Implementasi Kebijakan Ketersediaan Beras .... 70
Diagram 3.9 Pelaksanaan Kebijakan Ketersediaan Beras di
Kabupaten Rembang Saat Ini ............................ 74

165
Diagram 3.10 Usulan Pelaksanaan Kebijakan Ketersediaan
Beras di Kabupaten Rembang ........................... 75
Diagram 3.11 Mekanisme Monitoring dan Evaluasi
Ketersediaan Beras di Kabupaten Rembang...... 77
Diagram 3.12 Usulan Mekanisme Monitoring dan Evaluasi
Ketersediaan Beras di Kabupaten Rembang ..... 78
Diagram 3.13 MODEL EKSISTING IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
KETAHANAN PANGAN (Model Eksisting
Implementasi Kebijakan Ketersediaan Beras
Dalam Rangka Peningkatan Ketahanan Pangan
di Kabupaten Rembang) ………………………………… 86
Diagram 4.1 USULAN MODEL IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
KETAHANAN PANGAN (Usulan Model
Implementasi Kebijakan Ketersediaan Beras
Dalam Rangka Peningkatan Ketahanan Pangan
di Kabupaten Rembang) ………………………………… 145

166
RIWAYAT HIDUP

Nama : Suparno
Tempat/Tgl Lahir : Boyolali / 3 Juli 1955

Pendidikan :
1. S1 : Ilmu Adm. Negara, FISIP UNTAG Semarang, 1986
2 S2 : Magister Administrasi Negara, FISIP UNTAG Surabaya,
1994
3 S3 : Program Doktor Administrasi Publik, UNDIP Semarang,
2013

OrganisasiProfesi :
1994 - 1998 : Sekretaris Program Studi Ilmu Administrasi
Negara FISIP NTAG Semarang
1998 - 2002 : Ketua Program Studi Ilmu Administrasi
Negara FISIP UNTAG Semarang
2002 -2005 : Kepala Pusat Pengelolaan KKN UNTAG
Semarang
2005 - 2006 : Pembantu Dekan III FISIP UNTAG Semarang
2006 - 2015 : Dekan FISIP UNTAG Semarang
2015 - sekarang : Rektor UNTAG Semarang

167
168

Anda mungkin juga menyukai