Oleh :
Putu Ayu Elvina
Pembimbing:
Dr.dr. AAGP Wiraguna, Sp.KK (K), FINDSDV, FAADV
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI.......................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................1
DAFTAR PUSTAKA
2
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
meliputi respon imun spesifik HIV dan aktivasi imun terhadap sel sekitar
(bystander).18 Limfosit T CD4+ berperan penting dalam pengaturan respon imun
terhadap patogen dengan menjalankan berbagai fungsi, antara lain aktivasi sel
pada sistem imun bawaan (limfosit B, sel T sitotoksik dan sel nonimun), serta
berperan dalam supresi reaksi imun.19 Rendahnya jumlah limfosit T CD4+ akan
menurunkan sistem imun melawan patogen sehingga penderita menjadi rentan
terhadap IO.
Sel T CD4+ naїve dapat berdiferensiasi menjadi T helper (Th)1, Th2, Th17,
sel T regulatori (Treg) dan Th folikuler (Thf) dengan profil sitokin dan fungsi
yang berbeda-beda.19,20 Sel Th1 terlibat dalam eliminasi patogen intraseluler,
autoimunitas spesifik organ, serta menghasilkan sitokin interferon (IFN)-γ yang
meningkatkan aktivitas fagositik makrofag dan sel mikroglial. Sel Th2 berfungsi
pada respon imun terhadap parasit ekstraseluler, seperti cacing, serta berperan
penting dalam menginduksi berbagai penyakit alergi.19 Sel Th17 merupakan
mediator penting dalam pertahanan pejamu melawan patogen ekstraseluler seperti
bakteri dan jamur, serta mempertahankan integritas sawar epitel usus. Hilangnya
sel ini akan mengganggu integritas mukosa usus, meningkatkan permeabilitas
terhadap produk mikroba serta berperan dalam aktivasi imun kronis. 19,20 Sel Treg
berperan penting dalam mempertahankan toleransi imunologis terhadap antigen
dan menurunkan respon imun setelah patogen tereliminasi. Treg dalam keadaan
normal berperan dalam menekan respon imun sel T, namun pada infeksi HIV
terjadi perubahan distribusi diferensiasi sel T CD4+ berupa peningkatan jumlah
Treg serta penurunan diferensiasi sel T lainnya.20 Sel Thf berinteraksi dengan sel
B spesifik antigen pada jaringan limfoid sekunder dan meningkatkan afinitas
antibodi, maturasi serta diferensiasi sel B menjadi sel memori dan sel plasma. 19,20
Infeksi HIV menyebabkan ekspansi Thf dan meningkatkan antibodi autoreaktif
sehingga menghasilkan kerusakan berat termasuk hancurnya sel CD4.20
Menurunnya jumlah limfosit T CD4+ tidak hanya terjadi akibat penghancuran
langsung oleh HIV, namun juga melibatkan hubungan yang lebih kompleks antara
sistem imun pejamu dan efek dari replikasi aktif HIV. Berkurangnya jumlah
limfosit T CD4+ setelah infeksi HIV terjadi melalui beberapa mekanisme, yaitu
7
inisiasi ART pada keadaan IO akut dan pemberian ART saat timbul IO pada
pasien yang sedang mendapat ART. Penatalaksanaan pada setiap keadaan
bervariasi tergantung dari derajat perkembangan virologis dan imunologis
sebelum pemberian ART dan keuntungan yang didapat dari pemberian ART,
durasi infeksi HIV sebelum dan sejak inisiasi ART serta interaksi obat yang
berpotensi terjadi antara rejimen ART dan terapi IO.24
Kelebihan inisiasi ART pada keadaan IO akut meliputi perbaikan fungsi
imun yang dapat mempercepat kesembuhan IO, terutama bila terapi yang efektif
untuk IO tersebut masih terbatas atau belum tersedia. Kelebihan lainnya adalah
mengurangi risiko terjadinya IO berikutnya.24 Pendapat yang menentang inisiasi
ART segera begitu terdiagnosis IO meliputi jumlah dan toksisitas obat yang
bertambah, sulitnya membedakan toksisitas disebabkan oleh ART atau akibat
terapi IO, interaksi obat yang dapat terjadi serta kemungkinan terjadi IRIS.14,24
Terapi antiretroviral harus dimulai sesegera mungkin pada kasus IO
kriptosporidiosis, mikrosporidiosis, CMV, PML dan sarkoma Kaposi; sedangkan
kasus TB, kompleks Mycobacterium avium, PCP dan meningitis kriptokokal
harus menunggu respon terapi IO setidaknya 2 minggu sebelum inisiasi ART.27
Belum ada data penelitian yang menyatakan bahwa inisiasi ART akan dapat
meningkatkan hasil akhir pada pasien yang telah diterapi spesifik untuk IO,
sebaliknya ART yang dimulai pada keadaan IO akut juga tidak didapatkan
memperburuk prognosis IO tersebut. Timbulnya IO dalam waktu 12 minggu
setelah inisiasi ART, harus segera mendapat terapi untuk IO dengan tetap
melanjutkan ART dan mempertimbangkan modifikasi rejimen ART apabila
respon kenaikan jumlah sel T CD4+ tidak optimal.24
Inisiasi ART bagaimanapun wajib diberikan pada infeksi HIV stadium klinis
3 dan 4 atau tanpa memandang stadium klinis jika jumlah CD4 ≤ 350 sel/mm 3.
Inisiasi ART dilakukan tanpa melihat stadium klinis WHO dan jumlah CD4 pada
koinfeksi TB, koinfeksi Hepatitis B, ibu hamil dan menyusui yang terinfeksi HIV,
orang terinfeksi HIV yang pasangannya HIV negatif, kelompok populasi kunci
(laki-laki yang berhubungan seksual dengan laki-laki (LSL), pekerja seks,
1
pengguna narkoba suntik (penasun) dan waria), serta penderita HIV pada populasi
umum yang tinggal di daerah epidemi HIV meluas.23,27
Gambar 1. Radiografi dada pada pasien ko-infeksi TB-HIV. Gambar kiri menunjukkan adanya
infiltrat dengan kavitasi pada lobus kanan atas. Gambar kanan menunjukkan adanya infiltrat
bilateral tanpa kavitasi. (Dikutip dari kepustakaan nomor 30)
Gambar 2. Transmisi Cryptosporidium parvum terjadi terutama melalui air yang terkontaminasi
(air minum maupun air di pusat rekreasi), dan secara jarang dapat melalui makanan. Ookista
bersifat infeksius begitu diekskresikan sehingga transmisi fekal-oral langsung dapat terjadi.
(Dikutip dari kepustakaan nomor 33)
Gambar 3. Kandidiasis orofaringeal pada penderita HIV. Tampak pseudomembran pada palatum
durum (kiri) serta mukosa gusi dan bukal (kanan). (Dikutip dari kepustakaan nomor 36)
Profilaksis harus diberikan kembali bila jumlah limfosit T CD4 + selanjutnya turun
di bawah 100 sel/µL.4
Gambar 4. Transmisi Toxoplasma gondii terjadi terutama melalui kucing yang merupakan pejamu
definitif parasit ini. Ookista diekskresikan melalui kotoran kucing dan menjadi infeksius,
kemudian menginfeksi pejamu intermediet melalui tanah, air dan makanan. (Dikutip dari
kepustakaan nomor 38)
5a 5b
Gambar 5. 5a. Jamur Pneumocystis yang didapatkan pada paru pasien dengan AIDS. 5b.
Radiografi dada pada penderita HIV dengan Pneumonia Pneumocystis menunjukkan karakteristik
berupa opasitas granuler simetris bilateral. (Dikutip dari kepustakaan nomor 40 dan 41)
Infeksi awal P. jirovecii umumnya terjadi pada masa kanak-kanak awal dan
PCP terjadi akibat reaktivasi fokus infeksi laten atau akibat paparan baru melalui
udara.15 Gambaran klinis PCP terkait HIV berupa demam, batuk tidak berdahak
dan dispnea. Radiografi dada merupakan landasan diagnostik dan menunjukkan
opasitas bilateral, simetris, interstitial atau granuler (Gambar 5b).41
2
Profilaksis terhadap PCP dapat dihentikan dengan aman bila pasien telah
menunjukkan respon terhadap ART dengan jumlah CD4+yang meningkat >200
sel/µL paling sedikit selama 3 bulan. Profilaksis harus diberikan kembali bila
jumlah limfosit T CD4+ selanjutnya turun di bawah kadar tersebut.15,26
Profilaksis sekunder harus dilanjutkan seumur hidup pada pasien HIV yang
bertahan hidup setelah episode PCP, kecuali bila pasien memulai ART dan jumlah
limfosit T CD4+ meningkat >200 sel/mm3 selama ≥3 bulan.15 Profilaksis PCP
harus diberikan kembali bila jumlah limfosit T CD4 + turun di bawah 200 sel/mm 3
akibat kegagalan ART maupun ketidakpatuhan.4
BAB III
RINGKASAN
Infeksi oportunistik yang terjadi sebagai konsekuensi dari turunnya jumlah sel T
CD4+ pada pasien yang terinfeksi HIV merupakan penyebab utama morbiditas
dan mortalitas sehingga perlu dilakukan tindakan pencegahan dan
penatalaksanaan yang tepat. Lima IO tersering di Indonesia adalah tuberkulosis,
diare kriptosporidial, kandidiasis mukokutaneus, ensefalitis toksoplasmik serta
pneumonia Pneumocystis. Intervensi terhadap IO yang paling bermakna adalah
pemberian ART, di samping terapi antimikrobial spesifik untuk IO. Angka
kejadian IO menurun drastis sejak diperkenalkannya kombinasi ART yang efektif
dan diimplementasikannya profilaksis IO sehingga meningkatkan harapan dan
kualitas hidup penderita HIV. Pemberian ART di sisi lain juga berpotensi
menimbulkan IRIS sehingga perlu dipertimbangkan dalam menentukan
dimulainya rejimen ART, terutama pada pasien yang juga mendapat terapi
spesifik untuk IO.
2
DAFTAR PUSTAKA
13. Panel on Antiretroviral Guidelines for Adults and Adolescents. Guidelines for
the use of antiretroviral agents in HIV-1-infected adults and adolescents.
Department of Health and Human Services; 2014. p. 1-285.
14. Nelson, M., Dockrell, D.H., Edwards, S. British HIV Association and British
Infection Association guidelines for the treatment of opportunistic
infection in HIV-seropositive individuals 2011. HIV Med. 2011; 12
(Suppl. 2): 1–144.
15. Centers for Disease Control and Prevention. Guidelines for the prevention and
treatment of opportunistic infections among HIV-exposed and HIV-
infected children: recommendations from CDC, the National Institutes of
Health, the HIV Medicine Association of the Infectious Diseases Society
of America, the Pediatric Infectious Diseases Society, and the American
Academy of Pediatrics. MMWR. 2009; 58(RR04): 1-173.
16. Centers for Disease Control. Revised classification system for HIV infection
and expanded surveillance case definition for AIDS among adolescents
and adults. MMWR. 1993; 41: 1-19.
17. Chu, C. Selwyn, P.A. Complications of HIV infection: a systems-based
approach. Am Fam Physician. 2011; 83(4): 395-406.
18. International AIDS Society USA. Pathogenesis of HIV infection: total CD4+
T-cell pool, immune activation, and inflammation. Topics HIV Med. 2010;
18(1): 2-6.
19. Luckheeram, R.V., Zhou, R., Verma, A.D., Xia, B. CD4+ T cells:
differentiation and functions. Clin Dev Immunol. 2012; ID 925135: 1-12.
20. Okoye, A.A., Picker, L.J. CD4+ T cell depletion in HIV infection:
mechanisms of immunological failure. Immunol Rev. 2013; 254(1): 54–64.
21. Février, M., Dorgham, K., Rebollo, A. CD4+ T cell depletion in Human
Immunodeficiency Virus (HIV) infection: role of apoptosis. Viruses 2011;
3: 586-612.
22. Maartens, G., Celum, C., Lewin, S.R. HIV infection: epidemiology,
pathogenesis, treatment, and prevention. Lancet 2014; 384: 258–71.
23. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman pengobatan
antiretroviral. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia; 2014. p.
1-121.
24. Benson, C.A., Kaplan, J.E., Masur, H., Pau, A., Holmes, K.K. Treating
opportunistic infections among HIV-infected adults and adolescents:
recommendations from CDC, the National Institutes of Health, and the
HIV Medicine Association/Infectious Diseases Society of America.
MMWR. 2004; 53(RR-15): 1-112.
25. Masur, H., Read, S.W. Opportunistic infections and mortality: still room for
improvement. J Infect Dis. 2015; 212(9): 1348-50.
2
39. Nelson, M., Manji, H., Wilkins, E. Central nervous system opportunistic
infections. HIV Med. 2011; 12 (Suppl. 2): 8–24.
40. Centers for Disease Control and Prevention. Pneumocystis pneumonia.
Available at: http://www.cdc.gov/fungal/diseases/pneumocystis-
pneumonia. Accessed on 11 December 2015.
41. Huang, L., Cattamanchi, A., Davis, L., den Boon, S., Kovacs, J., Meshnick, S.,
Miller, R.F., Walzer, P.D., Worodria, W., Masur, H. HIV-associated
pneumocystis pneumonia. Proc Am Thorac Soc. 2011; 8:294–300.
42. Dockrell, D.H., Breen R., Lipman, M., Miller, R.F. Pulmonary opportunistic
infections. HIV Med. 2011; 12 (Suppl. 2): 25–42.