Anda di halaman 1dari 29

0

PENATALAKSANAAN DAN PENCEGAHAN


INFEKSI OPORTUNISTIK YANG
TERSERING PADA PENDERITA HIV DI
INDONESIA

Oleh :
Putu Ayu Elvina
Pembimbing:
Dr.dr. AAGP Wiraguna, Sp.KK (K), FINDSDV, FAADV

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I


BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNUD/RSUP SANGLAH
DENPASAR
2015
1

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI.......................................................................................................i

BAB I PENDAHULUAN...................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................3


2.1 Definisi Infeksi Oportunistik.......................................................................3
2.2 Epidemiologi Infeksi Oportunistik pada Penderita HIV.............................3
2.3 Patogenesis Infeksi Oportunistik pada Penderita HIV................................4
2.4 Terapi Antiretroviral pada Penderita HIV dengan Infeksi Oportunistik.....7
2.4.1 Saat Pemberian Terapi Antiretroviral pada Infeksi Oportunistik.......7
2.4.2 Immune Reconstitution Inflammatory Syndrome...............................9
2.5 Pencegahan dan Penatalaksanaan Spesifik Infeksi Oportunistik yang
Tersering pada Penderita HIV di Indonesia................................................11
2.5.1 Tuberkulosis.......................................................................................11
2.5.1.1 Pencegahan Koinfeksi TB-HIV............................................12
2.5.1.2 Penatalaksanaan Koinfeksi TB-HIV.....................................13
2.5.2 Diare Kriptosporidial..........................................................................14
2.5.2.1 Pencegahan Diare Kriptosporidial........................................14
2.5.2.2 Penatalaksanaan Diare Kriptosporidial.................................15
2.5.3 Kandidiasis Mukokutaneus.................................................................16
2.5.3.1 Pencegahan Kandidiasis Mukokutaneus...............................16
2.5.3.2 Penatalaksanaan Kandidiasis Mukokutaneus........................17
2.5.4 Ensefalitis Toksoplasmik....................................................................17
2.5.4.1 Pencegahan Ensefalitis Toksoplasmik..................................18
2.5.4.2 Penatalaksanaan Ensefalitis Toksoplasmik...........................20
2.5.5 Pneumonia Pneumocystis...................................................................20
2.5.5.1 Pencegahan Pneumonia Pneumocystis..................................21
2.5.5.2 Penatalaksanaan Pneumonia Pneumocystis..........................22

BAB III RINGKASAN.......................................................................................23

DAFTAR PUSTAKA
2

BAB I
PENDAHULUAN

Penyebaran infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) semakin meningkat


dan menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia. World Health Organization
(WHO) memperkirakan sebanyak 36,9 juta orang di dunia terinfeksi virus ini pada
tahun 2014 dengan 2 juta infeksi baru setiap tahunnya.1 Data Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia melaporkan jumlah kumulatif infeksi HIV di
Indonesia dari tahun 1987 hingga September 2014 mencapai 150.296 kasus,
dengan 22.869 kasus baru pada tahun 2014.2 Bali menempati urutan kelima
dengan 9.637 kasus kumulatif, yang sebagian terdata dari Rumah Sakit Umum
Pusat Sanglah sebanyak 2.965 kasus mulai tahun 2004 hingga 2014 dengan 304
kasus baru pada tahun 2014.2,3
Perjalanan alami infeksi HIV yang tidak diterapi menyebabkan penurunan
imunitas pejamu berkelanjutan hingga menimbulkan infeksi oportunistik (IO)
yang menandakan terjadinya acquired immunodeficiency syndrome (AIDS).4,5
Data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia melaporkan jumlah kumulatif
penderita AIDS di Indonesia dari tahun 1987 hingga September 2014 mencapai
55.799, atau sekitar 36,7% dari keseluruhan kasus HIV.2 Infeksi oportunistik
dideskripsikan sebagai infeksi yang mengalami peningkatan frekuensi dan
keparahan pada individu dengan HIV/AIDS.6 Infeksi ini disebabkan oleh patogen
yang tidak bersifat invasif pada orang sehat, namun dapat menyerang tubuh
apabila sistem imunitas menurun.7
Jenis patogen penyebab IO bervariasi pada masing-masing wilayah.
Penelitian di India mendapatkan bahwa secara umum kandidiasis orofaringeal,
tuberkulosis (TB) dan diare oleh kriptosporidia merupakan IO yang tersering. 8 Hal
yang serupa juga didapatkan di Indonesia. Laporan Surveilans AIDS Departemen
Kesehatan Republik Indonesia tahun 1987 sampai dengan 2009 mendapatkan
bahwa IO yang terbanyak adalah TB, diare kronis dan kandidiasis orofaringeal. 9
Penelitian di Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya Denpasar Bali pada tahun
3

2014 yang mendapatkan IO tersering adalah TB, Toksoplasmosis, kandidiasis


oral, IO multipel dan pneumonia.10
Infeksi oportunistik merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas
pasien dengan HIV/AIDS. Sistem imun yang sangat rendah dapat menyebabkan
IO berakhir dengan kematian kecuali mendapat terapi adekuat.10 Penatalaksanaan
terhadap IO yang paling bermakna adalah terapi antiretroviral (antiretroviral
therapy/ART) di samping terapi antimikrobial spesifik untuk IO.4,11 Angka
kejadian IO menurun drastis sejak diperkenalkannya ART pada tahun 1996 dan
diimplementasikannya profilaksis IO pada pertengahan tahun 1990, sehingga
meningkatkan harapan dan kualitas hidup penderita HIV.12,13 Pemberian ART di
sisi lain juga berpotensi menimbulkan immune reconstitution inflammatory
syndrome (IRIS) atau sindrom pulih imun yang berkaitan dengan beban penyakit
yang lebih berat sehingga perlu dipertimbangkan dalam menentukan dimulainya
rejimen ART.6,14
Berdasarkan data tersebut, mengetahui strategi dalam pencegahan dan
penatalaksanaan IO merupakan hal yang penting dalam menangani kasus
HIV/AIDS. Tinjauan pustaka ini akan membahas mengenai pathogenesis,
pencegahan dan penatalaksanaan IO yang sering dijumpai di negara berkembang,
khususnya di Indonesia, serta pertimbangan pemberian ART pada IO. Diharapkan
tinjauan pustaka ini dapat menambah wawasan serta mengoptimalkan penanganan
pasien dengan HIV/AIDS.
4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Infeksi Oportunistik


Infeksi oportunistik adalah infeksi oleh patogen yang biasanya tidak bersifat
invasif namun dapat menyerang tubuh saat kekebalan tubuh menurun, seperti pada
orang yang terinfeksi HIV/AIDS.7,12 Infeksi ini dapat ditimbulkan oleh patogen
yang berasal dari luar tubuh (seperti bakteri, jamur, virus atau protozoa), maupun
oleh mikrobiota sudah ada dalam tubuh manusia namun dalam keadaan normal
terkendali oleh sistem imun (seperti flora normal usus).10 Penurunan sistem imun
berperan sebagai “oportuniti” atau kesempatan bagi patogen tersebut untuk
menimbulkan manifestasi penyakit.
Centers for Disease Control (CDC) mendefinisikan IO sebagai infeksi yang
didapatkan lebih sering atau lebih berat akibat keadaan imunosupresi pada
penderita HIV.14,15 Infeksi oportunistik yang digolongkan CDC sebagai penyakit
terkait AIDS (AIDS-defining illness) adalah kriptosporidiosis intestinal (diare
kronis >1 bulan); Pneumonia Pneumocystis carinii (PCP); strongiloidosis selain
pada gastrointestinal (GI); toksoplasmosis dan CMV selain pada hati, limfa dan
kelenjar getah bening (KGB); kandidiasis esofagus, bronkus atau paru;
kriptokokosis sistem saraf pusat (SSP) atau diseminata; Mycobacterium avium dan
M. kansasii selain pada paru dan KGB; virus herpes simpleks mukokutaneus
kronis, paru dan GI; progressive multifocal leucoencephalopathy (PML); sarkoma
Kaposi pada usia <60 tahun; limfoma otak; histoplasmosis diseminata;
isosporiasis intestinal; limfoma nonHodgkin; pneumonitis interstitial limfoid dan
bakteri piogenik multipel pada usia <13 tahun; kokidioidomikosis; ensefalopati
HIV; Mycobacterium tuberculosis; wasting syndrome; bakteremia Salmonella;
pneumonia bakteri rekuren; serta kanker serviks invasif.16

2.2 Epidemiologi Infeksi Oportunistik pada Penderita HIV


Infeksi oportunistik merupakan alasan utama rawat inap dan penyebab kematian
pasien dengan HIV/AIDS sehingga harus selalu diperhatikan dalam evaluasi
5

pasien dengan HIV/AIDS.17,18 Sejak ditemukannya kemoprofilaksis dan


kombinasi ART yang efektif, angka kematian akibat IO menurun drastis walaupun
tetap masih menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada penderita
HIV.4,17 The Joint United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS)
melaporkan sebanyak 1,2 juta kematian akibat penyakit terkait AIDS sepanjang
tahun 2014 dengan penyebab terbanyak (1 dari 5 kematian) diakibatkan oleh
tuberkulosis.1 Angka ini telah menurun sebesar 42% dibandingkan puncaknya
pada tahun 2004.1
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia melaporkan jumlah kumulatif
penderita AIDS (infeksi HIV dengan IO) di Indonesia dari tahun 1987 hingga
September 2014 mencapai 55.799, atau sekitar 36,7% dari keseluruhan kasus
HIV.2 Case Fatality Rate AIDS di Indonesia juga mengalami penurunan bertahap
mulai 13,86% pada tahun 2004 hingga mencapai 0,46% pada tahun 2014.2
Jenis patogen penyebab IO bervariasi pada masing-masing wilayah. Infeksi
yang sering dijumpai di Amerika dan Eropa antara lain Pneumocystis jirovecii
pneumonia (PCP), meningitis Kriptokokal, Cytomegalovirus (CMV) dan
Toksoplasmosis, sedangkan di negara berkembang seperti Asia Tenggara, TB
menjadi IO yang tersering.7 Beberapa penelitian di India mendapatkan bahwa
secara umum kandidiasis orofaringeal, TB dan diare oleh kriptosporidia
merupakan IO yang tersering.8,10 Hal yang serupa juga didapatkan di Indonesia.
Laporan Surveilans AIDS Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 1987
sampai dengan 2009 mendapatkan bahwa IO yang terbanyak adalah TB, diare
kronis dan kandidiasis orofaringeal.9 Data mengenai profil IO di Bali masih
sedikit, terdapat satu penelitian di Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya
Denpasar Bali pada tahun 2014 yang mendapatkan IO tersering adalah TB,
Toksoplasmosis, kandidiasis oral, IO multipel dan pneumonia.10

2.3 Patogenesis Infeksi Oportunistik pada Penderita HIV


Target utama HIV adalah sel yang mengekspresikan molekul reseptor membran
CD4+, terutama sel limfosit T.5 Infeksi HIV menimbulkan disfungsi imun melalui
penurunan sel T CD4+ (imunodefisiensi) dan aktivasi imun (imunosupresi) yang
6

meliputi respon imun spesifik HIV dan aktivasi imun terhadap sel sekitar
(bystander).18 Limfosit T CD4+ berperan penting dalam pengaturan respon imun
terhadap patogen dengan menjalankan berbagai fungsi, antara lain aktivasi sel
pada sistem imun bawaan (limfosit B, sel T sitotoksik dan sel nonimun), serta
berperan dalam supresi reaksi imun.19 Rendahnya jumlah limfosit T CD4+ akan
menurunkan sistem imun melawan patogen sehingga penderita menjadi rentan
terhadap IO.
Sel T CD4+ naїve dapat berdiferensiasi menjadi T helper (Th)1, Th2, Th17,
sel T regulatori (Treg) dan Th folikuler (Thf) dengan profil sitokin dan fungsi
yang berbeda-beda.19,20 Sel Th1 terlibat dalam eliminasi patogen intraseluler,
autoimunitas spesifik organ, serta menghasilkan sitokin interferon (IFN)-γ yang
meningkatkan aktivitas fagositik makrofag dan sel mikroglial. Sel Th2 berfungsi
pada respon imun terhadap parasit ekstraseluler, seperti cacing, serta berperan
penting dalam menginduksi berbagai penyakit alergi.19 Sel Th17 merupakan
mediator penting dalam pertahanan pejamu melawan patogen ekstraseluler seperti
bakteri dan jamur, serta mempertahankan integritas sawar epitel usus. Hilangnya
sel ini akan mengganggu integritas mukosa usus, meningkatkan permeabilitas
terhadap produk mikroba serta berperan dalam aktivasi imun kronis. 19,20 Sel Treg
berperan penting dalam mempertahankan toleransi imunologis terhadap antigen
dan menurunkan respon imun setelah patogen tereliminasi. Treg dalam keadaan
normal berperan dalam menekan respon imun sel T, namun pada infeksi HIV
terjadi perubahan distribusi diferensiasi sel T CD4+ berupa peningkatan jumlah
Treg serta penurunan diferensiasi sel T lainnya.20 Sel Thf berinteraksi dengan sel
B spesifik antigen pada jaringan limfoid sekunder dan meningkatkan afinitas
antibodi, maturasi serta diferensiasi sel B menjadi sel memori dan sel plasma. 19,20
Infeksi HIV menyebabkan ekspansi Thf dan meningkatkan antibodi autoreaktif
sehingga menghasilkan kerusakan berat termasuk hancurnya sel CD4.20
Menurunnya jumlah limfosit T CD4+ tidak hanya terjadi akibat penghancuran
langsung oleh HIV, namun juga melibatkan hubungan yang lebih kompleks antara
sistem imun pejamu dan efek dari replikasi aktif HIV. Berkurangnya jumlah
limfosit T CD4+ setelah infeksi HIV terjadi melalui beberapa mekanisme, yaitu
7

terganggunya produksi limfosit T de novo oleh timus, efek bystander dari


pembentukan sinsitium, perubahan permeabilitas membran, disfungsi
mitokondria, penghancuran oleh sel T sitotoksik spesifik HIV atau melalui kadar
respon imun yang berlebihan.21,22 Mekanisme utama berkurangnya sel T CD4+
adalah akibat apoptosis, tidak hanya pada sel yang terinfeksi HIV namun juga
pada sel bystander melalui kematian sel yang diinduksi aktivasi dan pembentukan
sinsitia. Sinsitia terbentuk oleh fusi sel yang terinfeksi HIV dengan target yang
tidak terinfeksi dan selanjutnya akan mengalami apoptosis yang diperantarai p53.
Destruksi jaringan sel retikuler fibroblastik, deposisi kolagen dan berkurangnya
interleukin 7 sebagai faktor pertahanan hidup sel T selanjutnya juga berperan
dalam berkurangnya limfosit T CD4+ naїve.22
Virus mentargetkan populasi CD4+ yang telah terdiferensiasi terminal dan
membiarkan prekursor populasi CD4+ yang dapat memproduksi sel T baru secara
kontinu sehingga virus selalu memiliki cadangan target baru untuk
melangsungkan replikasinya. Kerusakan CD4+ terdiferensiasi dengan segera
diikuti oleh peningkatan proliferasi CD4+ baru yang secara parsial dapat
menggantikan CD4+ yang mati, namun proses regenerasi ini tidak stabil dan
makin berkurang seiring waktu hingga akhirnya tidak mampu mengimbangi
hilangnya CD4+ dan timbullah manifestasi imunodefisiensi.20
Jumlah limfosit T CD4+ pada orang normal adalah 500-1600 sel/µL darah.
Jumlah ini secara bertahap akan berkurang seiring dengan perkembangan infeksi
HIV dan menyebabkan penderita menjadi rentan terhadap IO. 5 Jumlah limfosit T
CD4+ merupakan indikator terbaik dalam menentukan kerentanan terhadap IO
sehingga menjadi panduan dalam pemberian kemoprofilaksis.4 Penderita dengan
jumlah limfosit T CD4+ yang telah mencapai 200 sel/µL hampir seluruhnya telah
terinfeksi IO dan bermanifestasi sebagai AIDS. Periode rata-rata mulai dari
infeksi HIV hingga mencapai AIDS adalah 8-10 tahun dengan penurunan limfosit
T CD4+ sekitar 50-100 sel/µL pertahunnya. Jumlah limfosit T CD4 + yang telah
turun di bawah 50 sel/µL merupakan kondisi yang mengancam jiwa dan pasien
umumnya akan mengalami kematian.5
8

2.4 Terapi Antiretroviral pada Penderita HIV dengan Infeksi Oportunistik


Sebelum ditemukannya kombinasi ART yang efektif, IO merupakan penyebab
utama morbiditas dan mortalitas pada penderita HIV yang mengakibatkan hingga
2 juta kematian setiap tahunnya.1,4 Diperkenalkannya ART kombinasi yang efektif
pada tahun 1996 mendorong revolusi dalam pengobatan orang dengan HIV dan
AIDS (ODHA) di seluruh dunia.23 Angka harapan hidup 5 tahun meningkat mulai
dari 7% pada masa pre-ART, menjadi 18% pada masa ART awal, hingga
mencapai 65% pada masa ART kombinasi yang efektif.25 Terapi antiretroviral
belum mampu menyembuhkan HIV secara menyeluruh, namun secara dramatis
dapat menurunkan angka kematian dan kesakitan, meningkatkan kualitas hidup
ODHA serta meningkatkan harapan masyarakat, sehingga pada saat ini HIV dan
AIDS telah diterima sebagai penyakit yang dapat dikendalikan dan tidak lagi
dianggap sebagai penyakit yang menakutkan.23
Data berbagai penelitian mendapatkan bahwa ART menurunkan insiden IO
secara drastis, membantu resolusi dan perbaikan IO, termasuk IO yang profilaksis
dan terapi spesifiknya belum tersedia.4 Terapi antiretroviral tidak dapat
menggantikan kebutuhan terhadap profilaksis antimikrobial pada pasien dengan
imunosupresi yang berat, namun telah menjadi landasan strategi untuk
menurunkan berbagai infeksi dan proses terkait HIV.24
Hubungan antara IO dan HIV bersifat dua arah atau timbal balik. Infeksi HIV
menyebabkan imunosupresi yang memberikan kesempatan bagi patogen
oportunistik untuk menyebabkan penyakit, sebaliknya IO juga dapat mengubah
perjalanan alami HIV melalui peningkatan viral load sehingga mempercepat
perkembangan serta meningkatkan transmisi HIV.5,25 Pemberian ART dapat
menurunkan risiko IO, dan sebaliknya pemberian kemoprofilaksis dan vaksinasi
spesifik IO dapat membantu menurunkan kecepatan perkembangan HIV dan
meningkatkan angka harapan hidup.25

2.4.1 Saat Pemberian Terapi Antiretroviral pada Infeksi Oportunistik


Belum ada panduan spesifik mengenai pemberian ART pada IO karena
keterbatasan data.14 Terdapat 2 keadaan utama yang perlu diperhatikan yaitu
9

inisiasi ART pada keadaan IO akut dan pemberian ART saat timbul IO pada
pasien yang sedang mendapat ART. Penatalaksanaan pada setiap keadaan
bervariasi tergantung dari derajat perkembangan virologis dan imunologis
sebelum pemberian ART dan keuntungan yang didapat dari pemberian ART,
durasi infeksi HIV sebelum dan sejak inisiasi ART serta interaksi obat yang
berpotensi terjadi antara rejimen ART dan terapi IO.24
Kelebihan inisiasi ART pada keadaan IO akut meliputi perbaikan fungsi
imun yang dapat mempercepat kesembuhan IO, terutama bila terapi yang efektif
untuk IO tersebut masih terbatas atau belum tersedia. Kelebihan lainnya adalah
mengurangi risiko terjadinya IO berikutnya.24 Pendapat yang menentang inisiasi
ART segera begitu terdiagnosis IO meliputi jumlah dan toksisitas obat yang
bertambah, sulitnya membedakan toksisitas disebabkan oleh ART atau akibat
terapi IO, interaksi obat yang dapat terjadi serta kemungkinan terjadi IRIS.14,24
Terapi antiretroviral harus dimulai sesegera mungkin pada kasus IO
kriptosporidiosis, mikrosporidiosis, CMV, PML dan sarkoma Kaposi; sedangkan
kasus TB, kompleks Mycobacterium avium, PCP dan meningitis kriptokokal
harus menunggu respon terapi IO setidaknya 2 minggu sebelum inisiasi ART.27
Belum ada data penelitian yang menyatakan bahwa inisiasi ART akan dapat
meningkatkan hasil akhir pada pasien yang telah diterapi spesifik untuk IO,
sebaliknya ART yang dimulai pada keadaan IO akut juga tidak didapatkan
memperburuk prognosis IO tersebut. Timbulnya IO dalam waktu 12 minggu
setelah inisiasi ART, harus segera mendapat terapi untuk IO dengan tetap
melanjutkan ART dan mempertimbangkan modifikasi rejimen ART apabila
respon kenaikan jumlah sel T CD4+ tidak optimal.24
Inisiasi ART bagaimanapun wajib diberikan pada infeksi HIV stadium klinis
3 dan 4 atau tanpa memandang stadium klinis jika jumlah CD4 ≤ 350 sel/mm 3.
Inisiasi ART dilakukan tanpa melihat stadium klinis WHO dan jumlah CD4 pada
koinfeksi TB, koinfeksi Hepatitis B, ibu hamil dan menyusui yang terinfeksi HIV,
orang terinfeksi HIV yang pasangannya HIV negatif, kelompok populasi kunci
(laki-laki yang berhubungan seksual dengan laki-laki (LSL), pekerja seks,
1

pengguna narkoba suntik (penasun) dan waria), serta penderita HIV pada populasi
umum yang tinggal di daerah epidemi HIV meluas.23,27

2.4.2 Immune Reconstitution Inflammatory Syndrome


Immune reconstitution inflammatory syndrome yang disebut juga immune
reconstitution disease atau sindrom pulih imun adalah perburukan kondisi klinis
sebagai akibat respons inflamasi berlebihan pada saat pemulihan respons imun
setelah pemberian ART.22,27 Sindrom ini dapat memberikan gambaran klinis
berupa penyakit infeksi maupun noninfeksi. Manifestasi tersering adalah inflamasi
dari penyakit infeksi berupa timbulnya gejala klinis atau perburukan infeksi yang
telah ada.27
Insidens IRIS berbeda pada tiap wilayah, tergantung pada rendahnya derajat
sistem imun, prevalensi IO serta koinfeksi dengan patogen lain. Insiden pada
suatu tinjauan pustaka didapatkan sebesar 16,1% dengan morbiditas yang tinggi
namun mortalitas yang rendah (4,5%).22 Mekanisme IRIS belum diketahui dengan
jelas, diperkirakan terjadi sebagai respon imunopatologis berlebihan dari cepatnya
pemulihan sistem imun spesifik patogen terhadap rangsangan antigen yang sudah
ada disertai disregulasi imun yang terjadi beberapa saat setelah inisiasi ART.22
Dikenal dua jenis IRIS yang sering tumpang tindih, yaitu IRIS unmasking
dan IRIS paradoksikal. Jenis unmasking menampakkan manifestasi klinis IO yang
sebelumnya asimtomatis, namun kemudian menjadi jelas setelah inisiasi ART.
Jenis ini terjadi pada pasien yang tidak terdiagnosis dan tidak mendapat terapi
untuk IO yang langsung mendapatkan terapi ART.27 Jenis paradoksikal
menunjukkan perburukan klinis dari IO pada pasien yang telah mendapatkan
pengobatan untuk IO, yang kemudian mendapatkan ART.24
Manifestasi klinis yang muncul sangat bervariasi dan tergantung dari antigen
yang terlibat, sehingga diagnosis menjadi tidak mudah. Organisme yang paling
sering menyebabkan IRIS adalah M. tuberculosis, M. avium, Cryptococcus
neoformans dan Cytomegalovirus.22,24,28 Manifestasi klinis IRIS yang utama
adalah demam disertai munculnya kembali gejala penyakit infeksi yang pernah
ada sebelumnya dan telah teratasi infeksinya (penyebab terbanyak TB),
1

munculnya infeksi yang sebelumnya asimtomatik (seperti M. avium) serta


penyakit autoimun dan inflamasi seperti sarkoidosis.24,28
International Network Study of HIV-associated IRIS (INSHI) membuat
konsensus untuk kriteria diagnosis IRIS sebagai berikut27:
1. Menunjukkan respons terhadap ART dengan
a. telah mendapat ART
b. penurunan viral load > 1 log kopi/mL (jika pemeriksaan tersedia)
2. Perburukan gejala klinis infeksi atau timbul reaksi inflamasi yang terkait
dengan inisiasi ART
3. Gejala klinis tersebut bukan disebabkan oleh:
a. Infeksi yang diketahui sebelumnya yang telah berhasil disembuhkan
b. Efek samping obat atau toksisitas
c. Kegagalan terapi
d. Ketidakpatuhan menggunakan ART
Beberapa faktor risiko terjadinya IRIS adalah jumlah CD4 + yang rendah saat
inisiasi ART, jumlah virus RNA HIV yang tinggi saat inisiasi ART, banyak dan
beratnya IO, penurunan jumlah virus RNA HIV yang cepat selama ART, belum
pernah mendapat ART saat diagnosis IO serta pendeknya jarak waktu antara
memulai terapi IO dan memulai ART.22,27 Enam bulan sejak memulai ART
merupakan masa yang kritis yang penting dengan mayoritas kasus terjadi dalam
beberapa minggu pertama sehingga perlu dilakukan pemantauan dengan baik.23,24
Strategi pencegahan IRIS meliputi inisiasi ART pada jumlah CD4+ yang tinggi,
menunda inisiasi ART pada pasien dengan IO terutama yang melibatkan SSP serta
menapis dan mencegah IO sebelum inisiasi ART.22
Tatalaksana IRIS meliputi pengobatan patogen penyebab untuk menurunkan
jumlah antigen, tetap meneruskan ART, serta pemberian antiinflamasi.27
Pemberian kortikosteroid dapat dipertimbangkan pada kasus yang berat dengan
dosis 0,5mg/kgBB prednison yang diberikan selama 21 hari. 28 Inflamasi mungkin
berlangsung selama beberapa minggu hingga bulan sebelum mereda.24
1

2.5 Pencegahan dan Penatalaksanaan Spesifik Infeksi Oportunistik yang


Tersering pada Penderita HIV di Indonesia
2.5.1 Tuberkulosis
Tuberkulosis merupakan infeksi oportunistik tersering (40%) pada infeksi HIV
dan menjadi penyebab kematian paling tinggi pada ODHA.1,28 Infeksi TB dan
HIV saling berhubungan, HIV menyebabkan progresivitas infeksi TB menjadi TB
aktif, sebaliknya infeksi TB membantu replikasi dan penyebaran HIV serta
berperan dalam aktivasi infeksi HIV yang laten.5 Sebagian besar orang yang
terinfeksi kuman TB tidak menjadi sakit TB karena mempunyai sistem imun yang
baik, dan dikenal sebagai infeksi TB laten. Infeksi TB laten tersebut tidak
infeksius dan asimtomatis, namun dengan mudah dapat berkembang menjadi TB
aktif pada orang dengan sistem imun yang menurun, seperti pada ODHA.26,28
Pasien TB dengan HIV positif atau ODHA dengan TB disebut sebagai pasien
ko-infeksi TB-HIV. Berdasarkan perkiraan WHO, jumlah pasien ko-infeksi TB-
HIV di dunia adalah sebanyak 14 juta orang, dengan 3 juta pasien terdapat di Asia
Tenggara. Epidemi HIV sangatlah berpengaruh pada meningkatnya kasus TB
sehingga pengendalian TB tidak akan berhasil dengan baik tanpa upaya
pengendalian HIV.28
Sebagian besar infeksi TB menyerang jaringan paru, namun dapat juga
menyerang organ lain yang disebut TB ekstraparu. Gejala klinis TB paru adalah
batuk berdahak 2-3 minggu atau lebih yang dapat disertai darah, sesak nafas,
badan lemas, berat badan menurun, malaise, keringat malam dan demam meriang
lebih satu bulan.29 Gejala klinis TB paru pada ODHA sering kali tidak spesifik,
yang sering ditemukan adalah demam dan penurunan berat badan yang signifikan
(> 10%).28 Gambaran radiologis dada dapat dijumpai infiltrat fibronoduler pada
lobus paru atas dengan atau tanpa kavitasi (Gambar 1).15
Infeksi TB dapat terjadi pada jumlah CD4 + berapapun, namun pasien dengan
jumlah CD4+ <200cells/μl memiliki risiko yang lebih tinggi sehingga
direkomendasikan pemberian ART dan obat anti TB (OAT). 5,8 Penanganan ko-
infeksi TB-HIV selalu mendahulukan terapi TB sebelum inisiasi ART dengan
1

pertimbangan menghindari interaksi OAT dengan ARV, toksisitas obat,


kepatuhan minum obat dan juga mencegah terjadinya IRIS.28

Gambar 1. Radiografi dada pada pasien ko-infeksi TB-HIV. Gambar kiri menunjukkan adanya
infiltrat dengan kavitasi pada lobus kanan atas. Gambar kanan menunjukkan adanya infiltrat
bilateral tanpa kavitasi. (Dikutip dari kepustakaan nomor 30)

2.5.1.1 Pencegahan Koinfeksi TB-HIV


Pencegahan paparan terhadap infeksi TB di fasilitas pelayanan kesehatan dapat
dilakukan dengan menempatkan pasien TB atau yang dicurigai TB secara terpisah
dari pasien lain terutama pasien HIV.15 Pusat pelayanan kesehatan, pelayanan
paru rumah sakit, lembaga permasyarakatan, penampungan tuna wisma atau
populasi imigran tertentu dapat menjadikan pasien berisiko tinggi terpapar M.
tuberculosis.4,15 Pasien dapat dikonseling mengenai risiko aktivitas tersebut dan
manfaat penggunaan masker untuk mencegah penularan.4
Pencegahan penyakit dapat dilakukan dengan memberikan terapi pada infeksi
TB laten. Pasien HIV yang pertama kali diidentifikasi, harus dites akan adanya
infeksi M. tuberculosis, salah satunya dengan tes kulit tuberkulin (tuberculin skin
test/TST).4 Semua pasien HIV, tanpa mempertimbangkan umur, dengan hasil tes
positif untuk infeksi M. tuberculosis namun tanpa adanya bukti TB aktif dan tanpa
riwayat terapi untuk TB aktif atau laten harus diterapi sebagai infeksi TB laten.15
Terapi pilihan untuk TB laten adalah isoniazid 300 mg/hari peroral (PO) selama 9
bulan, dengan efektivitas dan tolerabilitas yang baik serta toksisitas yang jarang.13
1

Rejimen alternatif dapat menggunakan rifampin 600 mg/hari PO atau rifabutin


selama 4 bulan.4 Kombinasi rifampin ditambah pirazinamid selama 2 bulan telah
terbukti bermanfaat, namun didapatkan hepatotoksisitas berat dan kematian pada
beberapa pasien HIV yang mendapatkan rejimen ini, sehingga rejimen ini tidak
dipergunakan.13
Pencegahan relaps atau rekurensi dengan terapi pemeliharaan jangka panjang
tidak diperlukan karena TB jarang kambuh setelah menyelesaikan rejimen terapi
secara lengkap, dengan catatan organisme penyebab sensitif terhadap agen
kemoterapi yang digunakan.4

2.5.1.2 Penatalaksanaan Koinfeksi TB-HIV


Prinsip penatalaksanaan pasien koinfeksi TB-HIV adalah pemberian pengobatan
TB dengan segera. Pengobatan TB pada pasien yang belum pernah mendapat
ART adalah memulai OAT terlebih dahulu, selanjutnya baru ART. Inisiasi ART
dapat dimulai setelah pengobatan TB ditoleransi dengan baik, dengan
rekomendasi paling cepat 2 minggu dan paling lambat 8 minggu setelah OAT
dimulai, tanpa menghentikan OAT.23,28 Inisiasi ART dalam 2-4 minggu setelah
OAT dapat menekan perkembangan infeksi HIV, namun memiliki insiden efek
simpang dan terjadinya reaksi paradoksikal IRIS yang lebih tinggi. 24 Inisiasi ART
dalam 4-8 minggu setelah OAT memiliki kelebihan dapat membedakan obat
spesifik penyebab efek simpang, menurunkan risiko IRIS dan meningkatkan
kepatuhan pasien.6,24 Inisiasi ART harus dimulai dalam 2 minggu setelah mulai
pengobatan TB pada pasien dengan CD4 < 50 sel/μL.23
Pengobatan TB pada pasien yang sedang dalam pengobatan ART dapat
dimulai minimal di rumah sakit yang petugasnya telah dilatih TB-HIV, untuk
memantau adanya interaksi obat ataupun terjadinya IRIS. Pemberian ART tetap
dilanjutkan.28
Pemberian OAT pada TB-HIV pada dasarnya sama dengan pengobatan TB
tanpa HIV/AIDS yaitu kombinasi beberapa jenis obat dengan dosis dan waktu
yang tepat.24 Rejimen OAT diberikan selama 6 bulan, terdiri dari isoniazid (INH)
300 mg PO, rifampin (RIF) 450 mg atau rifabutin PO, pyrazinamide (PZA) 3x500
1

mg PO dan ethambutol (EMB) 3x250 mg PO setiap hari selama 2 bulan fase


inisial, dilanjutkan dengan INH 600 mg PO dan RIF 450 mg PO 3 kali seminggu
selama 4 bulan fase lanjutan.6 Rejimen ART yang direkomendasikan pada
koinfeksi TB-HIV adalah rejimen dengan efavirenz 600 mg PO sebagai pilihan
Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI).8 Nevirapin tidak
dipilih sebagai NNRTI karena rifampisin dalam OAT dapat menurunkan kadar
nevirapin dalam darah. Terapi antiretroviral yang dapat digunakan adalah
zidovudin atau tenofovir + lamivudin + efavirenz. Setelah OAT selesai, efavirenz
dapat diganti dengan nevirapin.29

2.5.2 Diare Kriptosporidial


Diare merupakan salah satu masalah yang sering dijumpai pada ODHA, yaitu
didapatkan pada 30-60% kasus di negara maju dan mencapai 90% di negara
berkembang.31 Parasit protozoa Kriptosporidium menjadi patogen utama dari
diare kronis pada kelompok tersebut, dengan penyebab terbanyak adalah
Cryptosporidium parvum (71.4%).31,32 Kriptosporidiosis termasuk dalam penyakit
terkait AIDS sesuai panduan CDC yang umumnya terjadi saat jumlah sel T CD4+
<200cells/μL.8 Gambaran klinis kriptosporidiosis adalah diare kronis (>1 bulan)
dengan kotoran yang cair, dehidrasi, nyeri perut dan penurunan berat badan.8,16

2.5.2.1 Pencegahan Diare Kriptosporidial


Kriptosporidiosis ditularkan dari tertelannya ookista melalui penyebaran fekal-
oral dari manusia ke manusia atau hewan ke manusia (Gambar 2). 32,33 Penyebaran
ini terjadi melalui kontak langsung atau melalui air yang terkontaminasi. Anak-
anak di pusat penitipan merupakan salah satu reservoir, begitu pula dengan kucing
dan anjing yang masih kecil. 4 Didapatkan pula wabah kriptosporidiosis terkait air
minum publik dan kolam renang, yang diperkirakan karena parasit sangat resisten
terhadap klorinasi. Kontak seksual, terutama kontak yang melibatkan hubungan
rektal, juga merupakan cara penyebaran organisme ini.4
Pasien HIV dapat mengurangi kemungkinan terkena kriptosporidia dengan
menghindari paparan terhadap sumber penularan tersebut. Pasien harus waspada
1

bahwa banyak dari sumber air yang dapat terkontaminasi sehingga


direkomendasikan untuk merebus air sebelum diminum.32

Gambar 2. Transmisi Cryptosporidium parvum terjadi terutama melalui air yang terkontaminasi
(air minum maupun air di pusat rekreasi), dan secara jarang dapat melalui makanan. Ookista
bersifat infeksius begitu diekskresikan sehingga transmisi fekal-oral langsung dapat terjadi.
(Dikutip dari kepustakaan nomor 33)

2.5.2.2 Penatalaksanaan Diare Kriptosporidial


Tidak ada obat yang diketahui efektif untuk mencegah penyakit atau rekurensi.32
Gejala kriptosporidiosis didapatkan menghilang seiring dengan membaiknya
status imun setelah pemberian ART sehingga ART perlu terus dilanjutkan untuk
mencegah relaps.23 Beberapa data menyatakan bahwa rifabutin atau klaritromisin
saat digunakan untuk mencegah penyakit M. avium juga akan mengurangi insiden
kriptosporidiosis, namun data tersebut belum cukup meyakinkan untuk
merekomendasikan obat untuk tujuan ini.4 Pasien dengan diare yang sangat berat
perlu ditambahkan agen anti-kriptosporidia untuk memastikan ART dapat
diabsorpsi dengan cukup. Dapat digunakan paromomisin 4x500 mg/hari PO atau
2x1 g/hari PO selama 12 minggu, dipadukan dengan azitromisin 500 mg/hari PO
maupun digunakan sendiri. Alternatif terapi lain yang dapat dipakai adalah
nitazoksanid 2x500 mg/hari PO selama 3 hari hingga 12 minggu.32 Terapi suportif
yang penting dilakukan meliputi hidrasi, koreksi elektrolit, antimotilitas dan
suplementasi nutrisi.23,32
1

2.5.3 Kandidiasis Mukokutaneus


Spesies Kandida merupakan komensal yang sangat umum, dan didapatkan pada
75% populasi dari rongga mulut maupun saluran genitalia.34 Kandidiasis
orofaringeal merupakan IO tersering pada penderita HIV, mencapai 80-90% kasus
pada masa pre-ART. Sebagian besar kasus disebabkan oleh Candida albicans dan
paling sering didapatkan pada jumlah sel T CD4+ <200 cells/µL.15 Hasil penelitian
di Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta mendapatkan bahwa IO yang
tersering adalah kandidiasis orofaringeal (80,8%), demikian juga di RSUP dr.
Kariadi Semarang yang mendapatkan kandidiasis orofaringeal pada 79% kasus.35
Kandidiasis orofaringeal bermanifestasi sebagai plak atau patch berwarna
putih seperti krim yang dapat dikerok dengan punggung skalpel dan
menampakkan jaringan mukosa berwarna merah cerah di bawahnya. Manifestasi
ini disebut sebagai pseudomembran dan paling sering didapatkan pada palatum
durum, mukosa gusi atau bukal serta permukaan dorsal lidah (Gambar 3).36

Gambar 3. Kandidiasis orofaringeal pada penderita HIV. Tampak pseudomembran pada palatum
durum (kiri) serta mukosa gusi dan bukal (kanan). (Dikutip dari kepustakaan nomor 36)

2.5.3.1 Pencegahan Kandidiasis Mukokutaneus


Kandida sangat banyak terdapat di lingkungan. Semua manusia dikolonisasi oleh
organisme ini sehingga pencegahan paparan Kandida bukan merupakan langkah
yang akan berhasil untuk mengurangi insiden penyakit Kandida. Kandida yang
resisten flukonazol sering ditemukan pada tempat pelayanan kesehatan, sehingga
perlu penggunaan barrier pencegahan untuk mengurangi superinfeksi pada
pasien.4,15
1

Kemoprofilaksis primer dengan flukonazol efektif untuk menurunkan


frekuensi kandidiasis namun pemberian jangka panjang berbiaya mahal, terkait
dengan toksisitas dan interaksi obat serta menyebabkan terbentuknya ragi yang
resisten azol.4 Tambahan pula, Kandida hampir tidak pernah menyebabkan
penyakit invasif. Kandidiasis mukosal dapat diterapi dengan segera pada sebagian
besar kasus, sehingga sebagian besar klinisi tidak merekomendasikan profilaksis
primer untuk kandidiasis.26
Terapi pemeliharaan jangka panjang setelah kandidiasis akut membaik juga
tidak direkomendasikan oleh sebagian besar ahli dengan alasan yang sama.
Profilaksis sekunder dengan flukonazol atau itrakonazol dapat dipertimbangkan
pada pasien yang sering mengalami relaps atau dengan penyakit sangat berat.4

2.5.3.2 Penatalaksanaan Kandidiasis Mukokutaneus


Rekomendasi terapi untuk kandidiasis oral berupa suspensi nistatin kumur 4x4-6
ml PO, flukonazol kapsul 4x100-400 mg/hari PO atau itrakonazol 4x200 mg/hari
PO yang diberikan selama 7-14 hari, sedangkan untuk kandidiasis esofagus dapat
diberikan flukonazol 4x200 mg/hari PO atau intravena (IV), itrakonazol 4x200
mg/hari PO maupun amfoterisin B 0,6-1 mg/kg/hari IV selama 14-21 hari.23
Golongan azol merupakan pilihan utama untuk kandidiasis oral dan esofageal
karena efektif dan risiko relaps yang rendah.34
Strategi yang paling penting untuk penanganan pasien HIV dengan
kandidiasis adalah pemberian ART yang dimulai segera setelah didapatkan gejala
kandidiasis.32 Kandidiasis jarang dilaporkan menyebabkan IRIS.34

2.5.4 Ensefalitis Toksoplasmik


Komplikasi kelainan neurologi pada pasien HIV didapatkan lebih dari 40%,
dengan angka kematian yang sangat tinggi. Penelitian di RS Saiful Anwar Malang
tahun 2013-2014 mendapatkan penyebab kelainan neurologi tertinggi pada HIV
adalah toksoplasma serebri (39,1%), yang sesuai dengan hasil penelitian di RSUP
Nasional dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta (toksoplasmosis pada 31% kasus).37
1

Toksoplasmosis serebri adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi


protozoa Toxoplasma gondii varian gondii atau gatii di dalam sistem saraf
manusia.23 Organisme ini merupakan parasit intraselluler yang menyebabkan
infeksi asimptomatik pada 80% manusia sehat, tetapi menjadi berbahaya pada
penderita HIV/AIDS.8 Ensefalitis merupakan manifestasi utama toksoplasmosis
dan paling sering berasal dari reaktivasi infeksi laten.15,23 Toksoplasmosis
merupakan penyebab infeksi SSP yang sering pada pasien HIV/AIDS dan
biasanya didapatkan pada jumlah CD4+ <200 sel/µL. Gejala klinisnya meliputi
demam, nyeri kepala dan defisit neurologis fokal.8

2.5.4.1 Pencegahan Ensefalitis Toksoplasmik


Toxoplasma gondii ditularkan ke manusia melalui tertelannya daging yang tidak
dimasak dengan matang atau dengan tertelannya ookista pada kotoran kucing
secara tidak sengaja (Gambar 4).15,38 Sebagian besar penyakit pada manusia
muncul akibat reaktivasi infeksi laten, walaupun beberapa kasus terjadi akibat
infeksi akut yang didapat saat dewasa. Pasien HIV dapat mengubah perilaku
mereka untuk mengurangi risiko paparan Toksoplasma dengan memakan daging
yang benar-benar matang dan menghindari kontak dengan kotoran kucing yang
berisiko infeksi.4,23
Pasien yang terinfeksi HIV harus dites antibodi IgG terhadap Toksoplasma
untuk mendeteksi adanya infeksi laten. 23 Individu yang seropositif merupakan
kandidat kemoprofilaksis saat jumlah limfosit T CD4+ turun <100 sel/µL dengan
pilihan terapi berupa kotrimoksazol (TMP-SMX) sediaan forte (960 mg) sekali
sehari PO. Alternatif terapi dapat digunakan dapson 50 mg/hari PO + pirimetamin
50 mg/hari PO, atau atovakuon 1500 mg/hari PO, dengan/tanpa pirimetamin 25
mg/hari PO.4
Berdasarkan pandangan praktis, keputusan mengenai profilaksis Toksoplasma
sangat dipengaruhi oleh profilaksis PCP, yang tercetus pada jumlah sel T CD4 +
yang lebih tinggi (<200 sel/µL). Profilaksis terhadap toksoplasmosis dapat
dihentikan dengan aman bila pasien telah menunjukkan respon terhadap ART
dengan jumlah CD4+ yang meningkat >200 sel/µL paling sedikit selama 3 bulan.39
2

Profilaksis harus diberikan kembali bila jumlah limfosit T CD4 + selanjutnya turun
di bawah 100 sel/µL.4

Gambar 4. Transmisi Toxoplasma gondii terjadi terutama melalui kucing yang merupakan pejamu
definitif parasit ini. Ookista diekskresikan melalui kotoran kucing dan menjadi infeksius,
kemudian menginfeksi pejamu intermediet melalui tanah, air dan makanan. (Dikutip dari
kepustakaan nomor 38)

Profilaksis sekunder atau terapi pemeliharaan jangka panjang untuk


toksoplasmosis menggunakan TMP-SMX 960 mg/hari PO atau pirimetamin 25-50
mg/hari PO + klindamisin 3-4 x 300-450mg/hari PO + asam folinat dan harus
dilanjutkan seumur hidup selama CD4+ <200 sel/µL.23 Terapi dapat dihentikan
bila pasien telah menerima paling sedikit 6 minggu terapi antitoksoplasma, lesi
bersifat stabil serta jumlah limfosit T CD4 + meningkat >200/mm3 selama paling
sedikit ≥6 bulan.4,39 Profilaksis harus diberikan kembali bila jumlah limfosit T
CD4+ turun di bawah 200 sel/µL.4
Pemberian ART menurunkan insiden ensefalitis toksoplasmik dan harus
segera dimulai begitu pasien stabil secara klinis (biasanya sekitar 2 minggu
setelah mendapat terapi toksoplasma untuk menurunkan risiko IRIS).39
2

2.5.4.2 Penatalaksanaan Ensefalitis Toksoplasmik


Panduan CDC untuk terapi ensefalitis toksoplasmik adalah kombinasi
pirimetamin (dosis pertama 200 mg PO dilanjutkan 3x25 mg/hari) + sulfadiazin
4x1500 mg PO + leukovorin 3x10-20 mg/hari PO selama 6 minggu. 24 Pilihan
pengobatan yang tersedia di Indonesia adalah kombinasi pirimetamin dan
klindamisin 3-4 x 300-450 mg/hari PO disertai suplemen asam folinat 10-20
mg/hari yang diberikan selama 6 minggu.23

2.5.5 Pneumonia Pneumocystis


Pneumocystis jirovecii pneumonia (PCP) disebabkan oleh jamur Pneumocystis
jirovecii yang banyak ditemukan di lingkungan (Gambar 5a).40 Taksonomi
organisme ini telah berubah, yang awalnya dikenal dengan sebutan Pneumocystis
carinii saat ini hanya ditujukan untuk pneumosistis yang menginfeksi binatang
pengerat. Spesies yang menginfeksi manusia diberi nama Pneumocystis jirovecii,
walaupun untuk singkatannya masih digunakan istilah PCP seperti sebelumnya.26

5a 5b

Gambar 5. 5a. Jamur Pneumocystis yang didapatkan pada paru pasien dengan AIDS. 5b.
Radiografi dada pada penderita HIV dengan Pneumonia Pneumocystis menunjukkan karakteristik
berupa opasitas granuler simetris bilateral. (Dikutip dari kepustakaan nomor 40 dan 41)

Infeksi awal P. jirovecii umumnya terjadi pada masa kanak-kanak awal dan
PCP terjadi akibat reaktivasi fokus infeksi laten atau akibat paparan baru melalui
udara.15 Gambaran klinis PCP terkait HIV berupa demam, batuk tidak berdahak
dan dispnea. Radiografi dada merupakan landasan diagnostik dan menunjukkan
opasitas bilateral, simetris, interstitial atau granuler (Gambar 5b).41
2

Insiden PCP telah menurun signifikan sejak digunakannya profilaksis dan


ART secara luas. Sebelumnya, PCP didapatkan pada 70-80% pasien dengan AIDS
dengan angka mortalitas 20-40% walaupun telah mendapat pengobatan. 15 Hampir
90% kasus terjadi pada jumlah sel T CD4 + <200 sel/µL atau <14%.42 Faktor lain
yang terkait dengan peningkatan risiko PCP meliputi episode PCP sebelumnya,
kandidiasis oral, pneumonia bakteri rekuren, penurunan berat badan serta viral
load plasma yang tinggi.24,26

2.5.5.1 Pencegahan Pneumonia Pneumocystis


Infeksi P. jiroveci terutama menyebar dari manusia ke manusia, walaupun
mungkin terdapat sumber di lingkungan. Pencegahan paparan dapat diupayakan
dengan mengisolasi pasien HIV yang rentan dari individu yang menderita PCP
walaupun keefektifannya belum diketahui.4
Kemoterapi telah terbukti mencegah PCP dan memperpanjang kelangsungan
hidup pada pasien HIV. Pasien dengan jumlah sel T CD4+ <200 sel/mm3 atau
<14%, serta pasien dengan riwayat PCP dan kandidiasis orofaringeal harus diberi
kemoprofilaksis PCP.26
Kotrimoksazol forte (960 mg) PO satu tablet perhari merupakan agen
profilaksis pilihan. Agen ini lebih efektif dibandingkan agen lainnya, dapat
ditoleransi dengan baik dan memiliki aktivitas profilaksis tambahan terhadap
toksoplasma dan beberapa bakteri termasuk Salmonella spp. dan Streptococcus
pneumoniae.11,15 Pasien yang tidak dapat mentoleransi TMP-SMX dan bila
toksisitas tidak mengancam jiwa, seringkali dapat dengan sukses melalui
desensitisasi bertahap dengan rejimen oral.26
Dapson 2x50 mg/hari PO atau dapson 50 mg/hari + pirimetamin 50
mg/minggu PO merupakan alternatif TMP-SMX yang memiliki keberhasilan
tinggi. Pentamidin aerosol 300 mg/bulan dan atovakuon 1.500 mg/hari PO juga
dapat menjadi alternatif, namun pentamidin memerlukan fasilitas khusus dan
menginduksi batuk, sedangkan atovakuon mahal dan absorpsinya tergantung
makanan.4
2

Profilaksis terhadap PCP dapat dihentikan dengan aman bila pasien telah
menunjukkan respon terhadap ART dengan jumlah CD4+yang meningkat >200
sel/µL paling sedikit selama 3 bulan. Profilaksis harus diberikan kembali bila
jumlah limfosit T CD4+ selanjutnya turun di bawah kadar tersebut.15,26
Profilaksis sekunder harus dilanjutkan seumur hidup pada pasien HIV yang
bertahan hidup setelah episode PCP, kecuali bila pasien memulai ART dan jumlah
limfosit T CD4+ meningkat >200 sel/mm3 selama ≥3 bulan.15 Profilaksis PCP
harus diberikan kembali bila jumlah limfosit T CD4 + turun di bawah 200 sel/mm 3
akibat kegagalan ART maupun ketidakpatuhan.4

2.5.5.2 Penatalaksanaan Pneumonia Pneumocystis


Terapi pilihan untuk PCP adalah TMP-SMX (TMP 15-20 mg/kg/hari + SMZ 75-
100 mg/kg/hari) IV dibagi dalam 3-4 dosis selama 21 hari. Terapi alternatif dapat
digunakan klindamisin 3-4 x 600-900 mg IV atau 4x300-450 mg PO + primakuin
15-30 mg/hari PO selama 21 hari bila pasien alergi terhadap sulfa.23 Pasien
dengan PCP berat dianjurkan pemberian kortikosteroid berupa prednison 2x40 mg
PO selama 5 hari pertama, selanjutnya 40 mg/hari pada hari 6-10, kemudian 20
mg/hari dari hari 11-21. Metilprednisolon IV diberikan dengan dosis 75% dosis
prednison.24
Inisiasi ART segera lebih dipilih pada pasien dengan PCP walaupun waktu
inisiasi yang optimal masih belum bisa ditentukan.41 Penderita HIV yang akan
memulai ART dengan CD4+ <200 sel/µL, dianjurkan untuk diberikan TMP-SMX
2 minggu sebelum ART. Hal tersebut berguna untuk tes kepatuhan dalam minum
obat dan menyingkirkan efek samping yang tumpang tindih antara TMP-SMX
dengan ART, mengingat bahwa banyak obat ART mempunyai efek samping
serupa dengan efek samping TMP-SMX.23,28
Kejadian efek simpang TMP-SMX cukup tinggi, berupa ruam kulit (termasuk
sindroma Stevens-Johnson), demam, leukopenia, trombositopenia, azotemia,
hepatitis, hiperkalemia, mual dan muntah, pruritus dan anemia. Terapi suportif
dan simptomatis terhadap efek tersebut perlu diusahakan sebelum menghentikan
TMP-SMX.4,24
2

BAB III
RINGKASAN

Infeksi oportunistik yang terjadi sebagai konsekuensi dari turunnya jumlah sel T
CD4+ pada pasien yang terinfeksi HIV merupakan penyebab utama morbiditas
dan mortalitas sehingga perlu dilakukan tindakan pencegahan dan
penatalaksanaan yang tepat. Lima IO tersering di Indonesia adalah tuberkulosis,
diare kriptosporidial, kandidiasis mukokutaneus, ensefalitis toksoplasmik serta
pneumonia Pneumocystis. Intervensi terhadap IO yang paling bermakna adalah
pemberian ART, di samping terapi antimikrobial spesifik untuk IO. Angka
kejadian IO menurun drastis sejak diperkenalkannya kombinasi ART yang efektif
dan diimplementasikannya profilaksis IO sehingga meningkatkan harapan dan
kualitas hidup penderita HIV. Pemberian ART di sisi lain juga berpotensi
menimbulkan IRIS sehingga perlu dipertimbangkan dalam menentukan
dimulainya rejimen ART, terutama pada pasien yang juga mendapat terapi
spesifik untuk IO.
2

DAFTAR PUSTAKA

1. The Joint United Nations Programme on HIV/AIDS. Global AIDS statistic


2014. World Health Organization; 2015. p. 1-8.
2. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Situasi dan analisis
HIV/AIDS. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia; 2014. p. 1-8.
3. Anonim. Register pasien poli Voluntary Counselling and Testing Rumah Sakit
Umum Pusat Sanglah Denpasar tahun 2004-2014. Tidak dipublikasikan.
4. Kaplan, J.E., Masur H. Preventing opportunistic infections among HIV-
infected persons. In: Holmes, K.K., Sparling, P.F., Stamm, W.E., Piot, P.,
Wasserheit, J.N., Corey, L., Cohen, M.S., Watts, D.H., eds. Sexually
Transmitted Diseases. 4th ed. New York: McGraw-Hill; 2008. p. 1423-
41.
5. Sandhu, A., Samra, A.K. Opportunistic infections and disease implications in
HIV/AIDS. IJPSI. 2013; 2(5): 47-54.
6. Decker, C.F., Masur, H. Clinical management of HIV infection: management
of opportunistic infections. In: Holmes, K.K., Sparling, P.F., Stamm,
W.E., Piot, P., Wasserheit, J.N., Corey, L., Cohen, M.S., Watts, D.H., eds.
Sexually Transmitted Diseases. 4th ed. New York: McGraw-Hill; 2008. p.
1441-67
7. Agarwal, S.G., Powar, R.M., Tankhiwale, S., Rukadikar, A. Study of
opportunistic infections in HIV-AIDS patients and their co-relation with
CD4+ cell count. Int J Curr Microbiol App Sci. 2015; 4(6): 848-61.
8. Kumar, A., Singh, A.K. HIV related opportunistic infections: a system wise
approach. J Evolution Med Dental Sci. 2014; 3(58): 13152-61.
9. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Laporan triwulan situasi
perkembangan HIV&AIDS di Indonesia sampai dengan 31 Desember
2009. Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2010. p. 1-28.
10. Ariani W., Arya L.N., Suryana K. "Spektrum infeksi oportunistik pada klien
Klinik Merpati RSUD Wangaya periode Januari-Februari 2014." E-Jurnal
Medika Udayana. 2015; 4(2): 1-7.
11. Seddon, J., Bhagani, S. Antimicrobial therapy for the treatment of
opportunistic infections in HIV/AIDS patients: a critical appraisal.
HIV/AIDS - Res Palliative Care. 2011; 3: 19–33.
12. Balkhair, A.A., Al-Muharrmi, Z.K., Ganguly, S., Al-Jabri, A.A. Spectrum of
AIDS defining opportunistic infections in a series of 77 hospitalised HIV-
infected Omani patients. Sultan Qaboos University Med J. 2012; 12(4):
442-8.
2

13. Panel on Antiretroviral Guidelines for Adults and Adolescents. Guidelines for
the use of antiretroviral agents in HIV-1-infected adults and adolescents.
Department of Health and Human Services; 2014. p. 1-285.
14. Nelson, M., Dockrell, D.H., Edwards, S. British HIV Association and British
Infection Association guidelines for the treatment of opportunistic
infection in HIV-seropositive individuals 2011. HIV Med. 2011; 12
(Suppl. 2): 1–144.
15. Centers for Disease Control and Prevention. Guidelines for the prevention and
treatment of opportunistic infections among HIV-exposed and HIV-
infected children: recommendations from CDC, the National Institutes of
Health, the HIV Medicine Association of the Infectious Diseases Society
of America, the Pediatric Infectious Diseases Society, and the American
Academy of Pediatrics. MMWR. 2009; 58(RR04): 1-173.
16. Centers for Disease Control. Revised classification system for HIV infection
and expanded surveillance case definition for AIDS among adolescents
and adults. MMWR. 1993; 41: 1-19.
17. Chu, C. Selwyn, P.A. Complications of HIV infection: a systems-based
approach. Am Fam Physician. 2011; 83(4): 395-406.
18. International AIDS Society USA. Pathogenesis of HIV infection: total CD4+
T-cell pool, immune activation, and inflammation. Topics HIV Med. 2010;
18(1): 2-6.
19. Luckheeram, R.V., Zhou, R., Verma, A.D., Xia, B. CD4+ T cells:
differentiation and functions. Clin Dev Immunol. 2012; ID 925135: 1-12.
20. Okoye, A.A., Picker, L.J. CD4+ T cell depletion in HIV infection:
mechanisms of immunological failure. Immunol Rev. 2013; 254(1): 54–64.
21. Février, M., Dorgham, K., Rebollo, A. CD4+ T cell depletion in Human
Immunodeficiency Virus (HIV) infection: role of apoptosis. Viruses 2011;
3: 586-612.
22. Maartens, G., Celum, C., Lewin, S.R. HIV infection: epidemiology,
pathogenesis, treatment, and prevention. Lancet 2014; 384: 258–71.
23. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman pengobatan
antiretroviral. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia; 2014. p.
1-121.
24. Benson, C.A., Kaplan, J.E., Masur, H., Pau, A., Holmes, K.K. Treating
opportunistic infections among HIV-infected adults and adolescents:
recommendations from CDC, the National Institutes of Health, and the
HIV Medicine Association/Infectious Diseases Society of America.
MMWR. 2004; 53(RR-15): 1-112.
25. Masur, H., Read, S.W. Opportunistic infections and mortality: still room for
improvement. J Infect Dis. 2015; 212(9): 1348-50.
2

26. Panel on Opportunistic Infections in HIV-Infected Adults and Adolescents.


Guidelines for the prevention and treatment of opportunistic infections in
HIV-infected adults and adolescents: recommendations from the Centers
for Disease Control and Prevention, the National Institutes of Health, and
the HIV Medicine Association of the Infectious Diseases Society of
America. Department of Health and Human Services; 2015. p. 1-441.
27. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman nasional
tatalaksana klinis infeksi HIV dan terapi antiretroviral pada orang dewasa
dan remaja. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2012. p. 1-108.
28. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk tehnis tatalaksana
klinis ko-infeksi TB-HIV. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia;
2012. p. 1-150.
29. Wijaya, I.M.K. Infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus) pada penderita
Tuberkulosis. Seminar Nasional FMIPA UNDIKSHA III; 2013. p. 295-
303.
30. Spach, D.H., Gallant, J.E. HIV Web Study. Opportunistic infection treatment.
Available at: http://hiv.uw.edu/oit/case5/discussion.html. Accessed on 11
December 2015.
31. Patel, S.D., Javadekar, T.B., Kinariwala, D.M. Enteric opportunistic parasitic
infections in HIV seropositive patients at tertiary care teaching hospital.
NJMR. 2015; 5(3): 190-3.
32. Beeching, N.J., Jones, R., Gazzard, B. Gastrointestinal opportunistic
infections. HIV Med. 2011; 12 (Suppl. 2): 43–54.
33. Centers for Disease Control and Prevention. Cryptosporidiosis. Available at:
http://www.cdc.gov/dpdx/cryptosporidiosis/index.html. Accessed on 11
December 2015.
34. Cartledge J., Freedman A. Candidiasis. HIV Med. 2011; 12 (Suppl. 2): 70–74.
35. Sofro, M.A.U., Angita, I., Isbandrio, B. Karakteristik pasien HIV/AIDS
dengan kandidiasis orofaringeal di RSUP dr. Kariadi Semarang. Med
Hosp. 2013; 1(3): 164-8.
36. Spach, D.H., Gallant, J.E. HIV Web Study. Oral manifestation. Available at:
http://hiv.uw.edu/oral/case1/discussion.html. Accessed on 11 December
2015.
37. Munir B., Candradikusuma D. Manifestasi HIV/AIDS pada kasus neurologi:
studi epidemologi di Rumah Sakit Saiful Anwar Malang tahun 2013-2014.
J MNJ. 2015; 1(1): 6-10.
38. Centers for Disease Control and Prevention. Toxoplasmosis. Available at:
http://www.cdc.gov/parasites/toxoplasmosis/biology.html Accessed on 11
December 2015.
2

39. Nelson, M., Manji, H., Wilkins, E. Central nervous system opportunistic
infections. HIV Med. 2011; 12 (Suppl. 2): 8–24.
40. Centers for Disease Control and Prevention. Pneumocystis pneumonia.
Available at: http://www.cdc.gov/fungal/diseases/pneumocystis-
pneumonia. Accessed on 11 December 2015.
41. Huang, L., Cattamanchi, A., Davis, L., den Boon, S., Kovacs, J., Meshnick, S.,
Miller, R.F., Walzer, P.D., Worodria, W., Masur, H. HIV-associated
pneumocystis pneumonia. Proc Am Thorac Soc. 2011; 8:294–300.
42. Dockrell, D.H., Breen R., Lipman, M., Miller, R.F. Pulmonary opportunistic
infections. HIV Med. 2011; 12 (Suppl. 2): 25–42.

Anda mungkin juga menyukai