Anda di halaman 1dari 36

Refrat klinis

UNIVERSITAS ANDALAS

PERANAN ATRIAL SEPTAL DEFECT OCCLUDER DALAM


TATALAKSANA ATRIAL SEPTAL DEFECT SEKUNDUM

HARBEN FERNANDO
1750311206

Pembimbing :
Dr. DIDIK HARIYANTO Sp. A(K)
Dr. KINO Sp.JP (K)

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER SPESIALIS-1


ILMU PENYAKIT JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2019
ABSTRAK

Atrial septal defect (ASD) sekundum merupakan tipe ASD yang paling banyak
ditemukan dengan proporsi 70% dari seluruh kasus ASD. Selama ini terapi pembedahan telah
menjadi baku emas dalam penutupan ASD sekundum. Prosedur pembedahan mempunyai
morbiditas yang terkait dengan torakotomi, pintasan jantung paru, komplikasi prosedur,
jaringan parut bekas operasi, dan trauma psikologis. Oleh karena itu, timbul usaha pendekatan
perkutan untuk menutup ASD yang bersifat relatif kurang invasif dengan menggunakan ASD
occluder yang memiliki komponen utama nitinol. Nitinol terdiri dari campuran nikel dan
titanium yang aman untuk kesehatan dan minimal efek samping. Teknik ASD perkutan
memiliki keunggulan lebih disbanding dengan metode operasi konvensional yaitu angka
keberhasilan penutupan ASD sekundum yang tinggi, risiko komplikasi yang rendah, lama
perawatan yang lebih rendah dan biaya yang lebih murah.

Kata kunci : Atrial septal defect, ASD occluder

i
ABSTRACT

Secundum atrial septal defect (ASD) is the most commont type of ASD which is 70 %
from all ASD cases, Surgery has become standard therapy for secundum ASD closure, but it
has significant morbidity related to sternotomy, cardiopulmonary bypass, complication,
residual scar, and trauma. Non-surgical and less invasive approaches with transcatheter device
were developed to ASD occluder which main component is nitinol. Notinol consist of nickel
and titanium, it safe for health with minimal side effect. Transcatheter ASD occuder has many
advantages if compared to convensional surgical method, it has high succesfull rate for
closure secundum ASD, less complications, short duration of hospital length stay and, cheaper
than surgical method.

Key words : Atrial septal defect, ASD occuder

ii
DAFTAR ISI

Abstrak i
Daftar isi iii
Daftar gambar iv
Daftar tabel v
Daftar singkatan vi
BAB I. Pendahuluan 1
1.1 Latar belakang 1
1.2 Tujuan Penulisan 2
BAB II. Tinjauan Pustaka 3
2.1 Atrial Septal Defect (ASD) 3
2.1.1 Klasifikasi ASD 3
2.1.2 Patofisiologi ASD 5
2.1.3 Diagnosis ASD 6
2.1.4 Tatalaksana ASD 7
2.2 Penutupan ASD sekundum dengan ASD occluder 8
2.3 Keberhasilan penutupan ASD sekundum dengan ASD occluder 12
2.4 Perbandingan penggunaan ASD occluder dengan metode bedah 14
2.5 Komplikasi penutupan ASD sekundum denga ASD occluder 18
2.6 Evaluasi pasca implantasi ASD occluder 21
2.7 Komponen ASD occluder 21
BAB III. Kesimpulan 27
Daftar Pustaka 28

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Lokasi defek pada ASD 4

Gambar 2. Bagan Tatalaksaana ASD sekundum 8

Gambar 3. Contoh perangkat ASO 9

Gambar 4. Prosedur implantasi ASD occluder 10

Gambar 5. Struktur Nitinol 22

iv
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Sifat fisik nitinol 24

Tabel 2. Sifat mekanik nitinol 24

Tabel 3. Level serum nikel pasca implantasi ASD occluder 26

v
DAFTAR SINGKATAN

AP : Anteroposterior
ASD : Atrial septal defect
ASO : Amplatzer septal occluder
DSA : Defek septum atrium
FDA : Food and drug administration
HSO : Helex septal occlude
LV : Left ventricle
RVEDD : Righ ventricular end diastolic diameter
SPAP : Systolic pulmonal atrial pressure
TEE : Transesofageal echocardiography
TR : Tricuspid regurgitation
TTE : Transthorakal echocardiography

vi
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Atrial septal defect (ASD) merupakan penyakit jantung bawaan yang paling
umum ditemukan. Kasus ASD diperkirakan mencapai 56 per 100.000 kelahiran hidup
yang merupakan 8% -10% dari kelainan jantung bawaan pada anak dan dewasa.
Perkiraan terbaru jauh lebih tinggi (100 per 100.000 kelahiran hidup), mungkin
karena peningkatan diagnosis ASD di era penggunaan ekokardiografi. Rasio wanita
dan pria untuk ASD adalah 2:1 dan 75 % dari jenis ASD adalah ASD sekundum.1
Meskipun sebagian besar pasien tidak menunjukkan gejala sampai dewasa, diagnosis
dini dan pengobatan sangat penting untuk mencegah kemungkinan gejala seperti
gagal jantung kanan, hipertensi pulmonal, dan aritmia. Selama ini pembedahan adalah
standar baku dalam pengobatan ASD sekundum, karena tingkat morbiditas dan
mortalitasnya sangat rendah, sementara kapasitas fungsional pasca operasi dan
tingkat kelangsungan hidup sangat baik dalam jangka panjang. Walaupun
pembedahan merupakan metode pengobatan yang direkomendasikan, namun metode
ini memiliki risiko termasuk post-pericardiotomy syndrome, aritmia, efusi pleura,
efusi perikardial. Selain itu, prosedur bedah meningkatkan kebutuhan akan produk
darah, meningkatkan lama perawatan di rumah sakit dan pembentukan bekas luka
operasi.3
Penutupan ASD sekundum perkutan menjadi alternatif untuk tindakan
bedah yang pertama kali dilakukan pada tahun 1976 dan telah banyak diadopsi
selama beberapa dekade berikutnya karena metode yang rendah risiko, hari rawatan
yang singkat di rumah sakit, tidak memerlukan produk darah, dan tidak menghasilkan
bekas luka. Namun, prosedur ini juga memiliki komplikasi yang mencakup residual
ASD, embolisasi device, tromboemboli, kompresi vena kava superior dan kompresi
vena pulmonalis, kompresi katup trikuspid atau mitral, erosi aorta, aritmia hingga
tamponade jantung.2,3

1
Selama satu dekade terakhir berkembang pesat beragam perangkat ASD
occluder perkutan dengan desain yang unik dan penggunaan yang mudah, metode ini
berhasil menggantikan penutupan ASD sekundum melalui intervensi bedah dengan
hasil yang sangat baik. Saat ini setidaknya ada dua perangkat ASD occluder yang
disetujui FDA di AS yaitu perangkat amplatzer septal occluder (ASO) yang
merupakan prostesis yang terdiri dari dua disk nitinol bulat yang dihubungkan
bersama dengan disk penghubung pendek, perangkat ini sudah dikenal luas diseluruh
dunia. Perangkat yang kedua adalah helex septal occluder (HSO) yang merupakan
perangkat yang memiliki desain disk ganda yang tidak berpusat. 2,3

1.2. Tujuan penulisan

Tujuan penulisan tinjauan pustaka ini adalah untuk membahas peranan ASD
occluder dalam tatalaksana ASD sekundum dan membandingkannya dengan terapi
bedah.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Atrial Septal Defect (ASD)


2.1.1 Klasifikasi ASD
Atrial septal defect (ASD) adalah penyakit jantung bawaan yang sering
memburuk pada usia dewasa. Ditemukan celah di septum interatrial jantung yang
menyebabkan terjadi pirau dari atrium kiri ke atrium kanan dengan peningkatan
beban volume di atrium dan ventrikel kanan. ASD berasal dari lokasi spesifik di
septum atrium dan diberi label sesuai dengan asal embrioniknya. Yang paling umum
terjadi di tengah septum atrium di segmen fossa ovalis (ASD Sekundum). ASD
sekundum ditemukan sekitar 75% dari semua jenis ASD, diikuti oleh ASD primum
(20%) dan ASD sinus venosus dan coronarius (5%). Dari berbagai klasifikasi
penyakit jantung bawaan, ASD adalah penyakit jantung bawaan paling umum pada
orang dewasa dengan persentase hingga 30% kejadian pada kelompok usia ini. Pasien
dengan ASD dapat bertahan hidup sampai dewasa tanpa terdiagnosis. Dispnea saat
melakukan aktivitas adalah gejala paling umum pada orang dewasa yang menderita
ASD. Sekitar 8-10% ASD berkembang menjadi hipertensi pulmonal. Hipertensi
pulmonal adalah komplikasi umum dari banyak penyakit jantung bawaan dan status
vaskular paru sering menjadi penentu utama manifestasi klinis apakah pengobatan
korektif dapat dilakukan.1
Secara anatomis ASD dibagi menjadi ASD primum, sekundum, tipe sinus
venosus, dan tipe sinus koronarius. Pada ASD primum terdapat defek pada bagian
bawah septum atrium, yaitu pada septum atrium primum. Selain itu, pada ASD
primum sering pula terdapat celah pada daun katup mitral. Kedua keadaan tersebut
menyebabkan pirau dari atrium kiri ke kanan dan arus sistolik dari ventrikel kiri ke
atrium kiri melalui celah pada katup mitral (regurgitasi mitral). Pada tipe sinus
venosus defek septum terletak di dekat muara vena kava superior atau inferior dan
sering disertai dengan anomali parsial drainase vena pulmonalis, yaitu sebagian vena
pulmonalis kanan bermuara ke dalam atrium kanan. Pada tipe sinus koronarius defek

3
septum terletak di muara sinus koronarius. Pirau pada ASD sinus koronarius terjadi
dari atrium kiri ke sinus koronarius, baru kemudian ke atrium kanan. Pada kelainan
ini dapat ditemukan sinus koronarius yang membesar. Pada ASD sekundum terdapat
lubang patologis pada fosa ovalis. Defek septum atrium sekundum dapat tunggal atau
multipel (fenestrated atrial septum). Defek yang lebar dapat meluas ke inferior
sampai pada vena kava inferior dan ostium sinus koronarius, ataupun dapat meluas ke
superior sampai pada vena kava superior. 2,3

Gambar 1. Lokasi defek pada ASD

Diameter ASD ketika tidak diobati ditemukan meningkat pada 65% kasus,
dan 30% akan mengalami peningkatan diameter lebih dari 50%. Hanya 4% ASD
yang menutup secara spontan. Seorang pasien dengan ASD sekundum terisolasi
seringkali tidak menunjukkan gejala sampai dekade ketiga dan keempat kehidupan.
Gejala khas yang terjadi meliputi penurunan toleransi aktivitas, kelelahan, sinkop dan
palpitasi. Pasien dengan pirau yang signifikan dapat mengalami kegagalan ventrikel
kanan, atrium takikardia, hipertensi pulmonal, dan kejadian emboli yang semuanya
dapat menyebabkan potensial morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Usia di
mana seorang pasien menjadi simtomatik sangat bervariasi dan tidak berkorelasi

4
dengan ukuran defek. Gradien tekanan antara dua atrium dan jumlah aliran shunt
tergantung pada ukuran defek. Apabila tidak ditangani dari waktu ke waktu, bahkan
ASD kecil dapat berkembang menjadi hipetensi pulmonal. Pada pasien yang
berkembang menjadi hipertensi pulmonal sekitar 10% akan berkembang menjadi
sindrom eisenmenger.2,3

2.1.2 Patofisiologi

Derajat pirau dari atrium kiri ke atrium kanan tergantung pada besarnya defek,
komplians relatif ventrikel kanan dan resistensi relatif vaskular pulmonal. Pada defek
yang besar, sejumlah darah yang teroksigenasi (dari vena pulmonal) mengalir dari
atrium kiri ke atrium kanan, menambah jumlah darah vena yang masuk ke atrium
kanan (venous return). Total darah tersebut kemudian dipompa oleh ventrikel kanan
ke paru. Aliran darah balik dari paru ke atrium kiri akan terbagi menjadi dua, yaitu ke
atrium kanan melalui defek dan ke ventrikel kiri. Pada defek yang besar, rasio aliran
darah pulmonal dibandingkan sistemik (Qp/Qs) dapat berkisar antara 2:1 sampai 4:1. 1

Gejala asimtomatis pada bayi dengan ASD terkait dengan resistensi paru yang
masih tinggi dan struktur ventrikel kanan pada masa awal kehidupan, yaitu dinding
otot ventrikel kanan yang masih tebal dan komplians yang kurang, sehingga
membatasi pirau kiri ke kanan. Seiring dengan bertambahnya usia, resistensi vaskular
pulmonal berkurang, dinding ventrikel kanan menipis dan kejadian pirau kiri ke
kanan melalui ASD meningkat. Peningkatan aliran darah ke jantung sisi kanan akan
menyebabkan pembesaran atrium dan ventrikel kanan serta dilatasi arteri pulmonalis.
Resistensi vaskular pulmonal tetap rendah sepanjang masa anak-anak, meskipun
dapat mulai meningkat saat dewasa dan menyebabkan pirau yang berlawanan dan
terjadi sianosis.1

Sebagian besar pasien dengan ASD sekundum mempunyai gejala yang


asimtomatis, terutama pada masa bayi dan anak-anak. Tumbuh kembang biasanya

5
normal, namun jika pirau besar, pertumbuhan dapat terganggu. Pada anak yang lebih
besar, dapat dijumpai intoleransi terhadap beberapa latihan fisik. Bila pirau cukup
besar maka pasien dapat mengalami sesak napas dan sering mengalami infeksi paru. 1
Pada ASD umumnya besar jantung normal atau hanya sedikit membesar
dengan pulsasi ventrikel kanan yang teraba pada garis sternum kiri. Komponen aorta
dan pulmonal bunyi jantung II dapat terbelah lebar (wide split) yang disebabkan oleh
beban volume di ventrikel kanan sehingga waktu ejeksi ventrikel kanan bertambah
lama. Split tersebut tidak berubah baik pada saat inspirasi maupun ekspirasi (fixed
split). Pada keadaan normal, durasi ejeksi ventrikel kanan bervariasi sesuai siklus
pernapasan, yaitu peningkatan volume ventrikel kanan dan penutupan katup pulmonal
yang terlambat saat inspirasi. Pada ASD, volume diastolik ventrikel kanan meningkat
secara konstan dan waktu ejeksi memanjang sepanjang siklus pernapasan. Pada defek
yang sangat besar dapat terjadi variasi split sesuai dengan siklus pernapasan. Pada
defek kecil sampai sedang bunyi jantung I normal, namun pada defek besar bunyi
jantung I dapat mengeras. Bising ejeksi sistolik terdengar di daerah pulmonal (garis
sternum kiri tengah dan atas) akibat aliran darah yang berlebih melalui katup
pulmonal (stenosis pulmonal relatif atau fungsional). Aliran darah yang memintas
dari atrium kiri ke kanan melalui defek tidak menimbulkan bising karena perbedaan
tekanan yang kecil antara atrium kanan dan kiri. Selain itu, dapat pula terdengar
bising diastolik di daerah trikuspid (tricuspid diastolic flow murmur, mid-diastolic
murmur), yaitu di garis sternum kiri bawah, yang terjadi akibat aliran darah yang
berlebih melalui katup trikuspid pada fase pengisian cepat ventrikel kanan. Bising ini
hanya akan terdengar bila rasio Qp/Qs lebih dari 2:1. Bising tersebut terdengar keras
pada saat inspirasi dan melemah pada ekspirasi. 1,3

2.1.3 Diagnosis ASD

Pasien dengan ASD sekundum dapat memberikan gejala asimtomatis atau


gambaran klinis yang nonspesifik, seperti gangguan pertumbuhan dan infeksi saluran
napas. Pada sebagian besar kasus, diagnosis ASD dipikirkan saat ditemukan bising

6
jantung yang mencurigakan selama pemeriksaan rutin. Pemeriksaan penunjang yang
dapat dilakukan untuk membantu penegakkan diagnosis ASD antara lain foto toraks,
elektrokardiografi, dan ekokardiografi. Foto toraks anterior-posterior (AP) dapat
menunjukkan atrium kanan yang menonjol dengan konus pulmonalis yang menonjol.
Pada foto toraks AP juga dapat menunjukkan jantung yang sedikit membesar dan
vaskularisasi paru yang bertambah sesuai dengan besarnya pirau. Pembesaran jantung
sering terlihat pada foto toraks lateral karena ventrikel kanan menonjol ke anterior
seiring dengan peningkatan volume.1,10
Elektrokardiogram dapat menunjukkan adanya right bundle branch block
(RBBB) pada 95% kasus ASD sekundum yang menunjukkan adanya kelebihan beban
volume ventrikel kanan. Pada ASD sekundum terjadi deviasi sumbu QRS ke kanan
(right axis deviation). Hipertrofi ventrikel kanan dapat ditemukan, namun
pembesaran atrium kanan jarang ditemukan. 10
Ekokardiografi dapat menunjukkan letak ASD, ukuran defek, dan
karakteristik volume ventrikel kanan yang berlebih, yaitu peningkatan dimensi
diastolik akhir ventrikel kanan dan gerakan paradoksal septum ventrikel. Septum
yang normal bergerak ke posterior saat sistol dan bergerak ke anterior saat diastol.
Adanya beban volume berlebih pada ventrikel kanan dan resistensi vaskular pulmonal
yang normal menyebabkan gerakan septum terbalik, yaitu bergerak ke anterior saat
sistol. Pemeriksaan ekokardiografi doppler berwarna dapat menunjukkan dengan jelas
pirau dari atrium kiri ke kanan.4 Selain itu dapat ditemukan regurgitasi trikupsid
ringan, yang disebabkan oleh dilatasi ventrikel kanan dan atrium kanan yang
meregangkan anulus katup trikuspid. Pasien dengan ASD tidak selalu menunjukkan
kelainan pada pemeriksaan fisis dan hasil elektrokardiografi yang khas, sehingga
diperlukan pemeriksaan ekokardiografi untuk menunjukkan adanya pirau kiri ke
kanan pada ASD.3,4

2.1.4 Tatalaksana ASD


Penutupan ASD akan menghilangkan pirau kiri ke kanan yang menyebabkan
pengurangan kerja jantung, mengurangi beban volume atrium dan ventrikel kanan,

7
dan mengembalikan aliran darah pulmonal ke keadaan yang normal. Pilihan tata
laksana penutupan ASD meliputi intervensi pembedahan dan intervensi kardiologi
non-bedah.5,6 (Gambar . 2)

Gambar 2. Bagan tatalaksana ASD sekundum

2.2 Penutupan ASD sekundum dengan ASD occluder

ASD Occluder adalah suatu alat khusus yang digunakan untuk menutup ASD
tipe sekundum dengan cara non-bedah melalui kateter secara perkutan lewat vena
femoralis. Salah satu dari perangkat ini yang berbahan nitinol dan digunakan luas
adalah amplatzer septal occlude (ASO). Alat ini terdiri dari 2 buah cakram yang
dihubungkan dengan sebuah pinggang (connecting waist) dengan tebal kira-kira 4
mm, sesuai dengan tebalnya septum atrium. Cakram tersebut terbuat dari anyaman

8
kawat nitinol dengan diameter 0,004-0,0075 inchi yang dapat teregang menyesuaikan
diri dengan ukuran ASD. Protesis ini diisi dengan bahan poliester (polyester patch)
yang dapat merangsang trombosis sehingga terbentuk trombus dalam alat yang akan
menutup lubang antara atrium kiri dan kanan. 5,6

Kedua cakram bersifat self-centered, dan cenderung berlawanan satu dengan


yang lain untuk memastikan kontak yang kuat dengan septum atrium. Cakram sisi
kiri sedikit lebih besar dibandingkan sisi kanan karena adanya tekanan atrium kiri
yang lebih besar. Alat ASD occluder tersedia dengan berbagai ukuran, mulai dari
ukuran 4 mm sampai 40 mm. 9 Ukuran alat tersebut mencerminkan diameter pinggang
alat. Ukuran diameter pinggang alat ditentukan melalui diamater defek dalam
keadaan teregang (stretched diameter), yang didapatkan melalui suatu metode
balloon sizing, yaitu dengan memasukkan cairan sehingga balon mengembang
sampai pirau kiri ke kanan berhenti. Ukuran alat yang dipilih mempunyai ukuran
yang sama atau 2 mm lebih besar dibandingkan diameter defek dalam keadaan
teregang. 9,10

Gambar 3. Contoh perangkat ASD occlude


A.Ukuran alat/ pinggang, B.Lebar pinggang, C. Diameter disk kanan, D. Diameter disk kiri

Syarat yang harus dipenuhi untuk pemasangan ASD occluder antara lain ASD
tipe sekundum, pirau kiri ke kanan yang bermakna dengan pembesaran ventrikel

9
kanan atau bukti beban volume berlebih pada ventrikel kanan (biasanya rasio Qp/Qs
lebih dari 2:1), diameter defek maksimal 40 mm, adanya jarak minimal 5 mm dari
tepi defek ke sinus koronarius, katup atrioventrikular, vena pulmonal kanan atas, dan
vena kava superior. Alat penutup ASD transkutan di atas tidak dapat digunakan pada
ASD tipe sinus venosus ataupun tipe primum karena tidak adanya tepi septum pada
jaringan sekitar defek yang dapat dijadikan tempat perlekatan lembar penutup alat.
Alat ASD occluder dapat digunakan pada anak dengan berat badan minimal 8 kg, hal
ini diperkirakan berkaitan dengan ukuran jantung yang dapat digunakan dalam
penempatan alat.7,9

Gambar 4. Prosedur implantasi ASD occluder

10
Prosedur implantasi alat dikerjakan dalam anestesi umum dan pemantauan
dengan transesofageal ekokardiografi (TEE). Pasien akan mendapatkan antibiotik
profilaksis sebelum proses implantasi. Kedua cakram dapat dikecilkan dan
dimasukkan ke dalam suatu kateter pengantar (delivery cathether) berukuran 6-12 F.
Kateter pengantar yang membawa cakram akan dimasukkan secara perkutan melalui
vena femoralis ke dalam atrium jantung, kemudian cakram distal dibuka atau
dikembangkan secara manual di dalam atrium kiri dan disatukan dengan cakram
proksimal untuk menutup defek. Pemeriksaan dengan ekokardiografi dopler berwarna
dilakukan setelah pengembangan kedua cakram untuk memeriksa adanya pirau
residu, obstruksi aliran balik vena dan kondisi katup atrioventrikular. Setelah posisi
perangkat optimal, alat dilepaskan dari kabel. Pasca pemasangan ASD occluder,
pasien diberikan aspirin selama 6 bulan. 11,13

Keberhasilan penutupan ASD secara perkutan dengan ASD occluder dinilai


melalui transtorakal ekokardiografi (TTE) dengan doppler berwarna yang dilakukan
secara berkala, Prosedur dianggap berhasil bila hasil pemeriksaan menunjukkan tidak
ada pirau residu, trivial (< 1 mm color jet width) atau pirau residu kecil (color jet
width 1-2 mm). Hasil ekokardiografi Dopler yang menunjukkan pirau residu moderat
(color jet width 2-4 mm) atau besar (color jet width > 4 mm) dianggap sebagai
prosedur gagal.9,10 Pada prosedur yang gagal, perlu dilakukan evaluasi ulang.
Penyebab kegagalan yang dapat terjadi adalah ketidaksesuaian antara diameter alat
yang dipakai dengan diameter defek, hal ini disebabkan oleh perkiraan yang kurang
tepat (over-estimate) hasil diameter dari metode balloon sizing dibandingkan
diameter yang ditentukan melalui TEE. Dalam hal ini perlu dilakukan penilaian ulang
diameter, dan sekaligus dilakukan pemasangan ulang ASD occluder dengan diameter
yang baru. Pada kasus terjadi embolisasi, insufisiensi tepi defek yang menyebabkan
alat tidak dapat terfiksasi dengan tepat, atau diameter defek yang ternyata terlalu
besar, maka dapat dilakukan reintervensi pembedahan.9,14 Hal yang perlu
diperhatikan pada penutupan ASD dengan alat transkutan adalah waktu dilakukan
penutupan defek, hal ini terutama terkait dengan pemilihan ukuran diameter alat yang

11
dipakai. Penelitian oleh McMahon dkk mendapatkan 66% ASD sekundum dapat
mengalami peningkatan ukuran defek sejalan dengan waktu, dengan 30% di
antaranya mengalami peningkatan ukuran defek lebih dari 50%. Peningkatan ukuran
defek ini dapat melebihi ukuran diameter alat transkateter yang tersedia. 9,10

Penutupan ASD melalui intervensi perkutan menghasilkan tidak hanya


penurunan gejala dan peningkatan kapasitas latihan, tetapi juga peningkatan geometri
ruang jantung dan hemodinamik jantung. Majunke dkk mempelajari 650 orang
dewasa dengan usia rata-rata 45 tahun yang menjalani penutupan ASD dengan ASD
occluder. Pasien awalnya memiliki SPAP rata-rata 33,3 mmHg. Implantasi berhasil
pada 98% pasien dan penutupan lengkap dicapai 96% . Pasca tindakan SPAP
menurun menjadi 28,3 mmHg. Komplikasi intra-prosedural yang tersering adalah
embolisasi alat. Wilson dkk melaporkan bahwa pengamatan selama 2 tahun pada 227
orang dewasa dan anak-anak pasca implantasi ASD occluder menunjukkan
keberhasilan 98,5% untuk penutupan ASD. Penelitian lain menunjukkan bahwa
penutupan ASD dengan perangkat ASD occluder menyebabkan penurunan yang
signifikan dalam ukuran RV (diameter end diastolik ventrikel kanan [RVEDD] 35,3
mm menjadi 29,2 mm dalam 24 jam pertama) dan perbaikan gejala klinis dengan
angka keberhasilan yang sangat tinggi. Dapat disimpulkan bahwa penutupan ASD
sekundum pada anak dan orang dewasa adalah aman, efisien dengan hasil jangka
panjang yang sangat baik. Hasil menggembirakan serupa telah dilaporkan untuk
perangkat Helex. Jones dkk membandingkan HSO dengan intervensi bedah di follow
up selama 12 bulan dan menemukan bahwa tingkat penutupan hasilnya tidak berbeda.
11,14

2.3 Keberhasilan penutupan ASD sekundum perkutan dengan ASD occluder

Berdasarkan berbagai studi didapatkan angka keberhasilan penutupan ASD


sekundum secara perkutan dengan ASD occluder cukup tinggi, yaitu 90-100%. Angka
keberhasilan yang tinggi tersebut disebabkan oleh bentuk fungsional cakram,

12
terutama bagian pinggang (connecting waist) yang diisi dengan bahan poliester
(polyester patch). Pinggang cakram dan kedua cakram menyebabkan alat terfiksasi
pada pusat defek (self-centered), dan dengan kedua cakram menyebar secara radial
menutup defek, menyebabkan dalam hal ini ASO membutuhkan ukuran diameter alat
yang lebih kecil dibandingkan alat penutup ASD perkutan lain untuk menutup defek
yang sama. Bahan poliester dapat merangsang trombosis dan formasi neoendotelium
sehingga lubang antara atrium kiri dan kanan akan tertutup. Pada beberapa alat
penutup transkateter lainnya, defek hanya ditutup dengan sebuah patch atau satu
cakram penutup, sehingga sering terjadi pirau residu. 5,12
Keunggulan utama alat ASD occluder yaitu kemampuannya untuk ditarik
kembali (retrievability) saat cakram masih terpasang pada kabel pengantar, sehingga
dapat dilakukan reposisi pada kasus malposisi.10 Keunggulan lain adalah sifat
superelastik dari kawat Nitinol, sehingga bentuk cakram dapat dipertahankan
meskipun dikembangkan beberapa kali. Prosedur pengembangan cakram yang
sederhana menyebabkan waktu prosedur yang dibutuhkan oleh prosedur perkutan
dengan ASD occluder lebih singkat. Penutupan ASD secara perkutan juga
menghasilkan dampak psikologis yang lebih ringan, antara lain, tidak adanya luka
bekas sayatan operasi, lama rawat yang lebih pendek, dan tidak perlunya perawatan
unit rawat intensif.12,19
Alat ASD occluder juga terbukti dapat digunakan pada ASD sekundum
multipel. Penelitian oleh Cao dkk dan Pedra dkk serta laporan kasus oleh Pinto dkk
mendapatkan pada ASD sekundum dengan dua defek dapat ditutup dengan dua alat
ASD occluder apabila ukuran atrium kanan dan kiri cukup besar (biasanya pada
pasien dengan berat badan lebih dari 20 kg) dan kedua defek mempunyai jarak
minimal 7 mm. Pada ASD sekundum dengan jarak antara dua defek kurang dari 7
mm dilakukan penutupan defek dengan satu alat pada defek dengan ukuran yang
paling besar sehingga defek dengan ukuran lebih kecil juga dapat tertutup. Hal yang
sama dilakukan pada ASD dengan defek multipel (fenestrated atrial septum).13
Pada sebagian besar kasus, meskipun tidak dilakukan penutupan defek, pasien
dapat melakukan aktivitas dengan normal. Masalah dapat timbul saat dekade kedua

13
atau ketiga (usia aktif) atau saat hamil pada pasien wanita. Pada kurun usia tersebut
dapat terjadi hipertensi pulmonal, aritmia atrial, regurgitasi mitral atau trikuspid dan
gagal jantung. Penelitian oleh Hanslik dkk mendapatkan usia di bawah 1 tahun sering
dihubungkan dengan penutupan defek secara spontan dan regresi diameter defek
menjadi < 3 mm, namun pada usia 4-5 tahun penutupan spontan masih dapat terjadi.
Penutupan spontan juga sering terjadi pada pasien dengan ukuran defek awal saat
diagnosis 4-5 mm. Penutupan secara pembedahan atau transkateter dapat dilakukan
pada defek dengan diameter awal saat diagnosis > 8-10 mm, karena penutupan
spontan jarang terjadi pada kasus tersebut. Penutupan defek dengan pembedahan atau
perkutan juga terindikasi pada pasien dengan tanda klinis (adanya gangguan
pertumbuhan dan sering mengalami infeksi saluran napas) dan tanda beban volume
ventrikel kanan yang berlebih melalui pemeriksaan ekokardiografi. 15,16

2.4 Perbandingan prosedur perkutan menggunakan ASD occluder dengan


tindakan pembedahan pada penutupan ASD sekundum
2.4.1 Angka keberhasilan penutupan ASD sekundum

Penutupan ASD dengan alat penutup ASD perkutan telah menjadi alternatif
terhadap terapi pembedahan karena dianggap memiliki beberapa keuntungan.
Berbagai penelitian telah membandingkan efikasi dan keamanan antara prosedur
pembedahan dan prosedur perkutan dengan ASD occluder. Berdasarkan hasil
beberapa penelitian didapatkan efikasi prosedur perkutan dalam menutup ASD
sekundum tidak berbeda bermakna, yaitu sekitar 90-100%. Efikasi dinilai
berdasarkan pemantauan dengan ekokardiografi yang menunjukkan tidak ada pirau
residu, trivial atau pirau residu kecil selama rentang waktu pemantauan 3 bulan
sampai 2 tahun.9,13 Terapi pembedahan masih diperlukan pada kasus ASD yang lebar
(lebih dari 40 mm) dan insufisiensi tepi septum atrium. 14
Perbandingan intervensi bedah dan perkutan pada ASD sekundum
dilaporkan dalam studi kohort besar pada 596 pasien anak. Dalam studi ini, 442

14
pasien dilakukan penutupan ASD dengan perangkat ASO dan 154 pasien dilakukan
penutupan secara bedah. Tingkat keberhasilannya adalah 95,7% pada ASO dan 100%
pada kelompok bedah. Tidak ada kematian yang diamati pada kedua kelompok,
namun tingkat komplikasi secara signifikan lebih rendah pada kelompok ASO (7,2%
ASO vs 24,0% bedah). Lama tinggal di rumah sakit lebih pendek pada kelompok
ASO (3 hari pada ASO vs 8 hari pada bedah). Data pengamatan lima tahun oleh
Knepp dkk untuk penutupan ASD occluder menunjukkan tingkat penutupan lengkap
97% dengan insidensi mortalitas dan morbiditas yang sangat rendah. 16
Penelitian Du dkk dan Durongpisitkul dkk yang mendapatkan angka
keberhasilan penutupan ASD sekundum segera setelah prosedur sebesar 97,6% dan
96,4%. Penelitian oleh Vida dkk mendapatkan angka keberhasilan penutupan ASD
sekundum segera setelah prosedur yang lebih rendah, yaitu sebesar 87,5%. 16

2.4.2 Komplikasi tindakan

Keamanan prosedur dinilai dari tidak adanya kematian atau komplikasi. Pada
sebagian besar penelitian tidak mendapatkan kematian pada kedua prosedur.
Pemantauan timbulnya komplikasi dilakukan dalam rentang waktu 6 bulan sampai 3
tahun. Beberapa penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna dalam hal
komplikasi pada kedua prosedur, namun penelitian lain menunjukkan komplikasi
pada prosedur pembedahan secara bermakna lebih banyak dibandingkan prosedur
perkutan dengan ASD occluder.9,13 Penelitian oleh Du dkk menunjukkan kelompok
pembedahan mempunyai proporsi komplikasi yang lebih banyak dibandingkan
kelompok perkutan (24% vs 7,2%, p=0,001). Pada penelitian Bialkowski dkk juga
terdapat perbedaan bermakna dalam hal komplikasi antara kelompok perkutan (6,4%)
dengan kelompok pembedahan (8,2%) (p<0,05). Pada penelitian Quek dkk
didapatkan komplikasi pada kelompok pembedahan sebesar 27%, sedangkan
komplikasi kelompok perkutan 20%, dan kelompok pembedahan mempunyai risiko
lebih tinggi untuk mempunyai komplikasi (RR 1,33; 95% IK, 0,30-5,95). Formigari
dkk menunjukkan kelompok bedah konvensional mempunyai proporsi komplikasi

15
yang terbanyak dibandingkan kelompok bedah invasif minimal dan kelompok ASO
(12%, 9,8% dan 3,8%).9,16

Komplikasi terbanyak pada prosedur pembedahan antara lain efusi


perikardial, efusi pleura, gangguan irama jantung, pneumotoraks, dan perdarahan,
sedangkan pada prosedur perkutan adalah embolisasi dan reintervensi pembedahan
bila terjadi kegagalan dengan prosedur perkutan.9,14

2.4.3 Durasi tindakan

Prosedur perkutan mempunyai waktu prosedur penutupan ASD sekundum


yang lebih singkat dibandingkan dengan prosedur bedah konvensional ataupun bedah
invasif minimal. Penelitian oleh Du dkk menunjukkan durasi prosedur yang
dibutuhkan oleh kelompok perkutan [105,7 (SB 43,2) menit] lebih singkat
dibandingkan kelompok pembedahan [159,7 (SB 54,1) menit] (p<0,001). Hasil
penelitian Hughes dkk menunjukkan kelompok perkutan mempunyai durasi anestesi
yang lebih pendek dibandingkan pembedahan (92 menit vs 170 menit, p<0,01).
Prosedur implantasi alat ASD occluder yang sederhana dan tidak membutuhkan
mesin pintasan jantung paru menyebabkan durasi prosedur dan anestesi yang
dibutuhkan oleh kelompok ASD occluder lebih pendek dibandingkan dengan
kelompok pembedahan.9,16

2.4.4 Lama Perawatan

Prosedur penutupan ASD perkutan dengan ASD occluder memerlukan lama


perawatan di rumah sakit sekitar 1-3 hari, sedangkan prosedur pembedahan memerlukan 3-8
hari. Lama rawat yang lebih singkat disebabkan prosedur perkutan tidak memerlukan
perawatan di unit rawat intensif pasca-prosedur. Selain itu, adanya komplikasi yang lebih
banyak pada prosedur pembedahan menyebabkan lama perawatan di rumah sakit yang lebih
panjang. Pada penelitian Formigari dkk kelompok bedah konvensional juga secara

16
bermakna mempunyai lama rawat yang lebih lama dibandingkan kelompok bedah
invasif minimal dan kelompok ASO (6,5 hari, 2,8 hari, 2,1 hari, p<0,001). 9,16

2.4.5 Biaya

Analisis biaya antara kedua prosedur meliputi biaya prosedur (kebutuhan


anestesi, pintasan jantung paru, alat ASD occluder, kateterisasi), biaya diagnostik
(laboratorium, radiologi), biaya medikasi, biaya penggunaan produk darah, dan biaya
perawatan di rumah sakit. Meskipun biaya prosedur pemasangan ASD occluder lebih
tinggi dibandingkan prosedur pembedahan, namun secara keseluruhan biaya prosedur
pembedahan lebih tinggi dibandingkan prosedur perkutan. Hal ini disebabkan pada
metode pembedahan memerlukan unit rawat intensif pasca-bedah dan lama perawatan
yang lebih panjang. Hal ini mengakibatkan pada metode pembedahan memerlukan
biaya yang lebih banyak untuk biaya perawatan, laboratorium, dan farmasi. 9,15
Hasil yang berlainan didapatkan pada penelitian oleh Vida dkk yang
menunjukkan biaya yang dikeluarkan pada prosedur penutupan ASD dengan ASO
lebih tinggi dibandingkan prosedur pembedahan, meskipun prosedur pembedahan
secara bermakna memiliki lama rawat di unit rawat intensif yang lebih panjang dan
memerlukan tranfusi darah lebih banyak. Adanya perbedaan hasil biaya tersebut
disebabkan pada penelitian tersebut biaya alat ASO merupakan 65% dari keseluruhan
biaya prosedur transkateter. Penelitian oleh Thomson dkk juga membandingkan biaya
kedua prosedur tanpa memasukkan biaya alat ASO dan mendapatkan hasil biaya yang
dikeluarkan pada kedua prosedur adalah serupa. Penelitian oleh Formigari dkk
menunjukkan hasil total biaya yang dikeluarkan oleh metode penutupan ASD
perkutan tidak berbeda bermakna dengan bedah invasif minimal, namun bedah
konvensional mempunyai total biaya yang paling banyak.8,16
Keuntungan lain penggunaan ASD occluder dibandingkan pembedahan antara
lain adalah keuntungan psikologis bagi pasien akibat terhindar dari torakotomi dan

17
pintasan jantung paru (cardiopulmonary bypass) yang biasanya dilakukan pada terapi
pembedahan. 17

Mengingat tingginya tingkat keberhasilan penutupan ASD dengan


perangkat ASD occluder dan semakin rendah tingkat komplikasi, pasien lebih
mungkin untuk memilih pendekatan perkutan untuk penutupan ASD sekundum untuk
menghindari sternotomi dan harus menjalani by pass kardiopulmoner. Karena
keefektifan kedua prosedur sama dan komplikasinya umumnya lebih rendah pada
kelompok perkutan lebih dipilih.14

2.5 Komplikasi penutupan ASD sekundum dengan ASD occluder

Insiden keseluruhan komplikasi penutupan ASD perkutan telah dilaporkan


berkisar antara 6,1% hingga 11,1%, dengan embolisasi dan malposisi menjadi yang
paling umum yaitu 3,5%, yang merupakan setengah dari komplikasi selama rawat
inap. Penelitian oleh Chessa dkk mendapatkan insidens komplikasi penutupan ASD
secara transkutan dengan ASO sebesar 8,6%, dan embolisasi atau malposisi
merupakan komplikasi yang sering terjadi .2,16
Komplikasi yang dapat timbul akibat implantasi ASD occluder dibagi menjadi
komplikasi mayor dan komplikasi minor. Komplikasi mayor terdiri dari emboli
serebral, perforasi jantung dengan tamponade, endokarditis, aritmia yang memerlukan
pacu jantung, kematian akibat prosedur, dan embolisasi alat yang memerlukan
tindakan operatif. Komplikasi minor terdiri dari embolisasi alat yang masih dapat
dikeluarkan perkutan, aritmia yang masih dapat diatasi dengan obat, dan komplikasi
luka tempat masuk kateter.9

2.5.1 Embolisasi alat

Embolisasi alat ASD occluder dapat terjadi karena penentuan ukuran defek
dan alat yang kurang tepat, insufisiensi tepi defek, posisi pengembangan cakram yang

18
tidak tepat, dan pelepasan (release) alat yang terlalu cepat. Embolisasi biasanya
terjadi di arteri pulmonal utama. Embolisasi alat dapat diatasi dengan menarik keluar
alat dan mengganti dengan alat yang baru, atau dengan terapi pembedahan. Pilihan
terakhir biasanya dilakukan bila ukuran alat yang telah dipakai merupakan ukuran
yang terbesar. 13,16

Embolisasi terjadi dengan perangkat 24 mm atau lebih besar, sementara


malposisi terjadi dengan perangkat 19 mm dan 22 mm. Alat dapat bermigrasi ke
arteri pulmonalis utama, ventrikel kiri, atrium kiri, aorta ascenden, lengkungan aorta,
atau aorta desenden. Perangkat biasanya bermigrasi ke dalam arteri pulmonalis utama
(89%). Sebagian besar migrasi (67%) terdeteksi dalam 24 jam pertama, dan migrasi
ke aorta desendens pada periode akhir pasca operasi (> 1 tahun) adalah kejadian yang
sangat jarang. Divekar dkk meninjau 29 kasus komplikasi dari perangkat ASD
occluder dan menemukan bahwa embolisasi cenderung terjadi ketika rim aorta tidak
cukup. 16

2.5.2 Erosi
Risiko erosi yang mengancam pada penutupan ASD berkisar mulai dari 0,1%
hingga 0,3% . Perforasi dan erosi biasanya berasal dari rim anterosuperior dinding
atrium atau sering dari sisi aorta. Pasien yang memiliki rim anterosuperior pendek
dan diberikan septumer kebesaran berisiko lebih tinggi mengalami erosi. Tepi
perangkat yang berdekatan dengan rim superior bergerak seperti jungkat-jungkit
selama siklus jantung, dengan demikian menegangkan dinding bebas atrium kanan
dan kiri atau atap atrium menuju septum. Tepi perangkat mengikis dinding atrium
dan akhirnya mengikis sinus aorta yang berdekatan. Erosi aorta terjadi dalam 24-72
jam pasca tindakan. Selain itu, fistula aorta-atrium dapat terjadi pada pasien tertentu,
pengukuran yang tepat sangat penting untuk mencegah konsekuensi tersebut. Secara
khusus, ASD occluder tidak boleh ditanamkan pada pasien yang memiliki rim
anterosuperior <4 mm. Gejala erosi dapat berupa nyeri dada, mati rasa, kelemahan
mendadak, pusing, pingsan, napas pendek atau detak jantung yang cepat. 2,12

19
2.5.3 Infektive endocarditis
Berdasarkan penelitian populasi besar, kejadian infektif endokarditis pada
pasien dengan penutupan ASD dengan ASD occluder adalah 0% sampai 2%. Menurut
pedoman American Heart Association (AHA) yang diterbitkan pada tahun 2007,
profilaksis antibiotik untuk endokarditis bakteri diindikasikan pada pasien yang
beresiko tinggi. ada 4 kategori pasien berisiko tinggi yaitu katup jantung prostetik,
riwayat bakteri endokarditis, valvulopati yang berkembang pada jantung yang
ditransplantasikan, dan cacat jantung kongenital. Dalam kategori yang terakhir, hanya
cacat jantung bawaan sianotik yang tidak diperbaiki, cacat jantung bawaan diperbaiki
dalam 6 bulan terakhir dan cacat jantung bawaan diperbaiki dengan cacat sisa atau
menggunakan bahan prostetik membutuhkan profilaksis antibiotik untuk
endokarditis bakteri.8
Endokarditis yang berkembang setelah intervensi mungkin karena okulasi
bakteri selama prosedur. Endokarditis lanjut sering sekunder akibat penyebaran
hematogen dari situs infeksi lain. Berdasarkan AHA, mayoritas endokarditis bakteri
adalah sekunder untuk bakteremia sementara selama mengikuti prosedur gigi,
gastrointestinal atau saluran kemih. Pencegahan bakteremia dengan meningkatkan
kebersihan gigi yang memadai mungkin lebih efektif daripada profilaksis antibiotik.
Apalagi munculnya resistensi bakteri terhadap antibiotik dapat melebihi manfaat dari
praktik ini. 8
Beberapa studi menunjukkan bahwa paparan koil logam disebabkan
kurangnya endotelisasi mendukung pengendapan fibrin menyebabkan pembentukan
trombus dan karena itu kemungkinan mengembangkan endokarditis, kurangnya
endotelisasi hanya merupakan faktor pendamping dalam pengembangan endokarditis.
8,16

Beberapa penelitian melaporkan endotelisasi lengkap perangkat dalam


waktu enam bulan implantasi. Dengan demikian, durasi antibiotik profilaksis dan
Terapi antiplatelet setelah penutupan perkutan ditetapkan pada 6 bulan. Namun, tidak
ada metode aktual dan praktis yang memungkinkan untuk secara tegas
mengkonfirmasi perkembangan proses endotelisasi.8

20
2.5.4 Atrioventricular blok
Kemungkinan inflamasi pada nodus AV dapat terjadi selama prosedur
penutupan ASD perkutan meskipun jarang sehingga dapat menimbulkan gambaran
AV blok, dengan pemberian antiinflamasi biasanya memberikan respon yang sangat
bagus.16

2.6 Evaluasi pasca implantasi ASD occluder

Semua pasien harus diperiksa dengan ekokardiografi pada saat implantasi


ASD occluder, satu hari setelah implantasi, sebelum keluar dari rumah sakit, dan satu
minggu setelah implantasi. Sebagai tambahan dievaluasi kembali dalam satu bulan, 6
bulan, dan satu tahun setelah implantasi, karena efek samping lebih sering terjadi
dalam 12 bulan pertama. Dalam kasus yang dicurigai , rawat inap di rumah sakit
harus diperpanjang dan pasien dimonitor secara ketat. Pemeriksaan TTE dan cardiac
computed tomography sangat membantu dalam diagnosis gejala sisa.17
Penilaian dilakukan terhadap posisi device, shunt residual, tanda erosi,
instabilitas device, ukuran dan fungsi RV, TR dan PAP. Penilaian aritmia berdasarkan
riwayat, EKG, dan Holter monitoring hanya jika diindikasikan (tidak secara
rutin).17,19

2.7. Komponen ASD occluder (Nitinol)


2.7.1 Sifat fisik dan mekanik nitinol

Saat ini banyak ditemukan ASD occluder, salah satunya yang paling luas
digunakan adalah yang mengandung paduan logam nikel-titanium (nitinol) yang
merupakan perangkat umum ditanamkan untuk penutupan ASD. Nitinol adalah
paduan yang terdiri dari nikel dan titanium yang termasuk ke dalam shape memory
alloy. Nitinol digunakan secara umum dalam produk medis karena radioopacity yang
baik, superelastisitas, ketahanan korosi, dan memiliki shape memory alloy. 18

21
Shape memory alloy merupakan jenis dari smart material yang berarti
material tersebut peka dan mampu beradaptasi dengan berbagai kondisi, dalam hal ini
kondisi termal. Shape memory alloy mampu berubah bentuk sesuai kondisi termal
(kalor) yang diterimanya. Bentuk asli yang dapat diingat oleh nitinol diperoleh
dengan cara memanaskan paduan pada 500-550 C selama 1 jam dan setelah itu
dilakukan pendinginan. Pada temperatur rendah paduan ini cukup lunak sehingga
mudah dibengkokan atau ditekuk sehingga bentuknya berubah dari bentuk aslinya.18
Apabila leburan dari dua macam logam atau lebih dicampur atau leburan suatu
logam dicampur dengan unsur-unsur non logam dan tidak terjadi reaksi kimia setelah
didinginkan akan terbentuk suatu padatan yang disebut paduan. Paduan titanium-
nikel pertama kali dikembangkan pada 1962-1963 oleh US Naval Ordnance
Laboratorium dan dikomersialisasikan di bawah nama dagang Nitinol (Nickel
Titanium Naval Ordnance Laboratories). Paduan ini berisi dua elemen paduan pada
persentase atom yang kira-kira sama (49,2 % Titanium dan 50,8 % Nikel) . Gambar 5
dibawah merupakan struktur kristal paduan nikel-titanium. 18

Gambar 5. Struktur Nitinol

22
Seorang ahli fisika kristal, menunjuk perubahan struktural pada tingkat
atom yang berkontribusi pada sifat unik logam ini. Nitinol memiliki perubahan fase
saat masih padat. Perubahan fase ini dikenal sebagai martensit dan austenit,
melibatkan penataan ulang dari posisi partikel dalam struktur kristal padat. Di bawah
suhu transisi, Nitinol adalah dalam fase martensit. Suhu transisi bervariasi untuk
komposisi yang berbeda dari sekitar -50 ° C menjadi 166 °C. Pada fase martensit,
Nitinol bisa ditekuk ke dalam berbagai bentuk. Untuk memperbaiki bentuk, logam
harus dipegang dalam posisi dan dipanaskan sampai sekitar 500 ° C. Suhu tinggi
menyebabkan atom mengatur diri menjadi yang paling kompak dan pola teratur
menghasilkan pengaturan kubik kaku dikenal sebagai fase austenit. Di atas suhu
transisi, Nitinol beralih dari martensit ke fase austenit yang berubah kembali ke
bentuk induknya. Siklus ini dapat diulang jutaan kali.18
Shape memory alloy dan super-elasticity adalah sifat yang paling unik dari
paduan Nitinol. Sifat shape memory alloy yang dimiliki nitinol memungkinkan
paduan ini untuk mengingat bentuk aslinya dan mempertahankannya ketika
dipanaskan di atas temperatur transformasi. Hal ini terjadi karena struktur kristal yang
berbeda dari nikel dan titanium. Logam pseudoelastis ini juga menunjukkan
elastisitas yang luar biasa sekitar 10 sampai 30 kali lebih dari baik dari paduan logam
umumnya. 18
Sifat fisik Nitinol termasuk titik leleh sekitar 1240 ° C sampai 1310 ° C, dan
kepadatan sekitar 6,5 g / cm³. Berbagai sifat fisik lainnya diuji pada temperatur yang
berbeda dengan berbagai komposisi elemen termasuk resitivity listrik, listrik
thermoelectric, koefisien Hall, kecepatan suara, redaman, kapasitas panas, kerentanan
magnetik, dan konduktivitas termal. sifat mekanik diuji meliputi kekerasan,
ketangguhan impak, kekuatan kelelahan, dan machinability. 18

23
Tabel 1 . Sifat Fisik Nitinol
Sifat Fisik Nilai
Bentuk Fisik Berwarna perak cerah
Densitas 6.45 g/cm3
Titik Leleh 1310 °C
Resistivity 82 ohm-cm pada temperatur tinggi,
76 ohm-cm pada temperatur rendah.
Konduktivitas Termal 0.1 W/cm-°C
Kapasitas Panas 0.077 cal/g-°C
Panas Laten 5.78 cal/g
Magnetic 3.8 emu-g pada temperatur tinggi, dan
Susceptibility 2.5 emu-g pada temperatur rendah.

Tabel 2. Sifat Mekanik Nitinol


Sifat Mekanik Nilai
Ultimate Tensile
754 ꟷ 960 MPa
Strength (UTS)
Elongasi 15.5%
560 MPa pada temperatur tinggi
Yield Strength
100 MPa pada temperatur rendah
75 GPa pada temperatur tinggi
Modulus Elastisitas
28 GPa pada temperatur rendah
Poisson’s Ratio 0,3

Kekuatan besar yang dihasilkan setelah kembali ke bentuk aslinya adalah sifat
yang sangat berguna. sifat yang berguna lainnya dari Nitinol adalah memiliki
karakteristik redaman yang sangat baik pada suhu di bawah kisaran suhu transisi,
ketahanan korosi, sifat non-magnetik, kepadatan yang rendah dan kekuatan leleh

24
yang tinggi. Nitinol juga ke memiliki batas impact (beban kejut) dan tahan pada suhu
panas.18

2.7.2 Efek biologis nitinol


Ada kekhawatiran tentang potensi pelepasan nikel dan titanium setelah
implantasi perangkat nitinol. Efek samping sistemik terkait dengan alergi nikel,
perikarditis, dan peningkatan sakit kepala tipe migrain telah dilaporkan pada pasien
dengan penutupan ASD sekundum perkutan. Bahkan penelitian juga menunjukkan
bahwa nikel bersifat sitotoksik dan karsinogenik pada manusia. Titanium adalah
logam inert yang semakin sering digunakan dalam perangkat ortopedi dan implan
oral dan diyakini memiliki tingkat biokompatibilitas tinggi. Namun bisa
menyebabkan efek alergi dan toksik dalam darah, jaringan fibrotik, dan sel
osteogenik. 10,18
Sifat korosi nitinol dalam tubuh sangat penting karena memungkinkan efek
toksik dari nikel dan titanium, korosi logam di dalam implan materi adalah proses
kompleks yang terjadi karena lingkungan korosif dalam tubuh. Tidak ada bahan
logam dalam jaringan hidup yang sepenuhnya tahan terhadap korosi. Seiring waktu,
lapisan oksida pelindung terbentuk di permukaan logam yang penghambat lapisan
korosi dan membatasi pelepasan ion logam. Beberapa penelitian telah menunjukkan
bahwa ada pelepasan nikel in vivo dan in vitro dan melaporkan alergi nikel pada
pasien yang menggunakan perangkat yang mengandung nitinol. Ries dkk mengikuti
total 67 pasien yang menjalani penutupan ASD sekundum dengan ASD occluder
berbahan nitinol untuk jangka waktu satu tahun dan menemukan data yang signifikan
secara statistik yaitu menilai level rata-rata nikel serum 24 jam dan 1 bulan setelah
implantasi . Dalam studi yang bersangkutan, tingkat nikel tertinggi didapatkan pada
bulan pertama dan kembali normal pada bulan-bulan berikutnya. Namun tidak ada
pasien yang mengalaminya efek samping atau menunjukkan tanda-tanda alergi yang
terkait dengan alergi nikel selama periode tindak lanjut.10,18

25
Tabel 3. Level serum nikel pasca implantasi ASD occluder berbahan nitinol

Nikel merupakan alergen yang diketahui dan mungkin juga memiliki sifat
karsinogen. Karena alasan ini kandungan nikel pada nitinol telah menimbulkan
kekhawatiran yang besar tentang kegunaannya dalam biomaterial pada industri
18
medis. Nilai serum nikel < 2 ng/L dianggap dalam batas normal.
Alergi setelah implantasi prosthesis nitinol sudah jarang ditemukan. Ruam
kulit dapat berkembang, terkadang diikuti oleh gejala lain seperti dispnea,
perikarditis, ketidaknyamanan dada, jantung berdebar, dan migrain dengan atau tanpa
aura. Gejala-gejala ini terlihat lebih sering pada individu yang memiliki positif reaksi
uji kulit terhadap nikel.10,18

26
BAB III
KESIMPULAN

ASD sekundum merupakan indikasi untuk dilakukan penutupan dengan


menggunakan ASD occluder, merupakan perangkat yang tersusun dari nitinol yaitu
campuran nikel dan titanium yang terbukti aman digunakan untuk kesehatan. tidak
terbukti ada perbedaan efektivitas atau hasil penutupan ASD sekundum antara
prosedur perkutan menggunakan alat ASD occluder dengan prosedur pembedahan.
Komplikasi prosedur penutupan ASD sekundum dengan prosedur perkutan lebih
sedikit dibandingkan dengan prosedur pembedahan. Lama rawat di rumah sakit pada
penutupan ASD sekundum dengan perkutan menggunakan ASD occluder lebih
pendek dibandingkan dengan prosedur pembedahan. Total biaya prosedur penutupan
ASD sekundum dengan prosedur transkateter menggunakan ASD occluder lebih
murah dibandingkan dengan prosedur pembedahan. Sehingga prosedur perkutan
dengan ASD occluder menjadi pilihan utama dalam penutupan ASD sekundum.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Bernstein D. Congenital heart disease. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE,


Jenson HB, Stanton BF, Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007. h. 1878-81.
2. Amin Z. Echocardiographic predictors of cardiac erosion after Amplatzer
septal occluder placement. Catheter Cardiovasc Interv. 2014;83:84–92.
3. Butera G, Biondi-Zoccai G, Sangiorgi G, Abella R, Giamberti A, Bussadori
C, Sheiban I, Saliba Z, Santoro T, Pelissero G, Carminati M, Frigiola A.
Percutaneous versus surgical closure of secundum atrial septal defects: a
systematic review and meta-analysis of currently available clinical evidence.
EuroIntervention. 2011;7:377–385.
4. Li GS, Kong GM, Wang YL, Jin YP, Ji QS, Li JF, You BA, Zhang Y. Safety
and efficacy of transcatheter closure of atrial septal defects guided by
transthoracic echocardiography: a prospective study from two Chinese
medical centers. Ultrasound Med Biol 2009;35:58-64.
5. Peirone A, Fontes Pedra SR, Pedra CA. Outcomes after transcatheter ASD
closure. Intervent Cardiol Clin 2013;2:39–49
6. Crawford G, Brindis R, Krucoff M, Mansalis B, Carroll J. Percutaneous atrial
septal occluder devices and cardiac erosion: A review of the literature.
Catheter Cardiovasc Interv 2012;80:157–167.
7. Hayes N, Rosenthal E. Tulip malformation of the left atrial disc in the
Lifetech Cera ASD device: A novel complication of percutaneous ASD
closure. Catheter Cardiovasc Interv 2012;79: 675–677.
8. Zahr F, Katz WE, Toyoda Y, et al. Late bacterial endocarditis of an amplatzer
atrial septal defect occluder device. Am J Cardiol 2010;105:279-80.
9. Masura J, Gavora P, Podnar T. Long-term outcome of transcatheter
secundum-type atrial septal defect closure using amplatzer septal occluders. J
Am Coll Cardiol 2005;45:505-7.

28
10. Park, Myung K. Congenital Heart Defects. Pediatric Cardiology for
Practitioners. 5th edision. Philadelphia; 2008: 275-295
11. Spies C, Timmermanns I, Schräder R. Transcatheter closure of secundum
atrial septal defects in adults with the Amplatzer septal occluder: intermediate
and long-term results. Clin Res Cardiol 2007;96:340-346
12. Anderson RH, Webb S, Brown NA et al. Development of heart : septation of
atrium and ventricels, Heart, 2013, 949-58
13. Moore J, Hegde S, El-Said H, Beekman R, Benson L, Bergersen L et al.
Transcatheter device closure of atrial septal defects: a safety review. JACC
Cardiovasc Interv 2013;6:433–42.
14. Crawford GB, Brindis RG, Krucoff MW, Mansalis BP, Carroll JD.
Percutaneous atrial septal occluder devices and cardiac erosion: a review of
the literature. Catheter Cardiovasc Interv 2012;80:157–67.
15. Suda K, Raboisson MJ, Piette E, Dahdah NS, Mir_o J. Reversible
atrioventricular block associated with closure of atrial septal defects using the
Amplatzer device. J Am Coll Cardiol 2004;43:1677–1682.
16. Du ZD, Hijazi ZM, Kleinman CS, et al. Comparison between transcatheter
and surgical closure of secundum atrial septal defect in children and adults:
results of a multicenter nonrandomized trial. J Am Coll Cardiol
2012;39:1836-44.
17. Pedra CA, Pedra SR, Esteves CA, Cassar R, Pontes SC, Braga SL, dkk.
Transcatheter closure of secundum atrial septal defects with complex
anatomy. J Invasive Cardiol. 2004;16:117-22.
18. Pandjaitan, Elman, Sulistioso G. S, Sumaryo.. Temperatur Transformasi Fasa
Shape Memory Alloy - TiNi Hasil Pemaduan Teknik Arc-Melting. 0852-4777
Urania Vol. 14 No. 2, April 2008 : 49 – 105.
19. Bialkowski J, Karwot B, Szkutnik M, Banaszak P, Kusa J, Skalski J. Closure
of atrial septal defects in children: surgery versus Amplatzer device
implantation. Tex Heart Inst J. 2004;31:220-3.

29

Anda mungkin juga menyukai