Anda di halaman 1dari 53

MAKALAH

AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK MENGENAL TEMPAT IBADAH

OLEH

Akbar adam (E1120032)

PROGRAM STUDI EKONOMI

FAKULTAS AKUNTANSI

UNIVERSITAS ICHSAN GORONTALO

2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah kami panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah


Subhanahuwata’ala yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Dalam penyusunan makalah ini, dengan kerja keras dan dukungan dari
berbagai pihak, kami telah berusaha untuk dapat memberikan yang terbaik dan
sesuai dengan harapan, walaupun didalam pembuatannya kami menghadapi
kesulitan, karena keterbatasan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang kami
miliki. Oleh karena itu pada kesempatan ini, dengan segala hormat penulis
sampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Dosen pengampu
yang telah memberikan bimbingan dalam penyusunan makalah.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini terdapat banyak


kekurangan, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis
butuhkan agar dapat menyempurnakannya di masa yang akan datang. Semoga apa
yang disajikan dalam makalah ini dapat bermanfaat bagi teman-teman dan pihak
yang berkepentingan.

Popalo, 26 Oktober 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

SAMPUL………………………………………………………………………….i
KATA PENGANTAR…………………………………………………………....i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………..ii
BAB I PENDAHULUAN…..…………………………………………………….1
A. Latar Belakang……….……………………………………………….......1
B. Rumusan Masalah…….………………………………...…………….......9
C. Tujuan………………….………………………………………………10
BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………….11
A. Definisi zakat dan infak………………………………….………………11
B. Pengelolaan zakat infak dan sedekah di indonesia…….………………11
C. Akuntabilitas zakat infak sedekah di indonesia .…..…………………….13
D. Proses bisnis organisasi peribadatan mesjid …….………………………17
E. Pengertian PSAK 45 ………..…………..……………………………….19
F. Pengertian PSAK 109 …….……………..………………………………21
G. Akuntansi berdasarkan PSAK 45 dan PSAK 109…….………………….21
H. Akuntansi mesjid ……….…..…………..……………………………….26
I. Akuntansi sector publik…………………..………………………………30
J. Pengertian organisasi nirlaba .…………..……………………………….31
K. laporan keuangan organisasi nirlaba menurut PSAK 45……….……….34
BAB IV SIMPULAN DAN SARAN……………………………………...........43
A. Kesimpulan………………………………………………………………43
B. Saran……………………………………………………………………..47
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………...48

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Organisasi sektor publik saat ini dituntut untuk mampu mengefisienkan biaya
ekonomi maupun biaya sosial yang dikeluarkan untuk suatu aktivitas yang
dilakukan. Berbagai tuntutan tersebut akhirnya membuat akuntansi sebagai suatu
ilmu yang dibutuhkan untuk membantu organisasi mengelola semua urusan-
urusan yang berhubungan dengan publik. Hal ini memunculkan suatu ilmu
akuntansi baru yang saat ini dikenal oleh masyarakat sebagai akuntansi sektor
publik. Pada dasarnya yayasan bukanlah suatu istilah yang asing didengar oleh
masyarakat saat ini.
Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 16 tahun 2001 tentang yayasan
adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukan
untuk mencapai tujuan tertentu dibidang sosial, keagaaman, dan kemanusiaan
yang tidak mempunyai anggota. Menurut Setiawan (1992:201) masyarakat
cenderung memilih bentuk yayasan karena proses pendiriannya sederhana, tanpa
memerlukan pengesahan dari pemerintah, serta persepsi masyarakat bahwa
yayasan bukan merupakan subjek pajak. Kegiatan-kegiatan yang pada umumnya
dilakukan oleh yayasan antara lain adalah memberikan santunan kepada anak
yatim piatu, memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, kepada orang-
orang yang sedang menderita suatu penyakit, memberikan beasiswa kepada anak
yang berasal dari golongan tidak mampu, memberikan bantuan kepada korban
bencana, dan lain sebagainya.
Tempat ibadah juga merupakan organisasi sektor publik, karena yang memiliki
masyarakat dan digunakan oleh masyarakat. Masjid yang merupakan tempat
ibadah tidak terlepas dari kompleksitas yang tinggi karena tidak hanya sebagai
tempat ritual sholat tetapi juga sebagai centre of activity yaitu sebagai tempat
organisasi memiliki peranan yang sangat strategis dalam peningkatan
kesejahteraan masyarakat, bahkan tidak kalah strategisnya dengan jenis organisasi
publik lainnya. Pusat aktivitas ini meliputi berbagai bidang, seperti pendidikan,
ekonomi, sosial,budaya dan hukum. Tempat ibadah sebagai sebuah organisasi dan
memiliki tujuan yang akan dicapai melalui alat organisasional, seperti dalam hal

1
pengelolaan keuangan masjid juga mempunyai komplesitas yang tinggi dan itu
yang disebut akuntansi.
Benar adanya belum ada aturan tegas yang mewajibkan pengurus masjid
membuat laporan keuangan. Hanya pengurus yang memaknai tanggung jawabnya
sebagai amanah umatlah sehingga mendorong praktik akuntabilitas pada masjid
(Siskawati, Ferdawati, & Surya, 2016). Islam adalah agama yang mendorong
akuntabilitas, bahkan ayat terpanjang pun bicara soal pencatatan keuangan. Jangan
sampai ada keuangan masjid menjadi sumber konflik akibat tak adanya
transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dana (Yusuf & AbdurRaheem, 2013).
Oleh karena itulah, sebagai simbol dan representasi umat Islam, maka keuangan
masjid harus dikelola dengan profesional sesuai dengan standar manajemen
keuangan organisasi nirlaba.
Masjid sebagai organisasi nirlaba harus dan berhak melaporkan kepada
pengguna pihak yang berkepentingan. Ini adalah kehidupan alami dan
pengembangan organisasi masjid berasal dari sumbangan, sedekah, atau bentuk
bantuan social lainnya. Organisasi harus membuka diri kepada masyarakat umum
untuk mendapatkan informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif,
setidaknya dengan anggota organisasi keagamaan tersebut. Informasi dapat
diakses oleh siapa saja yang menggunakan mekanisme tertentu, agar tidak
disalahgunakan oleh mereka yang berniat buruk terhadap organisasi. Konsekuensi
ini menjadi kewajiban yang harus dipenuhi karena pertanggungjawaban organisasi
masjid akan sangat mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap
organisasi masjid itu sendiri (Rahayu et al, 2017).
Ketidakkonsistenan pada penelitian-penelitian terdahulu memunculkan adanya
research gap. Govindarajan (1988) dalam Suarmika & Suputra (2016) menyatakan
bahwa pendekatan kontijensi dapat digunakan sebagai solusi atas
ketidakkonsistenan hasil-hasil riset sebelumnya. Pendekatan kontijensi
memberikan pandangan bahwa hubungan antara variabel bebas dengan variabel
terikat dipengaruhi oleh variabel yang bersifat kondisional. Pada penelitian ini
menempatkan komitmen organisasi sebagai variabel moderating karena diduga
turut berperan dalam mempengaruhi kualitas laporan keuangan. Menurut Siregar
(2017) dalam rangka mewujudkan tujuan organisasi, termasuk tujuan untuk

2
mewujudkan laporan keuangan yang berkualitas dibutuhkan komitmen di dalam
organisasi. Adanya komitmen organisasi akan mempertahankan kepatuhan dalam
penyajian laporan keuangan yang berkualitas. Mengacu pada pernyataan tersebut,
komitmen organisasi kemungkinan dapat memoderasi pengaruh kompetensi
SDM, sistem pengendalian internal dan pemanfaatan teknologi informasi terhadap
kualitas laporan keuangan masjid.
Pengelolaan sumber dana masjid merupakan hal yang sangat penting untuk
diteliti dan dievaluasi khususnya dalam hal penyajian laporan keuangan. Dalam
melakukan penyusunan laporan keuangan masjid Ikatan Akuntansi Indonesia
(IAI) mempunyai peranan penting sebagai pembentuk standar akuntansi keuangan
secara tertulis dengan menerbitkan PSAK 109 dan PSAK 45. PSAK 45 mengatur
tentang pelaporan keuangan organisasi nirlaba dan masjid juga termasuk dari
organisasi nirlaba karena dalam menjalankan aktivitasnya tidak mendapatkan
laba.
Kriteria organisasi nirlaba hampir sama dengan kriteria di masjid yaitu yang
pertama sumber daya berasal dari para penyumbang dan tidak mengharapkan
pembayaran kembali, yang kedua menghasilkan barang dan jasa tanpa bertujuan
memupuk laba dan yang ketiga tidaka adanya kepemilikan seperti lazimnya
organisasi bisnis lainnya. dan juga untuk PSAK 109 yang mengatur tentang
akuntansi zakat,infak dan sodaqoh yang biasanya itu menjadi sumber dana yang
didapat oleh masjid. Riset ini mencoba merekonstruksi penerapan PSAK 109 dan
PSAK 45 di laporan keuangan lembaga masjid.
Masjid merupakan bagian dari organisasi sektor publik yang bersifat non profit
oriented memperoleh dana untuk membiayai aktivitas masjid berasal dari zakat,
infaq, sedekah, sumbangan, bantuan, wakaf dan sebagainya perlu membuat
pertanggungjawaban keuangan. Dalam Pernyataan Standar Akuntansi (PSAK) 45
tentang pelaporan keuangan entitas nirlaba yang diterbitkan oleh Ikatan Akuntan
Indonesia (IAI), laporan keuangan entitas nirlaba yang perlu dibuat meliputi
laporan posisi keuangan, laporan aktivitas, laporan arus kas dan catatan atas
laporan keuangan. Mekanisme akuntabilitas formal harus diaplikasikan dalam
setiap organisasi keagamaan Islam dan laporan keuangan adalah sesuatu yang

3
sangat penting dalam meningkatkan akuntabilitas organisasi tersebut (Basri et al.,
2016).
Sebagai entitas pelaporan akuntansi yang menggunakan dana masyarakat
sebagai sumber keuangannya, masjid menjadi bagian dari entitas publik yang
semua aktivitasnya harus dipertanggungjawabkan kepada publik (Simanjuntak &
Januarsi, 2011). Informasi yang terdapat dalam laporan keuangan masjid dapat
dikatakan berkualitas apabila informasi akuntansi tersebut memenuhi karakteristik
kualitatif laporan keuangan.
Adapun karakteristik kualitatif laporan keuangan yang tercantum dalam
Standar Akuntansi Keuangan Syariah per 1 Januari 2017 adalah dapat dipahami,
relevan, andal dan dapat dibandingkan. Lemahnya teori dan praktik akuntansi
serta rendahnya pemahaman takmir terhadap akuntansi menjadi masalah yang
tidak bisa dihindarkan terhadap kualitas laporan keuangan. Beberapa penelitian
terdahulu mengungkapkan masih rendahnya kualitas laporan keuangan masjid,
seperti pada penelitian Sulaiman et al., (2008) menemukan bahwa penggelapan
dana dari organisasi keagamaan saat ini umum dilakukan karena kurangnya
akuntabilitas dan transparansi. Mereka menyalahgunakan kekuasaan terhadap
dana yang dihimpun sehingga sistem manajemen pelaporan tidak akurat, seperti
anggaran, laporan keuangan, dan pengendalian internal.
Penelitian Simanjuntak & Januarsi (2011) menunjukkan hasil bahwa laporan
keuangan masjid dilakukan sangat sederhana dengan bentuk empat kolom yakni
uraian, penerimaan, pengeluaran, dan saldo. Pelaporannya tidak dilakukan secara
konsisten dan periodik. Hal yang sama juga diteliti oleh Fitria (2017), Nariasih et
al., (2017), Julkarnain (2018), Fahmi (2017), Badu & Hambali (2014)
menunjukkan bahwa laporan keuangan yang disusun masjid masih menggunakan
bentuk yang sederhana, yaitu buku kas bulanan dan tahunan, sesuai dengan
pemahaman para pengurus yang notaben banyak pula tak memiliki keterampilan
mengelola keuangan. Selain itu bendahara masjid juga masih menggunakan
akuntansi berbasis kas dalam pencatatan transaksinya. Penyampaian laporan
keuangan masjid umumnya melalui pengumuman takmir masjid pada saat
pelaksanaan sholat jumat maupun melalui papan informasi yang seringnya juga
tidak diperbarui.

4
Berdasarkan pada penelitian-penelitian terdahulu, dapat disimpulkan bahwa
rata-rata pengungkapan pelaporan keuangan masjid masih tergolong rendah. Hal
ini disebabkan minimnya pemahaman masyarakat tentang pentingnya pelaporan
keuangan, masih terbatasnya perhatian pemerintah terhadap organisasi masjid
serta sumber daya yang belum mumpuni dalam mengelola keuangan (Badu &
Hambali, 2014).
Maka dari itu, untuk menghasilkan laporan keuangan yang berkualitas, salah
satunya dibutuhkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang kompeten. SDM yang
kompeten yang memahami mekanisme penyusunan laporan keuangan yang sesuai
dengan standar akuntansi akan mewujudkan pengelolaan keuangan dan laporan
keuangan yang berkualitas. Selain kompetensi SDM, pengurus masjid sebaiknya
menerapkan pengendalian internal.
Menurut Sanusi et al., (2015) sistem pengendalian penting bagi praktik
pengelolaan keuangan di masjid untuk memastikan bahwa pengelolaan keuangan
sudah berjalan dengan efektif dan efisien, operasional berjalan sesuai dengan
peraturan yang berlaku, mengukur kemampuan pengelolaan masjid dalam
mengelola kegiatan yang bermanfaat dan memberikan informasi dalam membuat
keputusan yang lebih baik. Faktor lain yang diduga mempengaruhi kualitas
laporan keuangan adalah pemanfaatan teknologi informasi. Dengan
berkembangnya teknologi, akan memicu beberapa pihak untuk mengembangakan
aplikasi masjid untuk menunjang pengelolaan masjid yang transparan dan
akuntabel.
Pemanfaatan teknologi informasi dapat membuka peluang bagi berbagai pihak
untuk mengakses informasi secara cepat dan akurat sehingga mewujudkan laporan
keuangan yang akuntabel dan transparan. Hal lain yang mempengaruhi kualitas
laporan keuangan adalah komitmen organisasi. Menurut Newstrom & Davis
(2002) komitmen organisasi merupakan sifat hubungan antara individu dengan
organisasi kerja, dimana individu mempunyai keyakinan diri terhadap nilainilai
tujuan organisasi serta adanya kerelaan untuk secara sungguh-sungguh demi
kepentingan organisasi serta mempunyai keinginan yang kuat untuk tetap menjadi
bagian dari organisasi.

5
Penelitian mengenai kualitas laporan keuangan organisasi nirlaba khususnya
masjid telah dilakukan oleh peneliti-peneliti terdahulu misalnya, Masrek et al.,
(2014) melakukan penelitian pengendalian internal pada Masjid Distrik di
Malaysia yang menyimpulkan agar praktik pengendalian intern oleh masjid
distrik, baik penerimaan dan pencairan dana memerlukan perhatian yang
signifikan.
Penelitian pengendalian internal juga dilakukan oleh Kamaruddin & Ramli
(2017) dengan hasil penelitian ditemukan bahwa ada beberapa kesamaan aspek
praktik pengendalian internal sedangkan perbedaannya terletak pada kontrol fisik
atas asset dan pelaporan serta aspek penilaian kinerja independen. Dua dari tiga
organisasi islam nirlaba tidak melakukan proses audit internal untuk penilaian
kinerja mereka. Syaifuddin (2016) dalam penelitiannya menunjukkan hasil bahwa
praktik manajemen keuangan, sistem pengendalian internal, dan kegiatan
pengumpulan dana berpengaruh positif dan signifikan terhadap kualitas laporan
keuangan. Laeli (2017) pada masjid di Kota Semarang yang menunjukkan hasil
bahwa secara simultan manajemen keuangan, pengendalian internal, kegiatan
pengumpulan dana, pemanfaatan teknologi informasi berpengaruh positif terhadap
kualitas laporan keuangan sedangkan kompetensi sumber daya manusia,
penerapan PSAK 45 dan penerapan PSAK 109 tidak berpengaruh positif terhadap
kualitas laporan keuangan. Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Isviandari et
al., (2019) pada masjid-masjid di Kota Batu yang menunjukkan hasil bahwa
penerapan PSAK 45 dan penerapan PSAK 109 tidak berpengaruh terhadap
kualitas laporan keuangan, sedangkan pengendalian internal dan kompetensi
sumber daya manusia berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap kualitas
laporan keuangan masjid-masjid di Kota Batu. Ketidakkonsistenan pada
penelitian-penelitian terdahulu memunculkan adanya research gap.
Govindarajan (1988) dalam Suarmika & Suputra (2016) menyatakan bahwa
pendekatan kontijensi dapat digunakan sebagai solusi atas ketidakkonsistenan
hasil-hasil riset sebelumnya. Pendekatan kontijensi memberikan pandangan
bahwa hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat dipengaruhi oleh
variabel yang bersifat kondisional. Pada penelitian ini menempatkan komitmen

6
organisasi sebagai variabel moderating karena diduga turut berperan dalam
mempengaruhi kualitas laporan keuangan.
Menurut Siregar (2017) dalam rangka mewujudkan tujuan organisasi, termasuk
tujuan untuk mewujudkan laporan keuangan yang berkualitas dibutuhkan
komitmen di dalam organisasi. Adanya komitmen organisasi akan
mempertahankan kepatuhan dalam penyajian laporan keuangan yang berkualitas.
Mengacu pada pernyataan tersebut, komitmen organisasi kemungkinan dapat
memoderasi pengaruh kompetensi SDM, sistem pengendalian internal dan
pemanfaatan teknologi informasi terhadap kualitas laporan keuangan masjid.
Saat ini masjid masih terpusat di pulau Jawa, Sumatera dan Sulawesi, terutama
didaerah Jawa Barat dimana spirit umat islam untuk memanfaatkan masjid
sebagai pusat interaksi sosial dan sebagai sarana ibadah adalah sangat tinggi,
terlihat pada saat proses pendistribusian zakat dan daging Qurban (Republika on
Line, 2014).
Menurut Jusuf Kalla yang termuat di Republika (2014), jumlah masjid dan
mushola saat ini lebih kurang 850.000 buah yang tersebar diseluruh Indonesia.
Populasi ini menunjukkan potensi yang besar untuk memberi kontribusi dalam
mensejahterakan masyarakat, baik secara penggalangan dana maupunpenyediaan
fasilitas.
Organisasi masjid merupakan organisasi sektor publik atau organisasi nirlaba,
yang mengelola sumberdaya untuk menjalankan aktivitas masjid, dimana
kebanyakan masjid didirikan oleh swadaya masyarakat. Ada yang berawal dari
tanah wakaf pribadi, ada juga yang didirikan oleh sekelompok masyarakat tertentu
karena kebutuhan fasilitas peribadatan yang dekat dengan tempat tinggal atau
tempat bekerja. Pengelolaan dan sumber daya diperoleh diperoleh secara
sukarela.Tidak ada paksaan untuk menjadi pengelola masjid (ta’mir dan
bendahara).
Satu-satunya motivator bagi seorang ta’mir adalah mandat dari Al Qur’an. Ada
kecenderungan bahwa organisasi nonlaba (termasuk organisasipengelola masjid)
akan menjadi sorotan masyarakat . Untuk menjaga kepercayaan umat saat
menitipkan amanah berupa zakat, Infak dan Sadaqoh dibutuhkan pada masjid
sebagai entitas sektor publik adalah pertanggungjawaban kepada umat.

7
Tuntutan Pertanggungjawaban pengelolaan entitas sektor publik dalam wujud
Akuntabilitas sektor publik semakin meningkat, sehingga Asosiasi profesi
akuntan Indonesia, IAI (Ikatan Akuntan Indonesia) menetapkan Pernyataan
Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) tentang penyusunan laporan keuangan
entitas sektor publik dengan mengesahkan PSAK 45 yang merupakan adopsi dari
IFRS SMEs (International Financial Report Statement for Small Medium
Entreprises).
Akuntabilitas entitas sektor publik mejadi penting karena dalam kehidupan
sehari-hari tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan entitas sektor publik tidak bisa
dipisahkan dari kehidupan masyarakat dengan berbagai pelayanan publik semata-
mata untuk kesejahteraan (welfare) masyarakat dan dapat dilihat eksistensinya
secara nyata seperti, entitas pemerintahan, partai politik, ta’mir mesjid, sekolah,
rumah sakit, dan puskesmas (Nordiawan, 2010).
Penelitian-penelitian implementasi PSAK 45 pada sektor publik entitas
keagamaan menunjukkan bahwa pada gereja (Mamaesah, 2013) pengelola GMIM
Efrata Sentra Sonder belum menerapkan PSAK 45 dalam penyajian keuangannya,
dan hanya menyajikan laporan keuangan dalam bentuk realisasi anggaran sesuai
dengan pedoman yang disusun Badan Pekerja Majelis Sinode. Sedangkan pada
mesjid (Ibrahim, Handayani, 2009), menyimpulkan bahwa secara umum sudah
mengadopsi PSAK 45 untuk komponen laporan keuangannya, tetapi sayangnya
tidak boleh menjadi konsumsi publik untuk laporan konsolidasi posisi
keuangannya dan memakai istilah yang berbeda untuk laporan aktivitas menjadi
laporan kalkulasi dan distribusi zakat yang menjelaskan sumber dan penggunaan
zakat oleh publik.
Menurut Sutarti, Prayitno (2007) implementasi PSAK 45 pada sektor publik
rumah sakit, implementasi penyajian laporan keuangan sudah sesuai dengan
PSAK 45 tetapi dengan revisi disesuaikan dengan kondisi entitas rumah sakit,
antara kain tidak melampirkan aset bersih berdasarkan ekuitas terikat permanen
dan ekuitas terikat temporer. Penelitian ini berbeda dengan penelitian terdahulu
dari jasa publik yang diberikan kepada masyarakat dibandingkan penelitian-
penetian terdahulu. Perbedaan berikutnya adalah disini peneliti menekankan
adanya revitalisasi fungsi masjid yang akan terjadi ketika sektor publik tersebut

8
mengimplementasikan PSAK 45 pada saat menyajikan laporan keuangannya. Dan
diharapkan dengan adanya impelementasi PSAK 45 pada entitas sektor publik
masjid bisa mendorong revitalisasi fungsi masjid seperti di zaman Rasululloh,
yang tidak saja menjadi tempat beribadah, tetapi juga menjadi pusat pembinaan
umat (Bahtiar, 2012).
Disini peneliti juga menekankan perlunya peran aktif, partisipasi para akuntan
untuk lebih memasyarakatkan PSAK 45 pada organisasi keagamaan sehingga
entitas sektor publik memiliki tanggungjawab moral untuk mempublikasikan
laporan keuangan berdasarkan PSAK 45 kepada publik dalam konteks entitas
masjid disebut umatnya. Kontribusi Penelitian ini adalah diharapkan dengan
diperolehnya pengalaman bagaimana sebenarnya fungsi masjid zaman rasululloh
dan bagaimana implementasi PSAK 45 pada Masjid A dan B, akan mendorong
revitalisasi masjid ini. Diharapkan akan menjadi masukan penting bagi entitas
sektor publik lainnya pada saat mengambil keputusan penting untuk umat untuk
memakai laporan keuangan menurut PSAK 45. Meningkatkan peran Akuntan
untuk implementasi PSAK 45 dalam rangka melindungi kepentingan publik
dalam hal ini adalah pihak pemangku kepentingan Masjid yaitu
jamaahnya/umatnya.

B. Rumusan Masalah
1. Sebutkan definisi zakat dan infak ?
2. Bagaimana pengelolaan zakat infak dan sedekah di indonesia ?
3. Bagaimana akuntabilitas zakat infak sedekah di indonesia ?
4. Bagaimana proses bisnis organisasi peribadatan mesjid ?
5. Apakah yang dimaksud dengan PSAK 45 ?
6. Apakah yang dimaksud dengan PSAK 109 ?
7. Bagaimana akuntansi berdasarkan PSAK 45 dan PSAK 109 ?
8. Apakah yang dimaksud dengan akuntansi mesjid ?
9. Apakah yang dimaksud dengan akuntansi sector publik ?
10. Apakah yang dimaksud dengan organisasi nirlaba ?
11. Bagaimana laporan keuangan organisasi nirlaba menurut PSAK 45 ?

9
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi zakat dan infak ?
2. Untuk mengetahui pengelolaan zakat infak dan sedekah di indonesia ?
3. Untuk mengetahui akuntabilitas zakat infak sedekah di indonesia ?
4. Untuk mengetahui proses bisnis organisasi peribadatan mesjid ?
5. Untuk mengetahui PSAK 45 ?
6. Untuk mengetahui PSAK 109 ?
7. Untuk mengetahui akuntansi berdasarkan PSAK 45 dan PSAK 109 ?
8. Untuk mengetahui akuntansi mesjid ?
9. Untuk mengetahui akuntansi sektor publik ?
10. Untuk mengetahui organisasi nirlaba ?
11. Untuk mengetahui laporan keuangan organisasi nirlaba menurut PSAK 45 ?

10
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi zakat dan infak
Zakat berasal dari bahasa arab yaitu zakāh dalam segi istilah adalah harta
tertentu yang wajib dikeluarkan oleh orang yang beragama Islam dan diberikan
kepada golongan yang berhak menerimanya (fakir miskin dan sebagainya). Zakat
dari segi bahasa berarti 'bersih', 'suci', 'subur', 'berkat' dan 'berkembang'. Menurut
ketentuan yang telah ditetapkan oleh syariat Islam. Zakat merupakan rukun
keempat dari rukun Islam. Zakat memiliki keutamaan yang besar dalam islam.
Harta zakat memiliki ketentuan khusus dan hanya diberikan kepada golongan
tertentu. Harta yang wajib dikeluarkan zakatnya harus memenuhi haul dan
nisabnya terlebih dahulu (Djatmiko, 2019). Haul berarti jangka waktu dan nisab
berarti batasan jumlah minimal. Haul dan nisab bervariasi tergantung dari jenis
harta yang dimiliki seseorang. Golongan yang berhak mendapatkan zakat adalah,
fakir, miskin, Amil, Mu’allaf, riqab, Gharim, Fisabilillah, Musafir . hal ini
dijelaskan dalam al- Quran surah at-Tauba ayat 60.
Infak berarti membelanjakan harta di jalan Allah. Infak juga dapat
diartikan nafkah, dalam hal ini harta yang diberikan suami untuk istri dan anak
sebagai nafkah termasuk dalam golongan infak. Infak terbagi dalam dua jenis.
Jenis pertama adalah infak yang wajib hukumnya seperti nafkah, zakat, dan jenis
kedua adalah infak yang memiliki hukum sunah seperti memberikan uang ke
masjid. Infak merupakan rumah besar pada setiap aktifitas penggunaan harta di
jalan Allah, didalamnya terdapat zakat, sedekah, wakaf, hadiah, warisan dan
sebagainya. Pelaksanaan infak didasari atas keimanan yang dimiliki setiap
muslim.

B. Pengelolaan zakat infak dan sedekah di indonesia


Muslim Indonesia harus menanggung pajak berganda, yaitu pajak dan
zakat (Hidayat, 2013). Permasalahan antara pajak dengan zakat juga dialami oleh
negara muslim lainnya seperti Malaysia dan Arab Saudi. Solusi yang diberikan
atas permasalahan ini berbeda-beda pada setiap negara muslim. Arab Saudi
memberlakukan satu kewajiban berarti warga negara Muslim yang sudah

11
membayar zakat tidak wajib membayar pajak. Malaysia memberlakukan amal
sebagai pengurang pajak jika amal tersebut dibayarkan di badan amal resmi
lembaga tersebut. Indonesia memberlakukan sistem pengurangan pajak dalam arti,
zakat yang telah dibayarkan penduduk dapat mengurangi pendapatan kena pajak
(Ridwan, 2016).
Pengelolaan ZIS di Indonesia pada masa dewasa ini lebih didominasi oleh
sektor swasta. Hal ini didasari oleh besarnya inisiatif sektor swasta untuk
mengelola dana zakat infak dan sedekah. Banyak LAZ yang telah bermunculan
dari lembaga masyarakat dan tidak sedikit pula perusahaan-perusahaan swasta
yang juga ikut membuat lembaga zakat diperusahaannya. Hal ini telah
menunjukkan proses dinamika Islamisasi sektor swasta di Indonesia (Latief,
2013).
Terdapat dua langkah dalam pengelolaan zakat infak dan sedekah; yaitu
langkahlangkah yang bersifat struktural dan yang bersifat kultural. Langkah
struktural lebih ditekankan kepada lembaga khusus yang menanganinya agar
berjalan dengan baik, sedangkan langkah kultural lebih ditekankan pada individu,
baik individu yang diharapkan menjadi salah satu subjek pengentasan kemiskinan
dan pemberdayaan kaum fakir dan miskin maupun yang menjadi objeknya. Pada
langkah struktural maupun kultural, keterlibatan pemerintah sangat diperlukan,
bahkan dipandang sebagai sebuah keniscayaan (Rodin, 2016).
Munculnya organisasi pengelola zakat ini merubah metode penghimpunan
dan penyaluran dana ZIS di Indonesia. Organisasi pengelola zakat umumnya
menghimpun ZIS dengan layanan jemput zakat, pembayaran melalui rekening,
dandapat pula menyerahkan langsung ke kantor (Kusmanto, 2014). Hadirnya
variasi ini dimaksudkan untuk mempermudah masyarakat muslim menyalurkan
ZISnya, sehingga motivasi masyarakat dalam menyalurkan ZIS menjadi lebih
tinggi. Pada sektor penyaluran organisasi pengelola zakat tengah berlomba-lomba
dalam melaksanakan program zakat produktif.
Zakat produktif adalah zakat yang dapat membuat mustahik memiliki
sebuah penghasilan (Dimyati, 2018). Tujuan akhir dari zakat produktif adalah
merubah mustahik menjadi muzaki atau merubah seseorang yang menerima
bantuan menjadi seseorang yang member bantuan dikemudian hari. Zakat

12
produktif memiliki dampak nyata dalam upaya pengentasan kemisikinan
(Pratama, 2015). Zakat produktif dilakukan dengan membangun atau
menumbuhkan unit usaha pada diri penerima zakat melalui pemberian dana hibah
untuk modal usaha (Fitri, 2017), atau secara sederhana zakat produktif dilakukan
dengan memunculkan wirausahawan baru dari kalangan mustahik (Haidir, 2019).
Pelaksanaan zakat produktif memiliki tantangan yang lebih besar dibandingkan
dengan zakat konsumtif. Program zakat produktif menuntut lembaga zakat untuk
melakukan pembinaan dan pendampingan kepada mustahik (Bonandar, 2018)
C. Akuntabilitas zakat infak sedekah di Indonesia
Indonesia memiliki potensi zakat yang sangat besar. Potensi ini berasal
dari banyaknya jumlah penduduk yang Beragama islam di Indonesia. Baznas
mencatat potensi zakat Indonesia mencapai lebih dari 200 Triliun Rupiah. Potensi
zakat ini terus mengalami perningkatan setiap tahunnya hingga sekarang selaras
dengan pertumbuhan ekonomi negara.
Potensi zakat yang besar nampaknya tidak dibarengi dengan realisasi
pengumpulan zakatnya. Selama tahun 2011-2015 realisasi penerimaan zakat
kurang dari 1% (Canggih et al., 2017), meskipun jumlah penghimpunan zakat
masih sangat sedikit dibandingkan dengan potensi yang ada akan tetapi
penghipunan zakat ini senantiasa mengalami peningkatan secara signifikan,
misalnya penghimpunan ZIS pada tahun 2008 -2012 dari 930 milyar menjadi 2,2
triliun atau mengalami kenaikan lebih dari 100% (Mubarok & Fanani, 2014).
Spekulasi yang muncul atas fenomena ini adalah masih banyak penghimpunan
yang tidak tercatat.
Hal ini mengindentifikasikan bahwa penerapan akuntabilitas pengelolaan
ZIS belumlah maksimal.Permasalahan yang sering terjadi terkait dengan
penerapan akuntabiltas pengelolaan ZIS terletak pada kualitasnya. Masih terdapat
organisasi pengelola zakat (OPZ) yang laporan tahunannya masih berupa
gambaran umum terkait jumlah penyaluran dana dan pihak-pihak penerima dana
(Haryanto & Yeni, 2019). Seharusnya laporan yang dipublikasikan juga
mencakup nominal dari setiap dana yang disalurkan sehingga laporan tahunan
tersebut lebih transparan dan akuntabel.

13
Permasalahan akuntabilitas atas pengelolaan zakat juga massif terjadi pada
sektor masjid. Mayoritas pejabat masjid hanya menerapkan akuntansi sederhana
atas pengelolaan zakat infak dan sedekah. Hal ini dilakukan karena keterbatasan
kemampuanyang dimiliki, namun terdapat pula pejabar masjid yang sengaja
menerapkan akuntansi sederhana dikarenakan adanya dilema. Praktik transparansi
dan Akuntabilitas nampaknya menimbulkan dilemma pada sebagian pejabat
masjid dikarenakan kekhawatiran munculnya sifat ria atau sombong (Simanjuntak
& Januarsi, 2011). Sifat sombong sangat tidak diperbolehkan dalam islam,
sebagaimana sabda rasulullah yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu
‘anhu “Tidak masuk surga orang yang dalam hatinya ada kesombongan seberat
zarrah dalam hatinya (H.R Muslim)” Perlu pemberian pemahaman kepada pejabat
masjid yang enggan menerapkan akuntabilitas secara baik dikarenakan khawatir
sombong bahwa pencataan atau akuntansi merupakan printah agama yang
harusnya tidak terdapat hal-hal yang dapat merusak nilai taqwa seorang muslim.
Prinsip akuntabilitas adalah bagian dari ibadah dengan pola tanggung
jawab vertikal dan horizontal. Pola vertikal adalah pertanggungjawaban kepada
Allah. Pola horizontal adalah pertanggungjawaban ke donatur masjid dan
masyarakat. Prinsip transparansi dilakukan dengan memberikan informasi yang
jelas tentang prosedur, biaya, dan tanggung jawab lembaga pengelola masjid serta
memberikan kemudahan akses ke informasi laporan keuangan, pengaturan
mekanisme pengaduan, dan meningkatkan informasi melalui kerja sama dengan
media public (Rahayu, 2017).
Konsep akuntabilitas mulai dikaji secara intensif pada sektor publik
seiring dengan berkembangnya konsep mengenai reinventing government
(Osborne dan Gaebler, 1993). Dalam buku mereka yang berjudul Reinventing
Government: How the Entrepreneurial Spirit is Transforming The Public Sector,
konsep akuntabilitas disebut sebanyak sembilan kali. Hal ini menunjukkan bahwa
Osborne dan Gaebler semenjak awal hendak memberikan penekanan akan
pentingnya pemahaman dan praktik bagi aktor-aktor wirausaha sektor publik
mengenai pentingnya akuntabilitas
Penulis yang berbeda, yaitu Osborne (Osborne : 2010) dan Christensen,
et.al. (Christensen :2007) menjelaskan bahwa sejalan dengan penekanan

14
akuntabilitas pada reinventing government, ternyata konsep akuntabilitas juga
masuk sebagai fokus utama dalam manajemen publik Baru atau yang sering kali
disebut dengan istilah New Public Management (NPM). Oleh karenanya,
akuntabilitas dapat dikatakan sebagai faktor pembeda utama antara kajian
Administrasi Publik Klasik (old Public Administration) dengan New Public
Management. Hal ini bermakna bahwa akuntabilitas harus dilaksanakan oleh
organisasi sektor public moderen sebagai cerminan upaya meningkatnya
keberpihakan terhadap kepentingan publik. Akademisi lainnya yakni Peters
(Peters : 2010) menjelaskan bahwa akuntabilitas merupakan konsep yang berbeda
dari tanggung jawab (responsibilitas).
Akuntabilitas lebih merujuk pada relasi organisasi sebagai sebuah entitas
dengan pihak di luar organisasi. Artinya, level analisis akuntabilitas adalah pada
tingkat makroorganisasi yang menekankan pada aspek sosiologi organisasi
dengan fokus interaksi antara organisasi dengan pihakpihak yang berrelasi pada
organisasi tersebut. Sedangkan tanggung jawab lebih menekankan pada level
individual sebagai keharusan anggota di dalam suatu organisasi public untuk
menunjukkan perilaku yang sejalan dengan standar etika yang telah ditetapkan
sebagai aturan dan melaksanakan pekerjaan dengan benar sesuai dengan arahan
dan pelatihan yang telah diterimanya.
Peters (Peters : 2010) yang menjelaskan bahwa sebagai bagian dari
organisasi sektor publik, maka anggota organisasi harus patuh terhadap hukum
yang secara umum mengatur bagaimana sebuah kebijakan diadministrasikan dan
khususnya hokum yang secara spesifik mengatur program tertentu yang tengah
mereka laksanakan. Penjelasan ini semakin terang manakala kita mencoba untuk
memetakan tiga konsep sekaligus yaitu akuntabilitas, tanggung jawab, dan
responsivitas sebagai bagian dari transparansi kepada publik secara keseluruhan
sebagaimana yang disampaikan oleh Gortner (Gortner : 2007). Penulis lainnya
yaitu Day dan Klein dalam (Peters : 2010) mendefinisikan bahwa Akuntabilitas
merupakan mekanisme untuk menjalankan pengendalian terhadap organisasi
publik. Namun, menurut Osborne (Osborne : 2010), akuntabilitas lebih dari
sekadar menjalankan pengendalian terhadap organisasi publik dan program
publik, akuntabilitas juga merupakan sarana yang memandu bagi organiasi dalam

15
usahanya untuk meningkatkan efektivitas dan efesiensi program. Hal ini dapat
ditinjau sebagai upaya untuk membuat catatancatatan atas kesalahan yang
dilakukan pada pelaksanaan suatu program di masa lalu yang kemudian menjadi
panduan untuk mereduksi angka kesalahan tersebut di masa mendatang. Dalam
tulisan yang lain, Starling (Starling: 2008) menjelaskan bahwa persamaan kata
yang tepat untuk akuntabilitas adalah kemenjawaban (answerability).
Konsep ini menegaskan bahwa organisasi pada sektor publik dituntut
untuk memberikan jawaban terhadap pihak-pihak yang berkepentingan dengan
organisasi tersebut. Dengan kata lain, organisasi sektor public hendaknya mampu
memberikan penjelasan atas tindakan-tindakan yang dilakukannya terutama
terhadap pihak-pihak yang dalam sistem politik telah diberikan kewenangan untuk
melakukan penilaian dan evaluasi terdahap organisasi publik. David Hulme dan
Mark Turney mengemukakan bahwa akuntabilitas merupakan suatu konsep yang
kompleks dan memiliki beberapa instrumen untuk mengukurnya, yaitu adanya
indikator seperti :(1) legitimasi bagi para pembuat kebijakan; (2) keberadaan
kualitas moral yang memadai; (3) kepekaan; (4) keterbukaan; (5) pemanfaatan
sumber daya secara optimal; dan (6) upaya peningkatan efisiensi dan efektivitas.
Akuntabilitas sebagai instrumen kontrol dapat mencapai keberhasilan
hanya jika: 1) Pegawai publik memahami dan menerima tanggungjawab atas hasil
yang diharapkan dari mereka; 2) Bila pegawai publik diberi otoritas yang
sebanding dengan tanggung jawabnya; bila ukuran evaluasi kinerja yang efektif
dan pantas digunakan dan hasilnya diberitahukan pada atasan dan individu
bersangkutan. 3)Bila tindakan yang sesuai, adil, dan tepat waktu diambil sebagai
respon atas hasil yang dicapai dan cara pencapaiannya; dan 4) Bila menteri dan
pemimpin politik berkomitmen tidak hanya menghargai mekanisme dan prosedur
akuntabilitas ini, namun juga menahan diri untuk tidak menggunakan posisi
otoritasnya untuk mempengaruhi fungsi normal administrasi.
Dimensi akuntabilitas yang telah dijelaskan dan disebutkan di atas yang
bersumber dari Elwood, dimensi tersebut dapat di jabarkan menjadi indikator
akuntabilitas adalah sebagai berikut (Garini : 2011) : 1) Akuntabilitas Hukum dan
Kejujuran 2) Akuntabilitas Proses; 3) Akuntabilitas program; 4) Akuntabilitas
Kebijakan Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode lapangan

16
(field research), yaitu penelitian yang sumber datanya diperoleh langsung
dilapangan. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif-analitik yaitu
penelitian yang menggambarkan secara jelas dan rinci fenomena yang menjadi
pokok permasalahan tanpa melakukan hipotesa atau melakukan penghitungan
secara statistik.
Secara spesifik penelitian ini bermaksud memaparkan dan
menggambarkan penerpan akuntabilitas pada mejid-masjid di Kota binjai dan
factor-faktor yang mempengaruhi implementasi akuntabiitas tersebut. Penelitian
ini bersifat evaluatif, maksudnya selain memaparkan secara deskriptif dan
menganalisanya, dan juga mengevaluasi kelebihan serta kekurangan Akuntabilitas
pengelolaan zakat dan infak masjid di kota Binjai.
D. Proses bisnis organisasi peribadatan mesjid
Ayub dalam Halim (2013), menyebutkan bahwa dalam konteks organisasi
masjid, keuangan masjid meliputi cara mengumpulkan dana, sumber pendanaan,
pengelolaan dan pertanggungjawaban dana masjid. Tujuan utama dari organisasi
peribadatan atau keagamaan seperti masjid untuk memberikan pelayanan dan
menyelenggarakan aktivitas yang dibutuhkan maupun yang telah menjadi ritual
ibadah rutin dalam organisasi keagamaan adalah melayani umat atau pengikut
agamanya. Meskipun tujuan utamanya adalah untuk pelayanan umat, bukan
berarti organisasi keagamaan tidak memiliki tujuan keuangan.
Tujuan keuangan ditujukan untuk mendukung terlaksananya tujuan
pelayanan peribadatan yang memadai yang memenuhi standar sesuai dengan
aturan dalam ajaran agama tersebut (syariah), serta menjunjung tujuan lainnya
seperti tujuan sosial kemasyarakatan dan pendidikan, pendidikan disini yang di
maksud TPA untuk anak-anak maupun orang tua tentunya tujuan keuangan ini
bukan untuk memperoleh keuntungan tetapi lebih ke arah bagaimana membiayai
kebutuhan beribadah umat dalam tempat ibadah dan fungsi sosial keagamaan
lainnya. (Ayub dalam Abdul,2011) dalam konteks organisasi masjid, bahwa
keuangan masjid meliputi cara mengumpulkan dana, sumber pendanaan,
pengelolaan, dan pertanggung jawaban dana masjid.
Pada organisasi masjid biasanya sumber dana berasal dari umat muslim
yang bersifat sukarela dan ikhlas walaupun tidak menutup kemungkinan bantuan

17
juga berasal dari pihak luar. Pengumpulan sumber dana dari masyarakat berasal
dari zakat,infak dan sedekah, pendapatan dari kotak parkir,pendapatan sewa
wakaf, sumbangan dari pemerintah, kontribusi peserta lomba dan lain-lain sesuai
dengan ajaran islam. Kegiatan masjid selain mengumpulkan sumber dana juga
menyalurkan sumber dananya untuk organisasi keagamaan maupun untuk fungsi
sosial. Karena pengelola atau pengurus atau yang biasa kita sebut ta'mir masjid
dalam menggunkan dana umat sesuai dengan ketentuan dalam ajaran agama dan
kepentingan umat beragama.
Penyaluran yang dilakukan biasanya untuk kemakmuran masjid, seperti
kebersihan masjid, penjagaan parkir untuk membeli alat-alat yang diperlukan
untuk kepentingan dan kenyamanan jamaah.Selain untuk kemakmuran masjid
penyaluran dana juga untuk pendidikan di masjid diantaranya: Pusat dakwah dan
TPQ. Penyaluran dana masjid juga untuk fungsi sosial diantaranya: Santunan
sosial dan sunnatan massal.
Laporan keuangan masjid Anaz Machfudz ini dicatat atau dibuat oleh
bendahara masjid ini ada 3 yaitu bendahara umum, bendahara penerimaan dan
bendahara pengeluaran.
1. Bendahara Umum:
 Sebagai Pemegang buku kas masjid atau laporan keuangan.
 Meminta dan memeriksa catatan atas laporan penerimaan dan
pengeluaran Menerima uang dari bendahara penerimaan dan
menyimpan atau
 Mencatat semua penerimaan dan pengeluaran dalam buku kas. dari
bendahara penerimaan dan bendahara pengeluaran.
 Mengambil uang dari bank dan menyerahkan uang belanja masjid
kepada menyetorkan ke Bank.
 Menyusun laporan keuangan masjid setiap bulan dan melaporkan
kepada bendahara pengeluaran.
 Mengumumkan keuangan masjid, khususnya hasil kotak jum'at
kepada rapat ta'mir tiga bulan sekali. jamaah setiap jum'at
2. Bendahara Penerimaan

18
 Menerima dan menghitung dan mencatat secara tertib semua
pemasukan Melaporkan secara tertulis semua penerimaan kepada
bendahara umum setiap masjid ke dalam buku penerimaan.
 Memelihara dan mengawasi keberadaan kotak
 Mengatur penempatan dan pergerakan kotak amal
 Memimpin dan mengkoordinir pembukaan semua kotak amal
masjid.
 Menyerahkan semua uang penerimaan masjid kepada bendahara
umum. Akhir bulan sesuai dengan format yang ditentukkan
bendahara umum.
3. Bendahara Penerimaan
 Mengajukan permintaan uang belanja rutin masjid kepada bendahara
umum setiap awal bulan secara tertulis.
 Membayar semua belanja barang jasa, honor dan ongkos untuk
keperluan Menghimpun semua bukti pengeluaran berupa nota,
rekening, kwitansi, faktur masjid, serta biaya kegiatan masjid.
 Mencatat semua pengeluaran belanja dan melaporkan kepada
bendahara dan sebagainya. umum setiap akhir bulan sesuai dengan
format atau blanko yang Bersama–sama dengan bendahara
penerimaan dan petugas lainnya ikut ditentukkan bendahara umum
dengan melampirkan bukti – bukti pengeluaran.
 Menyetorkan kembali sisa uang belanja masjid setiap akhir bulan
kepada membuka dan menghitung hasil kotak amal masjid.
bendahara umum.

E. PSAK 45
Standar yang mengatur dan memebrikan tujuan pelaporan keuangan pada
organisasi nirlaba untuk menyediakan informasi yang relevan kepada pihak yang
berkepentingan terutama penyumbang dana, anggota organisasi, krediturdan pihak
lain yang memebrikan sumbangsih kepada organisasi nirlaba. pelaporan keuangan

19
entitas nirlaba yang mudah dipahami, memiliki relevansi, dan memiliki daya
banding yang tinggi.
Definisi dalam pembatasan permanen adalah pembatasan penggunaan sumber
daya yang ditetapkan oleh pemberi sumber daya yang tidak mengharapkan
pembayaran kembali agar sumber daya tersebut dipertahankan secara permanen,
tetapi entitas nirlaba diizinkan untuk menggunakan sebagian atau semua
penghasilan atau manfaat ekonomik lain yang berasal dari sumber daya tersebut.
Pembatasan temporer adalah pembatasan penggunaan sumber daya oleh pemberi
sumber daya yang tidak mengharapkan pembayaran kembali yang menetapkan
agar sumber dayatersebut dipertahankan sampai dengan periode tertentu atau
sampai dengan terpenuhinya keadaan tertentu.
Sumber daya terikat adalah sumber daya yang penggunaannya dibatasi untuk
tujuan tertentu oleh pemberi sumber daya yang tidak mengharapkan pembayaran
kembali. Pembatasan tersebut dapat bersifat permanen atau temporer. Sumber
daya tidak terikat adalah sumber daya yang penggunaannya tidak dibatasi untuk
tujuan tertentu oleh pemberi sumber daya yang tidak mengharapkan pembayaran
kembali.
Jenis-jenis Laporan Keuangan Entitas Nirlaba Unsur-unsur laporan keuangan
berdasarkan PSAK No. 45: (1) Laporan Posisi Keuangan Laporan posisi
keuangan mencakup entitas nirlaba secara keseluruhan dan menyajikan total aset,
liabilitas, dan aset neto. (2) Laporan Aktivitas Laporan aktivitas mencakup entitas
nirlaba secara keseluruhan dan menyajikan perubahan jumlah aset neto selama
suatu periode. (3) Laporan Arus Kas Laporan arus kas harus melaporkan arus kas
selama periode tertentu dan diklasifikasi menurut aktivitas operasi,investasi, dan
pendanaan. (4) Catatan Atas Laporan Keuangan Catatan atas laporan keuangan
dapat berupa: (a) Perincian dari suatu perkiraan yang disajikan, misalnya aktiva
tetap. (b) Kebijakan akuntansi yang dilakukan, misalnya metode penyusutan serta
tarif yang digunakan untuk aktiva tetap lembaga, metode pencatatan piutang yang
tidak dapat ditagih serta presentase yang digunakan untuk pencadangannya (IAI
2015).
IAI (2015) dalam PSAK No. 45 menyatakan bahwa “Tujuan utama Iaporan
keuangan adalah menyediakan informasi yang relevan untuk memenuhi

20
kepentingan para pemberi sumber daya yang tidak mengharapkan pembayaran
kembali, anggota, kreditor, dan pihak lain yang menyediakan sumber daya bagi
entitas nirlaba.

F. PSAK 109
Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) telah mengeluarkan PSAK 109 untuk
akuntansi zakat, infak/sedekah. PSAK 109 ini akan menyeragamkan pencatatan
pada lembaga pengelola zakat yang selama ini sebagian besar menggunakan
PSAK 45 untuk organisasi non laba. Sebelum ada PSAK 109, lembaga pengelola
zakat telah membuat laporan keuangan tetapi tidak ada keseragaman antara satu
lembaga pengelola zakat dengan lembaga pengelola zakat yang lain.
Hal ini tentu menyulitkan bagi berbagai kalangan untuk memahami maksud
dan tujuan dari laporan keuangan tersebut. Laporan keuangan seharusnya
informatif dan dapat dibandingkan antara laporan keuangan lembaga pengelola
zakat satu dengan lembaga pengelola zakat yang lain. Laporan keuangan amil
menurut PSAK 109 adalah laporan posisi keuangan (neraca), laporan perubahan
dana, laporan perubahan aset kelolaan, laporan arus kas dan catatan atas laporan
keuangan. Neraca dan laporan penerimaan, pengeluaran dan perubahan dana
untuk organisasi zakat, infak, dan sedekah ini merupakan gabungan dari dua dana
tersebut, yaitu dana zakat dan dana sedekah, sedangkan laporan perubahan posisi
keuangan dan catatan atas laporan keuangan perlu ditambahkan sehingga menjadi
laporan keuangan yang menyeluruh yang menggambarkan kondisi keuangan
organisasi pengelola zakat. Dalam catatan ini menjelaskan mengenai
kebijakankebijakan akuntansi dan prosedur yang diterapkan oleh organisasi yang
bersangkutan sehingga diperoleh angka-angka dalam laporan keuangan tersebut
(IAI 2015)
G. Perlakuan akuntansi berdasarkan PSAK 45 dan PSAK 109
Lembaga nirlaba merupakan lembaga yang dibiayai oleh masyarakat lewat
donasi atau sumbangan (Nainggolan,2005:2). PSAK Nomor 45 menyebutkan
adatiga karakteristik entitas nirlaba yaitu sumber daya entitas berasal dari
sumbangan, tidak bertujuan memperoleh laba,dan tidak adanya kepemilikan
seperti entitas bisnis pada umumnya atau dengan kata lain dimiliki oleh publik.

21
Dari sisi sumber pendanaan, organisasi nirlaba mendapatkan sumber dana dari
publik berupa sumbanganatau donasi.
Organisasi nirlaba memperoleh sumber daya dari pemberi sumber daya yang
tidak mengharapkan pembayaran kembali atau manfaat ekonomi yang sebanding
dengan jumlah sumber daya yang di berikan. Pada beberapa bentuk organisasi
nirlaba, meskipun tidak ada kepemilikan, organisasi nirlaba mendanai kebutuhan
modalnya dari utang dan kebutuhan operasinya dari pendapatan atas jasa yang
diberikan kepada publik. (IAI, 2015).
Pertangungjawaban keuangan menjadi aspek penting bagi organisasi nirlaba
dan diharapkandapat menjelaskan bagaimana organisasi mengelola dan
menggunakan dana yang telah diperolehnya dari public sehingga dapat
meningkatkan kepercayaan publik terhadap organisasi yang bersangkutan. Salah
satu bentuk pertanggung jawaban tersebut diwujudkan dalam bentuk laporan
keuangan. Laporan keuangan organisasi nirlaba telah diatur dalamPSAK Nomor
45 tentang Pelaporan Keuangan EntitasNirlaba.
Dalam PSAK Nomor 45 (IAI, 2011) telah diaturbahwa laporan keuangan
entitas nirlaba meliputi laporanposisi keuangan, laporan aktivitas, laporan arus
kas, dancatatan atas laporan keuangan. Dengan adanya standar yang mengatur
mengenai pelaporan keuangan entitas nirlaba maka diharapkan laporan keuangan
yang dibuat oleh suatuorganisasi nirlaba seperti masjid misalnya, dapat lebih
mudah dipahami dan dapat mencerminkan serta menjelaskan kondisikeuangan
organisasi yang sesungguhnya.
Melalui laporan keuangan ini pengguna laporan keuangan baik pengguna
internal ataupun pengguna eksternal dapat menilai kinerja manajemen organisasi.
Masjid sebagai salah satu bentuk organisasi nirlaba dimanasebagian besar sumber
pendanaannya berasal dari masyarakatdalam bentuk infak atau shodakoh, tentunya
juga harusmembuat laporan keuangan sesuai dengan format dalam PSAK Nomor
45. Dalam penerapan PSAK 45 ataupun PSAK 109 mengingat masjid adalah
termasuk organisasi nirlaba atau organisasi yang tidak menghasilkan laba/profit.
Masjid berasal dari kata sajada-sujudan, yang berarti patuh, taat, serta tunduk
dengan penuh hormat dan takzim, atau tempat sujud (Mustofa: 20076: 16).

22
Secara teminologis, masjid mengandung makna sebagai pusat dari segala
kebajikan kepada Allah SWT. Di dalamnya terdapat dua bentuk kebajikan, yaitu
kebajikan yang dikemas dalam bentuk ibadah khusus, yaitu shalat fardhu, dan
kebajikan yang dikemas dalam bentuk amaliyah sehari-hari untuk berkomunikasi
dan bersilaturahmi dengan sesama jamaah (Suherman: 2012: 61).
Masjid memenuhi karakteristik entitas nirlaba yaitu: (a)Sumber daya entitas
nirlaba berasal dari pemberi sumber daya yang tidak mengharapkan pembayaran
kembali atau manfaat ekonomi yang sebanding dengan jumlah sumber daya yang
diberikan (b)Menghasilkan barang dan/ jasa tanpa bertujuan memupuk laba, dan
jika entitas nirlaba menghasilkan laba, maka jumlahnya tidak dibagikan kepada
pendiri atau pemilik entitas nirlaba tersebut. (c)Tidak ada kepemilikan seperti
umumnya pada entitas bisnis, dalam arti bahwa kepemilikan dalam entittas nirlaba
tidak dapat dijual, dialihkan, atau ditebus kembali, atau kepemilikan tersebut tidak
mencerminkan proporsi pembagian sumber daya entitas nirlaba pada saat likuidasi
atau pembubaran entitas nirlaba. (Ikatan Akuntan Indonesia. 2012. Standar
Akuntansi Keuangan. (PSAK No. 45. Jakarta: Salemba Empat).
Kemudian, dari sisi sumber pendanaan, masjid mendapatkan sumber dana
dari publik berupa sumbanganatau donasi. Pada beberapa bentuk organisasi
nirlaba, meskipun tidak ada kepemilikan, organisasi nirlaba mendanai kebutuhan
modalnya dari utang dan kebutuhan operasinya dari pendapatan atas jasa yang
diberikan kepada publik. (IAI, 2015).
Dari karakteristik diatas, maka dapat disimpulkan, masjid merupakan
organisasi nirlaba yang seharusnya menerapkan PSAK 45. Masjid mendapatkan
sumber pendanaannya berasal dari Zakat, Infak, dan Shadaqah. Bila dilihat dari
sudut pandang sumber danayang diperoleh oleh masjid, sumber pendanaan masjid
dapat berasal dari donasi, kotak sumbangan keliling yang bisa dikatakan zakat,
infaq danshodaqoh atau yang lainnya dari masyarakat. Akuntansi untuk zakat,
infaq, dan sadaqah menggunakan PSAK 109.
Dapat dikatakan sumber pendanaan masjid 100% berasal dari zakat, infaq,
dan sadakah. Dari karakteristik ini, maka dapat disimpulkan bahwa masjid
menerapkan pengelolaan keuangan berdasarkan PSAK 109. Masjid sebagai sarana

23
peribadatan dan kegiatan umat memerlukan pelaporan keuangan yang
efektifuntuk menunjang kegiatan peribadatan dan keagamaan.
Mengingat banyaknya danayang terkumpul berupa zakat, infak dan sedekah
dan juga banyak dana yang disalurkan untuk berbagai kegiatan didalam masjid
seperti untuk perbaikan masjid, biaya- biaya penceramah atau guru ngaji,
santunan sosial dan banyak lagi kegiatan yang dilakukan di masjid, perlu adanya
laporan keuangan yang efektif dan relevan sehungga bisa dipertanggungjwabkan
kepada masyarakat, baik muzaki, mustahik dan juga pemerintah. Berkaitan
dengan akuntansi, Islam sudah menerapkannyapada masa Rasulullah SAW seperti
perhitungan zakat, utang, pencatatan uang masuk dan keluar dalam perdagangan
hal ini sesuai dengan Al-Qur’an Surat Al-Baqarah Ayat 282.
Dalam Q.S Al-Baqarah Ayat 282 mencerminkan bahwa akuntansi dalam
islam bukanlah yang baru dan penting digunakan untuk menjadikan kegiatan
keagamaan menjadi lebih baik seperti di tempat ibadah (Masjid) dan pasar
perdagangan. Akuntansi dalam entitas tempat ibadah (Masjid) pencatatan laporan
keuangan dapat dijadikan tolak ukur kinerja para pengurus masjid selaku Takmir
dan Bendahara Masjid (Hanafi: 2015 Pada penerapannya, akuntansi masjid lebih
menggunakan metode pencatatan cash basis yakni mengakui pendapatan dan
biaya pada saat kas diterima dan dibayarkan.
Dengan metode cash basis tingkat efisiensi dan efektifitas suatu kegiatan,
program atau aktifitas tidak dapat diukur dengan baik. Akuntansi dengan accrual
basis dianggap lebih baik daripada cash basis karena dianggap menghasilkan
laporan keuangan yang lebih dapat dipercaya, lebih akurat, komprehensif, dan
relevan. Selain itu, akuntansi masjid menggunakan metode pembukuan tunggal
(single entry method) dengan alasan lebih praktis dan mudah. Laporan
keuangannya disajikan dengan membandingkan antara anggaran yang telah dibuat
dengan realisasinya.
Kemudian dilaporkan dan dievaluasi dalam periode waktu tertentu.
Penggunaan single entry method tidak lagi tepat untuk diterapkan karena tidak
dapat memberikan informasi yang komprehensif, maka penggunaan single entry
method dengan alasan kemudahan dan kepraktisan menjadi tidak relevan lagi.
Dan sebaliknya, pengaplikasian pencatatan transaksi dengan sistem double

24
entrymampu menghasilkan laporan keuangan yang auditable dan traceable. Sistem
pelaporan keuangan pada masjid masih berbentuk format biasa yang sesuai
dengan pemahaman mereka. Biasanya hanya berupa pencatatan kas masuk dan
kas keluar. Pelaporan keuangan itu sendiri dibuat untuk proses
pertanggungjawaban kepada para jama’ah masjid sebagai suatusifat keterbukaan
dan transparansinya suatu laporan keuangan (Andarsari: 2016: 148).
Namun, PSAK 45 tidak dapat secara langsung diterapkan pada lembaga
masjid. Masjid merupakan salah satu contoh organisasi keagamaan yang sebagian
besar dananya berasal dari sumbangan publik yangbiasa disebut dengan zakat dan
infak atau shodakoh dimana sebagian besar transaksi yang terjadi didasari dengan
ketentuan dasar syariah sesuai dengan ajaran agama Islam. Oleh karena itu
penyusunan laporan keuangan masjid jugaharus mempertimbangkan perlakuan
akuntansi untuk akunkhusus atas transaksi yang didasarkan pada kaidah syariah
khususnya untuk akuntansi zakat dan infak/sedekah yang diatur dalam PSAK
109.PSAK 109 bertujuan untuk mengatur pengakuan, pengukuran, penyajian dan
pengungkapan transaksi zakat dan infak/sedekah.
PSAK 109 (IAI, 2008) menyebutkan bahwa laporan keuangan yang
seharusnya dibuatoleh amil terdiri dari laporan posisi keuangan, laporan
perubahan dana, laporan perubahan aset kelolaan, laporanarus kas, dan catatan
atas laporan keuangan. Bila dibandingkan dengan PSAK Nomor 45, terdapat
perbedaankomponen laporan keuangan yang harus dibuat oleh masjid (amil).
Mengingat masjid adalah salah satu bentuk organisasinirlaba dan menjalankan
kegiatan dan transaksi syariah maka penerapan PSAK Nomor 45 pada lembaga
masjid diperlukan adanya kombinasi dengan PSAK Nomor 109.
PSAK 45 terdiri dari 4 laporan keuangan seperti: Laporan Posisi Keuangan,
Laporan Aktivitas, Laporan Arus Kas dan Catatan Atas Laporan Keuangan.
PSAK 109 terdiri dari 5 laporan keuangan seperti: Laporan Posisi Keuangan,
Laporan Perubahan Dana, Laporan Arus Kas, Laporan Aset Kelolaan dan Catatan
atas Laporan keuangan.
Penulis mencoba merekonstruksi laporan keuangan masjid menjadi laporan
keuangan yang sesuai dengan kriteria PSAK 109 dan atau PSAK 45 mengingat
masjid mempunyai ciri-ciri hampir sama dengan kedua laporan tersebut dan

25
penulis ingin mengetahui laporan keuangan masjid lebih cenderung cocok dengan
PSAK 45 atau PSAK 109. Setelah menganalisis laporan keuangan sederhana
masjid, laporan keuangan 109 lebih cocok untuk diterapkan dalam akuntansi
masjid dikarenakan beberapa hal yakni PSAK 109 lebih mudah dipahami daripada
PSAK 45.

H. Akuntansi mesjid
Akuntansi masjid adalah kegiatan jasa dalam tata buku dan pengelolaan
transaksi yang terjadi dalam kegiatan operasional masjid. Tata buku atau
rangkaian kegiatan yang dilakukan secara sistematis dalam bidang keuangan,
berdasarkan prinsip, standardisasi, dan prosedur tertentu untuk menghasilkan
informasi aktual di bidang keuangan dalam organisasi masjid yang melibatkan
para anggota, umat, atau pengikut agama di organisasi keagamaan yang
bersangkutan (Halim dan Kusufi, 2016). Peran akuntansi akan terlihat jika tempat
ibadah atau masjid diposisikan sebagai entitas atau satuan organisasi (Halim dan
Kusufi, 2016). Mengenalkan akuntansi pada organisasi masjid berarti lebih
berorientasi untuk menumbuhkan kesadaran kepada pengelola masjid tentang
pentingnya praktik akuntansi dalam pengembangan organisasi masjid (Halim dan
Kusufi, 2016). Akuntansi dijadikan pengurus masjid sebagai tools positif secara
material tetapi distortif bagi teologi Islam (Simanjuntak dan Januarsi, 2011).
Islam sangat erat kaitannya dengan akuntansi, dengan turunnya Surat Al-
Baqarah Ayat 282 dijelaskan tentang pencatatan, pendokumentasian, saksi dan
utang secara mendetail dalam surat itu. Dapat ditarik kesimpulan bahwa islam
mengajarkan pencatatan dalam Islam itu signifikansi, pencatatan itu dapat
menjadikan entitas keagamaan dapat bekerja dengan baik.Pencatatan keuangan
dalam suatu entitas keagamaan (Masjid) dapat menjadi ukuran kinerja para
pengurus Masjid atau Takmir Masjid khususnya yang diamanahkan sebagai
bendahara keuangan.Penelitian yang dilakukan oleh Kerry Jacob (2004) dalam
Simanjutak dan Januarsih (2011) yang menjelaskan bahwa akuntansi mampu
mendorong kerja entitas keagamaan menjadi lebih baik ketika peran akuntansi di
maksimalkan di lembaga keagamaan tersebut.

26
Penelitian ini memberikan deskripsi bagaimana manajemen keuangan di
masjid-masjid yang ada di perkotaan. Pada komponen perencanaan anggaran,
Mukrodi (2014) menemukan bahwa studi kasus masjid yang diteliti tidak
memiliki rencana anggaran. Hal ini juga ditemukan pada penelitian ini. Hanya
saja pada penelitian ini didapati masih ada 37,8% masjid yang membuat rencana
anggaran belanja secara rutin setiap tahunnya. Jika dibandingkan dengan
penelitian di tempat
ibadah lain seperti yang dilakukan oleh Agustana, Herawati, & Atmaja
(2017), rencana anggaran belanja pada tempat ibadah tersebut hanya dilakukan
setiap ada kegiatan upacara, sedangkan di masjid-masjid yang ada di Kota
Yogyakarta, anggaran disusun setiap tahunnya. Pada aspek sumber penerimaan
masjid, infak Jumat masjid menjadi andalan bagi masjid (Adnan, 2013; Wahab,
2008; Zain et al., 2015) dan juga di tempat ibadah agama lain (Femi et al., 2016)
dalam penghimpunan dana.
Begitu juga pada penelitian ini, hal tersebut juga ditemukan, namun ada pada
beberapa masjid yang memiliki usaha mandiri sebagai sumber pendapat lain,
walaupun sebagian jumlahnya tidak begitu besar. Ada satu masjid yang memiliki
usaha mandiri dan mampu menghasilkan keuntungan bersih mencapai Rp
25.000.000.000,00 per tahun. Ini dapat menjadi contoh bagi masjid lain yang
harusnya tidak lagi bergantung pada donasi jamaah, namun mulai mencoba untuk
mencari alternatif sumber lain, terutama yang memiliki potensi menghasilkan atau
produktif.
Apalagi jika masjid-masjid yang memiliki lokasi yang strategis, pengurus
dapat menyewakan lahan atau pun dapat membuat semacam rumah toko
(Rozalinda, 2015) ataupun lahan parkir (Mukrodi, 2014) sehingga dapat
menambah pemasukan masjid. Jangan sampai masjid kekurangan dana hingga tak
bisa membuat program-program yang bermanfaat bagi masyarakat sekitar (Jazeel,
2014). Untuk penggunaan dana masjid, studi ini menunjukkan bahwa pos terbesar
digunakan untuk pembangunan dan perawatan fisik masjid. Besarnya pengeluaran
untuk pembangunan fisik masjid sangatlah dominan dibanding untuk pos-pos
lainnya, seperti kegiatan dakwah maupun pemberdayaan masyarakat (Ajahari,
2009).

27
Seharusnya pos yang lebih banyak diperhatikan adalah untuk kegiatan ijtima’i
atau kegiatan-kegiatan yang berorientasi pada masyarakat, bukan pada operasional
dan pembangunan masjid (Ramli, Jalil, Hamdan, Haris, & Abd. Aziz, 2009).
Yang menarik dalam penelitian ini ditemukan fakta bahwa ada 15% yang telah
memiliki program pemberdayaan ekonomi jamaah, bahkan banyak yang
menjawab bukan tidak memilikim namun ingin memiliki program pemberdayaan,
namun masih terkendala beberapa hal, salah satunya masalah kompetensi dan
keterampilan mengelola program pemberdayaan ekonomi.
Hal ini menunjukkan bahwa pengurus masjid yang ada di Kota Yogyakarta
sudah cukup banyak yang menyadari bahwa masjid harusnya dapat digunakan
untuk aktivitas-aktivitas produktif. Penelitian ini juga menemukan beberapa hal
terkait nominal pemasukan dan pengeluaran dana masjid per bulannya. Hal ini
belum banyak ditemukan pada penelitian-penelitian sebelumnya di Indonesia
yang hanya secara naratif menjelaskan pos pemasukan dan pengeluaran, namun
belum ada nominal yang muncul, seperti studi Mukrodi (2014) dan Ajahari
(2009).
Rata-rata pemasukan setiap bulannya dari setiap masjid mencapai Rp
4.808.602,00 dan pengeluaran Rp 3.258.462,00 sehingga hampir semua masjid
tidak mengalami defisit. Hal ini juga ditemukan pada studi yang dilakukan di
Malaysia (Hussin, Muhammad, Razak, & Habidin, 2014; Razak, Hussin,
Muhammad, & Mahjom, 2014). Jumlah saldo yang mengendap di setiap masjid
ratarata-rata Rp 45.866.365,00. Jumlah ini tidak jauh berbeda dari estimasi yang
dibuat oleh Adnan (2013) yang menyatakan rata-rata saldo masjid di provinsi DIY
adalah Rp 42,159,151,00, namun hanya dari 48 masjid saja. Yang terungkap dari
studi kami adalah saldo dana masjid yang disimpan di bank syariah baru 41,7%
masjid, lebih kecil persentasenya dibandingkan yang menyimpan di bank
konvensional yakni sebesar 43,3%.
Hal ini mengindikasikan bahwa pengurus masjid pun masih belum yang
menyadari akan pentingnya menghidupkan bank syariah dengan menyimpan dana
di sana sekaligus menunjukkan belum masifnya kesadaran pengurus masjid
larangan bunga yang ada di bank konvensional. Dengan kata lain, masih banyak
yang dana umat yang tercampur dengan riba di bank konvensional. Temuan ini

28
belum didapati di penelitian-penelitian sebelumnya. Pembahasan terkait
pengendalian internal sudah cukup banyak dilakukan, antara lain temuan tentang
pertanggungjawaban keuangan hanya dilakukan saat salat Jumat saja, itupun
sesuai pemintaan ketua ketua (Nurlailah et al., 2014), lalu temuan Simanjuntak
dan Januarsi (2011) tentang laporan keuangan yang sangat sederhana, dan juga
temuan tentang bagaimana dilema transparansi keuangan masjid dengan perilaku
“riya” (Zoelisty, 2014).
Studi ini memperlihatkan bahwa lebih dari 90% masjid menggunakan
pencatatan keuangan yang baik disertai bukti transaksi dan juga laporan keuangan
rutin, senada dengan temuan Adnan (2013). Evaluasi anggaran masih kurang dari
50% masjid yang melakukannya secara rutin, walaupun hampir seluruh masjid
telah membuat laporan keuangannya. Shaharuddin & Sulaiman (2015) juga
mengiyakan temuan tersebut.
Pendelegasian tugas sebagai bagian dari pengendalian internal telah
dilakukan oleh masjid-masjid di Kota Yogyakarta. Penanggung jawabnya adalah
bendahara. Untuk prosedur pencairan dana masih harus menjadi perhatian karena
lebih dari 60% masjid hanya cukup mendapatkan persetujuan lisan pengurus dana
masjid dapat dicairkan.
Seharusnya agar tercatat dengan baik pencairan dana harus dengan
menggunakan prosedur yang lebih formal, sebagaimana pula yang disarankan
oleh studi Mohamed, Masrek, Mohd Daud, Arshad, & Omar (2015). Baru sekitar
40% yang menggunakan prosedur tersebut. Bagian akhir dari pengendalian
internal adalah melakukan audit. Studi ini menunjukkan bahwa baru 22,6% masjid
yang melakukan audit internal secara rutin.
Audit internal ini pun masih sebatas pemeriksaan oleh ketua takmir dan baru
berupa audit keuangan. Selain audit internal, ada 3,8% masjid yang melakukan
audit eksternal (di luar pengurus) yang diperiksa oleh lembaga, instansi, maupun
yayasan yang menaunginya.Seharusnya penendalian internal, termasuk audit,
tidak hanya terkait pelaporan keuangan saja, melainkan juga pengungkapan
seluruh informasi non-keuangan (Adil et al., 2013; Mohamed, Aziz, Masrek, &
Daud, 2014) Secara umum, manajemen keuangan masjid yang dipraktikkan di
Kota Yogyakarta belum mengacu pada PSAK 45 tentang akuntasi lembaga

29
nirlaba. Masdenia (2015) menduga bahwa belum adanya aturan yang mewajibkan
masjid mengikuti standar PSAK 45 menjadi penyebab masjidmasjid belum
menerapkan PSAK 45.
Ramli et al. (2014) menyarankan adanya suatu panduan (guideline) syariah
dalam pengelolan keuangan masjid agar dapat menentukan pos penggunaan yang
tepat sebagai prioritas dan juga agar membuar pengurus masjid sadar bahwa dana
masjid harus segera digunakan agar tidak mengendap. Selain itu, ke depan
penggunaan teknologi harus digunakan untuk mengefisiensikan pengelolaan dana
masjid seperti yang studi yang dilakukan oleh Raudhiah et al.(2014) dan juga
Tajuddin, Aman, & Ismail(2014).
Penggunaan teknologi informasi juga akan membuat kepercayaan publik akan
semakin baik (Marshall et al., 2016) serta meminimalisasi keterlambatan
pelaporan keuangan (Reheul et al., 2012). Baik tidaknya sebuah manajemen
keuangan masjid sangat ditentukan oleh kepemimpinan (Uddin & Rehman, 2014)
dan juga pengalaman pengurus (Raudhiah et al., 2014; Strydom & Stephen,
2014). Baik tidaknya performa sebuah lembaga nirlaba dapat dilihat dari rasio
serapan anggaran, efisiensi penghimpunan dana, serta dukungan publik (Su,
2014). Dalam studi kami, rasio penggunaan dana dibanding pemasukan mencapai
68%, sedangkan efisiensi penghimpunan dana dan dukungan publik belum dapat
diukur
I. Akuntansi sector public
Akuntansi sektor publik sering diartikan sebagai akuntansi dana masyarakat,
hal ini meliputi teknik dan analisis akuntansi yang digunakan oleh masing-masing
organisasi sektor publik. Akuntansi sektor publik juga berkaitan dengan
penerapan dan perlakuan akuntansi pada wilayah publik. Menurut Bastian
(2010:3) mendefinisikan akuntansi sektor publik sebagai mekanisme teknik dan
analisis akuntansi yang diterapkan pada pengelolaan dana masyarakat di lembaga-
lembaga tinggi negara dan departemen-departemen di bawahnya, pemerintah
daerah, BUMN, BUMD, LSM, dan yayasan sosial, maupun pada proyek-proyek
kerja sama sektor publik serta swasta.
Ruang lingkup akuntansi sektor publik menurut (Bastian, 2010:4) meliputi
lembagalembaga tinggi negara dan departemen-departemen di bawahnya,

30
pemerintahan daerah, yayasan, partai politik, perguruan tinggi dan organisasi-
organisasi publik nirlaba lainnya. Di Indonesia, akuntansi sektor publik mencakup
beberapa bidang utama yakni: (a) akuntansi pemerintah pusat, (b) akuntansi
pemerintah daerah, (c) akuntansi partai politik, (d) akuntansi LSM, (e) akuntansi
yayasan, (f) akuntansi pendidikan, (g) akuntansi kesehatan, (h) akuntansi tempat
peribadatan.

J. Organisasi nirlaba
Organisasi secara umum memiliki pengertian suatu kesatuan dari sekelompok
orang yang bekerja secara bersama-sama demi suatu tujuan tertentu. Tujuan
tersebut dapat bersifat kualitatif maupun kuantitatif yang dapat dibagi lagi
menjadi tujuan yang bersifat financial maupun yang non financial. Tujuan dari
setiap organisasi menurut (Mahsun, 2006:3): (1) Pure Profit Organization adalah
organisasi yang bertujuan untuk menyediakan atau menjual barang dan jasa
dengan tujuan utama untuk memperoleh laba sebanyak-banyaknya sehingga bisa
dinikmati oleh para pemilik. (2) Quasi-Profit Organization adalah organisasi yang
bertujuan menyediakan atau menjual barang dan jasa dengan maksud untuk
memperoleh laba dan mencapai tujuan lainnya sebagaimana yang dikehendaki
oleh para pemilik. (3) Quasi-Non Profit Organization adalah organisasi yang
menyediakan dan menjual barang dan jasa dengan maksud untuk melayani dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Secara umum sering kali organisasi
dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu profit organization dan non profit
organization. Dengan pengelompokkan diatas maka organisasi sektor publik dapat
dikategorikan sebagai non profit organization. Menurut Wikipedia Indonesia,
organisasi nirlaba atau organisasi non profit adalah suatu organisasi yang
bersasaran pokok untuk mendukung suatu isu atau perihal di dalam menarik
perhatian publik untuk suatu tujuan yang tidak komersil, tanpa ada perhatian
terhadap hal-hal yang bersifat mencari laba (moneter).
Organisasi nirlaba meliputi gereja, sekolah negeri, derma publik, rumah sakit
dan klinik publik, organisasi politis, bantuan masyarakat dalam hal perundang-
undangan, organisasi jasa sukarelawan, serikat buruh, asosiasi profesional, institut
riset, museum, dan beberapa para petugas pemerintah. Nainggolan (2005:1)

31
memberikan definisi organisasi nirlaba adalah lembaga atau organisasi nirlaba
merupakan suatu lembaga atau kumpulan dari beberapa individu yang memiliki
tujuan tertentu dan bekerja sama untuk mencapai tujuan tadi, dalam
pelaksanaannya kegiatan yang mereka lakukan tidak berorientasi pada pemupukan
laba atau kekayaan semata.
Sedangkan menurut Anthony dan Young, dalam Triyuwono (2000:157)
memberikan deskripsi bahwa organisasi nirlaba sebagai organisasi yang tujuannya
adalah sesuatu diluar menerima keuntungan untuk para pemiliknya, biasanya
bertujuan untuk memberi pelayanan. Dalam hal pertanggungjawaban keuangan,
organisasi nirlaba tidak dapat memperoleh modal ekuitas dari para investor luar,
kecuali modal ekuitas mereka donasikan. Menurut PSAK No. 45 bahwa
organisasi nirlaba memperoleh sumber daya dari sumbangan para anggota dan
para penyumbang lain yang tidak mengharapkan imbalan apapun dari organisasi
tersebut. (IAI, 2000:45.1).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa organisasi nirlaba adalah organisasi yang
memberikan bantuan pelayanan kepada publik untuk menyediakan berbagai
barang atau jasa yang dibutuhkan secara sosial, tujuannya bukan untuk
meningkatkan laba dimana modal yang didapatkan berasal dari para donatur atau
penyumbang lainnya tanpa mengharapkan imbalan. Karakteristik organisasi
nirlaba berbeda dengan organisasi bisnis. Perbedaan utama yang mendasar
terletak pada cara organisasi memperoleh sumber daya yang dibutuhkan untuk
melakukan berbagai aktivitas operasinya. Organisasi nirlaba memperoleh sumber
daya dari sumbangan para anggota dan para penyumbang lain yang tidak
mengharapkan imbalan apapun dari organisasi tersebut. (IAI, 2000:45,1)
Menurut UU No. 16 Tahun 2001, sebagai dasar hukum positif yayasan,
pengertian yayasan adalah badan hukum yang kekayaannya terdiri dari kekayaan
yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang
sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. Selanjutnya, perkumpulan terbagi atas 2
jenis, yaitu : (a) Perkumpulan yang berbentuk badan hukum, seperti perseroan
terbatas, koperasi, dan perkumpulan saling menanggung. (b) Perkumpulan yang
tidak berbentuk badan hukum, seperti persekutuan perdata, CV, dan firma.
(Bastian, 2007:1)

32
Yayasan sebagai suatu badan hukum mampu dan berhak serta berwenang
untuk melakukan tindakan-tindakan perdata. Pada dasarnya, keberadaan badan
hukum yayasan bersifat permanen, yaitu hanya dapat dibubarkan melalui
persetujuan para pendiri atau anggotanya. Yayasan hanya dapat dibubarkan jika
segala ketentuan dan persyaratan dalam anggaran dasarnya telah dipenuhi. Hal
tersebut sama kedudukannya dengan perkumpulan yang berbentuk badan hukum,
dimana subjek hukum yang dapat melakukan perbuatan hukum dan, yang
menyandang hak dan kewajiban, dapat digugat maupun menggugat di pengadilan.
Menurut (Bastian, 2007:2) sebagai organisasi, termasuk yayasan, memiliki tujuan
yang spesifik dan unik yang dapat bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Tujuan
yang bersifat kuantitatif mencakup pencapaian laba maksimum, penguasaan
pangsa pasar, pertumbuhan organisasi, dan produktivitas. Sementara tujuan
kualitatif dapat disebutkan sebagai efisiensi dan efektivitas organisasi, manajemen
organisasi yang tangguh, moral karyawan yang tinggi, reputasi organisasi,
stabilitas, pelayanan kepada masyarakat, dan citra perusahaan. Menurut UU No.
16 Tahun 2001, yayasan mempunyai fungsi sebagai pranata hukum dalam rangka
mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. Undang-
undang tersebut menegaskan bahwa yayasan adalah suatu badan hukum yang
mempunyai maksud dan tujuan yang bersifat sosial, keagamaan, dan
kemanusiaan, yang didirikan dengan memperhatikan persyaratan formal yang
ditentukan berdasarkan undangundang.
Sumber pembiayaan yayasan berasal dari sejumlah kekayaan yang dipisahkan
dalam bentuk uang atau barang. Selain itu, yayasan juga memperoleh sumbangan
atau bantuan yang tidak mengikat, seperti berupa: (a) Wakaf adalah kekayaan
yang diserahkan untuk dikelola dan dimanfaatkan untuk kepentingan umum.
Yayasan menerima wakaf barang atau hal lainnya supaya bisa dikelola dengan
maksimal. (b) Hibah umumnya bersifat pengajuan dari yayasan. Hal ini biasanya
berasal dari instansi atau yayasan yang lain. Selain itu hibah memiliki
konsekuensi pertanggungjawaban berupa laporan terkait dengan penerimaan dan
realisasi hibah tersebut. (c) Hibah wasiat adalah bantuan yang diberikan seseorang
atau instansi kepada yayasan karena wasiat dari seseorang yang telah meninggal
sebelumnya. Bantuan ini diberikan dengan harapan yayasan dapat berkembang

33
menjadi lebih besar lagi. (d) Perolehan lain yang tidak bertentangan dengan
anggaran dasar yayasan dan/atau peraturann perundang-undangan yang berlaku.
Struktur organisasi yayasan merupakan turunan dari fungsi, strategi, dan
tujuan organisasi. Menurut UU No. 16 Tahun 2001, yayasan mempunyai organ
yang terdiri dari pembina, pengurus, dan pengawas. Pembina adalah organ
yayasan yang mempunyai kewenangan yang tidak diserahkan kepada pengurus
atau pengawas oleh undang-undang tersebut atau anggaran dasar. Pihak yang
dapat diangkat menjadi anggota pembina adalah individu pendiri yayasan dan/atau
mereka yang, berdasarkan keputusan rapat anggota, dinilai mempunyai dedikasi
yang tinggi untuk mencapai maksud dan tujuan yayasan.
Anggota pembina tidak boleh merangkap sebagai anggota pengurus dan/atau
anggota pengawas. Pengurus adalah organ yayasan yang melaksanakan
kepengurusan yayasan, dan pihak yang dapat diangkat menjadi pengurus adalah
individu yang mampu melakukan perbuatan hukum. Pengurus tidak boleh
merangkap sebagai pembina atau pengawas. Pengurus yayasan diangkat oleh
pembina berdasarkan keputusan rapat pembina untuk jangka waktu selama 5
tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 kali masa jabatan. Susunan pengurus
sekurangkurangnya harus terdiri dari seorang ketua, seorang sekretaris, seorang
bendahara.
Pengawas adalah organ yayasan yang bertugas melakukan pengawasan serta
memberi nasihat kepada pengurus dalam menjalankan kegiatan yayasan. Yayasan
memiliki sekurangkurangnya 1 (satu) orang pengawas yang wewenang, tugas, dan
tanggung jawabnya diatur dalam anggaran dasar. Mereka yang dapat diangkat
menjadi pengawas adalah individu yang mampu melakukan perbuatan hukum.
Pengawas tidak boleh merangkap sebagai pembina atau pengurus. Pengawas
wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk
kepentingan yayasan.

K. Laporan keuangan organisasi nirbala menurut PSAK 45


Laporan keuangan organisasi nirlaba meliputi laporan posisi keuangan pada
akhir periode, laporan aktivitas, laporan arus kas untuk suatu periode pelaporan,
dan catatan atas laporan keuangan. Dengan adanya standar ini diharapkan laporan

34
keuangan organisasi nirlaba dapat lebih mudah dipahami, memiliki relevansi, dan
memiliki daya banding yang tinggi.
Penerapan PSAK No. 45 berlaku efektif untuk penyusunan dan penyajian
laporan keuangan mulai 1 Januari 2000. PSAK No. 45 berlaku bagi laporan
keuangan yang disajikan oleh organisasi nirlaba yang memenuhi karakteristik
sebagai berikut: (a) sumber daya entitas berasal dari para penyumbang yang tidak
mengharapkan pembayaran kembali atau manfaat ekonomi yang sebanding
dengan jumlah sumber daya yang diberikan. (b) menghasilkan barang dan/atau
jasa tanpa bertujuan memupuk laba, dan kalau suatu entitas menghasilkan laba,
maka jumlahnya tidak pernah dibagikan kepada para pendiri atau pemilik entitas
tersebut. (c) Tidak ada kepemilikan seperti lazimnya pada organisasi bisnis, dalam
arti bahwa kepemilikan dalam organisasi nirlaba tidak dapat dijual, dialihkan, atau
ditebus kembali, atau kepemilikan tersebut tidak mencerminkan proporsi
pembagian sumber daya entitas pada saat likuidasi atau pembubaran entitas.
Tujuan laporan posisi keuangan adalah untuk menyediakan informasi
mengenai aktiva, kewajiban, dan aktiva bersih dan informasi mengenai hubungan
di antara unsur-unsur tersebut pada waktu tertentu. Informasi dalam laporan posisi
keuangan yang digunakan bersama pengungkapan dan informasi dalam laporan
keuangan lainnya, dapat membantu para penyumbang, anggota organisasi,
kreditur dan pihak-pihak lain untuk menilai: (a) kemampuan organisasi untuk
memberikan jasa secara berkelanjutan dan (b) likuiditas, fleksibilitas keuangan,
kemampuan untuk memenuhi kewajibannya, dan kebutuhan pendanaan eksternal.
Tujuan utama laporan aktivitas adalah menyediakan informasi mengenai: (a)
Pengaruh transaksi dan peristiwa lain yang mengubah jumlah dan sifat aktiva
bersih. (b) Hubungan antar transaksi, dan peristiwa lain. (c) Bagaimana
penggungaan sumber daya dalam pelaksanaan berbagai program atau jasa.
Informasi dalam laporan aktivitas yang digunakan bersama dengan pengungkapan
informasi dalam laporan keuangan lainnya, dapat membantu para penyumbang,
anggota organisasi, kreditur dan pihak lainnya untuk: (a) Mengevaluasi kinerja
dalam suatu periode. (b) Menilai upaya, kemampuan, dan kesinambungan
organisasi dan memberikan jasa. (c) Menilai pelaksanaan tanggung jawab dan
kinerja manajer.

35
Tujuan utama laporan arus kas adalah menyajikan informasi mengenai
penerimaan dan pengeluaran kas dalam suatu periode. Laporan arus kas disajikan
sesuai dengan PSAK No. 2 tentang laporan arus kas dengan tambahan berikut ini:
(a) Aktivitas Pendanaan dimana Penerimaan kas dari penyumbang yang
penggunaannya dibatasi untuk jangka panjang, penerimaan kas dari sumbangan
dan penghasilan investasi yang penggunaannya dibatasi untuk pemerolehan,
pembangunan dan pemeliharaan aktiva tetap, atau peningkatan dana abadi
(edowment). Lalu bunga dan deviden yang dibatasi penggunaannya untuk jangka
panjang. (b) Pengungkapan informasi mengenai aktivitas investasi dan pendanaan
nonkas: sumbangan berupa bangunan atau aktiva investasi.
Menurut Wikipedia catatan tambahan dan informasi yang ditambahkan ke
akhir laporan keuangan untuk memberikan tambahan informasi kepada pembaca
dengan informasi lebih lanjut. Catatan atas laporan keuangan membantu
menjelaskan perhitungan item tertentu dalam laporan keuangan serta memberikan
penilaian yang lebih komprehensif dari kondisi keuangan suatu entitas. Catatan
atas laporan keuangan dapat mencakup informasi tentang hutang, kelangsungan
usaha piutang, kewajiban kontijensi, atau informasi kontekstual untuk
menjelaskan angka-angka keuangan (misalnya untuk menunjukkan gugatan).
Tujuan laporan keuangan adalah untuk menyediakan informasi keuangan
Yayasan Masjid Al Falah yang akan digunakan oleh para pengguna laporan
keuangan dalam mengambil keputusan yang sesuai dengan kepentingan pihak-
pihak tersebut. Penyusunan laporan keuangan disajikan berdasarkan harga
perolehan dengan standar akuntansi yang digunakan adalah Pernyataan Standar
Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 45 mengenai pelaporan keuangan organisasi
nirlaba. Periode akuntansi Yayasan Masjid Al Falah adalah sejak tanggal 1
Januari dan berakhir pada tanggal 31 Desember atau 1 tahun fiskal. Laporan
keuangan Yayasan Masjid Al Falah disusun setiap akhir tahun sesuai pada tahun
yang bersangkutan.
Dasar penyusunan dan penyajian laporan keuangan berdasarkan harga
perolehan. Laporan arus kas disusun dengan metode langsung. Setara kas
merupakan bentuk investasi yang jatuh temponya tidak lebih dari 3 bulan. Piutang
disajikan dalam laporan posisi keuangan dengan nilai bruto dan tidak dibentuk

36
penyisihan kerugian piutang terhadap piutang yang tidak dapat ditagih. Pada
tahun 2011 piutang disajikan berdasarkan nilai bersih yang dapat direalisasi. Aset
bersih merupakan selisih antara aset dengan liabilitas.
Pendapatan Masjid dan Lembaga Kursus diakui pada saat diterima (cash
basis) sedangkan pendapatan Lembaga Pendidikan Al Falah diakui berdasarkan
cash basis untuk penerimaan yang tidak melewati batas akhir pembayaran dan
accrual basis atas penerimaan yang tidak dilakukan pelunasan seluruhnya atau
menunggak. Sedangkan untuk beban dicatat berdasarkan accrual basis. Aset tetap
dinilai menurut harga perolehan kecuali bangunan masjid berdasarkan nilai
taksiran. Aset tetap disusutkan dengan menggunakan metode garis lurus (straight
line method) berdasarkan taksiran masa manfaat.
Gedung disusutkan selama 20 tahun, kendaraan disusutkan selama 10 tahun,
alat sekolah, kantor, dan rumah tangga disusutkan selama 5 tahun, dan alat corak
budaya disustkan selama 5 tahun. Berdasarkan PSAK No. 45 terdapat 4 laporan
keuangan yang harus disusun oleh organisasi nirlaba (dalam hal ini adalah
yayasan) yaitu laporan posisi keuangan atau neraca, laporan aktivitas, laporan arus
kas, dan catatan atas laporan keuangan. Dalam hal ini keempat laporan keuangan
tersebut telah disusun oleh yayasan sesuai dengan ketentuan yang diatur di dalam
PSAK No. 45.
Laporan posisi keuangan atau neraca disusun pada setiap akhir tahun dengan
menggunakan metode accrual basis. Laporan posisi keuangan disusun dengan
tujuan untuk menyediakan informasi mengenai aset, liabilitas, dan aset bersih dan
informasi mengenai hubungan diantara unsur-unsur tersebut pada waktu tertentu.
Yayasan Masjid Al Falah telah .mengklasifikasikan akun-akun tersebut sesuai
dengan tingkat likuiditasnya untuk aset, dan sesuai dengan tanggal jatuh
temponya untuk liabilitas. Laporan posisi keuangan diklasifikasikan menjadi 3
bagian yaitu:
1) Aset Aset lancar merupakan aset atau harta yang dimiliki yayasan untuk
digunakan dalam waktu yang perputarannya kurang dari atau satu tahun periode.
Kas dan setara kas adalah akun yang dimiliki yayasan dalam bentuk uang tunai
serta saldo rekening tabungan, giro, dan deposito yang digunakan untuk
membiayai kegiatan rutin yayasan. Kas dan setara kas adalah akun yang dimiliki

37
yayasan dalam bentuk uang tunai serta saldo rekening tabungan, giro, dan
deposito yang digunakan untuk membiayai kegiatan rutin yayasan. Pada bagian
akun aset lancar terdapat akun piutang.
Piutang yayasan terdiri dari piutang siswa, piutang karyawan, dan piutang
pihak ketiga. Baik laporan tahun 2009 hingga 2011, Yayasan Masjid Al Falah
mengakui kerugian piutang secara langsung. Jika akun kerugian piutang pada
piutang tak tertagih telah disusun oleh yayasan, maka laporan keuangan akan
semakin andal dan semakin Aset lain-lain pada laporan keuangan tahun 2009
terdapat akun aset dalam penyelesaian dan premi pensiun.
Akun aset dalam penyelesaian dan premi program pensiun merupakan bagian
dari akun aset lain-lain. Aset dalam penyelesaian merupakan aset atas
pembangunan tempat wudhu putri mushollah SMP yang terdiri dari: - Biaya
material Rp. 13.666.000,00 - Tenaga kerja langsung 6.335.000,00 Jumlah Rp.
20.001.000,00 Namun pada tahun 2010, aset ini telah selesai pembangunannya,
dan segala bentuk biaya-biaya yang dikeluarkan untuk pembangunan tersebut
telah direklasifikasi kepada akun aset tetap.
Untuk akun premi pensiun, merupakan pembayaran premi asuransi jiwa pada
PT. Asuransi Jiwa Manulife Indonesia. Lembaga pendidikan Al Falah
menyertakan pegawainya pada program max protection plan yang memenuhi
kesejahteraan karyawan pasca pensiun. Premi program pensiun yang pada tahun
sebelum-sebelumnya diklasifikasikan sebagai aset pada laporan posisi keuangan
yayasan, namun pada tahun 2010 telah dilakukan reklasifikasi ke beban karyawan
di laporan aktivitas. Sehingga atas pengaruh ini terjadi penurunan aset bersih
yayasan sebesar Rp. 356.789.800,00.
Pada tahun 2010 masih terdapat akun piutang lain-lain yang juga merupakan
saldo yang sama yaitu sebesar Rp. 11.489.000,00. Namun untuk tahun 2011,
jumlah tersebut diakumulasikan pada akumulasi penyisihan piutang lain-lain,
sehingga saldo piutang lain-lain menjadi Rp. 0. Pada tahun 2011 saldo untuk akun
aset lain-lain berjumlah Rp 0 karena akunakun yang tercantum pada tahun 2009
dan 2010 nilainya telah direklasifikasi. 2) Liabilitas Pada tahun 2011 akun
liabilitas bank, yang merupakan salah satu akun liabilitas tidak lancar jumlah
saldonya sebesar Rp. 0. Hal ini terjadi karena saldo pada tahun 2010 sebesar Rp.

38
603.085.616 telah diakumulasikan pada bagian yang akan jatuh tempo dalam
waktu satu tahun.
Untuk akun imbalan kerja sebelumnya tidak muncul pada laporan keuangan
tahun 2009 dan 2010. Akun imbalan kerja muncul pada laporan keuangan tahun
2011, menurut Bapak Cholis selaku karyawan bagian keuangan menjelaskan
bahwa akun ini muncul pada tahun 2011 saat akan diaudit. Menurut beliau akun
ini seperti pengganti untuk akun premi pensiun. Akan tetapi bagaimana
mekanisme perhitungannya yaysan juga tidak memahaminya, karena perhitungan
tersebut dilakukan oleh aktuaris.
Rincian untuk akun imbalan kerja adalah sebagai berikut: - Nilai kini
liabilitas imbalan kerja Per 1 Januari 2011 Rp 3.358.990.396,00 Beban periode
berjalan 592.284.957,00 - Nilai kini liabilitas imbalan kerja per 31 Desember
2011 Rp 3.951.275.353,00 Yayasan telah melakukan perhitungan berdasarkan UU
RI No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan sesuai dengan PSAK No.24
(revisi 2004) dimana perhitungan ini dilakukan oleh PT. Gema Mulia Inditama
dengan perhitungan sebagai berikut: Komponen Beban Biaya jasa kini Rp
335.695.303,00 Biaya bunga 256.589.654,00 Jumlah beban manfaat karyawan Rp
592.284.957,00 3) Aset bersih Aset bersih menurut PSAK No. 45 terdiri dari aset
bersih terikat, terikat temporer, dan terikat permanen. Namun dalam laporan posisi
keuangan yang disusun oleh Yayasan Masjid Al Falah belum dijumpai klasifikasi
akun yang sesuai. Aset bersih menurut PSAK No. 45 dapat berupa hibah atau
wakaf.
Menurut penjelasan Bapak Cholis selaku karyawan bagian keuangan di
Yayasan Masjid Al Falah menjelasakan bahwa yayasan pernah menerima hibah
tersebut dalam hibah, namun bagian inventaris yang biasanya mengelola aset
tersebut sudah terlalu tua sehingga tidak melakukan pencatatan maupun
perhitungan. Sehingga perhitungan aset bersih yang ada saat ini merupakan hasil
perkiraan. Perhitungan atas aset bersih milik Yayasan Masjid Al Falah diperoleh
dari jumlah:
 Aset bersih awal tahun
 Koreksi saldo awal aset bersih
 Kenaikan (penurunan) aset bersih

39
 Aset bersih setelah koreksi
Tujuan utama laporan aktivitas adalah menyediakan informasi mengenai
pengaruh transaksi dan peristiwa lain yang mengubah jumlah dan sifat aktiva
bersih, hubungan antar transaksi, dan peristiwa lain, serta bagaimana
penggungaan sumber daya dalam pelaksanaan berbagai program atau jasa.
Laporan aktivitas disusun untuk mengetahui besarnya jumlah selisih antara
pendapatan yang diterima Yayasan Masjid Al Falah dengan beban yang
dikeluarkan untuk seluruh kegiatan yang ada. Laporan aktivitas disusun pada
setiap akhir tahun dengan menggunakan metode cash basis untuk penerimaan atau
pendapatannya, sedangkan beban dicatat dengan menggunakan metode accrual
basis.
Akun pendapatan dan beban diklasifikasikan kedalam dua jenis yaitu
penerimaan atau pengeluaran tidak terikat, dan penerimaan atau pengeluaran
terikat temporer. Sedangkan untuk penerimaan atau pengeluaran terikat permanen
belum dijumpai pada akunakun tersebut. Berdasarkan laporan aktivitas yang telah
disusun oleh Yayasan Masjid Al Falah, bentuk laporan aktivitas yang sesuai
dengan PSAK No. 45 adalah laporan aktivitas bentuk B.
Jika melihat pada laporan aktivitas yang ada dalam PSAK No. 45 ada
beberapa perbedaan dalam pencatatannya. Di dalam PSAK No. 45 dijelaskan pada
sisi pendapatan, penghasilan, dan sumbangan lain-lain disebutkan mengenai
sumbangan serta jasa layanan. Sedangkan laporan aktivitas yang disusun oleh
Yayasan Masjid Al Falah tidak mengklasifikasikan sumbangan yang diterima
secara tersendiri, melainkan sumbangan tersebut diklasifikasikan sebagai
penerimaan. Sedangkan untuk jasa layanan sesungguhnya Yayasan Masjid Al
Falah telah menyebutkannya pada catatan atas laporan keuangan, namun tidak
disebutkan secara terperinci pada laporan aktivitasnya. Jasa layanan menurut
Yayasan Masjid Al Falah dapat diartikan sebagai program kegiatan yang
dilaksanakan secara rutin.
Untuk pencatatan beban yang telah dikeluarkan oleh Yayasan Masjid Al
Falah sudah dicatat sesuai dengan PSAK No. 45 dimana beban-beban tersebut
dicatat sesuai dengan program kegiatan yang ada di Yayasan Masjid Al Falah.
Pada sisi penerimaan atau pendapatan untuk akun lembaga pendidikan dan masjid

40
terdiri dari 2 jenis penerimaan yaitu penerimaan tidak terikat serta penerimaan
terikat temporer. Pada lembaga pendidikan untuk sisi penerimaan tidak terikat
terdiri atas penerimaan siswa, formulir pendaftaran PSB, dan penerimaan infaq.
Penerimaan-penerimaan tersebut diklasifikasikan pada penerimaan tidak terikat
karena penggunaannya tidak dibatasi oleh penyumbang.
Dalam hal ini penerimaan tersebut digunakan untuk membiayai
operasional rutin lembaga pendidikan Al Falah. Untuk penerimaan terikat
temporer lembaga pendidikan terdiri dari dana bos SMP dan SD. Penerimaan
tersebut termasuk kedalam penerimaan terikat temporer karena dana tersebut
harus digunakan untuk satu tahun masa ajaran. Pada penerimaan tidak terikat
masjid terdiri atas lembaga kursus, infaq, subsidi YDSF, poliklinik, pernikahan,
dan muslimah.
Penerimaan-penerimaan tersebut termasuk kedalam penerimaan tidak
terikat karena tidak ada pembatasan dalam penggunaannya. Dalam hal ini
penerimaan tersebut dapat digunakan untuk membiayai apa saja untuk kegiatan
rutin yang ada di masjid. Sedangkan untuk penerimaan terikat temporer masjid
adalah penerimaan dari zakat maal. Zakat maal termasuk kedalam penerimaan
terikat temporer karena dana tersebut tidak bias digunakan sembarangan. Dana
tersebut harus disalurkan kepada pihak yang membutuhkan atau kurang mampu
dan tidak boleh digunakan untuk membiayai kegiatan lainnya. Selain itu ada
ketentuan-ketentuan yang harus dipatuhi oleh penyumbang, misalnya saja
besarnya zakat maal yang dikeluarkan jumlahnya tidak sama.
Hal ini menyesuaikan dengan besarnya harta yang dimiliki oleh
penyumbang itu sendiri. Pada sisi pengeluaran atau beban yang dikeluarkan oleh
Yayasan Masjid Al Falah hampir keseluruhan dari pengeluaran tersebut
diklasifikasikan kedalam pengeluaran tidak terikat kecuali pengeluaran mustahiq
zakat. Pengeluaran tersebut termasuk kedalam pengeluaran terikat temporer
karena dalam menyalurkan dananya harus dikeluarkan kepada orang-orang yang
memang membutuhkan atau berhak (mustahiq).
Jumlah kenaikan aset baik sebelum maupun sesudah pajak merupakan
selisih dari perhitungan jumlah penerimaan atau pendapatan yang dikurangi
dengan pengeluaran atau beban. Aset bersih awal tahun merupakan saldo akhir

41
dari aset bersih pada tahun sebelumnya. Sedangkan untuk koreksi saldo awal aset
bersih untuk masing-masing tahun selalu berbeda. Misalnya saja untuk laporan
aktivitas tahun 2011 besarnya koreksi saldo awal aset bersih terjadi karena adanya
liabilitas imbalan kerja sebesar Rp 3.358.990.396 sehingga jumlah tersebut
mengurangi aset bersih yang dimiliki oleh Yayasan Masjid Al Falah.

42
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah hasil pengolahan data yang telah diperlihatkan pada uraian dan
tabel sebelumnya, maka dapat diambil simpulan sbb: Bahwa laporan keuangan
masih belum sepenuhnya sesuai dengan PSAK 45, dipandang masih sebagai
catatan keuangan, dan belum digunakan sebagai alat untuk mengukur pencapaian
atau kinerja gereja maupun pengurusnya.
Manfaat dan pemahaman tentang PSAK 45 masih sangat diperlukan
Pemahaman membuat laporan keuangan yang terdiri dari laporan posisi keuangan,
laporan aktivitas dan laporan arus kas. Disimpulkan bahwa pemahaman dalam
membuat laporan posisi keuangan dan laporan arus kas lebih besar dibandingkan
laporan aktivitas. Belum sepenuhnya sesuai dengan standard Akuntansi. Manfaat
laporan keuangan dipandang sangat perlu dalam semua bentuk seperti disebut
pada standard akuntansi PSAK 45 untuk organisasi nir-laba, yaitu laporan posisi
keuangan, laporan aktivitas dan laporan arus kas. Namun laporan posisi keuangan
dan laporan arus kas dipandang lebih perlu dibandingkan dari laporan aktivitas.
Berarti belum sepenuhnya sesuai dengan standard akuntansi.
Laporan keuangan berdasarkan PSAK 109 lebih cenderung bisa diterapkan
untuk masjid yang sederhana dibandingkan dengan PSAK 45 karena laporan
keuangannya lebih bisa dipahami dan dimengerti.
Akun – akun yang terdapat dalam laporan keuangan pada PSAK 45
cenderung lebih sulit diterapkan dan membutuhkan ta’mir masjid yang memiliki
basik akuntansi sehingga mampu menggolongkan akun–akun yang lebih sesuai
untuk digolongkan ke dalam akun– akun di PSAK 45. Laporan keuangan
berdasarkan PSAK 45 lebih terperinci. Untuk kriteria masjid yang memiliki
kegiatan yang cukup padat dan sumber pendanaan serta penyaluran dana yang
masukatau keluar cukup besar dan meningkat setiaptahunnya, sebaiknya
menggunakan PSAK 45.
Faktor – faktor yang menjadi penghambat penerapan PSAK 109 pada
masjid – masjid diantaranya :Fokus pencarian dana lebih diprioritaskan, kurang
efektifnya pengelolaan masjid, sumber daya manusia dibidang akuntansi kurang,

43
dan pencatatan laporan keuangan masjid belum berpedoman PSAK 109 atau
PSAK 45.
Berdasarakan pembahasan diatas seiring dengan perkembangan masjid
yang mengelola dana dari masyarakat, maka PSAK 45 jauh lebih komprensif
karena pelaporan lebih mencerminkan apa yang terjadi dilapangan karena masjid
tidak hanya mengelola dana zakat saja tetapi juga mengelola dana dari bantuan
maupun yang dikumpulkan dari masyarakat. Akan tetapi dalam pelaksanaan
penggunaan PSAK memang harus memperhatikan sisi kompleksitas dan tidak
menyulitkan takmir masjid, karena pengelola masjid masih banyak yang awam
dari akuntansi. Dan masjd juga bisa menggunakan PSAK 109 dalam melaporkan
penggunaan dana zakat sebagai bagian terpisah dari pelaporan dan diungkapkan
dalam Catatan atas Laporan keuangan.
Akuntabilitas pengelolaan zakat infak dan sedekah pada masjid-masjid di
Kota Binjai dapat dipertanggungjawabkan dalam hal kebijakan, mekanisme,
pengelolaan serta pelaporannya. Kekuatan akuntabilitas pengelolaan zakat dan
infak masjid di Kota binjai terletak pada layanan dan program, dimana masjid
memberikan kemudahan dan kepuasan kepada muzaki/munfik, serta melakukan
program penyaluran yang efektif dan efesien. Kelemahan akuntabilitas terletak
pada pelaporan yang masih sangat sederhana akibat dari keterbatasan sumber daya
manusia. Faktor-faktor yang mempengaruhi akuntabilitas adalah profesionalisme
dan kepercayaan (amanah)
Berdasarkan hasil pengujian yang telah dilakukan, hasil penelitian
menunjukkan bahwa kompetensi SDM dan sistem pengendalian internal
berpengaruh positif signifikan terhadap kualitas laporan keuangan masjid,
pemanfaatan teknologi informasi tidak berpengaruh signifikan terhadap kualitas
laporan keuangan masjid, sedangkan komitmen organisasi tidak dapat
memoderasi hubungan pengaruh kompetensi SDM, sistem pengendalian internal,
dan pemanfaatan teknologi informasi terhadap kualitas laporan keuangan masjid.
Penelitian ini hanya mengambil sampel 56 masjid di Kota Surakarta, maka
peneliti selanjutnya dapat menambah sampel penelitian dan memperluas wilayah
penelitian khususnya di kota yang telah diselenggarakan pelatihan akuntansi
masjid agar hasil penelitian yang didapat lebih representatif. Peneliti selanjutnya

44
dirasankan menambah variabel independen mengingat masih terdapat 70,3 persen
faktor lain diluar penelitian yang diduga mempengaruhi kualitas laporan keuangan
masjid.
Untuk komponen perencanaan keuangan, lebih dari separuh masjid yang
diteliti tidak memiliki rencana anggaran belanja tahunan. Untuk pengelolaan dana,
sumber penerimaan masjid masih didominasi dari infak Jumat, walaupun ada
sebagian kecil masjid yang memiliki usaha mandiri sehingga dapat menambah
jumlah penerimaan masjid. Dari sisi penggunaan dana, pembangunan dan
perawatan fisik masjid masih menjadi pengeluaran terbesar.
Meskipun begitu ada sekitar 15% masjid yang mengalokasikan dananya
untuk program pemberdayaan ekonomi. Pemasukan ratarata per bulan setiap
masjid mencapai Rp 4.808.602,00 dan pengeluaran Rp 3.258.462,00 dengan saldo
kas rata-rata Rp 45.866.365,00. Untuk pengendalian internal, lebih dari 90%
masjid sudah melakukan pembukuan dan pelaporan keuangan walaupun masih
dengan cara sederhana, namun masih belum rutin melakukan evaluasi anggaran
secara rutin. Ada beberapa temuan dari penelitian ini. Pertama, ada beberapa
masjid yang memiliki usaha mandiri sehingga dapat menambah penerimaan
masjid. Kedua, terdapat 27 dari 180 masjid yang menggunakan dananya untuk
program pemberdayaan ekonomi. Ketiga, potensi dana masjid yang mengendap di
seantero Kota Yogyakarta mencapai Rp22.657.984.310,00. Keempat, lebih
banyak masjid yang menyimpan dananya di bank konvensional dibanding di bank
syariah, yakni 43,3% dibanding 41,7%. Kelima, ada sekitar 3,8% masjid yang
diaudit oleh eksternal pengurus.
Salah satu saran yang dapat dijadikan masukan untuk seluruh pengurus
masjid adalah dengan menggandeng para profesional di bidang keuangan. Para
profesional ini diminta untuk mendampingi pengurus masjid untuk mengelola
keuangan masjid. Hal ini pernah dilakukan oleh komunitas epistĕmĕ di Malaysia.
Komunitas ini berisikan para profesional di bidang masing-masing kemudian
disebar ke berbagai masjid untuk menularkan ilmu dan keahlian mereka. Hasilnya
sangat signifikan dalam meningkatkan kualitas manajemen masjid yang dipilih
(Muda et al., 2015)

45
Dapat dismpulkan bahwa kegiatan pelatihan sistem informasi keuangan
masjid (Si Kang Mas) di Masjid Nurul Islam Kelurahan Seketeng Sumbawa
berjalan lancar. Diskusi aktif dan telah mampu meningkatkan pemahaman peserta
pelatihan terkait dengan ilmu akuntansi dan ilmu informatika. Kedua bidang
keilmuan tersebut dikoborasikan untuk menghasilkan satu perangkat teknologi
yang bermanfaat bagi masyarakat.
Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan praktik manajemen keuangan
masjid di Kota Yogyakarta. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas,
dapat disimpulkan bahwa praktik manajemen keuangan masjid di Kota
Yogyakarta meliputi tiga komponen, yaitu perencanaan anggaran, pengelolaan
dana, serta pengendalian internal. Untuk komponen perencanaan keuangan, lebih
dari separuh masjid yang diteliti tidak memiliki rencana anggaran belanja tahunan.
Untuk pengelolaan dana, sumber penerimaan masjid masih didominasi dari infak
Jumat, walaupun ada sebagian kecil masjid yang memiliki usaha mandiri sehingga
dapat menambah jumlah penerimaan masjid.
Dari sisi penggunaan dana, pembangunan dan perawatan fisik masjid masih
menjadi pengeluaran terbesar. Meskipun begitu ada sekitar 15% masjid yang
mengalokasikan dananya untuk program pemberdayaan ekonomi. Pemasukan
ratarata per bulan setiap masjid mencapai Rp 4.808.602,00 dan pengeluaran Rp
3.258.462,00 dengan saldo kas rata-rata Rp 45.866.365,00. Untuk pengendalian
internal, lebih dari 90% masjid sudah melakukan pembukuan dan pelaporan
keuangan walaupun masih dengan cara sederhana, namun masih belum rutin
melakukan evaluasi anggaran secara rutin.
Ada beberapa temuan dari penelitian ini. Pertama, ada beberapa masjid yang
memiliki usaha mandiri sehingga dapat menambah penerimaan masjid. Kedua,
terdapat 27 dari 180 masjid yang menggunakan dananya untuk program
pemberdayaan ekonomi. Ketiga, potensi dana masjid yang mengendap di seantero
Kota Yogyakarta mencapai Rp22.657.984.310,00. Keempat, lebih banyak masjid
yang menyimpan dananya di bank konvensional dibanding di bank syariah, yakni
43,3% dibanding 41,7%. Kelima, ada sekitar 3,8% masjid yang diaudit oleh
eksternal pengurus.

46
Salah satu saran yang dapat dijadikan masukan untuk seluruh pengurus
masjid adalah dengan menggandeng para profesional di bidang keuangan. Para
profesional ini diminta untuk mendampingi pengurus masjid untuk mengelola
keuangan masjid. Hal ini pernah dilakukan oleh komunitas epistĕmĕ di Malaysia.
Komunitas ini berisikan para profesional di bidang masing-masing kemudian
disebar ke berbagai masjid untuk menularkan ilmu dan keahlian mereka. Hasilnya
sangat signifikan dalam meningkatkan kualitas manajemen masjid yang
dipilih(Muda et al., 2015)

B. Saran
Apabila ada kalimat yang tidak berkenan pada tempatnya. Penulia
berharap kritik dan saran dari Bapak pembimbing dan rekan mahasiswa/i sekalian
yang bersifat membangun agar kami bisa membuat makalah yang lebih baik pada
waktu yang akan datang.

47
DAFTAR PUSTAKA
Adil, M. A. M., Mohd-Sanusi, Z., Jaafar, N. A., Khalid, M. M., & Aziz, A.
A. (2013). Financial Management Practices of Mosques in Malaysia. Global
Journal Al-Thaqafah, vol. 3. No. 1. Hal. 23–30.
Adnan, M. A. (2013). An Investigation of the Financial Management
Practices of the Mosques In The Special Region of Yogyakarta Province ,
Indonesia. In Sharia Economics Conference (pp. 118–130).
Hannover: Leibniz Universität Hannover. Agustana, G. W., Herawati, N.
T., & Atmaja, A. T. (2017). Analisis Sumber Dana Transparansidan Dan
Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan Pura Khayangan Tiga di Desa Pakraman
Bondalem Kecamatan Tejakula Kabupaten Buleleng. Jurusan Akuntansi Program
S1, Vol. 8, No. 2.
Ajahari. (2009). Dimensi-dimensi Pengembangan Fungsi Masjid di Kota
Palangka Raya. Jurnal Studi Agama Dan Masyarakat. Vol. 3. No. 1. Hal. 43–57.
Ali, N., Said, J., Omar, N., Rahman, R. A., & Othman, R. (2012).
Financial Reporting Disclosure of NPO. British Journal of Economic, Finance
and Management Sciences, 4(March), 16–30.
Andarsari, P. R. (2016). Laporan Keuangan Organisasi Nirlaba (Lembaga
Masjid). Ekonika: Jurnal Ekonomi Universitas Kediri, 1(2), 143–152. Biro Tata
Pemerintahan Setda DIY. (2016). Jumlah Penduduk Kota Yogyakarta Menurut
Jenjang Pendidikan Semester II 2016.
Retrieved November 6, 2017, from
http://www.kependudukan.jogjaprov .go.id/olah.php?module=statistik
Brigham, E. F., & Houston, J. F. (2017). Fundamentals of Financial
Management: Concise (9th ed.). Boston:
Cengage Learning. Chen, L. Y., Utaberta, N., Mohd Yunos, M. Y., Ismail,
N. A., Ismail, S., & Arifin, N. F. (2015). Evaluating the Potentials of Mosque as a
Tourist Attraction Place in Malaysian Urban Context. Research Journal of
Fisheries and Hydrobiology, 10(4), 62–68.
Femi, O. T., Babajidemichael, O., & Abosede, A. V. (2016). Comparative
Analyses of Strategic Financial Management Practices in Faithbased and

48
Community-interest Organizations. Journal of Financial Studies &
Research, 2016(October), 1–14.
Hentika, N. P., Suryadi, & Rozikin, M. (2009). Meningkatkan Fungsi
Masjid Melalui Reformasi Administrasi: Studi Pada Masjid Al Falah Surabaya.
Jurnal Administrasi Publik (JAP), 2(2), 305–311.
Hussin, M. Y. M., Muhammad, F., Razak, A. A., & Habidin, N. F. (2014).
Exploratory analysis on mosque fund in Perak. Jurnal Syariah, 22(1), 1–20.
Ichsan, S. (2014). DMI Bentuk Tim Survei Masjid (Mosque Board of Indonesia
Established Team For Mosque Survey).
Retrieved January 12, 2015, from http://www.republika.co.id/berita/ko
ran/khazanahkoran/14/10/01/ncrd0i33-dmibentuk-tim-survei-masjid Jazeel, M. I.
M. (2014).
Financial Management Practices of Mosques in Sri Lanka: An
Observation. In Proceedings of the 4th International Syimposium, SEUSL (pp.
544–548). Sri Lanka: South Eastern University of Sri Lanka. Kementerian
Agama. (2014). Data Masjid Se-Kota Yogyakarta Tahun 2014.
Retrieved May 19, 2015, from http://kemenag.go.id/file/file/InfoPe
nting/oqse 1379129591.pdf Marshall, M., Kirk, D. S., & Vines, J. (2016).
Accountable: Exploring the Inadequacies of Transparent Financial Practice in the
Non-Profit Sector. In CHI EA ’16 Proceedings of the 2016 CHI Conference
Extended Abstracts on Human Factors in Computing Systems. San Jose: ACM
Press.
Masdenia. (2015). Revitalisasi Fungsi Masjid Sesuai Zaman Rasulullah
melalui Implementasi PSAK 45: Studi Empiris Pada Masjid A Dan B. In
Conference in Business, Accounting, and Management (Vol. 2, pp. 243–253).
Semarang: Sultan Agung Islamic University.
Mohamed, I. S., Aziz, N. H. A., Masrek, M. N., & Daud, N. M. (2014).
Mosque Fund Management: Issues on Accountability and Internal Controls.
Procedia - Social and Behavioral Sciences, 145, 189–194.
Mohamed, I. S., Masrek, M. N., Mohd Daud, N., Arshad, R., & Omar, N.
(2015). Mosques Fund Management: A Study on Governance and Internal

49
Controls Practices. In The 9th International Conference on Management,
Marketing and Finances (pp. 45– 50).
Mohd Taib, M. Z., Ismail, Z., Ahmad, S., & Rasdi, T. (2016). Mosque
Development in Malaysia: Is it the product of evolution and social behaviour? In
EnvironmentBehaviour Proceedings Journal. Barcelona: e-IPH. Muda, R., Tahar,
E., Aziz, I. A., Musman, M., Samsudin, M., & Terengganu, U. (2015). Masjid
and Its Management : The Experiences of The Epistĕmĕ Community. In
Proceeding of the International Conference on Masjid, Zakat and Waqf (IMAF
2015) (pp. 1–8).
Mukrodi. (2014). Analisis Manajemen Masjid Dalam Optimalisasi Peran
Dan Fungsi Masjid. Kreatif, Jurnal Ilmiah Prodi Manajemen Universitas
Pamulang, 2(1), 82–96.
Nainggolan, P. (2012). Manajemen Keuangan Lembaga Nirlaba. Jakarta:
Yayasan Bina Integrasi Edukasi. Nasution, A. I., Dahlan, A. R. A., Husaini, M.
I., & Ahmed, M. H. (2015). Developing Islamic City through Network-of-
Mosque. Journal of Social and Development Sciences, 6(2), 37–45.
Nurlailah, Nurleni, & Madris. (2014). Akuntabilitas dan Keuangan Masjid
di Kecamatan Tubo Sendana Kabupaten Majene. Assets, 4(2), 206–217.
Ramli, A. M., Jalil, A., Hamdan, N., Haris, A., & Abd. Aziz, M. A.
(2009). Kerangka Pengurusan Ekonomi Dan Kewangan Masjid: Satu Analisa. In
Islamic Economics System (iECONS 2009) Conference (pp. 1–17). Kuala
Lumpur: Islamic Science University of Malaysia.
Ramli, A. M., Jalil, A., Hamdan, N., Haris, A., & Aziz, M. A. A. (2014).
Fatwa-Fatwa Berkaitan Pengurusan Ekonomi dan Kewangan Masjid.

50

Anda mungkin juga menyukai