Anda di halaman 1dari 4

Keterangan ahli

Mengenai alat bukti keterangan ahli berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang
Peradilan Tata Usaha Negara pasal 102 ayat (1) sebagai berikut:

“Keterangan ahli adalah pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah dalam persidangan
tentang hal apa yang ia ketahui menurut pengalaman dan pengetahuannya”.

Dalam penjelasan pasal 102 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 disebutkan bahwa
termasuk keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh juru taksir.

Selanjutnya, Pasal 103 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 menentukan:

“seorang ahli dalam persidangan harus memberi keterangan baik dengan surat maupun dengan
lisan, yang dikuatkan dengan sumpah atau janji menurut kebenaran sepanjang pengetahuannya
yang sebaik-baiknya”.

Ketentuan Pasal 181 RBg, jo Pasal 154 HIR ayat (2) dikatakan bahwa keterangan ahli dapat
berbentuk tertulis maupun lisan yang dikuatkan dengan sumpah.

Indroharto mengemukakan1, “… para ahli juga dapat dipanggil di muka sidang untuk memberikan
keterangan di bawah sumpah tentang pengetahuannya mengenai suatu fakta tertentu. Dalam
praktiknya nanti, cara ini akan kurang dilakukan kalau dibanding dengan keterangan ahli yang
diberikan secara tertulis kemudian diajukan oleh para pihak atau oleh Hakim sendiri.” Jadi menurut
Indroharto pada pemeriksaan sidang Pengadilan, keterangan ahli dapat juga diberikan dalam bentuk
tertulis.

Dengan demikian dalam hukum acara peradilan tata usaha negara, keterangan ahli dapat
diberikan secara lisan di pengadilan, maupun secara tertulis.

Sampai sejauh mana seseorang adalah ahli yang dapat memberikan keterangan ahli dimuka
pemeriksaan sidang Pengadilan adalah tergantung dari penilaian hakim, karena dalam hal
pembuktian yang berlaku, Hakim yang menetukan sendiri tentang kekuatan pembuktian dari suatu
alat bukti.2

Pasal 103 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 menentukan:

“Atas permintaan kedua belah pihak atau salah satu pihak atau karena jabatannya Hakim Ketua
Sidang dapat menunjuk seseorang atau beberapa orang ahli.”

Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 103 ayat (1 dan 2), atas permintaan kedua belah pihak atau
salah satu pihak atau karena jabatannya, Hakim ketua sidang dapat menunjuk seseorang atau
beberapa orang saksi ahli, dan ahli yang memberikan keterangan dalam persidangan harus

1
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta: 1993, hlm. 201
2
R. wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Grafika, Jakarta: Edisi Kedua, 2010, hlm. 181
memberikan keterangan, baik dengan surat maupun dengan lisan yang dikuatkan dengan sumpah
atau janji menurut kebenaran sepanjang pengetahuannya yang sebaik-baiknya.

Keterangan ahli diperlukan untuk menambah keyakinan Hakim mengenai suatu persoalan di
bidang tertentu, yang hanya bisa dijelaskan oleh ahlinya di bidang yang bersangkutan. Umpamanya
ahli di bidang perbankan, ahli di bidang Commodity International Coffe Sgreement, Werehousing
Ahli Balistik, dan keterangan juru taksir merupakan keterangan ahli.3

Pasal 102 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang menentukan:

“seseorang tidak boleh didengar sebagai saksi berdasarkan Pasal 88 tidak boleh memberikan
keterangan ahli.”

Semua ketentuan mengenai larangan menjadi saksi sebagaimana diatur dalam Pasal 88 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986, juga berlaku bagi seseorang yang akan memberikan pendapatnya
sebagai keterangan ahli.4

Keterangan Saksi

Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Pasal 104 menjelaskan bahwa

“Keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti apabila keterangan itu berkenaan dengan hal
yang dialami, dilihat, atau didengar oleh saksi sendiri.”

Dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 104 tersebut dapat diketahui bahwa saksi adalah orang
yang dapat memberikan keterangan tentang semua hal yang dialaminya, dilihat atau didengarnya
tentang sengketa yang diperiksa di pengadilan.

Menjadi saksi, apabila telah dipanggil secara patut, adalah suatu kewajiban hukum. Artinya, ada
akibat hukum atas pengabaian atau tidak dilakukannya kewajiban menjadi saksi tersebut. Saksi yang
dipanggil atas permintaan salah satu pihak atau Hakim karena jabatannya, meskipun telah dipanggil
dengan patut dan Hakim cukup mempunyai alasan untuk menyangka bahwa saksi sengaja tidak
datang, maka Hakim Ketua Sidang dapat memberi perintah agar saksi dibawa oleh polisi ke
persidangan. (Pasal 86 ayat (1 dan 2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986). Tetapi apabila
kehadirannya tersebut karena halangan yang dapat dibenarkan oleh hukum, maka Hakim dengan
dibantu oleh panitera datang ke tempat saksi untuk mengambil sumpah dan janjinya dan
mendengar saksi (Pasal 94 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986).

Menurut Pasal 88 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, yang tidak boleh didengar sebagai saksi
adalah :

a. Keluarga sedarah atau semenda menurut garis keturunan lurus ke atas atau kebawah
sampai derajat ke dua dari salah satu pihak yang bersengketa;
b. Isteri atau suami salah seorang pihak yang bersengketa meskipun sudah bercerai;

3
R. Soegijatno Tjakranegara, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta:
2008, hlm. 181
4
H. Rozali Abdullah, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2013, hlm. 86
c. Anak yang belum berusia tujuh belas tahun;
d. Orang sakit ingatan.

Selanjutnya Pasal 89 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 menentukan orang-orang yang dapat
meminta pengunduran diri dari kewajiban memberikan kesaksian, yaitu :

(1) Orang yang dapat minta pengunduran diri dari kewajiban untuk memberikan kesaksian
ialah:
a. Saudara laki-laki dan perempuan, ipar laki-laki dan perempuan salah satu pihak;
b. Setiap orang yang karena martabat, pekerjaan, atau jabatannya diwajibkan
merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan martabat, pekerjaan, atau
jabatannya itu.
(2) Ada atau tidak adanya dasar kewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf b, diserahkan kepada pertimbangan Hakim.

Saksi diwajibkan mengucapkan sumpah atau janji dan didengar dalam persidangan dengan
dihadiri oleh para pihak yang bersengketa. Saksi dapat didengar keterangannya tanpa kehadiran
para pihak yang bersengketa, sepanjang para pihak yang bersengketa telah dipanggil secara patut.

Sumpah dan janji tersebut wajib diucapkan menurut agama dan kepercayaannya. Saksi dipanggil
ke persidangan seorang demi seorang. Hakim terlebih dahulu menanyakan kepada saksi tentang
identitasnya dan apakah mempunyai hubungan dengan tergugat atau penggugat, sehingga menjadi
penghalang baginya untuk dapat menjadi saksi.

Apabila saksi tidak paham Bahasa Indonesia, maka Hakim Ketua Sidang dapat mengankat
seorang ahli Bahasa, sedangkan apabila saksi bisu, tuli, dan/atau tidak dapat menulis, maka Hakim
Ketua Sidang dapat mengangkat orang yang dapat bergaul dengan saksi sebagai juru Bahasa.
Sebelum melaksanakan tugasnya, juru Bahasa tersebut wajib mengucapkan sumpah atau janji
menurut agama atau kepercayaannya. Kalau saksi bisu tuli dapat menulis maka Hakim Ketua Sidang
dapat menyuruh menuliskan dan menyampaikan tulisan kepada saksi dengan perintah agar saksi
menuliskan jawabannya, kemudian segala pertanyaan dan jawaban harus dibacakan oleh Hakim
Ketua Sidang. 5

Apabila yang dipanggil sebagai saksi adalah pejabat Tata Usaha Negara, maka pejabat tersebut
tidak boleh mewakilkan kepada orang lain, ia wajib datang sendiri di persidangan.6

Dalam hukum acara perdata dikenal asas unus testis nullus tetis (seorang saksi bukan saksi) oleh
karenanya harus didukung alat bukti lainnya.7

5
Fajlurrahman Jurdi, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara: Edisi Revisi, Rangkang Education,
Yogyakarta: 2021, hlm 331-332
6
Anjas Yanasmoro Aji. 2019. Kajian Hukum SIstem Pembuktian Dalam Peradilan Tata Usaha Negara. Jurnal
Lingkungan & Pengembangan, VOL. 2 No. 2: hlm. 38
7
Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (Edisi Revisi), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta:
2014, hlm. 152-154
Referensi

Buku

Fajlurrahman Jurdi, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara: Edisi Revisi. Rangkang Education,
Yogyakarta: 2021.

H. Rozali Abdullah, Hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara. Raja Grafindo Persada, Jakarta:2003.

Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta:1993.

R Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Grafika, Jakarta: 2010.

R. Soegijatno Tjakranegara, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Di Indonesia. Sinar Grafika,
Jakarta: 2008.

Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara: Edisi Revisi. PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta: 2014.

Jurnal

Anjas Yanasmoro Aji. 2019. Kajian Hukum Sistem Pembuktian Dalam Peradilan Tata Usaha Negara.
Jurnal Lingkungan & Pengembangan, VOL. 2 No. 2.

https://www.ejournal.warmadewa.ac.id/index.php/wicaksana/article/download/962/677

Anda mungkin juga menyukai