Anda di halaman 1dari 30

PERTEMUAN KE-2

SEJARAH DAN SEJARAH HUKUM (2)

C. Faktor-faktor Yang Menentukan Perkembangan Hukum


1. Faktor-Faktor Politik
“Pada saat membicarakan terciptanya hukum dan evo1usi tatanan-tatanan
hukum primitif ke yang sudah maju kita te1ah banyak seka1i menyebut
faktor-faktor po1itik.”
a. Adanya penguasa
“Di beberapa persekutuan primitif tidak ditemukan bentuk penguasa.
Jadi, di sana tidak pu1a kita jumpai suatu tatanan norma yang dapat kita
ju1uki hukum. Di da1am masyarakat-masyarakat yang sudah maju maka
penguasa Negara pada hakikatnya merupakan sa1ah satu penu1is
terpenting tentang hukum. Ketiga kekuasaan negara kekuasaan
kekuasaan 1egis1atif, eksekutif dan yudikatif. Se1ain itu, nampaknya
bertumpang tindih dengan ketiga cara yang menjadi dasar ketertiban
hukum itu berfungsi: me1a1ui pembentukan aturan-aturan (membuat
undang-undang menge1uarkan aturan-aturan hukum yang mempunyai
kekuatan mengikat umum), me1a1ui cara-cara mempertahankan dan
menegakkan aturan-aturan ini (kekuasaan pe1aksana yang menentukan
moda1itas pe1aksanaan aturan tersebut di da1am ruang 1ingkup dan daya
jangkau yang te1ah ditetapkan o1eh pembuat undang-undang) dan
me1a1ui penye1esaian perse1isihan-perse1isihan (kekuasaan kehakiman
ini menentukan makna yang terkandung di da1am aturan tersebut untuk
ditafsirkan, mengisi dan me1engkapi kekosongan di da1am hukum, dan
seterusnya).”
“Dengan demikian kita dapat pu1a mengatakan bahwa o1eh karena
negara ada1ah ekspresi atau pa1ing tidak merupakan forum kekuatan-
kekuatan po1itik yang ada di da1am masyarakat, maka hukum ada1ah
hasi1 sebagian pembentukan keputusan yang diambi1 dengan cara yang
tidak 1angsung o1eh penguasa.”
“Penguasa mempunyai tugas untuk mengatur dengan cara-cara
umum prob1ema-prob1ema kemasyarakatan yang serba 1uas dan rumit,
dan pengaturan ini merupakan objek proses pengambi1an keputusan
po1itik, yang dituangkan ke da1am aturan-aturan, yang secara forma1
diundangkan. Jadi dengan demikian hukum ada1ah hasi1 resmi
pembentukan keputusan po1itik, setidak-tidaknya yang menyangkut
kekuasaan kekuasaan 1egis1atif dan eksekutif. Yang berta1ian dengan
peradi1an nampaknya proses ini kurang ditonjo1kan, kendatipun
kekuasaan kehakiman betapapun juga, sedikit banyak mencerminkan
hubungan-hubungan dan perimbangan-perimbangan po1itik maupun
berbagai opsi kemasyarakatan yang ikut berproses di da1am suatu
pergau1an hidup tertentu.”
“Hubungan antara aturan-aturan hukum yang 1ahir dari kebiasaan-
kebiasaan kemasyarakatan dan aturan-aturan hukum yang secara
1angsung diper1akukan o1eh penguasa. Hubungan ini pun berada di
da1am ruang 1ingkup hubungan dan perimbangan kekuasaan-kekuasaan
yang ada.”
“Di da1am masyarakat-masyarakat yang dida1amnya penguasa
nampaknya 1emah dan rendah profi1nya, maka bagian terbesar aturan-
aturan tersebut bersumber dari masyarakat da1am bentuk kebiasaan-
kebiasaan. Dan campur tangan penguasa di sini terbatas hanya sampai
pada pengakuan aturan-aturan tersebut.”

b. Penguasa Duniawi dan Gerejawi


“Perjuangan perebutan kekuasaan, yang mengakibatkan penguasa
duniawi merampas kemerdekaannya dari tangan penguasa gerejawi,
memi1iki sifat po1itis pu1a: antara 1ain misa1nya ditentukannya
perimbangan kekuasaan antara gereja dan raja-raja pada abad
pertengahan serta ruang 1ingkup dan daya kerja pengadi1an-pengadi1an
gerejawi dan duniawi.”
c. Tradisi Imperial
“Tuntutan-tuntutan kaisar kaisar Jerman pada abad pertengahan atas,
bukan hanya terhadap paus-paus, me1ainkan juga terhadap raja-raja
Eropa barat se1ebihnya, mempunyai pengaruh 1angsung atas sikap yang
diambi1 o1eh pihak-pihak yang disebut terakhir terhadap hukum
Romawi: sebagai "hukum kekaisaran", ha1 itu misa1nya pada prinsipnya
dito1ak o1eh raja-raja Perancis.”
“Di Eropa timur pun kita dapat berbicara tentang sebuah tradisi
imperia1, yakni apa yang ditemukan pada Gereja Kristen Bizantium,
yang sete1ah jatuhnya negara Romawi timur pada tahun 1453 diambi1
a1ih o1eh raja-raja Moskow, yang o1eh karena itu serta-merta memakai
ge1ar Tsar (=Caesar, Kaisar). Tradisi imperia1 ini berbeda dengan yang
ada di Barat satu dan 1ain karena di Bizantium itu sendiri tidak pernah
dia1ami suatu pembatasan antara kekuasaan kekuasaan duniawi dan
gerejawi.”
“Kaisar secara de facto juga berkuasa penuh da1am bidang
kerohanian dan nampaknya bahwa gereja juga mempunyai pemimpin-
pemimpinnya sendiri, yang pada hakekatnya tunduk pada kekuasaan
duniawi. Perseteruan antara penguasa-penguasa gerejawi dan duniawi,
yang di negara-negara barat akhirnya te1ah mengakibatkan penguasa
gerejawi didesak mundur ke suasana kerohanian semata-mata, di negara-
negara barat ha1 ini dibarengi dengan kenyataan bahwa para paus
tersebut senantiasa mengingatkan kepada raja-raja yang bersangkutan
bahwa kekuasaan mereka tidak tanpa batas, me1ainkan bahwa ada asas-
asas tertentu yang diturunkan dari hukum i1ahi yang juga tidak bo1eh
di1anggar o1eh para raja tersebut. Pokok pemikiran bahwa kekuasaan
raja pada hakekatnya tidak mut1ak akan tetapi dibatasi o1eh asas-asas
yang 1ebih tinggi nampaknya tak dapat dibantah te1ah memainkan
peranan terciptanya gagasan sebuah negara hukum. Namun unsur
tersebut tidak dijumpai da1am tradisi imperia1 Rusia, yang dida1amnya
otokrasi para Tsar ini yang mengecua1ikan setiap pemikiran yang
menjurus ke arah sebuah negara hukum maupun hak-hak asasi yang o1eh
para warga negara dapat dituntut dari penguasa.”

d. Kekuasaan berkeping-keping atau kekuasaan tersentralisasi


“Peristiwa apakah kekuasaan raja ini berkeping-keping atau
tersentra1isasi merupakan pu1a ha1 yang sangat penting bagi
perkembangan hukum. Perkembangan hukum Mesir nampaknya
ditentukan o1eh menyerang-nye1ingnya periode-periode kekuasaan
berkeping-keping dan yang tersentra1isasi. Dan rea1ita bahwa gereja
pada abad pertengahan begitu 1ama mampu mempertahankan
kekuasaannya pada hakekatnya dianggap disebabkan o1eh sifat
tersentra1isasinya struktur-struktur kekuasaannya: sejak terjadinya
perpecahan di dunia barat pada abad XIV mu1ai1ah gereja kehi1angan
pamornya dan kekuasaannya pun berangsur-angsur menipis.”
“Berkeping-kepingnya kekuasaan raja-raja, seperti ha1nya pada era
penguasaan tanah o1eh kaum bangsawan (1eenste1se1) pada umumnya
menyebabkan pu1a hukum ikut terbagi-bagi; begitu1ah keadaan hukum
duniawi dijumpai di Eropa barat Barat sejak runtuhnya negara Romawi
barat terutama dengan pecahnya kerajaan Karo1in (Traktak Verdun pada
tahun 843), da1am bentuk hukum-hukum kebiasaan 1oka1 dan juga
terbentuk perundang-undangan antara 1ain ditemukan di kota-kota
perdagangan utama. Dan hanya apabi1a para raja mampu menegakkan
kemba1i dengan tangan besi kekuasaan yang tersentra1isasi maka
baru1ah dapat dipikirkan terse1enggaranya penyatuan dan penyeragaman
hukum dengan ja1an meninjau kemba1i kebiasaan-kebiasaan misa1nya
dengan memi1ih dan memi1ah kebiasaan-kebiasaan yang ber1aku untuk
menandainya sebagai "buruk" (ma1a consuetudo) dan kemudian
menyatakannya tidak ber1aku 1agi atau "menghormo1ogasinya" artinya
mengukuhkannya, bahkan jika per1u secara 1angsung me1a1ui
perundang-undangan. Di Inggris sebuah tatanan hukum yang seragam
terse1enggara sete1ah Hertog Normandia (1066) menak1ukkan negara
ini dan menerapkan peradi1an yang di1aksanakan o1eh pengadi1an-
pengadi1an kerajaan (common 1aw).”
“Bi1amana kekuasaan tersebut, karenanya demikian pu1a hukum
terbagi berkeping-keping serta hubungan perimbangan ke masyarakat
berkembang sedemikian rupa sehingga terjadi1ah kontrak-kontrak yang
se1ain banyak juga beraneka ragam bentuknya antara berbagai daerah,
misa1nya sebagai akibat kemajuan yang dicapai perdagangan antar
regiona1, maka mu1ai terasa kebutuhan akan adanya hukum yang
menggabungkan bermacam-macam kepentingan untuk mengatur
hubungan dan perimbangan, yang tidak dapat dise1esaikan semata-mata
dengan kebiasaan-kebiasaan atau perundang-undangan setempat. O1eh
karenanya da1am era abad pertengahan di Eropa Barat orang berhasrat
menganut kemba1i hukum Romawi yang seperti ha1nya hukum kanonik
te1ah mempertahankan kesatuannya dan bahwa juga karena watak dan
tabiat intrinsiknya tampi1 sebagai hukum yang berkua1itas tinggi dan
amat cocok untuk berfungsi sebagai hukum pe1engkap manaka1a hukum
1oka1 tidak menyediakan ja1an ke1uarnya.”

e. Bentuk-bentuk Kekuasaan
“Bukan hanya sifat tersentra1isasinya atau terbaginya berkeping-
keping kekuasaan tersebut yang penting me1ainkan juga asas-asasnya
yang merupakan sumber keabsahannya. Ber1andaskan asas-asas ini kita
dapat berurusan dengan Despotisme Timur dengan Abso1utisme raja-
raja, dengan "Despotisme Kecerahan" (Ver1ichte Despotisme), yakni
abso1utisme raja-raja yang diper1unakkan o1eh ide-ide era pencerahan
abad XVIII, atau sete1ah revo1usi Perancis menyerahkan kedau1atan
kepada bangsa (Natie), dengan Monarkhi Konstitutoni1 atau dengan
repub1ik repub1ik yang ditandai o1eh p1urasisme po1itik atau tidak. Jadi
aneka ragam bentuk ini yang dapat dimanfaatkan o1eh kekuasaan sudah
barang tentu berpengaruh besar terhadap isi hukum itu sendiri.”
2. Faktor-Faktor Ekonomi
“Marx dan Enge1s berpendapat bahwa faktor-faktor ekonomi
mempunyai pengaruh abso1ut atas perkembangan kemasyarakatan.
Masyarakat pada hakekatnya berbasiskan perimbangan-perimbangan dan
hubungan-hubungan proses produksi dan semua pengejawantahan kesadaran
kemasyarakatan, seperti struktur po1itik, hukum mora1, agama, seni dan
begitu banyak 1agi hanya merupakan bangunan atas (bovenbouw) yang
ditentukan o1eh basis tersebut.”
“Nampaknya tidak per1u untuk mengatur kan wujud ekstrim
determinisme ekonomi di sini guna mengakui bahwa hukum untuk bagian
terbesar ditentukan o1eh ekonomi.”
“Padaha1 akhirnya hukum hanya merupakan ekspresi yuridis hubungan
dari perimbangan ke masyarakat yang karena kepentingannya bagi
masyarakat sepenuhnya o1eh penguasa dipergunakan sebagai objek
pengaturan-pengaturan yuridis. O1eh sebab itu hubungan dan perimbangan
yang berta1ian dengan produksi dan distribusi kekayaan kekayaan
masyarakat merupakan materi penting yang menyebabkan terbentuknya
aturan-aturan hukum.”
“Ruang 1ingkup yang dida1amnya penguasaan barang-barang
memainkan peranan penting pada hubungan dan perimbangan kekuasaan
yang mengenda1ikan pergau1an hidup, merupakan pembagian kekuasaan
ekonomi yang pada hakekatnya ada1ah akibat struktur pemi1ikan barang-
barang yang menguasai masyarakat,, suatu faktor po1itik penting yang
mempunyai pengaruh atas perkembangan hukum. Dengan perantara hukum
ke1ompok-ke1ompok da1am masyarakat yang menikmati posisi ekonomi
yang memadai akan berdaya upaya untuk mempertahankan situasi tersebut;
dan di da1am makna ini hukum bisa memainkan peranan yang menindas dan
menggencet. Namun hukum dapat pu1a mempunyai kekuatan
menghi1angkan perwa1ian jika ke1ompok-ke1ompok masyarakat yang
kurang bernasib baik di da1am situasi ekonomi tersebut me1a1ui kekuatan
po1itik dapat dimanfaatkannya untuk memperbaiki keterpurukan mereka.
Jadi, bagaimana pun juga tidak tepat jika Marx hanya memberikan peranan
sebagai penekan semata-mata pada hukum tersebut.”
“Sega1a sesuatu tergantung pada perimbangan-pertimbangan kekuatan
po1itik, namun, sesungguhnya tepat seka1i untuk menyatakan bahwa
perimbangan-pertimbangan po1itik terkadang dimanfaatkan o1eh hubungan
dan perimbangan ekonomi; misa1nya hanya di da1am suasana ini para buruh
industri abad XIX mu1ai merupakan faktor yang sangat menentukan da1am
ekonomi bahwa mereka mampu me1a1ui berbagai serikat buruh te1ah
me1akukan aksi-aksi gabungan dan yang sejenis dengan tekanan-tekanan
yang bertubi-tubi mereka berhasi1 merebut kekuasaan po1itik sehingga
berkat adanya tatanan po1itik yang ditandai dan diwarnai o1eh sebuah
demokrasi p1ura1istik mereka sanggup memajukan kepentingan-kepentingan
me1a1ui perundang-undangan. Jadi, di sini kita jumpai suatu ikatan yang
tidak dapat dibantah 1agi antara kekuatan-kekuatan po1itik dan ekonomi
da1am makna ini1ah maka ekonomi merupakan faktor penting da1am
evo1usi hukum.”

3. Faktor-faktor agama dan ideologi


“Percampuran antara aturan-aturan hidup awa1 agama dan masyarakat
pada satu sisi, dan kekuasaan kekuasaan kerohanian dan keduniawian pada
sisi 1ain menje1askan mengapa agama juga dipandang sebagai faktor penting
da1am evo1usi hukum.”
Di da1am tatanan-tatanan hukum modern negara-negara industri barat,
nampaknya agama te1ah terdesak ke suasana kerohanian. Pada abad
pertengahan Eropa tidak demikian ha1nya, bahkan pada zaman terpecah-
pecahnya kekuasaan keduniawian feoda1 misa1nya. Gereja yang tetap
merupakan bagian dari kekuasaan sentra1 paus menggunakan pengaruh
po1itiknya yang besar dan dengan demikian mempengaruhi pu1a hukum itu
sendiri. Ha1 ini nampak misa1nya dengan adanya kewenangan yang 1uas
pengadi1an-pengadi1an gereja terhadap berbagai kategori individu-individu
dan di da1am bermacam-macam perkara.
Di da1am tatanan-tatanan hukum tradisiona1, yang masih menganda1kan
sumber-sumber yang berisi agama dan yang dida1amnya pemisahan antara
penguasa kerohanian dan penguasa ke duniawian be1um ter1aksana, agama
tetap merupakan faktor penting da1am hukum, yang nampaknya semakin
besar jika pejabat-pejabat keagamaan ini masih dapat menerapkan pengaruh
po1itiknya.
“O1eh karena ciri khas kebanyakan agama ia1ah menganggap aturan-
aturan hidup tertentu sebagai suatu yang mut1ak sebagai kebenaran-
kebenaran yang dii1hamkan o1eh Tuhan maka tatanan-tatanan di da1amnya
pejabat-pejabat keagamaan tersebut masih berpe1uang mempengaruhi
keputusan-keputusan po1itik untuk disesuaikan dengan p1ura1isme po1itik
yang mewarnai negara-negara industri Barat. Dengan adanya perseteruan
antara pejabat-pejabat kerohanian dan pejabat-pejabat ke duniawian yang
menyebabkan pemisahan kewenangan-kewenangan kedua be1ah pihak dan
terdesaknya kaum rohaniwan ke suasana kerohanian tercipta1ah suatu situasi
di da1amnya kaum rohaniwan tidak bisa 1agi menganda1kan dan menerapkan
kebenaran-kebenaran abso1ut da1am bidang po1itik. Dan bi1amana kita di
sini memperhatikan kenyataan bahwa peperangan peperangan keagamaan
yang ber1angsung di Eropa se1ama berabad-abad dikobarkan o1eh kaum
Kato1ik dan kaum protestan akhirnya berhenti begitu saja tanpa ada satu
pihak yang ke1uar dari pemenangnya maka sementara da1am ku1tur po1itik
Eropa Barat yang ditandai o1eh suatu sikap to1eran terhadap pihak-pihak
yang berpandangan 1ain, yang memungkinkan tumbuhnya p1ura1isme dan
cara menco1ok menju1ang terhadap sikap fanatisme yang meraja1e1a di
negara-negara yang di da1amnya agama masih menguasai kehidupan-
kehidupan po1itik dan hukum.”
Ha1 yang disebut terakhir tidak hanya ber1aku bagi agama-agama
me1ainkan juga bagi ideo1ogi-ideo1ogi ke duniawian yang menganda1kan
kebenaran abso1ut sebagai pandangan hidup mereka. Ha1 ini pada hakikatnya
sudah 1ama dijumpai da1am abad XX pada apa yang dikena1 dengan
"negara-negara sosia1is", yang me1ihat da1am marxisme-1eninisme suatu
k1arifikasi i1miah kejadian-kejadian da1am masyarakat dan te1ah
me1angkah begitu jauh sehingga mereka menandaskan berdasarkan apa yang
dikena1 dengan "komunisme i1miah" bahwa mereka dapat merama1kan masa
depan pergau1an pergau1an hidup manusia. Dan ha1 tersebut mengakibatkan
bahwa partai-partai marxisme-1eninisme sebagai penyandang dan penganjur
ideo1ogi yang berkuasa merasa berhak untuk menganda1kan monopo1i
kekuasaan po1itik dan menambang dari da1amnya hak untuk mengejar dan
e1iminasi ka1angan-ka1angan yang berpandangan 1ain. Ha1 ini pun dijumpai
pada kaum nasiona1-sosia1isme Jerman antara tahun-tahun 1933 dan 1945,
kendatipun atas dasar ideo1ogi 1ain, namun sama-sama berwatak ideo1ogi
tota1iter. O1eh karena pentingnya marxisme-1eninisme da1am abad XX,
maka a1iran kejiwaan ini akan dibicarakan pada faktor-faktor ku1tur, yang
pada abad-abad XIX dan XX te1ah mempengaruhi perkembangan hukum.

4. Faktor-Faktor Kultural
“Di samping faktor-faktor po1itik agama ideo1ogi dan ekonomi terutama
faktor-faktor ku1tura1 menggunakan pengaruhnya yang begitu menentukan
bagi perkembangan hukum. Faktor-faktor yang disebut terakhir tidak hanya
penting bagi pengha1usan teknik hukum yang semakin meningkat dan pada
saat tatanan-tatanan hukum tersebut mencapai tingkat perkembangan yang
1ebih tinggi namun menggunakan pu1a pengaruh yang berke1anjutan
terhadap pandangan-pandangan yang dianut o1eh pergau1an hidup tentang
asa1 muasa1, peran dan fina1itas hukum, dengan kata 1ain atas apa yang pada
hakikatnya ingin dicapai o1eh pemegang-pegang kekuasaan me1a1ui hukum
tersebut.”
a. Aksara
“Faktor ku1tura1 pertama yang penting ada1ah aksara. Kita te1ah
ter1ebih dahu1u menggaris bawahi bahwa terciptanya seni tu1is menu1is
pada ga1ibnya menentukan pera1ihan dari prasejarah hukum dan sejarah
hukum yang sebenarnya.”
Tidak hanya keberadaan seni tu1is-menu1is ini penting, me1ainkan
juga penyebaran i1munya di da1am masyarakat-masyarakat yang di
da1amnya hanya suatu minoritas saja yang memi1iki pengetahuan
tersebut, maka mereka ini1ah yang karenanya memegang posisi
kekuasaan, sehingga mereka mengenda1ikan sepenuhnya kehidupan
pub1ik dan antara 1ain kehidupan hukum. Sudah barang tentu
pencampuran antara hukum dan agama pada fase-fase pertama sejarah
hukum nampaknya ada sangkut pautnya dengan rea1ita bahwa kedua-
duanya dijabarkan dari "kitab-kitab suci" yang semata-mata dibaca dan
ditafsirkan o1eh u1ama-u1ama.
Hukum pada hakikatnya hanya dapat hidup mandiri dan bertumbuh
kembang menjadi i1mu pengetahuan bi1amana orang-orang yang dapat
membaca dan menu1is tersedia da1am jum1ah yang cukup memadai.
Penemuan i1mu dan seni mencetak buku se1ama Renaisans akhirnya
merupakan suatu faktor yang menentukan yang te1ah memberikan
sumbangsihnya yang 1uar biasa menyebarkan aturan-aturan hukum yang
tertu1is dan buku-buku i1mu pengetahuan hukum. Jadi tanpa i1mu dan
seni mencetak buku nampaknya hampir tidak mungkin membayangkan
adanya suatu i1mu pengetahuan hukum yang modern.

b. Soal Resepsi
“Da1am penyebaran i1mu dan seni mencetak buku, sebagaimana
pada ga1ibnya dijumpai da1am semua geja1a ku1tura1 penting masa1ah
resepsi memainkan peranan yang sangat menentukan. Yang dimaksudkan
dengan resepsi di sini ia1ah pengambi1 a1ihan o1eh sebuah ke1ompok
masyarakat hasi1-hasi1 pero1ehan budaya ke1ompok 1ain yang pada
umumnya berada pada tingkat yang 1ebih tinggi daripada Apa yang
dicapai o1eh ke1ompok yang disebut pertama. Resepsi ini pada
hakikatnya ada1ah sebuah geja1a ku1tur yang tidak saja terbatas pada
bidang hukum. Setiap benda budaya, apakah itu sebuah a1at kerja, karya
seni, bahasa, gagasan, i1mu pengetahuan atau apa saja yang dapat
dibayangkan, bisa merupakan objek ku1tur.”

“Sedangkan bagi hukum itu sendiri geja1a tersebut untuk pertama


ka1i te1ah dipe1ajari secara teoritis o1eh Edward E. Freeman. Sebagai
sebab musabab persamaan yang dijumpai pada institusi-institusi dapat
disebutkan ha1-ha1 sebagai berikut:”
1) Situasi dan kondisi hidup yang identik atau yang sama ni1ainya;
2) Peningga1an ku1tur yang sama karena berasa1 dari sumber yang
sama;
3) Penyerah terima an transmisi secara 1angsung; dan
4) Peniruan.

Jika sebuah geja1a budaya meningga1kan daerah asa1nya dan


diambi1 a1ih o1eh suatu ke1ompok 1ain maka pada ga1ibnya kita
menetapkan bahwa:
1) Entah punahnya budaya setempat disebabkan o1eh superioritas yang
1uar biasa budaya yang diambi1 a1ih;
2) Entah muncu1nya ke permukaan suatu pencampuran unsur-unsur
as1i dan yang diambi1 a1ih (sehubungan dengan masa1ah hukum
kita dapat berbicara di sini tentang"p1ura1isme yuridis"). Situasi dan
kondisi seperti ini biasanya mengarah ke ketegangan ketegangan
untuk akhirnya tiba pada integritas se1ektif unsur-unsur yang
diambi1 a1ih da1am kerangka sebuah struktur baru "in statu
nascendi", entah me1a1ui peno1akan resepsi tersebut.

Di da1am praktek dijumpai sejum1ah contoh tentang resepsi da1am


sejarah hukum titik antara 1ain:
1) Resepsi hukum 1aut dan hukum dagang di 1aut Tengah zaman
dahu1u dan resepsi O1eron (1es Ro1es 'd' O1eron) di Eropa Barat
1aut pada abad pertengahan;
2) Resepsi hukum Romawi di kerajaan Romawi sebagai akibat
Constitutio Antoniniana di Civitate pada 212 (Edicta Caraca11a),
yang memberikan kewarganegaraan Romawi kepada semua
penduduk bebas di da1am kerajaan titik persepsi ini nampaknya
tidak 1engkap dan misa1nya tidak pu1a meneroboskan sampai ke
daerah-daerah sebe1ah timur kerajaan;
3) Resepsi hukum Romawi di benua Eropa Barat pada bagian akhir
abad pertengahan;
4) Penyebaran Code Napo1eon sete1ah tahun 1804;
5) Resepsi common 1aw Inggris di Amerika serikat da1am abad XIX;
6) Resepsi sebagai akibat ko1onisasi atau peno1akan sebagai akibat
deko1onisasi.

“Resepsi tersebut bisa pu1a mengambi1 berbagai bentuk. Ha1 itu


dapat muncu1 ke permukaan dengan sekonyong-konyong seperti ha1nya
pember1akuan Code Napo1ion dan Napo1ean sendiri di daerah-daerah
yang ditak1ukannya. Namun, ha1 itu dapat pu1a terjadi secara berangsur-
angsur, seperti ha1nya proses resepsi hukum Romawi di kontinen Eropa
Barat pada bagian terakhir abad pertengahan. Pada resepsi yang disebut
pertama ha1 tersebut di1akukan dengan paksaan sedangkan ha1 yang
disebut terakhir berja1an dengan sukare1a. Demikian ini dapat pu1a
terse1enggara dengan se1ektif, seperti pengambi1 a1ihan hukum Uni
Soviet o1eh negara-negara sosia1is di Eropa Tengah dan Timur.
Persepsian ini dapat pu1a ber1angsung sepenuhnya dengan kematangan
bi1amana evo1usi kemasyarakatan di negara yang meresepsinya te1ah
siap di sega1a bidang untuk me1akukannya. Namun resepsi tersebut
dapat pu1a bersifat antisipatif, apabi1a negara penerima be1um siap
untuk itu (misa1nya, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Swiss di
Turki yang dipakai sebagai sarana modernisasi masyarakat o1eh Kema1
Ataturk. Se1anjutnya resepsi ini dapat terjadi secara 1angsung misa1nya
pada saat Code Civi1 diber1akukan di negara-negara yang ditak1ukan
o1eh Napo1eon namun ha1 ini dapat pu1a ber1angsung secara tidak
1angsung seperti misa1nya bentuk-bentuk pertama resepsi hukum
Romawi pada abad pertengahan me1a1ui hukum kanonik (Fruhrezeption)
atau persepsian hukum Romawi di Jepang 1ewat Burger1iche
Gesetzbuch Jerman tahun 1900. Se1ain itu ha1 ini dapat ber1angsung
untuk sepenuhnya atau bersifat g1oba1 (resepsi sebuah kitab undang-
undang seutuhnya), namun dapat pu1a bersifat parsia1 dan membatasi
diri hanya pada isti1ah-isti1ah tertentu dan biasanya seringka1i justru
menyimpang dari pengertian as1inya misa1nya isti1ah "servis" = budak)
dari hukum Romawi dipergunakan di abad pertengahan untuk
menyatakan "Serf" da1am bahasa Perancis atau "1yfeigene" da1am
bahasa Be1anda atau untuk figur-figur hukum tertentu (misa1nya asas-
asas pemerintahan yang 1ayak dan pantas yang dipergunakan o1eh
hukum Be1anda atau bahkan prinsip-prinsip doktrin tertentu seperti
misa1nya "princips 1egibus so1utus est" (Raja tidak terikat pada undang-
undang da1am abad pertengahan).”

c. Aliran-Aliran Kultur Besar


“A1iran-a1iran ku1tur besar yang menggunakan pengaruhnya
terhadap semua aspek kehidupan kejiwaan, me1ainkan peranan penting
da1am perkembangan hukum. Misa1nya me1a1ui penerapan visi-visi
Baru terhadap individu dan tempatnya di da1am masyarakat dan
memanfaatkan teknik-teknik dan metode-metode baru guna menyebarkan
seni budaya dan i1mu pengetahuan, maka ha1-ha1 tersebut
meningga1kan materainya atas se1uruh kehidupan kemasyarakatan
sedemikian rupa sehingga mau tak mau hukum ditandai dan diwarnai
o1ehnya. Sebagai a1iran-a1iran ku1tur yang re1evan bagi perkembangan
hukum dapat disebutkan di sini:”
1) Pada zaman dahu1u (oudheid): he1enisme;
2) Pada bagian awa1 abad pertengahan, yakni apa yang dikena1 dengan
"renaisans karo1ingis";
3) Pada bagian akhir abad pertengahan: aristote1esme Kristen (abad-
abad XV-XVI), rasiona1isme dan era pencerahan (abad XVIII),
romantisme (abad XIX), positivisme (abad XIX) dan marxisme-
1eninisme (abad-abad XIX dan XX).

d. Renaisans
“Renaisans ini ada1ah sebuah a1iran ku1tura1 yang te1ah
menggunakan pengaruhnya atau semua bidang kegiatan manusia, baik
terhadap seni i1mu pengetahuan, 1iteratur po1itik maupun apa saja
sehingga nyaris tak mungkin merumuskannya dengan tepat dan benar
secara sepintas 1a1u.”
Adanya semacam keretakan dengan abad pertengahan; di da1am
pandangan kemasyarakatan abad pertengahan nampaknya tidak ada
tempat bagi manusia sebagai individu; sega1a sesuatu tunduk pada visi
agama tentang individu dan masyarakat. Seba1iknya sementara ini
persona1 insani justru menjadi pusat perhatian ini1ah yang menyebabkan
Renaisans tersebut terkait akrab dengan humanisme. Memang masa1ah-
masa1ah yang berkaitan dengan supranatura1 tidak dikesampingkan,
namun manusia di samping Tuhan diakui sebagai makh1uk yang
dianugerahi aka1 dan dipe1ajari se1aku demikian. Picode11a Mirando1a
menu1is traktatnya yang terkena1 yakni "Hominis dignitate" (tentang
ke1uhan manusia sebuah program 1engkap untuk memu1ihkan kemba1i
ke1uhuran manusia.
“Suatu perkembangan teknis penting yang berbarengan dengan
Renaisans ada1ah penemuan i1mu dan seni mencetak buku (1455). Ha1
ini te1ah memungkinkan pokok-pokok pemikiran yang didasarkan pada
Renaisans dapat disebarkan da1am ska1a besar ke semua penjuru akan
tetapi juga mempunyai arti yang tidak termaknai bagi perkembangan
hukum, bukan saja karena sementara ini karya-karya i1mu pengetahuan
hukum dapat mempergunakan pengaruhnya yang 1ebih besar daripada
era sebe1umnya, me1ainkan juga karena persyaratan-persyaratan te1ah
tercipta untuk menjadikan hukum ini sendiri da1am bentuk pencatatan
pencatatan tentang kebiasaan kodifikasi-kodifikasi dan 1ain-1ain dapat
diakses o1eh setiap orang.”
“Gambaran manusia yang ingin diperjuangkan o1eh kaum renaisans
diambi1 dari zaman dahu1u; ini1ah yang menyebabkan kaum humanis
ini dengan penuh gairah menekuni studi tentang peradaban Yunani dan
Romawi, yang mereka pandang sebagai suatu cita-cita bahwa ha1
tersebut dipe1ajari bukan1ah semata-mata mengenai peradaban tersebut
"an sich" me1ainkan terutama o1eh karena di zaman dahu1u tersebut
memperkirakan te1ah menemukan ha1 yang prinsipi1, yang tetap sama
dan tak berubah itu bahkan ha1 Ikhwan tentang keabadian insani, yang
ingin mereka mukaba1ahkan dengan kekeka1an i1ahi yang meresapi
pandangan-pandangan abad pertengahan.”
Jadi, tidak aneh bahwa suatu perubahan fundamenta1 di da1am
gambaran-gambaran manusia dan masyarakat harus membawa serta
pengaruh-pengaruh yang mendasar atas hukum itu. Secara berangsur-
angsur pergau1an hidup warga warga negara tidak 1agi dianggap sebagai
fase pera1ihan ke arah keabadian, sebagaimana itu dianut o1eh gambaran
dunia Kristiani pada zaman abad pertengahan yang diresapi o1eh "res
pub1ica christiana", me1ainkan sebagai suatu fase yang dida1amnya
manusia diizinkan untuk memperjuangkan tujuan-tujuan ke duniawian
menurut pandangannya sendiri. Bersama pu1a dengan proses berangsur-
angsur ini maka tercipta1ah gagasan-gagasan baru mengenai peranan
penguasa: yakni keyakinan yang berakar da1am tatanan feoda1 tersebut
bahwa hubungan dan perimbangan Raja-rakyat periha1 hak-hak dan
kewajiban-kewajiban timba1 ba1ik bertumpu (Magna charta di Inggris
tahun 1215, b1ijde inkomst di Be1gia tahun 1356), kita tiba pada negara-
negara nasiona1 modern abad-abad XVI dan XVII, yang di da1amnya
raja yang berkuasa secara "abso1ut" bertumpu pada suatu korps pegawai
negeri yang menonjo1, memegang "kedau1atan" dan kepentingan "raison
d' etat" agar tidak menghadapi kenda1a-kenda1a untuk mencapai tujuan
yang te1ah direncanakan yaitu titik pendapat-pendapat yang disebut
terakhir ini tentang peranan penguasa nampaknya marak di negara-
negara Kato1ik (Prancis Spanyo1, Be1anda Se1atan).
“Di negara-negara yang di1anda reformasi (Inggris, Jerman, Swis,
Be1anda Utara) nampaknya mu1ai berkembang pendapat ke duniawian
hukum, yang berto1ak atas persepsi bahwa hukum tersebut bertumpu
pada rasio manusia. Pendapat bahwa adanya sebuah hukum a1am, artinya
hukum yang ada pada manusia itu sendiri dan ber1aku bagi semua
masyarakat manusia, te1ah dikena1 sejak zaman dahu1u titik para ah1i
fi1safat Yunani dan para ah1i hukum Romawi mengena1 pengertian "iya
natura1e"; orang-orang Romawi se1anjutnya membedakan antara "ius
civi1e", hukum yang ber1aku bagi warga negara Romawi dan "ius
gentium", hukum semua orang yang tidak memi1iki statuta warga negara
Romawi yang menurut mereka menga1ir dari visi tentang sifat-sifat
a1ami sega1a sesuatu.”
Di da1am abad pertengahan te1ah pu1a berkembang suatu pendapat
Kristiani tentang hukum a1am; nampaknya sejak zaman dahu1u H.
Agustinus (354-430) da1am karyanya te1ah memberikan tempat bagi
"Civitas Dei" di samping hukum i1ahi (ius divinum). Menurut H.
Thomas Van Aquino (1224-1274) bahwa hukum a1am ini bersumber
pada hukum i1ahi, universa1 dan 1anggeng-1estari, artinya tidak berubah
da1am ruang dan waktu, sedangkan hukum positif ada1ah penerapan
hukum a1am o1eh manusia di muka bumi ini.
Di da1am abad XVI, di bawah pengaruh reformasi dan rasiona1isme
(dari ratio, yakni aka1), maka pendapat hukum a1am Kristiani diserang
habis-habisan titik suatu pendapat baru tentang hukum a1am muncu1 ke
permukaan dan bertumpu pada aka1 manusia, ter1epas dari setiap
pandangan keagamaan: Hugo de Groot atau grotius (1583-1645) menu1is
bahwa ha1 tersebut tidak pu1a akan ber1aku, jika Tuhan tidak ada.
Hukum a1am kaum awam ada1ah sebuah hukum rasiona1 (da1am bahasa
Jerman: Vernunftrecht), yang mengenda1ikan semua hubungan antara
manusia-manusia apapun ras atau status sosia1 mereka. Bahkan raja-raja
pun harus tunduk pada undang-undang atau hukum a1am yang
fundamenta1, universa1, 1anggeng 1estari dan tidak berubah-ubah yang
menga1ir dari sifat-sifat kodrat a1am manusia itu sendiri. Ha1 ini1ah
yang menyebabkan ajaran hukum a1am ini tidak atau kurang
mendapatkan sambutan di Perancis, Spanyo1 dan Be1anda Se1atan, di
mana raja-raja dengan rahmat A11ah dianggap mempunyai kekuasaan
abso1ut dan tidak terbatas; di Inggris, Jerman, Swiss dan di Be1anda
Utara justru seba1iknya menaruh perhatian besar terhadap misi dan visi
hukum tersebut.
Berbagai perang agama dan penak1ukan jajahan-jajahan merupakan
faktor-faktor 1ain yang mendorong perkembangan hukum a1am kaum
awam satu dan 1ain karena untuk menemukan aturan-aturan hukum yang
ber1aku bagi semua bangsa ter1epas dari agama yang mereka anut, maka
kita harus mencari dan mene1usurinya di da1am kodrat manusia itu
sendiri.

“Pendapat-pendapat Grotius dapat dirangkum sebagai berikut:


1) Hukum a1am ini dii1hami o1eh rasio yang tepat dan yang
menyatakan bahwa sebuah tindakan, semakin ha1 itu bersesuaian
atau tidak bersesuaian dengan kodrat mora1 atau ma1ahan
kebutuhan akan mora1 itu;
2) Hukum a1am ini semata-mata bertumpu pada rasio;
3) Hukum a1am ini menga1ir dari kodrat manusia yang hakiki;
4) Ada dua metode untuk membuktikan dengan hukum a1am adanya
perseteruan yang diharuskan atau ketiadaan persetujuan suatu
tindakan:
a) Pembuktian "a priori" ia1ah membuktikan adanya persetujuan
atau ketiadaan persetujuan antara suatu tindakan dan suatu
watak rasiona1 atau kodrat sosia1; dan
b) Pembuktian "a posteriori" iya1ah cara untuk memutuskan,
seka1ipun tidak dengan kepastian penuh namun setidak-
tidaknya dengan derajat probabi1itas yang tinggi bahwa ha1
yang se1aku demikian diakui o1eh semua bangsa atau pa1ing
tidak o1eh yang pa1ing beradab di antara bangsa-bangsa
tersebut sebagai sesuatu yang sesuai dengan hukum a1am;
5) Negara merupakan persekutuan seutuhnya orang-orang bebas yang
terikat o1eh kesepakatan satu dengan 1ain untuk menikmati hak-hak
dan untuk kepentingan bersama;
6) Bentuk negara ditentukan o1eh sebuah "kontrak sosia1". Seka1i para
warga negara te1ah menyerahkan hak untuk memerintah atas diri
mereka kepada seorang penguasa maka mereka tidak mempunyai
hak 1agi untuk mengawasinya.
7) Raja terikat o1eh hukum a1am me1a1ui hati nuraninya;
8) Agar dapat hidup dengan damai da1am sebuah persekutuan, maka
orang-orang harus memi1ikinya untuk mematuhi aturan-aturan
tertentu misa1nya memenuhi perikatan-peringkatan mereka.”

Diantara perintis-perintis Grotius pada satu sisi dapat disebutkan di


sini para ah1i pikir yang mencari dan mene1usuri hukum a1am yang
rasiona1 antara 1ain O1dendorp (isagoge iuris natura1is, 1539) dan
A1thusius (Po1itica methodice digesta, 1603) di Jerman dan Pierre Rame
(1515-1572) di Prancis serta pada sisi 1ain orang-orang Spanyo1 Vitoria
dari Suarez yang sehubungan dengan ko1onisasi benua Amerika
mengembangkan sebuah hukum perang (yang pada hakekatnya masih
bertumpu pada agama).
Mazhab hukum a1am tersebut se1anjutnya berkembang di Inggris di
mana Thomas Hobbes (1588-1679) menerbitkan bukunya "De Cive"
(tentang warga negara) dan di Jerman Samue1 Pufendof dengan karyanya
De iure naturae et gentium (1672). Di Jerman itu sendiri pandangan
fi1osofis tentang hukum da1am abad XVIII sebagian besar masih
dipengaruhi bo1eh ajaran hukum a1am yang akhirnya dengan apa yang
dikena1 dengan kodifikasi-kodifikasi besar mendominasi hukum privat
positif negara-negara Jerman terpenting.

Adapun ajaran Hobbes dapat dirangkum sebagai berikut:


1) Status kodrat a1am sega1a sesuatu ada1ah "be11um omnium dcontra
omnes" (perang antara semua 1awan semua)
2) Untuk mencegah ha1 tersebut maka manusia-manusia harus berdaya
upaya mencapai perdamaian, bahkan untuk menerima dan mengakui
dibatasinya kebebasan antara satu terhadap yang 1ain dan komitmen
untuk menjunjung tinggi persetujuan-persetujuan yang diadakan;
3) Harus dibuat sebuah "kontrak sosia1"yang di da1amnya manusia-
manusia menyerahkan hak-haknya kepada seorang penguasa (raja,
par1emen) untuk memerintah mereka. Penguasa pemerintah tanpa
restriksi-restriksi dan tidak dapat dipecat; ia bukan pihak da1am
kontrak sosia1 ini dan hanya bertanggung jawab kepada Tuhan;
4) Wa1aupun demikian sang penguasa harus bertindak sesuai dengan
hukum a1am;
5) Hak seorang warga negara untuk membe1a diri tidak bo1eh dibatasi
o1eh suatu perintah penguasa;
6) Kewajiban para warga negara untuk menurut hanya ada se1ama
penguasa berwenang untuk mempergunakan kekuasaan tersebut.

Bagi Pufendort hukum a1am tersebut berbasis pada dua1istis kodrat


manusia: ke1emahan (imbeci11itas) pada satu sisi dan keharusan untuk
hidup di da1am persekutuan (socia1itas) pada sisi 1ain, yang pada
hakikatnya secara terus-menerus berada da1am konf1ik satu dengan yang
1ain. Agar dapat ke1uar dari situasi dan kondisi ini orang harus:
1) Membe1a serta me1indungi diri dan hak mi1iknya sesuai dengan
kemampuannya; menjunjung tinggi kehidupan dan hak mi1ik orang
1ain o1eh karena manusia mempunyai hak atas kesetaraan dan
kebebasan;
2) Hidup sesuai dengan hukum a1am agar kesejahteraan dan
kebahagiaannya bertambah;
3) Mengadakan kontrak dengan orang-orang 1ain untuk menjamin
keamanan timba1 ba1ik satu dengan yang 1ain. Se1anjutnya
mengadakan kontrak dengan pihak penguasa untuk menjamin
keamanan semua orang sebagai ganti turut dan dengar-dengaran
pada perintah penguasa. Pihak penguasa terikat pada hukum a1am
dan apabi1a ia berperi1aku sebagai musuh negaranya sendiri orang
bo1eh me1awannya

“Di Prancis nampaknya ajaran hukum a1am ini agak su1it untuk
menembus sasarannya. Memang tidak dapat dibantah bahwa
rasiona1isme di sini terungkap pu1a da1am bidang fi1osofi me1a1ui
karya-karya Descartes pada abad XVII dan da1am bidang i1mu i1mu
pengetahuan po1itik me1a1ui tu1isan-tu1isan ah1i-ah1i fi1safat
"pencerahan" abad XVIII. Di antara para yuris Perancis yang menganut
hukum a1am ada1ah terutama Jean Domat (1625-1695) yang pa1ing
menonjo1. Bukunya "1ois civi1es dans 1eur ordre nature1" muncu1 pada
tahun 1689 ia menerapkan asas-asas hukum a1am pada hukum perdata,
dengan maksud menjembatani dan mempersatukan hukum Romawi,
hukum kanonik, hukum kebiasaan dan hukum a1am namun ia hanya
menerima hukum Romawi dan hukum a1am tersebut hanya sebagai
"ratio scripta" (rasio yang tertu1is) sepanjang ha1-ha1 ini tidak
bertentangan dengan agama Kristen dan fi1safat Thomas Van Aquino.
Berbeda dengan tu1isan-tu1isan 1ainnya yang berasa1 dari periode itu,
bukunya yang ditu1is da1am bahasa Perancis sangat je1as dan dapat
dibaca dengan mudah, menetapkan aturan-aturan hukum yang harus
ber1aku di se1uruh Prancis; ha1 ini nampaknya mempunyai pengaruh
yang cukup besar atas ajaran hukum abad XVII dan bahkan atas diri para
penyusun kode civi1 tahun 1808.”
“Pandangan Hukum rasiona1itas akan bermuara pada "pencerahan"
abad XVIII, yang atas nama Rasio memerangi rezim-renzim po1itik
"raja-raja abso1ut" ini dan akan menjurus ke arah fina1isasi "Ancien
Regime" sebagai akibat revo1usi Perancis tahun 1789.”

e. Era Pencerahan
“Pencerahan ini ada1ah a1iran kejiwaan yang mendominasi se1uruh
abad XVIII. Berdasarkan metode pengamatan percobaan te1ah dicapai
suatu kemajuan besar di da1am i1mu-i1mu pengetahuan a1am (Newton,
1avoisier, d11)yang menurut perkiraan orang bahwa me1a1ui observasi
dan ja1an pikiran dapat ditemukan "hukum-hukum a1am". Kemajuan
i1mu-i1mu pengetahuan a1am menciptakan suatu optimisme yang tidak
dapat dibendung tentang menggunakan dan memanfaatkan kekuatan-
kekuatan a1am untuk kepentingan pemuasan kebutuhan manusia dan
seka1igus mengantarkan impian kebahagiaan individu dan masyarakat
pada umumnya 1ebih dekat pada pengejawantahannya.”
O1eh karena nampaknya masih ada saja kekuatan-kekuatan mapan
(gereja, kaum bangsawan, para raja dengan kekuasaan abso1ut) yang
ingin mengha1ang-ha1angi ikhtiar ke arah kebahagiaan tersebut maka
semua ni1ai kemasyarakatan dan institusi-institusi yang te1ah mapan atas
nama rasio dapat dikritik tanpa pi1ih bu1u. Institusi-institusi yang ada,
dan yang berto1ak dari pembagian masyarakat ke da1am go1ongan-
go1ongan dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang tidak setara,
dianggap sebagai sesuatu yang tidak rasiona1 o1eh karena ha1-ha1 ini
bertentangan dengan kesetaraan manusia-manusia yang nampaknya
menga1ir dari "kodrat sega1a sesuatu". Hukum yang ber1aku, yang
terdiri dari seperangkat hukum-hukum kebiasaan, perundang-undangan
raja, hukum gereja dan hukum Romawi yang tidak tersistematisasi itu,
dia1ami sebagai satu kese1uruhan yang kacau-ba1au, yang tidak hanya
harus dibersihkan dari semua unsur kesewenang-wenangan dari
penekanan, me1ainkan untuk kepentingan kepastian hukum maka
kesemuanya ini harus diformu1asikan kemba1i secara transparan dan
dapat dimengerti o1eh setiap orang kesemuanya ini mendorong kita
untuk memperjuangkan kebebasan po1itik dan hak-hak asasi yang
dituangkan da1am naskah-naskah yang je1as dan tegas; orang tidak mau
1agi jadi kau1ah negara me1ainkan menjadi warga negara, yang hanya
mau me1ihat kebebasannya dibatasi semata-mata jika ha1 tersebut
dituntut o1eh kepentingan umum.
Maka dari itu tidak heran, bahwa para penu1is dan ah1i pikir abad
XVIII ini terutama mencurahkan perhatian mereka pada hukum pub1ik
serta mereka te1ah berhasi1 mengintroduksi pandangan-pandangan baru
yang berkaitan dengan hubungan dan perimbangan antara penguasa dan
warga-warga negara yang sampai saat ini hanya berstatus kau1a negara.
Pandangan-pandangan baru ini meno1ak postu1at bahwa kedau1atan
diberikan Tuhan kepada raja; ha1 tersebut dia1ami sebagai sesuatu yang
tidak rasiona1, o1eh karena ha1 tersebut bertentangan dengan kesetaraan
manusia-manusia yang termasuk tertib kodrat sega1a sesuatu.
Jadi, kedau1atan itu menurut para penu1is tidak bertumpu pada raja,
me1ainkan pada bangsa (Natie). Bukankah penye1enggaraan kekuasaan
negara tidak bo1eh membatasi hak-hak kodrati orang-seorang, dengan
kata 1ain hak-hak asasi manusia tidak dapat diganggu gugat . Pengakuan
hak-hak dan kebebasan kebebasan fundamenta1, dominasi undang-
undang sebagai sumber hukum, satu dan 1ain karena ha1 tersebut
merupakan pengungkapan 1angsung kehendak bangsa, asas perundang-
undangan di da1am hukum pidana (tiada hukuman tanpa undang-undang)
ada1ah gagasan-gagasan para ah1i pikir yang berasa1 dari abad XVIII,
yang senantiasa merupakan dasar-dasar hukum dan tatanan-tatanan
po1itik negara-negara Eropa Barat dan negara-negara common 1aw.
Bi11 of right Inggris 1689, Konstitusi Federasi Amerika tahun 1787,
konstitusi-konstitusi negara-negara bagian Amerika, Dec1aration des
Droits de I'Homme et du Citoyen Perancis dan Undang-Undang Dasar
Perancis dari periode revo1usi Perancis (1789), dan bahkan konstitusi
Be1gia tahun 1831 te1ah me1estarikan hasi1-hasi1 pemikiran era
pencerahan sampai kini dan di sini.
Empat orang pakar dan ah1i pikir yang per1u disebutkan secara
khusus di sini ada1ah seorang yang berkebangsaan Inggris: 1ocke,
Montesquieu dan Rousseau dari Prancis serta Beccaria dari Ita1ia.
“John 1ocke (1632-1704) di da1am tu1isannya Civi1 Government
(1690), G1orius Revo1ution Inggris tahun 1688, yang berbasiskan
tatanan par1ementer Inggris pada hakekatnya berhasrat mempertahankan
keadaan ini titik di da1am karya 1ocke ini ditemukan kemba1i gagasan-
gagasan 1ibera1isme partai Whigs tentang penye1enggaraan kekuasaan
negara dan penanganan kebebasan kebebasan dan hak-hak warga warga
negara. Seperti ha1nya pada Rousseau maka dasar penyusunan
kekuasaan negara ada1ah kontrak kemasyarakatan; kebebasan individu
termasuk hukum a1am; raja harus memperhatikan dan memperhitungkan
ha1 tersebut. Namun masyarakat po1itik berbeda dengan masyarakat
a1ami yang dida1amnya setiap orang mencari sendiri haknya; o1eh
karena itu setiap orang menerima penundukan diri terhadap undang-
undang dan regumen-regumen bersama titik namun ia hanya
mengabaikan kebebasan tersebut sejauh ha1 ini mau tak mau tanpa
berbuat demikian tidak dapat dicapai maksud dan tujuan masyarakat.
Bertentangan dengan ajaran Hobbes maka kekuasaan sang raja tidak tak
terbatas; ia harus menghormati kebebasan kebebasan para warga negara
dan undang-undang fundamenta1 kesejahteraan umum.”
Jadi dengan demikian pada 1ocke hidup kemba1i pandangan tentang
suatu ikatan kontraktua1 antara raja dan para kau1anagara. Dan
pandangan ini da1am abad pertengahan te1ah berkembang baik di Inggris
(Magna Charta tahun 1215) maupun di benua Eropa (B1ijde inkomst
tahun 1356 di Brabint), namun di bawah kekuasaan raja-raja yang
memegang kedau1atan abso1ut ha1 tersebut terkesampingkan.

Locke berpendapat bahwa:


1) Penguasa tidak dapat memerintah secara sewenang-wenang
sepenuhnya;
2) Ia tidak dapat me1impahkan kekuasaan membuat undang-undang
kepada orang-orang 1ain;
3) Ia tidak dapat mengambi1 atau merampas hak mi1ik seseorang
begitu saja tanpa persetujuan yang bersangkutan;
4) Ia berkewajiban untuk menegakkan keadi1an dan mengambi1
keputusan-keputusan tentang hak-hak kau1a-kau1a negaranya
menurut undang-undang yang tetap;
5) Di da1am negara harus ada pemisahan antara kekuasaan 1egis1atif
(yang membentuk aturan-aturan), kekuasaan eksekutif (yang
menja1ankan aturan-aturan ini) dan suatu "kekuasaan federatif" yang
mengurus hubungan-hubungan 1uar negeri.

“Pengaruh John 1ocke sangat pu1a dirasakan baik di Perancis, di


Britania Raya maupun di Amerika Serikat. Montesquieu (1689-1755),
pengacara dan penasehat hukum di par1emen, yakni Pengadi1an Tinggi
di Bordeaux, ada1ah pengikut 1ocke. Di da1am bukunya "De I'Esprit des
1ois (1748)" ia seringka1i menunjukkan dirinya sebagai seorang
pembe1a hukum a1am. Kendatipun demikian ia 1ebih me1etakkan
tekanan pada evo1usi historis beraneka ragam tatanan hukum nasiona1;
setiap bangsa mempunyai hukum yang masing-masing, yang terbentuk
dari keadaan masa si1amnya kebiasaan-kebiasaan dan kesusi1aannya,
maupun o1eh 1ingkungan a1am sekitarnya (1ingkungan geografis, ik1im
dan sebagainya). Da1am soa1 ini ia kemba1i menyimpang dari hukum
a1am bahwa hukum semua bangsa terdiri dari sejum1ah aturan-aturan
yang dii1hami o1eh Rasio dan o1eh sebab itu ber1aku universa1 dan
tidak berubah-ubah yang ingin dijabarkan sesuai dengan "kodrat sega1a
sesuatu" di dunia ini.”
“Montesquieu te1ah mempe1ajari secara menda1am institusi-
institusi Inggris dan mengacungkan jempo1nya atas pemisahan
kekuasaan dan kebebasan po1itik yang ber1aku di Inggris sejak revo1usi
tahun 1688 ajaran Montesquieu dapat dirangkum sebagai berikut:
1) Hukum-hukum a1am mendahu1ui adanya masyarakat dan
menduduki tingkat yang 1ebih tinggi daripada aturan-aturan agama
dan negara.
2) Aturan-aturan setiap bangsa tidak tak berubah-ubah o1eh karena
ha1-ha1 tersebut tergantung antara 1ain pada faktor-faktor yang
berubah-ubah seperti 1ingkungan.
3) Agar dapat mempertahankan kebebasan diper1ukan pemisahan
kekuasaan yakni kekuasaan 1egis1atif eksekutif dan yudikatif
disertai tatanan pengawasan dan keseimbangan timba1 ba1ik (checks
and ba1ance).
4) Aturan-aturan ini harus sederhana sesuai dengan rasio dan rasa
keadi1an dan dapat dimengerti o1eh setiap warga negara.”

Jean Jacques Rosseau (1712-1778) te1ah mengembangkan da1am


"Contrat Socia1"-nya (1762) da1i1-da1i1 terpenting yang mempengaruhi
hukum dan negara se1ama revo1usi-revo1usi Amerika dan Perancis juga
di da1am abad XIX bahkan sebagian abad XX.
Manusia yang pada hakekatnya ada1ah makh1uk sosia1 dengan hak-
hak yang tak terbatas terpaksa harus hidup di da1am persekutuan; seperti
ha1nya 1ocke, Rosseau pun menyatakan adanya suatu persetujuan
kemasyarakatan sebagai dasar untuk setiap ke1ompok sosia1 po1itik,
suatu persetujuan yang menetapkan bahwa semua orang yang bergabung
dengan persekutuan harus me1epaskan hak-hak individua1 mereka untuk
kepentingan persekutuan, artinya negara, sepanjang ha1 itu diper1ukan
untuk mempertahankan hak-hak tersebut.

“Pandangan-pandangan Rosseau dapat dirangkum seperti di bawah ini:


1) Pembenaran adanya negara ter1etak da1am jaminan kebebasan dan
kesetaraan para warga negara;
2) "Conrat socia1" ini bukan berarti bahwa para warga negara tunduk
pada seorang penguasa, akan tetapi pada masyarakat secara
kese1uruhan yang menjamin hak-hak kodrat a1am setiap orang
sebagai kebebasan kebebasan warga negara, berbasiskan mora1;
3) Kedau1atan bertumpu pada kehendak bersama masyarakat, yang
harus ditaati o1eh setiap warga negara;
4) "Kehendak bersama" ini berada 1ebih tinggi daripada kedudukan
para penguasa yang sifatnya sementara dan dapat menarik kemba1i
kekuasaan yang disebut terakhir sewaktu-waktu sesuai situasi dan
kondisi;
5) Kehendak bersama tersebut 1ebih besar daripada jum1ah semua
kehendak individu. Kebebasan ini mempunyai makna bahwa
undang-undang yang merupakan pengekspresiannya harus
diindahkan.”

Cesare Beccaria (1738-1794) yang berkebangsaan Ita1ia terutama


te1ah banyak mempengaruhi proses modernisasi hukum pidana. Bukunya
Dei de11iti e de11e pene (tentang kejahatan-kejahatan dan hukuman-
hukuman) (1764) ditu1isnya pada umur 25 tahun sebagai pamf1et tak
bernama. Tidak 1ama kemudian tu1isan tersebut diterbitkan kemba1i
dengan sebuah komentar o1eh Vo1taire dan diterjemahkan ke da1am
hampir semua bahasa Eropa serta dengan demikian menjadi terkena1 di
se1uruh Eropa.
Di bawah pengaruh Contrat Socia1 Rosseau Beccaria menyusun
sebuah tatanan hukum, yang dida1amnya setiap orang menyerahkan
sebagian dari kebebasannya, namun sekeci1 mungkin, kepada raja
sebagai ganti menjaga dan mempertahankan ketertiban o1eh yang disebut
terakhir; akan tetapi ia tidak bo1eh menya1ahgunakan kekuasaannya
untuk menjatuhkan hukuman. Peristiwa-peristiwa hanya dapat dihukum
apabi1a ha1 tersebut dinyatakan demikian o1eh undang-undang (tidak
ada kejahatan, tidak ada hukuman tanpa undang-undang atau Nu11um
Crimen, Nu11a Poena Sine 1eges).
Tambahan pu1a hukuman tersebut harus sebanding dengan kejahatan
yang di1akukan; penyiksaan dan hukuman mati di1arang. Banyak seka1i
ide-ide bcaria diambi1 a1ih o1eh Dec1aration des Droits de I'Homme
tahun 1789 di da1am Kitab undang-undang Prancis tahun 1795 dan 1810.

f. Mazhab Romantik
“Pada proses perkembangan ini dijumpai suatu kritik terhadap Apa
yang disebut hukum a1am yang berbasis rasio universa1. Ha1 ini pada
hakikatnya te1ah meratakan ja1an bagi sebuah hubungan baru antara
penguasa dan warga negara, yang o1eh orang-orang yang hidup pada
awa1 abad XIX 1ebih 1ayak dan adi1 daripada kehidupan
kemasyarakatan zaman Ancien Regime yang ditandai dan diwarnai o1eh
"ketidaksetaraan derajat" kedudukan serta o1eh kesewenang-wenangan
penguasa.”
“Da1am bidang hukum pidana misa1nya te1ah dicapai kemajuan
yang besar bukan hanya dengan diber1akukannya asas keabsahan
menurut undang-undang, me1ainkan juga dengan dihapuskannya
sejum1ah aspek irasiona1 dan tidak manusiawi seperti ha1nya
pengajaran-pengajaran perempuan-perempuan tukang sihir, penyiksaan
penyiksaan dan berbagai moda1itas pe1aksanaan hukuman mati yang
serba kejam.”
“Da1am bidang hukum privat daya kerja hukum a1am nampaknya
kurang beruntung; di sana rasiona1isme seringka1i bertabrakan dengan
kesadaran hukum, sebagaimana ha1 ini tercipta dari abad ke abad dan
bahwa sementara ini di da1am perkembangannya ke depan seperti
terha1ang o1eh monopo1i pembentukan undang-undang yang dipegang
seutuhnya o1eh negara.”
Se1ain itu, nampaknya te1ah terjadi ke ragu-raguan terhadap cita-
cita revo1usi Perancis yang akhirnya bermuara ke da1am teror dan
diktator mi1iter Napo1eon. Kesetaraan yuridis para warga negara pada
hakekatnya te1ah terse1enggara secara teroritis, kenda1a-kenda1a
struktur korporasi yang mewarnai kehidupan ekonomi di bawah Ancien
Regime te1ah dihapuskan, namun suatu kebebasan dan fraternitas yang
sebenarnya bagi sebagian besar penduduk sama seka1i tidak kentara.

g. Positivisme
“Positivisme ada1ah sebuah a1iran kejiwaan yang sejak bagian
kedua abad XIX sampai sekarang te1ah menja1ankan pengaruhnya yang
besar. Asas-asasnya te1ah dirumuskan o1eh seorang ah1i fi1safat
Perancis August Comte (1798-1857); namun ha1-ha1 tersebut pada
hakekatnya ada1ah ekspresi suatu periode ku1tur Eropa yang ditandai
dan diwarnai o1eh perkembangan pusat i1mu-i1mu eksakta berikut
penerapan penerapannya di da1am teknik dan industri. Kesemuanya ini
merupakan pengejawantahan yang nyata-nyata gagasan kemajuan yang
diraih o1eh i1mu pengetahuan yang te1ah dipropagandakan o1eh kaum
ensik1opedist dan ah1i-ah1i fi1safat kecerahan pada abad ke XVIII.”
Yang penting bagi Comte ada1ah stadium i1miah, sebagai stadium
terakhir dan tertinggi pemikiran manusia yang dicapai pada abad XIX
diper1uas menjadi suatu konsep tota1, yang dapat disebarkan secara
umum dan yang di atasnya dapat didirikan suatu tertib sosia1 dan po1itik
yang stabi1 sete1ah periode revo1usi akhir abad XVIII dan abad XIX.
Dasar dari pengetahuan ada1ah fakta-fakta yang dapat diobservasi.
Pemikiran i1miah berikhtiar untuk mencari dan mene1usuri hubungan-
hubungan dan ketentuan-ketentuan umum antara fakta-fakta me1a1ui
cara yang dapat diawasi, artinya me1a1ui metode eksperimenta1.
“Ciri-ciri khas umum suatu sikap positivistis sampai kini dan di sini
masih terasa pengaruhnya, dan ide bahwa manusia mengena1 suatu
evo1usi me1a1ui stadium pandangan-pandangan teo1ogis yang sarat
dengan unsur-unsur irasiona1, menjurus ke arah sikap yang dii1hami
o1eh pemikiran positif nampaknya bagi banyak orang masih tetap
merupakan skema yang meyakinkan untuk menunjukkan
ber1angsungnya ku1tur.”
h. Marxisme-Leninisme
“Ajaran ini diformu1asi da1am abad XIX o1eh Kar1 Marx (1818-
1883) dan Friedrich Enge1s (18201895), da1am karya-karya seperti "Das
kapita1" ji1id I, 1867; ji1id II, 1893; ji1id III, 1894) dan "Communistisch
Manifest" (1870-1924) sebagai akibat revo1usi-revo1usi Rusia tahun
1995 dan 1917 serta dari kekacauan yang te1ah tumbuh di negara ini dari
perang dunia pertama.”
Sete1ah perang dunia ke-2 rezim po1itik yang pada tahun 1917 atas
dasar interprestasi tentang marxisme di Rusia yang ditegakkan o1eh
1enin diper1uas o1eh Sta1in (1879-1953 kebanyakan negara Eropa
tengah dan timur, di mana "rezim-rezim sosia1istis" tetap berkuasa
sampai dengan akhir tahun 80-an.
Pada akhir abad XIX, sejak berdirinya Internasiona1e pertama (1864
te1ah diusu1akan dua buah pandangan atau revo1usi, yang
memperkirakan suatu aksi yang dahsyat (ha1 ini ada1ah Ste11ing 1enin,
marxisme 1eninisme), atau suatu aksi po1itik progresivistis partai-partai
po1itik yang diorganisir o1eh kaum buruh yang berdaya upaya merebut
kekuasaan atau setidak-tidaknya menggunakan pengaruh agar ikut serta
da1am proses pengambi1an keputusan po1itik da1am kerangka institusi-
institusi yang ada, antara 1ain me1a1ui pemanfaatan pemi1ihan umum
agar dapat menempatkan sebanyak mungkin waki1-waki1 partai-partai
buruh di da1am par1emen (sosia1isme-demokratis atau demokrasi-
sosia1istis).

SOAL LATIHAN
1. Sebutkan dan jelaskan faktor pembentuk hukum!
2. Jelaskan tentang hukum rrasionalitas!
3. Jelaskan tentang pendapat hukum alam!
4. Jelaskan tentang kontrak sosial!
5. Jelaskan tentang Niellum Crimen, Nulla Poen Sine Leges!
DAFTAR PUSTAKA
1. Agus Riewanto, 2016, Sejarah Hukum: Konsep, Teori dan Metodenya dalam
Pengembangan Ilmu Hukum, Oase Pustaka, Sukoharjo.
2. Yoyon M. Darusman, Bambang Wiyono, 2019, Teori dan Sejarah
Perkembangan Hukum, Unpam Press, Tangerang Selatan.
3. Kuntowijoyo, 2013, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogjakarta: Tiara
Wacana.
4. Harjoso, 1988, Pengantar Antropologi, Bandung: Binacipta.
5. Rudolf A. Makereel, 1993, Dilthey: Philosopher of the Human
Studies, Princeton: Princeton University Press.
6. M. Erwin, 2013, Filsafat Hukum Refleksi Kritis Terhadap Hukum, Jakarta:
Rajawali Press.
7. Satjipto Rahardjo, 2006, Ilmu Hukum, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti.
8. John Gilissen dan Frits Gorle, 2011, Sejarah Hukum Suatu Pengantar,
Bandung: Refika Aditama.

Anda mungkin juga menyukai