Sejarah Hukum Pertemuan 2
Sejarah Hukum Pertemuan 2
e. Bentuk-bentuk Kekuasaan
“Bukan hanya sifat tersentra1isasinya atau terbaginya berkeping-
keping kekuasaan tersebut yang penting me1ainkan juga asas-asasnya
yang merupakan sumber keabsahannya. Ber1andaskan asas-asas ini kita
dapat berurusan dengan Despotisme Timur dengan Abso1utisme raja-
raja, dengan "Despotisme Kecerahan" (Ver1ichte Despotisme), yakni
abso1utisme raja-raja yang diper1unakkan o1eh ide-ide era pencerahan
abad XVIII, atau sete1ah revo1usi Perancis menyerahkan kedau1atan
kepada bangsa (Natie), dengan Monarkhi Konstitutoni1 atau dengan
repub1ik repub1ik yang ditandai o1eh p1urasisme po1itik atau tidak. Jadi
aneka ragam bentuk ini yang dapat dimanfaatkan o1eh kekuasaan sudah
barang tentu berpengaruh besar terhadap isi hukum itu sendiri.”
2. Faktor-Faktor Ekonomi
“Marx dan Enge1s berpendapat bahwa faktor-faktor ekonomi
mempunyai pengaruh abso1ut atas perkembangan kemasyarakatan.
Masyarakat pada hakekatnya berbasiskan perimbangan-perimbangan dan
hubungan-hubungan proses produksi dan semua pengejawantahan kesadaran
kemasyarakatan, seperti struktur po1itik, hukum mora1, agama, seni dan
begitu banyak 1agi hanya merupakan bangunan atas (bovenbouw) yang
ditentukan o1eh basis tersebut.”
“Nampaknya tidak per1u untuk mengatur kan wujud ekstrim
determinisme ekonomi di sini guna mengakui bahwa hukum untuk bagian
terbesar ditentukan o1eh ekonomi.”
“Padaha1 akhirnya hukum hanya merupakan ekspresi yuridis hubungan
dari perimbangan ke masyarakat yang karena kepentingannya bagi
masyarakat sepenuhnya o1eh penguasa dipergunakan sebagai objek
pengaturan-pengaturan yuridis. O1eh sebab itu hubungan dan perimbangan
yang berta1ian dengan produksi dan distribusi kekayaan kekayaan
masyarakat merupakan materi penting yang menyebabkan terbentuknya
aturan-aturan hukum.”
“Ruang 1ingkup yang dida1amnya penguasaan barang-barang
memainkan peranan penting pada hubungan dan perimbangan kekuasaan
yang mengenda1ikan pergau1an hidup, merupakan pembagian kekuasaan
ekonomi yang pada hakekatnya ada1ah akibat struktur pemi1ikan barang-
barang yang menguasai masyarakat,, suatu faktor po1itik penting yang
mempunyai pengaruh atas perkembangan hukum. Dengan perantara hukum
ke1ompok-ke1ompok da1am masyarakat yang menikmati posisi ekonomi
yang memadai akan berdaya upaya untuk mempertahankan situasi tersebut;
dan di da1am makna ini hukum bisa memainkan peranan yang menindas dan
menggencet. Namun hukum dapat pu1a mempunyai kekuatan
menghi1angkan perwa1ian jika ke1ompok-ke1ompok masyarakat yang
kurang bernasib baik di da1am situasi ekonomi tersebut me1a1ui kekuatan
po1itik dapat dimanfaatkannya untuk memperbaiki keterpurukan mereka.
Jadi, bagaimana pun juga tidak tepat jika Marx hanya memberikan peranan
sebagai penekan semata-mata pada hukum tersebut.”
“Sega1a sesuatu tergantung pada perimbangan-pertimbangan kekuatan
po1itik, namun, sesungguhnya tepat seka1i untuk menyatakan bahwa
perimbangan-pertimbangan po1itik terkadang dimanfaatkan o1eh hubungan
dan perimbangan ekonomi; misa1nya hanya di da1am suasana ini para buruh
industri abad XIX mu1ai merupakan faktor yang sangat menentukan da1am
ekonomi bahwa mereka mampu me1a1ui berbagai serikat buruh te1ah
me1akukan aksi-aksi gabungan dan yang sejenis dengan tekanan-tekanan
yang bertubi-tubi mereka berhasi1 merebut kekuasaan po1itik sehingga
berkat adanya tatanan po1itik yang ditandai dan diwarnai o1eh sebuah
demokrasi p1ura1istik mereka sanggup memajukan kepentingan-kepentingan
me1a1ui perundang-undangan. Jadi, di sini kita jumpai suatu ikatan yang
tidak dapat dibantah 1agi antara kekuatan-kekuatan po1itik dan ekonomi
da1am makna ini1ah maka ekonomi merupakan faktor penting da1am
evo1usi hukum.”
4. Faktor-Faktor Kultural
“Di samping faktor-faktor po1itik agama ideo1ogi dan ekonomi terutama
faktor-faktor ku1tura1 menggunakan pengaruhnya yang begitu menentukan
bagi perkembangan hukum. Faktor-faktor yang disebut terakhir tidak hanya
penting bagi pengha1usan teknik hukum yang semakin meningkat dan pada
saat tatanan-tatanan hukum tersebut mencapai tingkat perkembangan yang
1ebih tinggi namun menggunakan pu1a pengaruh yang berke1anjutan
terhadap pandangan-pandangan yang dianut o1eh pergau1an hidup tentang
asa1 muasa1, peran dan fina1itas hukum, dengan kata 1ain atas apa yang pada
hakikatnya ingin dicapai o1eh pemegang-pegang kekuasaan me1a1ui hukum
tersebut.”
a. Aksara
“Faktor ku1tura1 pertama yang penting ada1ah aksara. Kita te1ah
ter1ebih dahu1u menggaris bawahi bahwa terciptanya seni tu1is menu1is
pada ga1ibnya menentukan pera1ihan dari prasejarah hukum dan sejarah
hukum yang sebenarnya.”
Tidak hanya keberadaan seni tu1is-menu1is ini penting, me1ainkan
juga penyebaran i1munya di da1am masyarakat-masyarakat yang di
da1amnya hanya suatu minoritas saja yang memi1iki pengetahuan
tersebut, maka mereka ini1ah yang karenanya memegang posisi
kekuasaan, sehingga mereka mengenda1ikan sepenuhnya kehidupan
pub1ik dan antara 1ain kehidupan hukum. Sudah barang tentu
pencampuran antara hukum dan agama pada fase-fase pertama sejarah
hukum nampaknya ada sangkut pautnya dengan rea1ita bahwa kedua-
duanya dijabarkan dari "kitab-kitab suci" yang semata-mata dibaca dan
ditafsirkan o1eh u1ama-u1ama.
Hukum pada hakikatnya hanya dapat hidup mandiri dan bertumbuh
kembang menjadi i1mu pengetahuan bi1amana orang-orang yang dapat
membaca dan menu1is tersedia da1am jum1ah yang cukup memadai.
Penemuan i1mu dan seni mencetak buku se1ama Renaisans akhirnya
merupakan suatu faktor yang menentukan yang te1ah memberikan
sumbangsihnya yang 1uar biasa menyebarkan aturan-aturan hukum yang
tertu1is dan buku-buku i1mu pengetahuan hukum. Jadi tanpa i1mu dan
seni mencetak buku nampaknya hampir tidak mungkin membayangkan
adanya suatu i1mu pengetahuan hukum yang modern.
b. Soal Resepsi
“Da1am penyebaran i1mu dan seni mencetak buku, sebagaimana
pada ga1ibnya dijumpai da1am semua geja1a ku1tura1 penting masa1ah
resepsi memainkan peranan yang sangat menentukan. Yang dimaksudkan
dengan resepsi di sini ia1ah pengambi1 a1ihan o1eh sebuah ke1ompok
masyarakat hasi1-hasi1 pero1ehan budaya ke1ompok 1ain yang pada
umumnya berada pada tingkat yang 1ebih tinggi daripada Apa yang
dicapai o1eh ke1ompok yang disebut pertama. Resepsi ini pada
hakikatnya ada1ah sebuah geja1a ku1tur yang tidak saja terbatas pada
bidang hukum. Setiap benda budaya, apakah itu sebuah a1at kerja, karya
seni, bahasa, gagasan, i1mu pengetahuan atau apa saja yang dapat
dibayangkan, bisa merupakan objek ku1tur.”
d. Renaisans
“Renaisans ini ada1ah sebuah a1iran ku1tura1 yang te1ah
menggunakan pengaruhnya atau semua bidang kegiatan manusia, baik
terhadap seni i1mu pengetahuan, 1iteratur po1itik maupun apa saja
sehingga nyaris tak mungkin merumuskannya dengan tepat dan benar
secara sepintas 1a1u.”
Adanya semacam keretakan dengan abad pertengahan; di da1am
pandangan kemasyarakatan abad pertengahan nampaknya tidak ada
tempat bagi manusia sebagai individu; sega1a sesuatu tunduk pada visi
agama tentang individu dan masyarakat. Seba1iknya sementara ini
persona1 insani justru menjadi pusat perhatian ini1ah yang menyebabkan
Renaisans tersebut terkait akrab dengan humanisme. Memang masa1ah-
masa1ah yang berkaitan dengan supranatura1 tidak dikesampingkan,
namun manusia di samping Tuhan diakui sebagai makh1uk yang
dianugerahi aka1 dan dipe1ajari se1aku demikian. Picode11a Mirando1a
menu1is traktatnya yang terkena1 yakni "Hominis dignitate" (tentang
ke1uhan manusia sebuah program 1engkap untuk memu1ihkan kemba1i
ke1uhuran manusia.
“Suatu perkembangan teknis penting yang berbarengan dengan
Renaisans ada1ah penemuan i1mu dan seni mencetak buku (1455). Ha1
ini te1ah memungkinkan pokok-pokok pemikiran yang didasarkan pada
Renaisans dapat disebarkan da1am ska1a besar ke semua penjuru akan
tetapi juga mempunyai arti yang tidak termaknai bagi perkembangan
hukum, bukan saja karena sementara ini karya-karya i1mu pengetahuan
hukum dapat mempergunakan pengaruhnya yang 1ebih besar daripada
era sebe1umnya, me1ainkan juga karena persyaratan-persyaratan te1ah
tercipta untuk menjadikan hukum ini sendiri da1am bentuk pencatatan
pencatatan tentang kebiasaan kodifikasi-kodifikasi dan 1ain-1ain dapat
diakses o1eh setiap orang.”
“Gambaran manusia yang ingin diperjuangkan o1eh kaum renaisans
diambi1 dari zaman dahu1u; ini1ah yang menyebabkan kaum humanis
ini dengan penuh gairah menekuni studi tentang peradaban Yunani dan
Romawi, yang mereka pandang sebagai suatu cita-cita bahwa ha1
tersebut dipe1ajari bukan1ah semata-mata mengenai peradaban tersebut
"an sich" me1ainkan terutama o1eh karena di zaman dahu1u tersebut
memperkirakan te1ah menemukan ha1 yang prinsipi1, yang tetap sama
dan tak berubah itu bahkan ha1 Ikhwan tentang keabadian insani, yang
ingin mereka mukaba1ahkan dengan kekeka1an i1ahi yang meresapi
pandangan-pandangan abad pertengahan.”
Jadi, tidak aneh bahwa suatu perubahan fundamenta1 di da1am
gambaran-gambaran manusia dan masyarakat harus membawa serta
pengaruh-pengaruh yang mendasar atas hukum itu. Secara berangsur-
angsur pergau1an hidup warga warga negara tidak 1agi dianggap sebagai
fase pera1ihan ke arah keabadian, sebagaimana itu dianut o1eh gambaran
dunia Kristiani pada zaman abad pertengahan yang diresapi o1eh "res
pub1ica christiana", me1ainkan sebagai suatu fase yang dida1amnya
manusia diizinkan untuk memperjuangkan tujuan-tujuan ke duniawian
menurut pandangannya sendiri. Bersama pu1a dengan proses berangsur-
angsur ini maka tercipta1ah gagasan-gagasan baru mengenai peranan
penguasa: yakni keyakinan yang berakar da1am tatanan feoda1 tersebut
bahwa hubungan dan perimbangan Raja-rakyat periha1 hak-hak dan
kewajiban-kewajiban timba1 ba1ik bertumpu (Magna charta di Inggris
tahun 1215, b1ijde inkomst di Be1gia tahun 1356), kita tiba pada negara-
negara nasiona1 modern abad-abad XVI dan XVII, yang di da1amnya
raja yang berkuasa secara "abso1ut" bertumpu pada suatu korps pegawai
negeri yang menonjo1, memegang "kedau1atan" dan kepentingan "raison
d' etat" agar tidak menghadapi kenda1a-kenda1a untuk mencapai tujuan
yang te1ah direncanakan yaitu titik pendapat-pendapat yang disebut
terakhir ini tentang peranan penguasa nampaknya marak di negara-
negara Kato1ik (Prancis Spanyo1, Be1anda Se1atan).
“Di negara-negara yang di1anda reformasi (Inggris, Jerman, Swis,
Be1anda Utara) nampaknya mu1ai berkembang pendapat ke duniawian
hukum, yang berto1ak atas persepsi bahwa hukum tersebut bertumpu
pada rasio manusia. Pendapat bahwa adanya sebuah hukum a1am, artinya
hukum yang ada pada manusia itu sendiri dan ber1aku bagi semua
masyarakat manusia, te1ah dikena1 sejak zaman dahu1u titik para ah1i
fi1safat Yunani dan para ah1i hukum Romawi mengena1 pengertian "iya
natura1e"; orang-orang Romawi se1anjutnya membedakan antara "ius
civi1e", hukum yang ber1aku bagi warga negara Romawi dan "ius
gentium", hukum semua orang yang tidak memi1iki statuta warga negara
Romawi yang menurut mereka menga1ir dari visi tentang sifat-sifat
a1ami sega1a sesuatu.”
Di da1am abad pertengahan te1ah pu1a berkembang suatu pendapat
Kristiani tentang hukum a1am; nampaknya sejak zaman dahu1u H.
Agustinus (354-430) da1am karyanya te1ah memberikan tempat bagi
"Civitas Dei" di samping hukum i1ahi (ius divinum). Menurut H.
Thomas Van Aquino (1224-1274) bahwa hukum a1am ini bersumber
pada hukum i1ahi, universa1 dan 1anggeng-1estari, artinya tidak berubah
da1am ruang dan waktu, sedangkan hukum positif ada1ah penerapan
hukum a1am o1eh manusia di muka bumi ini.
Di da1am abad XVI, di bawah pengaruh reformasi dan rasiona1isme
(dari ratio, yakni aka1), maka pendapat hukum a1am Kristiani diserang
habis-habisan titik suatu pendapat baru tentang hukum a1am muncu1 ke
permukaan dan bertumpu pada aka1 manusia, ter1epas dari setiap
pandangan keagamaan: Hugo de Groot atau grotius (1583-1645) menu1is
bahwa ha1 tersebut tidak pu1a akan ber1aku, jika Tuhan tidak ada.
Hukum a1am kaum awam ada1ah sebuah hukum rasiona1 (da1am bahasa
Jerman: Vernunftrecht), yang mengenda1ikan semua hubungan antara
manusia-manusia apapun ras atau status sosia1 mereka. Bahkan raja-raja
pun harus tunduk pada undang-undang atau hukum a1am yang
fundamenta1, universa1, 1anggeng 1estari dan tidak berubah-ubah yang
menga1ir dari sifat-sifat kodrat a1am manusia itu sendiri. Ha1 ini1ah
yang menyebabkan ajaran hukum a1am ini tidak atau kurang
mendapatkan sambutan di Perancis, Spanyo1 dan Be1anda Se1atan, di
mana raja-raja dengan rahmat A11ah dianggap mempunyai kekuasaan
abso1ut dan tidak terbatas; di Inggris, Jerman, Swiss dan di Be1anda
Utara justru seba1iknya menaruh perhatian besar terhadap misi dan visi
hukum tersebut.
Berbagai perang agama dan penak1ukan jajahan-jajahan merupakan
faktor-faktor 1ain yang mendorong perkembangan hukum a1am kaum
awam satu dan 1ain karena untuk menemukan aturan-aturan hukum yang
ber1aku bagi semua bangsa ter1epas dari agama yang mereka anut, maka
kita harus mencari dan mene1usurinya di da1am kodrat manusia itu
sendiri.
“Di Prancis nampaknya ajaran hukum a1am ini agak su1it untuk
menembus sasarannya. Memang tidak dapat dibantah bahwa
rasiona1isme di sini terungkap pu1a da1am bidang fi1osofi me1a1ui
karya-karya Descartes pada abad XVII dan da1am bidang i1mu i1mu
pengetahuan po1itik me1a1ui tu1isan-tu1isan ah1i-ah1i fi1safat
"pencerahan" abad XVIII. Di antara para yuris Perancis yang menganut
hukum a1am ada1ah terutama Jean Domat (1625-1695) yang pa1ing
menonjo1. Bukunya "1ois civi1es dans 1eur ordre nature1" muncu1 pada
tahun 1689 ia menerapkan asas-asas hukum a1am pada hukum perdata,
dengan maksud menjembatani dan mempersatukan hukum Romawi,
hukum kanonik, hukum kebiasaan dan hukum a1am namun ia hanya
menerima hukum Romawi dan hukum a1am tersebut hanya sebagai
"ratio scripta" (rasio yang tertu1is) sepanjang ha1-ha1 ini tidak
bertentangan dengan agama Kristen dan fi1safat Thomas Van Aquino.
Berbeda dengan tu1isan-tu1isan 1ainnya yang berasa1 dari periode itu,
bukunya yang ditu1is da1am bahasa Perancis sangat je1as dan dapat
dibaca dengan mudah, menetapkan aturan-aturan hukum yang harus
ber1aku di se1uruh Prancis; ha1 ini nampaknya mempunyai pengaruh
yang cukup besar atas ajaran hukum abad XVII dan bahkan atas diri para
penyusun kode civi1 tahun 1808.”
“Pandangan Hukum rasiona1itas akan bermuara pada "pencerahan"
abad XVIII, yang atas nama Rasio memerangi rezim-renzim po1itik
"raja-raja abso1ut" ini dan akan menjurus ke arah fina1isasi "Ancien
Regime" sebagai akibat revo1usi Perancis tahun 1789.”
e. Era Pencerahan
“Pencerahan ini ada1ah a1iran kejiwaan yang mendominasi se1uruh
abad XVIII. Berdasarkan metode pengamatan percobaan te1ah dicapai
suatu kemajuan besar di da1am i1mu-i1mu pengetahuan a1am (Newton,
1avoisier, d11)yang menurut perkiraan orang bahwa me1a1ui observasi
dan ja1an pikiran dapat ditemukan "hukum-hukum a1am". Kemajuan
i1mu-i1mu pengetahuan a1am menciptakan suatu optimisme yang tidak
dapat dibendung tentang menggunakan dan memanfaatkan kekuatan-
kekuatan a1am untuk kepentingan pemuasan kebutuhan manusia dan
seka1igus mengantarkan impian kebahagiaan individu dan masyarakat
pada umumnya 1ebih dekat pada pengejawantahannya.”
O1eh karena nampaknya masih ada saja kekuatan-kekuatan mapan
(gereja, kaum bangsawan, para raja dengan kekuasaan abso1ut) yang
ingin mengha1ang-ha1angi ikhtiar ke arah kebahagiaan tersebut maka
semua ni1ai kemasyarakatan dan institusi-institusi yang te1ah mapan atas
nama rasio dapat dikritik tanpa pi1ih bu1u. Institusi-institusi yang ada,
dan yang berto1ak dari pembagian masyarakat ke da1am go1ongan-
go1ongan dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang tidak setara,
dianggap sebagai sesuatu yang tidak rasiona1 o1eh karena ha1-ha1 ini
bertentangan dengan kesetaraan manusia-manusia yang nampaknya
menga1ir dari "kodrat sega1a sesuatu". Hukum yang ber1aku, yang
terdiri dari seperangkat hukum-hukum kebiasaan, perundang-undangan
raja, hukum gereja dan hukum Romawi yang tidak tersistematisasi itu,
dia1ami sebagai satu kese1uruhan yang kacau-ba1au, yang tidak hanya
harus dibersihkan dari semua unsur kesewenang-wenangan dari
penekanan, me1ainkan untuk kepentingan kepastian hukum maka
kesemuanya ini harus diformu1asikan kemba1i secara transparan dan
dapat dimengerti o1eh setiap orang kesemuanya ini mendorong kita
untuk memperjuangkan kebebasan po1itik dan hak-hak asasi yang
dituangkan da1am naskah-naskah yang je1as dan tegas; orang tidak mau
1agi jadi kau1ah negara me1ainkan menjadi warga negara, yang hanya
mau me1ihat kebebasannya dibatasi semata-mata jika ha1 tersebut
dituntut o1eh kepentingan umum.
Maka dari itu tidak heran, bahwa para penu1is dan ah1i pikir abad
XVIII ini terutama mencurahkan perhatian mereka pada hukum pub1ik
serta mereka te1ah berhasi1 mengintroduksi pandangan-pandangan baru
yang berkaitan dengan hubungan dan perimbangan antara penguasa dan
warga-warga negara yang sampai saat ini hanya berstatus kau1a negara.
Pandangan-pandangan baru ini meno1ak postu1at bahwa kedau1atan
diberikan Tuhan kepada raja; ha1 tersebut dia1ami sebagai sesuatu yang
tidak rasiona1, o1eh karena ha1 tersebut bertentangan dengan kesetaraan
manusia-manusia yang termasuk tertib kodrat sega1a sesuatu.
Jadi, kedau1atan itu menurut para penu1is tidak bertumpu pada raja,
me1ainkan pada bangsa (Natie). Bukankah penye1enggaraan kekuasaan
negara tidak bo1eh membatasi hak-hak kodrati orang-seorang, dengan
kata 1ain hak-hak asasi manusia tidak dapat diganggu gugat . Pengakuan
hak-hak dan kebebasan kebebasan fundamenta1, dominasi undang-
undang sebagai sumber hukum, satu dan 1ain karena ha1 tersebut
merupakan pengungkapan 1angsung kehendak bangsa, asas perundang-
undangan di da1am hukum pidana (tiada hukuman tanpa undang-undang)
ada1ah gagasan-gagasan para ah1i pikir yang berasa1 dari abad XVIII,
yang senantiasa merupakan dasar-dasar hukum dan tatanan-tatanan
po1itik negara-negara Eropa Barat dan negara-negara common 1aw.
Bi11 of right Inggris 1689, Konstitusi Federasi Amerika tahun 1787,
konstitusi-konstitusi negara-negara bagian Amerika, Dec1aration des
Droits de I'Homme et du Citoyen Perancis dan Undang-Undang Dasar
Perancis dari periode revo1usi Perancis (1789), dan bahkan konstitusi
Be1gia tahun 1831 te1ah me1estarikan hasi1-hasi1 pemikiran era
pencerahan sampai kini dan di sini.
Empat orang pakar dan ah1i pikir yang per1u disebutkan secara
khusus di sini ada1ah seorang yang berkebangsaan Inggris: 1ocke,
Montesquieu dan Rousseau dari Prancis serta Beccaria dari Ita1ia.
“John 1ocke (1632-1704) di da1am tu1isannya Civi1 Government
(1690), G1orius Revo1ution Inggris tahun 1688, yang berbasiskan
tatanan par1ementer Inggris pada hakekatnya berhasrat mempertahankan
keadaan ini titik di da1am karya 1ocke ini ditemukan kemba1i gagasan-
gagasan 1ibera1isme partai Whigs tentang penye1enggaraan kekuasaan
negara dan penanganan kebebasan kebebasan dan hak-hak warga warga
negara. Seperti ha1nya pada Rousseau maka dasar penyusunan
kekuasaan negara ada1ah kontrak kemasyarakatan; kebebasan individu
termasuk hukum a1am; raja harus memperhatikan dan memperhitungkan
ha1 tersebut. Namun masyarakat po1itik berbeda dengan masyarakat
a1ami yang dida1amnya setiap orang mencari sendiri haknya; o1eh
karena itu setiap orang menerima penundukan diri terhadap undang-
undang dan regumen-regumen bersama titik namun ia hanya
mengabaikan kebebasan tersebut sejauh ha1 ini mau tak mau tanpa
berbuat demikian tidak dapat dicapai maksud dan tujuan masyarakat.
Bertentangan dengan ajaran Hobbes maka kekuasaan sang raja tidak tak
terbatas; ia harus menghormati kebebasan kebebasan para warga negara
dan undang-undang fundamenta1 kesejahteraan umum.”
Jadi dengan demikian pada 1ocke hidup kemba1i pandangan tentang
suatu ikatan kontraktua1 antara raja dan para kau1anagara. Dan
pandangan ini da1am abad pertengahan te1ah berkembang baik di Inggris
(Magna Charta tahun 1215) maupun di benua Eropa (B1ijde inkomst
tahun 1356 di Brabint), namun di bawah kekuasaan raja-raja yang
memegang kedau1atan abso1ut ha1 tersebut terkesampingkan.
f. Mazhab Romantik
“Pada proses perkembangan ini dijumpai suatu kritik terhadap Apa
yang disebut hukum a1am yang berbasis rasio universa1. Ha1 ini pada
hakikatnya te1ah meratakan ja1an bagi sebuah hubungan baru antara
penguasa dan warga negara, yang o1eh orang-orang yang hidup pada
awa1 abad XIX 1ebih 1ayak dan adi1 daripada kehidupan
kemasyarakatan zaman Ancien Regime yang ditandai dan diwarnai o1eh
"ketidaksetaraan derajat" kedudukan serta o1eh kesewenang-wenangan
penguasa.”
“Da1am bidang hukum pidana misa1nya te1ah dicapai kemajuan
yang besar bukan hanya dengan diber1akukannya asas keabsahan
menurut undang-undang, me1ainkan juga dengan dihapuskannya
sejum1ah aspek irasiona1 dan tidak manusiawi seperti ha1nya
pengajaran-pengajaran perempuan-perempuan tukang sihir, penyiksaan
penyiksaan dan berbagai moda1itas pe1aksanaan hukuman mati yang
serba kejam.”
“Da1am bidang hukum privat daya kerja hukum a1am nampaknya
kurang beruntung; di sana rasiona1isme seringka1i bertabrakan dengan
kesadaran hukum, sebagaimana ha1 ini tercipta dari abad ke abad dan
bahwa sementara ini di da1am perkembangannya ke depan seperti
terha1ang o1eh monopo1i pembentukan undang-undang yang dipegang
seutuhnya o1eh negara.”
Se1ain itu, nampaknya te1ah terjadi ke ragu-raguan terhadap cita-
cita revo1usi Perancis yang akhirnya bermuara ke da1am teror dan
diktator mi1iter Napo1eon. Kesetaraan yuridis para warga negara pada
hakekatnya te1ah terse1enggara secara teroritis, kenda1a-kenda1a
struktur korporasi yang mewarnai kehidupan ekonomi di bawah Ancien
Regime te1ah dihapuskan, namun suatu kebebasan dan fraternitas yang
sebenarnya bagi sebagian besar penduduk sama seka1i tidak kentara.
g. Positivisme
“Positivisme ada1ah sebuah a1iran kejiwaan yang sejak bagian
kedua abad XIX sampai sekarang te1ah menja1ankan pengaruhnya yang
besar. Asas-asasnya te1ah dirumuskan o1eh seorang ah1i fi1safat
Perancis August Comte (1798-1857); namun ha1-ha1 tersebut pada
hakekatnya ada1ah ekspresi suatu periode ku1tur Eropa yang ditandai
dan diwarnai o1eh perkembangan pusat i1mu-i1mu eksakta berikut
penerapan penerapannya di da1am teknik dan industri. Kesemuanya ini
merupakan pengejawantahan yang nyata-nyata gagasan kemajuan yang
diraih o1eh i1mu pengetahuan yang te1ah dipropagandakan o1eh kaum
ensik1opedist dan ah1i-ah1i fi1safat kecerahan pada abad ke XVIII.”
Yang penting bagi Comte ada1ah stadium i1miah, sebagai stadium
terakhir dan tertinggi pemikiran manusia yang dicapai pada abad XIX
diper1uas menjadi suatu konsep tota1, yang dapat disebarkan secara
umum dan yang di atasnya dapat didirikan suatu tertib sosia1 dan po1itik
yang stabi1 sete1ah periode revo1usi akhir abad XVIII dan abad XIX.
Dasar dari pengetahuan ada1ah fakta-fakta yang dapat diobservasi.
Pemikiran i1miah berikhtiar untuk mencari dan mene1usuri hubungan-
hubungan dan ketentuan-ketentuan umum antara fakta-fakta me1a1ui
cara yang dapat diawasi, artinya me1a1ui metode eksperimenta1.
“Ciri-ciri khas umum suatu sikap positivistis sampai kini dan di sini
masih terasa pengaruhnya, dan ide bahwa manusia mengena1 suatu
evo1usi me1a1ui stadium pandangan-pandangan teo1ogis yang sarat
dengan unsur-unsur irasiona1, menjurus ke arah sikap yang dii1hami
o1eh pemikiran positif nampaknya bagi banyak orang masih tetap
merupakan skema yang meyakinkan untuk menunjukkan
ber1angsungnya ku1tur.”
h. Marxisme-Leninisme
“Ajaran ini diformu1asi da1am abad XIX o1eh Kar1 Marx (1818-
1883) dan Friedrich Enge1s (18201895), da1am karya-karya seperti "Das
kapita1" ji1id I, 1867; ji1id II, 1893; ji1id III, 1894) dan "Communistisch
Manifest" (1870-1924) sebagai akibat revo1usi-revo1usi Rusia tahun
1995 dan 1917 serta dari kekacauan yang te1ah tumbuh di negara ini dari
perang dunia pertama.”
Sete1ah perang dunia ke-2 rezim po1itik yang pada tahun 1917 atas
dasar interprestasi tentang marxisme di Rusia yang ditegakkan o1eh
1enin diper1uas o1eh Sta1in (1879-1953 kebanyakan negara Eropa
tengah dan timur, di mana "rezim-rezim sosia1istis" tetap berkuasa
sampai dengan akhir tahun 80-an.
Pada akhir abad XIX, sejak berdirinya Internasiona1e pertama (1864
te1ah diusu1akan dua buah pandangan atau revo1usi, yang
memperkirakan suatu aksi yang dahsyat (ha1 ini ada1ah Ste11ing 1enin,
marxisme 1eninisme), atau suatu aksi po1itik progresivistis partai-partai
po1itik yang diorganisir o1eh kaum buruh yang berdaya upaya merebut
kekuasaan atau setidak-tidaknya menggunakan pengaruh agar ikut serta
da1am proses pengambi1an keputusan po1itik da1am kerangka institusi-
institusi yang ada, antara 1ain me1a1ui pemanfaatan pemi1ihan umum
agar dapat menempatkan sebanyak mungkin waki1-waki1 partai-partai
buruh di da1am par1emen (sosia1isme-demokratis atau demokrasi-
sosia1istis).
SOAL LATIHAN
1. Sebutkan dan jelaskan faktor pembentuk hukum!
2. Jelaskan tentang hukum rrasionalitas!
3. Jelaskan tentang pendapat hukum alam!
4. Jelaskan tentang kontrak sosial!
5. Jelaskan tentang Niellum Crimen, Nulla Poen Sine Leges!
DAFTAR PUSTAKA
1. Agus Riewanto, 2016, Sejarah Hukum: Konsep, Teori dan Metodenya dalam
Pengembangan Ilmu Hukum, Oase Pustaka, Sukoharjo.
2. Yoyon M. Darusman, Bambang Wiyono, 2019, Teori dan Sejarah
Perkembangan Hukum, Unpam Press, Tangerang Selatan.
3. Kuntowijoyo, 2013, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogjakarta: Tiara
Wacana.
4. Harjoso, 1988, Pengantar Antropologi, Bandung: Binacipta.
5. Rudolf A. Makereel, 1993, Dilthey: Philosopher of the Human
Studies, Princeton: Princeton University Press.
6. M. Erwin, 2013, Filsafat Hukum Refleksi Kritis Terhadap Hukum, Jakarta:
Rajawali Press.
7. Satjipto Rahardjo, 2006, Ilmu Hukum, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti.
8. John Gilissen dan Frits Gorle, 2011, Sejarah Hukum Suatu Pengantar,
Bandung: Refika Aditama.