Anda di halaman 1dari 57

D

PENDEKATAN METODOLOGI DAN


PROGRAM KERJA

E. PENDEKATAN, METODOLOGI DAN PROGRAM KERJA


5.1. Pendekatan Teknis Dan Metodologi

Pendekatan Teknis dan Metodologi yang diadaptasi dalam studi Konsep Slum Improvement Action

Plan (SIAP) dan dikaitkan dengan pendampingan perbaikan rumah tidak layak huni (Rutilahu).

Indikator kinerja dalam penyusunan dokumen adalah :

- Tersusunnya rencana pembangunan, perbaikan dan peningkatan kawasan permukiman rutilahu

yang partisipatif dan berpihak pada MBR.

- Tercapainya peningkatan kapasitas pemerintah daerah dalam menyusun program

pembangunan, perbaikan dan peningkatan permukiman rutilahu.

- Tercapainya peningkatan penerima manfaat di kawasan rumah tidak layak huni perkotaan.

- Menurunnya luasan kawasan rutilahu di kota sebagai dampak terlaksananya program

pembangunan, perbaikan, dan peningkatan.

- Meningkatnya ekonomi/taraf hidup masyarakat miskin di kawasan rumah tidak layak huni

perkotaan.
Berikut adalah tahapan metode tentang perbaikan rumah tidak layak
huni :

- Dilakukanlah proses pencarian dan pembelajaran agar peneliti lebih memahami tentang

kasus yang berhubungan dengan rekomendasi perbaikan rumah, pembelajaran tersebut

bersumber dari jurnal dan penelitian sebelumnya.

- Pengumpulan data dilakukan dengan cara primer, data tersebut didapatkan dari Badan

Keswadayaan Masyarakat yang merupakan lembaga atau badan yang dapat

dipertanggungjawabkan data-datanya.

- Tahap ini melakukan perancangan terhadap system yang akan diterapkan ketika

menentukan prioritas, dengan langkah: inputan data, pengurutan dengan pengurutan

dengan metode TOPSIS.

Dari data-data yang sudah didapat, maka dilakukan perancangan manajemen data, sebagai berikut
:

a) Alternatif

Untuk melakukan perhitungan Metode TOPSIS tersebut digunakan 50 nama pengaju perbaikan

rumah tidak layak huni yang juga dikonversi menjadi data dari A01 – A50.

b) Kriteria

Untuk melakukan perhitungan menggunakan metode TOPSIS tersebut digunakan beberapa kriteria

dari rumah tidak layak huni yang akan hitung nantinya, yaitu: Status Rumah, Dinding Rumah, Lantai

Rumah, Atap Rumah, dan Penghasilan Keluarga.

c) Bobot Preferensi

“Bobot preferensi merupakan bobot untuk setiap nilai atau hasil tes. Setiap rentang nilai

akan memiliki bobot yang berbeda, yang akan digunakan sebagai matriks keputusan dalam

rekomendasi rumah yang tidak layak huni.”


Untuk status rumah memiliki rentang nilai 1-3 untuk Kredit perbankan, kontrak, hak milik. Untuk

dinding rumah memiliki rentang nilai 1-3 untuk batako, batu bata, dan bilik. Untuk lantai rumah
memiliki rentang nilai 1-3 untuk keramik, plesteran, tanah. Untuk Atap rumah memiliki rentang nilai

1-3 untuk usuk kayu, usuk bambu, dan welit. Untuk penghasilan keluarga memiliki rentang nilai 1-

3 untuk penghasilan yang lebih dari 2 juta, lebih dari 1 juta, dan kurang dari 1 juta.

d) Bobot Kriteria

Setiap kriteria yang digunakan akan diberikan bobot sesuai kepentingan dari kriteria-kriteria

tersebut, sehingga hal ini akan menjadi hal yang meningkatkan akurasi dan performa dari sistem.

Bobot yang diberikan kepada kriteria adalah 0,15 untuk status rumah, 0,25 untuk dinding rumah, 0,2

untuk lantai rumah, 0,25 untuk atap rumah dan 0,15 untuk penghasilan keluarga.
Gambar 5.1 Diagram Alir Sistem

Mulai

Menentukan
Bobot Kriteria

Menentukan
Bobot Preferensi

Perhitungan Metode
TOPSIS

Rekomendasi
Perbaikan Rumah
Tidak layak Huni

Selesai
5.1.1. Metode Pelaksanaan Pekerjaan
A. Persiapan Pekerjaan

Sebelum melaksanakan kegiatan pengumpulan data, sebelumnya perlu dirumuskan data apa saja

yang akan diperoleh di lapangan yang menunjang kedalaman materi rencana yang akan disusun.

Beberapa kegiatan dalam tahapan persiapan sebelum Survei adalah sebagai berikut

Kajian Studi Meja/Desk Study. Kajian ini bertujuan untuk menunjang Jasa Konsultansi

Penyusunan Dokumen. Dalam kajian ini dilakukan pertemuan tenaga ahli dan tim

penunjang yang dipimpin oleh Ketua Tim untuk menyusun strategi penyusunan dokumen.

Persiapan Teknik Survei. Persiapan ini dilakukan untuk mempermudah pelaksanaan Survei

yang akan dilakukan.

B. Metode Pengumpulan Dan Analisis Data

Pengumpulan data primer dan sekunder dilakukan untuk menyusun rona lingkungan hidup

awal pada saat studi dilakukan sebagai data basis untuk keperluan prediksi dan evaluasi dampak.

Data Primer dikumpulkan dari hasil wawancara, survai, observasi. Sedangkan untuk data

sekunder diambil dari data studi terdahulu yang sudah dilakukan.

Untuk mendapatkan data mikro RTLH, diperlukan pendataan RTLH di level masyarakat. Pola dan

model pendataan secara partisipatif di level masyarakat sudah sangat banyak pola dan modelnya.

Pada prinsipnya, Pemetaan Partisipatif sama dengan pemetaan pada umumnya yang sering

dilakukan oleh instansi pemerintah. Perbedaannya adalah pelaksana dari pemetaan tersebut, pada

pemetaan partisipatif dalam pengukurannya diikuti oleh banyak anggota suatu komunitas

masyarakat, yang pada praktek pemetaan biasa dapat dilaksanakan 2 orang saja. Perbedaan

yang lain adalah tentang tema, masyarakat akan menentukan sendiri tentang tema yang

dianggap penting.

Pendekatan bottom-up merupakan pendekatan pelaksanaan pendataan yang dilakukan di wilayah


administrasi paling bawah, yakni Tk. Desa/kelurahan. Melalui pendekatan ini, peran dan partisipasi
aktif masyarakat sebagai aktor utama sebagai pelaksana pendataan-pemetaan untuk menghasilkan
seluruh muatan data terkait RTLH dalam bentuk TRIPLE A. Peran utama dari masyarakat dalam
kegiatan pendataan ini dimulai dari :
- Persiapan kegiatan pendataan
- Pemetaan swadaya dalam bentuk ATLAS
- Perencanaan aksi untuk merumuskan agenda dan aturan main

Dalam kasus dimana diperlukan Analisa mandiri untuk menentukan skala prioritas sebagai alternatif
bisa digunakan metode FAHP (Fuzzy Analytical Hierarchy Process) dan TOPSIS (Technique for
Order Preference by Similarity to Ideal Solution). FAHP digunakan untuk menentukan bobot kriteria
kandidat penerima bantuan RTLH. Penggunaan metode TOPSIS untuk melakukan perangkaian
kandidat penerima bantuan RTLH.
Bilangan triangular fuzzy (TFN) adalah teori himpunan fuzzy yang digunakan untuk pengukuran
yang berhubungan dengan peniliaan subjektif dengan manusia memakai Bahasa atau linguistic.
TFN terdiri dari tiga fungsi keanggotaan, yaitu nilai terendah (l), nilai tengah(m) dan nilai tertinggi
(u). DIbawah ini merupakan skala perbandingan fuzzy/
Metode FAHP merupakan gabungan dari AHP dengan konsep fuzzy. Metode FAHP menggunakan
rasio fuzzy yang disebut Triangular Fuzzy Number (TFN). Langkah-langkah metode FAHP adalah
sebagai berikut:
a. Membuat struktur hierarki masalah yang akan diselesaikan dengan menentukan
perbandingan matriks berpasangan antar kriteria dengan skala triangular fuzzy number
b. Menentukan nilai sistetic fuzzy (Si) dengan rumus:

Keterangan:
M = bilangan triangular fuzzy number
m = jumlah kriteria
j= kolom
I = baris
G = parameter (l,m,n)
Dimana nilai vector (V) dan nilai ordinat ditentukan dengan persamaan

C. KRITERIA BANGUNAN
Konsepsi Rumah Sederhana Sehat (Rs Sehat) termaktub didalam Keputusan Menteri Permukiman

Dan Prasarana Wilayah No. 403/KPTS/M/2002 tentang Pedoman Teknis Rumah sederhana Sehat .

Rumah Sederhana Sehat adalah rumah yang dibangun dengan menggunakan bahan bangunan

dan konstruksi sederhana akan tetapi masih memenuhi standar berikut :

- Kebutuhan minimal masa dan ruang, Kebutuhan ruang per orang dihitung berdasarkan

aktivitas dasar manusia (aktivitas tidur, makan, kerja, duduk, mandi, kakus, cuci dan masak

serta ruang gerak lainnya) di dalam rumah. Dari hasil kajian, kebutuhan ruang per orang

adalah 9 m dengan perhitungan ketinggian rata-rata langit-langitadalah 2.80 m. Rumah

sederhana sehat memungkinkan penghuni untukdapat hidup sehat, dan menjalankan

kegiatan hidup sehari-hari secaralayak.

- Kebutuhan Kesehatan dan kenyamanan. Rumah sebagai tempat tinggal yang memenuhi

syarat kesehatan dan kenyamanan dipengaruhi oleh 3 (tiga) aspek, yaitu pencahayaan,

penghawaan, serta suhu udara dan kelembaban dalam ruangan. Aspekaspek tersebut

merupakan dasar atau kaidah perencanaan rumah sehat dan nyaman.


- Kebutuhan minimal keamnan dan keselamatan. Pada dasarnya bagian-bagian struktur

pokok untuk bangunan rumah tinggal sederhana adalah : pondasi, dinding (dan kerangka

bangunan), atap serta lantai. Sedangkan bagian-bagian lain seperti langit-langit, talang

dan sebagainya merupakan estetika struktur bangunan saja.

Kuda-kuda. Rumah sederhana sehat menggunakan atap pelana dengan kerangka kuda-kuda dari

kayu kelas kuat dan awet II berukuran 5/10 atau yang banyak beredar dipasaran dengan ukuran

sepadan. Dalam rangka mempercepat pelaksanaan pemasangan kerangka kuda-kuda disarankan

menggunakan sistem kuda-kuda papan paku, yaitu pada setiap titik simpul menggunakan klam dari

papan 2/10 dari kayu dengan kelas yang sama dengan rangka kuda-kudanya.
Secara umum sistem pondasi yang memikul beban < dari 2 ton (beban kecil), yang biasa digunakan

untuk rumah sederhana dapat dikelompokan kedalam tiga sistem pondasi, yaitu: pondasi langsung;

pondasi setempat; dan pondasi tidak langsung.

5.1.2. Strategi Peningkatan Permukiman Rumah Layak Huni

Sebagaimana diketahui, bahwa perumahan dan kawasan pemukiman merupakan hak dasar

masyarakat sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 Pasal 28 H ayat (1), bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,

bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat serta memperoleh pelayanan

kesehatan.

Dalam Millenium Development Goals (MDGs), masalah kemiskinan menjadi salah satu tujuan yang

hendak dicapai. Atas dasar ini pemerintah menargetkan Indonesia terbebas dari kawasan

pemukiman rumah tidak layak huni di perkotaan pada tahun 2020. Namun, dengan melihat

kenyataan pemukiman rumah tidak layak huni di kota-kota besar Indonesia semakin meningkat

1,37% menjadi 57.800 Ha dari kondisi sebelumnya, yaitu 54.000 Ha pada akhir tahun 2004

(UNDP),maka untuk mewujudkan kota bebas rumah tidak layak huni sebagai salah satu

tujuan MDGs tersebut diperlukan beberapa alternative solusi yang tepat.

Kawasan permukiman rumah tidak layak huni merupakan masalah yang dihadapi oleh hampir

semua kota-kota besar di Indonesia bahkan kota-kota besar di negara berkembang lainnya. Kajian

tentang kawasan permukiman rumah tidak layak huni (slum), pada umumnya mencakup tiga segi,

pertama kondisi fisiknya, kedua kondisi sosial ekonomi budaya komunitas yang bermukim di

permukiman tersebut, dan ketiga dampak oleh kedua kondisi tersebut. Kondisi fisik tersebut antara

lain tampak dari kondisi bangunannya yang sangat rapat dengan kualitas konstruksi rendah,

jaringan jalan tidak berpola dan tidak diperkeras, sanitasi umum dan drainase tidak berfungsi serta

sampah belum dikelola dengan baik.

Penanganan kawasan permukiman rumah tidak layak huni sesungguhnya perlu dilakukan tidak saja

di kawasan-kawasan permukiman rumah tidak layak huni yang menjadi bagian kota
metropolitan dan atau kota besar, tetapi juga perlu dilakukan di kawasan-kawasan permukiman

rumah tidak layak


huni yang ada di kota sedang dan kecil. Penanganan kawasan permukiman rumah tidak layak

huni di kota besar, sedang, dan kota kecil menjadi cukup strategis manakala kawasan itu memiliki

kaitan langsung dengan bagian kota metropolitan seperti kawasan pusat kota metropolitan, kawasan

pusat pertumbuhan kota metropolitan, maupun kawasan lain misalnya kawasan industri,

perdagangan, pergudangan, dan perkantoran. Selain memiliki kaitan langsung, diduga

kawasan permukiman rumah tidak layak huni di daerah penyangga memberi andil kesulitan

penanganan permukiman rumah tidak layak huni yang ada di kota metropolitan.

Keberadaan lingkungan kawasan permu-kiman rumah tidak layak huni membawa permasalahan

baru, seperti perkembangan fisik kota yang tidak baik, memberikan efek visual yang jelek, tingkat

kesehatan masyarakat yang semakin rendah sebagai akibat dari kondisi permukiman yang tidak

sesuai dengan standar kesehatan dan memberikan dampak sosial dan ekonomi masyarakat yang

buruk. Permasalahan kawasan permukiman rumah tidak layak huni yang terjadi di setiap wilayah

perlu segera dilakukan penanganan sehingga tercapai suatu lingkungan permukiman yang

sehat dan layak huni serta berkualitas.

Pentingnya penanganan permasalahan permukiman rumah tidak layak huni ini, sejalan dengan
apa

yang ditegaskan dalam UU Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Permukiman bahwa

tujuan penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman adalah untuk:

1) memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan


permukiman;

2) memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan


permukiman;

3) mendukung penataan dan pengembangan wilayah serta penyebaran penduduk yang

proporsional melalui pertumbuhan lingkungan hunian dan kawasan permukiman sesuai dengan

tata ruang untuk mewujudkan keseimbangan kepentingan, terutama bagi MBR;

4) meningkatkan daya guna dan hasil guna sumber daya alam bagi pembangunan
perumahan
dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan, baik di kawasan perkotaan

maupun kawasan perdesaan;


5) memberdayakan para pemangku kepentingan bidang pembangunan perumahan dan kawasan

permukiman;

6) menunjang pembangunan di bidang ekonomi, sosial, dan budaya;

7) menjamin terwujudnya rumah yang layak huni dan terjangkau dalam lingkungan yang sehat,

aman, serasi, teratur, terencana, terpadu, dan berkelanjutan.

Munculnya permukiman rumah tidak layak huni di beberapa wilayah kota yang merupakan hal yang

tidak dapat dihindari, yaitu tidak direncanakan oleh pemerintah tetapi tumbuh sebagai proses

alamiah. Berbagai kriteria digunakan dalam menentukan kerumah tidak layak hunian atau tidaknya

suatu kawasan permukiman. Untuk menentukan kerumah tidak layak hunian suatu kawasan, dapat

ditinjau dari empat aspek, yaitu:

1) Kondisi bangunan/rumah. Ditinjau dari keadaan kondisi rumahnya, yang antara lain dilihat
dari

stuktur rumahnya, pemisahan fungsi ruang, kepadatan hunian/rumah dan bangunan dan

tatanan bangunan.

2) Ketersediaan prasarana dasar dan lingkungan. Ditinjau dari ketersediaan prasarana dasar

lingkungan, seperti pada air bersih, sanitasi, ketersediaan fasilitas tempat ibadah, pendidikan,

kesehatan, dan sarana ekonomi, ada tidaknya ruang terbuka di luar perumahan.

3) Kerentanan status penduduk.

4) Aspek pendudukung lain, seperti tidak tersedianya lapangan kerja yang memadai, kurangnya

tingkat partisipasi masyarakat pada kegiatan sosial dan tidak adanya fasilitas umum. Aspek

legalitas juga merupakan kriteria yang harus dipertimbangkan untuk menentukan kerumah tidak

layak hunian suatu wilayah selain buruknya kondisi kualitas lingkungan yang ada.

Permukiman sering disebut perumahan dan atau sebaliknya permukiman berasal dari kata housing

dalam bahasa inggris yang artinya adalah perumahan dan kata human settlement yang artinya

adalah permukiman. Perumahan memberikan kesan tentang rumah atau kumpulan rumah beserta
prasarana dan sarana lingkungan. Perumahan menitikberatkan pada fisik atau benda mati, yaitu

house dan land settlement. Permukiman memberikan kesan tentang pemukiman atau kumpulan

pemukim beserta sikap dan perilakunya di dalam lingkungan, sehingga permukiman menitikberatkan

pada sesuatu yang bukan bersifat fisik atau benda mati yaitu manusia (human). Dengan demikian

perumahan dan permukiman merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan dan sangat erat

hubungannya dan saling melengkapi.

Rumah tidak layak huni adalah kesan atau gambaran secara umum tentang sikap dan tingkah
laku

yang rendah dilihat dari standar hidup dan penghasilan kelas menengah. Dengan kata lain, rumah

tidak layak huni dapat diartikan sebagai tanda (citra) yang diberikan golongan atas yang sudah

mapan kepada golongan bawah yang belum mapan.

Pada umumnya permukiman rumah tidak layak huni memiliki ciri-ciri tingkat kepadatan
penduduk

yang sangat rendah, tidak memadainya kondisi sarana dan prasarana dasar, seperti air bersih,

jalan, drainase, sanitasi, listrik, fasilitas pendidikan, ruang terbuka/ rekreasi, fasilitas pelayanan

kesehatan dan perbelanjaan.

Tabel 5.1.

Matriks Indikator Masalah dalam Strategi Peningatan Kawasan Rumah tidak layak huni.

No. Indikator Masalah Strategi Peningkatan Keterangan

1 Ketersediaan prasarana dasar Penambahan kegiatan melalui

dan lingkungan (infrastruktur)` APBD

2 Kondisi bangunan/rumah Proyek “bedah rumah” dalam skala

murah dalam APBD.


3 Status penduduk. Penegakan hukum dalam bidang

kependudukan

4 Kemiskinan (faktor ekonomi) Pembangunan sektor ekonomi

kerakyatan

5 Aspek legalitas (status Relokasi bagi warga miskin yg

kepemilikan tanah) tinggal di kawasan rumah tidak

layak huni dan di atas lahan negara.

Lokasi prioritas penanganan serta peningkatan kualitas permukiman rumah tidak layak
huni

berdasarkan kriteria lokasi kawasan permukiman rumah tidak layak huni yang diindikasikan memiliki

pengaruh terhadap (bagian) kawasan perkotaan sekaligus sebagai kawasan permukiman

penyangga. Kriteria ini akan menghasilkan lokasi kawasan permukiman yang prioritas ditangani

karena letaknya yang berdekatan dengan kawasan perkotaan. Oleh karena itu, daerah-daerah yang

memiliki kepentingan dengan daerah perkotaan lebih mendapat prioritas penanganan sedangkan

yang tidak memiliki kepentingan kurang mendapat prioritas penanganan. Peningkatan kualitas

permukiman rumah tidak layak huni berdasarkan identifikasi permasalahan dan juga lokasi prioritas

penanganan di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Barat adalah sebagai berikut:

1. Peningkatan Kualitas Fisik Bangunan

Peningkatan terhadap kepadatan bangunan ini diprioritaskan untuk daerah dengan

tingkat kepadatan lebih dari 100 rumah/ha dengan strategi sebagai berikut :

a. Membuat konsep rumah secara vertikal sehingga sisa lahan yang ada dapat dimanfaatkan

untuk ruang terbuka. Konsep pengembangan rumah secara vertikal ini penting

untuk menghindari pengembangan rumah secara horizontal yang cenderung menggunkan

lahan.

b. Memaksimalkan ruang terbuka yang ada dengan tidak menutupi dengan perkerasan

beton. c. Memanfaatkan jarak antar bangunan sebagai ruang terbuka hijau.


Sedangkan untuk daerah yang memiliki kepadatan bangunan kurang dari 100 rumah/ha strategi

yang dapat dipergunakan untuk penataan kawasan rumah tidak layak huni adalah dengan

strategi sebagai berikut

a. Mengendalikan kepadatan bangunan dengan peraturan KDB yang sesuai dengan


RTRW.

b. Memaksimalkan ruang terbuka yang ada disetiap kawasan untuk aktivitas sosial

masyarakat.

c. Mengatur kepadatan bangunan dengan menetapkan jarak minimal


antarbangunan.

2. Peningkatan Kualitas Sempadan Bangunan

Perencanaan sempadan bangunan ini direncanakan di dalam permukiman dan di pinggiran

sungai. Di dalam permukiman perencanaan sempadan bangunan mengikuti aturan yang telah

ditetapkan yaitu ½ dari lebar jalan. Strategi yang dapat dipergunakan untuk perencanaan

sempadan kawasan rumah tidak layak huni di permukiman dapat dilakukan dengan strategi

sebagai berikut:

a. Menetapkan batas minimal garis sempadan bangunan ½ dari lebar jalan. Untuk bangunan

samping berjarak 1,5 meter sedangkan bangunan bagian belakang berjarak 2 meter dari

dinding belakang.

b. Bukaan jendela diusahakan tidak berhadapan dengan jalan terutama rumah-rumah


yang

berdinding berdekatan dengan akses jalan.

c. Fungsi jalan tidak dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi seperti tempat jemuran,

meletakkan barang, parkir kendaraan, dan lain-lainnya.

Untuk bangunan yang berada di pinggiran sungai penetapan sempadan sungai yang
berjarak

100 meter dari pinggir sungai tidak bisa diterapkan karena semua bangunan yang terletak di

pinggiran sungai berjarak kurang dari 100 meter. Bahkan ada beberapa rumah yang terletak

di
pinggiran sungai. Oleh karena itu, ada beberapa strategi yang dapat dilakukan dalam

perencanaan di kawasan pinggiran sungai antara lain :

a. Memundurkan bangunan (setback) dari pinggir sungai

b. Membuat dinding penahan untuk mengurangi terjadinya erosi yang akan

mendangkalkan aliran sungai.

c. Membuat jalur hijau di pinggiran sungai sebagai barrier terhadap terjadinya erosi.
5.1.3. Strategi Pencegahan Tumbuhnya Permukiman Rumah Tidak Layak Huni

5.1.3.1 Pengaturan Pencegahan Dalam UU Perumahan dan Kawasan Permukiman

Kata “Pencegahan” terdapat di dalam rumusan perumahan dan kawasan permukiman (lihat Pasal 1

angka (1) Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan

Kawasan Permukiman, yaitu:

“Perumahan dan kawasan permukiman adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas pembinaan,

penyelenggaraan perumahan, penyelenggaraan kawasan permukiman, pemeliharaan dan

perbaikan, pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap perumahan rumah tidak layak huni dan

permukiman rumah tidak layak huni, penyediaan tanah, pendanaan dan sistem pembiayaan, serta

peran masyarakat.”

Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa “Pencegahan”


merupakan

salah satu ruang lingkup kegiatan Perumahan dan Kawasan Permukiman. Adapun keseluruhan

kegiatan Perumahan dan Kawasan Permukiman, yaitu meliputi:

1) Pembinaan;

2) Penyelenggaraan perumahan;

3) Penyelenggaraan kawasan permukiman;

4) Pemeliharaan dan perbaikan;


5) Pencegahan dan peningatan kuaitas terhadap perumahan rumah tidak layak huni dan

permukiman rumah tidak layak huni;

6) Penyediaan tanah;

7) Pendanaan;

8) Sistem pembiayaan;

9) Peran masyarakat.
Pengaturan lebih lanjut mengenai pencegahan tumbuhnya permukiman rumah tidak layak huni baru

diatur di dalam BAB VIII tentang Pencegahan Dan Peningkatan Kualitas Terhadap Perumahan

Rumah tidak layak huni Dan Permukiman Rumah tidak layak huni, khususya Pasal 94 dan Pasal 95

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan


Permukiman.

Pasal 94:

1) Pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap perumahan rumah tidak layak huni dan

permukiman rumah tidak layak huni guna meningkatkan mutu kehidupan dan penghidupan

masyarakat penghuni dilakukan untuk mencegah tumbuh dan berkembangnya perumahan

rumah tidak layak huni dan permukiman rumah tidak layak huni baru serta untuk menjaga dan

meningkatkan kualitas dan fungsi perumahan dan permukiman.

2) Pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap perumahan rumah tidak layak huni dan

permukiman rumah tidak layak huni sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan

berdasarkan pada prinsip kepastian bermukim yang menjamin hak setiap warga negara untuk

menempati, menikmati, dan/atau memiliki tempat tinggal sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

3) Pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap perumahan rumah tidak layak huni dan

permukiman rumah tidak layak huni sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan oleh

Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau setiap orang.


Pasal 95 :

1) Pencegahan terhadap tumbuh dan berkembangnya perumahan rumah tidak layak huni dan

permukiman rumah tidak layak huni baru mencakup:

a. ketidakteraturan dan kepadatan bangunan yang tinggi;

b. ketidaklengkapan prasarana, sarana, dan utilitas umum;

c. penurunan kualitas rumah, perumahan, dan permukiman, serta prasarana, sarana dan

utilitas umum;

d. pembangunan rumah, perumahan, dan permukiman yang tidak sesuai dengan rencana tata

ruang wilayah.

2) Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui:

a. pengawasan dan pengendalian; dan

b. pemberdayaan masyarakat.

3) Pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan atas

kesesuaian terhadap perizinan, standar teknis, dan kelaikan fungsi melalui pemeriksaan secara

berkala sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

4) Pemberdayaan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan terhadap

pemangku kepentingan bidang perumahan dan kawasan permukiman melalui

pendampingan dan pelayanan informasi.

5) Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan oleh Pemerintah,

pemerintah daerah, dan/atau setiap orang.

6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pencegahan terhadap tumbuh dan berkembangnya perumahan

rumah tidak layak huni dan permukiman rumah tidak layak huni baru sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.


5.1.3.2 Strategi Pencegahan Tumbuhnya Permukiman Rumah tidak layak huni Baru di Kota.

Strategi pencegahan tumbuhnya permukinan rumah tidak layak huni baru di Kota Sukabumi dapat

digambarkan sebagai berikut:

Gambar 5.2. Strategi Pencegahan Permukiman Rumah tidak layak huni Baru
Paradigma:
STRATEGI
Partisipatif
PENCEGAHAN Transparan
Akuntabel
Efektif
Efisien

STIMULAN PEMBANGUNAN
KETERPADUAN
PERTUMBUHAN LINGKUNGAN INFRASTRUKTUR
(1) (2) (3)

Strategi 1:

Pengembangan Ruang Terbuka Publik di tingkat Kelurahan, dengan konsep urban-catalyst.

Misalnya dengan membangun lapangan olah raga di tiap kelurahan, yang sekaligus diintegrasikan

dapat membangkitkan kegiatan ekonomi warga sekitarnya, dan dapat meningkatkan kualias

pelayanan sarana olah raga dengan skala pelayanan kelurahan.


Strategi 2:

Keberlanjutan pembangunan, yaitu pengembangan lingkungan permukiman yang utuh-menyeluruh (holistik) dan

seimbang antara 3 (tiga) komponen atau TRIBINA, bertujuan untuk menciptakan lingkungan hunian yang sehat, yaitu:

a. Kondisi fisik lingkungan;

b. Kondisi sosial ekonomi;

c. Kondisi sosial masyarakat (budaya bersih/mencintai lingkungan).

Strategi 3:

Strategi yang digunakan adalah implementasi strategi (2) berdasarkan konsep tridaya (3 komponen di dalam ekosisem)

pembangunan berkelanjutan (sustainable development).

Strategi ini sebagai keberlanjutan yang diterjemahkan pada pengembangan lingkungan permukiman yang

seimbang antara kondisi fisik lingkungan, sosial ekonomi dan sosial masyarakat, yaitu dengan upaya menciptakan

lingkungan hunian. Infrastruktur yang berwawasan lingkungan (green infrastruktur).

Kawasan ini memiliki potensi yang besar dalam aplikasi konsep pembangunan infrastruktur yang berwawasan

lingkugan antara lain penggunaan material yang ramah lingkungan (seperti menggunaan material pada jalan dengan

grass block), pengembangan kolam atau danau buatan eksisting sebagai area absorbsi (kawasan resapan air).

Dikaitkan dengan komponen TRIBINA lainnya, yaitu Ekonomi dan Sosial, strategi pencegahan tumbuhnya

permukiman kumu baru dapat digambarkan berikut ini:


Gambar 5.3. Strategi Pencegahan Tumbuhnya Permukiman Rumah Tidak Layak Huni Baru

Strategi Penyediaan Kawasan


Permukiman sebagai
Antisipasi Munculnya
Permukiman Rutilahu

1 2 3 4 5
Penataan Penataan Sempadan Menyediakan Pusat Pengendalian Konsep Peningkatan
Sempadan REL KA Sungai: Komunitas: Perkembangan Kualitas Permukiman:
: Kawasan
Internal relokasi ke Menjaga kelestarian Sebagai Pusat Permukiman Pendekatan community
Rumah Susun sungai Pertumbuhan kawasan (prefentif): base
(RUSUN) Untuk lahan cadangan
pembangunan

5.1.4. Strategi Pengembangan Kegiatan

Dalam rangka mencapai tujuan rehabilitasi rutilahu, strategi pelaksanaan yang ditempuh adalah

sebagai berikut :

1. Strategi Pelaksanaan Kegiatan pada Tingkat Pemerintah Daerah

Pelaksanaan kegiatan rehabilitasi rutilahu pada tingkat pemerintah daerah harus sejalan

dengan pelaksanaan kegiatan pada tingkat masyarakat. Hal ini untuk menjamin

terbangunnya harmonisasi dan sinergi antara masyarakat dan pemerintah daerah dalam

pelaksanaan rehabilitasi rutilahu. Secara rinci strategi pelaksanaan kegiatan rehabilitasi

rutilahu pada tingkat pemerintah daerah adalah sebagai berikut :

A. Mendorong agar Pemerintah Daerah lebih kompeten dan peduli pada


KBR

1. Mendorong peningkatan kapasitas, kompetensi serta akuntabilitas pemerintah

daerah dalam pelaksanaan program pembangunan daerah. Dalam hal ini pemerintah

daerah
didorong untuk mampu merencanakan pembangunan perumahan dan permukiman, melalui

berbagai kegiatan pelatihan dan lokakarya.

2. Pengembangan Manajemen Pembangunan Perumhan dan Permukiman bagi Pemerintah

Daerah.

Pengembangan manajemen pembangunan perumahan dan permukiman dimaksudkan

untuk meningkatkan kapasitas dan kompetensi bagi pemerintah daerah dalam

mengelola pembangunan perumahan dan permukiman terutama bagi KBR.

3. Penyusunan Strategi dan Rencana Perbaikan dan Pembangunan Perumahan

dan permukiman yang pro poor dan didukung oleh warga masyarakat dan dunia usaha

Strategi Penataan Kawasan Permukiman merupakan suatu strategi perencanaan yang

dibangun melalui sinergi antara pemerintah daerah dengan masyarakat dan dunia usaha.

Strategi penyusunan penataan kawasan permukiman adalah sebagai berikut:

(1) Mendorong agar masyarakat mampu menghasilkan praktek-praktek terbaik


(best

practise) dari pelaksanaan rehabilitasi rutilahu;

(2) Mendorong agar best practices tersebut dapat tersosialisasikan secara optimal baik

kepada instansi pemerintah, kelompok legislatif maupun kepada masyarakat secara

luas;

(3) Pemerintah daerah dapat menemukan formula dari hasil best practices rehabilitasi

rutilahu yang ada di wilayahnya kemudian merumuskannya menjadi suatu draft rencana

strategi penanganan masalah perumahan yang dikenal dengan nama Strategi Perbaikan

dan Pembangunan Perumahandan Permukiman Kota (SP3P – City Shelter Strategy/ CSS);

(4) Mendorong terciptanya kerjasama antara pemerintah daerah dengan lembaga

keuangan dan kelompok swasta yang ada di daerahnya dalam rangka pembiayaan

pembangunan perumahan bagi warga masyarakat miskin;


(5) melalui serangkaian langkah-langkah pemerintah pemerintah daerah mendapatkan

masukan dari berbagai pihak seperti misalnya para pakar dari perguruan tinggi,

kelompok legislatif, lembaga keuangan, LSM dan kelompok peduli lainnya kemudian

merumuskannya menjadi masukan strategis;

(6) berdasarkan masukan strategis yang ada maka pemerintah daerah dapat
memetakan

potensi dan permasalahan serta tindakan prioritas yang akan dilakukan dalam rangka

mengatasi permasalahan perumahan dan permukiman di wilayahnya,

(7) selanjutnya Pemda bersama dengan Local Coordinating Office (LCO) dan pelaku terkait

lainnya menyusun Rencana Tata Ruang Perbaikan dan Pembangunan Perumahan dan

Permukiman (RTRP3P – Spatial Planning for Shelter Strategy/SPSS).

4. Pembangunan Infrastruktur Perumahan dan permukiman yang partisipatif dan berkelanjutan

Melalui rehabilitasi rutilahu ini masyarakat akan didorong dan difasilitasi agar mampu

menyusun perencanaan pembangunan lingkungannya serta mampu mengelola dan

mengembangkan infrastruktur yang ada agar menjadi lebih produktif dan berkelanjutan.

Untuk itu pembangunan infrastruktur perumahan dan permukiman sebagian besar akan

dilaksanakan oleh masyarakat sendiri dengan mengacu pada Neighborhood Upgrading Plan

(NUP).
Gambar 5.4. Strategi Pelaksanaan Kegiatan Pemerintah Daerah

B. Mendorong agar Pemerintah Daerah lebih akuntabel dan didukung oleh Masyarakat dan

Dunia Usaha

1. Fasilitasi lembaga masyarakat (seperti BKM) dengan lembaga-lembaga yang memiliki

sumber daya penting.

Lembaga kemasyarakatan yang berbentuk seperti BKM sebagai representasi warga

masyarakat, perlu memperoleh fasilitasi kemitraan dari pemerintah daerah agar dapat

memfasilitasi aksesibilitas warga masyarakat kepada lembaga-lembaga yang memiliki

sumberdaya penting yang mendukung upaya pemenuhan kebutuhan rumah yang layak dan

terjangkau bagi KBR. Fasilitasi kemitraan ini harus sejalan dengan meningkatnya kapasitas

dan kompetensi BKM dalam mengembangkan advokasi dan pelayanan kepada warga

masyarakat. Sehingga fasilitasi kemitraan yang diberikan oleh pemerintah dimaksudkan


juga sebagai upaya pemberdayaan terhadap kelembagaan lokal masyarakat agar dapat

menjadi partner pembangunan yang harmonis, produktif dan berkelanjutan

2. Membangun kemitraan untuk menjamin pelaksanaan pembangunan perumahan dan

permukiman yang pro poor dan berkelanjutan.

Rehabilitasi rutilahu akan mengembangkan kemitraan dengan stakeholder terkait seperti

Badan Pertanahan Nasional (BPN), lembaga keuangan milik pemerintah maupun swasta

serta dunia usaha lainnya. Kemitraan ini harus bersifat jangka panjang dan didukung oleh

infrastruktur kebijakan yang mantap.

C. Mendorong Terciptanya Pemerintah Daerah Dalam Tatanan Good Governance

Mendorong terciptanya pemerintah daerah dalam tatanan Good Governance melalui

pembelajaran Neighborhood Development.

1) Mendorong peningkatan kapasitas, kompetensi serta akuntabilitas pemerintah

daerah dalam pelaksanaan program pembangunan daerah.

Dalam hal ini strategi yang dilaksanakan adalah:

(1) mendorong pemerintah daerah agar mampu melakukan identifikasi terhadap

permasalahan perumahan dan permukiman yang dihadapi baik secara makro maupun

mikro, baik yang bersifat jangka pendek maupun yang bersifat jangka panjang;

(2) meningkatkan kapasitas aparat pemerintah daerah melalui kegiatan lokakarya dan

pelatihan agar mampu untuk mengembangkan pelaksanaan rehabilitasi rutilahu di

wilayahnya;

(3) Mendorong pemerintah agar dapat menyusun rencana daerah yang pro poor (pro

poor policy dan pro poor budget);

(4) mendorong pemerintah daerah agar bersama-sama masyarakat mampu mewujudkan

rencana perbaikan lingkungan permukiman kumuh dan membangun sistem pengelolaan

yang partisipatif;
(5) mendorong pemerintah daerah agar dapat membangun dialog dan kerjasama antar

kota/kabupaten sekitarnya untuk mengatasi permasalahan urbanisasi baik yang

bersifat tetap maupun yang musiman (boro);

(6) mendorong terciptanya iklim yang kondusif untuk membangun kerjasama


kemitraan

antara pemerintah daerah dengan warga masyarakat dalam menyusun perencanaan

bidang perumahan dan permukiman. Dalam implementasi strategi tersebut, rehabilitasi

rutilahu akan memberikan bantuan teknis dan fasilitasi berupa pelatihan, lokakarya dan

monitoring kepada pemerintah kota/kabupaten terkait.

2) Mendorong kemampuan pemerintah daerah dalam mengembangkan program

perumahan dan permukiman yang pro poor dan didukung oleh kemampuan pembiayaan

jangka panjang.

Keberhasilan program pengembangan perumahan dan permukiman ditentukan oleh 3

(tiga) faktor penting, yaitu: ketersediaan tanah untuk permukiman, adanya lembaga

pelaksana pembangunan dan tersedianya pembiayaan untuk membangun. Pada

umumnya karena pengadaan rumah memerlukan dana yang relatif besar maka diperlukan

skema pembiayaan jangka panjang. Dalam pengembangang program perumahan dan

permukiman yang pro poor pemerintah daerah harus berupaya untuk mendapat dukungan

lembaga pembiayaan yang mampu menyediakan skema kredit yang terjangkau bagi KBR.

3) Mendorong terbangunnya Kapital Sosial sebagai salah satu pil keberhasilan

pembangunan daerah.

Penumbuhan kapital sosial ini dilakukan melalui strategi berikut:

(1) mendorong tumbuhnya kesadaran kritis masyarakat untuk mengetahui dan memahami

mengenai permasalahan kemiskinan, perumahan dan permukiman yang mereka hadapi;

(2) mendorong warga masyarakat agar mampu melakukan identifikasi penyebab persoalan

yang mereka hadapi dan kemudian secara bersama-sama mencari solusinya;


(3) memampukan warga masyarakat agar dapat mengorganisasikan diri dalam

kelembagaan lokal sebagai wadah dan representasi kebutuhan masyarakat yang

disebut dengan nama generik sebagai Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM);

(4) mengembangkan strategi development from within artinya masyarakat dikembangkan

kapasitasnya berbasis pada potensi yang ada melalui metode dan pendekatan self help.

Strategi ini dilaksanakan untuk mencegah ketergantungan masyarakat terhadap

sumberdaya kegiatan dan pemerintah secara terus menerus;

(5) mendorong warga masyarakat agar mampu memahami lingkungan strategis yang
dapat

didayagunakan dalam rangka menyelesaikan permasalahan yang mereka


hadapi.

4) Mendorong terwujudnya Pembangunan Kawasan yang harmonis produktif dan berjatidiri.

Mengingat pentingnya fungsi rumah sebagai pusat kegiatan pendidikan bagi keluarga,

tempat persemaian budaya dan nilai-nilai kearifan, dan juga sebagai tempat

mengembangkan kegiatan ekonomi, terutama bagi usaha skala kecil yang dilakukan oleh

kaum perempuan, maka hendaknya pendayagunaan infrastruktur permukiman menjadi

pokok perhatian bagi semua pihak. Rehabilitasi rutilahu akan dikembangkan dalam

kerangka pembangunan partisipatif tidak saja untuk membangun infrastruktur permukiman,

tetapi sekaligus untuk menanamkan apresiasi dan pemenuhan kebutuhan dasar manusia

berupa papan, sandang dan pangan. Masyarakat berpenghasilan rendah (KBR) agar lebih

mampu termasuk dalam memenuhi kebutuhan rumah yang lebih layak huni dan

permukiman yang lebih prospektif. Secara khusus, skala kegiatan dapat efektif menyentuh

masyarakat, maksimum hanya sampai tingkat kawasan (area wide). Oleh karena itu, melalui

rehabilitasi rutilahu pembangunan infrastruktur perlu dikemas dalam satu kesatuan

pembangunan kawasan yang bersifat menyeluruh (Neighborhood Development).


2. Strategi Pelaksanaan Kegiatan Masyarakat

Implementasi strategi pelaksanaan kegiatan pada level masyarakat dalam rehabilitasi rutilahu

secara rinci dijelaskan sebagai berikut :

A. Pranata bermukim yang harmonis dan kehidupan sosial ekonomi layak

Dilaksanakan melalui strategi Pembelajaran Tridaya melalui pembangunan Insfrastruktur

Permukiman, yaitu:

a. Internalisasi nilai etika, moralitas dan norma dalam menumbuhkan pranata bermukim

yang harmonis antar warga. Internalisasi nilai etika, moralitas dan norma dimaksudkan

agar warga masyarakat menghargai kembali akan pentingnya aturan-aturan

berinteraksi, berpandangan positif tentang kehidupan, penghargaan terhadap sesama,

serta menghormati kepercayaan spiritual yang ada sebagai landasan untuk

membangun interaksi dan pranata sosial bermukim yang harmonis.

b. Penguatan kelembagaan masyarakat (BKM) dalam rangka membangun perilaku hidup sehat

secara kolektif dan berkelanjutan. Disadari bahwa membangun pranata sosial bermukim

haruslah merupakan keputusan kolektif, sehingga perlu dibangun dan dikuatkannya

kelembagaan lokal masyarakat yang mampu mendorong secara sistemik dan organik

tumbuhnya ikatan sosial dalam bermukim yang sehat dan harmoni bagi warga masyarakat.

Kelembagaan lokal masyarakat dalam rehabilitasi rutilahu dapat dipahami sebagai

lembaga yang memang telah ada maupun lembaga yang baru dibentuk di lingkungan
permukiman tersebut sesuai dengan nilai dan norma yang mendasari pelaksanaan

rehabilitasi rutilahu. Dalam hal lokasi yang sama dengan P2KP, maka kelembagaan lokal

yang dimaksud diharapkan dapat menggunakan kelembagaan lokal yang telah dibentuk

ebelumnya melalui P2KP (BKM beserta unit-unit pengelola dan pelaksana kegiatan), jika

secara prinsip kelembagaan tersebut memenuhi persyaratan yang ada.

c. Menfasilitasi terwujudnya Neighborhood Upgrading Plan/NUP

Paradigma baru pembangunan menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama dan

pemerintah sebagai fasilitator. Penyusunan NUP dilaksanakan secara partisipatif oleh

masyarakat melalui serangkaian kegiatan survei dan pemetaan mengenai kondisi lingkungan

fisik, sosial dan ekonomi.

d. Mendorong warga masyarakat bersama pemerintah dan dunia usaha mewujudkan dan

berpartisipasi dalam rencana pembangunan yang bertumpu pada kebutuhan warga

masyarakat dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Rencana Perbaikan Lingkungan.

e. Mendorong warga masyarakat melalui sinergi dengan pemerintah daerah dan dunia usaha

agar dapat menemukan strategi pengembangan perumahan daerah, selanjutnya Pemerintah

Daerah dan pelaku terkait lainnya menyusun strategi tersebut dalam Strategi Perbaikan dan

Pembangunan Perumahan dan Permukiman.

B. Mendorong terciptanya masyarakat mandiri yang mampu menjalin sinergi

a. Fasilitasi Kredit Mikro Perumahan kepada KBR dalam rangka pemenuhan kebutuhan rumah.

Masyarakat mandiri adalah masyarakat yang mampu memahami permasalahan yang dihadapi

dan mampu mencari upaya pemecahannya. KBR pada dasarnya adalah warga masyarakat

yang mandiri, mereka mampu memenuhi kebutuhan hidupnya melalui pengembangan jasa

dan usaha informal. Namun demikian, pada umumnya KBR ini memiliki keterbatasan

terutama lemahnya kemampuan akses kepada lembaga keuangan/lembaga bisnis yang

memiliki persyaratan administratif dan kolateral yang standar. Sehingga untuk memperoleh

akses kepada lembaga keuangan dan pihak-pihak lain diperlukan dukungan dan jaminan
moral dari kelembagaan lokal masyarakat maupun dari pemerintah daerah setempat.

Untuk itu KBR ini perlu didukung oleh pihak pemerintah maupun swasta agar dapat segera

didorong kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan rumah yang layak dan terjangkau

pada lingkungan yang sehat dan produktif.

Pemerintah daerah juga harus mengembangkan kerjasama dengan lembaga


keuangan

yang ada agar dapat menjamin tersedianya pembiayaan jangka panjang dalam rangka

membiayai pengadaan rumah murah dan perbaikan rumah bagi KBR melalui skema kredit

mikro perumahan.

b. Membangun kemitraan antara masyarakat, pemerintah daerah dan dunia usaha dalam

mewujudkan perumahan layak terjangkau pada lingkungan permukiman yang


sehat.

Masyarakat dalam hal ini memegang peranan yang strategis sebagai pelaku utama, sehingga

perlu dibangun kemitraan yang sinergi antara pemerintah daerah dan dunia usaha untuk

mewujudkan perumahan layak dan terjangkau pada lingkungan permukiman yang sehat.

Fakta menunjukkan bahwa sekitar 85% kebutuhan rumah mampu dipenuhi oleh masyarakat

secara mandiri, namun demikian kemampuan tersebut sangat terbatas terutama menyangkut

pembiayaan. Untuk mengatasi keterbatasan pembiayaan ini maka perlu dibangun kemitraan

dengan pihak lain agar dapat mempercepat dan menggairahkan iklim membangun perumahan

secara mandiri bagi KBR. Fasilitasi kemitraan dengan berbagai lembaga yang memiliki

sumberdaya strategis sangat penting misalnya dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN)

dalam rangka kemudahan pengurusan hak atas tanah (sertifikasi tanah). Selain itu juga

diperlukan kemitraan dengan lembaga keuangan yang mampu memberikan fasilitasi

pembiayaan jangka panjang.

C. Mendorong terciptanya tatanan masyarakat madani

Membangun tatanan masyarakat madani dalam iklim Good Governance melalui Pembelajaran

Pembangunan dan Perbaikan Lingkungan Perumahan dan Permukiman


a) Pembangunan infrastruktur primer melalui peningkatan peran serta dan partisipasi dalam

penyusunan perencanaan dan pengelolaan prasaran dan sarana dasar primer.

Faktor kunci terwujudnya misi pengembangan perumahan dan permukiman pada dasarnya

tergantung pada kerangka kerja masyarakat/social frame work yang melibatkan partisipasi

masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan pembangunan rumah, pembiayaan dan

pengembangan infrastruktur lingkungan permukiman. Sesuai komponen kegiatan yang

tersedia dalam rehabilitasi rutilahu, maka fokus pemberdayaan adalah pada upaya

pengembangan kapasitas masyarakat melalui pengembangan kelembagaan lokal masyarakat

dan peningkatan kualitas lingkungan permukiman yang sehat dan harmonis. Sedangkan

pengembangan daya ekonomi masyarakat dapat dikembangkan oleh masyarakat melalui

strategi kemitraan yang difasilitasi oleh pemerintah daerah bersama LCO melalui sinergi

dengan program dan kegiatan yang ada di daerah setempat.

b) Penguatan Kelembagaan Keswadayaan Masyarakat (BKM) melalui peningkatan kapasitas,

kompetensi serta aksesibilitasnya terhadap lembaga-lembaga yang memiliki sumberdaya

penting bagi KBR.

Lembaga masyarakat/Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) yang diakui dan mengakar

dalam komunitasnya akan mampu mengartikulasikan dan memberikan pelayanan yang baik

sesuai kebutuhan dan rencana masyarakat. Melalui serangkaian kegiatan pelatihan dan

pendampingan BKM didorong untuk lebih mampu menjadi representasi warga masyarakat,

memfasilitasi pemenuhan kebutuhan masyarakat serta mampu menjalin aksesibilitas

kepada lembaga-lembaga yang memiliki sumberdaya untuk membantu memenuhi

kebutuhan perumahan dan permukiman bagi KBR di wilayahnya. BKM juga diharapkan

dapat mengembangkan daya kreasi daninovasi dalam memberikan advokasi dan pelayanan

terhadap warga masyarakat di bidang perumahan dan permukiman. Dalam hal ini BKM

perlu diberikan pelatihan dan penyegaran agar dapat mengemban tugas secara lebih
amanah. Sejalan dengan itu BKM perlu mengembangkan akuntabilitas sehingga semakin

diakui dan mengakar di masyarakat.

c) Meningkatkan akuntabilitas warga masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan sesuai

dengan paradigma baru.

Warga masyarakat yang mampu mewujudkan akuntabilitas adalah warga masyarakat yang

dianggap mampu mengimplementasikan nilai-nilai universal kemanusiaan secara konsisten.

Dalam hal ini warga masyarakat perlu didorong agar dapat mewujudkan akuntabilitas

sebagai pelaku pembangunan dalam mewujudkan tatanan masyarakat madani.

Masyarakat juga perlu didorong daya kritisnya agar dapat menumbuhkan kontrol sosial

terhadap pelaksanaan kegiatan pembangunan bidang perumahan dan permukiman dan

perilaku kehidupan agar sesuai dengan nilai etika serta moralitas individu pelaksananya.

5.1.5. Langkah-langkah Dalam Penyiapan Pendampingan Perbaikan Rumah Tidak Layak

Huni

Dalam implementasi program rehabilitasi rutilahu dibutuhkan kelembagaan yang efisien di tingkat

pusat, propinsi, dan kota/kabupaten. Kelembagaan di tingkat kota/kabupaten terdiri atas :

1. LCO (Local Coordinating Office) yang bertugas sebagai pengeloladan penanggung jawab

seluruh tahapan pelaksanaan kegiatan rehabilitasi rutilahu serta mengkoordinasikan berbagai

stakeholder di tingkat kota/kabupaten.

2. Satker rehabilitasi rutilahu yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan seluruh administrasi

dan pentatabukuan keuangan kegiatan rehabilitasi rutilahu di tingkat kota/kabupaten serta

kelurahan.

Penyiapan institusi pelaksana di tingkat kota/kabupaten perlu dilengkapi dengan strategi

penanganan kumuh yang komprehensip sehingga diharapkan pelaksanaan peningkatan kualitas

pemukiman kumuh yang dilaksanakan dalam program rehabilitasi rutilahu memberikan

manfaat yang maksimal.


Untuk berjalannya kegiatan rehabilitasi rutilahu ini, maka akan dilakukan persiapan untuk

pendampingan pekerjaan rehabilitasi rutilahu ini dengan membuat beberapa langkah pendampingan

pada 13 kabupaten kota yang akan menjadi sasaran program rehabilitasi rutilahu ini, dengan

membuat beberapa langkah koordinatif pada pemerintah daerah dan stakeholder, dengan membuat

beberapa FGD (Focus Group Discussion).

Gambar 5.5. Strategi dan Rencana Aksi Program Rehabilitasi Rumah Tidak Layak Huni
Gambar 5.6. Skema Pelaksanaan Kegiatan Pendampingan Perbaikan Rumah Tidak Layak Huni
A. Langkah Pelaksanaan di Tingkat Pemerintah Daerah

Langkah pertama yang dilakukan dan kegiatan ini adalah melakukan sosialisasi dan

pembentukan POKJA di kota/kabupaten terpilih. Komponen pelaksanaan di tingkat

Pemerintah Daerah adalah terkait dengan pengembangan linkage (keterkaitan kerja) antara

Pemerintah Daerah dan Masyarakat, meliputi beberapa langkah pelaksanaan yang akan

berlangsung sejak tahapan persiapan di tingkat daerah sampai dengan tahapan penyiapan

keberlanjutan program di tingkat daerah dampingan.

Kegiatan-kegiatan yang termasuk dalam komponen pengembangan linkage dan


menjadi

tanggung jawab OC/KMW, umumnya difokuskan pada upaya- upaya terbatas untuk

membantu memperkuat peranan daerah (pemerintah, masyarakat dan swasta) dalam

konteks pembangunan berbasis masyarakat; melalui upaya-upaya secara sinergis dalam

bentuk-bentuk konfirmasi, koordinasi, konsultasi dan pemantauan. Langkah-langkah

tersebut dapat dirinci dan diuraikan sebagai berikut:

1) Verifikasi Lokasi Sasaran

LCO, OC/Korkot dan Tim Fasilitator membantu melakukan kajian dan verifikasi ulang

nama lokasi/kelurahan sasaran bersama-sama dengan Tim di daerah sesuai dengan hasil

konfirmasi akhir yang diberikan oleh Tim Teknis Pusat/Kementerian PU/PMU atas usulan

dari masing-masing daerah melalui Bappeda kab/Bappeda ko atau instansi terkait.

Dilanjutkan dengan melakukan konfirmasi langsung ke masing-masing daerah/instansi

terkait yang termasuk dalam wilayah kerja, untuk mendapatkan penegasan nama

lokasi/kelurahan yang ditetapkan dan tidak terjadi kekeliruan dalam penyebutan/penulisan

lokasi. Hasil yang diharapkan adalah tersusunnya daftar lokasi rutilahu (Propinsi,

Kabupaten/Kota, Kecamatan dan Kelurahan) secara definitif, dilengkapi dan didukung

dengan legalitas formal (SK/Berita Acara) dari daerah).


(2) Refleksi Lingkungan Permukiman

Kegiatan ini akan dilaksanakan secara bersama oleh LCO, OC/Korkot/Korkab, tim fasilitator

dan melibatkan peserta yang berasal dari wakil-wakil masyarakat di tingkat RT, RW maupun

Kelurahan termasuk BPD/LPM atau organisasi masyarakat serta unsur-unsur masyarakat

lainnya dari setiap lokasi sasaran di kelurahan yang bersangkutan. Tujuan kegiatan refleksi

ini adalah untuk membangun persepsi dan apresiasi awal tentang kondisi dan persoalan-

persoalan realistis, terkait lingkungan permukiman di masing-masing lokasi sasaran, melalui

pengamatan dan tinjauan/observasi langsung ke kelurahan sasaran rutilahu. Selanjutnya

dilakukan kajian dan pemahaman secara bersama oleh seluruh tim terhadap fenomena-

fenomena yang ada tentang lingkungan permukiman, berdasarkan persepsi dan aspirasi

masyarakat setempat, untuk digunakan sebagai basis menetapkan kriteria lingkungan

permukiman kumuh secara lokal. Hasil kajian dan masukan tentang seluruh potensi yang

ada maupun permasalahan yang timbul, dapat diformulasikan dalam suatu kerangka

pemecahan masalah serta dapat digunakan sebagai dasar untuk mendukung pelaksanaan

kegiatan survei kampung sendiri (SKS) dan kegiatan penetapan prioritas

kawasan/lingkungan permukiman kumuh pada langkah-langkah berikutnya.

(3) Penetapan Prioritas Kawasan/Lingkungan Permukiman Rutilahu

Kegiatan ini adalah untuk melakukan verifikasi dan priorisasi terhadap usulan lokasi

kawasan/lingkungan permukiman kumuh yang perlu diperbaiki yang berasal dari

masyarakat, pada saat dilakukan kegiatan refleksi lingkungan permukiman, maupun

hasil kajian yang telah dinilai dan berdasarkan pada hasil analisis kesesuaian teknis.

Kegiatan ini akan dilaksanakan oleh Tim Verifikasi Gabungan (Pemda, masyarakat dan

OC) serta dibantu oleh aparat Kelurahan dan LCO; dinyatakan memenuhi kriteria oleh

OC/Korkot dan tim fasilitator; dengan mengacu pada KAK serta SOP Penetapan Prioritas
Kawasan/Lingkungan Permukiman Kumuh dan Buku Pedoman Teknis Pembangunan

Lingkungan Sehat yang disusun oleh NMC dan OC. Hasil yang akan diperoleh dari kegiatan

ini adalah daftar prioritas usulan lokasi-lokasi lingkungan permukiman kumuh yang

layak untuk diperbaiki atau ditingkatkan kualitasnya dan digunakan juga sebagai

dasar/acuan dalam proses pengambilan keputusan secara transparan, demokratis dan

partisipatif.

(4) Rencana/Plot Perumahan dan Hunian

Kegiatan ini merupakan tahapan untuk mengidentifikasi dan menetapkan area perumahan

serta hunian/rumah tinggal di dalam kawasan/lingkungan permukiman kumuh yang telah

diidentifikasi dan ditetapkan sebelumnya. Hasil penetapan rencana serta plot

perumahan dan hunian ini, akan digunakan sebagai acuan dan arahan dalam memberikan

justifikasi serta penilaian terhadap usulan untuk sertifikasi tanah, perbaikan/renovasi dan

pembangunan rumah tinggal dari masyarakat atau calon peminat melalui pembiayaan/kredit

mikro perumahan. Plot perumahan dan hunian harus mengacu dan disesuaikan dengan

arahan dan rencana kecenderungan pengembangan daerah perumahan dan permukiman

sesuai yang tercantum dalam dokumen (draft) SPPIP dan RPKPP. Kegiatan ini akan

dilakukan dan dipantau secara langsung oleh LCO, OC/Korkot dan tim fasilitator, untuk

mencegah terjadinya ketidak-sesuaian rencana/plotting.

(5) Perencanaan Teknis Hunian/Rumah Tinggal

Kegiatan ini ditujukan untuk mengembangkan perencanaan teknis rumah tinggal, sesuai

dengan kebutuhan untuk penyediaan hunian bagi komunitas berpenghasilan rendah (KBR)

dan warga miskin. Perencanaan teknis terutama difokuskan pada upaya untuk

mengembangkan tipologi/alternatif rumah sehat yang sesuai dengan kebutuhan


dan jangkauan kemampuan KBR dan warga miskin. Pengembangan tipologi dan alternatif

rumah sehat bagi warga miskin/KBR dapat mengacu pada Buku Pedoman Teknis

Pembangunan Rumah Sehat. Hasil yang diharapkan dari kegiatan ini adalah gambar-

gambar teknis dan tipikal yang dilengkapi dengan spesifikasi teknis dan perkiraan

kebutuhan biaya/RAB untuk masing-masing tipologi dan alternatif di setiap daerah. Kegiatan

perencanaan teknis rumah tinggal akan dikoordinasikan melalui LCO dan dibantu oleh OC

serta dinas-dinas teknis terkait di daerah.

(6) Evaluasi Tahunan

Kegiatan ini adalah untuk melakukan penilaian dan evaluasi akhir per tahun

pelaksanaan terhadap kinerja seluruh pelaku di tingkat daerah, dalam melaksanakan

seluruh proses pembangunan kapasitas di setiap regional, dan memberikan hasil-hasilnya

untuk digunakan sebagai dokumen/bahan persiapan proses pelembagaan konsep

konsultansi manajemen provinsi, BKM maupun masyarakat sebagai refleksi dan tolak

ukur bahwa telah terjadi transformasi proses dan pengetahuan secara bertahap,

terprogram dan berkelanjutan. Kegiatan ini akan memberikan penilaian tentang kinerja

tahunan implementasi berdasarkan tingkat pencapaian terhadap indikatir-indikator yang

telah ditetapkan. Evaluasi tahunan akan dilakukan dan melibatkan seluruh stakeholder

erkait, dengan pola berjenjang dari tingkat daerah, regional dan nasional.

B. Langkah Pelaksanaan Pendukung

Langkah pelaksanaan pendukung adalah langkah-langkah yang dibutuhkan untuk

menunjang keberhasilan implementasi secara menyeluruh, disamping langkah pelaksanaan

yang berlangsung di tingkat masyarakat dan tingkat pemerintah daerah. Komponen

pelaksanaan pendukung bersifat komplementer terhadap langkah pelaksanaan baku dalam


siklus kegiatan pendampingan perbaikan rutilahu dan perlu untuk dipertimbangkan dalam

keseluruhan proses, yang meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut:

(1) Verifikasi dan Penetapan Prioritas Usulan Kegiatan

Kegiatan ini adalah untuk melakukan verifikasi dan priorisasi terhadap seluruh usulan

kegiatan yang berasal dari masyarakat maupun KSM yang telah dinilai dan dinyatakan layak

untuk dilaksanakan oleh UPL dan Korkot/tim fasilitator, berdasarkan hasil analisis

kesesuaian teknis dan biaya. Kegiatan ini akan dilaksanakan oleh BKM dibantu aparat

kelurahan dan LCO, dengan mengacu pada NUP yang disusun oleh masyarakat. Hasil yang

akan diperoleh dari kegiatan ini adalah daftar prioritas usulan yang layak dan realistis untuk

dilaksanakan.

(2) Pelaksanaan Sosialisasi Lanjut

Lingkup kegiatan ini adalah melakukan pemasyarakatan kepada seluruh warga di setiap

kelurahan secara terus-menerus, dan akan dilakukan oleh OC/Tim Fasilitator/TPM dibantu

oleh forum kerjasama antar kelembagaan masyarakat; setelah didapatkan hasil-hasil

penilaian dan evaluasi tahunan terhadap implementasi perbaikan rutilahu oleh para

pelaku di tingkat nasional. Tujuan kegiatan adalah untuk melembagakan proses yang telah

berlangsung sebelumnya, selama perioda tengah tahun pertama, dan meningkatkan

kepercayaan serta pemahaman masyarakat terhadap esensi rehabilitasi rutilahu melalui

contoh-contoh konkret implementasi (best practice) di berbagai wilayah sasaran. Hasil yang

diharapkan melalui kegiatan sosialisasi lanjut adalah meningkatnya fungsi kontrol sosial

masyarakat terhadap kinerja BKM, UPL maupun KSM dalam menjalankan peran dan

fungsinya.
(3) Pelaksanaan Pendampingan Menerus dan Pelatihan
Pemantapan/Penguatan

Kegiatan ini ditujukan untuk memberikan pendampingan kepada BKM, UP-UP dan KSM

secara terus-menerus selama perioda kegiatan, yang akan dilakukan oleh OC/tim

fasilitator/TPM dibantu oleh LCO/Pemda, dalam upaya melakukan transformasi proses

secara bertahap dan berkesinambungan. Termasuk dalam kegiatan ini adalah

memberikan pelatihan-pelatihan pemantapan maupun penyegaran kepada tim fasilitator,

BKM, UP-UP dan TPM yang akan dilaksanakan oleh OC. Hasil-hasil yang diharapkan

melalui kegiatan ini adalah BKM, UP-UP dan TPM yang semakin berkapasitas dan percaya

diri untuk menjalankan visi, misi, dan nilai yang dikembangkan dan mempersiapkan diri

untuk mandiri serta dilepaskan dari kegiatan dampingan OC.

(4) Membangun Informasi Manajemen di Daerah (SIM)

Kegiatan ini dilakukan dalam rangka membangun database di daerah, terkait dengan

pelaksanaan perbaikan rutilahu, terutama menghimpun dan mengumpulkan data strategis

yang berhubungan dengan pembangunan daerah serta meng- konsolidasikan

data/informasi tentang perkembangan maupun kemajuan pelaksanaan di setiap wilayah

Kelurahan sasaran.

5.1.6. Fasilitas Pendukung Pekerjaan

Keberhasilan suatu pelaksanaan pekerjaan umumnya bergantung kepada beberapa faktor

antara lain sumber daya manusia, sistem dan teknologi yang dipakai, perangkat pendukung,

maupun faktor penunjang/pembantu lainnya secara memadai.

Dengan penyediaan fasilitas pendukung/penunjang yang tepat dan cukup memadai, maka dicapai

hasil yang optimal, efisien, efektif, berpeluang besar dalam mencapai sasaran/tujuan proyek.

Sebagai basis dan tempat untuk memonitor seluruh aktivitas pekerjaan ini, kantor yang dapat

melayani kegiatan teknis dan administrasi proyek sangatlah besar keberadaan fungsinya.

Agar koordinasi tenaga ahli serta mobilisasi staf dapat berlangsung baik perlu disediakan saluran

sungai Semua peralatan yang diperlukan untuk Survei seperti saluran sungai peralatan
pengukuran lapangan, peralatan penyelidikan tanah, serta peralatan–peralatan lainnya harus ada

dalam rangka pengendalian dan pengawasan mutu material maupun hasil pekerjaan konsultan.

Format–format pelaporan, check list pekerjaan, catatan khusus dapat digunakan/dimanfaatkan

sebagai sarana komunikasi antara unsur–unsur yang terlibat dalam pekerjaan ini.

Selain peralatan–peralatan dan sarana kerja, juga harus tersedia peralatan tulis kantor,
berupa

peralatan gambar, alat menghitung dan sebagainya guna mendukung kelancaran pelaksanaan

pekerjaan.

Peralatan penunjang telah siap kami operasionalkan dan kami daya gunakan untuk mendukung

pekerjaan ini, dengan penjelasan sebagai berikut.

Tabel 5.2. Daftar Mobilisasi Fasilitas Pendukung

Untuk Pekerjaan Ini ,

No Nama Barang/Fasilitas Luas/ Satuan Kondisi

I Peralatan Kantor (Statis)

1. Komputer 9 buah Baik

2. Printer 5 buah Baik

3. Ploter 1 1 buah Baik

5. Telepon dan Faks 1 unit Baik

5. Note Book 2 unit Baik

6. Projector/INFOKUS 1 unit Baik

II Peralatan Kantor (Mobile)


1. GPS 1 buah Baik

2. Kamera 1 unit Baik

5.2. PROGRAM KERJA

5.2.1 Tinjauan Umum Rencana Kerja

Kriteria umum dalam menentukan indikasi program pembangunan secara keseluruhan adalah :

1) Mengintegrasikan usaha-usaha pembangunan dan pengembangan lahan kawasan

kumuh ke dalam skala ruang kota;

2) Mempertimbangkan aspirasi masyarakat, potensi dan daya dukung lingkungan agar tercapai

segi efisiensi dari usaha-usaha pengembangan pembangunan dan pemanfaatan kawasan

tersebut;

3) Konsisten dengan arahan tata ruang yang telah ditetapkan. Dalam hal ini, untuk dapat

terjaganya fungsi kawasan tersebut sebagai salah satu sarana penataan tata ruang dan

tata kawasan

Lingkup mengenai Indikasi Program ini akan mencakup aspek-aspek, yaitu:

1) Susunan/bentuk program;

2) Program investasi dan pendanaan;

3) Lembaga terkait yang akan terlibat di dalam penangan/pelaksanaan program;

4) Jadwal pelaksanaan program.

5.2.2 Bentuk Program

Secara garis besar rumah tidak layak huni di 6 Kabupaten/ota di Jawa Barat, sesuai dengan konsep

pekerjaanya terbagi atas 2 (dua) aspek penataan, yaitu:

1. Aspek Penataan 1: Penataan Fisik Rumah Tidak Layak Huni

2. Aspek Penataan 2: Pemberdayaan Masyarakat


Untuk itu, maka lingkup indikasi program terbagi atas indikasi program pembangunan perbaikan

rumah tidak layak huni, terutama yang berkaitan dengan pembangunan fisik.

1. Perencanaan Partisipatif

Program rehabilitasi rutilahu bersifat perencanaan partisipatif, yang dituangkan di dalam rencana

kerja BKM Kelurahan sebagai lembaga penyelenggara/pelaksanan kegiatan di level

Kelurahan/Desa.

2. Pemberdayaan Masyarakat

Kawasan yang sudah tertata perlu pemeliharaan dan pengelolaan. Hal ini sangat bergantung

terhadap kemampuan penghuni kawasan tersebut. Oleh karena itu pemberdayaan menjadi salah

satu prioritas utama dalam pencapaian ’goals’ penataan, sehingga kawasan sejahtera baik secara

fisik maupun rohani.

Selanjutnya untuk merealisasikan program pembangunan/ pengembangan fisik, beberapa program

nonfisik perlu dilakukan, yaitu:

1. Untuk merealisasikan semua program sesuai arahan, selain perlu dilakukan sosialisasi

kepada seluruh stake holder yang terkait dengan pembangunan ini, juga perlu dipersiapkan

sistem partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan ini.

2. Penyusunan jadwal dan teknis pelaksanaan pembangunan.

3. Membuat proposal untuk pencairan dana bansos

Rencana kerja pelaksanaan studi ini disiapkan atas dasar Kerangka Acuan Kerja serta

sesuai dengan strategi yang disusun berdasarkan pendekatan dan metodologi pelaksanaan

pekerjaan yang telah disusun pada bab sebelumnya. Tahapan pekerjaan ini disusun sesuai

dengan materi-materi yang harus dilengkapi dalam setiap laporan.

Secara umum dapat dikemukakan bahwa dalam melakukan kegiatan studi ini, hasil yang
diharapkan

dapat diperoleh adalah dokumen laporan


akhir.
Dengan mengacu pada keluaran akhir ini, maka pendekatan yang dilakukan pada kegiatan

ini adalah pendekatan kesisteman, di mana tinjauan dilakukan pada seluruh komponen yang ada

dalam sistem. Dalam hal ini yang dimaksud dengan sistem dibatasi hanya pada lingkup kegiatan

pada Ini.

A. Rincian Aktivitas Studi


I. Tahap I
1. Desk Studi (Kajian Literatur)
a. Review Studi Terdahulu
2. Penyusunan Rencana Kerja
a. Menyiapkan dan Menyusun Rencana Kerja
3. Survei dan Pengumpulan Data
a. Koordinasi dengan SKPD Provinsi
b. Koordinasi dengan SKPD Kabupaten/Kota
c. Sosialisasi dengan masyarakat di 13 Kabupaten/Kota
d. Survey Lapangan
4. Penyusunan Dokumen Laporan Pendahuluan
a. Menyiapkan Dokumen Pendahuluan
b. Presentasi Laporan Pendahuluan
II. Tahap II
1. Pelaksanaan
a. Melakukan verifikasi Proposal Usulan bersama Korfas dan TFl
b. Koordinasi dengan warga perihal pembentukan panitia pembangunan
c. Menyiapkan kelengkapan proposal pencairan dana bersama Korfas dan TFL
d. Melakukan Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan Kegiatan
e. Pendampingan dalam pencairan dana bantuan ke rekening BKM/LKM/LPM
f. Menyepakati Jadwal Pelaksanaan Perbaikan RUTILAHU
g. Memeriksa Laporan penggunaan Dana Bansos bersama Korfas dan TFl
2. Menyiapkan Dokumen
a. Membuat Laporan Draft Akhir
b. Presentasi laporan draft akhir
c. Menyampaikan laporan penggunaan dana bansos ke Disperkim Jawa Barat
d. Membuat laporan Akhir
e. Membuat laporan akhir
f. Finalisasi produk-produk kegiatan

5.2.3. DESK STUDY

Lokasi Pekerjaan yang dijelaskan dalam KAK dilaksanakan di 227 Desa/Kelurahan yang tersebar di

13 Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat, yaitu Kota Bandung, Kota Cirebon, Kota Banjar,

Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Cirebon, Kota Tasikmalaya, Kabupaten Ciamis, Kabupaten

Indramayu, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Kuningan, Kabupaten

Pangandaran dan Kabupaten Garut .

Sasaran tahapan kegiatan ini adalah untuk mendapatkan gambaran teoritis dan praktis yang lebih

jelas mengenai segala hal yang berkaitan dengan proyek ini. Dengan diperolehnya gambaran

yang jelas berkaitan dengan masalah di atas maka diharapkan hasil yang baik ditinjau dari

konteks, substansi maupun format, sesuai dengan permasalahan ataupun karakteristik proyek yang
ditinjau. Deskripsi lebih lanjut dari masing-masing aktivitas diuraikan dalam Tabel 5.3. sampai

dengan Tabel

5.8 yang menggambarkan uraian singkat dan output yang diharapkan dapat diperoleh.
Tabel 5.3.

Rincian Aktivitas pada Tahap 1: Desk Study (Kajian Literatur)

Task Nama Kegiatan Uraian Output

Task 1.a Review Studi Terdahulu Review dilakukan terhadap semua  Pendekatan

studi yang pernah dilakukan, studi

terutama yang berkaitan dengan  Metoda studi

studi mengenai perbaikan rumah

tidak layak huni.

5.2.2. PENYUSUNAN RENCANA KERJA

Sasaran yang diharapkan dari tahapan kegiatan ini adalah untuk mendapatkan gambaran mengenai

langkah-langkah yang hasrus dilakukan dalam kegiatan ini. Untuk itu maka pemahaman yang

komprehensif terhadap kondisi kawasan dan deskripsi proyek diperlukan. Selain itu, komunikasi

yang sangat intens yang melibatkan berbagai stakeholders terkait juga diperlukan.

Untuk itu, kegiatan yang akan dilakukan yaitu:


a) Inventarisasi Rencana dan Rancangan Proyek,
b) Survei Recognaisance,
c) Public Consultative Meeting,

Tabel 5.4.

Rincian Aktivitas pada Tahap 2: Penyusunan Kerangka Acuan Study

Task Nama Kegiatan Uraian Output

Inventarisasi akan dilakukan pada  Rencana teknis


Inventarisasi Rencana dan
Task 2.a rencana Ini. Inventarisasi ini dilakukan rinci
Rancangan Proyek
untuk mendapatkan gambaran yang  Jadwal
menyeluruh dan jelas mengenai pelaksanaan

berbagai aspek dari proyek yang akan proyek

dibangun, baik ditinjau dari aspek  Metoda

teknis, non-teknis, dan jadwal pelaksanaan

pelaksanaan. proyek

Survei dan pendahuluan ini pada  Pemahaman

dasarnya lebih ditekankan pada lokasi terhadap kondisi

Ini , . lingkungan

Maksud dari survei ini adalah agar eksisting

Task 2.b SurveiRecognaisance diperoleh pemahaman yang lengkap  Identifikasi awal

terhadap kondisi lingkungan eksisting, komponen

sedemikian sehingga akan mampu dampak yang

mengidentifikasi komponen dampak mungkin muncul

yang diperkirakan akibat Ini , .

Kegiatan ini pada dasarnya bertujuan  Awareness

untuk mendapatkan masukan ataupun stake holder

aspirasi semua stakeholder terkait  Komponen

sehubungan dengan pelaksanaan dampak yang


Public Consultative
proyek ini, terutama ditinjau dari perlu mendapat
Task 2.c Meeting
kemungkinan dampak yang akan perhatian

terjadi. khusus

 Isu-isu lokal

yang berasal

dari masyarakat
5.2.3. SURVEI DAN PENGUMPULAN DATA

Sasaran yang diharapkan dari tahapan kegiatan ini adalah untuk mendapatkan gambaran aktual dari

sistem ataupun lokasi yang sedang dikaji. Untuk itu pengumpulan data akan dilakukan melalui

instansi yang terkait ataupun observasi ataupun pengamatan langsung di lapangan.

Untuk itu, ada beberapa kegiatan survei yang akan dilakukan, yaitu:

Tabel 5.5.

Rincian Aktivitas pada Tahap 3: Survei dan Pengumpulan Data

Task Nama Kegiatan Uraian Output

Melakukan koordinasi dengan SKPD  Mendapatkan data


Task 3.a Koordinasi
Provinsi dan SKPD Kabupaten/Kota yang akurat

 Agar tidak terjadi

Melakukan sosialisasi dengan warga kesalahpahaman


Task 3.b Sosialisasi
yang akan menerima bantuan sosial dengan warga

Survei dan pengumpulan data pada  Tepat sasaran

kawasan proyek dilakukan dengan

melakukan pengamatan langsung di


Survei lapangan
Task 3.c lapangan dan juga melakukan

pengumpulan data sekunder pada

pihak terkait. Data yang dikumpulkan

meliputi: peta topografi dan kondisi


rumah
5.2.4. LAPORAN PENDAHULUAN

Segera setelah seluruh pengumpulan data dan Survei lapangan dilakukan maka proses kompilasi

dan analisis data dilakukan, di mana selanjutnya diteruskan dengan membuat laporan pendahuluan.

Sebelumnya, kompilasi dilakukan dengan cara melakukan validasi maupun cross-check, agar data

yang digunakan dalam analisis benar-benar representatif.

Tabel 5.6.

Rincian Aktivitas pada Tahap Laporan Pendahuluan

Task Nama Kegiatan Uraian Output

Membuat laporan pendahuluan  Laporan

Penyusunan Dokumen dengan data dari studi terdahulu Pendahuluan

Task 5.a Pendahuluan dan survey lapangan.

Dilakukan juga presentasi tentang

laporan pendahuluan
5.2.5. PELAKSANAAN KEGIATAN

Pada tahapan ini dilakukan kegiatan mulai dari pemilihan proposal usulan bersama dengan Korfas

dan TFL sampai dengan kegiatan pembangunan perbaikan rumah tidak layak huni Secara garis

besar kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan pada tahap ini adalah:

Tabel 5.7.

Rincian Aktivitas pada Tahap Pelaksanaan Kegiatan

Task Nama Kegiatan Uraian Output

Melakukan pemeriksaan atau


Rumah yang terpilih
verifikasi terhadap proposal-
adalah rumah yang
proposal yang sudah diajukan
Task 5.a Verifikasi Proposal Usulan memang
bersama dengan Korfas dan TFL
membutuhkan
untuk menghindari kesalahan
bantuan
pemilihan.

Melakukan rembug dengan warga Pembentukan

Task 5.b Rembug Warga yang sudah terpilih sebagai panitia

penerima bantuan. pembangunan

Menyiapkan proposal untuk

mencairkan dana bansos dengan


Pencairan dana
Task 5.c Dana Bansos Korfas dan TFL. Selain itu
bantuan social
membantu pencairan dana bansos

ke rekening BKM/LKM/LPM

Task 5.d Pembangunan Perbaikan Mulai dari menyusun jadwal dan Finalisasi produk-
Task Nama Kegiatan Uraian Output

Rutilahu teknis pelaksanan perbaikan, lalu produk dan

melakukan monitoring dan evaluasi pertanggungjawaban

dalam pelaksaan kegiatan, sampai penggunaan dana

menyiapkan laporan penggunaan bansos

dana bantuan social ke Disperkim

Jabar

Membuat laporan akhir tentang

seluruh kegiatan pendampingan


Penyusunan Dokumen
5.e perbaikan rumah tidak layak huni, Laporan Akhir
Akhir
dan dilakukan persentasi tentang

laporan akhir ini.


Tabel 5.8 Jadwal Pelaksanaan Pekerjaan

Anda mungkin juga menyukai