Resensi Buku
Manusia Indonesia
(Sebuah Pertanggungjawaban)
Karya Mochtar Lubis
Dalam buku ini, pidato “Manusia Indonesia” dimuat secara lengkap, bukan ringkasan saja
seperti yang dimuat media massa pada masa itu. Sifat-sifat manusia Indonesia yang
dituturkan Mochtar Lubis pada pidatonya tersebut merupakan sebuah pandangan, yang lebih
tepat jika dikatakan sebagai stereotip. Sebagaimana layaknya stereotip, maka pendapat
Mochtar Lubis ini tidak dapat dikatakan benar seluruhnya dan tidak pula salah seluruhnya.
Karena stereotip tersebut diperoleh dari hasil dari pengalaman, prasangka, pengamatan,
pemikiran serta penilaiannya secara kritis mengenai ciri-ciri manusia Indonesia.
Secara garis besar ada enam ciri manusia Indonesia yang dikemukakan oleh Mochtar
Lubis, di antaranya hipokrit atau munafik, segan dan enggan bertanggung jawab, bersikap
feodal, percaya takhayul, artistik dan lemah wataknya.
Hipokrit atau munafik ini muncul pada karakter manusia Indonesia sejak masa feodal dan
kolonial. Manusia Indonesia sering berpura-pura, lain di muka, lain di belakang. Sistem
feodal dan kolonial di masa lampau menekan rakyat dan menindas segala inisiatif rakyat.
Sehingga langsung atau tidak langsung, memaksa manusia Indonesia menyembunyikan apa
sebenarnya yang dirasakannya, dipikirkannya, dan dikehendakinya. Semua itu
disembunyikan karena takut akan mendapatkan ganjaran yang membawa bencana bagi
dirinya.
Kalimat ”Bukan Saya” sering kali terlontar dari mulut manusia Indonesia. Ini menurut
Mochtar Lubis merupakan bukti nyata rasa segan dan enggan bertanggung jawab memang
ada dalam diri manusia Indonesia. Misalnya, jika terjadi suatu kesalahan atau kegagalan pada
suatu lembaga. Maka atasan akan berkata ”Bukan Saya” lalu menggeser kesalahan ke
bawahannya. Begitu seterusnya hingga jabatan terbawah. Ketika sampai pada bawahan tetap
saja kata ”bukan saya” pada atasan akan berganti menjadi ”Saya hanya melaksanakan
perintah dari atasan!”
Feodalisme ini ditandai dengan penguasa sangat tidak suka mendengar kritik. Sedangkan
yang lain menjadi segan untuk melontarkan kritik. Manusia yang berada di kalangan atas
mengharapkan agar manusia yang di bawahnya mengabdi kepadanya dengan segala bentuk.
Begitu pula dengan bawahan, mereka dengan jiwa feodalnya bersedia untuk mengabdi pada
yang lebih ’di atas’ tadi. Karena prinsipnya “Asal Bapak Senang”, yang penting selamat dan
cari aman.
Jika di zaman dahulu manusia percaya gunung, pohon, keris memiliki kekuatan gaib.
Begitu pula dengan manusia Indonesia masa sekarang. Sampai sekarang
manusia Indonesia yang modern pun, baik itu yang telah bersekolah dan berpendidikan
modern sekalipun masih terus juga membuat jimat, mantra atau lambang-lambang.
Manusia Indonesia sangat cenderung percaya menara, semboyan atau lambang yang
dibuatnya sendiri. Misalnya, Pancasila. Manusia Indonsia tidak peduli apakah telah
melaksanakan dengan baik dan benar atau belum Pancasila itu. Mereka tetap saja dengan
penuh keyakinan bahwa setelah mengucapkannya maka masyarakat Pancasila itu telah
tercipta.
Dari keenam ciri manusia yang dikemukakan Mochtar Lubis hanya ciri inilah yang
merupakan ciri positif. Suatu ciri yang menarik dan mempesonakan dan merupakan sumber
dan tumpuan hari depan manusia Indonesia. Manusia Indonesia hidup dengan perasaan
sensualnya yang kemudian membuat daya artistik berkembang lalu tertuang dalam segala
rupa ciptaan artistik. Tapi sifat artistik itu ada kelemahannya, yakni manusia Indonesia
cenderung memakai perasaannya dalam berpikir dan bertindak sehingga hal itu bisa
menghambat perkembangan hidupnya.
Melalui pidatonya ini Mochtar Lubis mencoba untuk membangkitkan pemikiran kritis.
Namun, sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya ciri manusia Indonesia ini hanyalah
stereotip. Dari berbagai tanggapan yang ada, sekiranya dapat membantu kita untuk
menganalisis dan bercermin apakah benar ciri-ciri tersebut memang ada pada diri manusia
Indonesia.
Terlepas dari benar atau salah apa yang dikemukakan Mochtar Lubis, paling tidak dapat
menjadi referensi dan introspeksi. Jikalau ciri-ciri negatif tersebut memang ada dan dapat
mengganggu atau pembangunan dan pertumbuhan negeri, maka harus cepat diminimalisir
bahkan disingkirkan. Karena inti suatu negara bukanlah sistem, namun pembuat dan
pelaksana sistemlah yang merupakan faktor penting. Semua manusia di dalamnya, yakni
manusia Indonesia.