Anda di halaman 1dari 4

Bahan Khotbah Kebaktian Jumat Agung:

15 April 2022
Bacaan Alkitab: Ibrani 4:14-5:10
Tema: Yesus Imam Besar yang Agung

Tujuan: Warga jemaat menghayati pengorbanan Yesus di kayu salib


dengan hidup saling memperhatikan dan mengasihi.

A. PENGANTAR
Dalam konteks keagamaan bangsa Israel, ada dua jabatan yang sangat
penting, yaitu imam dan nabi. Orang-orang yang memegang jabatan ini
ditentukan oleh Allah dan ditahbiskan melalui pengurapan. Kedua
jabatan ini memiliki tugas yang agak berbeda, meskipun secara hakiki
memiliki tujuan yang sama, yaitu menjadi pengantara Allah dan manusia.
Jika nabi bertugas menyampaikan pesan Allah kepada manusia, maka
imam bertugas menyampaikan permohonan manusia kepada Allah.
Kehadiran dan pelayanan Yesus selama berada di dunia memperlihatkan
dua ciri jabatan tersebut. Dan ciri keimaman Yesus-lah yang ingin
ditonjolkan oleh penulis surat Ibrani.

B. AMANAT TEKS
Secara historis, Yesus memang bukan imam. Ia bukan keturunan suku
Lewi dan tidak pernah memimpin ibadah korban bakaran di Bait Suci.
Namun, penulis surat Ibrani dengan teologisnya memperlihatkan sisi
keimaman dari karya penyelamatan Yesus di kayu salib. Bagi penulis surat
Ibrani, Yesus memang bukan imam, tetapi Dia melampaui imam
sehingga layak disebut sebagai Imam Besar yang Agung. Imam Besar
adalah imam yang bertugas membakar korban bakaran di ruang maha
kudus dalam upacara Hari Raya Pendamaian. Imam besar tidak mengerti
dan tidak mengetahui apa saja yang diperbuat oleh umat selama
hidupnya, yang jelas bahwa imam besar memohonkan ampunan kepada
Allah bagi umat. Di sinilah bedanya Yesus dengan imam besar, sekaligus
yang menjadi keunggulan-Nya, Yesus dapat turut merasakan dan
mengerti kelemahan-kelemahan manusia (4:14-15; bdk. 2:17).
Saat mempersembahkan korban bakaran, hanya imam besar (yang
bertugas pada saat itu) yang diperkenankan masuk ke dalam ruang maha
kudus. Mereka yang melanggar aturan tersebut akan dihukum mati.
Tidak mengherankan jika “takut kepada Allah” menjadi tema sentral
dalam konteks peribadahan Israel. Namun, melalui penyelamatan di
dalam Yesus Kristus, tidak ada lagi yang bisa menjadi alasan untuk takut
datang kepada Allah, melainkan sebaliknya, setiap orang diajak datang
kepada Allah dengan penuh keberanian karena Allah di dalam Yesus
Kristus adalah Allah yang penuh kasih, menganugerahkan keselamatan
kepada mereka yang datang kepada-Nya (4:16). Jadi, keagungan Yesus
sebagai Imam Besar adalah kemampuan-Nya merasakan pergumulan
manusia. Ia bersimpati atas apa yang diderita dan dialami manusia.
Imam besar tidak hanya memohon ampunan bagi umat, tetapi juga
untuk dirinya sendiri (5:1-3). Dengan kata lain, jabatan imam besar tidak
membuat orang tersebut bebas dari hukuman karena setiap manusia
berdosa di hadapan Allah. Meskipun disebut sebagai imam besar,
“kebesaran”-nya bukanlah karena dia layak atas jabatan itu, melainkan
pilihan dari Allah (5:4). Begitu pula dengan Yesus. Ia dipilih bukan
untuk memuliakan diri-Nya, melainkan untuk kemuliaan Allah (5:5-6).
Keagungan Yesus sebagai Imam Besar tidak hanya ditunjukkan
melalui simpati-Nya, melainkan lebih dari itu, yaitu empati. Jika imam
besar biasanya mempersembahkan (baca: “membunuh”) makhluk lain
demi pengampunan dosa, maka Yesus lebih dari itu. Ia
mempersembahkan dirinya sendiri dalam doa dan permohonan dengan
ratap tangis dan keluhan kepada Allah (bdk. kisah di taman Getsemani)
(5:7). Yesus menjadi teladan ketaatan dalam penderitaan (5:8). Ketaatan
Yesus dalam menderita menunjukkan bahwa Dia tidak ingin
memuliakan diri-Nya sendiri, karena salib bukanlah sebuah kebanggaan
melainkan hinaan dan kutukan. Ketaatan-Nya kepada Bapa membuat
orang yang percaya kepada-Nya diselamatkan; melalui Yesus, Imam Besar
menurut peraturan Melkisedek itu, setiap orang yang percaya dapat
terhubung dan bertemu dengan Allah (6:9-10).
Dalam Perjanjian Lama, Melkisedek digambarkan sebagai imam
Allah Yang Mahatinggi dan raja Salem (Kej. 14:17-20); ia memberkati
Abraham dan menjanjikan berkat dari Allah. Kitab Kejadian tidak
menyebut-nyebut kematian Melkisedek, sehingga sejumlah rabi Yahudi
menganggapnya tidak pernah mati.1 Jadi, ketika penulis surat Ibrani
menyebut Yesus adalah Imam Besar menurut peraturan Melkisedek, itu
menunjukkan karya penyelamatan Yesus yang abadi (bdk. 5:9).

C. AMANAT KHOTBAH
Berdasarkan Amanat Teks pada bagian sebelumnya, ada beberapa pokok
yang bisa dikembangkan dalam khotbah:
1. Dengan membawa pembacanya masuk dalam konteks
peribadahan Yahudi dalam menjelaskan identitas Yesus, penulis
surat Ibrani ingin menegaskan bahwa ritual keagamaan bukanlah
sekadar upacara, melainkan perjumpaan secara langsung antara
Allah dan manusia. Di sinilah pentingnya penghayatan terhadap
prosesi dan simbol-simbol yang digunakan dalam peribadahan.
Eka Darmaputera menyebut ibadah adalah ekspresi komunikasi,
interaksi, dan hubungan persekutuan kita dengan Allah.2 Jika
ibadah merupakan hubungan dengan Allah, maka ibadah bukan
hanya soal kehadiran di dalam gedung gereja saja, melainkan
juga di luar gedung gereja, dalam kehidupan kita sehari-hari.
Hubungan baik dengan Allah, tercermin dalam hubungan yang
baik dengan sesama.
2. Sama seperti Kristus yang bersimpati dan berempati kepada
manusia yang diwujudkan melalui kematian-Nya, maka sebagai
pengikut Kristus yang meneladani-Nya sudah sepatutnyalah kita
juga bersimpati dan berempati dengan kesulitan hidup
orang-orang di sekitar kita. Tuhan tidak meminta kita mati
bagi-Nya, melainkan hidup bagi sesama sebagai pengabdian
kepada-Nya.
3. Motivasi dalam membantu orang lain perlu terus-menerus
diperbaiki. Ada orang yang mau membantu orang lain karena
pamrih, tidak tulus. Orang seperti ini membantu demi tujuan
pribadi: popularitas, penghormatan, pujian, pengakuan dan lain
sebagainya. Ini bertentangan dengan motivasi Yesus untuk

1
Alkitab Edisi Studi (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2017), hlm. 1986 -pen.
2
Eka Darmaputera, Imamat yang Sempurna: Pemahaman Surat Ibrani tentang Iman dan
Keimaman Yesus (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2014), hlm. 53 -pen.
menyelamatkan manusia. Ia tidak mencari penghormatan dari
manusia, melainkan bagi kemuliaan Allah. Teladan Yesus ini
menjadi dasar bagi kita dalam membantu orang lain. Kita
mengasihi/membantu orang lain, bukan karena ingin dikasihi,
melainkan karena kita telah lebih dahulu dikasihi oleh Tuhan.
(YPR)

Anda mungkin juga menyukai