Anda di halaman 1dari 2

Pro dan Kontra Penulisan Hadis

Dari beberapa catatan tentang hadis pada masa Nabi saw., ada dua hal penting yang perlu dikemukakan,
yaitu larangan menulis hadis dan perintah menulis hadis. Pada awalnya, Nabi saw. melarang para
sahabat untuk menulis hadis karena dikhawatirkan akan terjadi percampuran antara ayat-ayat al-Qur'an
dengan hadis. Larangan ini dilakukan karena Rasulullah khawatir hadis tercampur dengan al-Qur’an yang
saat itu masih dalam proses penurunan. Pada kesempatan yang lain, Nabi justru memerintah agar hadis-
hadisnya ditulis

Penulisan Hadis pada Masa Rasulullah dan Para Sahabat

Pada masa Rasulullah, kodifikasi hadis belum mendapatkan perhatian yang khusus dan serius dari para
sahabat. Para sahabat lebih banyak mencurahkan diri untuk menulis dan menghafal ayat-ayat al-Qur'an,
meskipun dengan sarana dan prasarana yang sangat sederhana. Hadis pada waktu itu lebih banyak
dihafal dan diamalkan.

Penulisan hadis sebenarnya sudah terjadi pada masa Rasulullah saw, walaupun sifatnya masih
individual. Mereka yang telah mempunyai kemampuan menulis melakukannya sendiri-sendiri seperti
yang dilakukan oleh ‘Abd Allah ibn Umar. Para sahabat tidak menulis semua hadis. Hanya hadis-hadis
yang dipandang terlalu panjang dan spesifik.

Hadis yang panjang-panjang selalu ditulis oleh para sahabat, seperti hadis tentang ketentuan zakat yang
hendak dikirim kepada Abu Musa al-Asy’ari yang pada waktu itu didelegaskan oleh Nabi ke negara
Yaman, memohon agar ketentuan zakat itu dituliskan. Maka sebelum tulisan hadis zakat itu dikirim ke
Yaman hadis tersebut diarsip tersebih dahulu oleh umar ibn khattab, sehingga Umar ibn Khattab dikenal
dengan bapak pengarsipan dokomen.

Meskipun secara khusus hadis belum mendapatkan perhatian yang serius, namun kegiatan periwayatan
hadis sudah mulai berkembang meskipun dengan jumlah yang masih sedikit. Hal ini karena Abu Bakar,
Umar juga dua khalifah terakhir (Us|man dan Ali) sangat berhati-hati dalam menerima periwayatan
sahabat lain. Sikap hati-hati ini dilakukan untuk mencegah beredarnya hadis-hadis palsu untuk
kepentingan-kepentingan tertentu

Penulisan Hadis pada Masa Kodifikasi

Kegiatan kodifikasi hadis dimulai pada masa pemerintahan Islam dipimpin oleh khalifah ‘Umar ibn ‘Abd
al-‘Aziz (khalifah kedelapan Bani Umayah) pada tahun 99-101 H. Melalui instruksinya kepada Abu Bakar
bin Muhammad bin Amr bin Hazm (gubernur Madinah) dan para ulama Madinah agar memperhatikan
dan mengumpulkan hadis dari para penghafalnya. Khalifah meng-instruksikan kepada Abu Bakar ibn
Muhammad ibn Hazm agar mengumpulkan hadis-hadis yang ada pada ‘Amrah binti ‘Abd al-Rahman al-
Anshari, murid kepercayaan ‘Aisyah, dan al-Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakr. Instruksi yang sama ia
tunjukkan pula kepada Muhammad bin Syihab al-Zuhri, yang dinilainya sebagai orang yang lebih banyak
mengetahui hadis dari pada yang lainnya. Dari para ulama inilah, kodifikasi hadis secara resmi awalnya
dilakukan.
Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi kodifikasi hadis pada masa ’Umar ibn ’Abd al-’Aziz, antara
lain:

- Pertama, para ulama hadis telah tersebar ke berbagai negeri, dikhawatirkan hadis akan hilang bersama
wafatnya mereka, sementara generasi penerus diperkirakan tidak menaruh perhatian terhadap hadis.

- Kedua, banyak berita yang diada-adakan oleh pelaku bid’ah (al-mubtadi’) seperti Khawarij, Rafidah,
Syi’ah, dan lain-lain yang berupa hadis-hadis palsu.

Penulisan Hadis pada Masa pasca Kodifikasi

pada permulaan abad ke-3 H, para ulama berusaha untuk memilah atau menyisihkan antara hadis
dengan fatwa sahabat atau tabi’in. Ulama hadis berusaha untuk membukukan hadis-hadis Nabi saw.
secara mandiri, tanpa mencampurkan fatwa sahabat dan tabi’in. Karena itulah, ulama’ hadis banyak
menyusun kitab-kitab musnad yang bebas dari fatwa sahabat dan tabi’in.

Meskipun demikian, upaya untuk membukukan hadis dalam sebuah kitab musnad ini bukan tanpa
kelemahan. Salah satu kelemahan yang dapat diungkap adalah belum disisihkannya hadis-hadis yang
dhaif, termasuk hadis palsu yang sengaja disisipkan untuk kepentingan-kepentingan golongan tertentu.
Melihat kelemahan di atas, ulama hadis tergerak untuk menyelamatkan hadis dengan membuat kaidah-
kaidah dan syarat-syarat untuk menilai kesahihan suatu hadis. Dengan adanya kaidah dan syarat-syarat
tersebut, lahir apa yang disebut dengan ilmu dira>yah hadis yang sangat banyak cabangnya, di samping
juga ilmu riwayat hadis.

Abad ke- 3H ini lazim disebut dengan abad atau periode seleksi dan penyusunan kaidah serta syarat
periwayatan hadisyang melahirkan sejumlah karya monumental dalam bidang hadis, seperti Shahih al-
Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abi Dawud, Sunan al-Tirmuzi, Sunan al-Nasa’i, dan lainnya.

Usaha ulama hadis pada abad selanjutnya sampai sekarang adalah mengklasifikasikan hadis-hadis yang
sejenis kandungannya atau sejenis sifat-sifat isinya dalam suatu kitab. Di samping itu, mereka banyak
memberi syarah dan meringkas kitab-kitab terdahulu. Pada masa ini lahirlah kitab hadis-hadis hukum,
seperti Sunan al-Kubra karya al-Bayhaqi, Muntaqa al-Akhbar karya al-Harawi, dan Nayl al-Autar karya al-
Syawkani.

Di samping itu, usaha lain yang dilakukan oleh ulama hadis pada abad ini dan seterusnya adalah
menyusun ma’ajim hadis untuk mengetahui dari kitab hadis apa sebuah hadis dapat ditemukan.
Misalnya, kitab al-Jami’ al-Saghir fi Ahadis al-Basyir al-Nazir karya al-Suyuti.

Anda mungkin juga menyukai