Anda di halaman 1dari 42

BAB VI.

PEMETAAN RISIKO BENCANA BANJIR

6.1. Ancaman Banjir

6.1.1. Pemetaan Parameter Ancaman

1. Curah Hujan

Hasil analisis data curah hujan Kabupaten Konawe Utara yang diperoleh dari

Badan Wilayah Sungai Sulawesi IV menyimpulkan bahwa wilayah Kabupaten Konawe

Utara berdasarkan curah hujannya digolongkan menjadi tiga golongan yaitu curah

hujan rendah, sedang dan tinggi, yang terdiri dari empat macam stasiun, yaitu stasiun

Wiwirano, Asera, Lamonae, dan stasiun Tinobu.

Wilayah Kabupaten Konawe Utara dengan curah hujan yang tinggi berada pada

stasiun Wiwirano yaitu sebesar 250,07 mm/bln dengan jumlah 3.000,78 mm/thn.

Wilayah tersebut meliputi Kecamatan Asera, Oheo, dan Sebagian Kecamatan Molawe

dan Kecamatan Langgikima. Wilayah dengan curah hujan sedang berada pada stasiun

Asera, yaitu sebesar 204,12 mm/bln dengan jumlah 2.449,38 mm/thn. Wilayah tersebut

meliputi kecamatan Andowia, Asera dan sebagian Kecamatan Molawe. Selanjutnya

wilayah yang memiliki curah hujan rendah ditempati oleh stasiun Lamonae sebesar

109,03 mm/bln dengan jumlah 1.311,54 mm/thn dan stasiun Tinobu sebesar 109,27

mm/bln dengan jumlah 1.311,2 mm/thn. Wilayah tersebut meliputi Kecamatan Motui,

Sawa, Lembo, Lasolo, Langgikima, Wiwirano dan sebagian wilayah Kecamatan

Molawe. Rata-rata curah hujan bulanan Kabupaten Konawe Utara sebagaimana

disajikan pada table 1 berikut.


Tabel 5.1:
Rata-rata Curah Hujan Bulanan Kabupaten Konawe Utara Selama 5 Tahun
Terakhir (2011-2016)
Curah Hujan (mm)
Bulan Wiwirano Asera Lamonae Tinobu
Januari 344,68 230,24 135,94 124,6
Februari 346,28 246,7 112,58 177,64
Maret 357,4 272,74 113,76 134,18
April 431,52 244,34 109,14 131,3
Mei 205,84 243 148,6 142,7
Juni 339,82 268,7 177,1 152,8
Juli 244,14 327,4 251,58 112,8
Agustus 68,22 58,1 62,6 18,5
September 51,66 86 38,02 11,56
Oktober 41,78 35 11,12 38,82
November 154,14 177 42 59,9
Desember 415,3 260,16 109,1 206,4
Jumlah 3.000,78 2.449,38 1.311,54 1.311,2
Sumber: hasil olahan data primer tim peneliti,2017

Daerah yang mempunyai curah hujan yang tinggi maka daerah tersebut akan

lebih berpengaruh terhadap terjadiya banjir. Berdasarkan hal tersebut maka untuk

pemberian skor ditentukan dengan memperhatikan seberapa besar pengaruhnya

terhadap banjir. Semakin besar pengaruh terhadap bencana banjir maka skornya juga

besar. Pemberian skor untuk parameter curah hujan sebagaimana disajikan pada table

5.2 berikut.

Tabel 5.2:
Klasifikasi Curah Hujan Di Kabupaten Konawe Utara
Kelas Kelas
No Stasiun Curah Hujan
(mm/tahun) Indeks
1 Wiwirano 3.000,78 mm Sangat Basah Tinggi
2 Asera 2.449,38 mm Sedang/Lembab Sedang
3 Lamonae 1.311,54 mm Sangat Kering Rendah
4 Tinobu 1.311,2 mm Sangat Kering Rendah
Sumber : hasil olahan data sekunder tim peneliti, 2017
Gambar 5.1:
Peta Curah Hujan

Sumber: hasil modifikasi tim peneliti,2017


2. Penggunaan Lahan

Informasi penggunaan lahan diperoleh melalui interpretasi Citra Landsat 8 yang

divalidasi dengan survey lapangan. Kelas penggunaan lahan yang di identifikasi yaitu:

hutan, hutan mangrove, permukiman, perkebunan, rawa, sawah, semak/belukar,

tambak, dan tanah terbuka.

Gambar 5.2:
Penggunaan Lahan Perkebunan Kecamatan Langkikima

Sumber: dokumetasi tim peneliti, 2017


(lokasi 403315 mT dan 9629073 mU)

Perubahan tata guna lahan yang terjadi misalnya perubahan tata guna lahan dari

hutan menjadi permukiman penduduk, perkebunan dan area persawahan, dapat

mempengaruhi sifat fisis tanah sehingga dapat menurunkan laju infiltrasi tanah atau

meningkatkan aliran permukaan. Hal ini dapat menimbulkan pengaruh yang sangat

besar terhadap terjadinya banjir apabila dipicu dengan intensitas curah hujan yang

tinggi. Berdasarkan hal tersebut maka untuk pemberian skor ditentukan dengan
memperhatikan seberapa besar pengaruhnya terhadap banjir. Hasil interpretasi

penggunaan lahan di Kabupaten Konawe Utara di sajikan pada tabel berikut.

Gambar 5.3:
Penggunaan Lahan Permukiman Kecamatan Molawe

Sumber: hasil dokumentasi tim peneliti, 2017


(Lokasi : 409760 mT dan 9609760 mU)

Tabel 5.3:
Hasil Klasifikasi Penggunaan lahan

Luas Penggunaan Persentase


No Penggunaan Lahan
Lahan (Ha) Luas (%)
1 Hutan 309218.63 66.61
2 Mangrove 2332.58 0.50
3 Perkebunan 11815.53 2.55
4 Permukiman 34497.08 7.43
5 Rawa 6635.29 1.43
6 Sawah 17256.82 3.72
7 Semak Belukar 64390.18 13.87
8 Tambak 14253.50 3.07
9 Tanah Terbuka 3841.29 0.83
Jumlah 464240.9 100
Sumber: hasil olahan data sekunder tim peneliti, 2017
Gambar 5.4:
Peta Penggunaan Lahan

Sumber: BPS sulawesi tenggara, 2017


Berdasarkan tabel 5.3. Diketahui bahwa jenis penggunaan lahan wilayah Kabupaten

Konawe Utara terdiri atas sembilan jenis penggunaan lahan yang di identifikasi

berdasarkan skala 1: 150.000. Penggunaan Lahan berupa Hutan yang terdiri dari hutan

primer, hutan sekunder dan hutan rawa mendominasi daerah Kabupaten Konawe Utara

dengan luas 309.218,63 Ha atau 66,61% dari luas wilayah. Kemudian semak belukar

dengan luas 64.390,18 Ha atau 13,87% dari luas wilayah. sedangkan penggunaan

lahan terkecil yaitu mangrove dan lahan terbuka dengan luas masing-masing lahan

yaitu 2.332,58 Ha dan 3.841,29 Ha atau 0,5% dan 0,8% dari luas wilayah.

3. Kemiringan Lereng

Kemiringan Kabupaten Konawe Utara berdasarkan kemiringan lerengnya

digolongkan menjadi 4 golongan yaitu: kemiringan lereng 0-8% (datar), 8-25% (landai),

25-40% (curam), dan >40% (sangat curam). Daerah dengan kemiringan lereng 25-40%

merupakan wilayah dengan luas terbesar yaitu 279.734,5 Ha atau 60,8% dari luas

wilayah Kabupaten Konawe Utara. Wilayah ini mendominasi sebagian besar kecamatan

Asera, Oheo, Wiwirano, Andowia, Molawe, Lasolo, Lembo, dan Kecamatan Sawa.

Kemiringan 0-8% merupakan wilayah dengan luas terkecil yaitu sebesar 27.302,28 Ha

atau sekitar 5,94% dari luas total wilayah Kabupaten Konawe Utara. Penyebarannya

terdapat di kecamatan Andowia, Asera, dan Kecamatan Molawe. Hasil analisis

kemiringan lereng di Kabupaten Konawe Utara disajikan pada tabel berikut.


Tabel 5.4.
Kemiringan lereng di Kabupaten Konawe Utara
Kemiringan Kelas
No Kriteria Luas (Ha) %
Lereng Indeks
1 Datar 0%-8% 27.302,2 5,9 Tinggi
2 Landai 8%-25% 110.465,8 24,1 Sedang
3 Curam 25%-40% 279.734,5 60,8 Rendah
4 Sangat Curam >40% 42.440,7 9,2 Rendah
Jumlah 464.240,9
Sumber: hasil olahan data primer tim peneliti, 2017

4. Tekstur Tanah

Tekstur tanah adalah keadaan tingkat kehalusan tanah yang terjadi karena

terdapatnya perbedaan komposisi kandungan fraksi pasir, debu dan liat yang

terkandung pada tanah. Tanah dengan tekstur sangat halus memiliki peluang kejadian

banjir yang tinggi, sedangkan tekstur yang kasar memiliki peluang kejadian banjir yang

rendah. Hal ini disebabkan semakin halus tekstur tanah maka akan menyebabkan air

aliran permukaan yang berasal dari hujan maupun luapan sungai sulit untuk meresap

kedalam tanah, sehingga terjadi genangan.

Jenis tanah di Kabupaten Konawe Utara dapat digolongkan dalam 6 jenis tanah

yaitu alluvial dengan tekstur halus, gleisol (agak halus), kambisol (sedang), litosol

(kasar), mediteran (sedang) dan regosol (agak kasar).

Jenis tanah di wilayah Kabupaten Konawe Utara dari hasil analisis menunjukkan

bahwa jenis tanah yang paling dominan yaitu tanah kambisol dengan tekstur sedang

memiliki persentase tertinggi yaitu 50,9% dengan cakupan luas wilayah sebesar

234.107,4 Ha. Daerahnya meliputi Kecamatan Sawa, Lembo, Lasolo, Molawe,

Andowia, Asera, Oheo, Langgikima dan sebagian wilayah Kecamatan Wiwirano. Jenis

tanah dengan persentase paling kecil ditempati oleh jenis tanah regosol dengan tekstur

agak kasar yaitu sebesar 1.474,2 Ha atau 0.3% daerah yang dicakup meliputi
Kecamatan Sawa. Tanah alluvial dengan tekstur halus di Kabupaten Konawe Utara

memiliki persentase sebesar 3,4% atau seluas 15.803,9 Ha. Wilayah yang dicakup

meliputi Kecamatan Lasolo, Molawe, Andowia, dan Kecamatan Asera. Jenis tanah

gleisol dengan tekstur agak halus di Kabupaten Konawe Utara memiliki luas sebesar

6.221,8 Ha dengan persentase sebesar 1,4%. Daerahnya meliputi kecamatan Molawe.

Jenis tanah litosol dengan tekstur kasar di Kabupaten Konawe Utara memiliki Luas

wilayah sebesar 85.315,6 Ha dengan persentase sebesar 18,6%. Wilayah yang dicakup

meliputi Kecamatan Andowia, Asera, Langgikima dan Kecamatan Wiwirano.

Sedangkan untuk jenis tanah mediteran dengan tekstur sedang di Kabupaten Konawe

Utara memiliki luas wilayah sebesar 116.468,5 Ha dengan persentase sebesar 25,6%.

Daerahnya meliputi Kecamatan Andowia, Asera, Oheo, dan Kecamatan Wiwirano.

Persentase dan luas wilayah jenis tanah di Kabupaten Konawe Utara sebagaimana

disajikan pada tabel 5.5 berikut.


Tabel 5.5
Jenis Tanah di Kabupaten Konawe Utara
Jenis Persentase Kelas
No Tekstur Tanah Luas (Ha)
Tanah (%) Indeks
Liat berdebu, liat
1 Aluvial 15.803,9 3,4 Tinggi
berpasir
2 Gleisol Lempung sampai liat 6.221,8 1,4 Tinggi
Lempung, lempung
berdebu lempung
3 Kambisol 234.107,4 50,9 Sedang
berpasir sangat
halus
Berpasir dan
4 Litosol terdapat kandungan 85.315,6 18,6 Rendah
batu dan kerikil
5 Mediteran Lempung berpasir 116.468,5 25,4 Sedang
Lempung berpasir
6 Regosol halus, lempung 1.474,2 0,3 Rendah
berpasir
Jumlah 464.240,9 100
Sumber: hasil olahan data primertim peneliti, 2017

Daerah dengan tekstur tanah halus memiliki peluang terjadinya banjir yang

tinggi, sedangkan tekstur yang kasar memiliki peluang kejadian banjir yang rendah.

Hal ini disebabkan semakin halus tekstur tanah maka akan menyebabkan aliran

permukaan yang berasal dari hujan maupun luapan sungai sulit untuk meresap ke

dalam tanah, sehingga terjadi genangan.


Gambar 5.5:
Peta Jenis Tanah

Sumber: BPS Sulawesi Tenggara, 2017


Gambar 5.6:
Peta Kemiringan Lereng

Sumber:BPS Sulawesi Tenggara, 2017


6.1.2. Sebaran Ancaman Banjir.

Hasil analisis menunjukka bahwa 13.675,8 Ha atau 2,9% Kabupaten Konawe

Utara merupakan daerah rawan banjir. Daerah tersebut memiliki kemiringan lereng 0-

8% hingga 0-25% dan tekstur tanah liat berdebu, tanah liat berpasir, lempung berliat,

lempung liat berpasir hingga lempung sehingga laju infiltrasi rendah. Komponen

tersebut kemudian dipicu oleh intensitas hujan yang tinggi dan penggunaan lahan

yang intesif berupa perkebunan, permukiman, lahan terbuka, dan sawah. Sebaran

tingkat ancaman tinggi mendominasi sebagian besar wilayah Kecamatan Molawe,

Kecamatan Andowia, Kecamatan Asera, Kecamatan Oheo dan Kecamatan

Langgikima. Daerah yang memiliki tingkat ancaman sedang yaitu sebesar 211.529,0

Ha atau 45,6 Ha dari luas wilayah Kabupaten Konawe Utara mencakup wilayah

kecamatan Langgikima, Wiwirano, Oheo, Asera, Lembo, Motui dan sebagian

Kecamatan Molawe.

Gambar 5.7:
Daerah Rawan Bencana di Kecamatan Andowia

Sumber: Hasil dokumentasi tim peneliti, 2017


Daerah dengan tingkat ancaman rendah yaitu sebesar 256.304,7 Ha atau

52.21% dari luas wilayah Kabupaten Konawe Utara. Wilayah ini termasuk daerah yang

aman dari ancaman banjir karena sebagian besar wilayahnya berada di kawasan

perbukitan, yang didominasi oleh kawasan hutan dengan tekstur tanah yang memiliki

laju infiltrasi yang baik berupa tanah litosol, sehingga ketika curah hujan meningkat

secara berlebihan dapat diserap dengan baik. Tingkat ancaman rendah mencakup

sebagian besar wilayah Kecamatan Wiwirano, Asera, Oheo, Lasolo, Lembo, dan

Kecamatan Sawa.

Ancaman banjir dengan ancaman tinggi sebesar 49.978,52 Ha atau 10.77% dari

luas wilayah. Daerah yang memiliki ancaman besar yaitu: Kecamatan Asera,

Kecamatan Molawe, Kecamatan Oheo, Kecamatan Langkikima dan Kecamatan

Andowia. Kecamatan Lasolo, Kecamatan Wiwirano, dan Kecamatan Motui merupakan

daerah dengan luas ancaman yang rendah.

Tabel 5.6:
Luas dan Persentase Tingkat Ancaman Banjir di Kabupaten Konawe Utara
Kelas Indeks
No Kecamatan
Rendah Sedang Tinggi
1 Andowia 8602.57 9051.05 4172.19
2 Asera 103538.52 61345.11 12290.70
3 Langgikima 6866.01 19088.13 6500.86
4 Lasolo 29580.37 5413.10 1004.38
5 Lembo 7379.61 3907.91 2204.51
6 Molawe 15211.18 9290.67 11544.50
7 Motui 655.38 1754.42 1570.87
8 Oheo 20779.87 17648.45 7632.19
9 Sawa 3326.69 4243.39 1732.84
10 Wiwirano 60364.52 26215.51 1325.48
Jumlah 256.304,7 157.957,7 49.978,52
Sumber: Hasil analisis tim peneliti, 2017
Berdasarkan data riwayat kejadian, Andowia, Asera, dan Lasolo merupakan

daerah dengan tingkat kerawanan tertinggi baik dari frekuensi dan besaran dampak.

berikut data riwayat kejadian di Kabupaten Konawe Utara.

Tabel 5.7:
Riwayat Kejadian Bencana Kabupaten Konawe Utara
No. Tahun Kejadian Besaran Dampak
1 13-05-2017 Terjadi di Kecamatan Lasolo dengan 4 desa terendam.
2 6-07-2016 Terjadi di 3 Kecamatan, yaitu Andowia, Asera, dan Lasolo
dengan 12 desa. air setinggi 1-2,5 meter. 735 rumah
terendam banjir. 1354 jiwa mengungsi
3 25-07-2013 Banjir melanda Desa Tapuuwatu dan Desa Longeo yang
berada di Kecamatan Asera. Sementara di Kecamatan
Andowia, banjir melanda Desa Puusuli, Desa Puuwonua,
Desa Laronanga dan Desa Labungga. 2.000 rumah
terendam, 1 orang meninggal dunia dan 8.000 jiwa
mengungsi.
4 07-2006 Banjir banndang di Kecamatan Asera 97 unit rumah ambruk,
64 rumah hanyut serta sejumlah 485 warga kehilangan
tempat tinggal
Sumber: Hasil analisis tim peneliti, 2017
Gambar 4.5:
Peta Ancaman Bencana Banjir

Sumber: BPS. Kabupaten Konawe Utara, 2017


5.2. Indeks Penduduk Terpapar

Indeks penduduk terpapar ditentukan berdasarkan kepadatan penduduk, rasio

jenis kelamin, rasio kemiskinan, rasio orang cacat dan rasio kelompok umur. Setiap

komponen tersebut dikelaskan menjadi 3 kelas indeks penduduk terpapar yaitu: rendah,

sedang dan tinggi. Kepadatan penduduk dan rasio orang cacat Kabupaten Konawe

Utara berada pada kelas rendah, dengan kepadatan penduduk tertinggi yaitu

Kecamatan Motui, Kecamatan Lembo, Kecamatan Sawa, Kecamatan Lasolo,

Kecamatan Molawe, Kecamatan Andowia, Kecamatan Langkikima, Kecamatan Oheo,

Kecamatan Asera, dan Kecamatan Wiwirano. Komponen rasio jenis kelamin dan rasio

kelompok rentan di Kabupaten Konawe Utara berada pada kelas indeks tinggi, yang

artinya pada komponen tersebut tingkat keterpaparan penduduk akibat ancaman banjir

sangat tinggi. Rasio kemiskinan menentukan tingkat keterpaparan penduduk akibat

bencana banjir. Semakin tinggi jumlah penduduk miskin disuatu wilayah maka tingkat

keterpaparanyapun akan semakin tinggi. Rasio kemisikinan di Kabupaten Konawe

Utara dikelaskan menjadi dua, yaitu: keterpaparan sedang di Kecamatan Motui,

Kecamatan Lembo, Kecamatan Sawa, Kecamatan Lasolo, Kecamatan Molawe,

Kecamatan Andowia, Kecamatan Langkikima, Kecamatan Asera, dan Kecamatan

Wiwirano dan tinggi di Kecamatan Oheo. Indeks penduduk terpapar terhadap ancaman

banjirakan disajikan pada tabel berikut.


Tabel 5.7:
Komponen Indeks Penduduk Terpapar
Kelas Indeks
Rasio Rasio
Kepadatan Rasio Rasio
No Kecamatan Jenis Kel.
Penduduk Kemiskinan Orang
Kelamin Rentan
(jiwa/Km2) (*%) Cacat (*%)
(*%) (*%)
1 Sawa 22 1.08 15.3 0.62 0.005
2 Motui 160 1.09 28.2 0.68 0.026
3 Lembo 29 1.10 16.7 0.59 0.004
4 Lasolo 22 1.02 37.7 0.62 0.007
5 Molawe 8 1.10 32.8 0.65 0.003
6 Asera 3 1.10 37.9 0.60 0.003
7 Andowia 4 1.07 23.9 1.25 0.008
8 Oheo 3 1.08 46.1 0.62 0.005
9 Langgikima 4 1.27 25.5 0.86 0.043
10 Wiwirano 2 1.12 36.0 0.54 0.000
Sumber: Hasil olahan data tim peneliti, 2017

Keterangan :
Tingkat Ancaman Rendah
Tingkat Ancaman Sedang
Tingkat Ancaman Tinggi

Hasil analisis semua komponen ini diperoleh dari indikator kepadatan penduduk

dan indikator kelompok rentan, yaitu: semua wilayah di Kabupaten Konawe Utara

dengan indeks sedang. Hasil analisis disajikan pada tabel berikut:

Tabel 5.8:
Indeks Penduduk Terpapar
Kelas Indeks
No Kecamatan
Rendah Sedang Tinggi
1 Sawa - 0,4 -
2 Motui - 0,4 -
3 Lembo - 0,4 -
4 Lasolo - 0,4 -
5 Molawe - 0,4 -
6 Asera - 0,4 -
7 Andowia - 0,4 -
8 Oheo - 0,44 -
9 Langgikima - 0,4 -
10 Wiwirano - 0,4 -
Sumber: Hasil olahan data tim peneliti, 2017
Gambar 4.6:
Peta Indeks Penduduk Terpapar

Sumber: BPS Kabupaten Konawe Utara, 2017


5.3. Indeks Kerugian

Indeks kerugian diperoleh dari komponen ekonomi, fisik dan lingkungan.

Komponen-komponen ini dihitung berdasarkan indikator-indikator berbeda. Data yang

diperoleh untuk seluruh komponen kemudian dibagi dalam 3 kelas ancaman, yaitu:

rendah, sedang dan tinggi. Selain dari ditentukannya kelas indeks, penghitungan

komponen-komponen ini juga akan menghasilkan potensi kerugian daerah dalam

satuan rupiah.

Tabel 5.9:
Komponen Indeks Kerugian
Kelas Indeks
Luas
Kontribusi Blok Fas Fas.
No Kecamatan Lahan
PDRB Permukiman Kritis Umum
Produktif
(*Milyar) (Ha) (Unit) (Unit)
(*Juta)
1 Sawa 4717.08 346,45 1 10
2 Motui 2243.82 255,4 1 10
3 Lembo 7873.20 177,07 1 11
4 Lasolo 8698.14 216,16 2 30
5 Molawe 959.65 70,96 2 13
>1,4
6 Asera 10707.63 39,03 1 20
7 Andowia 470.96 218,96 2 10
8 Oheo 262.35 2 12
9 Langgikima 908.50 1 12
10 Wiwirano 1937.11 2 23
Sumber: Hasil analisis tim peneliti, 2017

Berdasarkan tabel 5.9, Rata-rata parameter luas lahan produktif, kontribusi

PDRB, blok permukiman dan ketersediaan fasilitas umum, berada di kelas tinggi.

sedangkan fasilitas kritis berada pada tingkat keterpaparan sedang untuk semua

wilayah kecamatan, kecuali Kecamatan Andowia dengan indeks keterpaparan tinggi.


Tabel 5.10:
Indeks Kerugian
Kelas Indeks
No Kecamatan
Rendah Sedang Tinggi
1 Sawa - - 0.88
2 Motui - - 0.88
3 Lembo - - 0.88
4 Lasolo - - 0.88
5 Molawe - - 0.81
6 Asera - - 0.81
7 Andowia - - 0.96
8 Oheo - - 0.88
9 Langgikima - - 0.88
10 Wiwirano - - 0.88
Sumber: Hasil analisis tim peneliti, 2017

5.4. Kerentanan

Penentuan kerentanan didasarkan pada PERKA BNPB No. 2 Tahun 2012 terdiri

dari kerentanan sosial, ekonomi, fisik dan ekologi/lingkungan. Setiap komponen

kerentanan tersebut diberi bobot berbeda, yaitu: kerentanan sosial 40%, kerentanan

ekonomi 25%, kerentanan lingkungan 10% dan kerentanan fisik 25%.

5.4.1. Kerentanan Sosial

Indikator yang digunakan dalam analisis kerentanan sosial terutama adalah

informasi keterpaparan atau keadaan sosial. Indikator ini mencakup kepadatan

penduduk, rasio jenis kelamin, dan rasio kelompok umur. Kerentanan sosial

memberikan gambaran mengenai keadaan sosial dan demografi penduduk dalam

merespon kejadian bencana atau ancaman banjir. Berikut hasil analisis indeks

kerentanan sosial.
Tabel 5.11:
Hasil Analisis Kerentanan Sosial
Kelas Indeks
No Kecamatan
Rendah Sedang Tinggi
1 Sawa - 0,4 -
2 Motui - 0,4 -
3 Lembo - 0,4 -
4 Lasolo - 0,4 -
5 Molawe - 0,4 -
6 Asera - 0,4 -
7 Andowia - 0,4 -
8 Oheo - 0,44 -
9 Langgikima - 0,4 -
10 Wiwirano - 0,4 -
Sumber: Hasil analisis tim peneliti, 2017

5.4.2. Kerentanan Ekonomi

Analisis kerentanan ekonomi bertujuan untuk mengetahui pengaruh ancaman

abrasi pantai terhadap komunitas ekonomi di suatu daerah. Idealnya indikator yang

digunakan untuk kerentanan ekonomi adalah luas lahan produktif dan data Produk

Domestik Regional Bruto (PDRB). Informasi lahan produktif diperoleh melalui

interpretasi penggunaan lahan yang diperoleh melalui data sekunder yang dikonversi ke

nilai rupiah berdasarkan nilai penggunaan lahan. Luas lahan produktif di Kabupaten

Konawe Utara sebesar 38.778,44 Ha, yang terdiri dari lahan perkebunan/pertanian.

Kecamatan Asera dan Kecamatan Lasolo merupakan daerah dengan luas lahan

produkrif terluas yaitu 10.707,63 Ha dan 8.698.14 Ha. Hasil analisis kerentanan

ekonomi disajikan pada tabel berikut:


Tabel 5.11:
Hasil Analisis Kerentanan Sosial
Kelas Indeks
No Kecamatan
Rendah Sedang Tinggi
1 Sawa - - 1
2 Motui - - 1
3 Lembo - - 1
4 Lasolo - - 1
5 Molawe - - 1
6 Asera - - 1
7 Andowia - - 1
8 Oheo - - 1
9 Langgikima - - 1
10 Wiwirano - - 1
Sumber: Hasil analisis tim peneliti, 2017

5.4.3. Kerentanan Fisik

Berdasarkan PERKA BNPB No. 2 Tahun 2012, parameter yang digunakan untuk

kerentanan fisik adalah kepadatan rumah (permanen, semipermanen dan non-

permanen), ketersediaan bangunan/fasilitas umum dan ketersediaan fasilitas kritis.

Keterbatasan informasi mengenai jenis bangunan menjadi kendala dalam penentuan

kepadatan rumah, sehingga parameter tersebut tidak dimasukan dalam analisis

kerentanan fisik. Ketersediaan bangunan/fasilitas umum dan ketersediaan fasilitas kritis

diperoleh dari data BPS Kecamatan dalam Angka tahun 2016. Indeks kerentanan fisik

dapat dilihat pada Tabel 5.12 berikut:

Tabel 5.12:
Parameter Kerentanan Fisik
Kelas Bobot
No Parameter Indeks
Rendah Sedang Tinggi (%)
1 Fasilatas Umum <500 500-1 M >1 M 50
2 Fasilitas Kritis <500 500-1 M >1 M 50
Sumber: Hasil modifikasi tim peneliti (PERKA BNPB No 2, tahun 2012)
Setiap fasilitas umum dan fasilitas kritis tersebut dikonversi ke nilai rupiah,

sehingga kerentanan fisik akibat ancaman bencana banjir dapat ditentukan. Fasilitas

umum yang digunakan yaitu: bangunan pemerintahan dan sarana pendidikan.

Sedangan fasilitas kritis yaitu: rumah sakit dan puskesmas. Hasil analisis terhadap

kerentanan fisik yang melibatkan seluruh indikator di atas menunjukkan bahwa wilayah

Kabupaten Konawe Utara memiliki tingkat kerentanan fisik yang tinggi.

Tabel 5.13:
Hasil Analisis Kerentanan Sosial
Kelas Indeks
No Kecamatan
Rendah Sedang Tinggi
1 Sawa - - 0.8
2 Motui - - 0.8
3 Lembo - - 0.8
4 Lasolo - - 0.8
5 Molawe - - 0.8
6 Asera - - 0.8
7 Andowia - - 1
8 Oheo - - 0.8
9 Langgikima - - 0.8
10 Wiwirano - - 0.8
Sumber: Hasil analisis tim peneliti, 2017

5.4.4. Kerentanan Lingkungan

Indikator yang digunakan untuk kerentanan lingkungan adalah

penutupan/penggunaan lahan yaitu hutan lindung (HL), hutan suaka alam (HSA), hutan

bakau/mangrove (HM), semak belukar (SB) dan rawa (RW). Indeks kerentanan

lingkungan berbeda-beda untuk masing-masing jenis ancaman dan diperoleh dari rata-

rata bobot jenis tutupan lahan/penggunaan lahan. Kawasan hutan lindung adalah

hutan yang memiliki sifat khas yang mampu memberikan perlindungan kepada

kawasan sekitar maupun bawahnya sebagai pengatur tata air, pencegahan banjir dan

erosi serta pemeliharaan kesuburan tanah. Kawasan hutan lindung diperuntukkan bagi
konservasi hidro-orologis. Kawasan lain di luar kawasan hutan, juga dimungkinkan

ditetapkan menjadi kawasan lindung bila sesuai dengan kriteria yang ada. Hutan

lindung di Kabupaten Konawe Utara seluas 20.5148,03 Ha yang tersebar di seluruh

wilayah Kabupaten Konawe Utara kecuali di Kecamatan Motui. Sedangkan luas hutan

alam berupa hutan primer, sekunder maupun hutan lahan basah seluas 140.805,05 Ha,

dengan kelas indeks kerentanan lingkungan tinggi. Hasil analisis kerentanan lingkungan

dijelaskan pada tabel berikut.

Tabel 5.14:
Parameter Kerentanan Lingkungan
Kelas Indeks
Hutan Hutan Semak
No Kecamatan Mangrove Rawa
Lindung Alam Belukar
(Ha) (Ha)
(Ha) (Ha) (Ha)
1 Sawa 476.39 199.94 - 1196.35 -
2 Motui - 27.69 - - -
3 Lembo 7768.93 1666.86 - - -
4 Lasolo 18544.43 12497.18 463.76 1843.9 464.31
5 Molawe 10854.95 14934.41 156.29 4592.64 2508.81
6 Asera 104920.71 55927.11 109.28 5448.06 375.64
7 Andowia 7631.63 5699.44 - 1196.35 806.62
8 Oheo 26481.16 14070.56 - 6138.85 -
9 Langgikima 3376.91 4992.09 - 18950.87 -
10 Wiwirano 25092.92 30789.77 - 24616.26 876.65
Sumber: Hasil analisis tim peneliti, 2017
Tabel 5.13:
Hasil Analisis Kerentanan
Kelas Indeks
No Kecamatan
Rendah Sedang Tinggi
1 Sawa - - 0.80
2 Motui - 0.48 -
3 Lembo - - 0.73
4 Lasolo - - 1.00
5 Molawe - - 1.00
6 Asera - - 1.00
7 Andowia - - 0.93
8 Oheo - - 0.80
9 Langgikima - - 0.80
10 Wiwirano - - 0.93
Sumber: Hasil analisis tim peneliti, 2017

5.5. Kapasitas

Kapasitas dihitung berdasarkan indikator dalam Hyogo Framework for Actions

(Kerangka Aksi Hyogo-HFA). HFA yang disepakati oleh lebih dari 160 negara di dunia

terdiri dari 5 Prioritas program pengurangan risiko bencana. Pencapaian prioritas-

prioritas pengurangan risiko bencana ini diukur dengan 22 indikator pencapaian.

Indikator HFA

Prioritas program pengurangan risiko bencana HFA dan indikator pencapaiannya

adalah:

1) Memastikan bahwa pengurangan risiko bencana menjadi sebuah prioritas nasional

dan lokal dengan dasar kelembagaan yang kuat untuk pelaksanaannya, dengan

indikator pencapaian:

a) Kerangka hukum dan kebijakan nasional/lokal untuk pengurangan risiko bencana

telah ada dengan tanggungjawab eksplisit ditetapkan untuk semua jenjang

pemerintahan,
b) Tersedianya sumberdaya yang dialokasikan khusus untuk kegiatan pengurangan

risiko bencana di semua tingkat pemerintahan,

c) Terjalinnya partisipasi dan desentralisasi komunitas melalui pembagian

kewenangan dan sumber daya pada tingkat lokal,

d) Berfungsinya forum/jaringan daerah khusus untuk pengurangan risiko bencana

2) Tersedianya Kajian Risiko Bencana Daerah berdasarkan data bahaya dan

kerentanan untuk meliputi risiko untuk sektor-sektor utama daerah; dengan

indikator:

a) Tersedianya Kajian Risiko Bencana Daerah berdasarkan data bahaya dan

kerentanan untuk meliputi risiko untuk sektor-sektor utama daerah,

b) Tersedianya sistem-sistem yang siap untuk memantau, mengarsip dan

menyebarluaskan data potensi bencana dan kerentanan-kerentanan utama,

c) Tersedianya sistem peringatan dini yang siap beroperasi untuk skala besar

dengan jangkauan yang luas ke seluruh lapisan masyarakat,

d) Kajian Risiko Daerah Mempertimbangkan Risiko-Risiko Lintas Batas Guna

Menggalang Kerjasama Antar Daerah Untuk Pengurangan Risiko.

3) Terwujudnya penggunaan pengetahuan, inovasi dan pendidikan untuk membangun

ketahanan dan budaya aman dari bencana di semua tingkat; dengan indikator:

a) Tersedianya informasi yang relevan mengenai bencana dan dapat diakses di

semua tingkat oleh seluruh pemangku kepentingan (melalui jejaring,

pengembangan sistem untuk berbagi informasi, dst),


b) Kurikulum sekolah, materi pendidikan dan pelatihan yang relevan mencakup

konsep-konsep dan praktik-praktik mengenai pengurangan risiko bencana dan

pemulihan,

c) Tersedianya metode riset untuk kajian risiko multi bencana serta analisis manfaat

biaya (cost benefit analysist) yang selalu dikembangkan berdasarkan kualitas

hasil riset,

d) Diterapkannya strategi untuk membangun kesadaran seluruh komunitas dalam

melaksanakan praktik budaya tahan bencana yang mampu menjangkau

masyarakat secara luas, baik di perkotaan maupun perdesaan.

4) Mengurangi faktor-faktor risiko dasar, dengan indikator:

a) Pengurangan risiko bencana merupakan salah satu tujuan dari kebijakan-

kebijakan dan rencana-rencana yang berhubungan dengan lingkungan hidup,

termasuk untuk pengelolaan sumber daya alam, tata guna lahan dan adaptasi

terhadap perubahan iklim,

b) Rencana-rencana dan kebijakan-kebijakan pembangunan sosial dilaksanakan

untuk mengurangi kerentanan penduduk yang paling berisiko terkena dampak

bahaya,

c) Rencana-rencana dan kebijakan-kebijakan sektoral di bidang ekonomi dan

produksi telah dilaksanakan untuk mengurangi kerentanan kegiatan-kegiatan

ekonomi,

d) Perencanaan dan pengelolaan pemukiman manusia memuat unsur-unsur

pengurangan risiko bencana, termasuk pemberlakuan syarat dan izin mendirikan


bangunan untuk keselamatan dan kesehatan umum (enforcement of building

codes),

e) Langkah-langkah pengurangan risiko bencana dipadukan ke dalam proses-

proses rehabilitasi dan pemulihan pasca bencana,

f) Siap sedianya prosedur-prosedur untuk menilai dampak-dampak risiko bencana

atau proyek-proyek pembangunan besar, terutama infrastruktur.

5) Memperkuat kesiapsiagaan terhadap bencana demi respon yang efektif di semua

tingkat, dengan indikator:

a) Tersedianya kebijakan, kapasitas teknis kelembagaan serta mekanisme

penanganan darurat bencana yang kuat dengan perspektif pengurangan risiko

bencana dalam pelaksanaannya,

b) Tersedianya rencana kontinjensi bencana yang berpotensi terjadi yang siap di

semua jenjang pemerintahan, latihan reguler diadakan untuk menguji dan

mengembangkan program-program tanggap darurat bencana,

c) Tersedianya cadangan finansial dan logistik serta mekanisme antisipasi yang

siap untuk mendukung upaya penanganan darurat yang efektif dan pemulihan

pasca bencana,

d) Tersedianya prosedur yang relevan untuk melakukan tinjauan pasca bencana

terhadap pertukaran informasi yang relevan selama masa tanggap darurat.

Berdasarkan pengukuran indikator pencapaian ketahanan daerah maka kita

dapat membagi tingkat ketahanan tersebut ke dalam 5 tingkatan, yaitu:


 Level 1 Daerah telah memiliki pencapaian-pencapaian kecil dalam upaya

pengurangan risiko bencana dengan melaksanakan beberapa tindakan maju

dalam rencana-rencana atau kebijakan.

 Level 2 Daerah telah melaksanakan beberapa tindakan pengurangan risiko

bencana dengan pencapaian-pencapaian yang masih bersifat sporadis yang

disebabkan belum adanya komitmen kelembagaan dan/atau kebijakan

sistematis.

 Level 3 Komitmen pemerintah dan beberapa komunitas yang tekait

pengurangan risiko bencana di suatu daerah telah tercapai dan didukung dengan

kebijakan sistematis, namun capaian yang diperoleh dengan komitmen dan

kebijakan tersebut dinilai belum menyeluruh hingga masih belum cukup berarti

untuk mengurangi dampak negatif dari bencana.

 Level 4 Dengan dukungan komitmen serta kebijakan yang menyeluruh dalam

pengurangan risiko bencana disuatu daerah telah memperoleh capaian-capaian

yang berhasil, namun diakui ada masih keterbatasan dalam komitmen,

sumberdaya finansial ataupun kapasitas operasional dalam pelaksanaan upaya

pengurangan risiko bencana di daerah tersebut.

 Level 5 Capaian komprehensif telah dicapai dengan komitmen dan kapasitas

yang memadai disemua tingkat komunitas dan jenjang pemerintahan.

Indeks Kapasitas diperoleh berdasarkan tingkat ketahanan daerah pada suatu

waktu. Hasil analisis kapasitas daerah diseluruh kecamatan di Konawe Utara yaitu

dengan kapasitas Sedang.


Tabel 5.14:
Indeks Kapasitas dan Ketahanan Daerah Kabupaten Konawe Utara
Kelas
Parameter Bobot
Rendah Sedang Tinggi
Aturan dan
kelembagaan
penanggulangan 0-0,33 –
bencana 100 Tingkat
Peringatan dini dan Ketahanan 0,33 –
kajian risiko bencana 1 dan 2 0,66 > 0.66
Pendidikan Tingkat Tingkat Ketahanan
kebencanaan Ketahanan 4&5
Pengurangan factor 3
risiko dasar
Pembangunan
kesiapsiagaan pada
seluruh lini
Sumber: Hasil analisis tim peneliti, 2017

5.7. Risiko Bencana Banjir

Peta risiko bencana disusun dengan melakukan overlay peta ancaman, peta

kerentanan dan peta kapasitas. Peta risiko bencana disusun untuk tiap-tiap bencana

yang mengancam suatu daerah. Peta kerentanan baru dapat disusun setelah peta

ancaman selesai. Peta risiko telah dipersiapkan berdasarkan grid indeks atas peta

ancaman, peta kerentanan dan peta kapasitas. Daerah Kabupaten Konawe Utara

dengan Luas 28.072,21 Ha adalah daerah dengan risiko tinggi atau 51% dari luas

wilayah. Hasil analisis disajikan pada tabel berikut :


Tabel 5.15:
Luas dan Sebaran Risiko Bencama Banjir Kabupaten Konawe Utara
Kelas Indeks
No Kecamatan
Rendah Sedang Tinggi
1 Andowia 8138.88 - 13754.48
2 Asera 103074.83 - 74167.04
3 Langgikima 6402.32 - 26120.22
4 Lasolo 28824.42 - 6948.71
5 Lembo 6915.92 - 6643.65
6 Molawe 14747.49 - 20983.16
7 Motui 191.69 - 3856.52
8 Oheo 20316.18 - 25811.87
9 Sawa 2863.00 - 6507.46
10 Wiwirano 59900.82 - 28072.21
Jumlah 251375.55 - 28072.21
Sumber: Hasil analisis tim peneliti, 2017
Gambar 5.8:
Peta Indeks Kerugian

Sumber: BPS Kabupaten Konawe Utara, 2017


Gambar 5.8:
Peta Kerentanan Ekonomi

Sumber: BPS Kabupaten Konawe Utara, 2017


Gambar 5.10:
Peta Kerentanan Fisik

Sumber: BPS Kabupaten Konawe Utara, 2017


Gambar 5.11:
Peta Risiko Bencana Banjir

Sumber: BPS Kabupaten Konawe Utara, 2017


BAB VI

PENYUSUNAN KAJIAN RISIKO BENCANA BANJIR

DI KABUPATEN KONAWE UTARA

6.1. Kajian Risiko Bencana

PERKA BBPBD No. 2 Tahun 2012 mengamanahkan penyusunan dokumen

risoko bencana dilaksanakan dengan mengkaji dan memetakan tingkat ancaman,

tingkat kerentanan, dan tingkat kapasitas berdasarkan indeks kerugian, indeks

penduduk terpapar, indeks ancaman dan indeks kapasitas. Penyusunan dokumen

kajian risiko bencana memperlihatkan bahwa, kajian risiko bencana diperoleh dari

indeks dan data yang sama dengan penyusunan peta risiko bencana. Perbedaan yang

terjadi hanya pada urutan penggunaan masing-masing indeks. Urutan ini berubah

disebabkan jiwa manusia tidak dapat dinilai dengan rupiah. Oleh karena itu, tingkat

ancaman yang telah memperhitungkan indeks ancaman di dalamnya, menjadi dasar

bagi perhitungan tingkat kerugian dan tingkat kapasitas.

6.1. Tingkat Ancaman Bencana Banjir

Tingkat ancaman dihitung dengan menggunakan hasil indeks ancaman dan

indeks penduduk terpapar. Penentuan tingkat ancaman dilakukan dengan

menggunakan matriks seperti pada matriks 6.1 dengan menghubungkan kedua nilai

indeks dalam matriks tersebut. Berdasarkan matris tingkat ancaman diatas maka dapat

disimpulkan bahwa Kabupaten Konawe Utara berada pada tingkat rendah (0,0 – 0,33),

sedang (> 0,3 – 0,67), dan tinggi (>0,67 – 1,0).


Matriks 6.1:
Tingkat Ancaman Bencana Banjir
Tingkat Indeks Penduduk Terpapar
Ancaman Rendah Sedang Tinggi

Sawa, Motui, Lembo, Lasolo, Molawe,


Rendah

Asera, Andowia, Oheo, Langgikima, dan


Wiwirano
Indeks Ancaman

Sawa, Motui, Lembo, Lasolo, Molawe,


Sedang

Asera, Andowia, Oheo, Langgikima, dan


Wiwirano

Sawa, Motui, Lembo, Lasolo, Molawe,


Tinggi

Asera, Andowia, Oheo, Langgikima, dan


Wiwirano
Sumber: Hasil olahan data tim peneliti, 2017

Keterangan:

Tingkat Ancaman Rendah


Tingkat Ancaman Sedang
Tingkat Ancaman Tinggi

6.2. Tingkat Kerugian

Penentuan tingkat kerugian disusun berdasarkan tingkat ancaman dan indeks

kerugian. Bencana banjir dapat menimbulkan kerugian yang berbeda-beda pada setiap

daerah yang disebabkan oleh kondisi sosial, ketersedian sarana dan prasarana. Tingkat

kerugian yang diakibatkan ancaman masing-masing jenis bencana dapat ditentukan

dengan matriks penentuan tingkat kerugian dengan memadukan antara tingkat

ancaman bencana dan indeks kerugian. Tingkat kerugian akibat bencana banjir di

Kabupaten Konawe Utara berada pada tingkat sedang dan tinggi. Hal tersebut diartikan

bahwa kerugian akibat adanya bencana pada skala sedang dan tinggi akan
menyebabkan tingkat kerugian yang besar. Tingkat kerugian sedang terjadi pada skala

bencana yang rendah di setiap daerah Kabupaten Konawe Utara.

Matriks 6.2:
Tingkat Kerugian Bencana Banjir
Tingkat Indeks Kerugian
Ancaman Rendah Sedang Tinggi
Rendah

Sawa, Motui, Lembo, Lasolo, Molawe, Asera,


Andowia, Oheo, Langgikima, dan Wiwirano
Tingkat Ancaman

Sedang

Sawa, Motui, Lembo, Lasolo, Molawe, Asera,


Andowia, Oheo, Langgikima, dan Wiwirano
Tinggi

Sawa, Motui, Lembo, Lasolo, Molawe, Asera,


Andowia, Oheo, Langgikima, dan Wiwirano

Sumber: Hasil olahan data tim peneliti, 2017

Keterangan :

Tingkat Kerugian Rendah


Tingkat Kerugian Sedang
Tingkat Kerugian Tinggi

6.3. Tingkat Kapasitas

Tingkat Kapasitas baru dapat ditentukan setelah diperoleh Tingkat Ancaman.

Tingkat Kapasitas diperoleh penggabungan Tingkat Ancaman dan Indeks Kapasitas.

Indeks kapasitas ditentukan berdasarkan tingkat ketahanan daerah, yang diperoleh

melalui diskusi kelompok terfokus (focused group discussion) antara pemangku

kepentingan penanggulangan bencana. Matriks tingkat kapasitas bencana di susun dari

tingkat ancaman bencana yang dikombinasikan dengan indeks kapasitas.


Matriks 6.3:
Tingkat Kapasitas Bencana Banjir
Tingkat Indeks Kapasitas
Ancaman Rendah Rendah Sedang Tinggi
Tingkat Ancaman

Sawa, Motui, Lembo, Lasolo, Molawe,


Sedang

Asera, Andowia, Oheo, Langgikima, dan


Wiwirano
Sawa, Motui, Lembo, Lasolo, Molawe,
Tinggi

Asera, Andowia, Oheo, Langgikima, dan


Wiwirano
Sumber: Hasil olahan data tim peneliti, 2017

Keterangan:

Tingkat Kapasitas Rendah


Tingkat Kapasitas Sedang
Tingkat Kapasitas Tinggi

6.4. Tingkat Risiko Bencana

Tingkat risiko bencana ditentukan dengan menggabungkan tingkat kerugian

dengan tingkat kapasitas. Penentuan tingkat risiko bencana dilakukan dengan

menggunakan matriks di bawah ini. Penentuan dilaksanakan dengan menghubungkan

tingkat kerugian dan tingkat kapasitas dalam matriks tersebut.


Matriks 6.4:
Tingkat Risiko Bencana Banjir
Tingkat Tingkat Kerugian
Kapasitas Rendah
Rendah Sedang Tinggi
Tingkat Kapasitas

Sawa, Motui, Lembo, Lasolo, Molawe,


Sedang

Asera, Andowia, Oheo, Langgikima, dan


Wiwirano

Sawa, Motui, Lembo, Lasolo, Molawe,


Tinggi

Asera, Andowia, Oheo, Langgikima, dan


Wiwirano
Sumber: Hasil olahan data tim peneliti, 2017

Keterangan:

Tingkat Risiko Rendah


Tingkat Risiko Sedang
Tingkat Risiko Tinggi
BAB VII REKOMENDASI

Dokumen ini merupakan identifikasi untuk menentukan startegi dalam

penanggulangan bencana melalui penguatan kapasitas dan penentuan zona prioritas.

Strategi penguatan kapasitas dalam menghadapi bencana sebagai berikut:

1. Penguatan Regulasi dan Kapasitas Kelembagaan; Memperkuat regulasi dan

mekanisme pendukung penyelenggaraan penanggulangan bencana serta

membangun ketangguhan penanganan darurat bencana.

2. Perencanaan Penanggulangan Bencana Terpadu; Memperkuat sistem data

informasi bencana yang terpercaya serta membangun sistem kesiapsiagaan

daerah.

3. Meningkatkan penelitian, pendidikan dan pelatihan serta penerapan hasil riset.

4. Membangun kemitraan untuk percepatan pembangunan budaya pengurangan

risiko bencana daerah,

5. Melakukan perlindungan kepada masyarakat yang terkena bencana, berupa

pencegahan dan mitigasi bencana serta kesiapsiagaan.

Anda mungkin juga menyukai