4.1.1 Gambaran Geografis Kabupaten Jember Secara geografis Kabupaten Jember terletak pada posisi 6027’29” sampai dengan 7014’35” Bujur Timur dan 7059’6” sampai dengan 8033’56” Lintang Selatan berbentuk dataran ngarai yang subur pada bagian Tengah dan Selatan, dikelilingi pegunungan yang memanjang sepanjang batas Utara dan Timur serta Samudra Indonesia sepanjang batas Selatan dengan Pulau Nusa Barong yang merupakan satu-satunya pulau yang ada di wilayah Kabupaten Jember. Kabupaten Jember memiliki total luas wilayah sebesar 3.306,689 km2 dengan ketinggian antara 0–3.330 mdpl. Bagian selatan wilayah Kabupaten Jember adalah dataran rendah dengan titik terluarnya adalah Pulau Nusa Barong. Pada kawasan ini terdapat Taman Nasional Meru Betiri yang berbatasan dengan wilayah administratif Kabupaten Banyuwangi. Bagian barat laut (berbatasan dengan Kabupaten Probolinggo adalah pegunungan, bagian dari Pegunungan Iyang, dengan puncaknya Gunung Argopuro (3.088 m). Bagian timur merupakan bagian dari rangkaian Dataran Tinggi Ijen. Jember memiliki beberapa sungai antara lain Sungai Bedadung yang bersumber dari Pegunungan Iyang di bagian Tengah, Sungai Mayang yang persumber dari Pegunungan Raung di bagian timur, dan Sungai Bondoyudo yang bersumber dari Pegunungan Semeru di bagian barat. 4.1.2 Gambaran Administratif Kabupaten Jember Secara administratif wilayah Kabupaten Jember terbagi menjadi 31 kecamatan terdiri atas 28 kecamatan dengan 225 desa dan 3 kecamatan dengan 22 kelurahan. Kecamatan terluas adalah Tempurejo dengan luas 524,46 Km2 atau 15,9% dari total luas wilayah Kabupaten Jember. Kecamatan yang terkecil adalah Kaliwates, seluas 24,94 Km2 atau 0,76%. Jumlah luas wilayah Kabupaten Jember adalah 3.092,34 km2. Kabupaten Jember secara administratif berbatasan dengan beberapa wilayah. Bagian utara adalah Kabupaten Probolinggo & Kabupaten Bondowoso. Bagian Timur adalah Kabupaten Banyuwangi. Bagian Selatan adalah Samudra Hindia. Bagian Barat adalah Kabupaten Lumajang. Gambar 4.1 Peta Administratif Kabupaten Jember
4.1.3 Gambaran Topografi Kabupaten Jember
Karakter topografi sebagian Kabupaten Jember di wilayah bagian selatan merupakan dataran rendah yang relatif subur untuk pengembangan tanaman pangan, sedangkan di bagian utara merupakan daerah perbukitan dan bergunung- gunung yang relatif baik bagi pengembangan tanaman keras dan tanaman perkebunan. Wilayah Kabupaten Jember berada pada ketinggiaan antara 0–3.300 m dpl. Daerah yang memiliki kawasan terluas adalah daerah dengan ketinggian antara 100 – 500 m dpl, yaitu 1.240,77 km2 (37,68%) dan yang tersempit adalah daerah dengan ketinggian lebih dari 2.000 m dpl yaitu 31,34 km2 (0,95%). Dengan demikian dapat diketahui bahwa wilayah Kabupaten Jember memiliki ketinggian yang bervariasi namun demikian dapat dikatakan pula bahwa sebagian besar wilayah Kabupaten Jember berada pada area dataran rendah. Tanah di wilayah Kabupaten Jember dengan kemiringan 0°–2° meliputi 36,60% dari luas wilayah dengan luas terbesar di Kecamatan Wuluhan (92,23 km²). Kemiringan 2°–15° meliputi 20,61% dari luas wilayah yang mayoritas di Kecamatan Silo (89,03 km²) dan kemiringan 15°–40° meliputi 10,78% dari luas wilayah yang mayoritas terdapat di Kecamatan Silo (76,81 km²). Kemiringan tanah di atas 40% meliputi 32% dari luas wilayah dan dengan area terluas di wilayah Kecamatan Tempurejo (365,48 km²). 4.1.4 Gambaran Hidrologi Kabupaten Jember Kabupaten Jember mempunyai banyak sungai/kali yang bermanfaat untuk pertanian. Beberapa sungai yang cukup besar adalah Sungai Bedadung, merupakan sungai yang membelah Kabupaten Jember di tengah-tengah. Hulu sungai berasal dari pegunungan Hyang yang banyak terdapat mata air. Sungai Mayang, merupakan sungai yang bermata air dan hulu sungai berasal dari Pegunugan Raung yang berbatasan dengan Kabupaten Banyuwangi. Sungai Sanen, merupakan sungai yang bermata air dan hulu sungai berasal dari Pegunugan Raung. Sungai Sanen bertemu dengan Sungai Mayang di Desa Sumberrejo dan bermuara di Samudera Indonesia. Sungai Jatiroto, merupakan perbatasan dengan Kabupaten Lumajang yang bermata air dan hulu sungai dari Pegunungan Hyang, bermuara di Samudera Indonesia. 4.1.5 Gambaran Iklim Kabupaten Jember Iklim Kabupaten Jember adalah iklim muson tropis (Am) dengan dua musim yang berbeda, yakni musim penghujan dan musim kemarau. Musim penghujan di wilayah Kabupaten Jember biasanya berlangsung pada periode November hingga pertengahan April dan disebabkan oleh pengaruh angin monsun baratan yang bersifat basah, lembap, dan banyak membawa uap air. Sementara itu, musim kemarau terjadi pada periode Mei hingga pertengahan Oktober dan disebabkan oleh angin monsun timuran yang bersifat kering. Suhu udara di wilayah Jember berkisar antara 23o–33oC, kecuali untuk wilayah dataran tinggi dengan rentang suhu yang kurang dari 24 °C. 4.1.6 Gambaran Luas Penggunaan Lahan Kabupaten Jember Luas Pengggunaan Lahan Luas wilayah Kabupaten jember berupa daratan seluas 3.306,689 km2 . Kecamatan Tempurejo merupakan wilayah yang memiliki daratan terluas sebesar 536,913 km2 yang sebagian besarnya masih berupa hutan. Penggunaan lahan di Kabupaten Jember sebagian besar merupakan kawasan hijau, terdiri hutan, sawah, tegal dan perkebunan. Penggunaan lahan di Kabupaten Jember didominasi oleh fungsi kegiatan budidaya, dimana lahan yang dibudidayakan untuk pertanian adalah seluas 46,41 % dari luas wilayah, sedangkan sisanya digunakan untuk permukiman seluas 9,93 %, hutan seluas 21,17 % dan lain-lain seluas 22,49 %. 4.1.7 Gambaran Penduduk Kabupaten Jember Mayoritas penduduk Kabupaten Jember bekerja sebagai petani, perekonomian Jember masih banyak ditunjang dari sektor pertanian. Kabupaten Jember dengan perkembangan usaha ditunjang potensi daerahnya memberikan pertumbuhan jenis usaha, terutama dalam peningkatan ekonomi di dunia perdagangan.
4.2 Pola Perubahan Penggunaan Lahan
Pola perubahan penggunaan lahan yang dilakukan pertama adalah overlay dari tutupan lahan tahun 2011 dan 2020. Hasil data yang diperoleh pertama adalah luasan lahan yang mengalami perubahan penggunaan lahan secara keseluruhan. Perubahan luas lahan tersebut akan menunjukkan berapa luas dan tingkat laju konversi dari tahun 2011 hingga 2020 per kecamatan di Kabupaten Jember
Tabel 4.1 Perubahan Penggunaan lahan di Kabupaten Jember
Kecamatan Luas Wilayah ha % 16 Ajung 5.890,93 404,09 6,90 17 Panti 18.102,23 1.059,79 5,90 18 Jenggawah 6.130,62 347,41 5,70 19 Jombang 5.396,00 294,67 5,50 20 Bangsalsari 16.074,42 873,00 5,40 21 Mumbulsari 9.010,88 465,64 5,20 22 Puger 15.909,96 751,72 4,70 23 Tanggul 20.014,31 769,66 3,80 24 Balung 4.943,62 177,73 3,60 25 Wuluhan 13.939,54 478,78 3,40 26 Silo 34.362,83 1.093,65 3,20 27 Ledokombo 13.401,85 402,01 3,00 28 Sumberjambe 13.309,75 356,41 2,70 29 Ambulu 10.152,24 247,62 2,40 30 Jelbuk 7.346,41 107,86 1,50 31 Tempurejo 51.645,04 586,53 1,10 Jumlah 331.029,16 18.724,17 8,25 Sumber: (data diolah) Berdasarkan Tabel 4.1 menunjukkan Kecamatan Sumbersari, Gumukmas, Semboro, Kaliwates, dan Pakusari adalah lima daerah yang mengalami konversi atau perubahan penggunaan lahan dengan laju paling besar secara berturut-turut. Kecamatan Gumukmas adalah wilayah yang mengalami konversi lahan paling besar yaitu 1.628.458.792 ha. Kecamatan Ledokombo mengalami konversi lahan paling kecil yaitu 4.020.097 ha dengan laju konversi 3%. Setelah melakukan analisis konversi lahan selanjutnya adalah analisis Pola perubahan penggunaan lahan Pola perubahan penggunaan lahan dapat diketahui menggunakan analisis Continum Nearest Neighbour Analysis atau Kontinum Tetangga Terdekat (K- NN). Analisis K-NN diperlukan peta sebaran perubahan penggunaan lahan seluruh Kabupaten Jember. Data spasial yang digunakan adalah tahun 20011 dan tahun 2020 yang didapat dari website KLHK. Analisis pola sebaran perubahan penggunaan lahan di daerah Kabupaten Jember dianalisis menggunakan bantuan software ArcGis. Hasil analisis K-NK dapat dilihat pada Gambar 4.2
Gambar 4.2 Analisis K-NN Kabupaten Jember Tahun 2011-2020
Hasil yang didapat nearest neighbor ratio adalah 0,842 dan z-score adalah -8,574. Artinya masuk dalam kategori kurang dari -2,58 (biru tua), maka perubahan penggunaan lahan dari 2011 hingga 2020 adalah clustered atau mengelompok. Pola persebaran ini dapat dilihat pada gambar 4.3 berikut. Gambar 4.3 Peta Pola Sebaran Lahan Kabupaten Jember 2010-2020 Pola perubahan penggunaan lahan Kabupaten Jember dari tahun 2011 ke tahun 2020 mengalami pengelompokan dari wilayah subperkotaan sampai wilayah kota Kabupaten Jember. Perkembangan jumlah lahan terbangun mempengaruhi terciptanya pola tersebut. Perkembangan pembangunan lahan terbangun seperti permukiman, industri, pasar, jaringan jalan. Sebagian besar pembangunan tersebut mengikuti area-area yang yang sudah ada sebelumnya sehingga menghasilkan pola sedemikian rupa. Pola perubahan penggunaan lahan mengelompok adalah pola yang sering terjadi akibat alih fungsi lahan dan didominasi oleh penggunaan lahan akibat pebangunan permukiman atau perumahan. Hal ini dapat disebabkan karena lahan sawah yang terkonversi lebih banyak berubah menjadi penggunaan lahan perumahan, sehingga jarak satu titik dengan tetangga terdekatnya menjadi semakin pendek (Septiofani dkk, 2016; Danish dkk, 2020). Pola perubahan penggunaan lahan mengelompok juga disebabkan karena merupakan pada suatu wilayah kepadatan penduduk paling tinggi dengan luas wilayah yang paling kecil. Hal ini dapat terlihat pada peta bahwa Kecamatan Kaliwates, Sumbersari, dan Patrang memiliki luasan wilayah yang sempit dan masuk dalam ketegoari wilayah kota dan urban di Kabupaten Jember. Selain kepadatan penduduk aksesibilitas jalan yang baik dan saran prasaran fasilitas umum menjadi penyebab pola perubahan lahan mengelompok terjadi (Riadhi, 2020; Saraswati dkk, 2016)
4.3 Zonasi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
Perlindungan LP2B di Indonesia didasarkan pada Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Tujuaan kebijakan ini adalah melindungi ketersediaan lahan pertanian, mewujudkan swasembada, ketahanan dan kedaulatan pangan serta melindungi kepemilikan lahan pertanian pangan milik petani sehingga meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan petani dan masyarakat. Fenomena yang terjadi adalah Kabupaten Jember hingga tahun 2023 belum menjalankan amanat undang- undang tersebut dengan memperkuat perlindungan LP2B melalui penetapan hukum berupa Peraturan Daerah (Perda). Hal ini disebabkan belum terintegrasinya stakeholder LP2B di Kabupaten Jember. Kabupaten Jember sebagai lumbung beras nasional perlu memiliki wilayah yang dilindungi untuk menjaga swasembada beras terus terjaga dan meningkat. Diawali dengan analisis pola perubahaan penggunaan lahan. Kabupaten Jember mengalami perubahan penggunaan lahan secara mengelompok akibat urbanisasi. Perubahan penggunaan lahan merupakan bagian dari pembangunan ekonomi yang tidak dapat dihindari selama pertumbuhan penduduk mendorong peningkatan kebutuhan lahan untuk perumahan, industri, ruang komersial dan ruang publik lainnya. Apabila penggunaan lahan terjadi pada suatu tempat, maka luas akibat perubahan penggunaan lahan akan menular pada sekitarnya. Analisis zonasi di Kabupaten Jember dilakukan berdasarkan lima variabel yaitu produktivitas lahan, curah hujan, fasilitas pendidikan, fasilitas perdagangan, banyaknya kelompok tani. Masing-masing variabel dilakukan skoring sesuai dengan lampiran. Hasil total skoring tersebut mengklasifikasikan kelas setiap kecamatan ke dalam tiga kelas yaitu tidak boleh diubah, diubah bersyarat, dan boleh diubah. Berikut adalah gambar peta zonasi setiap kecamatan di Kabupaten Jember. Gambar 4.3 Peta Zonasi Lahan Pangan Pertanian Berkelanjutan di Kabupaten Jember Berdasarkan Gambar 4.3 menunjukkan bahwa terdapat tiga zona yang tidak boleh dirubah berwarna cokelat pekat, dirubah bersayarat berwarna oranye, dan boleh dirubah berwarna kuning. Zona yang masuk dalam kategori tidak boleh dirubah adalah Kecamatan Bangsalsari, Jenggawah, Puger, Kalisat, Patrang, Sukowono, dan Tanggul. Zona yang boleh dirubah dengan syarat adalah Umbulsari Wuluhan, Ambulu, Balung, Gumuk Mas, Rambipuji, Sumberjambe, Sumbersari, Tempurejo, Ledokombo, Silo, Sumberbaru, Ajung, Mayang, Kaliwates, Panti, Semboro. Zona yang boleh dirubah adalah Kecamatan Jelbuk, Kencong, Mumbulsari, Pakusari, Arjasa, Sukorambi, Jombang. Berdasarkan Lampiran 1 menunjukkan bahwa terdapat tujuh kecamatan yang masuk tidak boleh dirubah berdasarkan lima variabel kriteria penentuan LP2B dari peneliti. Tujuh daerah tersebut mempunyai klasifikasi pada suatu kecamatan memiliki produktivitas lahan yang tinggi, curah hujan tinggi, paling banyak fasilitas perdagangan, paling banyak fasilitas pendidikan, dan kelompok tani yang banyak. Analisis pemetaan zonasi LP2B perlu dilakukan kepada daerah belum ada Peraturan Daerah maupun yang telah terbit. Kabupaten Badung telah menerbitkan perda LP2B tetapi masih belum memiliki peta zonasi LP2B (Oktafianti dkk, 2021). Variabel kepadatan penduduk, aksesibilitas jalan, jenis irigasi, sarana dan prasarana, dan jenis tanah adalah salah satu variabel kriteria LP2B yang dilakukan oleh Martanto (2019) sehingga penelitian yang dilakukannya dapat dilakukan skenario swasembada beras melebihi 260 tahun pada daerah Kabupaten Sukoharjo. Pemetaan zonasi LP2B di Kabupaten Jember ini diusahakan dapat dipertahankan agar alih fungsi tanah pertanian menjadi non pertanian dapat dikendalikan. Kabupaten Jember sebagai lumbung padi nasional sangat perlu dilindungi lahan pertaniannya. Upaya ini dilakukan agar produksi beras sebagai andalan Kabupaten Jember dan sebagai penyokong swasembada pangan dapat terus terwujud.
4.4 Keterbatasan Penelitian
Berdasarkan penelitian yang dilakukan peneliti dalam proses penelitian, ada beberapa keterbatasan yang dialami dan dapat menjadi beberapa faktor yang dapat dijadikan pertimbangan guna lebih diperhatikan lagi untuk calon peneliti yang akan datang dalam menyempurnakan penelitiannya, karena peneliti tentunya mempunyai kekurangan yang perlu diperbaiki dalam penelitian-penelitian kedepannya. Adapun beberapa keterbatasan dalam penelitian ini, antara lain: 1. Variabel zonasi sebagai parameter kriteria LP2B masih perlu dilalakukan analisis pada variabel lainnya yang lebih relevan, khususnya dibidang tanah, topografi dan aksesibilitas. 2. Peneliti hanya sebatas melakukan penelitian menggunakan data sekunder dengan pendekatan sosial ekonomi sehingga perlu melakukan analisis menggunakan data primer sebagai menguat variabel paramter kriteria LP2B. 3. Peneliti masih baru mempelajari tentang ilmu informasi geografis sistem, sehingga perlu banyak waktu untuk belajar dan eksplorasi teori yang dapat memperkaya penelitian dan hasil dari penelitian itu sendiri. Peneliti sadar akan hal ini karena keterbatasan waktu dan kesibukan lain yang memerlukan waktu dan pikiran yang tidak sedikit. Eksplorasi teori dianggap penting oleh peneliti, karena untuk menambah ketepatan dalam analisis data spasial dan ilmu geografi, pertanian dan agraria secara lebih luas.