Anda di halaman 1dari 15

B er a sa l D a r i

Buk ti D N A
M ul ut U n tu k
R on g g a
saa n Fo re n si k
Pe m er ik
E L O M PO K 3
K
Anggota Kelompok

Indah Nada Kharisma Muhammad


Husna Farihah
Mukminah Khairul Juti Rafli Maulana
1112022013
1112022014 1112022040 1112022041

Nanda Novita Syaddad Alif Tiara Widia Astuti


1112022025 Surya Chalimatussa'dyah 1112022039
1112022035 1112022045
Bukti DNA Berasal Dari Rongga
Mulut Untuk Pemeriksaan Forensik

1 2 3

Identifikasi Jenis Identifikasi Penyebab Kesimpulan


Kelamin Kematian
Identifikasi Jenis Kelamin
1. Identifikasi jenis kelamin melalui analisis histologis dan DNA oleh
odontologi forensik
Identifikasi atau pengenalan identitas seseorang pada awalnya berkembang
untuk kebutuhan dalam proses penyidikan suatu tindak pidana khususnya
penyelesaian tindak pidana kriminal, identifikasi juga dimanfaatkan untuk
keperluan yang sehubungan dengan berbagai kasus sipil seperti kecelakaan
darat, air, maupun udara, kasus terorisme, bencana alam, dan lain
sebagainya. Pada kasus identifikasi korban tidak jarang terjadi kesulitan
untuk menganalis suatu penyebab kematian dan kepastian identitas korban.
Identifikasi individu dapat dilakukan beberapa parameter yaitu
identifikasi usia, ras, dan jenis kelamin. identifikasi jenis kelaminn adalah
langkah pertama yang sangat penting dilakukan pada proses identifikasi
forensik karena dapat menentukan 50% Probabilitas kecocokan dalam
identitas individu serta dapat mempengaruhi beberapa metode pemeriksaan
lainnya. Identifikasi jenis kelamin dalam ruang lingkup antroplogi dan
kedokteran gigi forensik dapat dilakukan dengan beberapa metode. Metode
yang dapat dilakukan antara lain melalui metode karakteristik morfologi,
Metode Morfometrik ( Pengukuran ), Pemeriksaan Histologis, Serta
pemeriksaan analisis DNA baik dari tulang maupun Gigi.
1. Identifikasi jenis A. Metode Identifikasi jenis kelamin
histologis
kelamin melalui analisis Secara mikroskopis atau histologis jenis kelamin dapat dideteksi
histologis dan DNA oleh dengan melihat keberadaan kromatin seks yaitu; kromatin-X dan
kromatin-Y. Pada tahun 1949, Barr dan Bertam menemukan
odontologi forensik perbedaan diantara keduanya. Mereka menemukan adanya
kondensasi kromatin yang berukuran kecil pada inti sel dari sel saraf
kucing betina tetapi tidak dimiliki oleh sel-sel kucing jantan."
Penemuan tersebut dinamakan sesuai dengan nama penemunya
yaitu Barr body. Pada manusia, kondensasi kromatin ini juga dapat
ditemukan di tulang, sel retina, sel mukosa rongga mulut, biopsi sel
kulit, darah, tulang rawan, akar batang rambut dan pulpa gigi. Barr
body dapat ditemukan pada sekitar 40% sel wanita sedangkan pada
sel pria tidak memiliki Barr body sehingga disebut kromatin negatif.
B. Metode identifikasi jenis kelamin analisis DNA
Secara umum teknologi DNA dimanfaatkan untuk identifikasi
personal, pelacakan hubungan genetik dan pelacakan sumber
biologis. Analisis DNA juga digunakan untuk kepentingan antropologi
serta pemetaan genetik. pada manusia membentuk 22 pasang
kromosom autosomal dan satu pasang kromosom seks, yaitu
kromosom X Dan kromosom Y.
Penentuan jenis kelamin dengan metode ini memiliki tingkat akurasi
yang lebih baik, namun memerlukan biaya yang lebih mahal dan
prosedur yang lebih rumit. Beberapa penanda tipe jenis kelamin
yang digunakan pada identifikasi berbasis DNA diantaranya yaitu
amelogenin, SRY dan Y-STR.
a.) Amelogenin
Amelogenin merupakan protein utama pada pembentukan enamel pada gigi manusia yang
dikode oleh gen yang berlokasi pada kromosom seks AMELX (Xp22.1-Xp223) dan AMELY
(Yp112). Gen AMEL pada wanita berlokasi pada kedua kromosom X dan homozigot (46, XX).
Pada pria gen AMEL. hadir pada kedua kromosom X dan Y namun heterozigot (46, XY).
Metode yang paling sering digunakan adalah metode yang dikembangkan oleh Sullivan dkk.
Teknik ini membagi fragmen X dan Y pada 106 bp dan 112 bp. Produk amplifikasi dengan
metode ini dapat diidentifikasi setelah proses elektroforesis kapiler, pyrosequencing, serta
gel poliakrilamid agarose.

Amelogenesis dapat berkaitan dengan ukuran gigi, kromosom Y mempengaruhi


pembentukan enamel dan dentin sedangkan kromosom X mempengaruhi pembentukan
mahkota terbatas pada enamel. Hal ini menjelaskan bahwa mahkota gigi pada pria lebih
besar daripada wanita akibat periode waktu amelogenesis pada pria lebih lama
dibandingkan pada wanita.

b.) Sex-determining Region (SRY)


Sex-determining region (SRY) merupakan gen yang berperan dalam perkembangan
karakteristik pria. Gen SRY berlokasi pada lengan pendek (p) kromosom Y pada posisi.
SRY pada kromosom Y menyebabkan embrio berkembang sebagai pria. Deteksi
rangkaian SRY akan membedakan sampel DNA pria dari sampel DNA wanita.
SRY yaitu pemeriksaan menggunakan sel epitel yang diekstraksi dari akrilik gigi tiruan
sebagai sampel DNA untuk determinasi jenis kelamin. Peneliti tersebut melaporkan
bahwa sampel yang diteliti berhasil dalam deteksi dan kuantifikasi DNA.
C.) Kromosom-Y marker (Y-STRs)
Kromosom-Y marker (Y-STRs) Y-STRS adalah short tandem repeat yang ditemukan pada
kromosom-Y spesifik merupakan gen koding yang ditemukan pada lengan pendek kromosom
Y, yang penting terhadap determinasi jenis kelamin pria, spermatogenesis, dan fungsi lain
terkait dengan pria. perubahan profil (pembatasan mutasi). Kromosom- Y DNA hadir dalam
satu salinan per sel dan hanya pada laki-laki.

D.) DNA Sel Pulpa


Berdasar hasil penelitian nampak perbedaan antara sampel darah dengan pulpa gigi di mana
titik-titik terjadi polimorfisme pada mtDNA darah lebih sedikit yaitu dengan rata-rata dari
mtDNA dan pulpa gigi jika dibandingkan dengan Cambridge Reference Sequence. Level mutasi
mtDNA yang tinggi biasa ditemukan pada jaringan post-mitotic seperti tulang dan otak
sedangkan level mutasi yang rendah ditemukan pada jaringan dengan tingkat pembelahan
yang cepat seperti darah. 11 Jaringan post-mitotic ialah jaringan yang tidak memiliki
kemampuan untuk bermitosis. Selama siklus sel, replikasi DNA terjadi pada fase S dan
berlangsung selama 10 jam.

Keuntungan mengetahui pola sekuens, tidak hanya membantu proses identifikasi forensik tetapi
juga dalam bidang antropologi dan arkeologi oleh karena perbedaan posisi heteroplasmy pada
tiap suku bangsa disebabkan oleh perbedaan karakteristik haplotypes mtDNA yang terjadi sejak
adanya migrasi manusia dari Afrika sehingga perbedaan posisi mutasi dan heteroplasmy
antara darah dan gigi dengan rCRS disebabkan karena pada rCRS menggunakan haplogroup
ras Caucasian (Eropa) yaitu H2a2a sedangkan pada orang Indonesia (Asia Tenggara).
2. Identifikasi Penyebab Kematian
Pendahuluan
Odontologi forensik didefinisikan sebagai cabang kedokteran
gigi yang membahas penanganan dan pemeriksaan bukti gigi
yang tepat serta evaluasi dan penyajian temuan gigi untuk
kepentingan keadilan. Gigi tahan terhadap pengeringan dan
dekomposisi dan merupakan salah satu jaringan terakhir
yang hancur setelah kematian, mencapai signifikansi
substansial dalam penyelidikan forensik

2. Identifikasi Penyebab Kematian


Perkiraan Usia dengan Gigi
Demirjian dkk melengkapi tahap perkembangan gigi
yang digunakan dalam penilaian usia kronologis.
Gustafson yang melibatkan beberapa fase
perubahan yang memburuk pada gigi seperti atrisi
gigi.

Jenis - Jenis gigi yang sesuai dengan umurnya. Semua


gigi susu anak biasanya sudah tanggal dan berganti
menjadi gigi tetap di usia 12–14 tahun. Di usia ini, gigi
anak yang semula berjumlah 20 buah akan
bertambah hingga berjumlah 32 buah saat ia
beranjak dewasa di usia 17–21 tahun.Setelah tumbuh
28 gigi, akan tumbuh empat gigi tambahan untuk
melengkapi jumlah keseluruhan gigi menjadi 32 buah.
Gigi terakhir yang tumbuh ini disebut gigi bungsu.
Bukti Tanda Gigitan
Sebagian besar gigitan hewan menyebabkan luka geser sehingga
menimbulkan luka terbuka dengan laserasi pada kulit yang
dibedakan oleh ahli odontologi forensik dengan keselarasan
lengkung gigi yang berbeda dan morfologi gigi tertentu.
Presentasi Bekas Gigitan
Barang bukti yang berpengaruh dari korban gigitan adalah foto.
Selanjutnya, pemeriksaan gigi menyeluruh harus dilakukan diikuti
dengan pembuatan bagan gigi yang secara jelas menggambarkan
keberadaan dan kondisi gigi secara rinci setiap gigi, modifikasinya,
dan restorasi apa pun jika dilakukan. Teknik «Double swab» yang
diusulkan oleh Sweet memungkinkan pengumpulan DNA maksimum
dari air liur yang disimpan selama proses menggigit. 10 Tanda gigitan
yang terlihat pada substrat bukan manusia seperti barang yang
mudah rusak harus difoto dengan hati-hati, diikuti dengan usap dan
akhirnya harus dibuat cetakan.
Bibir
2. Identifikasi Pola sidik bibir harus ditelusuri dalam 24 jam pertama
kematian, berdasarkan posisi mulut, untuk menghindari
Penyebab Kematian data yang salah yang timbul dari perubahan postmortem
dari bibir almarhum.

Restorasi
Dalam kasus tubuh terbakar yang tidak dapat dikenali,
identifikasi dimungkinkan dengan pengetahuan
mendalam tentang gigi hangus dari almarhum dan residu
bahan restorasi jika ada. 20 Prosedur pemotongan
horizontal, pemisahan vertikal, dan akses endodontik
normal adalah strategi yang diperkenalkan untuk
memisahkan DNA dan pemulihannya dari gigi manusia.
Pelecehan Fisik
Pada regio orofasial, dapat terlihat pada palatum,
gingiva, atau gigi geligi. Fraktur gigi, avulsi, dislokasi
dapat terlihat sekunder akibat trauma. Fraktur tulang
rahang atas dan rahang bawah juga dapat terlihat
dalam bentuk kekerasan fisik yang parah.

Pelecehan Seksual
Dalam kasus seks oral yang dipaksakan, petechiae
dapat ditemukan di persimpangan langit-langit keras
dan lunak atau di dasar mulut.

Kesimpulan
Identifikasi kelamin yaitu untuk mengetahui usia,ras ,dan kelamin. Berbagai
macam metode yang dapat dilakukan seperti metode karakteristik morfologi,
Metode Morfometrik ( Pengukuran ), Pemeriksaan Histologis, Serta
pemeriksaan analisis DNA baik dari tulang maupun Gigi.

Identifikasi penyebab kematian dapat dilakukan dengan berbagai cara


1) Perkiraan Usia dengan Gigi gigi susu anak biasanya sudah berganti
menjadi gigi tetap di usia 12-14 tahun usia ini. Gigi anak yang semula 20
buah akan menjadi 32 buah saat ia beranjak dewasa di usia 17-21 tahun.

2) Bukti Tanda Gigitan

3) Presentasi Bekas Gigitan

4) Bibir

5) Restorasi

6) Pelecehan Fisik

7) Pelecehan Seksual
Sitasi
Darwin, D., Sakthivel, S., Castelino, R. L., Babu, G. S., Asan, M.
F., & Sarkar, A. S. (2022). Oral Cavity: A Forensic
Kaleidoscope. Journal of Health and Allied Sciences NU,
12(01), 2-6.
Pertiwi, K. R. (2014). Penerapan Teknologi DNA dalam
Identifikasi Forensik. Jurnal Ilmiah WUNY, 16(4).
Thank you

Anda mungkin juga menyukai