Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN PRAKTIKUM GENETIKA

ACARA 10

KARIOTIPE KROMOSOM MANUSIA

Nama : Tyara Wahyu Wardhani

NIM : 221810401086

Kelompok :7

Hari/tanggal : Selasa, 14 November 2023

JURUSAN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS JEMBER

2023
I. Tujuan

Tujuan dari praktikum kariotipe kromosom manusia adalah


Mahasiswa mampu mengenal kariotipe kromosom manusia dan
mampu melakukan analisis kelainan kromosom pada jenis kelamin
berdasarkan jumlah kromosom dari kariotipe.

II. Metode
2.1. Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum kariotipe
kromosom manusia adalah sebagai berikut:
- Gunting
- Lem
- Kertas bergambar kromosom
- Kertas HVS

2.3 Cara Kerja

Cara kerja dalam praktikum kariotipe kromosom manusia


adalah sebagai berikut:

Disiapkan alat dan bahan yang diperlukan

Digunting kertas bergambar kromosom mengikuti bentuk kromosom


yang tersedia

Dicocokkan gambar kromosom yang sudah digunting, ditempel,


dan dicari kelainan genetiknya
III. Hasil dan Pembahasan

3.1 Tabel Hasil

Kode Kertas Sindrom/ Normal + Formula Kromosom Jenis Kelamin


2 Normal (46XX) Wanita
6 Sindrom Down (47 XX + 21) Wanita
7 Sindrom Cri du Chat Laki-laki

3.2 Pembahasan

Manusia memiliki kromosom pada sel somatik yang berjumlah


46 buah atau 23 pasang. Kromosom merupakan struktur yang
terdapat di dalam sel yang bertugas untuk membawa informasi
genetik dari generasi ke generasi berikutnya pada organisme hidup.
Kromosom terdiri atas kromosom autosom dan sepasang kromosom
seks (XX dan XY). Kromosom seks pada wanita yaitu XX sedangkan
pada laki-laki yaitu XY (Tefu dan Karwur, 2017).

Ilmu genetika, dalam mempelajari kromosom suatu


organisme tidak asing dengan istilah kariotipe. Kariotipe adalah
seluruh karakteristik untuk setiap individu, spesies, dan genus.
Kariotipe pada dasarnya merupakan seluruh karakteristik yang
berkaitan dengan identifikasi seperangkat kromosom suatu spesies.
Identifikasi kromosom tersebut meliputi jumlah kromosom, besar
atau ukuran relatif kromosom, panjang lengan, konstriksi sekunder,
serta posisi sentromer. Studi mengenai kariotipe manusia berfungsi
untuk mengidentifikasi adanya kelainan kromosom, penentuan jenis
kelamin individu, pewarisan genetik, memahami variasi kromosom
dalam populasi, pemantauan kesehatan reproduksi, serta penelitian
ilmiah dan pengembangan obat. Identifikasi kelainan kromosom ini
dapat mendeteksi keberadaan kromosom ekstra, hilangnya
kromosom, atau keabnormalan kromosom. Hal tersebut dapat
membantu dokter dan peneliti dalam mendiagnosa penyakit genetik
seperti sindrom Turner, sindrom Down,sindrom Patau, sindrom
Edwards, sindrom Klinefelter, maupun sindrom Cri du chat (Dhyva
dan Kiat, 2016).

Hasil yang didapat pada praktikum kariotipe manusia adalah


wanita normal, wanita dengan sindrom down, dan laki-laki dengan
sindrom Cri du chat. Sindrom tersebut muncul karena adanya
kelainan kromosom. Kelainan kromosom merupakan gangguan
genetik yang terjadi akibat perubahan atau kelainan jumlah
kromosom atau struktur kromosom suatu individu. Kelainan
kromosom dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya faktor
kesalahan selama pembelahan sel, faktor lingkungan seperti
paparan radiasi, radioaktif, serta faktor kesalahan selama
pembentukan sperma atau sel telur. Dampak dari kelainan
kromosom dapat menyebabkan masalah kesehatan, kelainan
fenotip, masalah perkembangan, dan masalah kecerdasan
intelektual. Kelainan kromosom beberapa bersifat genetik dan dapat
diwariskan dari orang tua ke anak (Ambarwati et al., 2023).

Down sindrom adalah gejala yang terjadi akibat


keabnormalan kromosom. Kelainan kromosom Down sindrom
disebabkan oleh kromosom 21 yang tidak dapat memisahkan diri
selama proses meiosis sehingga menyebabkan terjadinya individu
dengan 47 kromosom (Irawan, 2021). Manusia normal umumnya
memiliki 46 kromosom, kromosom tersebut saling berpasangan.
Pasangan-pasangan kromosom pada manusia berjumlah 23 pasang
dengan 22 kromosom autosom atau kromosom tubuh serta 1 pasang
kromosom gonosom atau kromosom seks. Sindrom down
menyebabkan penderitanya mengalami beberapa gangguan seperti
keterlambatan berbicara, kecacatan, serta gangguan perkembangan
fisik dan mental (Marta, 2017). Berikut adalah contoh gambar
kelainan kromosom pada penderita down sindrom:

Gambar 3.1 Kariotipe Kromosom Down Sindrom (Marta,


2017)

Sindrom down dapat terjadi melalui tiga proses yaitu non-


disjunction selama pembentukan sel reproduksi, translokasi, dan
mosaikisme. Non-disjunction adalah kesalahan yang terjadi selama
pembentukan sel sperma atau sel telur. Sel reproduksi yang normal
hanya membawa satu salinan dari setiap kromosom, tetapi karena
terjadi non-disjunction menyebabkan satu sel reproduksi membawa
dua salinan atau tidak membawa salinan sama sekali sehingga
embrio akan memiliki satu salinan tambahan pada kromosom 21.
Translokasi adalah perpindahan sebagian kromosom 21 ke
kromosom lain. Individu yang mewarisi kromosom 21 tambahan dari
orang tua yang memiliki translokasi memiliki risiko mempunyai anak
dengan down sindrom. Mosaikisme adalah kasus dimana sebagian
sel tubuh memiliki jumlah kromosom normal, sementara sebagian
lainnya memiliki trisomy. Hal tersebut dapat terjadi karena kesalahan
selama pembelahan sel pada saat perkembangan embrio. Kasus
down sindrom paling sering terjadi karena disebabkan oleh non-
disjuction selama pembentukan sel reproduksi terutama pada wanita
hamil pada usia yang sudah tua. Risiko terjadinya non-disjunction
meningkat seiring perkembangan usia ibu (Raymanmedula et al.,
2017).

Faktor yang menyebabkan terjadinya down sindrom adalah


faktor kesalahan pada saat pembelahan kromosom pada kromosom
ke 21 yang mengakibatkan kromosom tersebut tidak dapat
memisahkan diri sehingga menyebabkan kromosom tersebut
mengalami kelebihan kromosom atau biasa disebut trisomi. (Khalida
dan Minpora, 2023). Hasil pada praktikum didapatkan bahwa individu
yang mengalami down sindrom adalah perempuan, hal ini dapat
terjadi karena kromosom 21 berjumlah 3 buah (trisomi), jenis kelamin
perempuan dapat diketahui karena pada saat pencocokan kariotipe
kromosom, kromosom seks yang didapatkan adalah XX, dimana
kromosom seks XX menunjukkan bahwa individu tersebut berjenis
kelamin perempuan. Berdasarkan literatur tersebut dapat
disimpulkan bahwa pengamatan praktikum yang dilakukan telah
sesuai dengan literatur.

Sindrom Cri du Chat berasal dari bahasa prancis yang berarti


teriakan kucing. Sindrom Cri du Chat merupakan kelainan genetik
dimana penderitanya memiliki suara tangisan yang mirip dengan
suara kucing. Penderita sindrom ini memiliki ciri fisik berupa suara
tangisan seperti kucing, dagu dan pangkal hidung kecil, wajah
bundar yang tidak normal, serta lipatan kulit diatas mata. Sindrom Cri
du Chat disebabkan oleh kromosom 5 yang terhapus atau terpotong.
Kasus sindrom cri du chat sebagian besar disebabkan oleh delesi
atau penghapusan sebagian lengan pendek kromosom 5 yang
terjadi selama pembentukan sel atau pembelahan sel embrio (Kodra
et al., 2020). Berikut adalah kariotipe kromosom penderita Cri du
Chat:
Gambar 3.2 Kariotipe Kromosom Sindrom Cri du Chat (Astuti
et al., 2022)

Faktor utama terjadinya sindrom cri du chat adalah kesalahan


genetik selama pembentukan sel reproduksi yang mengakibatkan
terjadinya delesi pada kromosom nomor 5 (Holland et al., 2022).
Hasil pada praktikum didapatkan bahwa individu yang mengalami
sindrom Cri du Chat adalah laki-laki, hal ini dapat terjadi karena
kromosom 5 mengalami patahan atau terhapus (delesi), jenis
kelamin laki-laki dapat diketahui karena pada saat pencocokan
kariotipe kromosom, kromosom seks yang didapatkan adalah XY,
dimana kromosom seks XY menunjukkan bahwa individu tersebut
berjenis kelamin laki-laki. Berdasarkan literatur tersebut dapat
disimpulkan bahwa pengamatan praktikum yang dilakukan telah
sesuai dengan literatur.
DAFTAR PUSTAKA

Ambarwati, A., Pujiati, E., dan Pramudaningsih, I. N. 2023. Peningkatan


Pengetahuan Remaja Tentang Kelainan Genetik dan Cara
Pencegahannya. Jurnal Pengabdian Kesehatan. 6(4): 270-278.

Astuti, A., Ritonga, P. T., Anwar, K. K., Argaheni, N. B., Asih, F. R.,
Pondaang, M. F., dan Astutik, H. 2022. Genetika dan Biologi
Reproduksi. Jakarta: Global Eksekutif Teknologi.

Dhyva, T. G., dan Kiat, Z. F. 2016. Sistem Pakar Diagnosis Sindrom Akibat
Kelainan Genetis Pada Manusia. SEMNASTEKNOMEDIA
ONLINE. 4(1): 3-6.

Holland, P., Wildhagen, M., Istre, M., Reiakvam, O. M., Dahl, J. A., dan
Soraas, A. 2022. Cri du chat syndrome patients have DNA
methylation changes in genes linked to symptoms of the
disease. Clinical Epigenetics. 14(1): 1-12.

Irawan, R. 2021. Kelainan genetik dan diagnosis sindrom down. Surabaya:


Airlangga University Press

Khalida, R., dan Minropa, A. 2023. Studi kasus deskripsi perkembangan


bahasa pada kasus dislogia mental rerardasi down
syndrome. Jurnal kesehatan pijar. 2(2): 32-44.

Kodra, Y., Cavazza, M., de Santis, M., Guala, A., Liverani, M. E., Armeni,
P., dan Taruscio, D. 2020. Social economic costs, health-related
quality of life and disability in patients with Cri Du Chat
Syndrome. International Journal of Environmental Research and
Public Health. 17(16): 5951.
Marta, R. 2017. Penanganan kognitif down syndrome melalui metode
puzzle pada anak usia dini. Jurnal Obsesi: Jurnal Pendidikan Anak
Usia Dini. 1(1): 32-41.

Raymanmedula, R., Rahmanisa, S., dan Putri, G. T. 2017. Hubungan Usia


Ibu dengan Kejadian Sindrom Down. Jurnal Medula. 7(5): 144-148.

Tefu, M. O., dan Karwur, F. F. 2017. Pitarah Manusia Nusa Tenggara


Timur Berdasarkan Ceritera Kromosom Y. Scientiae Educatia:
Jurnal Pendidikan Sains. 6(2): 144-165.

Anda mungkin juga menyukai