INTENSI BERWIRAUSAHA
TOPIK PEMBAHASAN
1. Intensi Berwirausaha
2. Daya Lenting
3. Coping Stress
4. Proses Pengembangan Produk Baru
1. INTENSI BERWIRAUSAHA
Berdasarkan teori planned behavior milik Ajzen (2005), intensi
memiliki tiga faktor penentu dasar yaitu individu dalam alam, pengaruh
sosial, dan masalah kontrol. Faktor penentu adanya intensi yang pertama
adalah sikap individu terhadap perilaku atau keyakinan perilaku. Penentu
kedua adalah persepsi seseorang dalam tekanan sosial tentang apa yang
harus dilakukan dan tidak dilakukan, hal tersebut berhubungan dengan
norma subjektif. Ketiga adalah selfefficacy dalam melakukan hal yang
menarik, hal ini disebut sebagai kontrol perilaku. Teori ini
mengasumsikan keyakinan perilaku, norma subjektif dan kontrol perilaku
merupakan bentuk munculnya sebuah intensi. Berikut adalah representatif
gambaran mengenai terbentuknya intensi seperti yang telah dijelaskan.
3. DAYA LETING
Daya Lenting (Resiliensi)
Ada ungkapan yang seringkali disampaikan terkait aktivitas
berwirausaha, yaitu “seorang wirausahawan harus siap rugi dan siap
kalah”. Ungkapan tersebut dimaksudkan bahwa tidak selalu mudah
untuk menjadi seorang wirausahawan, dibutuhkan niat yang besar dan
komitmen yang kuat dalam menekuni usahanya.
Menurut Reivich dan Shatté (2002) resiliensi adalah kemampuan
untuk beradaptasi dan tetap teguh dalam situasi sulit. Mereka
berpendapat Resiliensi dibangun dari tujuh kemampuan yang berbeda dan
hampir tidak ada satupun individu yang secara keseluruhan memiliki
kemampuan tersebut dengan baik. Tujuh kemampuan tersebut adalah, ,
optimisme, empati, analisis penyebab masalah, self efficacy, dan peningkatan
aspek positif.
a. Regulasi Emosi
Ada anggapan orang yang resilien itu tangguh dan tidak
menunjukkan emosinya.
b. Pengendalian Implus
Individu yang resilien dapat mengontrol tindakan, perilaku, dan
emosi dengan cara yang realistis.
c. Gaya Berpikir Optimis dan Realistis
Optimis dan realistis juga merupakan karakteristik individu yang
resilien.
d. Proses berpikir fleksibel
Individu yang dapat berpikir fleksibel dapat melihat permasalahan
dari berbagai perspektif.
e. Self-Efficacy
Keyakinan bahwa diri sendiri memiliki kemampuan untuk
menyelesaikan suatu pekerjaan adalah modal untuk menjadi resilien.
f. Empati
Dalam membangun suatu bisnis, individu tidak dapat lepas dari
bantuan orang lain.
g. Reaching Out
Reaching out adalah tingkat di mana seseorang dapat memberi tahu
dan meminta dukungan pada orang lain bila diperlukan.
4. COPING STRESS
Stress merupakan permasalahan yang dialami oleh banyak orang dari
berbagai profesi, terutama wirausahawan. Hal ini dikarenakan para
wirausahawan senantiasa menghadapi situasi yang tidak pasti dan cepat
berubah. Ditambah lagi dengan kemajuan teknologi yang sangat pesat
membuat wirausahawan berhadapan dengan dua dunia, dunia nyata dan
dunia maya, yang terus bergulir dengan cepat. Sedikit saja tertinggal
informasi, maka bisnis yang dijalankan dapat terancam. Kesendirian
(loneliness) yang dialami akibat tenggelam dalam aktivitas bisnis juga
menjadi salah satu penyebab stress yang dialami wirausahawan (Vasumathi,
dkk, 2003). Belum lagi jika mengalami konflik dengan pelanggan atau
pesaing bisnis. Penelitian menyebutkan bahwa beberapa hal yang
menyebabkan stress pada wirausahawan adalah tuntutan untuk memiliki
keterampilan bisnis, harapan yang tinggi dari orang lain, dan tanggungjawab
(Ahmad & Xavier, 2010).
Namun demikian, stress tidak selalu seburuk yang dikenal
masyarakat umum. Ketika stress mendorong manusia untuk bergerak maju
dan memicu produktivitas, maka stress tersebut menguntungkan, yang
dikenal sebagai eustress. Namun jika stress membuat orang tidak dapat
berfungsi dengan baik dalam kehidupannya, maka stress tersebut tidak
menguntungkan, yang disebut sebagai distress. Tingkat distress yang tinggi
dapat dilihat dari gejala fisiologis (sulit tidur atau tidur tidak teratur, sakit
kepala, gangguan pencernaan, tekanan darah tinggi, dsb), emosional
(mudah tersinggung, cemas, suasana hati yang mudah berubah, sedih,
dsb), intelektual (mudah lupa, penurunan konsentrasi, sering melamun,
dsb), dan interpersonal (mudah curiga pada orang lain, mudah mengingkari
janji, agresif pada orang lain, dsb) (Waitz dkk, 1983).
Ada dua bentuk coping stress yang biasa dilakukan, yaitu problem-
focussed dan emotion-focussed coping. Problem focussed coping
dilakukan dengan cara mengatur atau mengubah hal-hal yang
menyebabkan distress, sedangkan emotion focussed coping dilakukan
dengan mengatur reaksi emosional yang muncul ketika masalah terjadi. Jadi,
ketika mengalami stress, terkadang orang menguranginya dengan cara
mencoba menyelesaikan masalah yang membuat stress tersebut. Ketika
masalah tersebut tidak dapat diselesaikan, maka cara yang dilakukan adalah
dengan mengelola emosi yang muncul akibat stress, misalnya dengan
melakukan relaksasi, melupakan masalah dan lebih memfokuskan
perhatian pada hal lain, menyangkal bahwa masalah telah terjadi, atau
mencari dukungan dari orang lain. Beberapa ahli mengatakan strategi
problem focussed coping lebih efektif dalam menurunkan tingkat stress
dibanding emotion focussed coping. Namun ahli lain mengatakan kedua
strategi tersebut akan efektif jika dikombinasikan.