Anda di halaman 1dari 5

BERSAING DENGAN SENYUM

Lucu tidak ya? Sebuah persahabatan bisa terbentuk akibat sebuah kesamaan, katanya sahabat
bisa terbentuk karena perbedaan satu sama lain yang saling melengkapi. Mereka bertiga,
Diana, Amel, Zaki bisa menjadi sahabat karena kesamaan yang sangat menjengkelkan. Diana
adalah anak yang selalu dipaksa oleh Ayahnya untuk mendapatkan nilai tertinggi di setiap
mata pelajaran. Diana pernah membangkang perintah Ayahnya, ujungnya hobi Dianalah yang
jadi ancaman, seluruh alat gambar Diana dibuang oleh Ayahnya sehingga membuat Diana
mau tidak mau patuh pada perintah Ayahnya, ya demi hobinya.
Zaki juga demikian. Dia sangat mencintai basket sejak kecil tapi Zaki tidak pernah diizinkan
untuk bermain bola basket. Dia harus fokus pada nilai akademik. Zaki selalu mencuri
kesempatan bermain bola basket dengan Amel ketika kedua orang tua Zaki sedang tidak
memperhatikannya. Sekarang Amel, dia berbeda, kedua orang tua Amel tidak pernah
memaksa Amel mendapatkan nilai akademik yang tinggi. Namun, semangat Amel yang
selalu ingin menaikkan derajat kedua orang tuanya, membuat Amel selalu belajar tanpa lelah.
Akhirnya, Amel mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan sekolah kemanapun dia mau.
Pertemuan awal mereka sangat menyenangkan, waktu itu Diana sedang duduk di sebuah
Gazebo Komplek. Dia sedang menggambar. Diana tidak tahu bahwa Gazebo tersebut adalah
markas Amel dan Zaki sejak kecil. Di dekat Gazebo itu, terdapat lapangan basket yang
biasanya dipakai Amel dan Zaki bermain, asal kalian tahu saja Amel dan Zaki memang sudah
bersahabat sejak kecil. Ketika Diana sedang tenang menggambar, tiba-tiba…
BRAAAAAKKKKKK
“Akhhhhhh, woi sakit.” Sebuah bola basket melayang menuju kepala Diana dengan kencang.
“Amel, tanggung jawab itu kena orang”, ucap Zaki berteriak dari kejauhan. “Wah maaf aku
nggak sengaja,” ucap Amel sembari menghampiri Diana. Diana melirik ke arah sumber
suara, “iya nggak papa”, balas Diana. “Sakit nggak?”, tanya Amel. “Sakit”, Diana tidak basa-
basi seperti orang lain, dengan polosnya dia menjawab sakit. “Hahahahahha, hayo loh Mel,
minta maaf”, ujar Zaki. “Iya iya bawel”, jawab Amel pada Zaki. Lalu Amel melirik ke Diana
“maaf ya, aku nggak sengaja.” Diana membalasnya dengan anggukan. “By the way, siapa
nama kamu?” Amel menggulurkan tangannya mencoba membuat topik baru. Diana melirik
Amel sekilas, “Diana, Diana Putri”, ujarnya membalas jabatan tangan Amel. “Okey Diana,
Aku Amel”, sembari tersenyum Amel juga memperkenalkan dirinya. “Aku Zaki”, ucap Zaki
dari balik tubuh Amel, Zaki tentu saja harus ikut memperkenalkan diri. Sejujurnya, Zaki
sedikit canggung ketika mengucapkan namanya tanpa diminta, tapi tidak apa apa.
Pertemuan itu tidak berhenti sampai di sini saja, mereka selalu tidak sengaja bertemu di
tempat yang sama, yaitu Gazebo Komplek. Entah disengaja atau tidak tetapi Dianalah yang
selalu muncul paling awal di Gazebo tersebut. Lambat laun, mereka menjadi lebih akrab,
banyak momen tercipta. Berbagi kebahagiaan ketika mereka sama-sama mendapatkan nilai
tinggi di sekolahnya, sedih ketika Diana dan Zaki lagi-lagi tidak dihargai oleh orang tuanya,
memberi empati pada satu sama lain. Apalagi ketika keluarga Amel sedang mengalami krisis
keuangan, Zaki membantunya dengan sedikit tabungannya. Mereka sudah seperti sahabat
sejak kecil.
Suatu hari, Diana membawa semua alat gambarnya di dalam ransel besar miliknya, mengajak
Zaki dan Amel untuk menggambar. Diana mengatakan, menggambar itu seperti obat baginya,
katanya kita bisa menuangkan rasa bahagia, sedih, bahkan emosi ke dalam sebuah gambar.
Sejujurnya, Zaki dan Amel tidak pandai menggambar sehingga Diana memberikan mereka
beberapa cat air. Zaki dan Amel bisa membuat sebuah garis bahkan benang kusut di atas
kertas, “ini menyenangkan, hahahah,” ucap Amel sembari mencorat-coret kertasnya. Zaki
mengangguk tanda setuju. Sederhana tapi menyenangkan.
Zaki satu-satunya laki-laki di dalam pertemanan ini. Dia sangat senang bermain bola basket.
Karena hanya ada Diana dan Amel di sana, maka Diana dan Amellah yang menjadi teman
bermain basketnya. Zaki tahu, Diana tidak pandai bermain bola. Amel? Sejak kecil Amel
sudah sering Zaki ajak untuk menjadi lawannya jadi Amel sedikit paham bagaimana cara
bermain basket. Zaki hanya bermain santai, tidak serius.
DUUUKKKK
“AKHHH,” jerit Amel. Zaki tidak sengaja melempar bola basket ke muka Amel. Sungguh
jika Amel boleh jujur (INI SAKIT BANGET). “Amel.. kamu nggak papa?” tanya Diana.
“aaaah iya aku gak apa apa huhuu,” padahal Amel sudah menangis di dalam hati. “Aduh
Amel, HAHAHHAHA, maaf ya, nggak sengaja,” ucap Zaki yang baru saja menghampiri
Amel karena tadi dia malah menggambil bola basketnya yang terpantul keluar lapangan.
Amel melotot, dia tertawa? batin Amel. Wah rasanya Amel ingin sekali menonjok Zaki saat
itu juga, tetapi tidak apa apa, Amel adalah anak yang sabar. Setelah itu, mereka melanjutkan
permainan bola basketnya tanpa ada rasa dendam.
“Zaki, Zaki cepet ke sini dulu deh,” panggil Diana yang sudah bersiap untuk berfoto. “Cepet
Zaki, buat kenang kenangan nih.” Amel yang sedang sibuk mengatur ponselnya juga bersuara
“nggak, sekali nggak, ya nggak” jawab Zaki. Lalu tanpa pikir panjang, Diana menarik tangan
Zaki, mendorongnya agar ikut foto bersama. Amel sudah menekan timer pada ponselnya,
segera Amel berjalan mundur menghampiri Diana dan Zaki, Zaki terpaksa berdiri di tengah
karena dia satu-satunya laki laki di sana.
3...
2...
1...
“Cheeeeees.” CEKREK
Mereka memandangi satu persatu foto itu, tiba tiba Amel berkata “pokoknya apapun yang
terjadi nanti, kita bakalan tetep sahabat sampai kapanpun. Kalau kita ada masalah saling
obrolin satu sama lain, jangan sampai kita terpisah karena satu alasan yang nggak jelas,
oke???” Mereka menganggukkan kepala serentak sembari tersenyum satu sama lain.
***
Janji yang tidak bisa kami tepati. Cerita di atas adalah masa masa indah mereka sebelum
mereka menginjak bangku SMA. Mereka memutuskan memasuki SMA yang sama, karena
menurut mereka itu pasti akan menyenangkan, namun nyatanya tidak.
Amel menghembuskan nafasnya kasar, “kamu tahu kan Diana, aku harus bisa mendapatkan
posisi ranking 1 ini, kamu sahabat aku kan Diana!”, tegas Amel ketika keluar dari ruangan
pembagian rapor.
“Hah? Maksudnya?”, Diana yang kaget dengan amarah Amel berusaha tetap tenang. Zaki
baru saja keluar dari ruangan dan hanya bisa celingak-celinguk memperhatikan dua
sahabatnya ini. “Hey hey, tenang, kalian kenapa?”, ucap Zaki.
Amel mendorong bahu Diana, Diana yang tidak siap dengan posisinya langsung terdorong
mundur beberapa senti. “KAMU TAU DIANA, AKU BERUSAHA MASUK SMA INI
DENGAN SUSAH PAYAH, AKU HANYA BISA MENGANDALKAN PRESTASI
AKADEMIKKU.” Diana yang mendengar itu langsung bersuara “APA“, sebelum sempat
menyelesaikan kata-katanya, Amel berkata “SEKARANG KAMU INGIN MENGAMBIL
KESEMPATAN EMASKU? Diana kamu sahabat aku kan? Kamu bisa masuk ke sekolah ini
dengan uang yang kamu punya, sedangkan aku?”, Diana hanya diam terpaku ketika Amel
menggatakan hal itu. Diana berusaha menelan bulat-bulat amarahnya.
“Amel aku nggak pernah bermaksud kaya gitu, dan Amel aku mau bilang-“ lagi-lagi ucapan
Diana harus terpotong. “Udahlah Diana, nggak usah ngomong apa-apa lagi.” Setelah
mengatakan itu, Amel langsung pergi meninggalkan Diana dan Zaki yang masih mematung
diam di tempat. Kini giliran Diana yang menghembuskan nafasnya lelah. Sudah sejak
semester yang lalu Dianalah yang mendapatkan nilai tertinggi di kelas itu dan Amel
sepertinya merasa tersaingi.
“Amel kok jadi kaya gitu sih, nggak mau kamu kejar? Kamu kan harus bilang soal
keberangkatan kamu malem ini,” Zaki menatap Diana. “Dia lagi emosi kaya gitu mana mau
ngedengerin aku,” sembari membalas ucapan Zaki. Diana pergi meninggalkan Zaki dengan
muka lesu, padahal bukan hal seperti ini yang Diana inginkan. “Aku cuma mau nitip salam
aja sama dia,” ucap Diana berbalik dan tersenyum menatap Zaki.
***
Amel berlari melawan arah dari orang-orang yang berjalan ke arahnya, sambil menahan
tangisannya Amel berusaha mencari nama maskapai yang ditumpangi oleh Diana, Amel tentu
saja ditemani oleh Zaki yang ikut berlari di belakangya. Iya... Amel diberitahu oleh Zaki
bahwa Diana akan pergi meninggalkan mereka berdua. Awalnya Amel sangat dongkol tidak
ingin mendengarkan Zaki berbicara tentang Diana ketika mereka sedang melakukan
panggilan telepon. Bahkan, Zaki nekat langsung pergi ke rumah Amel agar Amel percaya
dengan apa yang diucapkannya. Kalimat yang Zaki katakan tadi terus berputar dalam ingatan
Amel. “Diana bakalan pergi ke Canada malem ini mel.” Amel kira itu hanya candaan, tapi
ternyata tidak, Zaki memberikan sepucuk surat yang sudah Diana buat secara khusus bila
Amel tetap saja kukuh tidak ingin mendengarkannya. Surat itu bertuliskan Amel? Kamu baca
surat ini? Bagus deh, aku cuma mau bilang, tenang semester berikutnya dan seterusnya
kamu pasti bisa mendapatkan posisi yang kamu inginkan di kelas, aku tidak akan menjadi
sainganmu lagi, aku akan pergi ke Canada tepat malam ini 31 agustus 2017, aku berharap
kamu sama Zaki ada di bandara mengantarku untuk terakhir kalinya- belum sempat
membaca keseluruhan surat tersebut, Amel langsung melemparnya dan berlari menuju luar
rumah yang langsung dikejar oleh Zaki. Zaki berusaha memacu sepeda motornya dengan
kecepatan tinggi agar mereka berdua bisa bertemu dengan Diana sebelum Diana pergi.
“DIANA!”, panggil Amel lantang membuat seluruh pasang mata menatap ke arahnya, Diana
pun menoleh dan tanpa banyak berpikir, Amel memeluk Diana. Diana yang kaget sampai-
sampai menjatuhkan paspornya ke lantai. Amel yang sedari tadi berusaha menahan
tangisannya perlahan-lahan air matanya mulai berjatuhan. Diana yang merasakan pelukan
erat tersebut langsung membalasnya dengan pelukan erat juga. Diana tidak menyangka, Amel
akan ada di sini. Diana sangat senang dan terharu. Setidaknya, inilah akhir dari pertemuan
kami, sebuah kebahagiaan bukan rasa dendam dan permusuhan. Persahabatan ini memang
belum cukup lama, tapi rasa, kesan, dan kenangannya begitu membuat hati terasa sesak
ketika mengetahui bahwa kami tidak bisa bersama lebih lama lagi. Zaki tersenyum melihat
pemandangan yang ada di hadapannya, dialah yang telah meredam emosi Amel sampai
membuat Amel pergi ke bandara dengan pakaian tidur hanya untuk bertemu dengan Diana.
Zaki juga sebenarnya merasakan sesak di dadanya entah mengapa tetapi Zaki tidak bisa
mengeluarkan air matanya di sini, gengsi.
Pesawat yang ditumpangi Diana sebentar lagi akan berangkat. Kalimat perpisahan keluar dari
mulut Diana tetapi entah mengapa hanya sebatas kalimat ‘selamat tinggal’ saja susah sekali
untuk diucapkan. Diana akan menetap di Canada selamanya, tentu harus ada kalimat selamat
tinggal di antara mereka, “Terimakasih Amel, Zaki, aku pergi dulu ya, bye bye”, sembari
melambaikan tangan Diana mengigit bibir bawahnya untuk menahan air matanya keluar.
Diana tidak ingin membuat Amel sedih lagi dengan tetesan air mata yang dia keluarkan,
bahkan ketika Diana sudah tidak dapat Amel lihat keberadaannya. Amel langsung
mengeluarkan air matanya lagi. Zaki hanya bisa menggusap-usap punggung Amel berusaha
menenangkan.
Setiap pertemuan pasti ada perpisahan, meskipun perpisahan itu menyesakkan namun selalu
ada hikmah di baliknya.

_____________________selesai________________

Anda mungkin juga menyukai