Anda di halaman 1dari 24

ENZIM PLASMA DALAM DIAGNOSIS

Disusun oleh :

Maria Andriyani P. D. 260220207504

Putri Ajeng Sariyanti 260220207506

PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK


UNIVERSITAS PADJADJARAN
PENDAHULUAN

Enzim adalah sebagai katalisator, yaitu sebuah zat/ protein yang mempercepat
reaksi kimia tanpa menjadi reaktan. Untuk mengkatalisis suatu reaksi, maka enzim
harus berikatan dengan satu atau lebih molekul reaktan yang disebut substrat. Setiap
enzim memiliki substrat spesifik dan memiliki hasil reaksi yang spesifik.Dalam
beberapa reaksi, satu substrat dipecah menjadi beberapa produk atau dua substrat
membentuk satu molekul yang lebih besar (Biochemical, 2015). Kadar enzim dalam
darah yang meningkat adalah akibat kerusakan sel yang mengandung enzim itu dan
sel yang mengandung enzim tersebut bertambah banyak atau bertambah aktif. Kadar
enzim yang menurun dalam serum jarang mempunyai makna diagnostik
(Martoharsono, 2012).
Enzim merupakan biomolekul yang mengkatalis reaksi kimia, di mana hampir
semua enzim adalah protein. Enzim dapat meningkatkan kecepatan reaksi kimia secara
nyata dan sangat spesifik. Kecepatan reaksi enzim sangat dipengaruhi oleh beberapa
faktor diantaranya suhu, pH, substrat, konsentrasi enzim dan lain sebagainya
(Biochemical, 2015).
Enzim merupakan katalis organik koloid yang larut dan disintesis oleh sel hidup
(Joshi & Marks, 2004). Sejumlah besar enzim yang ada dalam tubuh manusia disintesis
intraseluler, dan sebagian besar, fungsinya juga dilakukan di dalam sel yang
memproduksinya. Namun beberapa; disekresikan ke dalam cairan intraseluler
(misalnya darah) dan mereka dapat dibagi lagi menjadi dua kelas yaitu;
I. Enzim plasma fungsional dan
II. Enzim plasma nonfungsional (Nduka, 1999).
Enzim plasma fungsional juga dikenal sebagai enzim spesifik plasma yang terdapat
dalam sirkulasi individu normal dan melakukan fungsi fisiologis spesifik dalam darah.
Enzim fungsional termasuk lipoprotein lipase, pseudocholinesterase dan pro-enzim
pembekuan darah dan fibrinolisis (Tapasya & Kunzang, 2007). Kelas kedua yang
dikenal sebagai enzim plasma non-fungsional (enzim yang diturunkan dari sel) tidak
berfungsi seperti enzim plasma di dalam darah tetapi ada dalam sirkulasi sebagai akibat
dari proses keausan normal sel. Enzim non-fungsional termasuk transaminase (Alanine
aminotransferase dan Aspartate aminotransferase), enzim laktat dehidrogenase dan
alkaline phosphatase (Tapasya & Kunzang, 2007).
Pemanfaatan Enzim
Pemanfaatan enzim untuk alat diagnosis secara garis besar dibagi dalam dua
kelompok:
1. Enzim sebagai petanda (marker) dari kerusakan suatu jaringan atau organ akibat
penyakit tertentu.
Penggunaan enzim sebagai petanda dari kerusakan suatu jaringan mengikuti
prinsip bahwasanya secara teoritis enzim intrasel seharusnya tidak terlacak di cairan
ekstrasel dalam jumlah yang signifikan. Apabila enzim intrasel terlacak di dalam cairan
ekstrasel dalam jumlah lebih besar dari yang seharusnya, atau mengalami peningkatan
yang bermakna/signifikan, maka dapat diperkirakan terjadi kematian (yang diikuti oleh
kebocoran akibat pecahnya membran) sel secara besar-besaran. Kematian sel ini dapat
diakibatkan oleh beberapa hal, seperti keracunan bahan kimia (yang merusak tatanan
lipid bilayer), kerusakan akibat senyawa radikal bebas, infeksi (virus), berkurangnya
aliran darah sehingga lisosom mengalami lisis dan mengeluarkan enzim-enzimnya,
atau terjadi perubahan komponen membrane sehingga sel imun tidak mampu lagi
mengenali sel-sel tubuh dan sel-sel asing, dan akhirnya menyerang sel tubuh (penyakit
autoimun) dan mengakibatkan kebocoran membran (Susantiningsih, 2014).
2. Enzim sebagai suatu reagensia diagnosis
Sebagai reagensia diagnosis, enzim dimanfaatkan menjadi bahan untuk mencari
petanda (marker) suatu senyawa. Dengan memanfaatkan enzim, keberadaan suatu
senyawa petanda yang dicari dapat diketahui dan diukur berapa jumlahnya.
Pengukuran dengan enzim memberikan hasil yang sangat khas dan lebih spesifik
dibandingkan dengan pengukuran secara kimia, mampu digunakan untuk mengukur
kadar senyawa yang jumlahnya sangat sedikit, serta praktis karena kemudahan dan
ketepatannya dalam mengukur (Susantiningsih, 2014).
Pemanfaatan enzim dalam pengobatan meliputi penggunaan enzim sebagai
obat, pemberian senyawa kimia untuk memanipulasi kinerja suatu enzim dengan
demikian suatu efek tertentu dapat dicapai (enzim sebagai sasaran pengobatan), serta
manipulasi terhadap ikatan protein-ligan sebagai sasaran pengobatan. Penggunaan
enzim sebagai obat biasanya mengacu kepada pemberian enzim untuk mengatasi
defisiensi enzim yang seyogyanya terdapat di dalam tubuh manusia untuk mengkatalis
rekasi-reaksi tertentu (Joshi & Marks, 2004).
Keadaan normal terdapat keseimbangan antara pembentukan enzim dengan
penghancurannya. Apabila terjadi kerusakan sel atau peningkatan permeabilitas
membran sel, enzim akan banyak keluar ruang ekstra sel dan kedalam aliran darah
sehingga dapat digunakan sebagai sarana untuk diagnostik penyakit tersebut.
Karena itu kadar enzim baik dalam plasma, urin dan darah dapat menjadi petanda
mengenai penyakit tertentu (Biochemical, 2015), (Susantiningsih, 2014).
Enzim dalam diagnosis penyakit
Keadaan penyakit biasanya menyebabkan kerusakan jaringan sedang atau luas
(tergantung pada waktu timbulnya dan tingkat keparahan penyakit) yang akhirnya
mengarah pada pelepasan enzim (enzim nonfungsional spesifik untuk organ atau
jaringan yang sakit) ke dalam sirkulasi yang mengakibatkan peningkatan aktivitas
enzim ini dalam cairan tubuh (Gatsing et al., 2005). Prinsip dasar penggunaan kadar
enzim untuk mendiagnosis penyakit didasarkan pada perbandingan perubahan
aktivitas dalam serum atau plasma dari enzim-enzim ini yang biasanya terdapat dalam
serum dalam jumlah aktif yang sangat rendah dalam keadaan normal (Burtis &
Ashwood, 1996). Analisis sensitif akan memberikan wawasan tentang perubahan
patologis dan sifat penyakit. Namun, karena enzim dan isoformnya mungkin termasuk
dalam berbagai jenis jaringan, sangat relevan untuk memiliki pengetahuan rinci
tentang isoenzim dari enzim yang dipelajari dan sifat enzimatiknya seperti kinetika,
pengaruh faktor seperti suhu dan pH, laju pelepasan dari sel asal dan tingkat
pembersihan dari sirkulasi (Burtis & Ashwood, 1996).
Pengukuran aktivitas enzim dalam plasma sangat berperan dalam diagnosis dan
pengelolaan berbagai macam penyakit. Sebagian besar enzim yang diukur dalam
plasma terutama intraseluler, dilepaskan ke dalam darah ketika ada kerusakan pada
membran sel. Tetapi banyak enzim, misalnya renin, faktor komplemen dan faktor
koagulasi, secara aktif disekresikan ke dalam darah, di mana mereka memenuhi
fungsi fisiologisnya. Sejumlah kecil enzim intraseluler hadir dalam darah sebagai
akibat dari pergantian sel normal. Ketika kerusakan sel terjadi, peningkatan jumlah
enzim akan dilepaskan dan konsentrasinya dalam darah akan meningkat. Namun,
peningkatan tersebut tidak selalu karena kerusakan jaringan. Kemungkinan penyebab
lain termasuk:
- Meningkatkan pergantian sel
- Proliferasi sel (misalnya neoplasia)
- Peningkatan sintesis enzim (induksi enzim)
- Obstruksi sekresi
- Berkurangnya klirens
Kerugian dari pemeriksaan enzim
Kurangnya spesifisitas untuk jaringan atau jenis sel tertentu karena banyak enzim
yang umum untuk lebih dari satu jaringan.
Diatasi oleh:
Pertama, jaringan yang berbeda mungkin mengandung (dan dengan demikian
melepaskan ketika rusak) dua atau lebih enzim dalam proporsi yang berbeda. Kedua,
beberapa enzim ada dalam bentuk yang berbeda (isoform), disebut isoenzim. Isoform
individu seringkali merupakan karakteristik dari jaringan tertentu. Meskipun mereka
mungkin memiliki aktivitas katalitik yang sama, mereka sering berbeda dalam
beberapa sifat terukur lainnya, seperti stabilitas panas atau kepekaan terhadap
inhibitor.
Setelah kerusakan jaringan, aktivitas enzim intraseluler dalam plasma meningkat
saat dilepaskan dari sel yang rusak, dan kemudian menurun saat enzim dibersihkan.
Oleh karena itu, penting untuk mempertimbangkan waktu pengambilan sampel darah
sehubungan dengan kerusakan. Jika diambil terlalu cepat, ada banyak waktu yang
tidak cukup bagi enzim untuk mencapai aliran darah dan jika terlambat, mungkin
sudah benar-benar tidak ada.
Kebanyakan enzim hadir dalam sel pada konsentrasi yang jauh lebih tinggi
daripada di plasma. Beberapa terjadi terutama di sel-sel jaringan tertentu, di mana
mereka mungkin terletak di kompartemen seluler yang berbeda seperti sitoplasma
atau mitokondria. Tingkat enzim plasma 'normal' mencerminkan keseimbangan antara
laju sintesis dan pelepasan ke dalam plasma selama pergantian sel, dan laju klirens
dari sirkulasi.
Aktivitas enzim dalam plasma dapat meningkat karena proliferasi sel,
peningkatan laju pergantian sel atau kerusakan atau dalam sintesis enzim (induksi),
atau berkurangnya pembersihan dari plasma. Ataupun lebih rendah dari normal
karena penurunan sintesis atau defisiensi kongenital. Perubahan aktivitas enzim
plasma terkadang dapat membantu mendeteksi dan melokalisasi kerusakan atau
proliferasi sel jaringan, atau untuk memantau pengobatan dan perkembangan
penyakit.
Tingkat enzim plasma tergantung pada laju pelepasan dari sel-sel yang rusak
yang, pada gilirannya, bergantung pada laju kerusakan yang terjadi. Serta, pada
tingkat kerusakan sel. Tidak adanya kerusakan sel, laju pelepasan tergantung pada: a)
laju proliferasi sel; b) derajat induksi sintesis enzim.
Enzim pankreas
Enzim pankreas, juga dikenal sebagai pankreas atau pankrelipase dan pankreatin,
adalah campuran komersial amilase, lipase, dan enzim lainnya seperti protease dan
tripsinogen. Enzim pankreas membantu memecah lemak, protein dan karbohidrat.
Cairan yang dihasilkan pankreas mengandung enzim pankreas untuk membantu
pencernaan dan bikarbonat untuk menetralkan asam lambung saat memasuki usus
kecil.
Biomarker untuk kelainan pankreatitis akut adalah enzim amilase lipase dan
tripsinogen. Amilase bekerja dengan menghidrolisis karbohidrat dan membentuk gula
sederhana, sedangkan lipase bekerja meghidrolisis lemak membentuk asam lemak.
setelah diubah menjadi bentuk sederhana, maka zat tersebut dapat diabsorbsi di usus
halus. Terdapat tiga enzim yang berasal dari sel-amilase asinar pankreas yang dapat
digunakan sebagai penenda biokimiawi dari penyakit pankreatitis akut, yaitu amilase,
lipase, dan proenzim, tripsinogen. Ketiga enzim tersebut teruji secara klinis dan
sering digunakan dalam praktek klinis untuk mendiagnosis penyakit tersebut (Jayanta,
2015).
Jenis-Jenis Enzim Pankreas dan Efeknya :
1. Lipase
Lipase bekerja dengan empedu dari hati untuk memecah molekul lemak sehingga
dapat diserap dan digunakan oleh tubuh.
Kekurangan lipase dapat menyebabkan kurangnya lemak yang dibutuhkan dan
vitamin yang larut dalam lemak. Serta, mengakibatkan diare dan/atau tinja berlemak.
Lipase memiliki sensitivitas dan spesifisitas masing-masing adalah 80% dan
60%. Konsentrasi serum meningkat lipase dalam 3-6 jam dari onset penyakit dan
puncak dalam waktu 24 jam. Berbeda dengan amilase, lipase diserap dalam tubulus
ginjal dan tetap lama pada konsentrasi yang lebih tinggi, sehingga memberikan
sensitivitas yang lebih besar pada pasien dengan manifestasi klinis yang terlambat
(Jansen, 2015).
Peningkatan kadarnya meningkat lebih lama yaitu 8-14 hari sehingga
sensitivitas yang lebih besar. Kadar enzim lipase meningkat 4 kali lipat dari enzim
amilase. Hipertrigliseridemia tidak mengganggu pengukuran laboratorium dari kadar
lipase, tetapi obat-obatan seperti furosemid dapat meningkatkan aktivitas serum.
Akurasi diagnostik lipase lebih baik dari pada amilase, dengan kadar ambang 600 IU /
l, kebanyakan studi telah melaporkan spesifisitas di atas 95%, dan sensitivitas berkisar
antara 55% dan 100% (Jayanta, 2015).
Jenis tes untuk pemeriksaan enzim lipase adalah tes darah dengan temuan normal
0-160 unit/L atau 0-160 unit/L (SI unit) (Nilai bergantung pada metode.)
⚫ Penjelasan tes dan fisiologi terkait
Penyebab paling umum dari peningkatan serum lipase adalah pankreatitis akut.
Lipase adalah enzim yang disekresikan oleh pankreas ke dalam duodenum untuk
memecah trigliserida menjadi asam lemak. Seperti halnya amilase, lipase muncul
dalam aliran darah setelah kerusakan atau penyakit yang mempengaruhi sel asinar
pankreas. Karena lipase dianggap hanya diproduksi di pankreas, peningkatan kadar
serum dianggap spesifik untuk kondisi pankreas patologis. Sekarang jelas bahwa
kondisi lain dapat dikaitkan dengan peningkatan kadar lipase. Lipase diekskresikan
melalui ginjal. Oleh karena itu, peningkatan kadar lipase sering ditemukan pada
pasien gagal ginjal. Infark atau obstruksi usus juga dapat dikaitkan dengan
peningkatan lipase. Namun, peningkatan lipase pada penyakit nonpankreas kurang
dari tiga kali batas atas normal dibandingkan dengan pankreatitis, di mana seringkali
lima hingga sepuluh kali nilai normal. Pada pankreatitis akut, peningkatan kadar
lipase biasanya paralel dengan kadar amilase serum. Tingkat lipase biasanya naik
sedikit lebih lambat dari amilase (24 sampai 48 jam setelah timbulnya pankreatitis)
dan tetap meningkat selama 5 sampai 7 hari. Karena lipase memuncak kemudian dan
tetap meningkat lebih lama dari serum amilase, hal ini lebih berguna dalam diagnosis
pankreatitis akut di kemudian hari dalam perjalanan penyakit. Tingkat lipase kurang
berguna pada penyakit pankreas yang lebih kronis (misalnya, pankreatitis kronis,
karsinoma pankreas) (Pagana, et al., 2015).
⚫ Faktor yang mengganggu
- Obat-obatan yang dapat menyebabkan peningkatan kadar lipase termasuk
bethanechol, kolinergik, kodein, indometasin, meperidin, metakolin, dan morfin.
- Obat-obatan yang dapat menyebabkan penurunan kadar termasuk ion kalsium.
⚫ Temuan abnormal :
➢ Pankreatitis akut ➢ kolangitis
➢ Pankreatitis kronis kambuhan ➢ Obstruksi duktus ekstrahepatik
➢ Kanker pankreas ➢ Gagal ginjal
➢ Pseudokista pankreas ➢ Obstruksi usus atau infark
➢ Kolesistitis akut
➢ Peradangan atau tumor kelenjar ➢ Penyakit ulkus peptikum
ludah

2. Amilase
Amilase memecah karbohidrat (pati) menjadi gula yang lebih mudah diserap
oleh tubuh. Enzim ini juga ditemukan dalam air liur. Kekurangan amilase dapat
menyebabkan diare karena efek pati yang tidak tercerna di usus besar. Amilase adalah
hidrolase glikosida terutama diproduksi di pankreas dan kelenjar ludah dan dalam
jumlah yang sangat kecil di jaringan lain. Enzim amilase dapat menjadi penanda
biokimia yang paling umum digunakan untuk diagnosis pankreatitis akut, tetapi
sensitivitas berkurang dengan terjadinya hipertrigliseridemia, dan alkoholisme kronis.
Pankreatitis akut biasanya ditandai dengan nyeri hebat pada perut bagian atas yang
menyebar ke punggung dan disertai dengan mual dan muntah (Jansen, 2015).
Pada pankreatitis akut, tingkat darah amilase meningkat dengan cepat dalam
waktu enam jam dari onset penyakit, waktu paruh 10-12 jam, tetap tinggi selama 3-5
hari, dan akhirnya diekskresikan oleh ginjal. Setelah mencapai tingkat puncak,
berikutnya amilase serum kembali ke level normal, namun hal ini tidak
berhubungan dengan resolusi gejala klinis. Peningkatan kadar amilase serum juga
dapat ditemukan pada keadaan inflamasi intraabdominal lain dan gangguan saliva
serta pada pasien yang memiliki penurunan klirens ginjal (Jansen, 2015).
Macroamylasemia adalah suatu kondisi di mana amilase tetap terikat dengan
imunoglobulin atau polisakarida untuk membentuk kompleks dengan berat molekul
besar yang mengarah ke peningkatan kadar serum amilase. Hipertrigliseridemia
kompetitif mengganggu uji amilase, sehingga pada pasien ini akan dijumpai nilai
negatif palsu (kadar amilase yang rendah). Sensitivitas dan spesifisitas amilase
sebagai uji diagnostik untuk untuk mendiagnosis pankreatitis akut tergantung pada
nilai ambang batas. Pada tingkat cut-off 1000 IU / L, memiliki sensitivitas sekitar
55-84% dan spesifisitas hingga 95%. Pembersihan enzim amilase melalui urin
meningkat 3 kali dalam waktu 1-2 minggu pada pasien dengan kondisi ginjal normal
(Ahmed & Al-Bahrani, 2005).
Jenis pemeriksaan kadar amilase melalui darah dan urine.
⚫ Temuan normal
Darah
- Dewasa: 60-120 unit Somogyi/dL atau 30-220 unit/L (satuan SI)
Nilai mungkin sedikit meningkat selama kehamilan normal dan pada orang tua.
- Bayi baru lahir: 6-65 unit/L
Urine (24 jam)
Hingga 5000 unit Somogyi/24 jam atau 6,5-48,1 unit/jam (satuan SI)
⚫ Penjelasan tes dan fisiologi terkait
Serum amilase adalah tes yang mudah dan cepat dilakukan yang biasanya
digunakan untuk mendiagnosis dan memantau pengobatan pankreatitis. Amilase
biasanya disekresikan dari sel asinar pankreas ke dalam saluran pankreas dan
kemudian ke duodenum. Begitu berada di usus, ia membantu katabolisme karbohidrat
menjadi komponen gula sederhana mereka. Kerusakan sel asinar (seperti yang terjadi
pada pankreatitis) atau obstruksi aliran saluran pankreas (akibat karsinoma pankreas)
menyebabkan pencurahan enzim ini ke dalam sistem getah bening intrapankreas dan
peritoneum bebas. Pembuluh darah yang mengalirkan peritoneum bebas dan
menyerap getah bening mengambil kelebihan amilase. Peningkatan abnormal kadar
amilase serum terjadi dalam 12 jam setelah onset penyakit. Karena amilase cepat
dibersihkan oleh ginjal, kadar serum kembali normal 48 sampai 72 jam setelah
serangan awal. Pankreatitis persisten, obstruksi duktus, atau kebocoran duktus
pankreas akan menyebabkan peningkatan kadar amilase yang persisten.
Meskipun serum amilase adalah tes sensitif untuk gangguan pankreas, itu tidak
spesifik. Penyakit nonpankreas lainnya dapat menyebabkan peningkatan kadar
amilase dalam serum. Misalnya, pada perforasi usus, amilase intraluminal bocor ke
peritoneum bebas dan diambil oleh pembuluh darah peritoneum. Juga, ulkus peptikum
yang menembus ke dalam pankreas akan menyebabkan peningkatan kadar amilase.
Obstruksi duodenum dapat dikaitkan dengan peningkatan amilase yang kurang
signifikan. Karena kelenjar ludah mengandung amilase, peningkatan dapat diharapkan
pada pasien dengan parotiditis (gondong). Tes isoenzim amilase dapat membedakan
hiperamilasemia pankreas dari saliva.
Kadar amilase urin meningkat setelah kadarnya dalam darah. Beberapa hari
setelah timbulnya proses penyakit, kadar amilase serum mungkin normal, tetapi kadar
amilase urin meningkat secara signifikan. Amilase urin sangat berguna dalam
mendeteksi pankreatitis di akhir perjalanan penyakit.
Seperti halnya amilase serum, amilase urin sensitif tetapi tidak spesifik untuk
gangguan pankreas. Perbandingan rasio klirens ginjal amilase dengan kreatinin
memberikan informasi diagnostik yang lebih spesifik daripada tingkat amilase urin
atau tingkat amilase serum saja. Bila rasio klirens amilase/kreatinin adalah 5% atau
lebih, diagnosis pankreatitis dapat ditegakkan dengan pasti (Pagana, et al., 2015).
⚫ Faktor yang mengganggu
Lipemia serum dapat secara keliru menurunkan kadar amilase.
- Larutan dekstrosa IV dapat menyebabkan hasil negatif palsu.
- Obat-obatan yang dapat menyebabkan peningkatan kadar amilase serum termasuk
asam aminosalisilat, aspirin, azathioprine, kortikosteroid, deksametason, etil alkohol,
glukokortikoid, media kontras yang mengandung yodium, diuretik loop, metildopa,
analgesik narkotik, kontrasepsi oral, dan prednison.
- Obat-obatan yang dapat menyebabkan penurunan kadar termasuk sitrat, glukosa, dan
oksalat.
⚫ Temuan abnormal
- Peningkatan level amilase menyebabkan :
➢ Pankreatitis kambuhan akut atau ➢ Kehamilan ektopik
kronis ➢ Infark paru
➢ Ulkus peptikum yang tembus atau ➢ Ketoasidosis diabetik
berlubang ➢ Obstruksi duodenum
➢ Usus nekrotik atau berlubang ➢ Sarkoma osteogenik
➢ Kolesistitis akut ➢ Krioglobulinemia
➢ Parotisitis (gondongan) ➢ Penyakit rematik

Enzim Liver
Pemeriksaan enzim serum sangat berguna untuk diagnosis banding dan
pemantauan berbagai gangguan hepatobilier. Pemeriksaan biokimia enzim liver dapat
dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu enzim yang berhubungan dengan kerusakan sel,
penanda kolestasis dan kapasitas sintesis (Sudoyo, 2014).
1. AST (Aspartate Aminotransferase)/SGOT
AST merupakan enzim mitokondria yang berfungsi mengkatalis konversi aspartat dan
alfa-ketoglutarat menjadi oksaloasetat dan glutamat. Enzim AST tidak spesifik
sebagai indicator disfungsi hati karena selain di hati, banyak juga ditemukan pada otot
rangka, pankreas, jantung dan ginjal. Kadar enzim AST akan meningkat apabila
terjadi kerusakan sel yang akut seperti nekrosis hepatoseluler seperti gangguan fungsi
hati dan saluran empedu, penyakit jantung dan pembuluh darah, serta gangguan
fungsi ginjal dan pancreas (Pratt,2008).
⚫ Temuan Normal
Sampel diambil dari darah pasien.
Dewasa: 0-35 unit/L atau 0-0.58mKat/L (satuan SI); perempuan cenderung
memiliki nilai yang sedikit lebih rendah daripada laki-laki
Lansia: nilai sedikit lebih tinggi dari nilai dewasa (Pagana,2015).
Anak-anak:
0-5 hari: 35-140 unit/L 6-12 tahun: 10-50 unit/L
<3 tahun: 15-60 unit/L 12-18 tahun: 10-40 unit/L
3-6 tahun: 15-50 unit/L
⚫ Penjelasan tes dan fisiologi terkait
Tes ini digunakan dalam evaluasi dugaan penyakit hepatoseluler. Ketika penyakit
atau cedera mempengaruhi sel-sel jaringan ini, sel-sel lisis. AST dilepaskan dan
diambil oleh darah, dan kadar serum meningkat. Karena AST ada di dalam sel hati,
penyakit yang mempengaruhi hepatosit menyebabkan peningkatan kadar enzim ini.
Pada hepatitis akut, kadar AST dapat meningkat hingga 20 kali nilai normal. Pada
obstruksi ekstrahepatik akut (misalnya, batu empedu), kadar AST dengan cepat naik
hingga 10 kali nilai normal dan turun dengan cepat. Pada pasien sirosis, kadar AST
bergantung pada jumlah inflamasi aktif.
Kadar AST serum sering dibandingkan dengan kadar alanine aminotransferase.
Rasio AST/ALT biasanya lebih besar dari 1,0 pada pasien dengan sirosis alkoholik,
kongesti hati, atau tumor metastatik hati. Rasio kurang dari 1,0 dapat dilihat pada
pasien dengan hepatitis akut, hepatitis virus, atau mononukleosis menular. Rasio
kurang akurat jika kadar AST melebihi 10 kali nilai normal. Pasien dengan
pankreatitis akut, penyakit ginjal akut, penyakit muskuloskeletal, atau trauma
mungkin mengalami peningkatan sementara serum AST. Pasien dengan kelainan sel
darah merah, seperti anemia hemolitik akut dan luka bakar parah, juga dapat
mengalami peningkatan enzim ini (Pagana,2015).
⚫ Faktor Pengganggu:
- Olahraga dapat menyebabkan peningkatan kadar.
- Defisiensi piridoksin (beri-beri atau kehamilan), penyakit hati berat yang
berlangsung lama, uremia, atau ketoasidosis diabetikum dapat menyebabkan penurunan
kadar.
- Obat-obatan yang dapat menyebabkan peningkatan kadar termasuk antihipertensi,
agen kolinergik, antikoagulan tipe kumarin, preparat digitalis, eritromisin, obat
hepatotoksik, isoniazid, metildopa, opiat, kontrasepsi oral, salisilat, statin, dan
verapamil (Pagana,2015).
⚫ Temuan Abnormal
- Peningkatan kadar :
➢ Penyakit hati ➢ Operasi nonkardiak baru-baru ini
➢ Hepatitis ➢ Beberapa trauma
➢ Sirosis hati ➢ Luka bakar yang parah dan dalam
➢ Cedera hati akibat obat ➢ Otot progresif
➢ Metastasis hati ➢ distrofi
➢ Nekrosis hati (hanya tahap awal) ➢ Kejang-kejang baru-baru ini
➢ Operasi hati ➢ Serangan panas
➢ Mononukleosis menular dengan ➢ Penyakit otot primer (mis., miopati,
hepatitis miositis)
➢ Proses infiltrasi hati (misalnya, ➢ Penyakit lainnya
tumor) ➢ Anemia hemolitik akut
➢ Penyakit otot rangka ➢ Pankreatitis akut
➢ Trauma otot rangka
- Penurunan kadar:
➢ Penyakit ginjal akut
➢ Beriberi
➢ Ketoasidosis diabetic
➢ Kehamilan
➢ Dialisis ginjal kronis

2. Alanine Amino Transferase (ALT)/SGPT


⚫ Temuan Normal
Sampel diambil dari darah pasien.
Dewasa/anak: 4-36 unit/L pada suhu 37 °C, atau 4-36 unit/L (satuan SI)
Lansia: mungkin sedikit lebih tinggi dari orang dewasa
Bayi: mungkin dua kali lebih tinggi dari orang dewasa (Pagana,2015).
⚫ Penjelasan tes dan fisiologi terkait
ALT ditemukan terutama di hati; jumlah yang lebih rendah ditemukan di ginjal,
jantung, dan otot rangka. Cedera atau penyakit yang mempengaruhi parenkim hati
menyebabkan pelepasan enzim hepatoseluler ini ke dalam aliran darah, sehingga
meningkatkan kadar ALT serum. Enzim ini mengkatalisis transfer gugus amino dari
alanin ke alfa-ketoglutarat, mengakibatkan pembentukan piruvat dan glutamat. Reaksi
ini terjadi secara reversibel. Namun, selama katabolisme asam amino, enzim ini
(seperti kebanyakan aminotransferase) berfungsi secara langsung mensintesis glutamat
(Ferrier, 2014). ALT lebih cepat dibebaskan dari hepatosit ke darah dalam keadaan
akut (Kaleanalhalli,2012). Umumnya, sebagian besar peningkatan ALT disebabkan
oleh penyakit hati. Oleh karena itu, enzim ini tidak hanya sensitif tetapi juga sangat
spesifik dalam mengindikasikan penyakit hepatoseluler. Pada penyakit hepatoseluler
selain hepatitis virus, rasio ALT/AST (rasio DeRitis) nilainya kurang dari 1. Pada
hepatitis virus, rasionya lebih besar dari 1. Ini membantu dalam diagnosis hepatitis
virus (Pagana,2015).
⚫ Faktor yang mengganggu
- Suntikan IM sebelumnya dapat menyebabkan peningkatan kadar.
- Obat-obatan yang dapat menyebabkan peningkatan kadar ALT termasuk
acetaminophen, allopurinol, asam aminosalisilat (PAS), ampisilin, azathioprine,
carbamazepine, sefalosporin, chlordiazepoxide, chlorpropamide, clofibrate,
cloxacillin, kodein, dicumarol, indomethacinnaf, isoniazid (INH, methyldorexate).
asam nalidiksat, nitrofurantoin, kontrasepsi oral, oksasilin, fenotiazin, fenilbutazon,
fenitoin, procainamide, propoxyphene, propranolol, quinidine, salisilat, tetrasiklin,
dan verapamil (Pagana,2015).
⚫ Untuk temuan abnormal jika ditemukan adanya peningkatan kadar:
➢ Hepatitis ➢ Luka bakar parah
➢ nekrosis hati ➢ Trauma pada otot lurik
➢ Iskemia hati ➢ Myositis
➢ Sirosis ➢ Pankreatitis
➢ Kolestasis ➢ Infark miokard
➢ tumor hati ➢ Infectious mononucleosis
➢ Hepatotoxic drugs ➢ Shock
➢ Obstructive jaundice

3. Gamma-Glutamyl Transferase (GGT)


Enzim Gamma-Glutamyl Transferase (GGT) atau Gamma-Glutamyl Transpeptidase
merupakan enzim yang terdistribusi luas dan paling tinggi konsentrasinya pada
hepatosit (Engin, 2019). Enzim ini juga terlibat dalam transfer asam amino melintasi
membran sel, metabolisme leukotrien dan resistensi obat (Gungor, 2020). Selain itu,
enzim ini berperan dan bertanggung jawab atas katabolisme glutathione (Malnick,
2020). Enzim GGT banyak ditemukan di hepatosit. Peningkatan aktivitas enzim ini
dalam plasma darah mengindikasikan adanya kerusakan hepar dan saluran empedu
serta dapat juga digunakan sebagai penanda pada kasus kerusakan hepar akibat
konsumsi alkohol berlebihan, penyakit perlemakan hati dan inflamasi hati lainnya
(Haurissa,2014). Enzim ini memiliki tiga fungsi utama. Fungsi pertama enzim ini
berperan dalam sintesis protein. Fungsi kedua enzim ini ikut dalam regulasi aktivitas
gluthatione dalam jaringan, dan fungsi ketiga enzim ini berperan dalam transport asam
amino melalui membran sel. Aktivitas enzim GGT melimpah pada hepatosit,
kolangiosit dan tubulus proksimal ginjal (Ndrepepa,2016). Ekspresi enzim GGT dapat
pula ditemukan pada paru, pankreas, endotel pembuluh darah, sel-sel saraf, dan juga
pada plasma darah (Mason, 2010).
⚫ Temuan Normal
Sampel diambil dari darah pasien.
Pria dan wanita usia > 45: 8-38 unit/L atau 8-38 SI Unit/L
Wanita usia < 45 tahun: 5-27 unit/L atau 5-27 SI Unit/L
Lansia: sedikit lebih tinggi dari level dewasa
Anak: mirip dengan level orang dewasa
Bayi baru lahir: 5 kali lebih tinggi dari level dewasa
⚫ Penjelasan tes dan fisiologi terkait
Tes ini digunakan untuk mendeteksi disfungsi sel hati, dan sangat akurat
menunjukkan bahkan tingkat kolestasis sekecil apa pun. Ini adalah enzim hati yang
paling sensitif dalam mendeteksi obstruksi bilier, kolangitis, atau kolesistitis. Seperti
halnya leusin aminopeptidase dan 5-nukleotidase, peningkatan GGTP umumnya
sejajar dengan alkaline phosphatase; namun, GGTP lebih sensitif. Juga, seperti halnya
5-nukleotidase dan leusin aminopeptidase, GGTP tidak meningkat pada penyakit
tulang seperti halnya alkaline phosphatase. Level GGTP normal dengan peningkatan
level alkaline phosphatase menyiratkan penyakit tulang. Peningkatan kadar GGTP dan
alkaline phosphatase menyiratkan penyakit hepatobilier. GGTP juga tidak meningkat
pada masa kanak-kanak atau kehamilan. Aspek klinis penting lainnya dari GGTP
adalah dapat mendeteksi konsumsi alkohol kronis. Oleh karena itu, sangat berguna
dalam skrining dan evaluasi pasien alkoholik. GGTP meningkat pada sekitar 75%
pasien yang minum alkohol secara kronis. Peningkatan biasanya terjadi 1 sampai 2
minggu setelah infark.
⚫ Faktor yang mengganggu
- Nilai dapat menurun pada akhir kehamilan.
- Obat-obatan yang dapat menyebabkan peningkatan kadar GGTP termasuk alkohol,
fenobarbital, dan fenitoin.
- Obat-obatan yang dapat menyebabkan penurunan kadar termasuk clofibrate dan
kontrasepsi oral (Pagana,2015).
⚫ Untuk temuan abnormal jika ditemukan adanya peningkatan kadar:
➢ Hepatitis
➢ Kolestasis ➢ Virus Epstein-Barr (mononukleosis
➢ Sirosis menular)
➢ Infark miokard ➢ Penyakit kuning
➢ Nekrosis hati ➢ Infeksi sitomegalovirus
➢ Pankreatitis ➢ Infark miokard
➢ Tumor atau metastasis hati ➢ Sindrom Reye
➢ Kanker pancreas ➢ Konsumsi alkohol
➢ Obat hepatotoksik
4. Alkaline Phosphatase (ALP)
⚫ Temuan Normal
Sampel diambil dari darah pasien.
Dewasa: 30-120 unit/L atau 0,5-2.0mKat/L
Lansia: sedikit lebih tinggi dari orang dewasa
Anak/remaja:
<2 tahun: 85-235 unit/L 9-15 tahun: 60-300 unit/L
2-8 tahun: 65-210 unit/L 16-21 tahun: 30-200 unit/L
⚫ Penjelasan tes dan fisiologi terkait
ALP ditemukan di banyak jaringan, konsentrasi tertinggi ditemukan di hati, epitel
saluran empedu, dan tulang. Deteksi enzim ini penting untuk menentukan kelainan hati
dan tulang. Di dalam hati, ALP hadir dalam sel Kupffer. Sel-sel ini melapisi sistem
pengumpul bilier. Enzim ini diekskresikan ke dalam empedu. Tingkat enzim ALP
sangat meningkat pada penyakit bilier obstruktif ekstrahepatik dan intrahepatik dan
sirosis. Kelainan hati lainnya, seperti tumor hati, obat hepatotoksik, dan hepatitis,
menyebabkan peningkatan kadar ALP yang lebih rendah. Laporan telah menunjukkan
bahwa tes yang paling sensitif untuk menunjukkan tumor metastasis ke hati adalah
ALP.
Tulang adalah sumber ALP ekstrahepatik yang paling sering; pertumbuhan tulang
baru dikaitkan dengan peningkatan kadar ALP, yang menjelaskan mengapa kadar ALP
tinggi pada remaja. Pertumbuhan tulang baru patologis terjadi dengan tumor metastasis
osteoblastik (misalnya, payudara, prostat). Penyakit Paget, penyembuhan patah tulang,
rheumatoid arthritis, hiperparatiroidisme, dan tulang yang tumbuh normal juga
merupakan sumber peningkatan kadar ALP.
⚫ Faktor yang mengganggu
- Konsumsi makanan dalam waktu dekat dapat meningkatkan kadar ALP.
- Obat-obatan yang dapat meningkatkan kadar ALP termasuk albumin yang dibuat dari
jaringan plasenta, allopurinol, antibiotik, azathioprine, colchicine, fluoride,
indometasin, isoniazid (INH), metotreksat, metildopa, asam nikotinat, fenotiazin,
probenesid, tetrasiklin, dan verapamil.
- Obat-obatan yang dapat menyebabkan penurunan kadar termasuk arsenik, sianida,
fluorida, nitrofurantoin, oksalat, dan garam seng.
⚫ Temuan Abnormal
- Peningkatan kadar :
➢ Sirosis ➢ Hiperparatiroidisme
➢ Obstruksi bilier intrahepatik atau ➢ Paget disease of bone
ekstrahepatik ➢ Rheumatoid arthritis
➢ Tumor hati primer atau metastatic ➢ Sarcoidosis
➢ Iskemia atau infark usus ➢ Osteomalacia
➢ Tumor metastatik ke tulang ➢ Rickets
➢ Penyembuhan patah tulang
- Penurunan kadar :
➢ malnutrisi ➢ Penyakit kudis (kekurangan vitamin C)
➢ Sindrom susu-alkali ➢ Penyakit celiac
➢ Anemia pernisiosa ➢ Kelebihan konsumsi vitamin B
➢ Hipofosfatemia ➢ Hipofosfatasia
5. Cholinesterase (CHE)
⚫ Temuan Normal
Sampel diambil dari darah pasien.
Kolinesterase serum: 8-18 unit/mL atau 8-18 unit/L (unit SI)
Kolinesterase sel darah merah: 5-10 unit/mL atau 5-10 unit/L (satuan SI)
⚫ Penjelasan tes dan fisiologi terkait
Tes ini dilakukan untuk mengidentifikasi pasien dengan defisiensi
pseudokolinesterase sebelum anestesi atau untuk mengidentifikasi pasien yang
mungkin telah terpapar keracunan fosfat. Kolinesterase menghidrolisis asetilkolin dan
ester kolin lainnya dan dengan demikian mengatur transmisi impuls saraf di sinaps
saraf dan sambungan neuromuskular. Ada dua jenis kolinesterase: asetilkolinesterase,
juga dikenal sebagai kolinesterase sejati, dan pseudokolinesterase.
Kolinesterase berada di sel darah merah dan jaringan saraf. Defisiensi kolinesterase
disebabkan oleh paparan berlebihan terhadap pestisida, organofosfat, atau gas saraf.
Waktu paruh pseudoenzim dalam serum adalah sekitar 8 hari, dan kolinesterase sejati
(AChE) sel darah merah lebih dari 3 bulan (ditentukan oleh aktivitas eritropoietik).
Paparan baru-baru ini hingga beberapa minggu ditentukan dengan pengujian enzim
semu dan bulan setelah paparan dengan pengukuran enzim sel darah merah. Orang
dengan pekerjaan yang terkait dengan paparan kronis bahan kimia ini sering dipantau
dengan pengujian aktivitas kolinesterase sel darah merah yang sering. Penyebab
potensial lain dari penurunan aktivitas kolinesterase termasuk penyakit hati kronis,
malnutrisi, dan hipoalbuminemia.
⚫ Faktor yang mengganggu
- Kehamilan menurunkan nilai tes.
- Obat-obatan yang dapat menyebabkan penurunan nilai termasuk atropin, kafein,
kodein, estrogen, morfin sulfat, neostigmin, kontrasepsi oral, fenotiazin, quinidine,
teofilin, dan vitamin K.
⚫ Temuan Abnormal
- Peningkatan kadar serum: ➢ Hepatocellular disease
➢ Hyperlipidemia ➢ Persons with congenital
➢ Nephrosis pseudocholinesterase enzyme
➢ Diabetes mellitus deficiency
- Peningkatan kadar RBC : ➢ Malnutrition
➢ Reticulocytosis - Penurunan kadar RBC:
➢ Sickle cell disease ➢ Congenital cholinesterase
- Penurunan kadar serum: deficiency
➢ Poisoning from organophosphate ➢ Poisoning from organophosphate
insecticides insecticides
Muscle Enzyme

1. Lactate Dehydrogenase (LDH)


⚫ Temuan normal
Total
Dewasa/lansia: 100-190 unit/L pada 37 °C (laktat → piruvat) atau 100-190 unit/L
Anak: 60-170 unit/L (30 °C)
Bayi: 100-250 unit/L
Bayi baru lahir: 160-450 unit/L
isoenzim
Dewasa/lansia:
LDH-1: 17%-27% LDH-4: 3% -8%
LDH-2: 27%-37% LDH-5: 0%-5%
LDH-3: 18%-25%
⚫ Penjelasan tes dan fisiologi terkait
LDH banyak ditemukan di sel jaringan tubuh, terutama jantung, hati, sel darah merah,
ginjal, otot rangka, otak, dan paru-paru. Ketika penyakit atau cedera mempengaruhi
sel-sel yang mengandung LDH, sel-sel lisis dan LDH tumpah ke dalam aliran darah, di
mana diidentifikasi lebih tinggi dari tingkat normal. Tes LDH adalah ukuran LDH total.
Sebenarnya ada lima fraksi terpisah (isoenzim) yang membentuk total LDH.
Secara umum, isoenzim LDH-1 berasal dari jantung; LDH-2 berasal dari sistem
retikuloendotelial; LDH-3 berasal dari paru-paru dan jaringan lain; LDH-4 berasal dari
ginjal, plasenta, dan pankreas; dan LDH-5 berasal dari hati dan otot lurik. Pada orang
normal, LDH-2 merupakan persentase terbesar dari total LDH. Dengan cedera
miokard, kadar LDH serum meningkat dalam 24 hingga 48 jam setelah infark miokard
(MI), mencapai puncaknya dalam 2 hingga 3 hari, dan kembali normal dalam waktu
sekitar 5 hingga 10 hari.
⚫ Faktor yang mengganggu
- Olahraga berat dapat menyebabkan peningkatan total LDH, khususnya LDH-1, -2,
dan -5.
- Hemolisis darah akan menyebabkan kadar LDH positif palsu.
- Obat-obatan yang dapat menyebabkan peningkatan kadar LDH termasuk alkohol,
anestesi, aspirin, clofibrate, fluoride, mithramycin, narkotika, dan procainamide.
- Obat-obatan yang dapat menyebabkan penurunan kadar termasuk asam askorbat.
⚫ Untuk temuan abnormal jika ditemukan adanya peningkatan kadar:
➢ Infark miokard
➢ Penyakit paru (misalnya, emboli, infark, pneumonia)
➢ Penyakit hati (misalnya, hepatitis, sirosis aktif, neoplasma)
➢ Penyakit sel darah merah (misalnya, anemia hemolitik atau megaloblastik atau
penghancuran sel darah merah dari katup jantung prostetik)
➢ Penyakit dan cedera otot rangka (misalnya, trauma otot)
➢ Penyakit parenkim ginjal (misalnya, infark, glomerulonefritis, nekrosis tubular
akut)
➢ Iskemia dan infark usus
➢ Tumor testis (seminoma atau disgerminoma)
➢ Limfoma dan tumor sistem retikuloendotelial lainnya
➢ Keganasan tumor padat lanjut
➢ Pankreatitis
➢ Penyakit atau cedera yang menyebar (mis., sengatan panas)
2. Creatinine Kinase
⚫ Temuan normal
Jenis tes Darah
Total CPK (Creatine phosphokinase):
Dewasa/lansia Bayi baru lahir: 68-580 unit/L
Pria: 55-170 unit/L atau 55-170 (satuan SI)
unit/L (SI unit) isoenzim
Wanita: 30-135 unit/L atau 30-135 CK-MM: 100%
unit/L (satuan SI) CK-MB: 0%
(Nilainya lebih tinggi setelah CK-BB: 0%
berolahraga.)
⚫ Penjelasan tes dan fisiologi terkait
Tes ini digunakan untuk mendukung diagnosis cedera otot miokard (infark).
Pemeriksaan ini dapat menunjukkan penyakit neurologis atau otot rangka. Creatine
kinase ditemukan terutama di otot jantung, otot rangka, dan otak. Kadar CK serum
meningkat ketika otot atau sel saraf ini terluka. Level CK bisa naik dalam waktu 6 jam
setelah kerusakan. Jika kerusakan tidak terus-menerus, tingkat puncaknya pada 18 jam
setelah cedera dan kembali normal dalam 2 sampai 3 hari. Untuk menguji secara
khusus cedera otot miokard, tiga isoenzim CK diukur: CK-BB (CK1), CK-MB (CK2),
dan CK-MM (CK3). CK-MB tampaknya spesifik untuk sel miokard. Kadar CK-MB
meningkat 3 sampai 6 jam setelah terjadi infark. Jika tidak ada kerusakan miokard lebih
lanjut, tingkat puncak pada 12 sampai 24 jam dan kembali normal 12 sampai 48 jam
setelah infark. Kadar CK-MB biasanya tidak meningkat dengan nyeri dada sementara
yang disebabkan oleh angina, emboli paru, atau gagal jantung kongestif. Tingkat
CK-MB sangat membantu baik dalam mengukur derajat infark miokard (MI) dan
waktu onset infark. Tingkat CK-MB sering digunakan untuk menentukan kesesuaian
terapi trombolitik, yang digunakan untuk MI. Tingkat CK-MB yang tinggi
menunjukkan bahwa infark yang signifikan telah terjadi, sehingga menghalangi
manfaat terapi trombolitik.
Karena CK-BB ditemukan terutama di otak dan paru-paru, cedera pada salah satu organ
ini (misalnya, kecelakaan serebrovaskular, infark paru) akan dikaitkan dengan
peningkatan kadar isoenzim ini.
CK-MM biasanya membentuk hampir semua enzim CK total di peredaran darah pada
orang sehat. Ketika tingkat CK total meningkat sebagai akibat dari peningkatan
CK-MM, ada cedera atau penyakit otot rangka. Contohnya termasuk miopati, olahraga
berat, suntikan intramuskular multipel, terapi kejang listrik, kardioversi, alkoholisme
kronis, atau pembedahan. Karena CK dibuat hanya di otot rangka, nilai normal CK total
(dan karenanya CK-MM) bervariasi menurut massa otot seseorang.
⚫ Faktor yang mengganggu
- Suntikan IM dapat menyebabkan peningkatan kadar CPK (Creatine
phosphokinase)
- Olahraga berat dan operasi baru-baru ini dapat menyebabkan peningkatan kadar.
- Kehamilan dini dapat menyebabkan penurunan kadar.
- Obat-obatan yang dapat menyebabkan peningkatan kadar termasuk alkohol,
amfoterisin B, ampisilin, beberapa anestesi, antikoagulan, aspirin, kaptopril,
colchicine, deksametason, fibrat, furosemide, lidokain, litium, morfin,
propranolol, statin, dan suksinilkolin.
⚫ Temuan abnormal
- Peningkatan level total CK
➢ Penyakit atau cedera yang mempengaruhi otot jantung, otot rangka, atau otak
➢ Peningkatan kadar isoenzim CK-BB
➢ Penyakit yang mempengaruhi ➢ Adenokarsinoma (terutama
sistem saraf pusat payudara dan paru-paru)
➢ Infark paru ➢ Distrofi otot
- Peningkatan kadar isoenzim ➢ Myositis
CK-MB ➢ Operasi yang baru dilaksanakan
➢ Infark miokard akut ➢ Elektromiografi
➢ Operasi aneurisma jantung ➢ suntikan IM
➢ Defibrilasi jantung ➢ Luka remuk
➢ Miokarditis ➢ Delirium tremens
➢ Aritmia ventrikel ➢ Hipertermia maligna
➢ Iskemia jantung ➢ Kejang-kejang baru-baru ini
➢ Terapi kejang listrik
➢ Terkejut
➢ Hipokalemia
- Peningkatan kadar isoenzim ➢ Hipotiroidisme
CK-MM ➢ trauma
➢ Rhabdomyolisis

Other Enzyme
Acid Phospbatase
⚫ Temuan normal
Jenis tes Darah
Dewasa/lansia: 0,13-0,63 unit/L (Roy, Brower, Hayden; 37°C) atau 2,2-10,5 unit/L
Anak: 8,6-12,6 unit/mL (30 °C)
Bayi baru lahir: 10,4-16,4 unit/mL (30 °C)
⚫ Penjelasan tes dan fisiologi terkait
Asam fosfatase ditemukan di banyak jaringan, termasuk hati, sel darah merah,
sumsum tulang, dan trombosit. Tingkat tertinggi ditemukan di kelenjar
prostat—isoenzim PAP. Biasanya (tetapi tidak selalu) peningkatan kadar terlihat pada
pasien dengan kanker prostat yang telah bermetastasis di luar kapsul ke bagian lain
dari tubuh, terutama tulang. Derajat elevasi menunjukkan luasnya penyakit.
Karena konsentrasi tinggi asam fosfatase juga ditemukan dalam cairan mani, tes ini
dapat dilakukan pada sekret vagina untuk menyelidiki dugaan pemerkosaan, yang
menjadikan penggunaan utama pengujian PAP. Kadar asam fosfatase yang tinggi juga
terdapat dalam sel darah putih (kebanyakan monosit dan limfosit). Mereka membantu
dalam menentukan perjalanan klinis pasien dengan penyakit eratif limfoproliferatif dan
hairy cell leukemia. Asam fosfatase adalah enzim lisosom. Oleh karena itu, penyakit
penyimpanan lisosom (misalnya, penyakit Gaucher dan penyakit Niemann-Pick)
dikaitkan dengan peningkatan kadarnya.
⚫ Faktor yang mengganggu
- Alkaline dan asam fosfatase adalah enzim yang sangat mirip yang berbeda dalam
pH di mana mereka diidentifikasi. Setiap kondisi yang terkait dengan tingkat
alkaline phosphatase yang sangat tinggi dapat secara keliru menunjukkan tingkat
acid phosphatase yang tinggi.
- Kadar asam fosfatase yang tinggi palsu dapat terjadi pada pria setelah pemeriksaan
digital atau setelah instrumentasi prostat (misalnya, sistoskopi) karena stimulasi
prostat.
- Obat-obatan yang dapat menyebabkan peningkatan kadar asam fosfatase termasuk
alglucerase, androgen (pada wanita), dan clofibrate.
Obat-obatan yang dapat menyebabkan penurunan kadar termasuk alkohol,
fluorida, heparin, oksalat, dan fosfat
⚫ Temuan abnormal
- Peningkatan level
➢ Karsinoma prostat ➢ Krisis sel sabit
➢ Hipertrofi prostat jinak ➢ Trombositosis
➢ Prostatitis ➢ Gangguan lisosom (mis., Penyakit
➢ Mieloma multiple Gaucher)
➢ Paget disease ➢ Penyakit ginjal
➢ Hiperparatiroidisme ➢ Penyakit hati (misalnya, sirosis)
➢ Metastasis ke tulang ➢ Pemerkosaan

Kesimpulan
Enzim merupakan biomolekul yang mengkatalis reaksi kimia, di mana hampir
semua enzim adalah protein. Enzim mengkatalisis reaksi kimia substansi lain
dengantidak merubah atau merusak reaksi ini. Enzim juga dapat digunakan sebagai
biomarker atau penanda biokimia untuk penyakit tertentu. Marker ini digunakan secara
luas untuk mendiagnosis suatu penyakit dan dapat juga digunakan sebagai penanda
bahwa terapi yang dilakukan telah berhasil atau sesuai dengan indikasi penyakit.
DAFTAR PUSTAKA
1. Biochemical, W. (2015). Spesificity of Enzyme In Introduction to Enzyme.
Diambil kembali dari KhanAcademy:
http://www.worthington-biochem.com/introbiochem/specificity.html

2. Martoharsono, S. (2012). Biokimia. Yogyakarta: Gajah Mada University Press

3. Joshi AR, Marks V.(2004). Guide to biochemistry. 4th Edn. B. Jain publisher.
258-300

4. Nduka N. (1999). Clinical biochemistry for students of pathology. 1st Edn,


Longmann Nigeria PLC, Ikeja, Lagor. 119-137.

5. Tapasya S, Kunzang C. (2007). Clinical enzymology and its applications.


India Institute of Medical Sciences Publications. 1:28-35.

6. Susantiningsih, T. (2014). Enzymes Functions In Metabolism. Journal


Majority, 1.

7. Gatsing D, Aliyu R, Kuiate JR, Garba IH, Jaryum KH, Tedongmo N,


Tchouanguep FM, Adoga G. (2005). Toxicological evaluation of the aqueous
extract of Allium sativum bulbs on laboratory mice and rats. Cameroon
Journal of Experimental Biology;1:39-40.

8. Burtis CA, Ashwood ER. (1996). Tietz fundamentals of clinical chemistry. 4th
Edn. WB Saunders Company: USA. 122-128.

9. Jayanta, S. V. (2015). Dengue and Its Effects On Liver. World journal


Clinical Case, 125-131.

10. Jansen, E. H. (2015). Role of Biomarkers In Diagnosis and Prognostic


Evaluation of Acute Pancreatitis. Journal of Biomarkers.

11. Pagana KD, Pagana TJ, Pagana TN. (2015). Mosby’s Diagnostic &
Laboratory Test Reference. 12th Edn. Elsevier

12. Ahmed Z. Al-Bahrani, B. J. (2005). Clinical Laboratory Assessment of Acute


pancreatitis. Elsevier, 26-48.

13. Pratt, D. (2008). Evaluation of Abnormal Liver enzyme Profile for The
differential Diagnosis of Viral Hepatitis. 1266-1271.
14. Ferrier, D. (2014). Lippincott's illustrated Reviews: Biochemistr (6 ed.).
Philadelphia: Lippincott William and Wilkins.

15. Kaleanalhalli, J. P. (2012). Keterlibatan Organ Hepar Dalam Penyakit Akibat


Infeksi Virus Dengue Pada Pasien Anak/ pediatri. Iran J Pediatri, 231-236.

16. Aru.W Sudoyo. (2014). Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Interna Publishing.
Jakarta
17. Engin MMN. Approach to Disorders in Liver Function Tests in Children.
Jurnal Medical. 2019; 1(1): 105
18. Gungor DG, Salihoglu EM, Demokan S, Hasan K, Akaydin SY,. Specific
Gamma-Glutamyl Transferases in Molecular Subtypes of Breast Cancer.
Athens Journal of Health and Medical Sciences. 2020; 6: 1-13.
19. Malnick S, Chertin L, Neuman M,. Gamma Glutamyl Transferase – An
Underestimated Marker for Cardiovascular Disease and the Metabolic
Syndrome. J Pharm Pharm Sci. 2020
20. Haurissa, AE. Gamma Glutamyl transferase Sebagai Biomarker Risiko
Penyakit kardiovaskular. Tinjauan Pustaka CDK-222. 2014 ; 41(11) : 816-18.
21. Mason JE, Starke RD, Kirk JEV. Gamma-Glutamyl Transferase: A Novel.
Cardiovascular Risk BioMarker. PREVENTIVE CARDIOLOGY. 2010
22. Ndrepepa G, Kastrati A. Gamma-glutamyl transferase and Cardiovascular
Disease. Review Article. 2016; 4(24) : 481.

Anda mungkin juga menyukai