Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN PRAKTIK KERJA LAPANGAN

KASUS INDIVIDU

Disusun Sebagai Salah Satu Persyaratan Mendapatkan


Derajad Sarjana Psikologi
Program Studi Ilmu Psikologi
Bidang Peminatan Psikologi Pendidikan

OLEH:
ANISA PRATIWI
198110005

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM RIAU
PEKANBARU
2022

1
HALAMAN PENGESAHAN
LAPORAN PRAKTIK KERJA LAPANGAN “KASUS INDIVIDU”
BIDANG PEMINATAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN

NAMA MAHASISWA : ANISA PRATIWI


NPM : 198110005
LOKASI PKL : PEKANBARU LAB SCHOOL

MENGESAHKAN,
DOSEN PEMBIMBING PEMBIMBING LAPANGAN

(YULIA HERAWATY, S. PSI., M. A) (WIDIYONO JAVAWINTHSA, S. PD)

KETUA PROGRAM STUDI KEPALA INSTANSI

(JULIANI SIREGAR, M. PSI., PSIKOLOG) (WIDIYONO JAVAWINTHSA, S. PD)

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis hadiahkan kepada Allah SWT atas berkat rahmat dan
karunia-Nya yang diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan praktik kerja lapangan terselesaikan dengan baik dan tepat pada
waktunya. Laporan ini disusun guna melengkapi persyaratan dalam
menyelesaikan PKL (Praktik Kerja Lapangan) bagi kami selaku mahasisiwi
Universitas Islam Riau program studi Psikologi dan meningkatkan peran serta
kami selaku mahasisiwi untuk menerapkan materi yang telah dipelajari untuk
dilakukan di lapangan. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan
terimakasih, antara lain :
1. Bapak Yanwar Arief, M. Psi., Psikolog, selaku dekan Fakultas Psikologi
Universitas Islam Riau, yang telah memberikan kesempatan dan kepercayaan
kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan laporan PKL ini dengan
baik.
2. Ibu Juliani Siregar, M. Psi., Psikolog, selaku ketua Program Studi dekan
Fakultas Psikologi Universitas Islam Riau.
3. Ibu Yulia Herawaty, S. Psi., M. A sebagai dosen pembimbing PKL Fakultas
Psikologi Universitas Islam Riau.
4. Bapak Widiyono Javawinthsa, S. Pd sebagai pembimbing lapangan yang
menjadi bagian dari Pekanbaru Lab School.
5. Terimakasi kepada Ibu Nurhayati, A. Md dan guru-guru Pekanbaru Lab
School yang sudah membimbing kami.
6. Terimakasih kepada orangtua dan teman-teman yang sudah membantu dalam
menyelesaikan laporan PKL ini.
Penulis menyadari bahwa laporan ini belum sempurna. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan adanya saran dan kritikkan yang membangun dari pembaca
sehingga laporan ini menjadi sempurna. Penulis berharap semoga laporan ini
dapat bermanfaat bagi pembaca.
Pekanbaru, 15 September 2022

i
Anisa Pratiwi

ii
DAFTAR ISI

COVER
LEMBAR PENGESAHAN
KATA PENGANTAR...................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................... ii
DAFTAR TABEL............................................................................................ iii
DAFTAR GAMBAR........................................................................................ iv
BAB I................................................................................................................ 1
DESKRIPSI TEMPAT PRAKTIK KERJA LAPANGAN......................... 1
BAB II.............................................................................................................. 3
LAPORAN KASUS INDIVIDU.................................................................... 3
I. Identitas.............................................................................................. 3
II. Keluhan............................................................................................... 3
III. Latar Belakang Keluhan..................................................................... 4
IV. Jadwal Asesmen................................................................................. 5
V. Hasil Asesmen.................................................................................... 6
VI. Kajian Teori........................................................................................ 7
VII. Dinamika Psikologis........................................................................... 16
VIII. Rancangan Intervensi......................................................................... 17
IX. Pelaksanaan dan Hasil Intervensi....................................................... 18
X. Kesimpulan dan Saran........................................................................ 19
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 21
LAMPIRAN..................................................................................................... 23

ii
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Identitas Keluarga Subjek................................................................... 3


Tabel 2. Jadwal Asesmen................................................................................. 5
Tabel 3. Wawancara bersama Ibu JF................................................................ 23
Tabel 4. Wawancara bersama Guru.................................................................. 25

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kegiatan Kesenian......................................................................... 28


Gambar 2. Kegiatan Mewarnai........................................................................ 28
Gambar 3. Kegiatan Menari............................................................................ 29
Gambar 4. Kegiatan Membaca........................................................................ 29
Gambar 5. Berdoa Sebelum Melakukan Kegiatan.......................................... 30
Gambar 6. Kegiatan Eksperimen Media Balon............................................... 30
Gambar 7. Kegiatan Sensorimotorik (Berlari Zig-Zag).................................. 31
Gambar 8. Kegiatan Menggunting Dan Menempel......................................... 31
Gambar 9. Kegiatan Kemandirian (Menyikat Gigi)........................................ 32
Gambar 10.Kegiatan Sensorimotorik (Berjalan Jongkok)................................ 32

iv
BAB I
DESKRIPSI TEMPAT PRAKTIK KERJA LAPANGAN

Pekanbaru Lab School telah berdiri sejak tahun 2010. Pekanbaru Lab School
mempunyai visi mempersiapkan anak untuk hidup lebih mandiri. Sekolah ini
adalah sekolah berkebutuhan khusus. Pekanbaru Lab School siap membentuk
anak anak spesial, dengan mengoptimalkan potensi yang ada pada anak. Adapun
anak yang bersekolah di Pekanbaru Lab School yakni terdapat 3 siswi perempuan
dan 33 siswa laki-laki dengan jumlah keseluruhan 36 murid. Pekanbaru Lab
School terdiri dari beberapa divisi yaitu :
1. Sekolah khusus yang menangani ABK (Anak Berkebutuhan Khusus)
2. Sekolah kesetaraan (SD, SMP, SMU)
3. Life skills dan keaksaraan
4. Taman bacaan masyarakat
5. Governess Pekanbaru
6. Divisi asrama, yang mana melayani asrama bagi anak-anak berkebutuhan
khusus dari luar daerah.
Penanganan pendidikan dan layanan khusus yang diberikan di Pekanbaru Lab
School bersifat Holistic, yang ditangani oleh tim yang memiliki bidang ilmu
terkait, seperti dokter anak, dokter umum, psikolog, terapis, guru dan pekerja
sosial, psikiater dan konsultan.
Proses belajar mengajar yang diberikan berdasarkan program yang sudah
disusun dengen tujuan mempersiapkan anak untuk hidup mandiri. Adapun
program yang diberikan oleh Pekanbaru Lab School yakni sensori-motor,
modifikasi perilaku, program bahasa dan wicara, program Activities Daily Living
Skills, program sosialisasi, program pengembangan bakat dan minat, program
edukasi, program vokasional (menyanyi, bermain musik, Art dan Craft, komputer,
memasak, olahraga berkebun dan berdagang), serta program-program yang
menunjang lainnya.
Untuk mewujudkan visi dan misi, Pekanbaru Lab School bekerjasama dengan
beberapa sekolah di Kota Pekanbaru seperti pada tingkatan PAUD, TK, SD, SMP,
magang dan fasilitas setempat. Kami menginginkan anak-anak berkebutuhan

1
khusus juga memiliki hak yang sama atas pendidikan yang layak seperti anak-
anak lainnya.
Prosedur pendaftaran:
1. Mengisi formulir profil anak dan keluarga
2. Menjalani proses assesmen yang dilakukan oleh team
3. Menjalani proses observasi selama satu bulan
4. Menerima laporan observasi
5. Mendapat surat rekomendasi
6. Mendaftar dengan melengkapi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Menunjukan surat rekomendasi
b. Membayar uang pendaftaran
c. Membayar uang pangkal
d. Fotokopi akte kelahiran 1 lembar
e. Fotokopi kartu keluarga satu lembar
f. Foto angota keluarga
g. Ijazah terakhir
h. Apabila asrama, wajib menjalani tes kesehatan

Profil Sekolah:
Alamat : Jl. Taman Sari No. 30 Pekanbaru
Telepone : (0761) 47004
Mobile : 0852 7874 8004 / 0811 7678 004
Website : http://pekanbaru-lab-school-Bussijessite.com
E-mail : pekanbaru.labschool@gmail.com

Profil Asrama:
Alamat : Jl. Gunung Jati No. 21 Pekanbaru
Telepone : (0761) 8407059
Mobile : 0821 7368 0004
Website : http://asramaanakspecial.blogspot.com
E-mail : governesspekanbaru@gmail.com

2
BAB II
LAPORAN KASUS INDIVIDU

I. Identitas
a. Identitas Subjek
1. Nama Lengkap : JF
2. Nama Panggilan :J
3. Jnis Kelamin : Laki-Laki
4. Tempat/Tanggal Lahir : Pekanbaru,12 Agustus 2006
5. Agama : Budha
6. Kewarganegaraan : WNI
7. Anak Ke : III (Tiga)
8. Jumlah Saudara : III (Tiga)
9. Diagnosa : ASD + Hyperaktif
10. Bahasa Sehari-Hari : Bahasa Indonesia
11. Alamat : Kota Pekanbaru, Riau.

b. Identitas Keluarga
Ayah Ibu
Nama H SY
Usia - 43 th
Pekerjaan - IRT
Agama Budha Budha
Alamat - Kota Pekanbaru, Riau.
Tabel 1. Identitas Keluarga Subjek

II. Keluhan
Subjek merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara. Berdasarkan
informasi dari pihak sekolah bahwa subjek terdiagnosa sebagai autisme dan
hiperaktif. Hasil wawancara yang penulis lakukan kepada Ibu sebjek yaitu Ibu
subjek sudah mengetahui bahwa subjek terdiagnosa sebagai anak
berkebutuhan khusus saat subjek masuk sekolah TK (Taman Kanak-Kanak).

3
Ibu subjek tidak mengetahui cara penanganan pada subjek sehingga terjadi
miss komunikasi. Hal tersebut yang memunculkan perilaku menyimpang
pada subjek seperti sering marah, memukul kepala, menghantukkan kepala ke
dinding.
Berdasarkan hasil observasi yang sudah dilakukan, ketika tidak ada
aktivitas yang diberikan kepada subjek seperti aktivitas akademik, subjek
akan memunculkan perilak menyimpangnya yaitu membuka laci buku,
mengambil buku cerita temannya, berimajinasi dan tertawa bahkan memukul
meja. Meskipun demikian subjek melakukan perilaku menyimpang tersebut,
ketika aktivitas bantu diri yang dilakukan subjek, subjek mengerjakannya
dengan baik seperti mencuci piring, melipat pakaian. Dalam hal akademik
subjek menyenangi pembelajaran matematika seperti perkalian, pembagian,
penjumlahan atau pengurangan. Karena pada saat aktivitas tersebut diberikan
soal, subjek mengerjakan dengan cepat.
Begitu pula hasil dari wawancara kepada guru subjek yang penulis
lakukan bahwa guru subjek memfokuskan keterampilan sosial untuk subjek
seperti memperhatikan, mempertahankan kontak mata saat berinteraksi dan
mengontrol perilaku subjek. Untuk pembelajaran akademik, guru subjek
menitikberatkan pada pembelajaran matematika. Hal ini bertujuan untuk
mengurangi perilaku menyimpang pada subjek.

III. Latar Belakang Keluhan


Subjek adalah anak ketiga dari tiga bersaudara. Berdasarkan informasi
dari pihak sekolah bahwa subjek terdiagnosa autisme+hyperaktif. Adapun
hasil wawancara yang dilakukan kepada orangtua subjek bahwa, Ibu subjek
mengetahui anaknya terdiagnosa anak berkebutuhan khusus ketika subjek
masuk sekolah TK. Pada saat Ibu subjek mengetahui anaknya terdiagnosa
anak berkebutuhan khusus, Ibu subjek tidak mengerti cara menanganinya dan
sering terjadi miss komunikasi sehingga membuat J menjadi sering marah dan
memunculkan perilaku menyimpang lainnya seperti memukul kepala,
menghantukan kepala ke dinding dan lain sebagainya.

4
Pada saat observasi berlangsung, ketika tidak diberikan aktivitas
akademik, subjek memunculkan perilaku menyimpang seperti membuka laci
buku, mengambil buku cerita milik temannya, berimajinasi sambil tertawa,
memukul meja dan lain sebagainya. Namun dalam melakukan aktivitas yang
diberikan seperti kegiatan bantu diri seperti makan, mencuci piring, melipat
pakaian hingga kegiatan akademik, terlihat bahwa subjek cepat merespon
ataupun mengerjakannya. Subjek sangat menyukai pelajaran matematika,
yang mana ketika diberikan soal matematika berupa perkalian, pembagian,
penjumlahan maupun pengurangan subjek sangat cepat mengerjakannya
sehingga tidak memunculkan perilaku menyimpang.
Berdasarkan observasi yang telah dilakukan, fokus pembelajaran yang
diberikan oleh guru kepada subjek yakni mempelajari keterampilan sosial
dasar seperti memperhatikan, mempertahankan kontak mata, dan dapat
membantu mengontrol masalah perilaku. Selain itu juga, fokus pembelajaran
yang bisa diberikan kepada subjek seperti pelajaran akademik salah satu nya
matematika. Sehingga hal tersebut diharapkan mampu mengurangi perilaku
menyimpang yang ada pada diri subjek.

IV. Jadwal Asesmen


Tanggal Kegiatan Tempat Keterangan
18 Juli – 15 Observasi Pekanbaru Lab School Dilakukan pada
Agustus 2022 subjek
5 September Pekanbaru Lab School Dilakukan pada
2022 Ibu subjek
Alloanamnes
13 September Pekanbaru Lab School Dilakukan pada
a
2022 Guru yang
bersangkutan
16 Agustus – Treatment Pekanbaru Lab School Dilakukan pada
15 September subjek
2022
Tabel 2. Jadwal Asesme

5
V. Hasil Asesmen
a. Observasi
1. Kondisi fisik
Subjek merupakan salah satu siswa di Pekanbaru Lab School.
Subjek memiliki kondisi fisik yang terawat, dengan rambut yang rapi
dan kulitnya yang bersih. Hanya saja subjek tidak berpakaian yang
rapi. Bisa dilihat dari pakaian subjek yang terkadang memakai
celana yang longgar dan baju kemeja yang sedikit lusuh atau sudah
kecil bahkan baju yang dikenakan subjek koyak.
2. Observasi saat wawancara
Penulis tidak melakukan wawancara kepada J dan tidak
memberikan kuesioner psikologi. Penulis memfokuskan melakukan
observasi selama 1 bulan dengan mengamati dan melakukan
aktivitas akademik, sensori motorik, bantu diri, bakat minat, dan
perilaku subjek. Penulis melakukan wawancara kepada orangtua
subjek dan kepada guru yang bersangkutan dengan tujuan untuk
menggali informasi yang lebih dalam lagi mengenai subjek.

b. Wawancara
1. Autoanamnesa
Berdasarkan diagnosa yang sudah diberikan dari pihak sekolah,
serta hasil observasi yang sudah dilakukan selama kurang lebih satu
bulan, maka penulis tidak melakukan wawancara dengan subjek,
dikarenakan subjek sulit melakukan komunikasi dua arah.

2. Alloanamnesa
Penulis melakukan wawancara kepada orangtua subjek dan guru
yang bersangkutan di Pekanbaru Lab School.

6
c. Interprestasi Hasil Kuesioner Psikologi
Penulis tidak melakukan penyebaran kuesioner kepada subjek.
Berdasarkan informasi dari pihak sekolah Pekanbaru Lab School, bahwa
subjek memiliki diagnosa sebagai anak berkebutuhan khusus Autisme
Spectrum Disorder yang telah dilakukan pemeriksaan secara valid.

VI. Kajian Teori


A. Autisme spectrum disorder (ASD)
1. Pengertian Autis
Autis bukan penyakit fisik maupun mental, namun terkait dengan
sindrom perilaku yang terjadi pada awal kehidupan yang disebut
“Autisme Spectrum Disorder”. Autis berasal dari kata auto yang
berarti sendiri. Sehingga dapat dikatakan bahwa penyandang autis
seolah-olah hidup dalam dunianya sendiri. Istilah autis baru
diperkenalkan oleh Leo Kanner pada tahun 1913 (Handojo,2004).
Anak autis mengalami gangguan perkembangan yang kompleks
sehingga mereka juga disebut mengalami gangguan pervasif.
Menurut Peeters (2004) pervasif yaitu menderita kerusakan jauh di
dalam meliputi keseluruhan dirinya. Yang mana gangguan ini
hampir meliputi seluruh aspek kehidupannya, antara lain
komunikasi, interaksi sosial, gangguan dalam sensoris, pola bermain,
perilaku khas, dan emosi. Sehingga gangguan-gangguan ini jelas
akan mengambat perkembangan anak autis. Autis adalah suatu
keadaan dimana seorang anak berbuat semaunya sendiri baik secara
berfikir maupun perilaku. Keadaan ini mulai terjadi sejak usia masih
muda, biasanya sekitar usia 2-3 tahun. Autis bisa mengenai siapa
saja, baik sosio-ekonomi mapan maupun kurang, anak-anak ataupun
dewasa dan semua etnis (Yatim, 2003).
Autisme Spectrum Disorder dalam DSM-5™ termasuk dalam
Neurodevelopmental Disorder yaitu kelompok gangguan dalam
periode perkembangan. Manifestasi gangguan terjadi pada awal

7
masa perkembangan dan sebelum anak memasuki Sekolah Dasar,
gangguan ditandai dengan defisit perkembangan personal, sosial,
akademik dan juga fungsi okupasi. Tingkatan defisit perkembangan
yang dialami anak dalam Neurodevelopmental Disorder bervariasi ,
sebagai contoh anak dengan autis juga memiliki ketidakmampuan
intelektual (Intellectual Developmental Disorder), anak dengan autis
juga memiliki Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder (ADHD)
sehingga memiliki gangguan dalam proses belajar.
Autis adalah gangguan perkembangan yang sangat kompleks
yang sejak dahulu menjadi salah satu missteri di dunia kedokteran.
Autis sebenarnya bukan barang baru dan sudah ada sejak lama,
namun belum terdiagnosis sebagai autis. Autis adalah gangguan
perkembangan parah yang gejalanya mulai nampak sebelum anak
mencapai usia 3 tahun. Gangguan perkembangan tersebut mencakup
gangguan dalam interaksi sosial yang timbal-balik, gangguan
komunikasi, adanya tingkah laku stereotipe, serta minat dan aktivitas
yang terbatas (American Psychiatric Association, 2000, dalam Mash
& Wolfe, 2005).
Menurut cerita-cerita zaman dulu seringkali ada anak yang
dianggap ‘aneh’; anak tersebut sejak lahir sudah menunjukkan gejala
yang tidak biasa. Mereka menolak bila digendong, menangis kalau
malam dan tidur bila siang hari. Mereka seringkali bicara sendiri
dengan bahasa yang tidak dimengerti oleh orangtuanya. Apabila
dalam kondisi marah mereka bisa menggigit, mencakar, menjambak
atau menyerang. Kadangkala mereka tertawa sendiri seolah-olah ada
yang mengajaknya bercanda. Para orangtua pada saat itu
menganggap anak ini tertukar dengan anak peri, sehingga tidak bisa
menyesuaikan dengan kehidupan manusia normal (Budhiman,
2002).
Perilaku autistik digolongkan kedalam dua jenis, yaitu perilaku
yang eksesif (berlebihan) dan perilaku yang deficit (berkekurangan).

8
Adapun yang dimaksud dengan eksesif adalah hiperaktif yang
tantrum seperti menjerit, menggigit, mencakar, memukul, dan
mendorong serta menyakiti dirinya sendiri (self-abused). Selain itu,
perilaku deficit ditandai juga dengan gangguan bicara, perilaku
sosial yang kurang sesuai, bermain tidak benar dan emosi yang tidak
tepat seperti tertawa tanpa sebab, menangis tanpa sebab, dan
melamun.
Berdasarkan beberapa uraian di atas, maka yang dimaksud dengan
autis adalah bukan suatu penyakit tetapi berupa sindrom (kumpulan
gejala) yang terjadi sejak usia muda sekitar 2-3 tahun dan terjadi
gangguan perkembangan pervasif yang ditandai dengan
keterlambatan dan gangguan yang parah pada beberapa area
perkembangan, seperti pada interaksi social, komunikasi, perilaku
bermain, aktivitas sosial dan minat sehari-hari.
Pelaksanaan pendidikan untuk anak autis memiliki landasan
yuridis dan landasan empiris seperti di bawah ini (Azwandi, 2005).
a. Landasan Yuridis
1) UU nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan
Nasional pasal 8 ayat (1) berbunyi: “Warga negara yang
memiliki kelainan fisik dan/atau mental berhak memperoleh
pendidikan luar biasa.
2) Rancangan Peraturan Pemerintah tahun 2002 tentang
Pendidikan Luar Biasa yang merupakan penyempurnaan
terhadap PP PLB, pada salah satu pasalnya berbunyi bahwa
anak yang memerlukan perhatian khusus, sehingga perlu
pelayanan pendidikan khusus, antara lain adalah anak autis.
b. Landasan empiris
Autis merupakan gangguan perkembangan yang kompleks
menyangkut komunikasi, interaksi sosial, dan aktivitas
imajinasi/simbolik. Gangguan tersebut mempunyai karakteristik
yang berbeda dengan gangguan lainnya seperti tunagrahita, dan

9
lain sebagainya. Sehingga mereka memerlukan layanan
pendidikan yang memiliki cara atau metode khusus. Namun
kenyataan di lapangan banyak anak autis yang tidak dapat
diterima di sekolah umum. Hal ini menunjukkan masih
kurangnya pengetahuan dan informasi tentang anak autis serta
pelayanannya terutama di kalangan praktisi pendidikan luar
biasa (Azwandi, 2005)

2. Karakteristik Autis
Autis termasuk dalam kategori gangguan perkembangan pervasif
yang dikarateristikkan dengan penyimpangan interaksi sosial timbal-
balik, keterampilan komunikasi yang terlambat dan menyimpang,
serta kumpulan aktivitas dan minat yang terbatas. Tepatnya, kriteria
penegakan diagnosis autis menurut ICD-X dan DSM-V adalah
sebagai berikut (DSM-V):
a. Gangguan persisten pada komunikasi dan interaksi sosial dalam
semua konteks, tidak berdasarkan keterlambatan perkembangan
umum, yang bermanifestasi dari tiga hal berikut :
1. Gangguan pada hubungan timbal balik secara emosional dan
sosial
2. Gangguan pada perilaku komunikasi nonverbal yang
digunakan untuk interaksi sosial
3. Gangguan dalam mengembangkan dan mempertahankan
hubungan sebaya sesuai tingkat perkembangan
b. Pola perilaku, minat, dan aktivitas stereotipik berulang dan
terbatas yang bermanifestasi setidaknya dua dari hal berikut :
1. Stereotip atau pengulangan dalam bahasa, gerakan motorik,
ataupun penggunaan suatu objek.
2. Kepatuhan terhadap rutinitas, pola ritual, kebiasaan verbal
ataupun nonverbal atau sangat kesulitan terhadap perubahan.

10
3. Sangat kaku, memiliki ketertarikan tetap terhadap sesuatu
sehingga terlihat abnormal dalam segi intensitas ataupun
tingkat konsentrasi.
4. Reaksi yang kurang atau berlebihan terhadap rangsang sensoris
ataupun ketertarikan tidak biasa dari rangsangan sensoris
lingkungan.
c. Gejala harus muncul pada usia dini (semuanya tidak akan muncul,
sampai saat tuntutan sosial melebihi kapasitas yang terbatas).
d. Keseluruhan gejala membatasi dan mengganggu secara
fungsional setiap hari.
Diperbaharuinya kriteria diagnosis autis ini menunjukkan bahwa
gangguan perkembangan pervasif perlu untuk didiagnosis dengan
tepat mengingat angka prevalensi yang meningkat setiap tahunnya,
tingkat biaya sosial yang dikorbankan, serta dampak besar lain
terhadap kehidupan keluarga.
Menurut Handojo (2004), beberapa karekteristik dari perilaku
autisme pada anak-anak antara lain :
1) Bahasa / komunikasi meliputi ekspresi wajah yang datar, bicara
sedikit, atau tidak ada, jarang memulai dengan komunikasi, tidak
menggunakan bahasa/isyarat tubuh, tidak meniru aksi atau suara,
tampak Tidak mengerti arti kata, mengerti dan menggunakan kata
secara terbatas, intonasi atau ritme vokal yang aneh.
2) Hubungan dengan orang meliputi tidak responsive, tidak ada
senyum sosial, tidak berkomunikasi dengan mata, kontak mata
terbatas, tampak asik bila dibiarkan sendiri, tidak melakukan
permainan giliran, menggunakan tangan orang dewasa sebagai
alat.
3) Hubungan dengan lingkungan meliputi bermain repetitif (diulang-
ulang), marah atau tidak menghendaki perubahan-perubahan,
berkembangnya rutinitas yang kaku, memperlihatkan ketertarikan
yang sangat tak fleksibel.

11
4) Respon terhadap indera/sensoris meliputi kadang panik terhadap
suara-suara tertentu, sangat sensitif terhadap suara, bermain-main
dengan cahaya dan pantulan, memainkan jari-jari di depan mata,
menarik diri ketika disentuh, tertarik pada pola dan tekstur
tertentu, sangat in aktif atau hiperaktif, seringkali memutar-mutar,
membentur-bentur kepala, menggingit pergelangan, melompat-
lompat atau mengepak-ngepakan tangan, atau merespon aneh
terhadap nyeri.
5) Kesenjangan perkembangan perilaku meliputi kemampuan
mungkin sangat baik atau sangat terlambat, mempelajari
keterampilan di luar urutan normal, missalnya membaca tapi tak
mengerti arti, menggambar secara rinci tapi tidak dapat
mengancing baju, pintar mengerjakan puzzle, tapi amat sukar
mengikuti perintah, berjalan pada usia normal, tetapi tidak
berkomunikasi, lancar membeo suara, tetapi sulit berbicara dari
diri sendiri, suatu waktu dapat melakukan sesuatu, tapi tidak di
lain waktu.

3. Faktor Penyebab Autis


Seiring dengan bertambahnya jumlah individu autis, semakin
banyak pula penelitian mengenai penyeab autis yang mengubah
pemahaman awal masyarakat awalnya faktor hereditas dan biologis
dipandang sebagai penyebab autis. Selain itu juga, Ibu yang
berperilaku dingin dan tidak responsif juga dianggap sebagai
penyebab autis. Sampai saat ini, ilmuwan belum secara pasti
mengetahui apa yang salah pada otak individu autis, penyebab yang
baru diyakini adalah gangguan neurobiologis, bukan interpersonal
(National Research Council,2001; Strock,2004 dalam Hallahan
&Kauffman, 2006).
Menurut Handojo (2004) menyatakan penyebab autis bisa
terjadi pada saat kehamilan. Pada tri semester pertama, faktor

12
pemicu biasanya terdiri dari ; infeksi (Toksoplasmosis, Rubella,
Candida, dsb), keracunan logam berat, zat aditif (MSG, pengawet,
pewarna), maupun obat-obatan lainnnya. Selain itu, tumbuhnya
jamur berlebihan di usus anak sebagai akibat pemakaian antibotika
yang berlebihan, dapat menyebabkan kebocoran usus (Leaky-Gut
Syndrome) dan tidak sempurnanya pencernaan kasein dan gluten.
Beberapa waktu yang lalu, autis diyakini disebabkan oleh pola
asuh dan perlakuan orangtua yang “dingin” dan kurang kasih
penulisng terhadap anak. Namun sekarang, pandangan tersebut
sudah berubah. Saat ini secara umum autis adalah sebuah gangguan
yang disebabkan oleh kelainan perkembangan saraf (otak) karena
perkembangannya yang terganggu dan tidak optimal.
a. Masalah pada Awal Masa Perkembangan.
Diakibatkan kelahiran prematur, pendarahan, atau infeksi
sewaktu kehamilan, toxemia (keracunan darah),
diidentifikasikan pada sebagaian kecil dari populasi anak dengan
gangguan autis. Walaupun demikian, masalah tersebut tidak
dapat dipastikan sebagai penyebab utama dari autis.
b. Pengaruh Genetik
- Family and Twin Studies.
Kemungkinan anak kembar identik sama-sama memiliki
gangguan autis berkisar antara 60% hingga 90%. Temuan
penelitian keluarga dan penelitian anak kembar memberikan
bukti kuat bahwa faktor genetik berperan penting sebagai
etiologi autis.
- Chromosomal and Gene Disorders.
Kelainan kromosom mungkin berhubungan dengan autis.
Adanya kelainan kromosom fragile-X yang terjadi pada 2%
sampai 3% dari populasi anak autis. Sehingga
membangkitkan pemikiran bahwa hal tersebut mungkin
berhubungan dengan autis.

13
- Molecular Genetics
Penelitian terkini yang menggunakan Molecular genetik
merujuk kepada beberapa area dalam kromosom otak, yaitu
kromosom II, VII, XIII, dan XV, sebagai kemungkinan lokasi
susceptible genes untuk autis. Namun gen penyebab pastinya
masih belum bisa diidentifikasi. Masih dIbutuhkan penelitian
lanjutan untuk bisa mengidentifikasinya secara tepat.
c. Kelainan Otak.
Cerebellum (otak kecil) yang merupakan pusat dari gerakan
motorik, namun berkaitan juga dengan bahasa, belajar, emosi,
proses berpikir, dan perhatian. Pada anak autis sebagaian besar
memiliki cerebellum yang lebih kecil dari anak normal.
Menurut Nevid, Rathus & Greene (2005), penyebab autisme
belum diketahui, tetapi diduga berhubungan dengan
abnormalitas otak. Awalnya dari sudut pandang yang
mendiskreditkannya, penyebab tidak adanya kontak sosial pada
anak autistic dikatakan sebagai reaksi terhadap orangtua yang
dingin dan mengambil jarak yang kurang memiliki kemampuan
untuk menciptakan hubungan yang hangat dengan anak mereka.

B. Applied Behavior Analysis


1. Metode ABA
Salah satu terapi penting bagi anak autis adalah terapi perilaku
(behavior therapy). terapi perilaku yang terkenal diseluruh dunia
adalah applied behavior analysis yang ditemukan oleh psikolog asal
Amerika, O. Ivar Lovaas di tahun 1964.(Prasetyono,2008).
Dalam terapi perilaku, fokus penanganan terletak pada pemberian
penguatan yang positif setiap kali anak merespon dengn benar dan
sesuai dengan instruksi yang diberikan. Secara teoritis , prinsip dasar
terapi ini dapat dijabarkan sebagai A-B-C, yakni A (antecedent)
yang diikuti dengan B (behavior) dan C (consequence).

14
Tujuan dari penanganan ini adalah untuk meningkatkan
pemahaman dan kepatuhan anak terhadap aturan. Terapi ini
umumnya mendapatkan hasil yang signifikan bila dilakukan secara
insentif, teratur dan konsisten pada usia dini. Prinsip dasar terapi
perilaku adalah untuk meningkatkan kemampuan kognitif anak autis,
dimulai dengan sejumlah latihan yang sederhana dan sedikit kegiatan
agar anak menjadi terbiasa (Prasetyono,2008).

2. Teknik ABA
Menurut Handojo (2003), teknik-teknik ABA terbagi atas:
1) Kepatuhan (compliance) dan kontak mata adalah kunci masuk
ke metode ABA
2) One on one adalah satu terapi untuk satu anak, bila perlu dapat
dipakai terapi pendamping sebagai prompt (pemberi kesiapan).
3) Siklus (discrate trial training) yang dimulai dari instruksi
diakhiri dengan reinforcement. tiga kali instruksi dengan
pemberian tenggang waktu tiga hingga lima detik pada instruksi
ke satu dan ke dua.
4) Fading adalah mengarahkan anak ke perilaku target dengan
prompt penuh dan makin lama prompt makin dikurangi secara
bertahap sampai akhirnya anak mampu melakukan tanpa
prompt.
5) Shaping adalah mengajarkan suatu perilaku melaluai tahap-
tahap pembentukan yang semakin mendekati respon yang dituju
yaitu perilaku target.
6) Chaining adalah mengajarkan suatu perilaku kompleks yang
dipecah mennjadi aktivitas-aktivitas kecil yang disusun menjadi
suatau rangkaian atau untaian secara berurutan. Aktivitas
tersebut, missalnya menggunakan kaos dipecah menjadi :
memegang kaos, meletakkan kaos di kepala, meloloskan kepala
melalui lubang kaos, meloloskan satu tangan, meloloskan

15
tanagan lain, menarik kaos setinggi dada dan menarik kaos
sampai pinggang.
7) Discrimination training adalah tahap identifikasi item dimana
disediakanitem pembanding, kemudian diacak tempatnya
sampai anak benar-benar mampu membedakan mana item yang
harus diidentifikasi sesuai instruksi
8) Mengajarkan konsep warna, bentuk, angka, huruf, dsb.

VII.Dinamika Psikologis
Autis merupakan salah satu kebutuhan khusus yang ditandai dengan
beberapa gangguan yakni gangguan komunikasi, gangguan perilaku dan
gangguan interaksi sosial. Diagnosa untuk anak-anak autis dapat dilakukan
dengan cara mengamati perilaku anak dalam berkomunikasi, bertingkah laku
dan tingkat perkembangannya. Karena karakteristik dari penyandang autis ini
banyak sekali ragamnya sehingga cara diagnosa yang paling ideal adalah
dengan memeriksakan anak pada beberapa tim dokter ahli seperti ahli
neurologis, ahli psikologis anak, ahli penyakit anak, ahli terapi bahasa dan
tenaga ahli terapis yang profesional menangani anak-anak autis.
Berdasarkan pengertian autism menurut Peeters (2004) subjek
mengalami gangguan komunikasi, interaksi sosial, gangguan dalam sensoris,
pola bermain, perilaku khas, dan emosi. Hal ini dapat terlihat bahwa subjek
masih sangat sedikit dalam berkomunikasi dan sangat jarang memulai
komunikasi, adapun dalam interaksi sosialnya, subjek tidak tertarik jika
bermain dengan teman-temannya dan lebih suka bermain sendiri dan lebih
memilih untuk membaca dan mencoret-coret buku.
Berdasarkan karakteristik autis menurut Handojo (2004) yakni dapat
diketahui bahwa permasalahan subjek dalam komunikasi yakni subjek hanya
berbicara sedikit saja yakni ketika ditanya. Dan subjek mengeluarkan intonasi
atau suara yang sulit untuk dipahami ketika subjek merasa bosan akan
aktivitas yang diberikan. Sedangkan permasalahan hubungan pada orang lain,
yakni subjek memiliki interaksi sosial yang minim atau kurang. Dikarenakan

16
subjek yang sulit berkomunikasi dengan teman sebayanya dan lebih senang
ketika menyendiri. Contohnya subjek lebih senang menyendiri dan membaca
buku.
Dalam gangguan pada perilaku yang dialami subjek yakni subjek selalu
mengambil buku di laci dan marah ketika hal yang diinginkan tidak tercapai
olehnya. Sama seperti halnya dengan permasalahan pada perasaan atau emosi
subjek yakni yang mana subjek tiba-tiba tertawa sendiri dan marah-marah
tanpa ada sebab, dan permasalahan yang dialami subjek selanjutnya yakni
respon terhadap sensori atau indera, yang mana subjek sangat sensitif
terhadap suara yang berisik. Subjek akan memukul dirinya ketika ada suara
berisik yang terdengar. Dan juga subjek akan memukul meja atau
menghentakkan kakinya di lantai ketika berimajinasi disaat aktivitas yang
diberikan tidak menarik atau membosankan.
Adapun treatment yang tepat diberikan kepada subjek dalam mengurangi
perilaku menyimpang serta membantu subjek dalam hal akademik maupun
bantu diri yakni dengan menggunakan terapi perilaku (ABA). yang mana
metode ini dapat membantu mereka mempelajari keterampilan sosial dasar
seperti memperhatikan, mempertahankan kontak mata, dan dapat membantu
mengontrol masalah perilaku (Handojo, 2004). Dasar dari metode ini adalah
menggunakan pendekatan teori behavioral, pada tahap awal menekankan
pada kepatuhan, keterampilan anak dalam meniru, dan membangun kontak
mata. Anak berlatih berkomunikasi, berbicara, bahasa, dan melakukan
interaksi sosial, namun yang pertama kali perlu diterapkan adalah latihan
kepatuhan dan kontak mata. Konsep kepatuhan ini sangat penting agar
mereka dapat mengubah perilaku sendiri menjadi perilaku yang lazim dan
dapat melakukan interaksi sosial (Yuwono, 2009).

VIII. Rancangan Intervensi


Dalam kode etik Psikologi dijelaskan bahwa Intervensi adalah suatu
kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan terencana berdasar hasil
asesmen untuk mengubah keadaan seseorang, kelompok orang atau

17
masyarakat yang menuju kepada perbaikan atau mencegah memburuknya
suatu keadaan atau sebagai usaha preventif maupun kuratif. Adapun Metode
yang digunakan dalam intervensi dapat berbentuk psikoedukasi, konseling
dan terapi.
Adapun rancangan intervensi yang akan diberikan kepada subjek yakni
berupa Metode Terapi. Terapi Psikologi adalah kegiatan yang dilakukan
untuk penyembuhan dari gangguan psikologis atau masalah kepribadian
dengan menggunakan prosedur baku berdasar teori yang relevan dengan ilmu
psikoterapi. Terapi yang diberikan kepada subjek berupa terapi Applied
behavioral Analysis (ABA). ABA adalah Jenis terapi yang telah lama dipakai,
telah dilakukan penelitian dan didesain khusus anak-anak penyandang autis.
Terapi perilaku, berupaya untuk melakukan perubahan pada anak autis dalam
arti perilaku yang berlebihan dikurangi dan perilaku yang berkekurangan
(belum ada) dapat ditambahkan. Terapi perilaku ini merupakan salah satu
metode intervensi dini yang banyak diterapkan di Indonesia yang ditemukan
oleh psikolog asal Amerika, O. Ivar Lovaas di tahun 1964.
Metode yang dipakai dalam terapi ini adalah dengan memberi pelatihan
khusus pada anak dengan memberikan Positive Reinforcement
(hadiah/pujian). Modifikasi atau lebih dikenal ABA (Aplied Behavior
Analysis), Melalui metode ini, anak dilatih melakukan berbagai macam
keterampilan yang berguna bagi hidup bermasyarakat, missalnya
berkomunikasi, berinteraksi, berbicara, berbahasa dan seterusnya. Namun
terutama yang perlu diterapkan adalah latihan kepatuhan. Hal ini sangat
penting agar mereka dapat mengubah perilaku seenaknya sendiri menjadi
perilaku yang lazim dan diterima masyarakat. Tujuan penanganan ini
terutama adalah untuk meningkatkan pemahaman dan kepatuhan anak
terhadap aturan. Terapi ini umumnya mendapatkan hasil yang signifikan bila
dilakukan secara intensif, teratur dan konsisten.

IX. Pelaksanaan dan Hasil Intervensi

18
Berdasarkan hasil treatment yang sudah dilakukan selama kurang lebih
satu bulan dimulai pada 18 Agustus hingga 15 September 2022 penulis
menggunakan metode Terapi ABA (Applied Behavioral Analysis dengan
menggunakan metode Terapi Applied behavioral Analysis (ABA). Dapat
diketahui bahwa, sebelum melakukan treatment, subjek melakukan banyak
perilaku menyimpang terutama dalam hal pengkondisian seperti membuka
laci dan mengambil buku yang berada di dalamnya maupun memukul atau
menyakiti diri sendiri ketika ada suara berisik.
Pada saat melakukan treatment, penulis memberikan program maupun
kegiatan yang lumayan banyak dan tidak membuat subjek merasa jenuh
mengerjakannya. Hal ini berguna untuk mengurangi perilaku menyimpang
subjek dalam hal pengkondisian. Dan juga ketika belajar mengajar
berlangsung, posisi duduk subjek diletakan pada bagian sudut dan menempel
ke dinding, hal ini berguna apabila subjek melakukan hal di luar kendali,
maka langsung dapat dihambat. Dan juga ketika subjek melakukan perilaku
yang benar, maka penulis memberikan sebuah reward berupa tepuk tangan,
atau kalimat pujian sebagai tanda bahwa subjek sudah melakukan hal yang
baik. Seperti wawancara yang sudah dilakukan kepada guru dan orangtua,
bahwa ketika subjek melakukan hal yang benar maka pemberian reward
berupa ucapan positif dapat membantu subjek dalam mengurangi perilaku
menyimpang.
Berdasarkan treatment yang sudah diberikan kepada subjek selama
kurang lebih satu bulan dengan menggunakan metode terapi Applied
behavioral Analysis (ABA), maka terdapat perubahan yang ada pada subjek,
terutama dalam hal pengkondisian. Yang mana pada masa observasi perilaku
menyimpang yang dilakukan subjek berada dalam frekuensi yang tinggi,
sehingga setelah dilakukan treatment maka perilaku menyimpang tersebut
sudah menurun.

X. Kesimpulan dan Saran


Kesimpulan

19
Konsep anak berkebutuhan khusus merujuk pada konsep hambatan
perkembangan dan abnormalitas dalam perkembangan. Fenomena anak
berkebutuhan khusus telah menjadi perhatian oleh banyak pakar dari bidang
psikologi, medis, dan pendidikan. Pada intinya, anak berkebutuhan khusus
merupakan anak-anak yang mengalami hambatan perkembangan baik pada
satu atau semua aspek perkembangan. Kondisi tersebut yang kemudian
membuat anak-anak berkebutuhan khusus membutuhkan pelayanan
(penanganan) berbeda dengan anak-anak lain.
Berdasarkan hasil treatment yang sudah diberikan kepada subjek selama
kurang lebih satu bulan dengan menggunakan metode Terapi Applied
Behavioral Analysis (ABA), maka terdapat perubahan yang ada pada subjek,
terutama dalam hal pengkondisian. Yang mana pada masa observasi perilaku
menyimpang yang dilakukan subjek berada dalam frekuensi yang tinggi,
sehingga setelah dilakukan treatment maka perilaku menyimpang tersebut
sudah menurun. Dan juga dalam akademiknya subjek memiliki kemampuan
mengingat yang sangat cepat serta dalam matematika subjek sangat cepat
dalam mengerjakannya.

Saran
Adapun saran yang diberikan penulis kepada pembaca ialah :
1. Untuk orang tua agar tetap selalu memperhatikan anak nya yang
mengalami autis agar selalu tau bagaimana perkembangan anaknya di
rumah selama menjalankan terapi atau sekolah di yayasan...
2. Bagi guru dan terapis yaitu dalam mengajarkan anak autis berbagai
bentuk keterampilan dan pengetahuan dengan cara memberikan
pembelajaran secara visual sebanyak mungkin. Tingkat keberhasilan
guru dan terapis dapat di lihat dari proses sosialisasi dapat di ukur jika
anak sudah paham akademik dasar dan anak autis sudah dapat
memahami instruksi baik verbal maupun non verbal serta anak sudah
dapat mengontrol keadaan emosi mereka.

20
3. Bagi yayasan yang memiliki program khusus dalam menangani anak
berkebutuhan khusus, perlunya peningkatan pelayanan baik dalam
terapi smaupun edukasi yang diberikan kepada penderita autis. Oleh
karena itu hendaknya yayasan lebih meningkatkan program terapi
yang lebih banyak dan layanan edukasi yang lebih baik agar penderita
autis lebihcepat mengalami perkembangan dalam proses
penyembuhan.

21
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, N. (2013). Mengenal Anak Berkebutuhan Khusus. Magistra, 25(86), 1.

Asrizal, A. (2016). Autis Children Handling on Sosial Interaction. Jurnal


Penelitian Kesejahteraan Sosial, 15(1), 1-8.

Azwandi, Yosfan. 2005. Mengenal dan Membantu Penyandang Autismea.


Jakarta: Depdiknas

Budhiman, M. (2002, Januari). Penanganan Autis secara Komprehensif. Seminar


& Workshop on Fragile-X Mental Retardation, Autisme and Related
Disorders. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang

Elizabeth B. Hurlock. (2004). Psikologi Perkembangan. Jakarta : PT. Gelora


Aksara Pratama.

Eva, N. (2015). Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus. Malang: Fakultas


Pendidikan Psikologi Univeritas Negeri Malang, 1, 23.

Hallahan, D.P. & Kauffman, J.M. (2006). Exceptional Learners: Introduction to


Special Education 10th ed. USA: Pearson.

Handojo Y. 2003. Petunjuk Praktis dan Pedoman Materi Untuk Mengajar Anak
Normal, Autis dan Perilaku Lain. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer..

Kristiana, I. F., & Widayanti, C. G. (2021). Buku ajar psikologi anak


berkebutuhan khusus.

Lubis, F., & Suwandi, J. F. (2016). Paparan Prenatal Valproat dan Autisme
Spectrum Disorder (ASD) pada Anak. MAJORITY, 5(3).

Mash, E.J., Wolfe, D. A. (2005). Abnormal Child Pschology. USA: Wadsworth


Publishing Company.

Nasution, A. G. P. L. (2018). Penyesuaian Diri Pada Orang Tua Yang Memiliki


Anak Autisme Spectrum Disorder (Doctoral dissertation, Ilmu Psikologi).

Nugraheni, S. A. (2012). Menguak Belantara Autis. Buletin Psikologi, 20(1-2), 9-


17.

Peeters, T. (2004) Hubungan Pengetahuan Teoritis dan Intervensi Pendidikan


bagi Penyandang Autis. Jakarta: Dian Rakyat

22
Perempuan, K. P. (2013). Panduan penanganan anak berkebutuhan khusus bagi
pendamping (orangtua, keluarga, dan masyarakat). Kementrian
Perlindungan Anak dan Perempuan: Jakarta.

Ratri, D. D. (2016). Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta: Psikosain.

Safaria, Triantoro. 2005. Autis: Pemahaman Baru untuk Hidup Bermakna bagi
Orang Tua. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Suteja, J. (2014). Bentuk dan metode terapi terhadap anak autis akibat bentukan
perilaku sosial. Edueksos: Jurnal Pendidikan Sosial & Ekonomi, 3(1).

Visual Schedule Terhadap Penurunan Behavior Problem Saat Aktivitas Makan


Dan Buang Air Pada Anak Autis (Visual Schedule towards the Decline
of Behavioral Problems in Feeding Activities and Defecation in Children
with Autis) Sandu Siyoto*

Wahyuni, S. (2011). Penyesuaian diri orangtua terhadap perilaku anak autis di


Dusun Samirono, Catur Tunggal, Depok, Sleman, Yogyakarta.

Widyorini, E., Roswita, M. Y., Sumijati, S. R. I., Eriany, P., Primastuti, E., &
Judiati, E. A. (2014). Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus.

Yatim, Faisal. autis suatu gangguan jiwa pada anak-anak. Jakarta. Pustaka
Populer. 2003.

23
LAMPIRAN

A. Wawancara Dengan Ibu Subjek

Responden : Ibu JF
Tempat : Pekanbaru Lab School
Anisa Sebelum penulis wawancara, penulis minta maaf sudah
mengganggu waktunya Ibu dan mohon izin jika penulis
merekam pembicaraan kita. Langsung saja ya bu, perkenalkan
nama penulis Anisa Pratiwi dari Fakultas Psikologi
Universitas Islam Riau. Di sini penulis ditunjuk untuk
mengobservasi anak Ibu yaitu J.
Orangtua JF Oh baik Anisa
Anisa Langsung saja kita mulai ya bu, kapan sekiranya Ibu
mengetahui bahwa J ini terdiagnosa anak dengan
berkebutuhan khusus?
Orangtua JF Awalanya kami tidak tahu, sampai J masuk sekolah TK. Jadi
awalnya J itu penulis masukkan kedalam TK biasa (TK Bina
Kasih), sampai 2-3 hari bersekolah di sana gurunya
memberitahu penulis bahwa si J merupakan Anak yang
Berkebutuhan Khusus dan memerlukan terapi khusus juga.
Pada awalnya kami juga tidak tahu ABK tu apa sampai
akhirnya tau pada saat di TK itu.
Anisa Ooo berarti sejak TK ya bu ?
Orangtua JF Iya, Lalu gurunya yang di TK juga memberitahu bahwa si J
ini tidak boleh digabung dengan anak lainnya, karena bisa
membuat perilaku menyimpangnya makin parah. Maka dari
itu lah, pada awalnya kami hanya melakukan terapi di rumah
secara visit aja.
Anisa Selanjutnya apakah ada kesulitan bagi Ibu dalam menangani
anak berkebutuhan khusus seperti J ?
Orangtua JF Awalnya parah sekali sulitnya, yang emang kita tidak

24
mengerti cara menanganinya dan sering terjadi salah
penanggapan. Si J nya sering mengamuk, kitanya juga jadi
banyak pikiran. Tapi dengan adanya Lab School ini cukup
membantu penulis dalam menangani J, karena kita belajar
juga secara perlahan dari guru-guru yang ada di sini, dan
menerapkan apa yang di ajarkan oleh guru J di rumah. jadi
kalau sekarang sudah tidak terlalu kesulitan dalam
menghadapi J
Anisa Berarti sudah berkurang ya bu kesulitannya, terus bagaimana
cara Ibu memberi sebuah hadiah atau reward kepada J apabila
dia berperilaku baik
Orangtua JF Di rumah ya? Kalau di rumah biasanya J diberikan berupa
pujian seperti “wah hebat, good job atau ganteng” gitu. Tapi
beberapa kali dia juga tidak terlalu senang dengan reward
seperti itu. Kadang dia juga minta makanan karena dia suka
makan kan, kaya ayam goreng, bakwan, ataupun lontong. Itu
biasanya dalam seminggu hanya sesekali Ibu berikan karena
ayahnya punya riwayat gula.
Anisa Iya bu, penulis lihat dia sering membawa buah atau makanan
rebus-rebusan. Nah selanjutnya apabila J melakukan perilaku
menyimpang bagaimana Ibu menghadapi atau
menghambatnya?
Orangtua JF Kalau J ngamuknya udah parah dan tiba-tiba mendadak
mengigit tangan, itu kita tidak bisa ngapa-ngapain dan hanya
membiarkan J reda dulu. Nanti kalau udah reda kadang Ibu
memberikan hukuman ke J. Seperti kemarin dia mematikan
token listrik pak RT. Ibu memberikan hukuman dengan tidak
bolehin jalan-jalan sore, dan hanya membawa abangnya, tapi
si J nya malah ngamuk terus melukai tubuhnya sendiri yang
akhirnya tetangga pada keluar semua. Menurut penulis sendiri
kenapa ia harus dihukum, ya jika tidak dihukum nanti malah

25
si J bakal ngulangin terus. Yang akhirnya Ibu bawa J jalan-
jalan sore dan memberi pengertian lagi seperti “kalau kaya
gitu lagi besok ga diajak jalan-jalan sore ya J” besoknya dia
udah ngerti dan bisa dilarang kok
Anisa Oo begitu ya bu, selanjutnya apa ada dukungan dari keluarga
dan lingkungan sekitar terhadap J?
Orangtua JF Untuk lingkungan tetangga itu oke, mereka mengerti semua
walaupun J kadang masuk ke rumah mereka untuk ambil
handphone. Ibu cuman pesen ketetangga apabila kami sedang
jalan sore untuk mengunci pintunya, untungnya tetangga itu
mengerti.
Anisa Baik bu, mungkin itu saja wawancara dari penulis, mohon
maaf bila ada kata yang salah dan menggangu waktunya.
Termakasih ya bu
Orangtua JF Iya Anisa gak papa. Sama-sama
Tabel 3. Wawancara bersama Ibu JF

B. Wawancara dengan Guru Subjek

Responden : Ibu W
Jabatan : Guru
Tempat : Pekanbaru Lab School
Anisa Assalamualikuam Ibu. Penulis Anisa Pratiwi
Ibu W Iya, lanjutkan..
Anisa Baik langsung saja kita mulai ya Ibu, penulis ingin
menanyakan bagaimana kondisi fisik dari J? Apakah sesuai
dengan anak-anak seumurannya?
Ibu W : Kalau untuk kondisi fisiknya itu sesuai dengan anak-anak
seumurannya, tapi anak-anak ini kontak mata nya agak kurang
sehingga sedikit susah untuk melihat jalan dengan baik
Anisa Selanjutnya penulis ingin menanyakan untuk gaya belajar
dari J ini bagaimana Ibu?

26
Ibu W Untuk gaya belajar dari J sendiri kita menggunakan gaya
belajar yang serius, apabila kita ajak dengan gaya bermain hal
tersebut membuat perilaku menyimpangnya keluar. Karena J
juga terlihat seperti perempuan, dapat dilihat dari pergerakan
tangannya. Maka dari itu dibuat dengan gaya belajar yang
cukup serius agar perilaku menyimpangnya tadi tidak keluar
Anisa Selanjutnya kalau untuk motorik halus dan kasar pada J ini
bagaimana Ibu?
Ibu W Kalau untuk itu si J semuanya cukup baik Anisa. Namun
hanya saja visualnya itu kurang baik karena matanya minus.
Kadang kita panggil dari jauh dia cukup dengar tapi dia tidak
melihat kita.
Anisa Apa dukungan yang Ibu berikan ke J apabila J mampu benar
mengerjakan apa yang Ibu suruh?
Ibu W Untuk J Ibuk tidak memberikan hal yang berupa ekonomi,
kita tau juga bahwa si J ini lagi diet. Jadi Ibu lebih
memberikan berupa pujian, Jempol, “iii J Hebat”. Lebih ke
hal yang seperti itu J udah senang sekali.
Anisa Selanjutnya bagaimana Ibu menangani perilaku menyimpang
dari J?
Ibu W Kalau penanganan J dalam hal ini Ibu menggunakan cara fisik
dan verbal juga. Karena kamu lihat sendiri bagaimana
perilakunya, jadi Ibu secara langsung menghambat
perilakunya, dan ambil tangannya
Anisa Si J ini kan sering diantar jemput oleh Ibunya? Apakah Ibu
sering memberitahu kepada orangtuanya bagaimana cara
efektif dalam menangani perilaku J disaat sedang emosi?
Ibu W Tentunya sering sekali, kemarin orangtuanya juga memberi
tahu bahwa si J sering mencuci kain, belum disuruh udah
mencuci kain. Nah itu kan perilaku menyimpang juga, kalau
di sini kan kita menangani secara verbal dan fisik tapi di sana

27
kita tidak tahu. Makanya di sini Ibu harus memberikan
pengertian dulu ke J nya, contohnya “J Mandi dulu, terus
permissi ke Ibu untuk cuci kain” Atau dengan memberi tahu J
“Tunggu Ibu nyuruh cuci kain, baru kamu lakukan”.
Terus kemarin orangtuanya juga menyampaikan bahwa si J ini
tidak mau jongkok. Emang kalau di rumah sama orangtuanya
si J dilakukan dengan lembut dan rayuan, jadi kadang anaknya
tidak mau nurut. Nah di sini Ibu memberitahu dia dengan
sedikit tegas “Nanti pulang sekolah, ganti baju, mandi, makan,
jongkok!”. Si J kalau kita tegas dia mau nerima dan langsung
dilakukannya. Nanti Ibu langsung menanyakan ke
orangtuanya apa sudah menurut dengan apa yang Ibu bilang
apa belum. Kalau belum tinggal Ibu suruh pulang nanti dia
takut sendiri.
Anisa Lanjut Ibu, pada saat Ibu memberikan pelajaran yang sulit
mengerti apakah ada perilaku menyimpang J yang keluar?
Ibu W Kalau perilaku menyimpang yang dilakukannya paling bolak-
balik buku, lihat-lihat buku. Tapi pada saat pelajaran
matematika dia menarik tangan Ibu untuk minta bantu
menjawab pertanyaannya.
Anisa Baik itu saja, dari Anisa Ibu, terimakasih atas kesempatan dan
waktunya.
Ibu W Iya sama-sama Anisa
Tabel 4. Wawancara bersama Guru

28
DOKUMENTASI

Gambar 1. Kegiatan kesenian

Gambar 2. Kegiatan mewarnai

29
Gambar 3. Kegiatan menari

Gambar 4. Kegiatan membaca

30
Gambar 5. Berdoa sebelum melakukan kegiatan

Gambar 6. Kegiatan eksperimen media balon

31
Gambar 7. Kegiatan sensorimotorik (berlari zig-zag)

Gambar 8. Kegiatan menggunting dan menempel

32
Gambar 9. Kegiatan kemandirian (menyikat gigi)

Gambar 10. Kegiatan sensorimotorik (berjalan jongkok)

33

Anda mungkin juga menyukai