Anda di halaman 1dari 4

1.Apa saja dan jelaskan ancaman terhadap kelestarian krustaccea?

1. Perubahan iklim: seperti halnya perubahan suhu , temperature, musim penghujan


dan musim kemarau yang sering tidak sesuai dengan bulannya.
2. Penyakit arly mortality syndrome (EMS) dan acute hepatopancreatic necrosis
disease (AHPND). Kedua penyakit tersebut sangat berbahaya dan bisa menurunkan
produksi udang di tambak. Kedua penyakit tersebut, diketahui merupakan penyakit
serius yang bisa menyebabkan berbagai kerugian fisik dan finansial pada industri budi
daya udang. Penyakit tersebut ditimbulkan dari infeksi Vibrio parahaemolyticus (Vp
AHPND) yang diketahui mampu memproduksi toksin dalam jumlah yang tidak
sedikit. Khusus AHPND, penyakit sangat rentan menyerang udang windu (Penaeus
monodon) dan udang vaname (Penaeus vannamei) dengan mortalitas mencapai 100
persen pada stadia postlarvae (PL) umur 30-35 hari dan udang usia lebih dari 40 hari
setelah tebar di tambak.

3. Asidifikasi : hujan asam, diduga akan menyebabkan suatu kondisi yang disebut
asidosis. Asidosis ialah meningkatnya, atau tepatnya, turunnya nilai pH pada plasma
darah. Gejala asidosis terjadi ketika pH plasma darah turun < 7,35 (namun tergantung
dari spesies). Asidemia ialah gejala yang ditimbulkan oleh peristiwa asidosis, ialah
kondisi melemahnya sistem kekebalan tubuh (imunitas) dan terganggunya proses
metabolisme tubuh pada sebagian besar organisme akuatik. Gejala lainnya ialah
menurunnya kapasitas reproduksi.
4. Penangkapan Berlebih : Penangkapan berlebih (over-exploitation), didefinisikan
sebagai pengambilan sumber daya hayati laut (ikan) pada laju yang melebihi
kemampuan sumber daya untuk melakukan pemulihan secara alami. Indikasi awal
penangkapan berlebih ialah berkurangnya stok populasi, dan akhirnya, hasil
tangkapan nelayan. Indikasi lainnya ialah pada semakin kecilnya ukuran ikan yang
tertangkap oleh nelayan. Penangkapan berlebih, jelas akan merugikan nelayan dan
masyarakat karena potensi sumber daya yang bisa dimanfaatkan akan semakin
menurun.
5. Penangkapan Destruktif : Penangkapan destruktif ialah jenis kegiatan pengambilan
ikan dengan cara atau metode yang berdampak negatif pada populasi ikan dan habitat
atau lingkungan tempat tinggal ikan. Penangkapan destruktif disebut juga dengan
istilah penangkapan tidak ramah lingkungan, Unfriendly Fishing Methods. Peledak
(bom ikan, dinamit) dan racun ikan (potasium sianida, tuba, akar bore, deris) ialah dua
jenis metode penangkapan di Indonesia yang sangat terkenal, tergolong dalam metode
destruktif. Trawl atau pukat hariamau juga termasuk dalam kategori alat destruktif
bersama penangkapan dengan menggunakan strum listrik, electro-fishing. Dampak
dari penangkapan destruktif dibedakan dalam dua kategori, ialah: tertangkapnya ikan
non-target dan menyebabkan hasil sampling (by-catch), dan kerusakan kolateral.
Trawl dan electrofishing sering kali atau hampir selalu menghasilkan by-catch yang
sering kali tidak bermanfaat secara ekonomis dan terpaksa harus dibuang oleh nelayan
2.Bagaimana mewujudkan Krustacea berkelanjutan?

1).Mengaji status stok krustasea;

2) Melakukan pemantauan dan evaluasi implementasi hasil pengkajian stok krustasea dan
penerapannya dalam pengelolaan krustasea;

3) Melengkapi Rencana Pengelolaan Perikanan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik


Indonesia(WPP RI)yang sudah ada sesuai dengan UU Nomor 31 Tahun 2004 Pasal 7;

4) Melakukan pengenalan, pengembangan dan implementasi pengelolaan perikanan dengan


pendekatan ekosistem (Ecosystem Approach to Fisheries Management/EAFM);

5) Melakukan pengembangan riset aplikasi sertifikasi ekolabel dalam penilaian status stok,
dampak terhadap perikanan dan lingkungan, dan kriteria sistem pengelolaan perikanan dan
krustasea;

6) Menguatkan kelembagaan pengelolaan perikanan krustasea skala kecil untuk mengatasi


permasalahan tata kelola perikanan khususnya rajungan, kepiting bakau, dan lobster.

Jika strategi di atas sudah dilaksanakan, stok krustasea yang tersisa di alam sekarang, bukan
saja bisa diselamatkan, tetapi juga akan bertambah. Jika sudah begitu, nelayan yang mencari
ikan akan mendapatkan manfaatnya. Kesejahteraan bisa kembali diraih mereka.

3.Bagaimana cara krustacea berkembang biak


Krustacea dibagi menjadi 2, yaitu:
1. Entomostraca
Reproduksi aseksual tidak ada. Umumnya berkembang biak secara parthenogenesis.
Namun bagi spesies tertentu pada saat bersamaan terjadi baik reproduksi secara
parthenogenesis maupun singamik terjadi kopulasi dan pembuahan di dalam. Telur
yang telah dibuahi dan telur parthenogenesis dierami oleh betina selama beberapa
hari. Beberapa jenis phyllopoda menghasilkan dua macam telur, bercangkang tipis
yang secara meretas dan telur dorman bercangkang tebal yang tahan panas, dingin
maupun kekeringan. Kedua macam telur tersebut dapat terjadi baik ada jantan
maupun tanpa jantan dalam populasi. Perkembangan embrio dalam telur mulai terjadi
selama waktu pengeraman, kemudian dilepas ke air kelompok demi kelompok dengan
selang waktu 2 sampai 6 hari. Telur menetas menjadi larva nauplius atau
metanauplius tergantung spesiesnya
2. Malakostrata
Reproduksi aseksual tidak ada. Cladocera dioecious, dalam lingkungan yang baik
sepanjang tahun berkembang biak secara partenogenesis, telur dierami dalam kantung
pengeraman, anak yang dihasilkan selalu betina. Tidak ada stadia larva. Sekali
bertelur antara 2 sampai 40 butir, tetapi umumnya antara 10 sampai 20 butir. Biasanya
sekelompok telur masuk ke kantung pengeraman terjadi setiap usai pergantian kulit.
Telur dierami sekitar 2 hari. Dengan mengerak-gerakkan post-abdomen ke belakang,
induk betina melepaskan anak-anaknya keluar sudah dalam stadia juvenil pertama.
Pertumbuhan paling cepat terjadi pada stadium juvernil ini, dimana setiap kali setelah
molting, ukuran tubuh menjadi hampir 2 kali lipat. Selama juvernil terdapat sekitar 2
sampai 5 instar, dan dewas 10 sampai 25 instar tergantung jenisnya. Umur cladocera
sejak telur masuk ke kantung pengeraman, menetas, juvernil, dewasa sampai mati
bervariasi tergantung spesies dan lingkungan. Panjang umur Daphnia longispina
antara 28 sampai 33 hari. Menjelang dan setelah molting pada cladocera terjadi 4
peristiwa yang berurutan dan berlangsung dengan cepat, antara beberapa menit
sampai beberapa jam, yaitu (1) melepaskan anak-anaknya dari kantung pengeraman,
(2) molting, (3) pertumbuhan ukuran panjang, dan (4) mengeluarkan kelompok telur
baru dari ovari ke kantung pengeraman. Bila lingkungan memburuk, maka dalam
populasi terdapat jantan antara 5% sampai 50%. Faktor-faktor yang mempengaruhi
timbulnya jantan antara lain (1) populasi betina yang terlalu padat, (2) kekurangan
makanan, (3) perubahan suhu, terlalu rendah atau tinggi. Diduga faktor tersebut
meningkatkan metabolisme yang berpengaruh terhadap mekanisme kromosom
sedemikian rupa sehingga menghasilkan telur partenogenesis jantan dan bukan telur
betina seperti biasanya. Bentuk jantan hampir sama dengan yang betina, hanya
berukuran lebih kecil, antenul lebih besar, post-abdomen mengalami modifikasi dan
kaki pertama dilengkapi kait yang tebal untuk memegang betina. Lingkungan
memburuk juga memicu timbulnya betina yang mampu menghasilkan telur seksual.
Artinya telur haploid yang dapat dibuahi jantan, jumlahnya hanya satu atau dua butir.
Telur tersebut juga berada dalam kantung pengeraman dan dibungkus kapsul tebal
dan gelap yang disebut ephippium. Ephippia tahan terhadap kekeringan, panas dan
beku, mudah diterbangkan angin. Bila lingkungan sesuai, maka ephippium akan
menetas menjadi betina partenogenesis. Pada cladocera terutama betina dari spesies
limnetik, cyclomorfosa merupakan peristiwa biasa, misalnya pada Daphnia pulex.
Cyclomorfosa ialah perubahan bentuk tubuh dalam suatu populasi disebabkan oleh
perubahan musim di daerah bermusim empat. D. carinata di Waduk Jatiluhur, Jawa
Barat juga mengalami perubahan bentuk kepala pada waktu stadia juvenil, juvenil
pertama mancung dan mulai membulat tiap kali molting.

Anda mungkin juga menyukai