Anda di halaman 1dari 17

OPTIMALISASI KAWASAN TANPA

ROKOK DI UNIVERSITAS DIPONEGORO


Oleh: Bidang Sosial dan Politik BEM FKM Undip 2018

Penggunaan tembakau telah menjadi masalah kesehatan global, baik di negara maju maupun
negara berkembang. Tembakau telah membunuh 100 juta jiwa selama abad ke 20 dan
diperkirakan akan membunuh 1 milyar jiwa pada abad 21 bila hal ini terus dibiarkan.-WHO

Pendahuluan.
Merokok merupakan hal yang sering ditemui pada masyarakat Indonesia. Hasil analisis
dari penelitian yang dilakukan pada tahun 2002 terhadap perokok yang berumur lebih dari 10
tahun di seluruh Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi merokok nasional sebesar 27,7 %.1
Data epidemik tembakau di dunia menurut World Health Organization (WHO)
menunjukan 1 kematian karena tembakau di seluruh dunia terjadi tiap 6 detik. Hasil laporan
Riskesdas tahun 2013, perilaku merokok penduduk usia 15 tahun ke atas masih belum
menunjukkan penurunan sejak tahun 2007, akan tetapi justru cenderung meningkat dari 34,2
persen menjadi 36,3 persen. 64,9 persen laki-laki dan 2,1 persen perempuan masih mengisap
rokok di tahun 2013.2
Guna menanggulangi masalah tersebut, Kementerian Kesehatan telah melakukan
berbagai upaya, salah satunya dengan menginisiasi pengembangan Kawasan Tanpa Rokok
(KTR) di berbagai daerah. Dasar hukum dari KTR ini cukup banyak, dimulai dari Undang-
Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan 3 hingga secara spesifik, Kota Semarang sendiri
telah memberlakukannya sejak tahun 2009 melalui Peraturan Walikota (Perwal) Semarang No.

1
Sirait, M.A. dkk. Perilaku merokok di Indonesia. Jurnal Fakultas Kesehatan Masyarakat. Medan : USU. 2001. 2
2
Tinuk Istiarti dkk. 2016. Hubungan Penerapan Kawasan tanpa Rokok (KTR) dengan Perilaku Merokok Mahasiswa Kesehatan
Masyatakat di Kota Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat (e-Journal)Volume 4, Nomor 3, Juli 2016 (ISSN: 2356-3346)
3
UU No. 36 Tahun 2009
12 tahun 2009. Tempat-tempat berikut, oleh Perwal dinyatakan sebagai KTR: sarana kesehatan,
tempat proses belajar mengajar, arena kegiatan anak, tempat ibadah, dan angkutan umum.4
Menanggapi hal ini, Universitas Diponegoro sebagai salah satu perguruan tinggi terbesar
di Kota Semarang telah meresmikan Student Center-nya, yang merupakan pusat berkumpulnya
para mahasiswa, sebagai Kawasan Tanpa Rokok pada 2015 silam. Hal ini diatur dalam Peraturan
Rektor Universitas Diponegoro No. 11 tahun 2015.5
Namun demikian, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa penerapan Kawasan Tanpa
Rokok di Student Center ini masih kurang maksimal. Masih ditemukan banyaknya kegiatan
merokok di lingkungan tersebut, dengan dalih tidak tahu maupun tahu tetapi tidak mau. Lebih
lengkapnya mengenai hal ini akan dibahas di sub-bab selanjutnya.

Rokok
Rokok adalah hasil olahan tembakau yang dibungkus cerutu atau berupa bentuk lain yang
merupakan hasil dari tanaman Nicotiana tabacum, Nicotiana rustica, dan spesies lain atau
sintetisnya yang mengandung nikotin dan tar, dengan maupun tanpa bahan tambahan.6
Rokok merupakan zat adiktif, yaitu zat yang dapat menyebabkan seseorang kecanduan
serta membahayakan kesehatan. Hal ini ditandai dengan perubahan perilaku, kognitif, fisiologis
dengan peningkatan toleransi, adanya keinginan kuat untuk mengonsumsi zat tersebut, serta
dapat menyebabkan gejala putus obat.7
Dalam asap rokok, terkandung tiga zat kimia paling berbahaya, yaitu tar, nikotin, dan
karbon monoksida.

a. Nikotin
Komponen ini adalah yang paling banyak dijumpai dalam rokok.8 Nikotin
merupakan senyawa pyrrolidine yang terdapat dalam nicotina tabacum, nicotina rustica,

4
Peraturan Walikota Semarang No. 12 Tahun 2009
5
Rachrisa. SC Undip Berhasil menjadi Kawasan Tanpa Rokok. Diterbitkan 18 Desember 2016
(http://icampusindonesia.com/2016/12/18/sc-undip-berhasil-menjadi-kawasan-tanpa-rokok-ktr/)
6
PP RI No. 81 Tahun 1999 dalam http://eprints.undip.ac.id/44906/
7
PP RI No. 109 Tahun 2012
8
Sitepoe, 2000 dalam http://digilib.unila.ac.id/9753
dan spesies lainnya yang dapat menyebabkan seseorang ketergantungan terhadap rokok.9
Perkembangan nikotin dimulai sejak dosis pertama, oleh karenanya perokok akan terus
berusaha menambah dosis nikotin untuk mempertahankan efek tenang dan rileks.10
b. Karbon Monoksida (CO)
Karbon monoksida adalah gas tidak berbau, berwarna maupun berasa, tidak
mengiritas, namun sangat berbahaya (beracun). Gas ini merupakan hasil pembakaran
tidak sempurna dari kendaraan bermotor, alat pemanas, dan berbagai perlatan berbahan
api dengan asas karbon dan nyala api. Gas CO akan sangat berbahaya jika terhirup, sebab
akan menggantikan posisi oksigen untuk berikatan dengan hemoglobin dalam darah.11
c. Tar
Tar adalah senyawa polinuklin hidrokarbon aromatika yang bersifat karsinogenik
atau memicu kanker. Tar dapat merusak sel paru sebab lengket dan dapat menempel pada
jalan napas paru-paru sehingga mengakibatkan terjadinya kanker. Pada saat diisap, tar
masuk dalam mulut sebagai uap padat asap rokok, dan ketika mendingin akan menjadi
padat dan membentuk endapan berwarna coklat pada permukaan gigi, saluran
pernapasan, dan paru-paru. Efek karsinogenik tetap bisa masuk dalam paru-paru walau
rokok diberi filter.12

Bahaya Asap Rokok bagi Kesehatan.


Merokok diketahui dapat menyebabkan gangguan kesehatan. Gangguan kesehatan ini
dapat disebabkan oleh nikotin yang berasal dari asap perokok aktif. Gangguan kesehatan yang
ditimbulkan dapat berupa bronkritis kronis, emfisema, kanker paru-paru, laring, mulut, faring,
esofagus, kandung kemih, penyempitan pembuluh nadi, dan lain-lain.13 Rusaknya paru sebagai
target utama dapat dijelaskan dengan adanya paparan agen kimia di dalam asap rokok, namun

9
PP RI No. 109 Tahun 2012
10
Sudiono,2008 diakses melalui (http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/13710/ Bab%20II%
0Tinjauan% 20Pustaka.pdf?sequence=3&isAllowed=y)
11
Infopom, 2015 dalam http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/13710/Bab%20II%20Tinjauan
%20Pustaka.pdf?sequence
=3&isAllowed=y
12
Sitepoe, 2000 dalam http://digilib.unila.ac.id/9753/
13
Susanna et al, 2003 dalam http://digilib.unila.ac.id/9753/
efek yang menyebabkan penyakit kronik pada sistem organ lain kemungkinan adalah hasil
pajanan secara tidak langsung.14
Paparan asap rokok dapat menimbulkan kelainan struktur jaringan yang berkaitan erat
dengan respons inflamasi. Proses inflamasi pada Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) tidak
hanya berlangsung di paru tetapi terjadi juga secara sistemik, yang ditandai dengan peningkatan
kadar C-reactive protein (CRP), tumor necrosis factor-α (TNF-α), interleukin 6 (IL-6) serta IL-8.
Respon sistemik ini menggambarkan progresiviti penyakit paru dan selanjutnya berkembang
menjadi penurunan massa otot rangka (muscle wasting), penyakit jantung koroner dan
aterosklerosis.15

Fakta dan Data.


Penggunaan tembakau merupakan salah satu penyebab kematian terbesar di seluruh
dunia. Tembakau merupakan faktor risiko pada enam dari delapan penyebab kematian terbesar di
dunia. la telah membunuh 5,4 juta jiwa pada tahun 2005 dan 100 juta jiwa secara keseluruhan
selama abad ke-20 melalui penyakit-penyakit yang terkait dengan penggunaan Tembakau. Bila
hal ini terus dibiarkan maka pada tahun 2030, diperkirakan akan ada 8 juta jiwa melayang karena
tembakau atau total berjumlah 1 milyar jiwa dalam abad 21.16
Masalah yang semula terjadi hanya di negara maju kini telah melanda negara-negara
berkembang yang sedang berada pada fase kedua dan empat fase masalah epidemik tembakau.17

14
Yanbaeva et al, 2007
15
PP RI No. 81 Tahun 1999 dalam http://eprints.undip.ac.id/44906
16
World Health Organization. WHO Report on the Global Tobacco Epidemic, 2008. The MPOWER Package.
Geneva, World Health organization. 2008.
17
Gajalakshmi CK et al. Global patterns of smoking and smoking-attributable mortality. in: Jha P & Chaloupka F,
eds. Tobacco control in developing countries. Oxford University Press, 2000:11—39.
Grafik. Empat Fase Pola Epidemiologi Tembakau18

Pada fase ini, prevalensi penguna tembakau, baik pria maupun wanita, meningkat namun
kematian yang diakibatkannya masih relatif rendah bila dibandingkan dengan penggunaannya.
Hal inilah yang membuat pemerintah di negara-negara berkembang masih belum memberikan
perhatian yang cukup bagi pengendalian dampak tembakau, selain karena banyak negara
menganggap ekonominya masih ditopang oleh industri tembakau. 19 Padahal, pendapatan negara
dan cukai rokok tidak sebanding dengan biaya kesehatan yang harus dikeluarkan untuk
mengatasi dampak kesehatan yang ditimbulkannya. Menurut Kosen, biaya kesehatan yang
dikeluarkan oleh Indonesia pada tahun 2005 adalah sebesar 18,1 milyar dolar Amerika atau
sekitar 5,1 kali pendapatan negara dan cukai tembakau pada tahun yang sama.20

Di Indonesia sendiri, data yang ada menunjukkan penggunaan tembakau sangat


meningkat dalam tiga dekade terakhir. Berdasarkan Susenas 2004, prevalensi perokok pada
orang dewasa usia 15 tahun keatas adalah 63,1% pada laki-Iaki (meningkat 1,4% dari tahun

18
Lopez AD, Collishaw NE & Piha T. A descriptive model of the cigarette epidemic in developed countries.
Tobacco Control, 1994; 3:242—247.
19
The World Bank Group. Economic of Tobacco Control Ch.6 The Cost and Consequences of Tobacco
Control.2006.
20
Kosen, S. Unpublished Report. Presented in IPHA National Congress. August 2007
2001) dan 4.5% pada wanita (Iebih dari 3 kali lipat prevalensi tahun 2001 yakni sebesar 1,3%)
dengan prevalensi merokok secara keseluruhan telah meningkat dari 31,5% (2001) menjadi
34,4% pada tahun 2004. Pada kelompok anak usia 13 — 15 tahun, data Global Youth Tobacco
Survey (GYTS) pada tahun 2006 menyebutkan bahwa sebesar 13,7% anak usia 13 — 15 tahun di
Jawa adalah pengguna tembakau. Angka yang Iebih tinggi didapatkan di Sumatera yaitu sebesar
22,8% anak usia 13— 15 tahun adalah pengguna tembakau, artinya setiap 1 dari 5 anak usia 13
— 15 tahun di wilayah ini mengkonsumsi tembakau atau rokok setiap harinya.21
Data lain menunjukkan perilaku merokok merupakan hal yang sering ditemui di
lingkungan masyarakat Indonesia. Hasil analisis dari penelitian yang dilakukan pada tahun 2002
pada perokok yang berumur lebih dari 10 tahun di seluruh Indonesia, menunjukkan bahwa
prevalensi merokok nasional sebesar 27,7 %. 22
Adapun data Tobacco Atlas tahun 2012 menunjukkan bahwa Indonesia masih merupakan
salah satu dari lima konsumsi rokok terbanyak, meskipun sudah menduduki peringkat keempat
sejajar dengan Jepang. Persentase di lima negara tersebut yaitu Cina (38%), Rusia (7%).
Amerika Serikat (5%), Indonesia dan Jepang (4%). Proporsi perokok setiap hari pada laki-laki
lebih banyak dibandingkan perempuan (47,5% : 1,1%). 23
Prevalensi merokok pada penduduk Jawa Tengah mengalami peningkatan setiap
tahunnya dan tren peningkatan terjadi pada penduduk Jawa Tengah berusia di atas 15 tahun.
Pada tahun 2010, jumlah penduduk Jawa Tengah yang merokok terbanyak terjadi pada usia
muda yaitu 12,4% (10-14 tahun), 41,6% (15-19 tahun) dan 20,2% (20-24 tahun).24
Kota Semarang merupakan ibu kota dari Provinsi Jawa Tengah. Walaupun bukan
termasuk dalam 10 kabupaten/kota yang memiliki prevalensi merokok setiap hari di atas rata-
rata, Semarang tetap memiliki dampak yang cukup besar terhadap peningkatan jumlah perokok

21
Global Youth Tobacco Šurvey (GYFS) 2006. Diakses di http: / / www.cdc.gov / tobacco/global /GYTS/factsheets
/searo/2006/ IndonesiaSumatera_facsheet.html& http:/ /www.cdc.gov/tobacco /global/GYTS/factsheets
/searo/2006/ IndonesiaJava_facsheet.html pada tanggal 3 Desember 2007.
22
Sirait, M.A. dkk. Perilaku merokok di Indonesia. Jurnal Fakultas Kesehatan Masyarakat. Medan : USU. 2001.
23
Riskesdas. Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen
Kesehatan R1. 2013
24
Departemen Kesehatan RI. Profil Tembakau Indonesia. Jakarta : Depkes RI. 2013. Diunduh dari http://tcsc
indonesia.org/wpcontent/upload/2014/02Atlas.pdf
di Jawa Tengah. Di Kota Semarang tercatat sebanyak 18,2% adalah perokok dengan 9,1 batang
rokok perhari. Sedangkan data profil kesehatan Kota Semarang mencatat pada tahun 2011
terdapat 42,3% kasus; jumlah penderita perempuan lebih banyak dibanding dengan penderita
laki-laki. Data Dinas Kesehatan Kota Semarang menyebutkan bahwa perokok remaja mencapai
4,0% dan perokok dewasa mencapai 4,5% dari jumlah penduduk kota Semarang.25

Pengendalian Konsumsi Rokok.


Global.

Pada tahun 2003, Musyawarah Kesehatan Dunia (Health World Assembly) telah
menyepakati Framework Convention on Tobacco Control sebagai traktat internasional
pengendalian ternbakau di seluruh dunia, meliputi 38 pasal aksi global pengendalian
tembakau pada berbagai aspek seperti pengendalian promosi, sponsor dan iklan produk
tembakau; perlindungan bagi perokok pasif, kemasan dan pelabelan kemasan produk
tembakau, pajak dan cukai tembakau serta pemberantasan penyelundupan dan penjualan
ilegal tembakau dan produknya.26
Sampai sekarang, implementasi dari kebijakan pengendalian rokok ini telah
banyak diterapkan di berbagai tempat di seluruh dunia, salah satunya Amerika. Terhitung
sejak 7 Oktober 2011, sebanyak 586 kampus telah menetapkan aturan bebas rokok
maupun tembakau tanpa kecuali, dengan sebuah strategi berkonsep tell, treat, dan train
(Hahn et al.).
Tell atau memberitahukan adalah strategi pertama. Implementasi dari strategi ini
yakni melalui komunikasi, contohnya dengan memasang rambu-rambu berpesan positif
seperti "Selamat datang di kampus bebas tembakau" di tempat-tempat strategis di luar
ruangan, misal di sekitar akses masuk orang-orang atau kendaraan. Kondisi dari rambu-
rambu ini tentunya harus dicek secara berkala atau jika perlu diganti, akibat kemungkinan
kerusakan dan vandalisme. Hal lain yang dapat dilakukan adalah dengan

25
Dinas Kesehatan Kota Semarang. Profil Kesehatan Kota Semarang. 2011
26
Dinas Kesehatan Kota Semarang. Profil Kesehatan Kota Semarang. 2011
memberitahukan kepada para mahasiswa dan karyawan mengenai pemberlakuan kampus
bebas tembakau, serta penyediaan konseling bagi mereka yang ingin berhenti merokok.
Strategi kedua adalah treat atau perlakuan. Perlakuan ini akan menjadi suatu
kombinasi yang tepat bila dijalankan bersama dengan medikasi, konseling, kebijakan,
peningkatan pajak rokok, serta edukasi media. Kebijakan medikasi dan konseling yang
disesuaikan dengan keadaan adalah suatu kunci efektif untuk menolong orang-orang
terbebas dari penggunaan tembakau. Penggunaan berbagai media juga dimanfaatkan
untuk mempromosikan pelayanan pengobatan tembakau, seperti melalui wawancara
radio, tulisan di koran, maupun penyebaran poster-poster bertulisan positif.
Strategi ketiga adalah train atau pelatihan. Para pemangku kebijakan seperti
petinggi universitas, fakultas, berikut para pemimpin mahasiswa (ormawa) dilatih seputar
kebijakan tersebut, misal bagaimana melakukan pendekatan kepada para pelanggar.
Strategi ini bertujuan menjadikan budaya bebas rokok sebagai tanggung jawab bersama.
Para pihak terlatih akan mengingatkan para pelanggar mengenai kebijakan kampus tanpa
tembakau, untuk secara sopan mengajak mereka membuang produk tembakau dan
menggantinya dengan NRT (Nicotine Replacement Theraphy, terapi pengganti nikotin)
berharga murah yang disediakan di sekitar kampus sehingga mengurangi ketergantungan
tanpa mengganggu kenyamanan mereka. Bagi mereka yang menolak kebijakan ini akan
dilaporkan ke Dekan. Sanksi yang diterima antara lain peringatan kedisiplinan, skorsing
sosial, skorsing kedisiplinan, atau masa percobaan tergantung seberapa berat pelanggaran
yang dilakukan.
Sejak diberlakukannya kebijakan tersebut, keinginan berhenti merokok oleh para
mahasiswa dan karyawan meningkat. Terbukti sejumlah 335 orang telah menerima
produk NRT murah yang disediakan oleh kampus selama 2 tahun setelah pemberlakuan
kebijakan tersebut; suatu lonjakan signifikan dari angka sebelumnya yang hanya
berjumlah 33 orang. Ditemukan juga sebanyak lebih kurang 3 orang perokok mengikuti
layanan berhenti merokok dalam sebulan sebelum adanya kebijakan; hal ini kemudian
meningkat menjadi 11 orang perbulan sesudah penerapan kebijakan. Selepas 16 bulan,
diadakan survei follow-up dan tiga perempat dari para perokok telah berhenti merokok
selama lebih dari 3 hari. Terkait mereka yang masih merokok, 50 persen telah
mengurangi penggunaan tembakau dan 92 persen telah menggunakan NRT.27
Selain Amerika, Tiongkok juga telah merasakan manfaat dari kebijakan
pengendalian rokok ini, di mana didapati konsentrasi nikotin pada bangunan-bangunan
dengan larangan merokok terbukti lebih rendah dibanding bangunan-bangunan tanpa
larangan merokok.28
Lebih lanjutnya, penelitian oleh Fallin et al. menemukan bahwa kebijakan bebas
tembakau terbukti berpengaruh terhadapnya berkurangnya laporan pribadi mengenai
second-hand smoking; merokok secara pasif.29

Nasional.
Di Indonesia sendiri, regulasi terkait pengendalian tembakau atau secara spesifik
masalah merokok disusun dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) No. 19 tahun 2003
tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan yang merupakan perubahan dari dua PP
sebelumnya, PP No. 81 Tahun 1999 dan PP No. 38 Tahun 2000. Dicantumkan secara
spesifik dalam PP No.19 Tahun 2003, bahwa peraturan pemerintah ini bertujuan untuk
mencegah penyakit akibat rokok baik bagi individu perokok maupun bagi masyarakat.
Hal-hal yang diatur dalam peraturan ini meliputpengaturan tentang kandungan kadar
nikotin dan tar; persyaratan produksi dan penjualan rokok, persyaratan iklan dan promosi
rokok; serta penetapan kawasan tanpa rokok.30

27
Ellen J. Hahn, PhD, RN et al.2011.The Three Ts of Adopting Tobacco-free Policies on College Campuses. US
National Library of Medicine National Institutes of Health dalam https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc
/articles/PMC4345127/
28
Dr Quan Gan, PhD et al. 2008. Effectiveness of a Smoke-Free Policy in Lowering Secondhand Smoke
Concentrations in Offices in China. US National Library of Medicine National Institutes of Health dalam
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3685721/
29
Brooke L. Bennett et al. 2017. College anti-smoking policies and student smoking behavior: a review of the
literature. US National Library of Medicine National Institutes of Health dalam
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5286782/#CR34

30
Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan
Kemenkes RI menetapkan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) sebagai salah satu
upaya untuk melindungi masyarakat terhadap dampak paparan asap rokok terhadap
kesehatan. KTR adalah ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk melakukan
kegiatan produksi, penjualan, iklan, promosi dan penggunaan rokok. Ruang lingkup KTR
meliputi tempat-tempat umum, tempat kerja tertutup, sarana kesehatan, tempat proses
belajar-mengajar, arena kegiatan anak, tempat ibadah, dan angkutan umum. Sampai
dengan Juni 2014, sebanyak 144 kab/kota di 32 provinsi telah memiliki kebijakan
mengenai KTR.31
KTR telah diberlakukan di Kota Semarang sejak tahun 2009 berdasarkan
Peraturan Walikota (Perwal) Semarang No.12 tahun 2009 yang menyatakan bahwa
tempat-tempat tertentu yang ditetapkan sebagai KTR meliputi: sarana kesehatan, tempat
proses belajar mengajar, arena kegiatan anak, tempat ibadah, angkutan umum.32
Pemerintah Kota Semarang mengeluarkan Peraturan Daerah No. 3 tahun 2013 tentang
Kawasan Tanpa Rokok. Kesehatan masyarakat termasuk program studi yang wajib
menerapkan Kawasan Tanpa Rokok sesuai dengan Perda Kota Semarang Nomor 3 Tahun
2013.33
Berbagai peraturan yang ditetapkan baik pemerintah maupun nonpemerintah
dimaksudkan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat, karena kesehatan merupakan
aspek yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu, dibutuhkan
kerjasama dan partisipasi antara pihak yang terkait.34 World Health Organization (WHO)
menetapkan “Hari Bebas Tembakau Sedunia” yang diperingati setiap tanggal 31 Mei.
Perguruan Tinggi merupakan salah satu sarana pendidikan yang menurut Peraturan
Pemerintah Nomor 109 tahun 2012 merupakan Kawasan Bebas Asap Rokok.35

31
Kementerian Kesehatan RI. Profil Kesehatan Tahun 2013. Jakarta: Kemenkes. 2013
32
Peraturan Walikota (Perwal) Semarang No.12 tahun 2009
33
Emmy Riyanti dkk. 2016. Evaluasi Penerapan Kebijakan Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 3 Tahun 2013
Tentang Kawasan tanpa Rokok (KTR) pada Program Studi Kesehatan Masyatakat di Perguruan Tinggi Kota
Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat (e-Journal)Volume 4, Nomor 5, Oktober 2016 (ISSN: 2356-3346)
34
Aditama. Kesehatan dan Keselamatan Kerja. Jakarta : Universitas Indonesia. 2006.
35
Peraturan Pemerintah Nomor 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa
Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
Dasar Hukum Penerapan KTR

1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pasal


113-116 dan ketentuan pidana pada pasal 199.
a. Pasal 113 tentang Pengamanan Penggunaan Bahab yang Mengandung Zat Adiktif
b. Pasal 114 tentang Peringatan Kesehatan
c. Pasal 115 tentang Kawasan Tanpa Rokok
d. Pasal 116 tentang Ketentuan Lebih Lanjut melalui Penetapan Peraturan Pemerintah
2. Instruksi Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 161/Menkes/Inst/III/1990
tentang Lingkungan Kerja Bebas Asap Rokok.
3. Instruksi Menteri Pedidikan dan Kebudayaan RI Nomor 4/U/1997 tentang Lingkungan
Sekolah Bebas Rokok.
4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen.
5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian
Pencemaran Udara.
7. Instruksi Menteri Kesehatan Nomor 84/Menkes/Inst/II/2002 tentang Kawasan Tanpa
Rokok di Tempat Kerja dan Sarana Kesehatan.
8. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan
Rokok bagi Kesehatan.
9. Undang-Undang Republik Indonesia Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
10. Peraturan Walikota Semarang Nomor 12 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok
(KTR) dan Kawasan Terbatas Merokok (KTM) Kota Semarang.
11. Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 3 Tahun 2013 tentang Kawasan Tanpa Rokok.
Penerapan KTR di Undip.
Di Undip, terdapat dua lokasi yang telah secara sah menjadi KTR, yakni FKM dan
Student Center (pusat berkumpulnya mahasiswa). Terkait keberlangsungannya, penerapan KTR
di FKM sudah semakin membaik dari tahun ke tahun. Jangankan rambu, fasilitas penunjang
seperti bilik merokok juga telah tersedia, tepatnya di pos satpam halaman depan Gedung
Dekanat. Hal ini cukup bertolak belakang dengan kondisi Student Center, di mana hasil
observasi pengkaji menemukan mayoritas mahasiswa bahkan belum mengetahui identitas KTR
Student Center. Kemungkinan akibat kurangnya media promosi; tidak terdapat rambu maupun
plang yang menandakan bahwa SC adalah KTR. Yang ada hanyalah lembaran-lembaran kertas
dengan warna memudar sehingga kurang menarik secara visual dan menimbulkan kesan tidak
tegas. Mungkin juga akibat kecenderungan pengunjung SC yang beragam, lain halnya dengan
FKM yang memang didiami oleh mahasiswa kesehatan; tentu memiliki pengetahuan dan
kesadaran yang lebih tinggi mengenai dampak yang ditimbulkan rokok.
Tak sampai situ, regulasi terkait Student Center sebagai Kawasan Tanpa Rokok ini
sebenarnya telah ditegakkan sejak tiga tahun lalu melalui Peraturan Rektor Nomor 11 Tahun
2015.36 Namun demikian, berkas dari peraturan ini bahkan sudah tidak lagi dapat ditemukan di
laman PPID (Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi), sehingga membatasi mahasiswa
untuk dapat mengorek informasi lebih dalam terkait hal ini.
Penegasan KTR di Undip.
KTR merupakan suatu usaha mengendalikan dampak dari paparan asap rokok. Alih-alih
melindungi si perokok itu sendiri, upaya ini lebih ditujukan untuk melindungi hak dari perokok
pasif untuk menghirup udara bersih.37
Sudah selayaknya bagi Universitas Diponegoro sebagai salah satu perguruan tinggi
terbesar di Indonesia untuk menegaskan kembali pemberlakuan KTR ini di lingkungan
kampusnya, terlebih regulasi terkait KTR di Kota Semarang sudah diatur oleh perda setempat

36
http://icampusindonesia.com/2016/12/18/sc-undip-berhasil-menjadi-kawasan-tanpa-rokok-ktr/
37
Kementerian Kesehatan RI. Profil Kesehatan Tahun 2013. Jakarta: Kemenkes. 2013
sejak tahun 2013.38 Kesaksian sejumlah pengunjung Student Center yang tidak mengetahui ke-
KTR-an Student Center dan bahkan apa itu KTR menunjukkan perlunya pencerdasan lebih
terkait KTR serta keberadaannya di Universitas Diponegoro.
Langkah-langkah yang dapat ditempuh oleh Pihak Rektorat untuk menegaskan kembali
KTR di Student Center antara lain:

1. Penerbitan kembali Peraturan Rektor Nomor 11 Tahun 2015 yang memuat regulasi
tentang SC KTR di PPID (Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi)
2. Membiayai pemasangan plang larangan merokok, bilik merokok, dan/atau aksesoris
penunjang KTR lain yang lebih terlihat oleh pengunjung

Dengan demikian, regulasi mengenai KTR ini tidak lagi hanya menjadi suatu dasar
hukum yang bahkan tidak diketahui eksistensinya oleh mayoritas mahasiswa, akan tetapi dapat
lebih nyata dan tegas.
Mahasiswa juga dapat turut berperan dalam penyebarluasan informasi terkait KTR, entah
secara lisan maupun media. Secara berkesinambungan, ketika nantinya perangkat pendukung
KTR di SC telah difasilitasi oleh pihak Rektorat, tentu akan lebih mudah dalam menegur dan
mengingatkan oknum-oknum yang melanggar aturan tersebut.

38
Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 3 Tahun 2013 tentang Kawasan Tanpa Rokok.
Penutup.
Sebagai salah satu usaha melindungi hak atas udara bersih sekaligus langkah pencegahan
penyakit bagi semua orang, KTR perlu dilaksanakan. Dengan adanya Kawasan Tanpa Rokok,
kita telah memberikan hak atas kebebasan dari asap rokok, pun tidak menghalangi orang-orang
yang ingin merokok dalam menuntaskan hajat mereka.
Diberlakukannya KTR di Universitas Diponegoro merupakan suatu bentuk penegakan
kembali hukum-hukum yang telah ada, salah satunya dengan Peraturan Rektor Universitas
Diponegoro No. 11 tahun 2015 tentang Student Center KTR. Diharapkan kajian ini dapat
menjadi cerminan bagi kita untuk bisa menegakkan KTR di Universitas Diponegoro secara
optimal.
DAFTAR PUSTAKA
1
Sirait, M.A. dkk. Perilaku merokok di Indonesia. Jurnal Fakultas Kesehatan Masyarakat.
Medan : USU. 2001. 2
2
Tinuk Istiarti dkk. 2016. Hubungan Penerapan Kawasan tanpa Rokok (KTR) dengan Perilaku
Merokok Mahasiswa Kesehatan Masyatakat di Kota Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat
(e-Journal)Volume 4, Nomor 3, Juli 2016 (ISSN: 2356-3346)
3
UU No. 36 Tahun 2009
4
Peraturan Walikota Semarang No. 12 Tahun 2009
5
Rachrisa. SC Undip Berhasil menjadi Kawasan Tanpa Rokok. Diterbitkan 18 Desember 2016
(http://icampusindonesia.com/2016/12/18/sc-undip-berhasil-menjadi-kawasan-tanpa-rokok-
ktr/)
6,15
PP RI No. 81 Tahun 1999 dalam http://eprints.undip.ac.id/44906/
7,9
PP RI No. 109 Tahun 2012
8,12
Sitepoe, 2000 dalam http://digilib.unila.ac.id/9753
10
Sudiono,2008 diakses melalui (http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/13710/
Bab%20II% 0Tinjauan% 20Pustaka.pdf?sequence=3&isAllowed=y)
11
Infopom, 2015 dalam http://repository. umy.ac.id/bitstream /handle/123456789/13710
/Bab%20II%20Tinjauan%20Pustaka.pdf?sequence=3&isAllowed=y
13
Susanna et al, 2003 dalam http://digilib.unila.ac.id/9753/
14
Yanbaeva et al, 2007
16
World Health Organization. WHO Report on the Global Tobacco Epidemic, 2008. The
MPOWER Package. Geneva, World Health organization. 2008.
17
Gajalakshmi CK et al. Global patterns of smoking and smoking-attributable mortality. in: Jha
P & Chaloupka F, eds. Tobacco control in developing countries. Oxford University Press,
2000:11—39.
18
Lopez AD, Collishaw NE & Piha T. A descriptive model of the cigarette epidemic in
developed countries. Tobacco Control, 1994; 3:242—247.
19
The World Bank Group. Economic of Tobacco Control Ch.6 The Cost and Consequences of
Tobacco Control.2006.
20
Kosen, S. Unpublished Report. Presented in IPHA National Congress. August 2007
21
Global Youth Tobacco Šurvey (GYFS) 2006. Diakses di http: / / www.cdc.gov /
tobacco/global /GYTS/factsheets /searo/2006/ IndonesiaSumatera_facsheet.html& http:/
/www.cdc.gov/tobacco /global/GYTS/factsheets /searo/2006/ IndonesiaJava_facsheet.html
pada tanggal 3 Desember 2007.
22
Sirait, M.A. dkk. Perilaku merokok di Indonesia. Jurnal Fakultas Kesehatan Masyarakat.
Medan : USU. 2001.
23
Riskesdas. Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan, Departemen Kesehatan R1. 2013
24
Departemen Kesehatan RI. Profil Tembakau Indonesia. Jakarta : Depkes RI. 2013. Diunduh
dari http://tcsc indonesia.org/wpcontent/upload/2014/02Atlas.pdf
25
Dinas Kesehatan Kota Semarang. Profil Kesehatan Kota Semarang. 2011
26
Dinas Kesehatan Kota Semarang. Profil Kesehatan Kota Semarang. 2011
27
Ellen J. Hahn, PhD, RN et al.2011.The Three Ts of Adopting Tobacco-free Policies on
College Campuses. US National Library of Medicine National Institutes of Health dalam
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc /articles/PMC4345127/
28
Dr Quan Gan, PhD et al. 2008. Effectiveness of a Smoke-Free Policy in Lowering Secondhand
Smoke Concentrations in Offices in China. US National Library of Medicine National
Institutes of Health dalam https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3685721/
29
Brooke L. Bennett et al. 2017. College anti-smoking policies and student smoking behavior: a
review of the literature. US National Library of Medicine National Institutes of Health dalam
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5286782/#CR34
30
Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan
31
Kementerian Kesehatan RI. Profil Kesehatan Tahun 2013. Jakarta: Kemenkes. 2013
32
Peraturan Walikota (Perwal) Semarang No.12 tahun 2009
33
Emmy Riyanti dkk. 2016. Evaluasi Penerapan Kebijakan Peraturan Daerah Kota Semarang
Nomor 3 Tahun 2013 Tentang Kawasan tanpa Rokok (KTR) pada Program Studi Kesehatan
Masyatakat di Perguruan Tinggi Kota Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat (e-
Journal)Volume 4, Nomor 5, Oktober 2016 (ISSN: 2356-3346)
34
Aditama. Kesehatan dan Keselamatan Kerja. Jakarta : Universitas Indonesia. 2006.
35
Peraturan Pemerintah Nomor 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung
Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
36
http://icampusindonesia.com/2016/12/18/sc-undip-berhasil-menjadi-kawasan-tanpa-rokok-ktr/
37
Kementerian Kesehatan RI. Profil Kesehatan Tahun 2013. Jakarta: Kemenkes. 2013
38
Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 3 Tahun 2013 tentang Kawasan Tanpa Rokok.

Anda mungkin juga menyukai