Anda di halaman 1dari 35

ARTIKEL ILMIAH

FAKTOR PRODUKSI DAN TEKNOLOGI DI INDONESIA SEBAGAI


PENDORONG PENGEMBANGAN POTENSI WILAYAH

OLEH :
SURTI
NIDN 1114078903

PROGRAM STUDI ILMU EKONOMI DAN STUDI PEMBANGUNAN


FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS ACHMAD YANI
BANJARMASIN
2021
DAFTAR ISI

Abstrak …………………………………………………………………………………..1
I. Pendahuluan ……………………………………………………………………….. 2
II. Analisis dan Pembahasan ………………………………………………………… 7
2.1 Peranan Faktor Produksi dan Teknologi ……………………………………. 7
2.1.1 Faktor Produksi Tanah atau Lahan …………………………..…….. 8
2.1.2 Faktor Produksi Tenaga Kerja …..…………………………………. 11
2.1.3 Faktor Produksi Teknologi ………...……………………………….. 13
2.1.4 Faktor Produksi Kewirausahaan …………...……………………… 19
2.2 Pengembangan Wilayah Berbasis Faktor Produksi dan Teknologi ……. 22
2.3 Konsep Pengembangan Wilayah Berdasarkan Keunggulan Kompetitif .. 23
2.4 Pendekatan Berbasis Potensi Lokal Sebagai Paradigma
Baru Pembangunan ……………………………………………………...….. 25
III. Penutup ……………………………………………………………………………. 29
Kesimpulan ………………………………………………………………………… 29
Saran ……………………………………………………………………………….. 30
Daftar Pustaka ………………………………………………………………………… 31
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.2 PDRB Provinsi di Indonesia Berdasarkan Wilayah ……...………….. 6

Gambar 2.1 Pesebaran Sumberdaya Tambang di Indonesia ……………………. 8

Gambar 1.2. Pesebaran Hasil Bumi Pertanian di Indonesia ……….…………… 10

Gambar 2.3 Tenaga Kerja Berdasarkan Level Skill dan Provinsi Tahun 2020 .. 12

Gambar 2.4 Sebaran Industri Besar di Indonesia 2020 …………………………. 14

Gambar 2.5 Jumlah produk teknologi yang dihasilkan Lembaga

tahun 2013-2015 …………..………………………………………….. 16

Gambar 2.6 Pemetaan Kekuatan Institusi IPTEK Setiap Provinsi ……………... 16

Gambar 2.7 Sebaran PUI di Indonesia Berdasarkan Provinsi dan Koridor

Tahun 2016 ………………………………………………………...…. 17

Gambar 2.8 Sebaran STP Berdasarkan Area di Indonesia Tahun 2016 ……… 18

Gambar 2.9 Daya Saing Antar Provinsi di Indonesia Tahun 2020 …………..… 20

Gambar 2.10 Provinsi dengan UMKM Terbanyak Tahun 2020 ………………… 21


DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Pengembangan Wilayah Berbasis Teknologi dan Konvensional ….… 27


I. PENDAHULUAN

Potensi ekonomi setiap wilayah tidak memiliki kesamaan atau berbeda

sehingga kegiatan ekonominya pun tergolong beragam antar wilayah. Demi

mendorong pengembangan wilayah yang maju maka pembangunan dewasa ini

diarahkan berdasarkan potensi wilayah masing-masing. Pembangunan wilayah

dengan mengedepankan potensi wilayah itu sendiri adalah suatu sinergitas antara

pemerintah di wilayah tersebut dengan para stakeholders dari jenjang paling bawah

dalam bentuk kemitraan agar mampu mengelola potensi wilayah secara optimal dan

berkelanjutan. Menurut Kusdiana (2007) bahwa pelaku ekonomi pada umumnya

memilih lokasi berdasarkan ketersediaan faktor produksi dan teknologi demi

kelangsungan kegiatan ekonominya. Sehingga kegiatan produksi relatif terpusat

kepada wilayah-wilayah dengan ketersediaan faktor produksi yang cukup besar dan

mendapat transfer teknologi yang mudah. Perbedaan dalam hal ketersediaan dan

distribusi faktor produksi dan teknologi ini kerap membuat tingkat kesejahteraan

masing-masing wilayah menjadi berbeda. Faktor produksi sendiri terdiri atas empat

komponen utama menurut Harahap (2009) yakni:

a) Lahan atau tanah, yakni sumberdaya alam yang dipergunakan dalam

memproduksi barang atau jasa. Sumber daya alam yang berasal dari tanah ini

juga termasuk yang terkandung di dalamnya seperti batubara, minyak, gas, dan

komoditas lain seperti tembaga dan perak atau bahan baku yang digunakan dalam

berproduksi.

b) Tenaga kerja, yakni manusia atau setiap orang yang memiliki tanggungjawab

untuk melakukan produksi baik barang maupun jasa, seperti buruh pabrik,

manager pabrik, pemasar maupun perancang mesin produksi.

1
c) Modal, yakni apa saja yang dibutuhkan dalam berproduksi termasuk diantaranya

teknologi.

d) Kewirausahaan, merupakan visioner dan inovator di balik seluruh proses produksi.

Dimana kekuatan untuk menggabungkan semua faktor produksi kemudian

membuat konsep dan kemudian menghasilkan produk atau jasa dengan standar

tertentu. Wirausaha diyakni mampu pendorong pertumbuhan ekonomi.

Sementara itu Masyhuri (2007) juga membagi faktor produksi menjadi empat

hal yakni lahan atau tanah, modal, tenaga kerja serta manajemen. Lahan dan tenaga

kerja kerap disebut input utama (mather is input) sementara itu modal dan manajemen

merupakan hasil turunan dari input utama atau disebut faktor kedua (father is input).

Penjelasan masing-masing input atau faktor produksi menurut Masyhuri adalah

sebagai berikut :

a) Bahan Baku, biasanya dibeli atau dicari dari suatu tempat atau perusahaan lain

yang menyediakannya untuk melakukan proses produksi. Istilah bahan baku disini

dibatasi pada bahan fisik sebagai input produksi secara langsung (direct

materials). Sementara bahan baku yang sifatnya tidak langsung namun penting

dalam proses produksi misalnya bahan bakar untuk pabrik, alat kebersihan pabrik

dan sebagainya yang tidak langsung digunakan untuk proses produksi (Skousen,

2009).

b) Modal disini memiliki peranan yang sangat penting sebagai faktor produksi jika

dibandingkan faktor produksi yang lain. Modal memiliki peranan dalam

penyediaan lahan, bahan baku dan teknologi. Menurut Bakker dalam Riyanto

(1995) mendefinisikan modal merupakan barang-barang yang berwujud yang ada

dalam perusahaan dan dalam laporan neraca berada di posisi debit, modal juga

merupakan daya beli maupun nilai tukar akan barang-barang yang disebutkan

2
tersebut. Sementara itu, ahli ekonomi menyatakan bahwa modal adalah asset

perusahaan yang mempunyai kegunaan pada proses produksi saat ini dan

kedepannya. Modal juga diartikan sebagai asset yang dimiliki perusahaan dan

digunakan untuk meningkatkan keuntungan bagi perushaan tersebut. Modal

sebagai keuntungan tadi dapat digunakan untuk meraih tujuan dilakukan usaha

yakni :

a. Untuk membeli tanah dan bangunan untuk usaha.

b. Untuk membeli persediaan bahan produksi.

c. Untuk membeli mesin, peralatan termasuk teknologi.

c) Tenaga Kerja disini juga terkait keterampilan, kemampuan dan keahlian yang

dimiliki tenaga kerja itu sendiri. Berdasarkan keahlian dan pendidikan, maka

tenaga kerja dibedakan menjadi : a) Tenaga kerja dengan pendidikan rendah dan

atau tidak mempunyai keahlian apapun disebut sebagai tenaga kerja kasar; b)

Tenaga kerja dengan keahlian pada bidang atau sektor tertentu yang dia peroleh

dari hasil pelatihan disebut tenaga kerja terampil; c) Tenaga kerja denagan

kualifikasi pendidikan di jenjang yang tinggi dan memiliki keahlian pada bidang

ilmu tertentu seperti dokter, banker, atau arsitek disebut sebagai tenaga kerja

terdidik (Sukirno, 2005). Tenaga kerja (Labor) perlu mendapat perhatian dalam

pelaksanaan kegiatan produksi karena tidak hanya terkait jumlah tenaga kerja

yang memadai namun juga kualitas tenaga kerja itu sendiri termasuk jenis kelamin

tenaga kerja karena jenis pekerjaan yang dapat dilakukan perempuan berbeda

dengan laki-laki. Istilah yang luas mengenai tenaga kerja adalah terkait mengenao

setiap manusia yang mampu bekerja dalam menghasilkan barang maupun jasa

untuk kebutuhan pribadi atau masyarakat secara umum seperti yang termaktub

dalam UU No. 13 yang dikeluarkan pada tahun 2013 lalu dan membahas terkait

3
Ketenagakerjaan. Dalam undang-undang tersebut disebutkan salah satu ukuran

penggunaan tenaga kerja adalah produktivitas yang dihasilkan setiap tenaga

kerja. Dalam hal ini perlu adanya pengoptimalan tenaga kerja dalam berbagai

constrains atau Batasan tertentu, dan bukan memaksimalkan. Menurut Simon

dalam Handoko (2011) bahwa istilah satisficing atau kepuasan saat dimana

prestasi sebuah entitas atau perusahaan dalam mempertahankan

keberlangsungannya dan terus bergerak tumbuh.

d) Teknologi (Mesin) adalah faktor yang dominan dalam suatu produktivitas dan

berpengaruh dalam proses produksi. Pengertian teknologi memiliki banyak makna

yakni : a) sebagai aplikasi ilmu pengetahuan untuk menyelesaikan segala masalah

yang dialami manusia. Teknologi dalam arti sempit dimaknai sebagai proses, alat,

metode, pekakas yang digunakan dalam proses produksi dalam menghasilkan

suatu produk baik barang/jasa; b) Teknologi pabrik, memiliki tiga level yakni level

dasar atau home-made dimana manusia sebagai sumber tenaga dan yang

berperan mengendalikan alat-alat yang digunakan meski demikian keberadaan

manusia masih diperlukan untuk memberi kendali akan mesin tersebut. Level

ketiga, dimana mesin sebagai sumber penyedia tenaga sekaligus mengendalikan

secara otomatis. Input tenaga kerja dan teknologi bersifat subtitusi dimana

perusahaan memiliki pilihan untuk menggunakan teknologi atau manusia dalam

berproduksi. Demikian lahan dan modal juga bersifat subtitusi lahan yang terbatas

dapat digantikan dengan modal.

Federal Reserve Bank of St Louis dalam Handoko (2011) mendefinisikan

faktor-faktor produksi sebagai sumber daya yang digunakan setiap orang untuk

menghasilkan barang dan jasa. Jika efisiensi faktor produksi dpaat ditingkatkan maka

perusahaan mampu menghasilkan lebih banyak output yang lebih berkualitas dengan

4
harga pasaran lebih terjangkau. Peningkatan produksi ini menurut Federal Reserve

bank of St. Louis dapat diukur dari Produk Domestik Bruto atau PDB atau PDRB di

tingkat daerah yang menggambarkan jumlah keseluruhan dari produksi baik barang

maupun jasa yang dihasilkan dalam perekonomian wilayah tersebut. Meningkatnya

pertumbuhan perekonomian akan membuat standar hidup (living of live) masyarakat

di wilayah tersebut juga meningkat. Peningkatan living of live ini akan mendorong

biaya produksi yang semakin rendah dan upah meningkat. Di Indonesia, PDRB

provinsi-provinsi terlihat mengalami kesenjangan yang cukup luas antara provinsi-

provinsi di pulau Jawa yang memiliki PDRB lebih tinggi dbandingkan provinsi lain.

Dapat dikatakan standart of live di provinsi dengan PDRB lebih tinggi tersebut lebih

tinggi dbanding provinsi lain, dengan kata lain kesejahteraan masyarakat belum

dirasakan secara menyeluruh bagi seluruh wilayah di Indonesia.

Gambar 1.2 PDRB Provinsi di Indonesia Berdasarkan Wilayah

Sumber : BPS Indonesia (data diolah)

5
Gambar 1.2 mengambarkan bahwa PDRB terbesar dihasilkan oleh DKI

Jakarta, disusul oleh Jawa Timur kemudian Jawa Barat di posisi tertinggi ketiga dan

Jawa Tengah di posisi keempat dalam hal PDRB. Sementara provinsi dengan PDRB

terendah berada di Provinsi Maluku Utara kemudian Gorontalo dan Maluku. Merujuk

pada teori Federal Reserve Bank of St Louis, Kondisi PDRB Indonesia bagian barat

khusunya Pulau Jawa yang lebih baik mengindikasikan bahwa faktor produksi

termasuk teknologi sebagai faktor penting dalam menghasilkan barang dan jasa

terpusat pada satu wilayah. Sehingga perlu penyeimbang berupa kebijakan

pemerintah dalam hal meningkatkan kuantitas dan kualitas faktor produksi di wilayah

lain agar masalah kesenjangan pertumbuhan ekonomi ini dapat segera teratasi.

Selain itu, dalam melakukan investasi pemerintah harus memahami potensi lokal

wilayah objek, sehingga investasi tersebut tepat guna. Sumberdaya alam merupakan

anugerah dari Tuhan, sehingga manusia hanya mampu mengelola dan

memanfaatkan anugerah tersebut dengan sebaik-baiknya. Namun, manusia melalui

pemerintah dan pelaku usaha dapat meningkatkan kapasitas produksi, meningkatkan

kuantitas dan kualitas faktor produksi yang akan mendorong pengembangan potensi

lokal yang dimiliki oleh wilayah tersebut. Kondisi ini harus menjadi perhatian bagi

seluruh stakeholder baik ditingkat pusat maupun daerah dalam melakukan kebijakan

khususnya investasi yang tepat demi memajukan perekonomian dan pengembangan

potensi lokal tersebut.

II. ANALISIS DAN PEMBAHASAN

2.1 Peranan Faktor Produksi dan Teknologi

Sumberdaya yang dipergunakan sebagai input dalam menciptakan barang

maupun jasa dalam suatu perekonomian disebut faktor produksi. Harahap (2009)

telah menjelaskan diatas bahwa faktor-faktor produksi diperlukan oleh sebuah

6
perusahaan atau entitas untuk mendapatkan keuntungan secara ekonomi dikemudian

hari. Peranan faktor produksi dan teknologi sendiri dijelaskan sebagai berikut :

2.1.1 Faktor Produksi Tanah atau Lahan

Sumberdaya berbentuk fisik seperti lahan atau tanah serta seluruh

sumberdaya yang terkandung diatas dan didalamnya mempengaruhi kapasitas dan

potensi pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Sumberdaya disini dapat berupa

kesuburan lahan yang tinggi kemudian kandungan yang ada di dalam lahan tersebut

seperti bahan mentah atau bahan baku dengan nilai ekonomis tinggi, maupun kualitas

dan jumlah mineral atau bahan tambang yang berharga di dalamnya. Dalam

pengembangan potensi wilayah, setiap pemerintah daerah mesti mempertimbangkan

ketersediaan faktor produksi yang satu ini yang diyakini sebagai potensi yang dimiliki

daerah tersebut. Stakeholder dan pemerintah daerah harus bersinergi dalam

mengoptimalkan potensi yang ada dengan sebaik mungkin dan berkelanjutan.

Pesebaran sumberdaya berupa kekayaan alam di wilayah-wilayah Indonesia sangat

bervariasi antar wilayah. Pesebarannya dapat dilihat pada Gambar 2.1 dan 2.2

berikut.

Gambar 2.1 Pesebaran Sumberdaya Tambang di Indonesia

Sumber : Badan Geospasial Indonesia 2019

7
Gambar 2.1 menjelaskan bahwa sumberdaya alam berupa hasil tambang

memang paling besar tersebar di Pulau Jawa dan Sumatera. Hampir semua jenis

bahan tambang dapat ditemukan wilayah ini. Berbeda dengan Pulau Kalimantan,

Sulawesi dan papua yang memiliki jenis bahan tambang yang kurang variatif. Meski

demikian ketersediaan bahan tambang tersebut terbilang melimpah. Sebut saja

batubara di pulau Kalimantan yang memberikan kontribusi yang besar terhadap PDB

sektor ini di Indonesia. Kementrian ESDM (2020) menyatakan Tanah di Pulau

Kalimantan masih memiliki cadangan potensial batubara sebesar 62,1 persen dari

total di Indonesia atau sebesar 88,3 miliar ton bahan tambang dan 25,84 miliar ton

cadangan batubara. Kemudian menurut BPS, 2019 bahwa pertambangan emas oleh

PT. Freeport di Papua yang mampu memproduksi kurang lebih 3 juta ton emas

pertahunnya. Contoh lain adalah hasil tambang emas dari yang dihasilkan

pertambangan batu hijau di Nusa Tenggara Barat yang mampu memproduksi emas

hingga sebesar 100 kilo Oz dan hasil tembaga mencapai 197 juta pon pertahun

(CNBC Indonesia, 2019). Terkait hal ini perlu adanya reformasi sistem pengelolaan

potensi wilayah agar hasilnya dapat dirasakan masyarakat dan daerah dimana

sumberdaya tersebut berasal sehingga tujuan akhir kesejahteraan masyarakat akan

lebih mudah terealisasi. Namun perlu menjadi perhatian pengembangan wilayah dan

pembangunan ekonomi semestinya juga melihat dampak lingkungan dan

keberlanjutan produksi komoditi tersebut hingga jangka panjang, sehingga sudah

saatnya transformasi komoditi unggulan yang berbahan baku atau bersumber dari

hasil alam yang tidak dapat diperbaharui menjadi komoditi yang dapat diperbaharui

dan ramah lingkungan. Selain kekayaan bahan tambang yang melimpah, Indonesia

juga dilimpahkan kekayaan hasil-hasil pertanian yang besar dan beragam seperti

yang dapat dilihat pada Gambar 1.2 berikut.

8
Gambar 1.2. Pesebaran Hasil Bumi Pertanian di Indonesia

Sumber : Badan Geospasial Indonesia (2019)


Sama halnya dengan kekayaan bahan tambang dan mineral, Gambar 2.2

memperlihatkan bahwa hasil bumi pertanian Indonesia tersebar lebih variatif jenisnya

di Pulau Jawa yang terkenal dengan tanahnya yang subur. Pulau Jawa di anugerahi

dengan potensi kelapa sawit, cokelat, karet, jagung, hasil hutan, padi, kina, dan jenis

palawija lainnya. Kondisi ini disebabkan tingkat kesuburan tanah dipulau Jawa

memang tinggi karena dikelilingi gunung-gunung yang masih produktif yang diakui

sebagai faktor kesuburan tanah. Sementara Pulau Sumatera didominasi dengan

tanaman cokelat, sawit, karet, teh, kelapa dan hasil hutan. Berbeda dengan Pulau

Jawa dan Sumatera yang lebih beragam jenis pertaniannya, di Pulau Kalimantan lebih

di dominasi dengan hasil hutan dan sawit. Adapun pulau Sulawesi mayoritas pertanian

di dominasi oleh tanaman jagung, rotan dan kelapa. Sementara untuk Pulau Papua

seperti yang kita ketahui komoditas pertanian yang besar adalah sagu. Melihat potensi

pertanian ini semestinya dukungan pemerintah dalam pengembangan pembangunan

wilayah memberikan kesempatan kepada petani khususnya yang mengelola hasil

9
alam potensial ini agar lebih meningkat produktivitasnya. Percepatan pembangunan

pertanian-pertanian dengan komoditas unggulan termasuk diversifikasi hasil

pertanian yang mampu meningkatkan nilai tambah produk pertanian harus di dukung

dengan iklim usaha tani yang menguntungkan petani dan pelaku usaha tani lainnya.

Teknologi tepat guna di sektor pertanian juga dapat menjadi solusi peningkatan

produktivitas komoditi unggulan ini.

2.1.2 Faktor Produksi Tenaga Kerja

Indonesia merupakan sebuah negara dengan banyak pulau sehingga dikenal

sebagai negara kepulaun paling besar di dunia. Indonesia membentang di garis

khatuliswa, terletak di antara benua Asia dan Australia, kemudia diantara Samudera

Hindia hingga Pasifik. Indonesia terdiri dari 16.056 pulau dengan lima pulau besar

yang kemudian terbagi ke dalam 34 provinsi yang kemudian dibagi lagi menjadi 98

kota dan 416 kabupaten. Berdasarkan data BPS (2020) menyatakan penduduk

Indonesia mencapai lebih dari 270 juta jiwa dan membuat negara Indonesia

menduduki posisi keempat di dunia dalam hal jumlah penduduk. Sebesar 56 persen

dari total penduduk yang ada Indonesia berada di Pulau Jawa. Provinsi dengan jumlah

penduduk terbanyak berada di Jawa Barat dengan 49.565,2 jiwa, kemudian Jawa

Timur dengan 39.955,9 jiwa dan Jawa Tengah dengan 34.738,2 jiwa. Adapun Provinsi

Papua Barat memiliki penduduk terkecil dengan 986 jiwa. Sedangkan diukur dari

kepadatan jumlah penduduk, maka Provinsi DKI Jakarta menjadi wilayah terpadat

dengan kepadatan penduduk sebesar 15.478 penduduk per km2. Sementara Papua

Barat dan Kalimantan Utara merupakan provinsi yang paling jarang penduduk, hanya

9 penduduk per km2.

Selain sumberdaya alam berupa tanah atau lahan, tenaga kerja atau SDM juga

sangat berpengaruh terhadap kemampuan suatu wilayah dalam mengembangkan

10
potensi wilayah yang dimilikinya. Barometer efektifitas suatu proses produksi dalam

menghasilkan output kerap diukur berdasarkan produktivitas tenaga kerjanya.

Sehingga dalam pengembangan potensi wilayah tidak cukup dengan jumlah tenaga

kerja yang besar saja, namun juga terkait tenaga kerja yang terampil dan terdidik.

Keterampilan dan keahlian yang dimiliki oleh seseorang seperti yang dijelaskan oleh

Sukirno, 2005 pada bab sebelumnya sangat berpengaruh dalam pengelolaan potensi

wilayah yang dimiliki termasuk efisiensi dan efektifitas proses produksi. Gambar 2.3

menunjukkan Level of Skill Tenaga Kerja berdasarkan provinsi di Indonesia.

Gambar 2.3 Tenaga Kerja Berdasarkan Level Skill dan Provinsi Tahun 2020

Sumber : Pustadinaker 2020 (data diolah)


Gambar 2.3 menjelaskan bahwa Indonesia di dominasi oleh tenaga kerja yang

memiliki keahlian yang bersifat semi-skill atau dengan keahlian level sedang. Tenaga

kerja yang berkeahlian ini paling banyak tersebar di provinsi Jawa Barat, kemudian

Jawa Timur di posisi kedua dan Jawa Tengah di posisi ketiga. Jawa Barat menjadi

provinsi yang memiliki jumlah tenaga kerja kategori skilled terbanyak yakni sebanyak

2.552.494 orang atau sekitar 18,54 persen dari total tenaga kerja skilled. Untuk

11
kategori Semi-skilled paling banyak tersebar di jawa Timur dengan jumlah sebanyak

14.482.168 orang atau 16,16 persen dari total tenaga kerja di Indonesia kategori semi-

skilled. Selanjutnya, untuk kategori Basic-skilled berada paling banyak di Provinsi

Jawa Barat sebanyak 4.716,.967 orang atau sekitar 19,23 persen dari total tenaga

kerja Indonesia dengan kategori basic-skilled. Melihat kondisi yang mengindikasikan

terkonsentrasinya tenaga kerja dengan keahlian di Pulau Jawa, maka perlu adanya

transfer Ilmu pengetahuan dan rotasi tenaga ahli ke wilayah-wilayah lain di Indonesia

berdasarkan potensi wilayah masing-masing. Agar keahlian yang dimiliki tenaga kerja

ini mampu berkontribusi dalam pengembangan wilayah sesuai keahliannya masing-

masing.

2.1.3 Faktor Produksi Teknologi

Dewasa ini, kita tidak dapat memungkiri kehadiran teknologi sangat

berkontribusi signifikan dibidang industri maupun kegiatan bisnis diseluruh dunia.

Teknologi juga mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Di level

mikro, perubahan struktur industri misalnya dari pertanian menuju industri pengolahan

serta peningkatan daya saing suatu negara tidak lepas dari pemanfaatan teknologi

yang tepat guna. Kemudian di level makro, peningkatan pembangunan ekonomi yang

berkontribusi langsung dalam pertumbuhan ekonomi juga tidak terlepas dari

pemanfaatan teknologi. Pengelolaan teknologi yang baik dapat meningkatkan

keunggulan kompetitif (Competitive Advantage) berbasis pembangunan teknologi itu

sendiri bagi suatu negara secara global (Sharif dalam Radhi, 2010).

Daniel dalam Radhi (2010) menyatakan peningkatan output dipengaruhi oleh

inputnya yakni lahan atau tanah, tenaga kerja dan modal serta manajemen usahanya.

Terdapat fungsi yang berbeda dari input-input tersebut namun memiliki keterkaitan

diantaranya. Kehadiran teknologi yang memiliki peranan dalam menentukan

12
keterkaitan antar input tersebut. Contohnya jika seseorang ingin memproduksi

tanaman pangan dan menginginkan jumlah produksi tertentu maka dengan teknologi

yang digunakan dia dapat menenntukan jumlah tenaga kerja dan modal yang akan

dia gunakan untuk memproduksi tanaman pangan pada luasan lahan yang dia miliki.

Jika dia menginginkan teknologi yang canggih tentu modal yang dia gunakan untuk

membeli atau menggunakan teknologi tersebut lebih besar dibandingkan

menggunakan teknologi lebih sederhana, namun disisi lain dia dapat melakukan

penghematan penggunaan tenaga kerja. Menurut Mubyarto dalam Radhi (2010)

peranan teknologi dalam proses produksi memang layak di apresiasi namun setiap

wilayah perlu mengenali teknologi tepat guna disesuaikan dengan potensi dan

karakteristik wilayah yang tentu memiliki ciri khas tersendiri, sehingga penggunaan

teknologi yang tepat harus perlu di cermati dengan baik. Dalam tulisan ini, Gambar

2.4 menjelaskan pesebaran teknologi di Indonesia yang diproxikan dalam jumlah

industri besar dan menengah di setiap provinsi. Industri besar pada umumnya

menggunakan teknologi yang lebih canggih dan terbarukan dibandingkan industri

kecil dan menengah.

Gambar 2.4 Sebaran Industri Besar di Indonesia 2020

Sumber : BPS Indonesia (data diolah)

13
Gambar 2.4 menjelaskan bahwa provinsi yang memiliki jumlah industri besar

tertinggi di Indonesia adalah Provinsi DKI Jakarta, kemudian disusul Jawa Barat

diposisi kedua dan di posisi ketiga adalah Jawa Timur. Sementara Provinsi Maluku

Utara dan Sulawesi Barat memiliki jumlah industri besar paling sedikit. Setiap Wilayah

atau perusahaan memiliki dua pilihan dalam pengembangan teknologinya, yakni:

Pertama, melalui Invention and Innovation, dan Kedua, melalui transfer atau alih

teknologi. Setiap wilayah atau negara sekalipun akan mengalami dilema dalam

memenuhi akan pilihan penggunaan teknologi, sehingga tidak dapat menggunakan

kedua jenis pilihan. Meskipun ada beberapa negara maju yang dapat melakukan

kombinasi antara dua pilihan tersebut. Berdasarkan kelemahan tersebut, negara

memiliki strategi penerapan teknologi melalui R&D dengan membeli sejumlah strategi

negara lain untuk dikembangkan di dalam negeri atau menggunakan teknologi yang

telah dikembangkan oleh nagara lain (Ramanathan dalam Radhi, 2010). Indonesia

sebagai negara berkembang selain menerapkan proses alih teknologi, juga berupaya

untuk mengembangkan dan menciptakan teknologi yang memiliki manfaat untuk

mengembangkan potensi yang dimiliki oleh negara. Gambar 2.4 merupakan jumlah

produk yang dihasilkan oleh Indonesia berdasarkan badan penelitian dan

pengembangan teknologi. Teknologi yang dihasilkan sejumlah lembaga penelitian di

Indonesia ada yang sudah di komersialisasikan pada kalangan masyarakat luas ada

yang masih perlu penelitian lanjutan atau belum dikomersialisasikan kepada

masyarakat luas.

14
Gambar 2.5 Jumlah produk teknologi yang dihasilkan lembaga tahun 2013-2015

Sumber : Kementerian Riset, Teknologi, Dan Pendidikan Tinggi (2019)


Data dari PDDikti Kemenristekdikti tahun 2017 terdapat 3.539 Perguruan tinggi

di Indonesia dan tersebar di seluruh Provinsi di Indonesia. Keberadaan perguruan

tinggi ini bersama dengan lembaga IPTEK lainnya sangat vital dalam penelitian dan

pengembangan teknologi di Indonesia. Gambar 2.5 menggambarkan peta kekuatan

Institusi IPTEK di Provinsi-provinsi di Indonesia.

Gambar 2.6 Pemetaan Kekuatan Institusi IPTEK Setiap Provinsi

Sumber : Direktorat Kawasan Sains Teknologi dan Kawasan Lainnya Kemenristekdikti

15
Kekuatan lembaga Iptek memang masih besar di Pulau Jawa khususnya Jawa

Barat yang memang dikenal sebagai pusat teknologi di Indonesia dengan 712

lembaga atau institusi IPTEK disusul Jawa Timur dengan 575 lembaga IPTEK.

Sementara itu di Provinsi Gorontalo, lembaga IPTEK merupakan yang terkecil yakni

hanya sebesar 19 institusi. Kemudian, data yang diperoleh dari Direktorat Jenderal

Kelembagaan Iptek dan Dikti Kemenristekdikti menunjukkan bahwa terdapat 72

lembaga riset yang dibina dalam kurun waktu 2012 hingga 2019 dan cenderung

meningkat setiap tahunnya. Tahun antara 2012 hingga 2014 terdapat 4 institusi riset

yang dibina, dan meningkat menjadi 23 institusi di periode tahun 2017 hingga 2019.

27 dari 72 institusi riset yang dibina dalam kurun waktu lima tahun terakhir berhasil

dijadikan Pusat Unggulan Iptek (PUI) yang tersebar pada 8 provinsi di Indonesia

dengan afiliasi pada sejumlah institusi induk seperti kementerian, LPNK, Perguruan

Tinggi maupun badan usaha. Dari 27 PUI ini, sebanyak 55% berlokasi di Provinsi

Jawa Barat. Berikut sebaran PUI tahun 2016 yang dapat dilihat pada Gambar 2.5

berikut.

Gambar 2.7 Sebaran PUI di Indonesia Berdasarkan Provinsi dan Koridor Tahun
2016

Sumber : Direktorat Kawasan Sains Teknologi dan Kawasan Lainnya Kemenristekdikti

16
Gambar 2.5 menjelaskan ada ketimpangan yang cukup signifikan dalam

pesebaran PUI perkoridor antara yang berada di Pulau Jawa dengan PUI yang

terdapat diluar Pulau Jawa. Sebesar 79 persen PUI tersebar di sejumlah provinsi

Pulau Jawa. 28 PUI terbanyak tersebar di sejumlah kota dan kabupaten di Jawa Barat,

kemudian Jawa Timur dan Banten menyusul setelahnya, dengan jumlah PUI masing-

masing sebanyak 10 dan 8 PUI. Sementara selain DKI Jakarta dengan 6 PUI, DI.

Yogyakarta dengan 4 PUI, Sulawesi Selatan dengan 3 PUI dan bali dengan 2 PUI.

Provinsi lain hanya memiliki 1 PUI, dan khusus pulau Kalimantan dan Papua hanya

memiliki 1 koridor di provinsinya.

Guna meningkatkan dan menjamin keberlanjutan pertumbuhan ekonomi maka

penting untuk melakukan penelitian, pengembangan kemudian penguasaan hingga

menerapkan hasil temuan IPTEK yang sesuai di Indonesia. Pemerintah dan

Association of Science Parks, juga membuat kawasan sains dan teknologi (Science

and Techno Park/STP) yang merupakan kawasan yang dikelola secara professional.

STP sendiri berfungsi sebagai media kolaborasi riset dan pengembangan teknologi

yang berkelanjutan oleh berbagai pihak baik akademisi, litbang maupun dari industri.

Berikut pesebaran STP di Indonesia Tahun 2016.

Gambar 2.8 Sebaran STP Berdasarkan Area di Indonesia Tahun 2016

Sumber : Direktorat Kawasan Sains Teknologi dan Kawasan Lainnya Kemenristekdikti

17
Gambar 2.6 menjelaskan bahwa sebagian besar STP berada di Pulau Jawa,

tepatnya 26 STP atau 39% dari jumlah STP nasional. Jawa Barat menjadi provinsi

dengan STP terbanyak yaitu 10 STP, disusul Jawa Tengah dengan 9 STP dan

Sulawesi Selatan dengan 6 STP. Sementara itu, proporsi STP di Pulau Kalimantan,

Sulawesi dan Papua masih minim ditemukan. Hadirnya STP ini menjadi penting

karena tertuang pada Nawa Cita Presiden Joko Widodo. Dimana disana tertulis bahwa

pemerintah akan membangun sejumlah Science and Techno Park di daerah-daerah,

Politeknik dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di seluruh provinsi di Indonesia.

Program ini juga akan didukung dengan penyediaan sarana prasarana dan fasilitas

menggunakan teknologi terkini. Kondisi ini memungkinkan akan muncul STP lain di

provinsi-provinsi di Indonesia tentu dengan dukungan pemerintah daerah masing-

masing dalam meningkatkan peran institusi Iptek nya dalam pengembangan teknologi

di daerahnya masing-masing. (Kemenristekdikti, 2016)

2.1.4 Faktor Produksi Kewirausahaan

Pendapatan ekonomi kategori tinggi sulit dicapai bagi negara berkembang

yang memiliki pergerakan pertumbuhan ekonominya yang tinggi namun aktivitas

entrepreneurialnya justru masih lemah. Sehingga tidak jarang negara-negara ini

terjebak pada posisi Middle Income Trap (Obisi dan Anyim, 2014). Dalam konteks

pembangunan negara atau wilayah, kegiatan kewiraushaan memiliki sistem koorfinasi

dan himpunan sumberdaya menggunakan jejaring sosial dan bisnis yang dimiliki.

Wirausaha juga kerap melakukan inovasi seperti menghasilkan ide, produk maupun

layanan dengan kreatifitas yang tinggi dan berdaya saing tinggi sehingga pada

akhirnya terjadi pertumbuhan dalam perekonomian serta terciptanya lapangan kerja

baru (Clement dalam Obisi dan Anyim, 2012). Berdasarkan pemaparan ini, maka

18
dapat dikatakan daerah dengan daya saing yang tinggi memiliki intensitas kegiatan

kewirausahaan yang tinggi juga.

Gambar 2.9 Daya Saing Antar Provinsi di Indonesia Tahun 2020

Sumber : BRIN Indonesia, 2020 (data diolah)


Dalam Gambar 2.7 dapat dilihat bahwa indeks daya saing daerah Tahun 2020

menunjukkan bahwa ada 3 provinsi dengan kategori indeks “Sangat Tinggi” yakni

indeks dengan skor 3,76 – 5, kemudian 12 provinsi memiliki kategori indeks “Tinggi”

dengan skor indeks 2,51 - 3,75, dilanjutkan 10 provinsi dengan kategori indeks

“Sedang” dengan skor indeks 1,26 - 2,5 serta dengan kategori indeks “Rendah”

dengan skor indeks 0 - 1,25. Terdapat 6 provinsi. Tiga provinsi dengan kategori indeks

“Sangat Tinggi” adalah Jawa Tengah dengan skor indeks 4,5268, Jawa Barat dengan

skor indeks 4,1829 dan Jawa Timur dengan skor indeks 3,9753. Sementara daya

saing dengan kategori indeks rendah adalah Sumatera Barat, DI. Yogyakarta, Nusa

Tenggara Barat, Gorontalo, Maluku dan Bali. Selain dari indeks daya saing, tingginya

kewirausahaan suatu wilayah juga dapat diukur melalui jumlah UMKM yang terdapat

di suatu wilayah. Semakin banyak UMKM maka semakin tinggi peran wirausahawan,

dan sebaliknya.

19
Gambar 2.10 Provinsi dengan UMKM Terbanyak Tahun 2020

Sumber : Kementerian Koperasi dan UMKM 2020 (diolah)

Gambar 2.7 mengindikasikan adanya hubungan daya saing dengan jumlah

UMKM dimana Jawa Tengah memiliki jumlah UMKM paling banyak di Indonesia dan

memiliki daya saing dengan indeks paling tinggi. Sehingga dapat dikatakan

keberadaan UMKM atau tingginya kewirausahaan di suatu wilayah akan mendorong

daya saing wilayah itu sendiri. Dampak Pandemi Covid-19 sempat memberikan

dampak signifikan kepada Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) di Indonesia.

Menurut Riset yang Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) bahwa

UMKM di Indonesia menghadapi dua tantangan utama akibat dampak pandemi.

Masalah pertama yakni kondisi keuangan yang semakin melemah dan minimnya

permintaan akan produk dan jasa yang mereka tawarkan akibat minimnya waktu

operasional yang dibatasi, sumber daya yang dibutuhkan untuk proses produksi, dan

pendanaan yang sulit diperoleh akibat sepinya pasar. Masalah kedua adalah

kurangnya penguasaan UMKM akan platform digital sehingga pemasaran produk

terpaku secara langsung atau offline dan di masa pandemi dengan segala

20
pembatasan kegiatan ekonomi dan sosial membuat ini menjadi kekhawatiran utama

para pelaku usaha.

Survei yang dilakukan Bank Indonesia menemukan fakta bahwa pada tahun

2020, UMKM yang tidak terdampak pandemi hanya sebesar 12,5 persen. Sebesar

27,6 persen dari UMKM terdampak pandemi tadi mampu meningkatkan penjualan.

Pergeseran kegiatan belanja ke platform online menjadi slah satu penyebabnya.

Peningkatan digitalisasi membuat e-commerce menjadi sektor ekonomi paling

meningkat pesat di era sekarang terutama di masa-masa pandemi dengan segala

pembatasan mobilitas dan aktifitas masyarakat. UMKM harus di dorong menuju sektor

e-commerce dan meningkatkan kemampuan digitalisasi. Namun kendala utama

adalah bagaiman pihak-pihak terkait mampu mengedukasi pelaku UMKM khususnya

generasi tua untuk memahami dengan tuntas mengenai e-commerce dan fitur-fitur

yang mendukungnya.

2.2 Pengembangan Wilayah Berbasis Faktor Produksi dan Teknologi

Kemajuan pembangunan wilayah diukur berdasarkan tingginya pertumbuhan

ekonomi, meratanya pendapatan perkapita, dan rendahnya tingkat pengangguran di

wilayah tersebut. Berbicara tentang Indonesia, masih adanya kesenjangan

pembangunan antar wilayah menjadi hambatan pencapaian trilogi pembangunan

yakni masalah pemerataan pembangunan dan pemanfaatan hasilnya oleh seluruh

masyarakat Indonesia secara merata. Alasan ini membuat pendekatan

pengembangan wilayah menjadi penting dalam rangka mentransformasikan tujuan

pembangunan nasional ke dalam ranah wilayah atau daerah. Pendekatan

pengembangan wilayah bukan saja membuat pertumbuhan ekonomi meningkat

namun juga menjamin keberlanjutan kesejahteraan masyarakat di wilayah tersebut

dibarengi dengan perbaikan sistem pengelolaan sosial, hukum, politik dan lingkungan

21
hidup secara lebih signifikan. Pendekatan ini konsepnya mengacu pada wilayah itu

sendiri, dimana pemerintah mengupayakan pengembangan potensi yang dimiliki

wilayah tersebut sehingga perlu diteliti dan di fahami dengan benar karakteristik

wilayah tersebut. Tahap pertama dalam pengembangan wilayah pada umumnya

menjurus kepada perbaikan dan pembangunan kondisi fisik seperti infrastruktur dan

sarana prasarana pendukung pertumbuhan ekonomi, kemudia sistem sosial dan

hukum akan mengikuti.

Langkah selanjutnya adalah menciptakan daya saing daerah dengan

mengemukakan keunggulan kompetitif wilayah tersebut. Seperti yang telah

dijelaskan sebelumnya bagwa masing-masing wilayah di Indonesia mempunyai

potensi pertumbuhan ekonomi masing-masing yang tidak bias disamakan. Kemudian

potensi lain seperti ketersediaan sumberdaya alam, kondisis sosial ekonomi

masyarakat, budaya dan peraturan adat yang ada di masyarakay, ketersediaan

infrastruktur pendukung dan tersedianya faktor produksi yang lain juga mempengaruhi

konsep pengembangan wilayah yang akan dijadikan strategi (Widiati, 2000).

2.3 Konsep Pengembangan Wilayah Berdasarkan Keunggulan Kompetitif

Setiap wilayah memiliki komoditas unggulan yang pada umumnya akan

membentuk keunggulan kompetitif dari wilayah tersebut. Komoditas unggulan itu

sendiri harus mampu menggerakkan pembangunan ekonomi wilayah dan perannya

yang paling utama dalam hal ini. Komoditas unggulan yang merupakan potensi

wilayah harus memiliki keterkaitan baik kedepan maupun kebelakang yang kuat

dengan komoditas lainnya baik dalam sektor sama maupun sektor yang berbeda.

Dalam hal daya saing, setiap komoditi yang menjadi unggulan harus mampu berdaya

saing dalam hal harga, mutu pelayanan maupun biaya produksi dengan komoditi

lainnya yang memiliki jenis yang sama dari daerah lain baik dalam pasar domestik

22
maupun global. Keunggulan bersaing ini meliputi harga komoditas, biaya yang

digunakan untuk memproduksi komoditas tersebut hingga kualitas dalam pelayanan

di pasar (Mukhtar, 2012).

Dalam pengembangan potensi wilayah melalui komoditas unggulan ini perlu

diperhatikan juga penggunaan teknologi dalam proses produksinya. Status sebuah

teknologi harus mutakhir dan terus berinovasi dalam hal penggunaannya pada setiap

kegiatan produksi. Melalui pendekatan ini juga diharapkan ada peningkatan dalam

penyerapan tenaga kerja yang berkeahlian dikarenakan pendekatan ini menggunakan

potensi wilayah sebagai objek kebijakan sehingga diharapkan banyak tenaga kerja

setempat yang memiliki keahlian terkait produksi komoditas unggulan ini sehingga

skala produksi dapat optimal. Penyerapan tenaga kerja dengan kualitas tinggi atau

dengan kata lain memiliki keahlian yang mumpuni akan tercipta dalam proses

produksi komoditas yang menjadi sesuai dengan skala produksi dalam perusahaan

atau wilayah.

Dalam pengembangan wilayah melalui pendekatan potensi wilayah, setiap

komoditi yang menjadi unggulan akan mampu bersaing dalam pasar dalam jangka

waktu panjang. Bertahannya komoditas unggulan di dalam pasar dimulai pada tahap

terciptanya, pertumbuhan hingga mengalami titik jenuh dan pada akhirnya mencapai

diminishing atau penurunan produksi. Penurunan ini bisa disebabkan sumberdaya

bahan baku mulai berkurang, persaingan di pasar mulai ramai dengan produk-produk

yang lebih murah atau kualitas lebih baik. Saat terjadi penurunan, maka komoditi baru

sudah harus siap untuk menggantikannya. Disinilah fungsi kolaborasi inovasi dan

teknologi untuk menciptakan komoditi baru yang masih langka di pasaran dengan

kualitas dan harga lebih murah tentunya biaya produksi harus seefisien mungkin.

Produk baru ini bisa hasil diversifikasi komoditi sebelumnya, atau komoditi yang

23
benar-benar baru. Komoditas unggulan pada umumnya tidak rentan akan perubahan

yang terjadi baik eksternal maupun internal dan semestinya menuju pada kelestarian

lingkungan demi keberlanjutannya.

2.4 Pendekatan Berbasis Potensi Lokal Sebagai Paradigma Baru Pembangunan

Pengelolaan daerah-daerah di Indonesia dengan 34 Provinsi dan lebih 400

kabupaten/kota tentu akan sulit jika dilakukan secara terpusat karena tidak bisa

dipungkiri negara Indonesia secara geografis terdiri dari banyak pulau kecil tentu

memerlukan biaya, waktu dan tenaga ekstra untuk melakukan pengelolaan secara

terpusat. Kondisi ini mendorong terciptanya Desentralisasi dimana pemerintah di level

daerah dipersilakan untuk mengatur tatanan pemerintah di daerahnya masing-

masing. Kebijakan Desentralisasi sendiri sudah dikeluarkan pemerintah pusat dalam

UU No 22 yang dikeluarkan pada tahun 1999 yang membahas otonomi daerah dan

mulai dilaksanakan sejak Januari 2001. Pergeseran kewenangan kepada pemerintah

daerah hingga level terendah dari pemerintah pusat, diharapkan pendekatan wilayah

dapat mengembangkan wilayah sesuai dengan karakteristik geografis dan

ketersediaan sumberdaya dan potensi lokal yang dimiliki sehingga muncul sebuah

pola persaingan yang kuat dan sehat. Namun, desentralisasi belum sepenuhnya

membuat masalah pengembangan wilayah berjalan dengan lancar, masih lemahnya

perumusan visi dan misi pembangunan wilayah berbasis potensi lokal membuat

pemerintah di daerah kesulitan memperoleh strategi dan kebijakan daya saing yang

sesuai dengan daerah. Menurut Mukhtar (2012) masih banyak pula pemerintah

kabupaten/kota yang belum dapat menguasai langkah-langkah mengelola

infrastruktur dan menyikapi perubahan-perubahan yang terjadi sehingga dalam

perumusan kebijakan mereka masih tergantung dengan pemerintah pusat. Kondisi ini

tentu tidak dapat dibiarkan, harus ada konsep terukur dan terarah untuk

24
menyelesaikan permasalahan di daerah. Sinergi pemerintah dari level terbawah

dengan pemerintah pusat dan partisipasi stakeholder menjadi langkah untuk

mengetahui permasalahan mendasar di daerah dan langkah apa yang dapat diambil

untuk menyelesaikannya. Paradigma baru dalam pengembangan wilayah

menawarkan konsep pembangunan dengan orientasi keunggulan lokal yang memiliki

daya saing tinggi di pasar dalam negeri maupun global. Pendekatan yang popular di

atas tahun 2015 ini menjadi salah satu state-of-the-art yang mengarahkan

pembangunan yang mengandalkan keunggulan yang berdaya saing tinggi dan

berkelanjutan (Sustainable Regional Competitive Advantage). Salah satu dampak

penerapan paradigma baru dalam pendekatan pengembangan wilayah ini maka

adanya peningkatan aksesibilitas setiap wilayah akan adanya transformasi teknologi,

meneyebabkan pendekatan baru muncul yakni technology based regional

development. Pendekatan ini merupakan gabungan antara pengembangan wilayah

secara konvensional dengan penerapan teknologi yang mutakhir dalam upaya

pengembangan suatu wilayah. Untuk lebih jelasnya maka dalam Tabel 2.1

mengilustrasikan perbedaan pengembangan wilayah dengan konsep berbasis

teknologi dan konsep yang masih bersifat tradisional atau konvensional dan pada

akhirnya dapat dijadikan alternative untuk dapat di kolaborasikan karena penerapan

pendekatan hanya menggunakan satu konsep akan sulit mencapai tujuan utama

yakni meningkatkan kesejahteraan wilayah itu sendiri.

25
Tabel 2.1 Pengembangan Wilayah Berbasis Teknologi dan Konvensional
Teknologi Konvensional
Level Perusahaan
Aspek transformasi sebagai bahan Aspek produksi sebagai bahan kajian
kajian Indikator :
Indikator : • Lahan/Tanah
• Tersedianya SDA • Tenaga Kerja
• Kualitas SDM • Modal
• Pengelolaan organisasi
• Tersedianya Infrastruktur fisik
• Sistem informasi
Kontribusi : Ukuran produktivitas :
• Fisik Teknologi/Mesin • Tenaga kerja
(Technoware) • Modal
• Tenaga Kerja Manusia
(Humanware)
• Aplikasi Teknologi (Infoware)
• Pengelolaan Teknologi
(Orgaware)
Kekuatan : Kekuatan :
• Teknologi yang mutakhir • Modal
• Inovasi teknologi • Suku bunga
• Kinerja Perusahaan • Inflasi
• Penyusutan lainnya
Matematis: Analisis kontribusi teknologi Matematis: Analisis kelayakan ekonomi
• Teknoware, Humanware, • Internal rate of return
Infoware, dan Orgaware (THIO) • Net present value
• Technology contribution • Benefit cost ratio
coefficient
• Technology concent added
Level Industri
Aspek kandungan teknologi sebagai Aspek output ekonomi sebagai bahan
bahan kajian kajian
Indikator : Indikator :
• Status teknologi • Rasio output terhadap kapasitas
• Potensi THIO produksi
• Peluang THIO • Rasio kapital terhadap output
• Kondisi THIO • Produksi dan konsumsi
• Sebaran produksi dan inovasi • Kapasitas ekspor dan impor
• Impor akan input dan teknologi
• Ekspor akan output dan
teknologi
Pertumbuhan : peningkatan kapasitas Pertumbuhan : peningkatan output
teknologi • Value added
• Nilai tambah kandungan • Jumlah produksi
teknologi • Diversifikasi

26
• Jumlah produksi • Jumlah pekerja
• Diversifikasi
• Intensitas Inovasi
Level Wilayah
Struktur teknologi sebagai bahan kajian Struktur ekonomi sebagai bahan kajian
Indikator : Indikator :
• Peran proses cocok tanam • Peran sektor pertanian
• Transformasi kandungan • Peran sektor industri
teknologi • Peran sektor lainnya
• Transformasi angkatan kerja • Perubahan kontribusi relatif
dalam PDB
• Transformasi struktur tenaga
kerja
Level Nasional
Dimensi teknologi sebagai bahan kajian Dimensi ekonomi sebagai bahan kajian
Indikator : Indikator :
• Kapasitas teknologi: TCA, PCT • Besaran ekonomi: GNP, GDP
• Perkembangan kemampuan • Pertumbuhan pendapatan per
teknologi kapita
• Matrik alir tekonologi • Input-Output
• Perkembangan kandungan • Pertumbuhan dalam
teknologi perekonomian
• Distribusi teknologi • Distribusi dalam pendapatan
• Faktor iklim • Biaya opportunity
• Neraca pembayaran teknologi • Neraca perdagangan
• Sumberdaya dan infrastruktur
• Perencanaan komponen
teknologi
Strategi Pengembangan
• Create or Buy technology • Subtitusi barang impor
• Mengimpor/mengekspor • Promosi Ekspor (jika
teknologi berorientasi pada ekspor)
Sumber : Mukhtar (2012)

Tabel 2.1 menunjukkan adanya perbedaan pelaksanaan konsep dalam

pengembangan wilayah yang berdasarkan konsep konvensional dan teknologi. Dua

konsep diatas bukan untuk dipilih salah satunya, namun untuk dikombinasikan agar

saling melengkapi. Pada konteks pengembangan wilayah akan ditemukan sejumlah

kesulitan dalam mengombinasikan dua konsep diatas terkait kompleks dan

dinamisnya proses dari pengembangan wilayah itu sendiri. Kajian tentang pendekatan

pengembangan wilayah harus memiliki dimensi luas dan multiaspek. Integrasi dua

27
konsep diatas akan menjadi alternatif terbaik bagi pengembangan wilayah berbasis

potensi wilayah yang ada di Indonesia agar tujuan kesejahteraan masyarakat lebih

cepat terealisasi dan efektif.

III. PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Faktor produksi termasuk teknologi di dalamnya memiliki peran penting dalam

pengembangan dan pembangunan potensi wilayah. Indonesia merupakan negara

yang terdiri atas banyak sekali pulau terutama pulau kecil yang membentuk kepulauan

tentu memiliki karakteristik yang berbeda antar wilayahnya. Karakteristik ini membuat

adanya potensi yang beragam antar wilayah dan tentu pengelolaannya tidak bisa di

samakan dan terpusat. Disamping itu, ketersediaan faktor-faktor ekonomi antar

wilayah juga berbeda, sehingga perlu pendekatan yang berbeda antar wilayah. Faktor

produksi SDA, tenaga kerja, teknologi dan kewirausahaan sejauh ini masih

terkonsentrasi di Pulau Jawa. Daerah lain sebenarnya juga memiliki potensi besar

terkait sumberdaya alam hanya saja belum didukung oleh kemudahan dalam

tersedianya faktor produksi lain. Meski demikian, pemerintah daerah harus mampu

memanfaatkan kewenangannya untuk mengatur tatanan pemerintahan dan

ekonominya berdasarkan karakteristik dan kekhasan wilayahnya masing-masing.

Konsep pendekatan berbasis potensi lokal berkelanjutan dan technology based

regional development akan menjadi salah satu alternatif yang dapat digunakan

pemerintah daerah dalam menentukan visi misi daerahnya. Selain itu kolaborasi

pemerintah dari level terbawah hingga pusat menjadi faktor pendorong suksesnya

kebijakan ini tentu dengan dukungan partisipasi masyarakat dan stakeholder di

wilayah tersebut.

28
3.2 Saran

Setelah membahas mengenai pengembangan potensi wilayah berbasis faktor

produksi dan teknologi diatas, maka saran yang dapat dipertimbangkan pemangku

kebijakan dan pelaku ekonomi baik ditingkat nasional maupun regional adalah dengan

memeratakan pembangunan dari Sabang hingga Merauke. Alokasi dana ke daerah

harus proporsional dan mengutamakan pembangunan bagi daerah tertinggal dan

berdaya saing rendah. Tujuannya agar tercipta iklim investasi yang baik. Dengan

membaiknya iklim investasi diharapkan faktor produksi berupa modal dan teknologi

juga akan berkembang dengan pesat di wilayah tersebut yang pada akhirnya

meningkatkan kualitas dan kuantitas produktivitas. Peningkatan iklim investasi juga

diharapkan akan membuka peluang kerja dan usaha baru bagi masyarakat. Iklim

investasi yang meningkat akan menjadi daya Tarik tersendiri bagi pelaku usaha baik

investor maupun pencari kerja sehingga penguraian kepadatan penduduk yang

memadati Pulau Jawa lambat laun akan teratasi sehingga masyarakat pada umumnya

akan meningkat kesejahteraannya. Kondisi ini juga akan memudahkan dalam

penemuan dan pengembangan teknologi baru maupun transfer teknologi. Maka

pemerintah juga perlu mempertimbangkan untuk menambah pusat kajian dan IPTEK

di wilayah-wilayah timur khususnya agar para ahli dapat melakukan riset langsung di

wilayah tersebut sehingga dapat berkontribusi dalam peningkatan pembangunan dan

pengembangan potensi lokal di wilayah tersebut berbasis faktor produksi dan

teknologi. Konsep pendekatan berbasis potensi lokal berkelanjutan dan partisipatif

dan technology based regional development dikombinasikan dengan konsep

pengembangan wilayah konvensional akan menjadi salah satu alternatif yang dapat

digunakan pemerintah daerah dalam menentukan visi misi daerahnya.

29
DAFTAR PUSTAKA

Asmarini, Wilda. (2021). RI Ada Harta Karun Energi Terbesar ke-2 Dunia, Tapi
Diabaikan. CNBC Indonesia.
https://www.cnbcindonesia.com/news/202112301 03748-4-303209/ri-ada-
harta-karun-energi-terbesar-ke-2-dunia-tapi-diabaikan
Ati Widiati. (2000). Strategi Pengembangan Komoditas Unggulan Kota Pontianak
Berorientasi Pembangunan Berkelanjutan. Jurnal Sains dan Teknologi
Indonesia, Vol.2 No.4.
Badan Geospasial Indonesia. (2019). Landskap Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di
Indonesia.
Badan Geospasial Indonesia (2019). Pesebaran Sumberdaya Tambang di Indonesia.
Badan Geospasial Indonesia (2019). Pesebaran Hasil Bumi Pertanian di Indonesia.
Bank Indonesia. (2020). Laporan Perekonomian Indonesia.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. (2020). Dampak Pandemi Covid-19
Terhadap UMKM.
Badan Pusat Statistik Indonesia. (2015-2020). Produk Domestik Regional Bruto
Berdasarkan Provinsi.
Badan Pusat Statistik Indonesia. (2020). Jumlah Penduduk Indonesia Berdasarkan
Provinsi.
Badan Pusat Statistik Indonesia. (2020). Sebaran Industri Menengah dan Besar di
Indonesia
Badan Riset dan Inovasi Nasional. (2020). Daya Saing Provinsi di Indonesia
Daniel & Worthingham. (2004). Muscle testing: Technique of manual examination 7th
ed. Philadelpia: W.B. Saunders.
Handoko, T. Hani (2011). Manajemen Personalia dan Sumberdaya Manusia.
Yogyakarta: Penerbit BPFE.
Harahap, Sofyan Syafri. (2009). Analisis Kritis atas Laporan Keuangan. Jakarta : PT.
Raja Grafindo Persada.
Kementerian Koperasi dan UMKM. (2015). Provinsi dengan Usaha Mikro Kecil
Menengah Terbanyak di Indonesia.
Kementerian Riset, Teknologi, Dan Pendidikan Tinggi. (2013-2015). Jumlah Produk
Teknologi Yang Dihasilkan Lembaga.
Kementerian Riset, Teknologi, Dan Pendidikan Tinggi. (2019). Pemetaan Kekuatan
Institusi IPTEK Setiap Provinsi.
Kementerian Riset, Teknologi, Dan Pendidikan Tinggi. (2016). Sebaran PUI di
Indonesia Berdasarkan Provinsi Dan Koridor.
Kementerian Riset, Teknologi, Dan Pendidikan Tinggi. (2016). Sebaran STP
Berdasarkan Area di Indonesia

30
Kusdiana, Didik dan Candra Wulan. (2007). Analisis Daya Saing Ekspor Sektor
Unggulan di Jawa Barat. Junal Trikonomika Fakultas Ekonomi UNPAS,
Volume 6 Nomor 1.
Masyhuri, Machfudh. 2007. Dasar-Dasar Ekonomi Mikro. Jakarta : Prestasi
Pustakaraya.
Mukhtar, Syukrianti. (2012). Menciptakan Keunggulan Daya Saing Wilayah Melalui
Pembangunan Berkelanjutan. Jurnal Sosial Humaniora, Vol 5 No.2.
Obisi, C dan Anyim. (2012). Developing of The Human Capital For Enterprenuership
Challenges and Successes “. International Journal of Academic Research and
Bussines and Social Sciences. Vol.2 No.3.
Pusat Data dan Informasi Tenaga Kerja. Ketenagakerjaan Dalam Angka Tahun 2020
Radhi, Fahmy. (2010). Pengembangan Appropriate Technology Sebagai Upaya
Membangun Perekonomian Indonesia Secara Mandiri. Jurnal Ilmiah Ekonomi
Bisnis, Volume 15 Nomor 1.
Riyanto, Bambang. 1995. Dasar-Dasar Pembelanjaan Perusahaan. Yogyakarta:
BPFE-Yogyakarta.
Skousen, C. J., K. R. Smith, dan C. J. Wright. 2009. ”Detecting and Predecting
Financial Statement Fraud: The Effectiveness of The Fraud Triangle and SAS
No. 99.” Corporate Governance and Firm Performance Advances in Financial
Economis, Vol. 13, h. 53-81.
Sharif, N. (1993). Rationale and The Framework for a Technology Management
Information System. School of Management Asian Institute of Technology,
Bangkok, Thailand.
Sukirno, Sadono. 2005. Mikro Ekonomi, Teori Pengantar. Penerbit PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2013 Tentang
Ketenagakerjaan

31

Anda mungkin juga menyukai