Anda di halaman 1dari 43

NASKAH AKADEMIK

TENTANG
RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH TENTANG
PENGATURAN PENJUALAN TAS BERMEREK TIRUAN

DISUSUN OLEH:
FARHAN MIFTAHURRAHIM

2003101010244

ILMU PERUNDANG-UNDANGAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERISTAS SYIAH KUALA

2022

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas segala
karunia dan ridho serta rahmat dari-NYA sehingga Naskah Akademik yang berjudul
“pengaturan Penggunaan Toples Plastik Sebagai Wadah Makanan” di Kota Banda Aceh ini
dapat diselesaikan. Penyusunan Naskah Akademik ini disusun untuk digunakan sebagai salah
satu pertimbangan dalam penyusunan Rancangan Peraturan Daerah di Kota Banda Aceh.

Dengan keterbatasan pengalaman, pengetahuan maupun pustaka yang ditinjau, kami


menyadari bahwa penyusunan Naskah Akademik ini masih jauh dari sempurna dan perlu
pengembangan lebih lanjut sehingga masih membutuhkan kritik dan saran yang membangun
guna kesempurnaan penyusunan Naskah Akademik ini serta sebagai masukan bagi penulis
untuk penyusunan Naskah Akademik yang akan datang.

Akhir kata, semoga Naskah Akademik ini dapat memberikan manfaat dan dapat
digunakan sebagai salah satu bahan acuan pertimbangan untuk penyusunan Rancangan
Peraturan Daerah di Kota Banda Aceh dan Kami mohon maaf jika masih terjadi kesalahan
dan kekurangan di dalamnya.

Banda Aceh, november 2022

2
DAFTAR ISI

NASKAH AKADEMIK......................................................................................................................1
KATA PENGANTAR.........................................................................................................................1
DAFTAR ISI........................................................................................................................................2
BAB I....................................................................................................................................................3
PENDAHULUAN................................................................................................................................3
A. Latar Belakang........................................................................................................................3
B. Indentifikasi Masalah..............................................................................................................6
C. Tujuan dan kegunaan kegiatan penyusunan Naskah Akademik.........................................7
D. Metode......................................................................................................................................7
BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS................................................................8
A. Kajian Teoritis.........................................................................................................................8
B. Kajian terhadapt asas/prinsip yang terkait dengan penyusunan norma...........................10
C. Kajian terhadap praktik penyelenggaraan..........................................................................15
D. Kajian terhadap Implikasi Penerapan Sistem Baru yang Akan Diatur dalam Peraturan
Daerah............................................................................................................................................17
BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
.............................................................................................................................................................19
BAB IV...............................................................................................................................................28
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS...........................................................28
A. Landasan Filosofi...................................................................................................................28
B. Landasan Yuridis..................................................................................................................30
C. Landasan Sosiologi................................................................................................................32
BAB V.................................................................................................................................................34
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN
PERATURAN PEMERINTAH........................................................................................................34
A. Sasaran pengaturan penjualan tas merek tiruan................................................................34
B. Arah dan jangkaun pengaturan penjualan tas merek tiruan.............................................34
C. Ruang Lingkup......................................................................................................................35
BAB VI...............................................................................................................................................37
PENUTUP..........................................................................................................................................37
A. Kesimpulan............................................................................................................................37
B. Saran..........................................................................................................................................38
Daftar Pustaka...................................................................................................................................38
Lampiran...........................................................................................................................................40

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tas adalah wadah dari bahan lunak yang bisanya memiliki pegangan dan didesain
supaya mudah dibawa/dijinjing. Tas telah digunakan manusia sejak zaman prasejarah, tas
zaman prasejarah terbuat dari kulit binatang, kapas, atau anyaman serat tumbuhan, yang
dilipat di tepinya dan diikat dengan tali dari bahan yang sama.Terlepas dari
kesederhanaannya, tas sangat penting bagi perkembangan peradaban manusia, karena tas
memungkinkan manusia dengan mudah mengumpulkan bahan-bahan lepas seperti buah beri
atau biji-bijian makanan, dan untuk mengangkut lebih banyak barang daripada membawanya
hanya dengan tangan.

Sekarang tas menjadi salah satu industri yang paling berkembang karena setiap orang
pasti akan memiliki tas baru untuk menemanikegiatannya setiap saat, rata rata penduduk
dunia akan membeli setidaknya 1 tas dalam setahun, pembelian tas biasanya untuk membawa
keperluan sekolah dan keperluan kantor.

Tas awalnya hanya berfungsi untuk membawa barang, namun sekarang fungsinya
untuk menambah keindahan ketika seseorang menggunakannya, Tas menjadi komponen
Fasion terutama bagi wanita, wanita sangat memperhatikan kecocokan antara busana yang
akan dipakai dengan Tas yang akan ia bawa kemana ia pergi, Model tas yang sering kita
gunakan sebetulnya sudah ada sejak lama seperti handbag atau tas tangan yang umum dipakai
oleh orang orang zaman dahulu.

Tas merupakan salah satu aksesoris fashion yang sangat digemari wanita ditengah
perkembangan fashion saat ini. Tas memiliki peranan yang sangat penting dalam setiap
penampilan wanita, baik itu untuk sebuah gaya ataupun untuk sebuah gengsi. Tas fashion
dinilai dapat meningkatkan harga diri dan kepercayaan diri seorang wanita. Tas saat ini tidak
hanya menjadi aksesoris fungsional, tetapi tas sudah menjadi aksesoris fashion yang di
gunakan dalam berbagai kegiatan. Tas merupakan aksesoris pelengkap untuk menambah
gaya fashion para wanita menjadi lebih indah.
Faktanya saat ini memperlihatkan bahwa produk tas bermerek luar negeri yang
masuk ke Indonesia akan menarik minat beli konsumen Indonesia, Konsumen dalam negeri

4
dengan mudah mendapatkan produk merek luar negeri melalui internet dengan berbelanja
online tanpa harus pergi ke toko bahkan ke luar negeri.
Hal ini menjadi ancaman antar pelaku bisnis lokal di Indonesia, karena konsumen
lebih tertarik dengan merek luar negeri. Dengan demikian produsen lokal harus mampu
bersaing dengan tas-tas produksi luar negeri. Peristiwa lain yang terjadi pada produk tas
zaman sekarang ini yaitu banyak konsumen yang menggunakan tas merek tiruan atau
menyerupai produk bermerek asli tetapi dengan kualitas rendah guna menjangkau masyarakat
yang ingin bergaya dengan budget yang minim. Hal ini juga menjadi persaingan yang
semakin ketat antar produsen tas lokalkarena konsumen cenderung memilih tas tiruan merek
luar negeri sehingga jumlah konsumen tidak berkembang.
Produk tiruan di Indonesia dikenal juga dengan istilah kwalitet (KW). “Barang KW”
adalah sebuah barang yang diproduksi sebagai tiruan, replika, atau imitasi dari barang lain.
“Barang KW” ini bukan hanya diproduksi sebagai tiruan atau replika merek terkenal saja,
tetapi juga untuk semua merek. “Barang KW” diproduksi tanpa menggunakan hak merek
yang bersangkutan, para produsen membuatnya dengan cara seperti meniru saja. Oleh karena
itu secara sederhana dapat dikatakan bahwa “barang KW” adalah barang palsu. Tingkatan
paling umum “barang KW” adalah “KW super”. “KW 1”, dan “KW 2”, dan Harga barang
KW yang paling mahal dan memiliki kualitas mirip dengan aslinya adalah KW super.
Kecenderungan konsumen terhadap produk palsu sangat bervariasi dengan fungsi
sosial yang mendasari sikap mereka. Ciri-ciri kepribadian dan wawasan merupakan faktor
penentu yang memungkinkan konsumen untuk mempengaruhi permintaan mereka terhadap
merek bajakan melalui bauran pemasaran.
Conspicuousness of The Product merupakan potensi pengaruh dari suatu group
referensi terhadap keputusan pembelian seseorang berbeda menurut seberapa menonjolnya
suatu produk secara visual maupun verbal dibanding dengan produk lain. Produk yang
menonjol secara visual adalah produk yang mencolok diperhatikkan (seperti barang mewah
atau produk baru), Sedangkan produk yang menonjol secara verbal mungkin adalah produk
yang sangat menarik atau dapat digambarkan dengan lebih mudah dibandingkan yang lain.
Produk yang tergolong mewah tentunta tidak lepas dari merek-merek yang ternama.
Jika pada produk fashion, tentunya kita telah mengenal merek-merek seperti ripcurl, volcom,
billabong, rusty, dan merek- merek terkenal lainnya.
Peredaran barang-barang palsu masih terbilang tinggi di Indonesia. Dalam hasil studi
dampak ekonomi yang dilakukan beberapa waktu lalu untuk 12 sektor industri dan
dilakukannya pemusnahan 2,18 juta keping produk cakram optik oleh Polda Metro Jaya 15

5
Desember 2013, membuktikan bahwa pasar Indonesia masih menjadi surga bagi barang-
barang palsu dan barang bajakan. Fenomena kegiatan pemalsuan di Indonesia yang semakin
tahun semakin meningkat ini sebenarnya sudah berusaha ditahan oleh pemerintah lewat
undang-undang, namun undang-undang relatif tidak sukses dalam menahan laju bisnis
produk palsu.
Meningkatnya bisnis pemalsuan barang ini memang terkait dengan perilaku
konsumen yang berhubungan erat dengan proses pengambilan keputusan dalam usaha
memperoleh dan menggunakan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhannya.
banyak alasan kenapa seseorang membeli barang fashion palsu. Pembeli barang palsu
memberikan alasan bahwa mereka membeli barang palsu, karena hal tersebut tidak
memberikan dampak langsung yang merugikan bagi mereka, harga barang palsu jauh lebih
murah sehingga mereka merasa seolah-olah sebagai wise shoppers. Alasan lain yang
diberikan oleh konsumen barang palsu adalah mereka menganggap pembelian barang palsu
tersebut tidak akan merugikan pemilik merek asli.
permintaan akan produk palsu karena performa dari produk palsu sudah tidak jauh
berbeda dibandingkan dengan produk aslinya. Selain itu konsumen yang memiliki
pengetahuan akan merek-merek fashion pakaian terkenal seperti ripcul, billabong, volcom,
spyderbilt, juice dan memiliki keinginan untuk membeli, namun tidak memiliki daya beli
dikarenakan harga yang lebih mahal, pada akhirnya tidak sedikit yang membeli produk palsu
ditempat-tempat yang menjual dengan harga yang murah.
Dalam membuat suatu keputusan yang pada akhirnya membeli sebuah produk palsu,
tentunya didasari beberapa pertimbangan atau faktor yang kuat. Konsumen yang memiliki
fashion consciousness tentunya sadar bahwa penampilan adalah hal yang sangat penting,
sehingga akan berdampak pada suatu pengambilan keputusan untuk membeli produk palsu.
Subjective norm, dimana seorang konsumen sangat peduli terhadap pandangan dari
orang lain akan dirinya juga menjadi sebuah pertimbangan dalam melakukan keputusan
pembelian. Ketika konsumen merasa bahwa Values consciousness dari sebuah produk
fashion dapat bermanfaat dan member dampak yang baik akan dirinya, maka akan terbentuk
suatu pandangan positif yang pada akhirnya berdampak pada pembelian produk tersebut.
Namun terkadang, tidak sedikit konsumen yang masih merasa kurang mengenal dirinya
sendiri. Ambuguitas akan diri sendiri akan mendorong konsumen untuk lebih mengenal akan
dirinya.
Kurangnya percaya diri dapat menyebabkan konsumen pada akhirnya mencari produk
fashion dengan merek-merek terkenal sehingga akan timbul rasa percaya diri yang tinggi.

6
Berbicara mengenai sebuah produk palsu, tentu tidak lepas dari etika. Etika untuk berbelanja
sebuah produk palsu, seolah sudah tidak menjadi perhatian yang utama bagi mereka yang
sering melakukan pembelian produk palsu.
Kepentingan dan value dari produk yang mereka beli, jauh lebih penting. Meskipun
demikian, masih terdapat konsumen yang memperhatikan etika dari sebuah produk palsu
tersebut. Sehingga, ketika konsumen yang memiliki kesadaran akan ethical judgment yang
tinggi, mereka tidak akan membeli produk palsu dan lebih berorientasi kepada produk yang
asli.

B. Indentifikasi Masalah
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan dalam latar belakang penggunaan tas
bermerek tiruan . Oleh karena itu masalah yang diuraikan dalam Naskah Akademik ini
meliputi:
1. Permasalahan apa yang dihadapi oleh konsumen dengan penjualan tas bermerek
tiruan yang beredar di pasaran
2. Perlunya rancangan Peraturan Pemerintah tentang penjualan tas bermerek tiruan
3. Landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis penyusunan Rancangan Peraturan
Pemerintah tentang penjualan tas bermerek tiruan
4. Arah, jangkauan, dan ruang lingkup pegaturan Rancangan Peraturan Pemerintah
tentang penjualan tas bermerek tiruan

C. Tujuan dan kegunaan kegiatan penyusunan Naskah Akademik


Tujuan penyusunan naskah akademik mengenai penjualan tas bermerek tiruan adalah
sebagai landasan ilmiah bagi penyusunan rancangan peraturan pemerintah memberikan garis
besar terhadap peningkatan penjualan tas bermerek lokal yang sama kualitasnya dengan tas
bermerek buatan luar negeri
Sesuai dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang dikemukakan di atas, tujuan
penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pengaturan
penjualan produk tas lokal dirumuskan sebagai berikut:
1. Menjelaskan penentuan kebijakan pengaturan penjualan tas bermerek tiruan
2. Menjelaskan perlunya Rancangan Peraturan Pemerintah tentang penjualan tas
bermerek tiruan

7
3. Merumuskan perimbangan filosofis, sosiologis, dan yuridis penyusunan Rancangan
Peraturan Pemerintah tentang tas bermerek tiruan
4. Merumuskan arah, jangkauan, dan ruang lingkup pengaturan Rancangan Peraturan
Pemerintah tentang tas bermerek tiruan

5. Kegunaan penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Pemerintah tentang


tas bermerek tiruan sebagai acuan:
1. Penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang tas bermerek tiruan
2. Pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang tas bermerek tiruan
Partisipasi masyarakat dalam memberikan masukan tertulis dan/atau masukan lisan
baik dalam penyusunan maupun pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang tas
bermerek tiruan

D. Metode
Metodelogi yang digunakan sebagai penunjang dalam penyusunan Naskah Akademik
Peraturan Pemerintah tentang tas bermerek tiruan melalui metode penelitian di bidang hukum
dilakukan melalui pendekatan yuridis normatif. Dalam memulai studi hukum ini terdapat
beberapa tahapan. Langkah-langkah tersebut antara lain mengidentifikasi dan menentukan
masalah terkait, mengumpulkan bahan hukum primer, menengah, dan tersier, serta
melakukan penelitian tentang masalah hukum yang merupakan masalah yang muncul dalam
penelitian berdasarkan bahan hukum yang telah dikumpul.

8
BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

A. Kajian Teoritis
Di Indonesia khususnya masyarakat luas baik didaerah kota kabupaten maupun
provinsi pasti mempunyai keinginan untuk membeli tas dengan kualitas yang bagus dan
terjamin. Tas adalah wadah tertutup yang dapat dibwa bepergain dan mudah dibawa, tas
biasanya menggunakan bahan Kertas, Plastik, Kain, kulit dan lain lain,

Tas biasanya digunakan untuk membawa pakaian, buku dan perlengkapan lainya tas
yang dapat digendong di punggung disebut Tas Ransel, sementara tas yang tidak dapat di
gendong dan hanya terdaapat pegangan jinjingan ditangan disebuut koper. ( dalam bahasa
belanda Koffer ) ada juga tas kecil yang hanya membawa peralatan kebutuhan wanita disebut
Tas Kecantikan atau Beauty Case.

Tas juga memiliki bentuk dan ukuran yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan
masing-masing orang dan sesuai dengan apa yang akan dibawa dalam tas tersebut. Seberapa
banyak isi yang ingin dimasukkan dalam tas akan disesuaikan dengan ukuran dari tas
tersebut.

Jenis tas juga berbeda-beda, ada yang berbahan kain, plastik, metal dan kertas.
Kegunaan dari bahan dari tas itu juga disesuaikan pada isi yang ingin dimasukkan dalam tas.
Misalnya seperti tas yang digunakan untuk sekolah, kuliah, dan kerja, biasanya berbahan kain
dan camuran sedikit plastik keras, serta ukurannya relatif sedang dan sedikit besar
dikarenakan barang yang dibawa biasanya banyak. Pada umumnya tas yang berukuran besar
biasanya diisi dengan barang yang jumlahnya banyak seperti koper, tas untuk pendaki
gunung, tas traveling. Yang berukuran kecil biasanya berisikan barang yang jumlah nya
sedikit dan ukurannya relatif kecil, contohnya seperti totebag, waist bag, tas pesepeda, pouch,
dan lain-lain

Keunggulan dari jenis tas juga berbeda-beda. Seperti halnya pada keunggulan tas
plastik yaitu ringan dan tidak mudah basah dan aman jika digunakan ketika beraktivitas
diluar ruangan dan di daerah. Dikarenakan tas plastik sendiri ringan dan tidak mudah robek
karenakan plastik merupakan material yang lebih ringan dan tidak mudah robek
dibandingkan dengan tas yang berbahan kain dan kulit. Tas plastik juga ringan dan dapat

9
dengan mudah dibawa saat berpergian. Tas plastik juga aman digunakan oleh anak-anak yang
masih rentan meletakkan barang di sembarang tempat.

Kembali lagi kepada produksi tas di indonesia, tas merek tiruan di indonesia kini
semakin menjamur, hampir di setiap daerah ditemukan produksi tas merek tiruan yang
jumlahnya sangat banyak, bahkan mampu menyaingi produksi tas original baik lokal maupun
luar negeri.

Isu perdagangan barang palsu di Indonesia bukanlah hal yang baru terjadi, tetapi
sudah menjadi isu lama. Pemalsuan hak cipta barang yang bermerek merupakan fenomena
dari perdagangan barang palsu. Produk barang palsu maupun produk tiruan di Indonesia
kerap menjadi permasalahan yang masih belum dapat diselesaikan secara tuntas. Tingginya
peredaran perdagangan barang palsu, membuat meningkatnya keinginan dari konsumen
untuk membeli barang palsu. Rendahnya pendapatkan konsumen juga menjadi halangan dari
konsumen untuk mendapatkan suatu barang asli dengan harga yang lebih mahal. Penelitian
LPEM FEUI Tahun 2010 mencatat bahwa tingginya pemalsuan di Indonesia tidak hanya
disebabkan karena produsen produk palsu banyak memasok barang palsu ke pasar, tetapi
juga adanya permintaan barang palsu.

Pemalsuan barang palsu merupakan sebuah tindakan penyalahgunaan terhadap merek


dagang yang identik sehingga melanggar hak pemegang merek dagang yaitu hak kekayaan
intelektual. Secara teknis, pemalsuan ini merujuk pada pelanggaran hak merek dagang, dan di
dalam prakteknya tindakan ini dilakukan pembuatan produk tersebut dengan sengaja dibuat
sangat mirip dengan produk aslinya. Terkadang hal tersebut dapat membuat konsumen rancu
dalam mendapatkan atau mencari produk asli yang mereka inginkan untuk di beli.

Pemalsuan barang palsu merupakan sebuah tindakan penyalahgunaan terhadap merek


dagang yang identik sehingga melanggar hak pemegang merek dagang yaitu hak kekayaan
intelektual. Secara teknis, pemalsuan ini merujuk pada pelanggaran hak merek dagang, dan di
dalam prakteknya tindakan ini dilakukan pembuatan produk tersebut dengan sengaja dibuat
sangat mirip dengan produk aslinya. Terkadang hal tersebut dapat membuat konsumen rancu
dalam mendapatkan atau mencari produk asli yang mereka inginkan untuk di beli.

Merek mempunyai sebuah peranan yang penting dalam sebuah produk selain untuk
memperkenalkan produk dari sebuah perusahaan maupun toko produk karena merek
berfungsi sebagai daya pembeda sebuah barang maupun jasa yang mempunyai kriteria dalam
kelas barang maupun jasa sejenis yang diproduksi sebuah perusahaan yang beragam.

10
Kedudukan suatu merek dipengaruhi oleh mutu yang dihasilkan suatu perusahaan. Merek
juga digunakan dalam dunia periklanan dan strategi pemasaran karena publik sering
mengaitkan suatu image, kualitas atau reputasi barang dan jasa dengan merek tertentu.
Sebuah merek dapat menjadi kekayaan yang sangat berharga secara komersial, dan seringkali
merek-lah yang membuat harga suatu produk menjadi mahal bahkan lebih bernilai
dibandingkan dengan perusahaan tersebut. Tetapi disinilah celah untuk para oknum yang
kurang bertanggung jawab, yang meniru sebuah produk yang produknya menyerupai produk
asli untuk membuat para konsumen rancu dalam memilih produk yang mereka inginkan.

Konsumsi produk palsu ataupun produk tiruan di Indonesia sudah menjadi hal yang
dianggap biasa, hal ini dapat dilihat dengan maraknya penjualan dan pembelian produk-
produk tiruan. Peniruan di Indonesia sudah menyebar dan memenuhi pasar maupun pusat-
pusat pembelanjaan di Indonesia khususnya dalam hal kecantikan. Hal ini salah satu yang
menyebabkan sebagian konsumen cenderung akan membeli barang palsu dibandingkan
dengan yang asli. Walaupun faktanya produk palsu memiliki kualitas yang lebih rendah tetapi
tidak mengurangi minat dari konsumen karena konsumen tidak harus banyak mengeluarkan
biaya mahal tapi sudah bisa mendapatkan produk yang sama secara kasat mata. Dalam
praktek pemalsuan barang khususnya yang beredar di Indonesia mencakup pakaian,
kosmetik, tas, sepatu, CD, aksesoris, dan lain-lain.

B. Kajian terhadapt asas/prinsip yang terkait dengan penyusunan norma


Secara tegas dinyatakan dalam Pasal 100 – Pasal 102 UU MIG diatur mengenai
tindak pidana terkait merek:

Pasal 100 UU MIG

1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak menggunakan Merek yang sama pada
keseluruhannya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa
sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00
(dua miliar rupiah).

2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak menggunakan Merek yang mempunyai


persamaan pada pokoknya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang
dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan

11
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

3. Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2), yang jenis barangnya mengakibatkan gangguan kesehatan, gangguan
lingkungan hidup, dan/atau kematian manusia, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah).

Pasal 101 UU MIG

1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak menggunakan tanda yang mempunyai
persamaan pada keseluruhan dengan Indikasi Geografis milik pihak lain untuk
barang dan/atau produk yang sama atau sejenis dengan barang dan/atau
produk yang terdaftar, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak menggunakan tanda yang mempunyai
persamaan pada pokoknya dengan Indikasi Geografis milik pihak lain untuk
barang dan/atau produk yang sama atau sejenis dengan barang dan/atau
produk yang terdaftar, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Pasal 102 UU MIG

1. Setiap Orang yang memperdagangkan barang dan/atau jasa dan/atau produk yang
diketahui atau patut diduga mengetahui bahwa barang dan/atau jasa dan/atau
produk tersebut merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 100 dan Pasal 101 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu)
tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Tindak pidana sebagaimana disebutkan di atas, hanya dapat ditindak jika ada aduan
dari pihak yang dirugikan. Hal ini dapat dilihat dari perumusan Pasal 103 UU MIG:

1. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 sampai dengan Pasal 102
merupakan delik aduan.

12
Ini berarti bahwa penjualan produk atau barang palsu hanya bisa ditindak oleh pihak
yang berwenang jika ada aduan dari pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh hal tersebut,
dalam hal ini si pemilik merek itu sendiri atau pemegang lisensi

Sementara, menurut pasal 9 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014
tentang Hak Cipta ialah:

2. Setiap Orang yang melaksanakan hak ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta.
3. Setiap Orang yang tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dilarang
melakukan Penggandaan dan/atau Penggunaan Secara Komersial Ciptaan.

Pasal 10:

Pengelola tempat perdagangan dilarang membiarkan penjualan dan/atau penggandaan


barang hasil pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait di tempat perdagangan yang
dikelolanya.

Sebagai bagian dari Hukum hak atas kekayaan intelektual maka suatu merek jelas
akan dilindungi dalam penggunaan dan pemakaiannya. Untuk dapat dilindunginya suatu
merek, maka merek tersebut terlebih dahulu harus didaftarkan. Pendaftaran tersebut menjadi
penting untuk mendapatkan hak atas merek tersebut. Hak atas merek adalah hak eksklusif
yang diberikan negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam “daftar umum merek”
untuk jangka waktu tertentu.

Asas-asas hak kekayaan intelektual adalah sebagai berikut:

1. Prinsip Perlindungan Hukum Karya Intelektual


2. Prinsip Keseimbangan Hak dan Kewajiban
3. Prinsip Keadilan
4. Prinsip Perlindungan Ekonomi dan Moral
5. Prinsip Teritorialitas
6. Prinsip Kemanfaatan.

1. Prinsip Perlindungan Hukum Karya Intelektual


Hukum hanya memberi perlindungan kepada pencipta, pendesain atau
inventor yang dengan daya intelektualnya menghasilkan suatu ciptaan, desain atau
invansi orisinil (baru, karya asli bukan tiruan) yang sebelumnya belum ada.

13
Orisinilitas menjadi persyaratan terpenting dari hukum kekayaan intelektual.
Hukum memberi perlindungan kepada pencipta atau inventor tidak dimaksud untuk
selama lamanya, tetapi berlangsung dalam jangka waktu tertentu yang dianggap
wajar. Jangka waktu perlindungan hukum dimaksudkan agar si pencipta, pendesain
ataupun inventor memperoleh hasil atau kompensasi yang layak secara sosial maupun
secara ekonomi.
2. Prinsip Keseimbangan Hak dan Kewajiban
Hukum mengatur berbagai kepentingan yang berkaitan dengan HKI secara
adil dan proporsional, sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan
kepentingannya. Pihak yang berkepentingan dalam hal ini adalah pemerintah,
pencipta, inventor atau pemegang atau penerima hak kekayaan intelektual dan
masyarakat. HKI yang berbasis pada individualisme harus diimbangi dengan
keberpihakan pada kepentingan umum (komunialisme).
3. Prinsip Keadilan
Pengaturan hukum hak kekayaan intelektual atau HKI harus mampu
melindungi kepentingan si pencipta atau inventor. Di sisi lain jangan sampai
kepentingan pencipta atau inventor mengakibatkan timbulnya kerugian bagi
masyarakat luas.
Hak kekayaan intelektual jug tidak boleh digunakan untuk menekan suatu
negara agar mengikuti keinginan negara lain, apalagi dimaksudkan untuk membatasi
terjadinya alih teknologi dari negara maju kepada negara berkembang.
4. Prinsip Perlindungan Ekonomi dan Moral
Lahirnya karya intelektual membutuhkan waktu, kreativitas intelektual,
fasilitas, biaya yang tidak sedikit dan dedikasi. Karya intelektual juga memiliki nilai
ekonomi yang sangat tinggi.
Oleh karena itu pencipta atau inventor harus dijamin oleh hukum untuk
memperoleh manfaat ekonomi dari karyannya. Selain itu, pencipta atau inventor juga
dilindungi hak moralnya, yaitu berhak untuk diakui keberadaanya sebagai pencipta
atau inventor dari suatu karya intelektual.
5. Prinsip Teritorialitas
Walaupun prinsip national treatment dan MFN merupakan dua prinsip pokok,
perlindungan hak kekayaan intelektual diberikan oleh negara berdasarkan prinsip
kedaulatan dn yurisdiksi masing masing negara.

14
Disepakatinya WTO/TRIPs Agreement dan keinginan untuk mewujudkan
standarisasi pengaturan Hak kekayaan intelektual secara internasional tidak memupus
prinsip teritorialitas.

6. Prinsip Kemanfaatan.
Karya intelektual yang dilindungi hukum adalah yang memiliki manfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, serta dapat digunakan untuk
kesejahteraan dan pengembangan kehidupan masyarakat.
Karya intelektual yang tidak memiliki manfaat bagi manusia banyak tidak
layak diberi perlindungan hukum.
Sesuai ketentuan Article 7 TRIPs Agreement, tujuan dari perlindungan dan
penegakan hukum HKI adalah untuk memacu invensi baru di bidang teknologi dan
memperlancar alih teknologi dan penyebarannya dengan tetap memperhatikan
kepentingan produsen dn penggunannya.
Teknologi pada prinsipnya tidak boleh dikuasai dan digunakan hanya oleh
sekelompok orang, perusahaan atau negara tertentu saja, melainkan harus dialihkan
dan disebarkan kepada orang lain, perusahaan dan negara lain sehingga dapat
meningkatkan kesejahteraan bagi manusia.
Itulah penjelasan dari artikel prinsip dasar hak kekayaan intelektual. Kritik dan
saran yang membangun sangat kami harapkan demi pengembangan artikel ini lebih
lanjut.

Sedangkan asas pendaftaran merek yaitu terbagi kepada 2 asas yaitu:

1. first to file principle


2. first to use principle

1. first to file principle


Sistem perlindungan merek first to file atau sistem konstitutif adalah sistem
perlindungan terhadap suatu merek di mana pihak yang pertama kali mengajukan
permohonan pendaftaran ke kantor merek, maka menjadi pihak pertama yang
memiliki hak atas merek tersebut. Penggunaan sistem first to file ini dinilai dapat
lebih memberikan kepastian hukum bagi pemilik mereknya.
2. first to use principle

15
Sistem perlindungan merek first to use atau sistem deklaratif adalah sistem
perlindungan yang memberikan hak eksklusif kepada pengguna pertama secara
komersial suatu merek pada suatu wilayah tertentu, meskipun pengguna merek
tersebut belum mengajukan permohonan pendaftarannya dalam menggunakan
merek tersebut secara komersial.

C. Kajian terhadap praktik penyelenggaraan


Pencegahan produksi tas merek tiruan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu
hak dasar rakyat, yaitu hak untuk memperoleh kebutuhan hidup yang layak. Pencegahan
produksi tas merek harus dipandang sebagai suatu investasi untuk peningkatan kualitas
sumber daya manusia dan mendukung pembangunan ekonomi, serta memiliki peran penting
dalam upaya penanggulangan kemiskinan.

Pencegahan produksi tas merek tiruan dihadapkan pada berbagai permasalahan


penting antara lain penolakan para produsen tas merek tiruan, kurang nya lapangan kerja bagi
produsen tas merek tiruan apa bila tas merek tiruan dilarang . Beberapa masalah penting
lainnya yang perlu ditangani segera adalah peningkatan produksi dan kualitas tas produk
lokal secara meningkat.

Secara umum produksi tas merek tiruan masih menjadi problem besar di Negara-
negara berkembang termasuk Indonesia sehingga berimbans pada Pemerintah pusat. Produksi
tas merek tiruan di masyarakat luas dari lingkungan masyarakat marginal yang tersisihkan
dalam proses pembangunan nasional. Mereka tidak mendapatkan pengetahuan dan atau
pengaturan terhadap penjualan tas merek tiruan.

Kebanyakan dari lingkungan masyarakat belum mengetahui tas produksi lokal


sebagai tas yang tepat atau yang baik digunakan untuk menyimpan barang bawaan terutama
pada saat menjalani aktivitas di luar. Lingkungan Masyarakat tidak mengetahui bahan
produksi tas merek tiruan dapat berakibat atau berdampak bagi produsen tas lokal yang
produknya mengalami penurunan penjualan tas lokal.

Realitas ini sungguh sangat memprihatinkan dan membutuhkan intervensi dan


affirmative actions dari berbagai pihak dan kalangan. Artinya sangat diperlukan adanya

16
peningkatan kesadaran kritis dan aksi sosial masyarakat dari berbagai kalangan professional,
Pemerintah beserta seluruh jajarannya.

Dalam proses perencanaan peraturan pemerintah, permasalahan penjualan tas merek


tiruan yang berlebihan menjadi perhatian oleh para kelompok professional baik itu para
pendidik dan perancang Peraturan Pemerintah. Selain itu para pengambil kebijakan tidak
secara tegas memberlakukan adanya peraturan hukum tentang penjualan tas merek tiruan
kepada seluruh jajaran pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat. Realitas yang terjadi
di lingkungan masyarakat terhadap penjualan tas merek tiruan yang jika tidak ada kebijakan
mengenai hal tersebut akan berakibatkan menurunnya penjualan tas produk lokal. Oleh
karena itu penjualan tas merek tiruan tidak semata-mata hal yang biasa yang akan menjadi
kebiasaan bagi masyarakat luas.

Realitas tersebut memperlihatkan adanya perbedaan mendasar tentang aspek budaya


dan pemahaman tentang isu bagaimana penjualan tas merek tiruan yang baik dan benar antara
negara berkembang dan negara maju. Di negara-negara maju, perlindungan dan pengaturan
terhadap penjualan tas merek tiruan telah dijalankan dengan baik. Hal ini terlihat dengan
adanya peraturan hukum yang berfungsi efektif untuk memproteksi hak asasi manusia dalam
hal memenuhi kebuthannya

Apabila masalah ini tidak ditangani secara spesifik akan menimbulkan masalah sosial
yang besar dan bukan tidak mungkin akan menjadi beban sosial bagi Pemerintah dalam
jangka panjang. Sampai sejauh ini persoalan penting yang tidak mendapatkan perhatian
adalah banyak kasus dari dampak penjualan tas merek tiruan yang terjadi dan tidak diimbangi
dengan adanya solusi dan investasi sosial oleh masyarakat maupun Pemerintah secara
kontinu. Masalah yang timbul dari penyebab penjualan tas merek tiruan belum menjadi
mainstream dalam pembangunan baik di Pusat ,artinya semua solusi persoalan disegala sektor
pembangunan masih belum bersifat integratif dan inklusif.

Dengan demikian, peran Pemerintah dan masyarakat adalah menciptakan


terselenggaranya Hak Asasi Manusia dalam hal pengaturan terhadap penjualan tas merek
tiruan. Sebetulnya terdapat hal konkrit yang dapat kita dorong bersama agar pelaksanaan
konvensi ini dapat cepat tercapai. Berdasarkan hal tersebut dipandang perlu untuk segera
melakukan penulisan naskah akademik dan penyusunan Rancangan Peraturan pemerintah
tentang pengaturan penjualan tas merek tiruan bertujuan untuk:

a. Sebagai Perlindungan Hukum Terhadap Pencipta dan Karya Ciptanya

17
ika perusahaan Anda telah mendaftarkan suatu karya apapun kepada HAKI, karya
tersebut akan mendapat perlindungan hukum. Dengan adanya hal tersebut, maka Anda
sebagai pemilik karya tentunya akan lebih tenang dan aman dalam memanfaatkan
nilai ekonomis dari karya cipta tersebut tanpa takut menyalahi hukum.
b. Sebagai Bentuk Antisipasi Pelanggaran HAKI
Manfaat kedua adalah sebagai bentuk antisipasi terjadinya pelanggaran HAKI.
Pendaftaran hak cipta ke HAKI akan membuat anda memiliki landasan yang kuat jika
sewaktu-waktu Anda harus melawan orang-orang yang menggunakan karya Anda
secara ilegal sehingga dengan adanya HAKI orang-orang tersebut akan berpikir dua
kali jika ingin menjiplak karya Anda.
c. Kompetisi dan Memperluas Pangsa Pasar
Meningkatkan kompetisi antar sesama pengusaha. Dengan adanya HAKI, maka
banyak pengusaha yang akan termotivasi untuk berkarya dan berinovasi sehingga
kompetisi semakin meningkat. Hal ini secara tidak langsung akan membuat
perusahaan saling berlomba untuk menghasilkan karya terbaik.

D. Kajian terhadap Implikasi Penerapan Sistem Baru yang Akan Diatur dalam
Peraturan Daerah
Pembentukan peraturan pemerintah tentang pengaturan penjualan tas merek tiruan
membutuhkan perlindungan dan pengaturan terhadap penjualan tas merek tiruan dari
masyarakat. Sebab, aturan itu lahir, tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat yang
kareana keberadaan sebuah aturan ini muncul. Oleh karena itu pemerintah daerah harus
melibatkan masyarakat dalam pembuatan peraturan yang baik sehingga adanya korelasi antara
pembuat dan pelaksana aturan tersebut yang dapat menciptakan daya hidup hidup yang stabil.

Untuk pemenuhan hak-hak para pengguna tas merek tiruan bukan hanya menjadi tugas
pemerintah, namun seluruh lapisan masyarakat harus juga menunjang dan memandang bahwa
pemenuhan hak bagi penggunaan tas t yang baik dan benar merupakan Hak Asasi Manusia.
Yang menjadi permasalahan ialah, saat ini terdapat paradigma yang berkembang di masyarakat
bahwa penjualan tas merek tiruan hanya persoalan biasa yang tidak harus ada penanganan
khusus terkait hal penjualan tas merek tiruan tersebut. Oleh karena itu paradigma tersebut tentu
kurang teapt, pengguna yang menggunakan tas merek tiruan membutuhkan pengaturan terkait
penggunaan tas merek tiruan.

Arah kebijakan dan strategi sasaran meminimalisir dampak negatif bagi penjualan tas
merek tiruan dengan:

18
1) Pengawasan terhadap produksi dan penggunaan tas merek tiruan
2) Meminimalisir penggunaan tas merek tiruan
3) Peningkatan penjualan tas produk lokal

Penggunaan tas merek tiruan menjadi permasalahan hampir di seluruh wilayah


perkotaan. Semakin padat penduduk semakin banyak pula penjualan tas merek tiruan dan
semakin banyak pula yang terkena dampak negative dari tas merek tiruan.

Dengan demikian, peran Pemerintah, dan masyarakat adalah menciptakan


terselenggaranya Hak Asasi Manusia, terkhusus bagi pengaturan tas merek tiruan.
Seharusnya terdapat hal konkrit yang dapat mendorong Bersama agar pelaksaan rancangan
ini dapat tercapai. Berdasarkan hal tersebut dipandang perlu untuk segera melakukan
penulisan naskah akademik dan penyusunan Rancangan Peraturan pemerintah tentang
pengaturan penjualan tas merek tiruan.

19
BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
TERKAIT

Kajian terhadap Peraturan Perundang-undangan ini dimaksudkan untuk mengetahui


kondisi hukum atau peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai substansi atau
materi yang akan diatur. Dalam kajian ini akan diketahui posisi dari peraturan pemerintah
yang baru. Analisis ini dapat menggambarkan tingkat sinkronisasi, harmonisasi Peraturan
Perundang undangan yang ada serta posisi dari pemerintahan pusat untuk menghindari
terjadinya tumpang tindih pengaturan. Hasil dari penjelasan atau uraian ini menjadi bahan
bagi penyusunan landasan filosofis dan yuridis dari pembentukan yang akan dibentuk.

Kajian ini adalah Naskah Akademik pengaturan bagi penggunaan toples plastik
sebagai wadah makanan dan Draft Rancangan Peraturan Daerah mengenai pengaturan bagi
penggunaan toples plastik, maka evaluasi dan analisis peraturan perundang-undangannya
adalah sebagai berikut;

1. Undang-undang nomor 28 tahun 2014 tentang hak cipta


2. Undang-undang Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan

Evaluasi dan analisis

1. Undang-undang nomor 28 tahun 2014 tentang hak cipta


1. Aspek Hukum Undang-undang Hak Cipta
Dari uraian sistematika Undangundang Hak Cipta (UUHC), nampak bahwa
perlindungan hak cipta yang diberikan oleh Undang-undang Hak Cipta telah
mendetail, dan yang lebih penting lagi, senantiasa disesuaikan dengan
perkembangan, utamanya dalam bidang teknologi. Undang-undang Hak Cipta
yang mengalami tiga kali perubahan dalam kurun waktu dua puluh tahun (1982-
2002), dapat merupakan indikasi bahwa Undang-undang Hak Cipta senantiasa
disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Beberapa hal yang menurut penulis yang merupakan perlindungan prinsip yang
diberikan Undang-undang Hak Cipta kepada pencipta atau pemegang hak cipta,
yaitu:
1. Hak cipta yang dipandang sebagai hak kebendaan (benda bergerak) yang
bersifat immateriil dan melekat pada pribadi pencipta. Dengan demikian setiap

20
penghargaan yang diberikan terhadap suatu ciptaan secara tidak langsung juga
memberikan penghargaan kepada pribadi pencipta berikut ahli warisnya.
Dengan sifat ini pula yang demikian, maka untuk kepentingan pribadi pencipta
atau ahli warisnya, hak cipta dapat dialihkan kepada penerima hak cipta
berdasarkan suatu komitmen tertentu antara pencipta dengan penerima hak
cipta. Oleh karena itu, sangat tepat Undang-undang Hak Cipta memberikan
perlindungan hak cipta, antara lain yaitu seumur hidup pencipta ditambah lima
puluh tahun sejak pencipta meninggal dunia
2. Perubahan delik pelanggaran hak cipta yang semula delik aduan menjadi delik
biasa. Perubahan ini sangat tepat dan mendasar karena dengan perubahan ini
maka aparat hukum tidak lagi perlu menunggu aduan dari pencipta atau
pemegang hak cipta. Pada saat pelanggaran hak cipta masih merupakan delik
aduan, maka pelanggaran yang terus menerus terjadi di depan aparat penegak
hukum pun tidak dapat ditindak tanpa aduan pencipta atau pemegang hak cipta
3. Pelangggaran hak cipta merupakan kejahatan. Ketentuan ini jelas memberikan
perlindungan yang cukup cagi pencipta atau pemegang hak cipta dalam rangka
menegakkan Undangundang Hak Cipta. Walaupun sanksi ekonomi (denda)
menurut penulis sudah karena keuntungan dari hasil pelanggaran hak cipta
cukup besar, akan tetapi saksi pidana yang ada masih memadai untuk
membuat jera pelaku pelanggaran hak cipta, yaitu:
A. Pidana penjara maksimum selama 7 (tujuh) tahun dan atau denda
sebesar Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) bagi yang melakukan
perbuatan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan
atau memberi izin untuk itu
B. Pidana penjara maksimum 5 (lima) tahun dan atau denda paling
banyak Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) bagi yang atau
menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang yang merupakan hasil
pelanggaran hak cipta.
C. Pembatasan terhadap karekteristik ciptaan. Walaupun pencipta oleh
Undang-undang Hak Cipta tetap membatasi ciptaan yang tercermin
dari ketentuan bahwa hak cipta merupakan hak kebendaan yang
imateriil dan melekat pada pribadi pencipta. Namun Undang-undang
Hak Cipta tetap membatasi ciptaan yang boleh diciptakan pencipta,
yakni suatu ciptaan tidak boleh bertentangan dengan kebijaksanaan

21
pemerintah di bidang pertahanan dan keamanan negara, kesusilaan
serta ketertiban umum. Hal ini diancam dengan pidana maksimum 5
(lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu
miliiar rupiah). Menurut penulis, pembatasan ini tepat sebab di
Indonesia kepentingan negara, kesusilaan dan kepentingan umum
masih diutamakan daripada kepentingan pribadi
D. Pembatasan hak cipta terhadap pemegang hak cipta. Selain membatasi
ciptaan yang boleh diciptakan, Undang-undang Hak Cipta juga
membatasi pemegang hak cipta, yakni pemegang hak cipta dilarang
memperbanyak atau mengumumkan ciptaan potret tanpa izin terlebih
dahulu dari yang dipotret. Hal ini diancam dengan pidana penjara
maksimum 2 (dua) tahun dan atau dendapalingbanyak Rp.150.000.000,
(seratus lima puluh juta rupiah). Pembatasan ini juga sangat tepat
sebab dengan ketentuan ini, maka Undang-undang Hak Cipta ingin
memotivasi terjadinya komitmen antara pemegang hak cipta dengan
obyek potret. Artinya, pada saat pemegang hak cipta meminta izin
obyek potret maka saat itu akan terjadi komitmen. Mungkin saja isi
komitmen adalah pembagian royalti atau keuntungan
E. Undang-undang bersifat sosial. Hal ini tercermin pada ketentuan non
pelanggaran hak cipta terhadap pengambilan ciptaan saat pertunjukan
atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak
merugikan kepentingan yang wajar bagi pencipta. Dengan ketentuan
ini maka penyelenggaraan pertunjukan dan masyarakat diuntungkan,
karena menikmati ciptaan tanpa mengeluarkan royalti tertentu kepada
pencipta atau pemegang hak cipta.
Dari uraian di atas, nampak jelas bahwa Undang-undang Hak Cipta
relatif memberikan perlindungan yang cukup bagi pencipta atau
pemegang hak cipta, dalam kenyataan dimotivasi oleh beberapa hal
antara lain:
1. Minimnya pengsosialisasian dalam pengkomunikasian
2. Pengaruh pemberitaan di media massa terhadap efektivitas
hukum. Berita di media massa dapat memotivasi terjadinya
pelanggaran hak cipta, dapat menimbulkan asumsi bahwa
walaupun dikenakan sanksi tetapi pelanggaran akan tetap

22
dilakukan, hal ini disebabkan keuntungan yang diperoleh
melalui pelanggaran hak cipta adalah besar sedangkan sanksi
pidananya adalah ringan
3. Pengaruh tidak adanya rasa bersalah dari pelaku kriminalitas
terhadap efektivitas hukum. Hal ini disebabkan pelaku tidak
memahami secara benar materi Undang-undang Hak Cipta,
terutama yang berkaitan dengan batasan mengenai pelanggaran
hak cipta
4. Ketaatan hukum di Indonesia lebih disebabkan karena takut
akan sanksi (compliance). Oleh sebab itu, yang menjadi salah
satu materi perubahan Undang-undang Hak Cipta Tahun 1997
dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 adalah
memperberat sanksi pidana
5. Lemah dan tidak seriusnya penegakan hukum. Hal ini telah
menjadi gejala umum, yang bukan saja di bidang Undang-
undang Hak Cipta tetapi menyangkut bidang hukum secara
umum. Hal ini nampak dari belum seriusnya aparat penegak
hukum dalam menertibkan penjualan produk hasil bajakan di
tempat-tempat umum
6. Kondisi ekonomi. Telah menjadi gambaran umum sikap
masyarakat, yakni ingin meraup keutungan yang
sebesarbesarnya dengan modal yang sekecilkecilnya. Dengan
sikap ini, mereka membeli produk hasil pelanggaran hak cipta
(bajakan) dengan harga murah daripada membeli yang bukan
bajakan dengan harga yang mahal.

2. Aspek Ekonomi Undang-undang Hak Cipta

Sebagaimana telah dikemukakan dalam uraian sebelumnya, bahwa maraknya


pelanggaran hak cipta, antara lain dimotivasi oleh manfaat ekonomi yang terkandung
pada ciptaan seseorang. Apabila Undang-undang Hak Cipta dipandang dari prinsip-
prinsip dasar ekonomi, substansi prinsip dasar ekonomi tersebut, akan penulis kemukakan
sebagai berikut:

23
A. Komoditi yang diproduksi Komoditi yang diproduksi dan tentunya memiliki manfaat
ekonomi pada Undang-undang Hak Cipta, yaitu ciptaan
B. Cara komoditi diproduksi Ciptaan merupakan hasil karya seseorang. Oleh karena itu
mengenai cara bagaimana seseorang itu memproduksi dalam hal ini membuat ciptaan,
tergantung pada cara orang itu sendiri. Tidak ada standarnisasi. Misalnya, pada
pencipta lagu, biasanya memperoleh inspirasi lagu ciptaannya pada saat ia sedang
rekreasi dan dapat pula pada saat ia sedang bekerja.
C. Peruntukan komoditi diproduksi Suatu ciptaan tentunya diperuntukkan bagi penikmat
ciptaan. Misalnya, suatu lagu diproduksi untuk orang yang senang mendengarkan
lagu, demikian pula dengan lukisan, puisi atau ciptaan lain.

Berdasarkan prinsip dasar ekonomi tersebut di atas, sangat jelaslah manfaat


ekonomi dari suatu ciptaan. Hal ini disebabkan oleh karena utuk menikmati suatu
ciptaan, penikmat harus mengeluarkan suatu biaya dengan besaran tertentu bagi
pencipta atau pemegang hak cipta atas ciptaan yang dinikmatinya. Demikian pula
pihak yang menerima peralihan hak cipta. Sebab walaupun hak cipta bersifat
immateriil, namun ia juga bersifat kebendaan yang bernilai ekonomi. Oleh karena itu,
dengan peralihan yang dilakukan antara pencipta dengan penerima hak cipta, maka
penerima hak cipta wajib memberikan kontra prestasi atas penerimaan hak cipta dari
pencipta.
Seorang produser (penerima hak cipta) yang berniat mengkomersilkan suatu
ciptaan, tentunya tidak terlepas dari tiga konsep hukum ekonomi, yakni:
a. Maksimalisasi. Pada konsep ini, produser akan melakukan
perencanaanperencanaan yang matang dalam melakukan produksi agar ia
memperoleh hasil atau keuntungan sesuai yang diharapkannya
b. Efisiensi. Pada konsep ini, produser akan benar-benar memperhitungkan
agar input (modal) produksi seminimal mungkin dan di lain pihak, output
(laba) yang sebesar-besarnya. Sikap ini merupakan naluri umum dari
setiap pelaku ekonomi, termasuk penikmat hak cipta. Dalam hal ini,
seseorang penikmat hak cipta akan berupaya untuk berkorban seminimal
mungkin untuk memperoleh manfaat ciptaan yang baik.
c. Equilibrium. Hal yang ditonjolkan pada konsep ini, tentunya adalah
keseimbangan antara pencipta dengan produser dalam proses peralihan hak
cipta, sebab proses peralihan tentunya dilakukan dengan suatu perjanjian

24
atau kontrak yang fair, tentunya yang dimaksud adalah kontrak yang
memenuhi rasionalisasi individu dan lingkungan/situasi kontrak.

Kewajiban seorang produser untuk melengkapi dirinya dengan suatu


perjanjian atau kontrak peralihan hak milik dari pencipta, tentunya merupakan
implkasi dari perlindungan yang diberikan Undang-undang Hak Cipta kepada
pencipta. Dengan perlindungan itu, maka pihak lain tdak dapat dengan
seenaknya melakukan kegiatan mengumumkan
(performingright),memperbanyak (mechanical right) atau penjualan suatu
ciptaan tanpa izin atau persetujuan pencipta. Namun demikian, dalam
kenyataannya banyak terjadi pelanggaran-pelanggaran hak cipta.

Tidak dapat dipungkiri bahwa di bidang hak cipta, konsep praktik


hukum ekonomi bukan hanya monopoli para produser atau pencipta, tetapi
para pelanggar hak cipta juga menggunakan konsep hukum ekonomi. Bedanya
mereka ini menggunakan konsep secar ekstrim karena dalam proses
produksinya (misalnya pembajak), ia benar-benar tidak ingin mengeluarkan
input yang besar, agar output (keuntungan) yang diperoleh sangat besar serta
tanpa susah payah.

Apabila dipandang dari sudut ekonomi, perlindungan yang diberikan


kepada pencipta atau pemegang hak cipta ini, antara lain mencakup
perlindungan insentif bagi pencipta atau pemilik hak cipta. Sebab, yang dalam
memproduksi ciptaan telah mengeluarkan biya dan tenaga, tentu wajar jika
memperoleh imbalan/insentif atas pemanfaatan ciptaanya oleh pihak lain.

Berapa besar nilai ekonomi nyata dari suatu ciptaan yang dilindungi,
sangat relatif. Hal ini tergantung pada konsensus antara pencipta atau
pemilik/pemegang hak cipta dengan penerima hak cipta. Selain itu, nilai nyata
ekonomi dari suatu ciptaan juga dapat diukur pada berapa besar reproduksi
ciptaan itu terjual. Bahkan penulis berpendapat bahwa nilai ganti rugi yang
tertuang dalam ketentuan sanksi dan ancaman pidana pada ketentuan Undang-
undang Hak Cipta, juga dapat merupakan salah satu tolok ukur nilai ekonomi
dari suatu ciptaan.

2. undang undang nomor 20 tahun 2020 tentang merek

25
A. Landasan Konseptual
1. Tinjauan Umum Perlindungan Konsumen
a. Hak dan kewajiban konsumen
Sebagian besar konsumen sama sekali tidak mengetahui apa saja yang
dilakukan produsen ataupun pelaku usaha sejak awal proses produksi hingga
perdagangan, maka dengan itu konsumen hak-hak konsumen harus dijaga.
Setiap konsumen dalam kegiatan jual beli memiliki hak dan kewajibannya
tersendiri agar tidak terjadi miskomunikasi ataupun masalah dengan pihak
lain. Dalam perkembangannya, terdapat 4(empat) hak dasar yang diakui secara
internasional, yaitu:
1. Hak untuk mendapatkan keamanan
Hak ini berarti bahwa, setiap konsumen berhak mendapatkan jaminan atas
penggunaan barang dan/atau jasa, dan produsen bertanggung jawab atas
kualitas yang diproduksi serta dipasarkan agar tidak menimbulkan
kerugian dalam bentuk materi ataupun terhadap jasmani pengguna.
2. Hak untuk mendapatkan informasi
Konsumen berhak untuk mengetahui secara jelas keterangan-keterangan
mengenai barang dan/atau jasa yang akan digunakan, seperti nama barang,
alamat perusahaan, nomor kode produksi, dan sebagainya.
3. Hak untuk memilih
Konsumen berhak untuk memilih sendiri barang dan/atau jasa tanpa
dipengaruhi oleh pihak lain dengan kewajiban untuk mencari tahu terlebih
dahulu untuk berjaga-jaga.
4. Hak untuk didengar
Terhadap suatu barang dan/atau jasa yang digunakan konsumen, apabila
menimbulkan keluhan oleh pihak manapun, pelaku usaha selaku penjual
serta pemerintah harus mendengarkan keluhan tersebut.
Adapun hak-hak konsumen yang diatur secara nasional dalam Undang-
Undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yakni:
1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa
2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta
jaminan yang dijanjikan

26
3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa
4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa
yang digunakan
5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut
6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen
7. Hak unduk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif
8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan
perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya
9. Hakhak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan
lainnya.

Berdasarkan hak-hak konsumen yang dipaparkan diatas, dapat diketahui


bahwa keselamatan dan kenyamanan konsumen merupakan hal yang sangat
penting. Meskipun demikian, terkadang beberapa konsumen “nakal” dapat
melakukan apa saja demi mendapatkan keuntungan dirinya, sehingga untuk
Berdasarkan hak-hak konsumen yang dipaparkan diatas, dapat diketahui
bahwa keselamatan dan kenyamanan konsumen merupakan hal yang sangat
penting. Meskipun demikian, terkadang beberapa konsumen “nakal” dapat
melakukan apa saja demi mendapatkan keuntungan dirinya, sehingga untuk

1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau


pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan
2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa
3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati
4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen
secara patut

27
28
BAB IV

LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS

A. Landasan Filosofi
Pemikiran mendasar yang melandasi perlu adanya pengaturan penjualan tas merek triuan
adalah adanya peraturan yang berlandasakan pada kebenaran dan cita rasa keadilan serta
ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat dan supremasi hukum. Dalam UUD 1945
dinyatakan pada beberapa pasal yaitu: Pasal 28H yaitu “Setiap orang berhak mempunyai hak
milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh
siapapun.” Dan pasal 33 yaitu “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas
demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekonomi nasional”. Ini menunjukkan bahwa cita-cita bangsa Indonesia ini untuk
memberikan kesejahteraan pada masyarakat Indonesia ini dinyatakan dengan tegas dalam
konstitusi Negara Indonesia dan ini menjadi kewajiban Negara untuk berupaya memenuhi
dan mencapai cita-cita tersebut.

Dasar filosofis berkaitan dengan rechtsidee (cita hukum) dimana semua masyarakat
mempunyainya, yaitu apa yang mereka harapkan dari hukum, misalnya untuk menjamin
keadilan, ketertiban, kesejahteraan dan sebagainya. Cita hukum tersebut tumbuh dari sistem
nilai mereka mengenai baik atau buruk, pandangan terhadap hubungan individu dan
kemasyarakatan, tentang kebendaan, dan sebagainya.

Semuanya itu bersifat filosofis artinya menyangkut pandangan mengenai hakikat


sesuatu. Hukum diharapkan mencerminkan sistem nilai tersebut baik sebagai sarana
mewujudkannya dalam tingkah laku masyarakat. Nilai-nilai ini ada yang dibiarkan dalam
masyarakat sehingga setiap pembentukan hukum atau peraturan perundang-undangan harus
dapat menangkapnya setiap kali akan membentuk hukum atau peraturan perundang-
undangan.

Dalam tataran filsafat hukum, pemahaman mengenai pemberlakuan moral bangsa ke


dalam hukum ini dimasukan dalam pengertian yang disebut dengan rechtsidee yaitu apa yang
diharapkan dari hukum, misalnya untuk menjamin keadilan, ketertiban, kesejahteraan dan
sebagainya yang tumbuh dari sistem nilai masyarakat mengenai baik dan buruk, pandangan
mengenai hubungan individu dan masyarakat, tentang kebendaan dan lain sebagainya.

29
Berdasarkan pada pemahaman tersebut, maka dalam konteks pembentukan peraturan
perundang-undangan di Indonesia, harus berlandaskan pandangan filosofis Pancasila
(staatfundamentalismenorm), yakni:

a. Nilai-nilai religiusitas bangsa Indonesia yang terangkum dalam sila Ketuhanan


Yang Maha Esa;
b. Nilai-nilai hak-hak asasi manusia dan penghormatan terhadap harkat dan martabat
kemanusiaan sebagaimana terdapat dalam sila kemanusiaan yang adil dan
beradab;
c. Nilai-nilai kepentingan bangsa secara utuh, dan kesatuan hukum nasional seperti
yang terdapat di dalam sila Persatuan Indonesia;
d. Nilai-nilai demokrasi dan kedaulatan rakyat, sebagaimana terdapat di dalam Sila
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/
perwakilan; dan
e. Nilai-nilai keadilan dan kemakmuran baik individu maupun sosial seperti yang
tercantum dalam sila Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kelima dasar filosofis tersebut harus tersurat maupun tersirat dalam suatu peraturan
perundang-undangan atau peraturan daerah bahkan alasan atau latar belakang terbentuknya
suatu peraturan daerah harus bersumber dari kelima nilai filosofi tersebut. Landasan filsafat
dalam suatu Negara yang menganut paham Negara Hukum Kesejahteraan (welfare state),
fungsi dan tugas negara tidak semata-mata hanya mempertahankan dan melaksanakan hukum
seoptimal mungkin guna terwujudnya kehidupan masyarakat yang tertib dan aman dari segala
penyakit yang ada, melainkan yang terpenting adalah bagaimana dengan landasan hukum
tersebut kesejahteraan umum dari seluruh lapisan masyarakatnya (warga negara) dapat
tercapai.

Berdasarkan pemahaman teori tersebut, maka pengaturan penjualan tas merek tiruan
sebagaimana diatur dalam peraturan pemerintah tentang penjualan tas merek tiruan memiliki
landasan filosofis yaitu: “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik
tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun. sebagaimana
diamanatkan dalam Pasal 28 H Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945”. Dengan landasan filosofis tersebut, maka masyarakat berhak untuk mendapatkan
mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara
sewenang-wenang oleh siapapun..

30
Adanya panduan dalam pengaturan penjualan tas merek tiruan sebagaimana tertuang
dalam Sistem ekonomi negara merupakan upaya dalam rangka mewujudkan kesejahteraan
masyarakat khususnya dalam bidang perekonomian. Sistem ekonomi merupakan bentuk
pengelolaan ekonomi secara terpadu dan saling mendukung guna menjamin tercapainya
derajat ekonomi masyarakat yang setinggi-tingginya.

B. Landasan Yuridis
Proses pembentukan peraturan perundang-undangan, disebut pula dengan aspek-aspek
prosedural pembentukan peraturan perundangundangan. Menurut Bagir Manan:

“Yang dimaksud dengan aspek-aspek prosedural adalah hal-hal seperti izin prakarsa.
Sedangkan, penulisan rancangan adalah menerjemahkan gagasan, naskah akademik, atau
bahan-bahan lain kedalam bahasa atau struktur yang normatif. Bahasa normatif artinya
bahasa yang mencerminkan asas-asas hukum tertentu, pola tingkah laku tertentu (kewajiban,
larangan, hak dan sebagainya). Bahasa normatif ini selalu tunduk pada kaidah-kaidah bahasa
Indonesia yang baku, juga harus tunduk pada bahasa hukum. Sedangkan, struktur normatif
artinya mengikuti teknik penulisan peraturan perundang-undangan seperti pertimbangan,
dasar hukum, pembagian bab dan seterusnya”.

Dalam penyusunannya haruslah mengacu pada landasan pembentukan peraturan


perundang-undangan atau ilmu perundang-undangan (gesetzgebungslehre), diantaranya
landasan yuridis. Setiap produk hukum, haruslah mempunyai dasar berlaku secara yuridis
(juridische gelding). Dasar yuridis ini sangat penting dalam pembuatan peraturan perundang-
undangan khususnya Peraturan Daerah.

Peraturan daerah merupakan salah satu unsur produk hukum, maka prinsip-prinsip
pembentukan, pemberlakuan dan penegakannya harus mengandung nilai-nilai hukum pada
umumnya. Berbeda dengan nilai-nilai sosial lainya, sifat kodratinya dari nilai hukum adalah
mengikat secara umum dan ada pertanggung jawaban konkrit yang berupa sanksi duniawi
ketika nilai hukum tersebut dilanggar. Oleh karena itu peraturan daerah merupakan salah satu
produk hukum, maka agar dapat mengikat secara umum dan memiliki efektivitas dalam hal
pengenaan sanksi, disebutkan bahwa sanksi adalah cara-cara menerapkan suatu norma atau
peraturan.

Landasan yuridis adalah landasan hukum (yuridische gelding) yang menjadi dasar
kewenangan (bevoegdheid, competentie) pembuatan peraturan perundang-undangan. Apakah
31
kewenangan sesorang pejabat atau badan mempunyai dasar hukum yang ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan atau tidak. Dasar hukum kewenangan membentuk peraturan
perundang-undangan sangat diperlukan. Selanjutnya, menetapkan proses dan prosedur
penetapannya, jika prosedur ini tidak diikuti maka peraturan tersebut batal demi hukum
vanrechtwegenietig. Landasan demikian disebut sebagai landasan yuridis formal. Selain
menentukan dasar kewenangan landasan hukum juga merupakan dasar keberadaan atau
pengakuan dari suatu jenis peraturan perundang-undangan. Selanjutnya, menunjukkan materi
tertentu yang harus dimuat sesuai dengan “wadahnya” dan substansi atau materi yang dimuat
tidak boleh bertentangan dengan isi peraturan perundang-undangan yang derajatnya lebih
tinggi. Hal ini sebagaimana asas peraturan perundang-undangan, yaitu lex superiore derogate
legi inferiore (peraturan yang lebih tinggi dapat mengenyampingkan peraturan yang lebih
rendah).

Demikian juga Bagir Manan, mengatakan, dalam pembentukan peraturan daerah


harus memperhatikan beberapa persyaratan yuridis. Persyaratan seperti inilah yang dapat
dipergunakan sebagai landasan yuridis, yaitu:

a. Dibuat atau dibentuk oleh organ yang berwenang, artinya suatu peraturan
perundang-undangan harus dibuat oleh pejabat atau badan yang mempunyai
kewenangan untuk itu. Dengan konsekuensi apabila tidak diindahkan persyaratan
ini maka konsekuensinya undang-undang tersebut batal demi hukum (van
rechtswegenietig);
b. Adanya kesesuaian bentuk/ jenisPeraturan perundang-undangan dengan materi
muatan yang akan diatur, artinya ketidaksesuaian bentuk/ jenis dapat menjadi
alasan untuk membatalkan peraturan perundang-undangan yang dimaksud;
c. Adanya prosedur dan tata cara pembentukan yang telah ditentukan adalah
pembentukan suatu peraturan perundang-undangan harus melalui prosedur dan
tata cara yang telah ditentukan;
d. Tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih
tinggi tingkatannnya adalah sesuai dengan pandangan stufenbau theory, peraturan
perundang-undangan mengandung norma-norma hukum yang sifatnya hirarkhis.
Artinya suatu Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya
merupakan grundnorm (norma dasar) bagi peraturan perundang-undangan yang
lebih rendah tingkatannya.

32
C. Landasan Sosiologi
Landasan sosiologis adalah landasan yang berkaitan dengan kondisi atau kenyataan
empiris yang hidup dalam masyarakat, dapat berupa kebutuhan atau tuntutan yang dihadapi
oleh masyarakat, kecenderungan dan harapan masyarakat.

Landasan sosiologis (sociologiche gelding) dapat diartikan pencerminan kenyataan


yang hidup dalam masyarakat, dengan harapan peraturan perundang-undangan termasuk
peraturan daerah tersebut akan diterima oleh masyarakat secara wajar bahkan spontan.
Peraturan perundangundangan yang diterima secara wajar akan mempunyai daya berlaku
efektif dan tidak begitu banyak memerlukan pengerahan institusional untuk
melaksanakannya.

Dasar sosiologis dari peraturan daerah adalah kenyataan yang hidup dalam
masyarakat (living law) harus termasuk pula kecenderungan-kecenderungan dan harapan-
harapan masyarakat. Tanpa memasukan faktor-faktor kecenderungan dan harapan, maka
peraturan perundang-undangan hanya sekedar merekam seketika (moment opname). Keadaan
seperti ini akan menyebabkan kelumpuhan peranan hukum. Hukum akan tertinggal dari
dinamika masyarakat. Bahkan peraturan perundang-undangan akan menjadi konservatif
karena seolah-olah pengukuhan kenyataan yang ada. Hal ini bertentangan dengan sisi lain
dari peraturan perundang-undangan yang diharapkan mengarahkan perkembangan
masyarakat.

Masyarakat berubah, nilai-nilai pun berubah, kecenderungan dan harapan masyarakat


harus dapat diprediksi dan terakumulasi dalam peraturan perundang-undangan yang
berorientasi kepada masa depan. Peraturan perundang-undangan dibentuk oleh Negara atau
daerah dengan harapan dapat diterima dan dipatuhi oleh seluruh masyarakat secara sadar
tanpa kecuali. Harapan seperti ini menimbulkan konsekuensi bahwa setiap peraturan
perundang-undangan harus memperhatikan secara lebih seksama setiap gejala sosial
masyarakat yang berkembang.

Berdasarkan pemikiran tersebut, maka peraturan perundangundangan atau peraturan


daerah sebagai hukum positif akan mempunyai daya berlaku jika dirumuskan atau disusun
bersumber pada living law tersebut. Dalam kondisi yang demikian, maka peraturan daerah ini
tidak mungkin dilepaskan dari gejala sosial yang ada di dalam masyarakat.

Menurut, Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto mengatakan, landasan teoritis


sebagai dasar sosiologis berlakunya suatu kaidah hukum termasuk qanun (geltung), yaitu:

33
a. Teori kekuasaan (Machttbeorie), secara sosiologis kaidah hukum berlaku karena
paksaan penguasa, terlepas diterima atau tidak diterima oleh masyarakat;
b. Teori pengakuan (Annerkennungstbeorie), kaidah hukum berlaku berdasarkan
penerimaan dari masyarakat tempat hukum itu berlaku.

Berdasarkan landasan teoritis tersebut, maka pemberlakuan suatu peraturan


pemerintah ditinjau dari aspek sosiologis, tentunya sangat ideal jika didasarkan pada
penerimaan masyarakat pada tempat qanun itu berlaku, dan tidak didasarkan pada faktor teori
kekuasaan yang menekankan pada aspek pemaksaan dari penguasa.Kendatipun demikian,
teori kekuasaan memang tetap dibutuhkan bagi penerapan suatu peraturan perundang-
undangan atau peraturan daerah.

Meskipun, hukum bukanlah kekuasaan, tetapi hukum memerlukan kekuasaan agar


dapat dipaksakan pelaksanaannya, sebaliknya kekuasaan bukanlah hukum, tetapi kekuasaan
harus didasarkan pada hukum agar sah. Seperti dikatakan oleh Mochtar Kusumaatmaja,
“Hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kezaliman”.
Penerapan teori kekuasaan ini dilakukan sepanjang budaya hukum masyarakat memang
masih sangat rendah.

Oleh karena, yang disebut sebagai unsur-unsur sosial adalah bersifat multidimensional
dan multisektoral maka tidak dapat disangkal jika proses pembuatan qanun dapat juga disebut
sebagai proses pembuatan pilihanpilihan hukum dari berbagai sektor dan dimensi sosial yang
akan dipergunakan sebagai kaidah yang mengikat dan bersifat umum. Demikian halnya
dengan pengaturan penggunaan toples plastic sebagai wadah makanan bertujuan untuk
mewujudkan lingkungan yang sehat dan bersih dari sampah; menjaga kelestarian fungsi
lingkungan hidup dan menjaga kesehatan masyarakat dalam hidup sehat; dan meningkatkan
peran serta masyarakat dan pelaku usaha untuk secara aktif mengurangi dan/atau menangani
toplas plastik yang berwawasan lingkungan.

Berdasarkan pemahaman teori tersebut, maka pengaturan penjualan tas merek tiruan
sebagaimana diatur dalam peraturan pemerintah tentang pengaturan penjualan tas merek
tiruan memiliki landasan sosiologis yaitu: “Bahwa dalam rangka mewujudkan negara yang
memiliki taraf ekonomi yang maju, maka perlu dilakukan pengaturan penjualan tas merek
tiruan”.

34
BAB V

JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI


MUATAN PERATURAN PEMERINTAH

A. Sasaran pengaturan penjualan tas merek tiruan


Dalam pelaksanaan mengenai pengaturan penjualan tas merek tiruan, sasaran bagi
pengaturan penjualan tas merek tiruan adalah:

1. Peningkatan pengelolaan penjualan tas merek tiruan dan aturan pakai pengaturan
penjualan tas merek tiruan yang baik di seluruh wilayah Indonesia.
2. Pencegahan terhadap dampak negatif dari pengaturan penjualan tas merek tiruan
3. Peningkatan terhadap kesadaran dan kepedulian masyarakat mengenai
bagaimana pengaturan penjualan tas merek tiruan yang baik di seluruh wilayah
Indonesia.
4. Peningkatan peran para pihak (pemerintah, pelaku usaha dan masyarakat) dalam
pengaturan penjualan tas merek tiruan
5. Pencegahan dan pengurangan penjualan tas merek tiruan

B. Arah dan jangkaun pengaturan penjualan tas merek tiruan


Peraturan Pemerintah tentang penjualan tas merek tiruan diarahkan untuk menanta
mengenai pengaturan penjualan tas merek tiruan secara sinergis yang melibatkan semua
komponen dengan mengutamakan kesejahteraan masyarakat.

Dengan mangaju pada kebijakan nasional sebagaimana dalam pokok-pokok kebijakan


penjualan tas merek tiruan, maka arah dan jangkauan pengaturan penjualan tas merek tiruan
dapat dirumuskan secara indikatif sebagai berikut:

1. Penggurangan penjualan tas merek tiruan, meliputi kegiatan pembatasan penggunaan tas
merek tiruan.
2. Penanganan bagi penjualan tas merek tiruan, meliputi sosialisasi terkait dampak dari
penjualan tas merek tiruan.
3. Pengawasan terhadap produksi dan penjualan tas merek tiruan

35
C. Ruang Lingkup
Dalam menentukan batang tubuh dalam sebuah peraturan daerah dengan mengambarkan
ruang lingkup dari sebuah peraturan perundang-undangan, hal ini menjadi pedoman sehingga
memudahkan dalam merumuskan subtansi dalam batang tubuh peraturan daerah.

Substansi rancangan peraturan daerah tersebut meliputi:

a. Konsideran menimbang yang memuat landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis;


b. Dasar Hukum mengingat yang memuat dasar hukum pembentukan Perubahan
Peraturan Daerah;
c. Batang tubuh materi perubahan terdiri dari:

1. Tas merek tiruan yang dikelola dalam peraturan pemerintah ini terdiri atas:
a. Tas merek tiruan impor
b. Tas merek tiruan lokal
c. Penjualan tas yang berkualitas rendah.
2. Lembaga pengelola
Pemerinrah dalam melakukan pengurangan dan penanganan penjualan tas merek
tiruan dapat membentuk Lembaga;
- Lembaga ini dapat bera di tingkat RT, RW, Desa/kelurahan, kecamatan maupun
kabupaten.
- Pemerintah daerah memfasilitasi pembentukan Lembaga pengaturan penggunaan
tas merek tiruan pada Kawasan pemukiman, Kawasan komersial, Kawasan
industry, fasilitas sosial, fasilitas umum, fasilitas kesehatan dan fasilitas lainnya.
3. Tas lokal
- Tas lokal harus memenuhi persyaratan bahan sebagai berikut:
a. Kualitas yang bagus
b. Tampilan menarik
c. Harga terjangkau

a) Ketentuan Umum
Bagian ini membahas tentang ketentuan-ketentuan dari pengertian-pengertian
yang bersifat umum, istilah dan fare dari subtansi peraturan pemerintah ini:
1. Daerah adalah Negara republik Indonesia

36
2. Pemerintah Daerah adalah Penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah
Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam system dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-
undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
3. Pemerintah Daerah adalah Bupati beserta Perangkat Daerah sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Daerah.
4. Tas adalah wadah tertutup yang dapat dibwa bepergain dan mudah dibawa, tas
biasanya menggunakan bahan Kertas, Plastik, Kain dan lain lain,
5. Tas merek tiruan adalah tas yang merupakan barang hasil tiruan dari sebuah
merek.
6. Tiruan adalah barang yang dihasilkan dengan cara meniru, menjiplak suatu karya
b) Maksud dan Tujuan
Ketentuan mengenai maksud terinternalisasi dalam pasal-pasal yang ada dalam
rancangan peraturan pemerintah ini, sedangkan tujuan pembentukan peraturan
pemerintah ini untuk mewujudkan hidup yang lebih sejahtera
c) Materi pangaturan
Dalam peraturan pemerintah tentang pengaturan penjualan tas merek tiruan ini, materi
yang akan diatur dengan sistematika sebagai berikut:
1. BAB 1 Kententuan Umum yang membahas tentang ketentuan-kententuan dan
pengertian-pengertian yang bersifat umum dari substansi peraturan daerah ini.
2. BAB II Maksud, Asas dan Tujuan
3. BAB III Pembatasan penjualan tas merek tiruan
4. BAB IV Ketentuan terhadap penjualan tas merek tiruan
5. BAB V Hal-hal yang harus tertera dalam tas merek tiruan
6. BAB VI Peran serta masyarakat
7. BAB VII Ketentuan Penutup

37
BAB VI

PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengaturan tas merek tiruan sangat penting diatur di negara kita ini, dimulai dari
proses penanganannya, aturan pakai sehingga tas tersebut layak untuk dipakai

Pengaturan penjualan tas merek tiruan Negara ini dapat juga berguna untuk
memperbaiki pola hidup masyarakat pengguna tas tiruan

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:

1. Masalah yang dihadapi pemerintah belum terkait dengan pengaturan penjualan tas merek
tiruan antara lain:
a. Pengaturan penjualan tas merek tiruan belum dipahami masyarakat dan belum
menjadi perhatian khusus bagi masayarakat di seluruh Indonesia

Dalam menghadapi permasalahan yang terjadi di Indonesia tersebut diperlukan


berbagai upaya dalam mengatur komponen-komponen yang pada akhirnya terlihat dalam
urusan ekonomi pada sebuah sistem yang terintegrasi, yaitu diantaranya:

a. Perlu upaya peningkatan kepedulian pemerintah maupun masyarakat terhadap


penjualan tas merek tiruan
b. Peningkatan pengawasan dan pengendalian terhadap penjualan tas merek tiruan

Tiga landasan yang menjadi dasar pembentukan Rancangan Peraturan


pemerintahtentang pengaturan penggunaan toples plastic sebagai wadah makanan
yaitu:

a. Landasan Filosofisnya adalah bahwa rancangan peraturan pemerintah tentang


pengaturan Penggunaan toples plastik sebagai wadah makanan disusun agar menjadi
landasan dalam membangun kesehatan masyarakat untuk mencapai derajat ekonomi
yang setinggi-tingginya dalam rangka memberikan pengawasan dan pembinaan
terhadap penjualan tas merek tiruan
b. Landasar sosiologis dibentuknya rancangan peraturan pemerintah tentang pengaturan
penjualan tas merek tiruan untuk meningkatkan derajat ekonomi masyarakat perlu
diselenggarakan pengaturan terkait Batasan, aturan pakai, dan lain sebagainya.

38
c. Landasan yuridis yang menjadi dasar dibentuknya rancangan Peraturan Pemerintah
menentukan dasar kewenangan landasan hukum juga merupakan dasar keberadaan
atau pengakuan dari suatu jenis peraturan perundang-undangan. Selanjutnya,
menunjukkan materi tertentu yang harus dimuat sesuai dengan “wadahnya” dan
substansi atau materi yang dimuat tidak boleh bertentangan dengan isi peraturan
perundang-undangan yang derajatnya lebih tinggi.

Arah dan jangkauan Peraturan Daerah tentang pengaturan penjualan tas merek tiruan
terkait dengan pencegahan untuk meminimalisir dampak negatif tas merek tiruan

B. Saran
Naskah Akademik ini merekomendasikan:

1. Dikarenakan urgensi dalam daerah Kota Banda Aceh ini maka sebaiknya segera
untuk dapat realisasikan pembentukan peraturan daerah tentang pengaturan
penjualan tas merek tiruan agar mampu menjawab permasalah di lingkungan
masyarakat mengenai aturan penjualan tas merek tiruan.
2. Pasca ditetapkan rancangan peraturan daerah ini sebaikmya segera disusun aturan
pelaksanaan guna implementasi dilapangan.

Daftar Pustaka

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek

39
Undang-undang Nomor 20 tahun 2016 tentang konsumen
Undang-Undang Nomor 28 tahun 2014 tentang hak kekayaan intelektual

40
Lampiran
PERATURAN DAERAH
TENTANG
PENGATURAN PENJUALAN TAS MEREK TIRUAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA KUASA

BAB I
KETENTUAN UMUM
PASAL 1
1. Daerah adalah Kota Banda Aceh
2. Pemerintah Daerah adalah Penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah
Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam system dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-
undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
3. Pemerintah Daerah adalah Bupati beserta Perangkat Daerah sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Daerah.
4. Kejahteraan adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual dan sosial

warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri sehingga

dapat melaksanakan fungsi sosialnya.

5. Upaya sejahtera adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan

kebutuhan material, spiritual dan sosial warga negara agar dapat hidup layak

6. Tas adalah adalah Tas adalah wadah tertutup yang dapat dibwa bepergain dan
mudah dibawa, tas biasanya menggunakan bahan Kertas, Plastik, Kain dan lain
lain,
7. Tas merek tiruan adalah tas yang dihasilkan dari tiruan merek tas lainnya
8. Tiruan adalah kegiatan meniru atau menjiplak suatu karya

BAB II

41
MAKSUD, ASAS DAN TUJUAN

Pasal 2

Penyelenggaraan pengaturan penjualan tas merek tiruan dimaksudkan sebagai perlindungan


dan kepastian hukum bagi masyarakat.

Pasal 3

1. Peraturan Daerah ini diselenggarakan berdasarkan asas:


a. Ketertiban
b. Kemanfaatan
c. Kemanusiaan

Pasal 4

Penyelenggaran pengaturan penjualan tas merek tiruan bertujuan:

a. Meminimalisir penjualan tas merek tiruan


b. Mengetahui aturan pakai mengenai penjualan tas merek tiruan
c. Melindung masyarakat dari tas yang tidak berkualitas

BAB III

PEMBATASAN PENJUALAN TAS MEREK TIRUAN

Pasal 5

(1) Pembatasan penjualan tas merek tiruan dilakukan melalui:


a. Pelarangan memproduksi
b. Pengurangan penggunaan produk, kemasan produk, dan/atau toples/wadah plastic.
(2) Pembatasan penjualan tas merek tiruan yang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
yaitu penjualan tas merek tiruan
Pasal 6
Setiap pelaku usaha dan/atau kegiatan di bidang ritel, jasa makanan dan minuman serta
kegiatan pemerintah dilarang menyediakan penjualan tas merek tiruan

BAB VI

42
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 11
Masyarakat berperan dalam menunjang penyelenggaraan pengaturan penjualan tas merek
tiruan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 12
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kota Banda Aceh.

43

Anda mungkin juga menyukai