Anda di halaman 1dari 2

Nama : Aprilia Nanda Putri

Kelas : XII AK 2

No. absen : 01

Epilog

Ini adalah akhir untuk awal yang baru. Terdengar suara ricuh sahut menyahut antara siswa
laki-laki sambil memberi pelukan kasih. Tidak terhitung lagi berapa jumlah kenakalan remaja yang
kami lakukan semasa memakai seragam bernuansa putih-biru itu. Embus embun Bedugul sama
dinginnya dengan sikap kami kala itu. Kami hanya bisa saling memberi tatap canggung yang
kosong. Masih tidak percaya bahwa puluhan sosok kawan 3 tahun yang sedang saling melempar
tatapan ini, akan pergi menempuh masa putih abu dengan menggandeng sosok yang baru.

Samar-samar air asin itu menggenang di pelupuk mataku. Rimbun pepohonan kebun raya
menjadi saksi bisu dari perpisahan kami semua. Para siswa kini tengah berbaris, dari kelas A
hingga kelas M, yang rata-rata memiliki jumlah siswa sebanyak 50 orang per kelas, membentuk
deretan kompak untuk terakhir kali mencium punggung tangan guru mereka. Aku kembali
menumpahkan air mata sejadi-jadinya sambil sesenggukan. Memancing emosional teman-
temanku yang lain sehingga sudah tidak peduli gender lagi untuk saling berpelukan, mengadu
jumlah air mata, dan ucapan selamat berpisah. Satu per satu nama siswa dipanggil dengan penuh
hormat dan rasa bangga telah menyelesaikan pendidikan di SMP itu. Kami mendapat oleh-oleh
dari sekolah berupa medali kelulusan yang berwarna gading keemasan dengan tali berwarna
kuning dihiasi guritan biru yang sederhana.

“Tiada masa paling indah masa-masa di sekolah, tiada kisah paling indah kisah kasih di
sekolah.” Terdengar suara lembut Crishye terlantun oleh speaker sekolah yang berpadu dengan
suara sumbang ibu guru dengan nada serak.

Para perwakilan adik kelas dan Osis memberi beberapa kata sambutan dan pidato dengan
nada yang cukup sendu, menyayat hati. Beberapa pentas seni sudah ditampilkan dengan rancangan
yang luar biasa. Sayangnya kabut tebal tengah menyelimuti Bedugul kala itu sehingga
menimbulkan gerimis yang ringan. Oleh karena itu beberapa pertunjukan dan atraksi lainnya batal
disuguhkan dengan alibi cuaca yang tidak bersahabat. Seperti perpisahan pada umumnya, kami
melakukan sesi foto bersama yang terakhir kalinya sebagai kenang-kenangan. Tepat pukul 15.00
WITA kami berangkat menuju Denpasar untuk segera pulang ke rumah masing-masing. Setibanya
di sekolah, aku menunggu jemputan dari rumah sambil menatap kepergian teman-temanku yang
lain. Yang tidak akan pernah lagi aku lihat bersama lagi setelah momen ini.

Di setiap pertemuan, selalu ada perpisahan. Sebuah klise yang tidak pernah bosan
digunakan orang-orang untuk menguatkan diri setelah berpisah. Seleksi alam akan selalu ada.
Siapa pun yang berdiri dengan kita saat ini, 10 tahun kemudian belum tentu rasa akrab kembali
muncul. Seyogianya, perpisahan bukanlah hal yang harus diratapi. Namun, jadikanlah peristiwa
bersejarah yang tidak akan pernah terulang kembali. Terutama momentum perpisahan sekolah.

Anda mungkin juga menyukai