Anda di halaman 1dari 11

193 | JURNAL ILMU BUDAYA

Volume 9, Nomor 1, Tahun 2021 E-ISSN: 2621-5101 P-ISSN:2354-7294

PELAKSANAAN UPACARA BALIYA JINJA


DALAM ADAT SUKU KAILI

Rahma Rositha H. Mohammad1, Tadjuddin Maknun2, Inriati Lewa3

tithamuhammad@gmail.com1, maknun_tadjuddin@yahoo.com2, indriatilewa@yahoo.com3


1,2,3
Program Studi Pascasarjana Bahasa Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin

Abstract
The Baliya Jinja traditional ceremony carried out by the Kaili people will discuss what is
contained in the ceremony. Baliya Jinja for the people of the Kaili Tribe is a non-medical ritual
healing ceremony and has been known for hundreds of years. For the Kaili people, this
ceremony is not just a traditional routine, but substantially has its own meaning through an
integrated system. Through semiotic analysis with the theory used by Ferdinand de Saussure,
it can be seen that the Baliya Jinja traditional ceremony applied to the Kaili Tribe is a contextual
language system that clearly contains certain meanings. The elements that make up the Baliya
Jinja ceremony to be meaningful are of course the sign system as a symbol, grammar. The
Baliya Jinja ceremony for the Kaili people will be described through a syntagma and system
study.
Keywords: baliya jinja ceremony, kaili tribe, semiotic saussure.

PENDAHULUAN Apakah yang menjadi makna dari upacara


Baliya Jinja? Pelaksanaan upacara ini
Indonesia merupakan negara tentunya mengandung banyak makna,
kepulauan yang terdiri dari keberagaman pelajaran, dan manfaat sehingga akhirnya
suku, ras, dan budaya. Setiap daerah di upacara adat ini dilaksanakan. Dalam
Indonesia terdapat upacara adat yang upacara Baliya Jinja, tentunya terdapat
menjadi rutinitas budaya dan tentunya tanda-tanda yang dimilikinya. Dilihat dari
mengandung makna tertentu dari setiap sistem tanda, upacara Baliya Jinja bagi
upacara tersebut. Bagian dari upacara masyarakat Suku Kaili di Sulawesi Tengah
tersebut tentunya memiliki makna kaya akan makna sintagma maupun makna
tersendiri yang terhubung dengan latar dari sistem yang dianutnya.
belakang ataupun kepercayaan masyarakat Baliya Jinja bagi masyarakat Suku
setempat. Baliya Jinja merupakan upacara Kaili tentunya tidak terlepas dari adanya
pengobatan bersifat non medis yang sudah keterkaitan sejarah, perilaku sosial, maupun
dikenal masyarakat Suku Kaili sejak individual masyarakat di daerah Sulawesi
ratusan tahun. Upacara Baliya Jinja pada Tengah. Baliya Jinja bagi masyarakat Suku
masyarakat Suku Kaili dengan segala Kaili dilaksanakan pada saat penderita
aturan yang ada di dalam tentunya memiliki mengalami penyakit yang menyerang
makna tersendiri yang berbeda dengan tubuh, prosesnya adalah dukun akan duduk
makna dari upacara adat suku lainnya. mengelilingi si penderita. Sementara itu
Masyarakat Suku Kaili yang tiga orang lainnya bertugas meniup
mengadakan upacara Baliya Jinja tentunya seruling, memukul tambur, dan gong.
memiliki maksud tertentu. Bagaimana Sehubungan dengan persoalan
menyembuhkan penyakit-penyakit yang tanda, upacara Baliya Jinja memiliki
menyerang tubuh? Aturan-aturan apa saja beragam makna yang menjelma dalam
yang terdapat dalam upacara Baliya Jinja? paradigma masyarakat penganut upacara
194 | JURNAL ILMU BUDAYA
Volume 9, Nomor 1, Tahun 2021 E-ISSN: 2621-5101 P-ISSN:2354-7294

adat tersebut. Baliya Jinja yang tidak METODE PENELITIAN


terlepas dari beberapa aturan, menjadi satu
sistem yang bermakna konotasi. Pendekatan yang digunakan dalam
Pemaknaan tanda-tanda tersebut akan penelitian ini adalah pendekatan kualitatif
menghubungkannya dengan suatu ideologi (Duli, 2019; Abbas, 2020; Kaharuddin,
dan membuat interpretasi secara luas. 2019). Dimana metode yang sumber
Berdasarkan uraian tersebut, maka datanya berupa kata-kata atau pernyataan
akan ditemukan apa yang menjadi sintagma yang diperoleh melalui wawancara,
dan sistem di dalam pelaksanaan upacara dokumen, angket terbuka, observasi,
adat Baliya Jinja bagi masyarakat Suku catatan lapangan, dan lain-lain (Rahman,
Kaili terkait dengan tinjauan semiotik. 2017; Irmawati et al., 2020; Kaharuddin et
Bagaimanakah sintagma dan sistem yang al., 2020). Data tersebut dianalisis secara
terdapat dalam upacara Baliya Jinja sesuai kualitatif dan mengkajinya dengan ilmu
dengan sistem tanda dan relasi tanda yang semiotik dengan tujuan untuk menemukan
ada dalam upacara adat Baliya Jinja pada makna dibalik perisiwa yang tampak
masyarakat Suku Kaili? (Hasyim et al., 2021; Rahman et al., 2019).
Dalam penelitian ini, peneliti Lokasi penelitian atau tempat
menggunakan kajian semiotik karena pengambilan data adalah Kelurahan
semiotik merupakan ilmu yang Balaroa, Kecamatan Palu Barat. Pemilihan
mempelajari tentang tanda-tanda yang lokasi ini berdasarkan ketersediaan data
mempunyai makna. Dalam upacara adat yang peneliti perlukan sesuai dengan
baliya jinja terdapat simbol-simbol yang masalah pokok penelitian di lokasi tersebut.
mempunyai makna yang perlu diketahui Dalam penelitian ini, peneliti bertindak
dan dilestarikan. Berdasarkan uraian diatas, sebagai instrument penelitian sekaligus
penulis menarik kesimpulan, memilih, dan pengumpul data. Posisi sebagai instrument
menetapkan judul Pelaksanaan Upacara tidak dapat dihindari, sebab kegiatan
Baliya Jinja dalam Adat Suku Kaili. pengumpulan data tidak dapat dilakukan
Adapun yang melatarbelakangi judul melalui perantara, karena peneliti
penelitian ini yaitu: (1) Upacara adat Baliya berhubungan langsung dengan simbol
Jinja pada Suku Kaili sangat penting untuk sebagai sumber data. Peneliti terjun secara
diketahui oleh generasi muda dalam usaha langsung ke lapangan untuk
mempertahankan dan melestarikan adat mengumpulkan sejumlah informasi yang
istiadat sebagai bagian integral di dibutuhkan dengan terlebih dahulu sudah
kebudayaan Sulawesi Tengah, mengingat memiliki beberapa pedoman yang akan
dengan adanya kemajuan dan dijadikan alat rekam dan alat pencatat serta
perkembangan teknologi mempengaruhi peneliti menggunakan dokumentasi sebagai
cara berpikir generasi mudah. (2) Upacara pelengkap dari penelitian ini.
adat Baliya Jinja penuh dengan simbol- Data merupakan keterangan
simbol yang sangat bermakna sehingga mengenai segala sesuatu yang berkaitan
perlu dikaji secara mendalam sebagai dengan penelitian. Data yang dimaksud
warisan leluhur Suku Kaili yang memiliki dalam penelitian ini adalah data lisan yang
nilai budaya yang tinggi. (3) Melalui diperoleh dari informan, yaitu tokoh adat,
penelitian ini, penulis mengharapkan dapat dukun atau tetua, dan tokoh masyarakat
memeroleh informasi dan pengetahuan yang mengetahui secara jelas tentang objek
tentang nilai-nilai yang terkandung dalam penelitian yang dilakukan peneliti.
kebudayaan Suku Kaili khususnya makna Metode yang digunakan dalam
dalam upacara adat baliya jinja. penelitian ini merupakan metode simak dan
metode cakap. Metode simak adalah
195 | JURNAL ILMU BUDAYA
Volume 9, Nomor 1, Tahun 2021 E-ISSN: 2621-5101 P-ISSN:2354-7294

metode untuk memeroleh data dilakukan dipastikan bahwa tidak ada satu kelompok
dengan cara menyimak disini tidak hanya masyarakat pun yang mengadakan upacara
berkaitan dengan penggunaan bahasa secara asal-asalan. Masalah bentuk,
secara lisan tetapi penggunaan bahasa struktur, sistem, bahkan bagian-bagian
secara tertulis (Hamuddin, et al., 2020). terkecil yang ada pada sebuah upacara
Metode cakap adalah cara yang ditempuh suatu kelompok masyarakat di daerah
dalam pengumpulan data adalah tertentu memiliki makna tersendiri.
percakapan antara peneliti dengan informan Upacara adat merupakan upaya untuk
(Astari et al., 2019). Adanya percakapan melestarikan nilai-nilai budaya suatu
antara peneliti dengan informan daerah. Melalui upacara tersebut kita dapat
mengandung arti terdapat kontak antar mengetahui makna, serta harapan yang
mereka, karena itulah data yang diperoleh dijelaskan oleh kelompok masyarakat
melalui penggunaan bahasa secara lisan. penganut upacara tersebut.
Untuk memperoleh data dan informasi Klasifikasi penanda tidak lain
yang sesuai dengan permasalahan yang adalah strukturalisasi terhadap sistem.
diteliti, maka peneliti menggunakan teknik Mengelompokkan satuan-satuan signifikan
studi lapangan. Teknik studi lapangan yaitu terkecil dari mata rantai pesan itu ke dalam
pengumpulan data secara langsung kelas-kelas paradigmatik, dan akhirnya
dilapangan dengan menggunakan beberapa mengklasifikasi relasi-relasi sintagmatik
teknik. yang menjadi perekat satuan-satuan
Dalam mengkaji suatu objek tersebut.
(upacara Baliya Jinja) dalam hal ini melalui Upacara adat adalah salah satu
tinjauan semiotik, penulis akan tradisi masyarakat tradisional yang masih
menggunakan teori dari Ferdinan de di anggap memiliki nilai-nilai yang masih
Saussure untuk membedah objek kajian. cukup relevan bagi kebutuhan masyarakat,
Selain itu, juga akan disesuaikan dengan dan Koencaraningrat menyatakan bahwa
realitas substansi dari sistem pembentuk upacara adalah aktivitas atau rangkaian
upacara tersebut yaitu Baliya Jinja. Dengan tindakan yang ditata oleh adat atau hukum
demikian, dari beberapa teori semiotika yang berlaku dalam masyarakat yang
yang dapat dijadikan aspek analisis di bersangkutan. Upacara bukanlah hanya
antaranya adalah: sintagma, sistem, sekadar rutinitas yang bersifat teknis saja,
penanda, dan petanda. melainkan tindakan yang didasarkan pada
keyakinan religious terhadap suatu
HASIL DAN PEMBAHASAN kekuasaan atau kekuatan mistis.
Upacara Adat sebagai Sistem Melalui upacara, sekelompok
Pertandaan masyarakat memberikan tanda kepada
orang-orang yang hendak memahami
Upacara adat erat kaitannya dengan makna dari upacara adat tersebut. Upacara
keyakinan sekelompok masyarakat atau tersebut diterima oleh orang-orang sebagai
suku tertentu. Pada setiap kelompok petanda untuk mengurai makna yang
masyarakat atau suku yang ada di Indonesia terkandung di dalamnya. Sebagai sistem
terdapat upacara adat tertentu yang pertandaan, maka upacara sekelompok
memiliki makna dari setiap bagian masyarakat di sebuah daerah menjadi
upacaranya. Upacara yang terdapat di satu sesuatu yang dapat direpresentatif oleh
daerah tentunya berbeda dengan upacara orang-orang. Upacara sekelompok
yang ada di daerah lainnya. Setiap upacara masyarakat tidak semata-mata menjadi
masyarakat pasti memiliki makna tersendiri sebuah tontonan atau kebiasaan yang
yang terkandung di dalamnya. Dapat sebatas memiliki nilai keindahan saja,
196 | JURNAL ILMU BUDAYA
Volume 9, Nomor 1, Tahun 2021 E-ISSN: 2621-5101 P-ISSN:2354-7294

namun lebih dari itu upacara adat dapat


menjelaskan banyak hal tentang makna dari
setiap proses yang ada di dalamnya, karena
di dalam ritual berbagai makna pada setiap
sistem atau aturan-aturannya
direpresentasikan. Adapun makna simbolik
upacara adat baliya jinja dalam suku Kaili,
yaitu:
1. Nompairomu atau masiromu adalah
kegiatan awal dari pelaksanaan upacara
adat baliya jinja, seluruh anggota baliya Gambar 2: Upacara Adat Baliya Jinja
jinja berkumpul bersama-sama di (Nompakande Joa)
rumah tempat pelaksanaan upacara
adat. Baliya bersama-sama menunggu 3. Setelah ritual nompakande joa selesai
anggota baliya yang lainnya yang dilaksanakan dukun, anggota baliya,
belum datang, apabila sudah terkumpul dan masyarakat yang mengikuti
barulah pemimpin upacara adat (dukun) jalannya proses tersebut Kembali ke
menghamburkan beras kuning kepada rumah tempat pelaksanaan upacara
seluruh anggota baliya kemudian mulai adat, sesampainya di rumah dukun
melantunkan mantra atau gane untuk beserta anggota baliya jinja memasuki
tahapan berikutnya. Dalam tahapan ini rumah tempat pelaksanaan ritual
terdapat simbol verbal dan nonverbal. kemudian duduk bersila mengelilingi
Objek kajian dapat dilihat pada gambar tiang utama rumah setelah itu
1. melakukan tahapan berikutnya yaitu
mosore vayo. Pada tahapan mosore
vayo tersebut dukun Kembali
menyajikan gane atau mantra dan
kemudian diikuti oleh seluruh anggota
baliya jinja.

Gambar 1: Upacara Adat Baliya Jinja


(Nompairomu)
2. Nompakande Joa adalah tahapan
memberi sesajen sebagai makanan yang
disajikan khusus kepada penghuni alam
gaib atau makhluk gaib yang ada
disekitar rumah tempat pelaksanaan
upacara adat baliya jinja, yang bertugas
sebagai pengawal dan bertujuan untuk Gambar 3: Upacara Adat Baliya Jinja (Mosore
mengawasi jalannya upacara adat dari Vayo)
tahap awal hingga akhir. Objek kajian 4. Mompesule manu adalah tahapan
ini dapat dilihat pada gambar 2, berikut pemotongan ayam jantan yang masih
ini: muda yang dilakukan oleh bule
(pembantu utama tetua), kemudian
ayam yang sudah dipotong tersebut
dipisahkan menjadi dua bagian untuk
197 | JURNAL ILMU BUDAYA
Volume 9, Nomor 1, Tahun 2021 E-ISSN: 2621-5101 P-ISSN:2354-7294

melihat hati ayam. Menurut bapak tahapan nombangu tava kayu ini
Masrin Judin jika hati ayam rusak berbagai macam daun kayu, tombak,
(hancur, busuk, atau timbul bercak- kapak dan parang yang sudah diikat di
bercak) sebagai petanda bahwa dalam tiang utama rumah kemudian
pelaksanaan upacara adat akan dibungkus dengan kain putih sebagai
mengalami hambatan dan berbagai petanda bahwa semua yang terlibat
kesulitan yang tidak terduga, hal dalam ritual tersebut berhati tulus dan
tersebut dikarenakan si penderita suci. Dalam tahapan ini pemimpin
penyakit atau tuan rumah yang upacara adat membacakan mantra yang
menyelenggaran pengobatan tersebut berisi pemanggilan kepada penghuni
hati mereka tidak ikhlas untuk alam gaib dan roh nene moyang agar
menyelenggarakan upacara adat, dating dan melihat upacara adat
sebaliknya jika hati ayam tampak bersih tersebut, selain iu pemimpin upacara
dan tidak rusak menandakan bahwa adat juga meminta kepada Allah SWT
dalam pelaksanaan upacara adat akan agar diberi Kesehatan, umur panjang,
berjalan lancer sesuai dengan rencana dan kekuatan selama pelaksanaan ritual
tanpa mengalami hambatan dan dari tahap awal hingga akhir.
gangguan, hal ini dikarenakan keluarga
atau tuan rumah yang berobat hatinya
mereka ikhlas dan menyanggupi semua
syarat-syarat yang harus dipersiapkan
dalam upacara adat, setelah melihat hati
ayam yang dilakukan oleh pemimpin
upacara adat dan seorang bule,
pemimpin upacara adat atau dukun
mengikatkan manik-manik atau Botiga
disalah satu tangan bule. Dalam tahapan
ini hanya terdapat simbol nonverbal.
Gambar 5: Upacara Adat Baliya Jinja
(Nombangu Taya Kayu)
6. Nangande ka ada artinya makan
Bersama untuk pelaksanaan upacara
adat. Pada tahapan tuan rumah
menyuguhkan makanan untuk
pemimpin upacara adat dan kepada
seluruh anggota baliya jinja untuk
santap bersama. Selain itu, para tamu
undangan maupun masyarakat yang
Gambar 4: Upacara Adat Baliya Jinja (Mompesule hanya sekedar dating melihat jalannya
Manu) upacara adat juga disuguhkan makanan.
5. Nombangu Tava Kayu adalah Makan bersama pada upacara adat ini
mendirikan berbagai macam daun kayu, merupakan wujud kebersamaan, saling
kemudian di ikat Bersama dengan menghargai, dan menghormati dalam
kapak, tombak, dan parang di tiang kebersamaan. Dalam tahapan ini
utama rumah. Selain itu dibawah tiang penyajian makanan disajikan di dua
utama rumah juga sudah disediakan tempat yang berbeda yaitu makanan
berbagai macam sesajen dan yang disajikan di dulang berkaki dan
parupalangga baru untuk digunakan makanan yang disajikan di baki. Pada
dalam tahapan berikutnya. pada tahap ini tidak ada mantra yang
198 | JURNAL ILMU BUDAYA
Volume 9, Nomor 1, Tahun 2021 E-ISSN: 2621-5101 P-ISSN:2354-7294

dibacakan, jadi yang nampak pada 8. Noisi Sakaya yaitu tahapan pengisian
tahapan ini hanya simbol nonverbal perahu dengan berbagai macam
saja. sesajen, yaitu Loka dano (pisang gapi),
Cicuru (kue cucur), Katupa (ketupat),
Kandea patangaya (nasi ketan empat
warna yaitu merah, putih, kuning,
hitam), Ntalu daka (telur rebus), Kaluku
tueina (kelapa muda), Manu tunu
samba (ayam bakar utuh), Ate bimba
nidaka (hati domba yang dikukus), Epu-
epu (kue moci), Balengga Bimba
(kepala domba), Manu kodi (anak ayam
yang masih hidup), Poyu kaluku (nira
Gambar 6: Upacara Adat Baliya Jinja (Nangande kelapa). Semua isi sesajen dan kain
ka ada) kuning penutup parupalangga yang
7. Setelah selesai makan untuk adat lama diletakkan dalam perahu. Sesajen
kemudian dilanjutkan dengan tahapan tersebut dipersembahkan kepada
berikutnya yaitu nosunggilama pamula. penghuni laut yang sedangkan kain
Nosunggilama pamula adalah kuning di bawah ke tengah laut agar
melatunkan mantra atau gane yang tidak ada orang yang mengambilnya,
dinyanyikan berulang-ulang dalam karena konon katanya kain penutup
waktu yang sangat lama. Pada mantra parupalangga mempunyai
menyebut semua nama penghuni alam penunggunya dan perahu yang berisi
gaib, roh,, nene moyang, dewa dari sesajen juga bertujuan membawa semua
kayangan sebagai ungkapan penyakit, malapetaka, bahaya, maupun
permohonan maaf dan memohon bencana kaili nompaura. Dalam
pertolongan agar mereka bersama-sama tahapan ini tidak ada mantra yang
mendampingi dukun dan anggota baliya dibacakan dan hanya terdapat simbol-
jinja pada saat pelaksanaan upacara simbol nonverbal.
adat. dalam tahapan ini juga disediakan
berbagai macam isi sesajen, jaka,
potampari, parupalangga baru,
siranindi, diletakkan mengelilingi tiang
utama rumah, dan sambulu gana
masing-masing diletakkan didepan
seluruh anggota baliya sebagai wujud
penghargaan tuan rumah dan digunakan
sebagai syarat wajib dalam pelaksanaan Gambar 8: Upacara Adat Baliya Jinja (Noisi
upacara adat (hasil wawancara dengan sakaya)
bapak Masi). 9. Nompopolivo sakaya adalah tahapan
mempersiapkan perahu yang di bawah
ke pesisir pantai teluk Palu untuk
dilarung. Sebelum membawa perahu,
pemimpin upacara adat membaca
mantra atau gane yang berisi
permohonan ampun, permohonan
pertolongan kepada Allah SWT dan roh
Gambaran 7: Upacara Adat Baliya Jinja para leluhur serta memohon restu dari
(Nosunggilama pamula) para penghuni alam gaib dalam
199 | JURNAL ILMU BUDAYA
Volume 9, Nomor 1, Tahun 2021 E-ISSN: 2621-5101 P-ISSN:2354-7294

mempersiapkan perahu yang dibawah baliya duduk bersila dan berbentuk


ke pesisir pantai untuk dilarung. lingkaran di halaman rumah tempat
pelaksanaan upacara adat untuk
Kembali menyanyikan mantra. Mantra
dalam tahapan ini bertujuan memanggil
bayangan semua orang yang ikut serta
pada saat pelarungan perahu agar
jangan sampai tertinggal dipinggir
pantai atau mengikuti perahu berlayar
ke tengah laut, bagi masyarakat biasa.
Gambar 9: Upacara Adat Baliya Jinja Nosore vayo ini berfungsi agar jangan
(Nompopolivo sakaya) sampai keteguran. (hasil wawancara
10. Noavesaka sakaya yaitu tahapan dengan bapak Masi).
pelarungan perahu, tahapan ini
merupakan puncak dari seluruh upacara
adat. pada tahapan ini dukun membaca
mantra yang berisi penyerahan perahu
yang sudah siap dilarungkan dan
diserahkan kepada para penghuni laut,
agar mereka membantu membawa
perahu pada saat berlayar hingga ke
lautan luas. Selain itu mantra tersebut Gambar 11: Upacara Adat Baliya Jinja
berisi permohonan pamit kepada para (Nosore Vayo)
leluhur, memohon keselamatan, umur 12. Setelah selesai Nosore vayo dukun dan
panjang, dan selalu diberikan kekuatan anggota baliya jinja lainnya beristirahat
dari Allah SWT setelah upacara adat ini sekitar empat jam kemudian dilanjutkan
selesai. Konon perahu yang membawa pada tahapan berikutnya yaitu tahapan
sesajen tersebut sudah membawa hal- nodungganaka tava kayu. Pada tahapan
hal buruk sebagai penolak bala, agar ini daun kayu yang diikat di tiang induk
dibawah atau dibuang ke tempat lain. rumah dilepas dari ikatannya dengan
diiringi nyanyian mantra, tahapan ini
menandakan bahwa semua prosesi
upacara adat akan segera berakhir.
(hasil wawancara dengan Samran
Daud)

Gambar 10: Upacara Adat Baliya Jinja


(Noavesaka sakaya)
11. Nosore vayo adalah tahapan
pemanggilan bayangan setelah
pelarungan perahu, kemudian
pemimpin upacara adat, anggota baliya
dan semua orang yng ikut serta pada Gambaran 12: Upacara Adat Baliya Jinja
saat pelarungan perahu, Kembali ke (Nodungganaka tava kayu)
rumah tempat pelaksanaan upacara 13. Naporo ri vamba adalah memukul-
adat. pada tahapan ini para pelaku mukul daun kayu kepada seluruh
200 | JURNAL ILMU BUDAYA
Volume 9, Nomor 1, Tahun 2021 E-ISSN: 2621-5101 P-ISSN:2354-7294

anggota keluarga yang membuat


hajatan di depan pintu rumah yang
dilakukan oleh dukun dan anggota
baliya jinja. Salah seorang dari anggota
keluarga duduk diatas boko-boko yang
diatasnya sudah diletakan Silaguri, dan
Patoko. Hal ini diyakini bertujuan agar
setiap anggota keluarga setelah
pelaksanaan upacara adat selesai
mendapat kesehatan, kekuatan dan
Gambaran 16: Upacara Adat Baliya Jinja (Nocera)
keteguhan hati.
Upacara adat dari sekelompok
masyarakat di suatu daerah senantiasa
berhubungan dengan kode dan tanda.
Setiap bagian upacara adat menjadi tanda
atau sign yang secara mendasar berarti
sesuatu yang memproduksi makna. Tanda
memiliki fungsi untuk memberikan arti
atau gambaran pada serangkaian konsep,
gagasan atau perasaan yang sedemikian
rupa sehingga memungkinkan seseorang
Gambaran 13: Upacara Adat Baliya Jinja
untuk mengartikan atau
(Nopori ri vamba) menginterpretasikan makna yang ada. Jika
14. Nangande ka ada kaupuna adalah tanda adalah material atau tindakan yang
makan bersama untuk upacara adat merujuk sesuatu hal, kode sendiri
pada tahap akhir. Pada tahap ini tata merupakan sistem di mana tanda-tanda
cara pelaksanaan dan tujuannya sama diorganisasikan dan menentukan
dengan nangande ka adan sebelumnya. bagaimana tanda dihubungkan dengan yang
Dalam tahapan ini hanya terdapat lain. Dalam upacara adat, kode-kode secara
simbol nonverbal. jelas dapat dilihat dari tahap demi tahap
15. Nasunggilama kaupuna adalah tahapan prosesi yang dilakukan pada suatu upacara
akhir dari pembaca mantra. Pada adat tertentu oleh sekelompok masyarakat.
tahapan ini doa-doa yang dilantarkan Kemudian apa saja yang menjadi bagian-
hamper sama dengan nosunggi lama bagian dari upacara adat tersebut. Upacara
sebelumnya. Dalam tahapan ini hanya adat Baliya Jinja misalnya, ada beberapa
terdapat simbol nonverbal yaitu mantra tahap atau prosesi yang dilakukan untuk
yang dinyanyikan oleh para pelaku melengkapi keseluruhan upacara tersebut.
baliya. Persiapan keperluan kebutuhan upacara
16. Nocera adalah tahapan pengukuhan adat, musyawarah keluarga, penentuan hari
dari seluruh rangkaian upacara adat yang tepat, alat-alat dan bahan-bahan yang
yang dilaksanakan. Pada tahapan ini digunakan selama upacara adat baliya jinja
pengukuhannya di tandai dengan seperti menggunakan seragam yang terdiri
pengambilan darah di jambul ayam dari sarung dan baju ari fuya (sinjulo),
jantan yang dilakukan pemimpin berwarna putih dan destar (kudung)
upacara adat untuk di gosokkan pada berwarna merah, tempat Baliya Jinja, bahan
parupalangga, sesajen, potampari yang ramuan seperti, inang, gambir, tembakau,
diletakkan dibawah tiang induk rumah. dan beberapa lainnya. Jelas adanya
pengadaan alat-alat dan perlengkapan
Baliya Jinja tersebut merupakan bagian-
201 | JURNAL ILMU BUDAYA
Volume 9, Nomor 1, Tahun 2021 E-ISSN: 2621-5101 P-ISSN:2354-7294

bagian tanda dari beberapa sistem yang bersifat linear. Artinya bahwa bagian-
membentuk suatu makna dalam satu bagian tertentu dari setiap upacara adat
kesatuan utuh. baliya jinja atau kata-kata yang lebih dari
Terobosan paling penting pada satu tidak dapat diungkapkan atau diartikan
semiotika adalah diterimanya penerapan dalam waktu yang bersamaan, akan tetapi
konsep-konsep linguistik kedalam diuraikan maknannya secara berurutan
fenomena lain yang bukan hanya bahasa (tersistem). Oleh karena itu Ketika
tertulis, yang dalam pendekatan ini lantas seseorang hendak mengungkapkan sesuatu
diandaikan sebagai teks pula. Oleh karena dengan bahasa verbal, makai a akan
itu dalam kaitannya dengan upacara adat, Menyusun kata-kata tersebut dengan urutan
seluruh prosesi dari upacara adat tersebut tertentu yang kadang secara spontan di luar
akan dianggap sebagai teks. Maka kesadarannya. Demikian pula dalam
seseorang yang hendak menghadirkan komposisi prosesi upacara adat baliya jinja
konstruksi makna upacara adat baliya jinja yang tentu memiliki arti dan makna.
hendaklah menguraikan makna dari tahap- Pemaknaan secara simbolis tersebut tentu
tahap prosesi upacara adat tersebut dengan pula memiliki maksud dan tujuan tertentu.
hubungan kultural masyarakat yang Demikian pula dalam bahasa visual upacara
kontekstual. Teks dan konteks atau dalam adat baliya jinja, yang terdiri dari bentuk,
hal ini upacara adat dan konteks merupakan prosesi, dan bagian-bagian terkecil dari
kesatuan yang tak terpisahkan. Pendekatan upacara adat baliya jinja.
semiotik mempercayai bahwa terlalui naif Saussure menempatkan bahasa
untuk mempertentangkan teks dan konteks. sebagai dasar dari sistem tanda dalam teori
Sebuah jalinan makna dibangun dengan semiologi yang dibuatnya. Bahasa
penuh kesadaran atas hasil dari relasi dipandang oleh Saussure sebagai sistem
antarteks atau intertekstualitas. tanda yang dapat menyampaikan dan
Tinjauan semiotika pada upacara mengekspresikan ide serta gagasan dengan
adat baliya jinja berusaha menemukan lebih baik disbanding sistem lainnya.
makna yang ada dibalik pertandaan upacara Bahasa merupakan saatu sistem atau
adat baliya jinja. Saussure mendifinisikan struktur yang tertata dengan cara tertentu,
semiotika sebagai ilmu yang mengkaji dan bisa menjadi tidak bermakna jika
tentang tanda sebagai bagian dari terlepas dari struktur yang terkait.
kehidupan sosial. Oleh Saussure, semiotika Dengan menggunakan teori relasi
kemudian dielaborasi sebagai hubungan sintagmatik dan sistem tanda tersebut
tripartite yakni tanda (sign) yang merupakan sebuah alternatif untuk
merupakan gabungan dari penanda membedah desain (objek) secara langsung
(signifier) dan petanda (signifie). Penanda dengan melihat struktur atau susunan
memiliki elemen bentuk isi, sementara sekaligus melihat langkah-langkah prosesi
petanda mewakili elemen konsep atau dalam sebuah upacara adat yang dilakukan
makna. Keduannya merupakan kesatuan oleh sekelompok masyarakat.
yang tidak dipisahkan sebagaimana Pada sebuah upacara adat baliya
layaknya dua bidang pada sekeping mata jinja dengan segala bentuk peralatan yang
uang. Kesaruan anatara penanda dan digunakan, struktur pengorganisasian
petanda itulah yang disebut sebagai tanda. upacara adat, dan bagian-bagian terkecil
1. Sintagma dan Sistem pada Upacara secara sadar, sebuah upacara adat menganut
Adat Baliya Jinja pakem pada pelaksanaannya, baik dari segi
Hubungan sintagmatik menurut pemilihat alat, maupun pada bagian-bagian
Saussure adalah hubungan unsur-unsur terkecil lain yang menjadi satu kesatuan
bahasa yang terdapat dalam tuturan dan bentuk prosesi yang bermakna pada
202 | JURNAL ILMU BUDAYA
Volume 9, Nomor 1, Tahun 2021 E-ISSN: 2621-5101 P-ISSN:2354-7294

upacara adat yang dilaksanakan. Pengadaan KESIMPULAN


upacara adat tersebut menjadi bentuk lain
yang sejenis membangun komposisi yang Berdasarkan beberapa temuan
serasi dan harmonis. dalam sintagma dan sistem pada upacara
2. Struktur Pelaksanaan Upacara Adat adat baliya jinja di atas, penulis dapat
Baliya Jinja menyimpulkan bahwa tahap-tahap pada
Struktur dalam konteks tulisan ini prosesi upacara adat baliya jinja menjadi
adalah pengorganisasian atau susunan aturan atau sistem yang masing-masing
aturan-aturan atau langkah-langkah yang memiliki makna tertentu dan sangat erat
menjadi bagian dari prosesi upacara adat kaitanya dengan gaya komunal masyarakat
baliya jinja tersebut menjadi suatu bentuk setempat. Tahap-tahap pelaksanaan
dalam satu kesatuan makna tertentu yang upacara adat baliya jinja tersebut tentunya
trintegrasi secara total. Dengan demikian memiliki perbedaan dengan upacara adat
yang menjadi struktur upacara adat baliya yang ada di daerah lain. Upacara adat baliya
jinja adalah susunan atau aturan-aturan jinja yang dilaksanakan merupakan
yang diberlakukan bagi masyarakat yang cerminan budaya masyarakat setempat,
menderita penyakit yang menyerang tubuh, dengan analisis teori Saussure dapat
dari awal memasuki ruang baliya jinja ditegaskan bahwa upacara adat baliya jinja
sampai si penderita ini dikeluarkan dari memiliki arti: (a) Sistem yang terkait
ruangan baliya jinja tersebut. Segala bentuk dengan prosesi pelaksanaan upacara adat
upacara adat ini memiliki makna tertentu baliya jinja memiliki makna sesuai budaya
dan terintegrasi secara total menjadi sebuah masyarakat setempat sebagai struktur
kesatuan dalam upacara adat baliya jinja. sintagmatik. (b) Pelaksanaan upacara adat
Langkah-langkah, aturan, dan tata baliya jinja menunjukkan adanya ekspresi
cara dari upacara adat baliya jinja sebagai local yang terbangun berdasarkan latar
bahasa visual yang terdapat dalam upacara belakang budayanya. Secara pasti bahwa
adat baliya jinja. Pertama-tama, pihak upacara adat baliya jinja ini mewakili
keluarga yang mengadakan upacara baliya makna yang ada dalam setiap tahap
jinja menghubungi dukun atau tetua yang di prosesinya merupakan hasil dari
sebut Tina Nu Baliya yang akan memandu pengkultusan nilai-nilai budaya yang
dan mempimpin proses upacara adat. dijunjung tinggi oleh masyarakat setempat.
Dalam tradisi Suku Kaili paling tidak ada Makna setiap prosesi yang diekspersikan
dua macam sesaji yang dilarung ke laut atau dalam upacara adat baliya jinja tersebut
dibuang ke gunung, soal sesaji pun kemudian satu kesatuan yang jauh utuh
dibedakan menjadi beberapa bagian, ada menjadi sintagmatik dari upacara adat
adat 9 dan adat 7. Angka-angka ini merujuk tersebut.
pada jumlah sesaji yang disiapkan. Ada
sesaji inang, gambir, tembakau, dan DAFTAR PUSTAKA
beberapa lainnya, kalau nene moyang kami
dulu kalau pesta kawinan atau pesta adat Abbas. (2020). The Women’s Suffering in
ada semua sesaji. Upacara adat baliya jinja The Novel The Handmaid’s Tale By
yang ditampilkan masyarakat suku kaili, Margaret Atwood. Jurnal Ilmu
menghabiskan waktu berjam-jam lamanya. Budaya, 8 (2), 332-342
Di penghujung upacara adat baliya jinja Abubakar, Jamrin (2010). Orang Kaili
sesaji dilarung ke laut pada keesokan Gelisah. Sulawesi Tengah: Yayasan
harinya untuk membuang penyakit yang Kebudayaan Sulawesi Tengah.
mendera si penderita. Ali, Sulastri. M. dan Jasrum. dkk. (2000).
Upacara Adat Balia Suku Kaili.
203 | JURNAL ILMU BUDAYA
Volume 9, Nomor 1, Tahun 2021 E-ISSN: 2621-5101 P-ISSN:2354-7294

Sulawesi Tengah: Proyek Pembinaan Character in Coelho’s The Alchemist.


Permuseuman Sulawesi Tengah. Jurnal Ilmu Budaya, 8 (1), 32-36 .
Alwi. (2005). Analisis Makna dan Kaharuddin and Hasyim, Muhammad.
Masyarakat. Bandung: Angkasa (2019). The Speech Act of
Asrul. (2010). Mengenal Suku dan Etnis di Complaint: Socio-Cultural
Sulawesi Tengah. Sulawesi Tengah: Competence Used by Native
Quanta Press. Speakers of English and Indonesian.
Astari, GP., Hasyim, M., Kuswarini, P. International Journal of
(2019). Penerjemahan Metafora Novel Psychosocial Rehabilitation, 24 (06),
“Lelaki Harimau” ke dalam “L’homme 1475-7192
Tigre”. Jurnal Ilmu Budaya 7 (1), 83- Kaharuddin, Hasyim, M., Kaharuddin,
93 Tahir M., Nurjaya, M. (2020).
Barthes, Roland. (2012). Elemen-Elemen Problematic English Segmental
Semiologi. Yogyakarta: Jalasutra. Sounds: Evidence From Indonesian
Budiman, Kris. (1999). Kosa Semiotika. Learners Of English. Palarch’s
Yogyakarta: LiKS. Journal of Archaeology of
Danesi, Marcel. (2012). Pesan, Tanda, dan Egypt/Egyptology, 17(6), 9105-9114
Makna: Buku Teks Dasar Mengenai Koentjaraningrat. (1980). Sejarah Teori
Semiotika dan Teori Komunikasi. Antropologi I. Jakarta: Universitas
Yogyakarta: Jalasutra. Indonesia
Duli, Akin. (2019). Situs Tinco Sebagai Koentjaraningrat. (1992). Beberapa Pokok
Pusat Awal Berdirinya Kerajaan Antropologi Sosial. Jakarta: Dian
Soppeng Praislam. Jurnal Ilmu Rakyat
Budaya, 7 (1), 106-113. Misnah. (2010). Mengenal Kebudayaan
Hamuddin, B., Rahman, F., Pammu, A., Balia (Upacara Adat Balia di
Baso, Y.S., Derin, T. (2020). Sulawesi Tengah). Sulawesi Tengah:
Cyberbullying among efl students' Quanta Press.
blogging activities: Motives and Rahman, Fathu. (2017). Cyber Literature:
proposed solutions. Teaching English A Reader –Writer Interactivity.
with Technology, 20(2), 3–20. International Journal of Social
Hasyim, M. (2017). Seksualitas dalam Sciences &Educational Studies, 3 (4),
Iklan Media Televisi. Tesis. Makassar: 156-164
Universitas Hasanuddin Makassar. Rahman, F., Akhmar, A.M., Amir, M.,
Hasyim, M., Arafah, B., Kaharuddin, Tammasse. (2019). The Practice of
Saleh, F., Fatimah. (2021). Absurdity Local Wisdom of Kajang People to
of human in l'Etranger by Albert Save Forests and Biodiversity: A
Camus: the opposing view of life in Cultural-Based Analysis. IOP
society. Linguistica Antverpiensia, Conference Series: Earth and
2021 (2), 7-18. Environmental Science, 270 (1),
Irmawati, Arafah, B., Abbas, H. (2020). 012038
The Lesson Life of Santiago as Main

Anda mungkin juga menyukai