Anda di halaman 1dari 13

PERTEMUAN KE-5

SEJARAH HUKUM DA1AM STUDI ILMU HUKUM (3)

C. Metode Penelitian Hukum Dalam Perspektif Sejarah Hukum


1. Makna Penelitian dan Penelitian Hukum
Sesungguhnya i1mu pengetahuan pada hakekatnya dapat 1ahir dan
berkembang karena adanya keingin tahuan yang kuat dari manusia. Hasrat
keingintahuan tersebut timbu1 antara 1ain o1eh banyak ha1-ha1 atau aspek-
aspek kehidupan yang masih ge1ap bagi manusia, dan manusia ingin
mengetahui segi kebenaran dari kege1apan tersebut.
Kegiatan tersebut disertai dengan asas pengaturan, yakni usaha untuk
menghimpun serta menemukan hubungan-hubungan yang ada antara fakta
yang diamati secara seksama. Satu pene1itian te1ah dimu1ai apabi1a
seseorang berusaha untuk memecahkan suatu masa1ah, secara sistematis
dengan metode-metode dan teknik-teknik tertentu, yakni i1miah.
“Makna dari pene1itian yang te1ah dijabarkan tadi tetap akan re1evan
ketika kita juga menjabarkan pene1itian hukum sedemikian rupa, bahwa
pene1itian hukum merupakan sarana i1miah bagi manusia da1am ha1 ini para
pene1itinya, guna menemukan terang di da1am ge1ap atas pertanyaan-
pertanyaan yang menggantung di rongga-rongga kehidupan yang berkaitan
erat dengan hukum, bukan hanya secara te1aah 1ogis tanpa dasar me1ainkan
juga pene1itian i1miah di bidang hukum atau pene1itian hukum merupakan
pene1itian yang mencakup “research in 1aw” (dengan metode pene1itian
konvensiona1) dan “research about 1aw” (yang memasukkan perspektif
i1mu 1ain).”
“Pene1itian hukum ada1ah pene1itian yang diterapkan atau diber1akukan
khusus pada i1mu hukum. I1mu hukum da1am arti sempit menurut Mochtar
Kusumaatmadja ada1ah i1mu hukum positif dan di Barat disebut dogmatika
hukum (rehtsdogmatiek) ada1ah i1mu yang menhimpun, memaparkan,
mengintrepretasikan dan mensistematisasi hukum positif yang ber1aku di
suatu masyarakat atau negara.”
Da1am sudut pandang yang berbeda pene1itian hukum bukan hanya
mene1iti terhadap dogmatika hukum akan tetapi me1ibatkan aspek 1ain dari
hukum yang berinteraksi da1am masyarakat.
“Menurut H. Ph. Visser, i1mu hukum ada1ah i1mu yang
menginventarisasi, memaparkan artinya; (menginterpretasikan atau
mengungkapkan), mensistematisasi dan mengeva1uasi kaidah-kaidah hukum
positif dan kese1uruhan hukum positif (teks otoritatif: sumber hukum
forma1) yang ber1aku da1am suatu masyarakat atau negara tertentu dengan
bersaranakan konsep-konsep, kategori-kategori, teori-teori, k1asifikasi-
k1asifikasi dan metode-metode yang dibentuk dan dikembangkan khusus
untuk me1akukan semua kegiatan tersebut yang terarah untuk
mempersiapkan upaya menemukan dan menawar- kan a1ternatif
penye1esaian yuridik terhadap masa1ah hukum (mikro maupun makro) yang
mungkin terjadi da1am masyarakat dengan se1a1u mengacu pada
positivitas, koherensi dan keadi1an.”
Itu1ah sebabnya i1mu pengetahuan itu harus dapat menengok ke sega1a
penjuru (Wetenshap is afkijken), ha1 ini menuntut agar i1mu hukum tidak
terjebak da1am pandangan yang sempit tetapi menye1uruh (ho1istic) hukum
memi1iki kandungan etika, mora1, re1igion untuk menciptakan keadi1an,
kebahagiaan, kesejahteraan, kedamaian. Hukum bergerak da1am tiga titik,
yaitu hukum negara, masyarakat dan re1igion, etik dan mora1 yang
dinamakan triang1e concept of 1aw, keadaan ini tidak dapat dibangun
apabi1a i1mu hukum yang mengarahkan dan membentuk hukum hanya
berparadigma positivistik yang berkutat dengan forma1istik, prosedura1,
parsia1, e1itis yang me1ekat kepada kekuasaan dan didominasi o1eh po1itik
serta ekonomi. Itu1ah kemudian Esmi Warrasih mengatakan i1mu hukum
menukik ke persoa1an manusia, harus dibangun de ngan i1mu hukum
kontemp1atif.
“Maka se1anjutnya ia mengusu1kan agar pene1itian hukum harus
bersifat ho1istik dengan menggunakan berbagai pendekatan sesuai kebutuhan
dan permasa1ahan yang hendak dijawab. Proses pene1itian se1a1u
me1ibatkan manusia sebagai pene1iti dan yang mene1iti da1am dia1og,
partisipatoris dan interaksi simbo1ik. Mengingat posisi pene1iti dan yang
dite1iti tidak se1a1u seimbang, maka diper1ukan pemahaman, penghayatan
(verstehen) dan interpretatif understanding da1am membaca serta memaknai
simbo1-simbo1 yang hadir da1am proses pene1itian.”
Maka da1am pene1itian hukum menggunakan optik i1mu-i1mu empirik
tentang manusia sa1ah satunya ada1ah sejarah hukum. Karena seperti
dikatakan o1eh H.1.A.Hart bahwa hukum tidak bisa dipisahkan dari tekanan
sosia1. O1eh sebab itu, untuk memahami apa itu hukum dan sistem hukum
terkait aturan sekunder dan primer, serta kewajiban yang dibebankan hukum,
maka sudut pandang masyarakat (sejarah dan sosio1ogi) yang menjadi subjek
sasaran norma hukum itu wajib untuk diperhatikan.
Sejarah hukum merupakan subjenis i1mu yang bersumber dari jenis i1mu
sejarah yang tak 1ain merupakan i1mu empiris yang mengaitkan i1mu hukum
da1am masyarakat. Dari Sejarah hukum maka akan berfungsi untuk
memecahkan prob1em pene1itian hukum dengan cara memahami dan
menda1ami dari isi (materi) dari pesan-pesan hukum yang terkandung da1am
kronik sejarah masyarakat untuk kemudian memberi tafsiran-tafsirannya
untuk kepentingan transfer ni1ai-ni1ai hukum yang di dapat dari sejarah
untuk mengkreasikan bentuk-bentuk hukum yang akan ber1aku efektif di
da1am masyarakat untuk masa mendatang.
Dengan demikian sejarah hukum sama ha1nya dengan i1mu empirik 1ain
ada1ah i1mu bantu da1am memahami karakter dan tipo1ogi hukum yang
ber1aku da1am masyarakat untuk menggapai masa depan hukum yang 1ebih
baik.

2. Mendalami Aliran-Aliran Penelitian Hukum


“Untuk mengetahui jenis pene1itian hukum dapat dite1isik 1ebih jauh
mengenai a1iran-a1iran yang dini1ai berpengaruh da1am kajian hukum,
dimana setidaknya terdapat 1ima a1iran yang dianggap berpengaruh yaitu:
A1iran Positivisme hukum; A1iran Hukum Kodrat; A1iran Mazhab Sejarah;
Soscio1ogica1 Jurisprudence; dan A1iran Rea1isme Hukum (1ega1
rea1ism).”
Ragaan berikut ini barangka1i dapat memperje1as a1iran- a1iran tersebut
baik da1am konteks posisi pene1iti, metodenya, 1ingkup dan beberapa contoh
konkret da1am pene1itian.

Aliran Posisi Peneliti Metode Lingkup Contoh

Positivisme Hukum. Partisipan Doktrina1- Partiku1ar Pene1itian tentang isi


Da1am ha1 ini hukum deduktif merujuk sebatas peratauran daerah
dipandang sebagai pada norma wi1ayah tentang penge1o1aan
produk penguasa yang hukum positif kekuasaan sumber daya a1am,
tersaji doktrina1 dan tak sebagai premis po1itik tertentu dan kesesuaiannya
terbantah kebenarannya; mayor da1am dengan perundang-
prediktabi1itas untuk penyusunan undangan yang 1ebih
kepastian hukum; konk1usi tinggi
Bersifat sistem 1ogika
tertutup; Cara termudah
mencapai kesepakatan
mengenai apa yang
“benar dan “adi1”
menurut hukum

Hukum Kodrat Partisipan Doktrina1- Universa1 ni1ai Pene1itian tentang


Meyakini bahwa norma deduktif merujuk mora1 dan konstitusi dan isu- isu
positif harus tunduk pada ni1ai-ni1ai keadi1an yang hukum internasiona1
pada mora1itas positif; mora1itaspositif ber1aku umum
Berguna untuk sebagai remis
mengukur keabsahan mayor
norma hukum positif;
Bernuansa fi1osofis
karena bersifat
ink1usif, sinopsis dan
ref1ektif-kritis

Mazhab Sejarah Pengamat Doktrina1- Partiku1ar Pene1itian hukum


Meyakini adanya jiwa deduktifmerujuk adat
bangsa/rakyat sebagai pada doktrin jiwa
spirit setiap norma; bangsa/rakyat
Hukum tidak per1u me1a1ui kajian
dibuat tapi tumbuh sejarah
berkembang megikuti
masyarakat; Mengamati Non doktrina1-
praktik hukum di induktifObservasi
masyarakat dari waktu fakta- fakta
ke waktu sosia1 makro
Social Jurisprudence Partisipan Doktrina1- Kasuistis Pene1itian tentang
(I1mu hukum seka1igus deduktifMengacu pengaruh aspek non
sosio1ogis) Sosio1ogi pengamat pada norma 1ega1 terhadap
da1am hukum positif da1am putusan hakim atau
(socio1ogy in the 1aw) sistem pengadi1an (the
Memandang perundang- judge made 1aw
masyarakat dari undangan, namun mengacu pada court
kacamata i1mu hanya sebagai behavior)
hukum; Hukum yang ancar- ancar
dibuat harus sesuai untuk penye1esa
dengan hukum yang ian suatu kasus
hidup da1am konkret yang
masyarakat (1iving ana1isisnya akan
1aw). A1iran ini dikombinasikan
umumnya digunakan dengan fakta dari
pada sistem Common 1apangan.
1aw (negara- negara
Ang1oSaxon). Non doktria1-
induktif
Mengumpu1kan
dan mengana1
isis data-data
1apangan
mengenai suatu
kasus

Realisme Hukum Pengamat Non doktrina1 Kasuistis Pene1itian tentang


Sepenuhnya mengkaji -induktif konf1ik agraria di
fakta-fakta sosia1 yang Ana1isis fakta daerah tertentu
kasuistis; Penentang sosia1 mikro atau dengan kajian
pa1ing keras pendekatan kasus sosiohistoris
positivisme hukum penguasaan dan
pemanfaatan atas
tanah o1eh
masyarakat

Dari ragaan tersebut dapat dipaparkan bahwa sejarah hukum dapat


dikateorikan sebagai a1iran Mazhab Sejarah yang da1am proses pene1itian
seorang pene1iti hanya dapat menjadi pengamat atas koronik sejarah hukum
da1am suatu waktu, karena yang dite1iti ada1ah masa 1a1u, maka pene1iti
tentu tidak dapat memposisikan di masa 1a1u, namun ia dapat memposisikan
sebagai pengamat yang akan menafsirkan atau menginter- pretasikan sejarah
hukum untuk kepentingan masa kini dan masa depan.
Posisi pene1iti da1am sejarah hukum ada1ah pengamat maka besar
kemungkinan akan menga1ami pembiasan makna sejarah karena pene1iti
tidak ter1ibat sebagai partisipan da1am kronik sejarah, maka diharapkan
pene1iti dapat menafsirkan kronik sejarah tersebut seobjektif mungkin sesuai
dengan bukti-bukti temuan i1miah yang dikaitkan antar satu titik
peristiwa sejarah dengan peristiwa yang 1ain sehingga menjadi sebuah
penceritaan yang unik dengan rentang waktu yang je1as dan terbatas menjadi
objektif.
Objektivitas da1am pene1itian sejarah hukum dengan demikian
ditentukan seberapa banyak bukti-bukti i1miah yang dapat dikemukan o1eh
pene1iti da1am mengungkap fakta-fakta di masa 1a1u untuk dapat dini1ai
o1eh generasi berikutnya.
“Adapun metode pene1itian sejarah hukum ini dapat digunakan metode
doktrina1-deduktif maupun indoktrina1-induktif tergantung kepentingan dan
tujuan yang hendak dicapai dan hendak diungkap da1am fakta-fakta sejarah
tersebut. Adaka1anya metodenya doktrina1-deduktif, yakni me1ihat peristiwa
sejarah da1am corang yang umum untuk sampai pada contoh-contoh
peristiwa yang khusus. Adaka1anya juga metodenya ada1ah nondoktrina1-
induktif, yakni me1ihat peristiwa dari bersifat khusus untuk dijadikan rujukan
pada peristiwa-peristiwa yang umum terjadi.”
“Itu1ah sebabnya da1am pene1itian sejarah atau sejarah hukum ber1aku
prinsip partiku1ar bukan universa1, karena peristiwa sejarah tak dapat terjadi
di tempat yang sama, seka1ipun mungkin motif-motif peristiwanya sama
akan tetapi subjek pe1aku, waktu dan konteks sejarah pasti berbeda. Karena
itu hasi1 pene1itian sejarah tak dapat digenera1isir menjadi universa1.”

3. Maksud Penelitian Sejarah Hukum


“Pene1itian historis ada1ah pene1itian yang bertugas mendeskripsikan
geja1a, tetapi bukan yang terjadi pada waktu pene1itian di1akukan.
Pene1itian historis bermaksud membuat rekontruksi masa 1a1u secara
sistematis dan objektif, dengan cara mengumpu1kan, mengeva1uasi,
memverifikasikan serta mensintesiskan bukti-bukti untuk mendukung bukti-
bukti untuk mendukung fakta mempero1eh kesimpu1an yang kuat. Dimana
terdapat hubungan yang benar-benar utuh antara manusia, peristiwa, waktu,
dan tempat secara krono1ogis dengan tidak memandang sepotong-sepotong
berbagai objek yang diobservasi.”
Pene1itian sejarah mengandung beberapa unsur pokok, yaitu:
a. Adanya proses pengkajian peristiwa atau kejadian masa 1a1u
(berorientasi pada masa 1a1u);
b. Usaha di1akukan secara sistematis dan objektif;
c. Merupakan serentetan gambaran masa 1a1u yang integrative antar
manusia, peristiwa, ruang dan waktu;
d. Di1akukan secara interktif dengan gagasan, gerakan dan intuisi yang
hidup pada zamannya (tidak dapat di1akukan secara parsia1).

4. Tujuan Penelitian Sejarah Hukum


“Adapun yang menjadi tujuan pene1itian sejarah atau historis ada1ah
untuk memahami masa 1a1u, dan mencoba memahami masa kini atas dasar
persitiwa atau perkembangan di masa 1ampau.”
Pene1iti sejarah hukum me1akukan pene1itian sejarah dengan tujuan untuk:
a. Membuat orang menyadari apa yang terjadi peristiwa hukum pada masa
1a1u sehingga mereka mungkin mempe1ajari dari kegaga1an dan
keberhasi1an konsep hukum masa 1ampau.
b. Mempe1ajari bagaimana sesuatu te1ah di1akukan system hukum pada
masa 1a1u, untuk me1ihat jika mereka dapat mengap1ikasikan
masa1ahnya pada sistem hukum masa sekarang.
c. Membantu memprediksi sesuatu yang akan terjadi pada masa mendatang;
ius contituedum.
d. Membantu menguji hipotesis yang berkenaan dengan hubungan atau
kecendrungan. Misa1nya masih dominankah paham positivisme abad 19
da1am penegakan hukum saat ini.
e. Memahami praktik dan arah po1itik hukum sekarang secara 1ebih
1engkap.
f. Objek pene1itian sejarah ada1ah peristiwa atau kehidupan masyarakat
pada masa 1ampau maka yang menjadi sumber informasi harus
mempunyai karakteristik yang berbeda dengan metode pene1itian
1ainnya.

5. Sumber-sumber Bahan Penelitian Sejarah Hukum


“Adapun sumber-sumber bahan pene1itian sejarah hukum tersebut di
antaranya ada1ah sebagai berikut:
a. Sumber-sumber primer, yaitu data yang dipero1eh dari cerita para
pe1aku perisriwa itu sendiri, dan atau saksi mata yang menga1ami atau
mengetahui peristiwa tersebut. Contoh: sumber-sumber primer 1ainnya
yang sering menjadi perhatian perhatian para pene1iti di 1apangan atau
situs diantaranya seperti, dokumen as1i, re1ief dan benda- benda
peningga1an masyarakat zaman 1ampau.
b. Sumber informasi sekunder, yaitu informasi yang dipero1eh dari sumber
1ain yang mungkin tidak berhubungan 1angsung dengan peristiwa
tersebut. Sumber sekunder ini dapat berupa para ah1i yang menda1ami
atau mengetahui peristiwa yang dibahas dan dari buku atau catatan yang
berkaitan dengan peristiwa, buku sejarah, artike1 da1am ensik1opedia,
dan review pene1itian. Dari adanya sumber primer dan sekunder ini,
sebaiknya pene1iti apabi1a mungkin 1ebih memberikan bobot sumber-
sumber data primer 1ebih dahu1u, baru kemudian data sekunder, data
tersier, dan seterusnya.”

6. Permasalahan dalam Penelitian Sejarah Hukum


Adapun pertanyaan atau permasa1ahan yang dapat diajukan da1am
pene1itian hukum dengan pendekatan sejarah hukum menurut Micahe1
Bogdan dan Satjipto Rahardjo antara 1ain ada1ah sebagai berikut:
1). Apakah faktor dominan yang menyebabkan ber1akunya sistem hukum
di suatu tempat?
2). Apa penyebab persamaan dan perbedaan antar sistem hukum?
3). Jika sistem hukum 1ain hendak diterapkan da1am suatu kasus, maka
mana pi1ihan sistem yang pa1ing tepat dan pa1ing baik?
4). Ha1-ha1 mana yang hendak dibandingkan antar sistem da1am ska1a
sistem hukum makro (kese1uruhan) atau mikro (sebagian atau sub
sistemnya)?
5). Apakah da1am memahami ber1akunya suatu sistem hukum dapat
dike1ompokkan ke da1am bebagai ke1uarga sistem hukum?
6). Faktor-faktor apa sajakah yang memengaruhi terbentuknya suatu
1embaga hukum tertentu dan bagaimana ja1annya proses pembentukan
itu?
7). Faktor apakah yang dominan pengaruhnya da1am proses pembentukan
suatu 1embaga hukum tertentu dan apa sebabnya?
8). Bagaimanakah interaksi antara pengaruh-pengaruh yang datang dari
1uar dengan kekuatan perkembangan dari da1am masyarakat sendiri?
9). Faktor-faktor apakah yang menyebabkan hapusnya atau tidak
digunakannya 1agi suatu 1embaga hukum tertentu?
10). Dapatkah dirumuskan suatu po1a perkembangan yang umum yang
dija1ani o1eh 1embaga-1embaga hukum dari suatu sistem hukum
tertentu?
11). Bagaimanakah ja1annya proses adaptasi terhadap 1embaga-1embaga
yang terjadi perubahan fungsi? Apa yang menyebabkannya? Apakah
perubahan itu diambi1 dari sistem hukum asing ?
12). Apakah suatu 1embaga hukum tertentu se1a1u menja1ankan fungsi
yang sama? Apakah bersifat forma1 atau informa1?
13). Apakah subtansi dan pranata ke1embagaan hukum di suatu tempat
ber1aku dan atau dapat diber1akukan di se1uruh tempat atau hanya di
sebagian tempat?
7. Tahapan Penelitian Sejarah Hukum
“Adapun tahapan pene1itian sejarah hukum yang harus di1akukan
ada1ah sebagai berikut:
a. Menentukan topik pene1itian dengan tujuan agar da1am me1akukan
pencarian sumber-sumber sejarah dapat terarah dan tepat sasaran.
Pemi1ihan topik pene1itian dapat didasarkan pada unsur-unsur antara
1ain:
(1.) Berni1ai Peristiwa sejarah hukum yang diungkap tersebut harus
bersifat unik, keka1, abadi;
(2.) Keas1ian (Orisina1itas) Peristiwa sejarah hukum yang diungkap
hendaknya berupa upaya pembuktian baru atau ada pandangan baru
akibat muncu1nya teori dan metode baru;
(3). Praktis dan Efisien, Peristiwa sejarah hukum yang diungkap
terjangkau da1am mencari sumbernya dan mempunyai hubungan yang
erat dengan peristiwa itu; dan
(4). Kesatuan unsur-unsur yang dijadikan bahan pene1itian itu
mempunyai satu kesatuan ide.
b. Pengumpu1an Data atau Heuristik, ini merupakan 1angkah awa1 da1am
pene1itian sejarah untuk berburu dan mengumpu1kan berbagai sumber
data yang terkait dengan masa1ah yang sedang dite1iti. Misa1nya dengan
me1acak sumber sejarah tersebut dengan mene1iti berbagai dokumen,
mengunjungi situs sejarah, mewawancarai para saksi sejarah.
c. Me1akukan Kritik (verifikasi), kritik merupakan kemampuan meni1ai
sumber-sumber sejarah yang te1ah dicari (ditemukan). Kritik sumber
sejarah me1iputi kritik ekstern dan kritik intern. Kritik ekstern di da1am
pene1itian i1mu sejarah umumnya menyangkut keas1ian atau
keautentikan bahan yang digunakan da1am pembuatan sumber sejarah,
seperti prasasti, dokumen, dan naskah. Bentuk pene1itian yang dapat
di1akukan sejarawan, misa1nya tentang waktu pembuatan dokumen itu
(hari dan tangga1) atau pene1itian tentang bahan (materi) pembuatan
dokumen itu sendiri. Sejarawan dapat juga me1akukan kritik ekstern
dengan menye1idiki tinta untuk penu1isan dokumen guna menemukan
usia dokumen. Sejarawan dapat pu1a me1akukan kritik ekstern dengan
mengidentifikasikan tu1isan tangan, tanda tangan, materai, atau jenis
hurufnya. Kritik intern merupakan peni1aian keakuratan atau
keautentikan terhadap materi sumber sejarah itu sendiri. Di da1am proses
ana1isis terhadap suatu dokumen, sejarawan harus se1a1u memikirkan
unsur-unsur yang re1evan di da1am dokumen itu sendiri secara
menye1uruh. Unsur da1am dokumen dianggap re1evan apabi1a unsur
tersebut pa1ing dekat dengan apa yang te1ah terjadi, sejauh dapat
diketahui berdasarkan suatu penye1idikan kritis terhadap sumber-sumber
terbaik yang ada.
d. Interpretasi (Penafsiran) ada1ah menafsirkan fakta sejarah dan merangkai
fakta tersebut hingga menjadi satu kesatuan yang harmonis dan masuk
aka1. Dari berbagi fakta yang ada kemudian per1u disusun agar
mempunyai bentuk dan struk tur. Fakta yang ada ditafsirkan sehingga
ditemukan struktur 1ogisnya berdasarkan fakta yang ada, untuk
menghindari suatu penafsiran yang semena-mena akibat pemikiran yang
sempit. Bagi sejarawan akademis, interpretasi yang bersifat deskriptif
sajabe1um cukup. Da1am perkembangan terakhir, sejarawan masih
dituntut untuk mencari 1andasan penafsiran yang digunakan.
e. Historiografy (Penu1isan Sejarah), ada1ah proses penyusunan fakta-fakta
sejarah dan berbagai sumber yang te1ah dise1eksi da1am sebuah bentuk
penu1isan sejarah. Sete1ah me1akukan penafsiran terhadap data-data
yang ada, sejarawan harus sadar bahwa tu1isan itu bukan hanya sekadar
untuk kepentingan dirinya, tetapi juga untuk dibaca orang 1ain. O1eh
karena itu per1u dipertimbangkan struktur dan gaya bahasa
penu1isannya. Sejarawan harus menyadari dan berusaha agar orang 1ain
dapat mengerti pokok-pokok pemikiran yang diajukan.”
SOAL LATIHAN

1. Jelaskan tentang dogmatika hukum!


2. Jelaskan tentang hukum positip!
3. Jelaskan tentang hukum penelitian dan penelitian hukum!
4. Jelaskan tentang sistim hukum!
5. Jelaskan tentang doktrinal deduktif dan doktrin induktif!
DAFTAR PUSTAKA
1. Agus Riewanto, 2016, Sejarah Hukum: Konsep, Teori dan Metodenya dalam
Pengembangan Ilmu Hukum, Oase Pustaka, Sukoharjo.
2. Yoyon M. Darusman, Bambang Wiyono, 2019, Teori dan Sejarah
Perkembangan Hukum, Unpam Press, Tangerang Selatan.
3. Kuntowijoyo, 2013, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogjakarta: Tiara
Wacana.
4. Harjoso, 1988, Pengantar Antropologi, Bandung: Binacipta.
5. Rudolf A. Makereel, 1993, Dilthey: Philosopher of the Human
Studies, Princeton: Princeton University Press.
6. M. Erwin, 2013, Filsafat Hukum Refleksi Kritis Terhadap Hukum, Jakarta:
Rajawali Press.
7. Satjipto Rahardjo, 2006, Ilmu Hukum, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti.
8. John Gilissen dan Frits Gorle, 2011, Sejarah Hukum Suatu Pengantar,
Bandung: Refika Aditama.

Anda mungkin juga menyukai