Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENGANTAR

A. Latar Belakang Masalah

Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) merupakan salah satu

sektor usaha yang bersentuhan langsung dengan aktivitas ekonomi

masyarakat. UMKM di Indonesia memiliki tingkat pertumbuhan jumlah yang

sangat pesat. Pesatnya pertumbuhan UMKM di Indonesia menjadikan UMKM

mampu menyumbang 60,34% terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia

(Putra, 2018). UMKM mampu menyerap tenaga kerja serta berperan dalam

pemerataan tingkat ekonomi karena dapat mengentaskan masyarakat dari

kemiskinan.

Salah satu daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan UMKM yang

sangat pesat adalah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Berdasarkan

wawancara yang telah dilakukan pada salah satu staf bagian pengembangan

UMKM Dinas Koperasi dan UMKM DIY (EDH, Perempuan, 36 tahun) diketahui

pada akhir tahun 2018 telah terjadi peningkatan jumlah UMKM sebesar 4,5%

dari tahun 2017. Pada tahun 2018, Dinas Koperasi dan UMKM DIY mencatat

sebanyak 246.003 UMKM yang sudah terdaftar dan dimungkinkan masih

banyak lagi UMKM yang masih belum terdaftar.

Namun pesatnya pertumbuhan UMKM ini bukan berarti tidak ada

permasalahan yang mengiringinya. Bersamaan dengan UMKM baru yang

bermunculan, terdapat UMKM yang gulung tikar dengan berbagai penyebab.

1
2

Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa kasus dimana terdapat 62 UMKM di

Gresik yang harus menutup usahanya akibat tidak dapat bersaing

(Wahyudianto, 2018). Pada kasus tersebut diketahui UMKM tidak mampu

bersaing karena kurang kompetitifnya produk yang dimiliki sehingga kalah

bersaing dengan produk lain. Hal ini dilatarbelakangi rendahnya perilaku

inovasi yang dilakukan untuk menjadikan produk tetap berdaya saing dengan

kompetitor baru. Kegagalan yang dialami UMKM disebabkan oleh berbagai hal

seperti sulitnya mendapatkan sumber daya manusia berkualitas, permodalan

yang sulit, semakin banyaknya kompetitor yang berdaya saing, dan minimnya

inovasi yang dilakukan.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan kepada salah satu

pemilik UMKM di Sleman (FR, Perempuan, 45 tahun), didapatkan informasi

bahwa UMKM memiliki kesulitan dalam mendapatkan sumber daya manusia

yang berkualitas. Sumber daya manusia yang dimiliki UMKM sering kali tidak

memiliki kompetensi sesuai dengan yang dibutuhkan, sehingga menjadikan

UMKM kesulitan untuk berinovasi karena sumber daya manusia yang dimiliki

masih jarang memunculkan perilaku inovatif. Hal ini yang menjadikan perilaku

inovatif lebih sering muncul pada pemilik usaha daripada karyawan seperti

yang telah dibuktikan dalam penelitian yang dilakukan Etikariena (2018).

Permasalahan sulitnya mendapatkan sumber daya manusia

berkualitas perlu mendapatkan sorotan tersendiri. Pasalnya sumber daya

manusia bertanggung jawab menanggulangi permasalahan-permasalahan

yang muncul di dalam UMKM melalui kompetensi dan pengembangan ide-ide


3

yang dimiliki. Hal ini didukung dengan pernyataan Van dan Ven (Etikariena &

Muluk, 2014) yang menyatakan bahwa individu berperan sebagai pembawa,

pengembang, perespon dan pemodifikasi dari pada ide yang telah dihasilkan.

Adanya sumber daya manusia yang berkualitas dapat menjadikan

permasalahan yang muncul menjadi peluang bagi UMKM.

Sumber daya manusia di dalam UMKM harus mampu melakukan

memuncuklakn perilaku inovatif sebagai solusi dalam menghadapi era

Revolusi Industri 4.0. Perilaku inovatif berperan dalam mempertahankan

eksistensi dan daya saing sehingga dapat memenangkan kompetisi di era

Revolusi Industri 4.0. Oleh sebab itu, perilaku inovatif perlu dikembangkan di

setiap organisasi sehingga dapat mempertahankan eksistensi dan daya saing

(Salaman & Storey, 2002).

Janssen (2000) mengemukakan perilaku inovatif sebagai upaya yang

sengaja dilakukan untuk menghasilkan ide baru yang lebih menguntungkan

dan bermanfaat bagi inividu maupun kelompok. Perilaku inovasi dapat berupa

mengemukakan ide, mendiskusikan ide, dan menjadikan ide tersebut menjadi

produk atau jasa yang dapat menguntungkan perusahaan (Helmi, 2011).

Acona dan Caldwell (Damirch, Rahimi, & Seyyedi, 2011) menjelaskan bahwa

peran utama inovasi adalah keberlangsungan jangka panjang perusahaan.

Inovasi merupakan solusi yang dapat diberikan ketika muncul permasalahan

di dalam perusahaan.

Perilaku inovasi yang muncul bergantung pada upaya individu dalam

memunculkannya sehingga penting untuk memahami hal apa saja yang dapat
4

memotivasi dan memungkinkan individu memunculkannya. Tidak hanya

dilakukan terhadap produk atau pelayanan yang ditawarkan oleh organisasi

atau perusahaan, tetapi perilaku inovatif juga dapat dilakukan pada proses

yang berkaitan dengan cara diciptakan atau dikirimkan. Selain itu juga dapat

dilakukan inovasi pada posisi dimana produk atau pelayaan diperkenalkan

serta inovasi pada paradigma yang melekat dalam organisasi (Bessant & Tidd,

2015).

Namun pada kenyataannya, perilaku inovasi masih jarang dilakukan

dalam usaha menjalankan UMKM. Ilham Akbar Habibie (Maharani, 2016)

menilai bahwa kesadaran UMKM untuk melakukan inovasi dalam menjalankan

usahanya masih sangat minim. Para pengusaha UMKM biasanya lebih

memilih untuk tetap berada pada zona nyaman dengan tetap melakukan

proses-proses usaha yang sudah menjadi rutinitas dengan berbagai alasan

pendorongnya. UMKM memiliki beberapa faktor penghambat dalam

melakukan inovasi di antaranya yaitu keterbatasan modal, kesulitan

mendapatkan sumber daya manusia berkualitas, kurangnya motivasi yang

dimiliki oleh sumber daya manusia di dalamnya, serta adanya kebiasaan-

kebiasaan yang sudah menjadi budaya dalam UMKM itu sendiri (Hartono &

Hartomo, 2014). Selain itu, inovasi yang dilakukan UMKM biasanya masih

terbatas pada produk dan pemasaran saja.

Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan kepada salah satu

pengusaha UMKM di Bantul (TC, Perempuan, 35 tahun), peneliti

mendapatkan informasi bahwa akibat adanya kesulitan dalam mendapatkan


5

sumber daya manusia yang berkualitas menjadikan laju inovasi di UMKM

terhambat. Pergantian karyawan yang sering mengakibatkan karyawan

memiliki etos kerja yang kurang baik, serta perilaku kewirausahaannya kurang

berkembang. Selain itu karyawan juga menjadi kurang memiliki pemahaman

terkait budaya kerja yang berlaku di dalam UMKM sehingga berdampak pada

rendahnya kemauan untuk melakukan perubahan-perubahan terhadap

UMKM. Hal ini menyebabkan rendahnya inovasi yang ada di dalam UMKM.

Sumber daya manusia di dalam organisasi seharusnya dapat menjadi

tonggak UMKM agar tetap berdaya saing. Oleh karena itu, diperlukan sumber

daya manusia yang memiliki optimisme, harapan, serta kepercayaan diri

sehingga mampu menciptakan serta merealisasikan ide-ide baru dalam

rangka menjadikan perusahaan atau organisasinya berdaya saing. Selain

itu,juga diperlukan sumber daya manusia yang tidak mudah menyerah dalam

menghadapi permasalahan yang terjadi akibat adanya perubahan-perubahan

yang terjadi di dalam perusahaan atau organisasi. Oleh sebab itu, karyawan

perlu memiliki modal psikologis yang baik agar dapat mengarahkan dirinya

untuk melakukan perubahan-perubahan ke arah yang lebih baik.

Modal psikologis merupakan hal positif yang dimiliki individu yang

dapat menunjang individu untuk berkembang yang ditandai dengan adanya

efikasi diri, sikap optimis, pengharapan, serta resiliensi yang baik (Luthans,

Youssef, & Avolio, 2007). Efikasi diri menjadikan karyawan melihat tantangan

sebagai sesuatu yang dapat diatasi dengan kemampuan dan usaha

menjadikan karyawan cenderung mengeksplorasi peluang-peluang serta ide-


6

ide untuk mengatasi tantangan yang ada (Rulevy & Parahyanti, 2016). Selain

itu, sikap optimis juga dapat mendorong karyawan untuk melakukan perilaku

inovatif yang dipercayai akan berdampak baik bagi pekerjaannya dikarenakan

karyawan percaya bahwa mereka dapat menyelesaikan masalah dan

mendapatkan hasil yang baik (Sameer, 2018).

Bagian dari modal psikologis lainnya yang berperan mendorong

munculnya perilaku inovatif adalah harapan. Hal ini dikarenakan individu yang

penuh harapan akan lebih cenderung menjadi inovatif karena terdorong

menghasilkan berbagai cara untuk mencapai tujuannya (Sameer, 2018).

Resiliensi merupakan bagian dari modal psikologis yang juga diperlukan untuk

mendorong munculnya perilaku inovatif karyawan. Sameer (2018)

menjelaskan bahwa individu yang memiliki resiliensi yang lebih tinggi akan

cenderung lebih inovatif karena individu cenderung berani mengambil risiko

dan lebih dapat menerima perubahan.

Modal psikologis memiliki pengaruh paling besar terhadap

perkembangan usaha (Dewi, 2013) serta dapat mempengaruhi individu dalam

melakukan suatu perubahan (Lizar, Mangundjaya, & Rachmawan, 2014;

Munawaroh & Meiyanto, 2017). Oleh sebab itu, setiap sumber daya manusia

yang ada di dalam UMKM perlu memiliki modal psikologis yang cukup guna

memunculkan perilaku inovatif yang dapat memicu perubahan-perubahan di

dalamnya. Perilaku inovatif diklasifikasikan sebagai perilaku positif sehingga

ada kemungkinan bahwa modal psikologis secara positif berhubungan dengan

perilaku inovatif di dalam UMKM.


7

Berdasarkan latar belakang masalah dan realita yang telah diuraikan,

maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana hubungan

modal psikologis dengan perilaku inovatif pada pelaksana UMKM.

B. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan antara

modal psikologis dan perilaku inovatif pada pelaku usaha mikro, kecil, dan

menengah (UMKM).

C. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah

dan mengembangkan khasanah ilmu pengetahuan khususnya dalam

bidang psikologi industri dan organisasi mengenai modal psikologis dan

perilaku inovatif.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Subjek

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada

para pengusaha UMKM untuk lebih memahami modal psikologis dan

perilaku inovatif yang terjadi di dalam UMKM Selain itu, hasil penelitian

ini juga diharapkan mampu menjadikan UMKM lebih inovatif di masa

depan.
8

b. Bagi UMKM

Penelitian ini diharapkan dapat memberi pencerahan kepada

UMKM agar lebih memperhatikan modal psikologis dan perilaku

inovatif sehingga kinerja organisasi dapat optimal.

D. Keaslian Penelitian

Penelitian tentang perilaku inovatif telah banyak dilakukan baik di dalam

negeri maupun luar negeri dengan berbagai subjek, lokasi, serta variabel

independen yang berbeda. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan El-

Manurwan dan Sawitri (2017) melakukan penelitian dengan mengambil 56

karyawan PT PLN Persero Distribusi Jawa Barat APJ Bogor sebagai subjek

penelitian mengenai hubungan antara iklim organisasi dengan perilaku

inovatif. Penelitian tersebut menggunakan teknik pengambilan sampel

convenience sampling. Hasil penelitian El-Manurwan dan Sawitri (2017)

menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara iklim organisasi dengan

perilaku inovatif karyawan PT PLN.

Hsu & Chen (2015) juga melakukan penelitian yang melibatkan 922

partisipan dari 16 organisasi di Taiwan yang mencakup berbagai industri

termasuk teknologi informasi, manufaktur, asuransi, pariwisata, bisnis

internasional, dan bioteknologi. Penelitian ini menggunakan 6 aitem skala

modal psikologis dan 6 aitem skala perilaku inovatif. Pada hasil penelitian ini

ditemukan bahwa modal psikologis yang dimiliki karyawan memiliki dampak

lebih besar terhadap perilaku inovatif karyawan daripada iklim inovasi


9

organisasi serta modal psikologis dapat memediasi hubungan penting antara

iklim inovasi organisasi dan perilaku inovatif karyawan.

Penelitian lain dilakukan oleh Peng (2018) yang berjudul relationship

between job involvement, leader-member exchange, and innovative behavior

of public librarians. Penelitian ini melibatkan 444 pustakawan full-time di

Taiwan. Pada penelitian tersebut, perilaku inovatif diukur melalui 14 item yang

dikembangkan oleh Kleysen dan Street. Hasil penelitian tersebut menunjukkan

bahwa keterlibatan kerja dan leader-member exchange memberikan pengaruh

positif terhadap perilaku inovatif pustakawan umum.

Dewi (2013) melakukan penelitian terkait pengaruh faktor modal

psikologis, karakteristik entrepreneur, inovasi, manajemen sumber daya

manusia, dan karakteristik UKM terhadap perkembangan usaha pedagang di

pasar tradisional. Penelitian Dewi (2013) merupakan sebuah studi kasus pada

32 pedagang sembako dan snack di Pasar Petarongan. Variabel modal

psikologis merupakan variabel yang memiliki pengaruh terbesar terhadap

perkembangan usaha pedagang.

Abbas dan Raja (2015) juga melakukan penelitian terkait perilaku

inovatif. Partisipan dalam penelitian ini sebanyak 237 karyawan yang terdiri

dari karyawan di bank-bank swasta, kantor-kantor perusahaan tekstil lokal,

kantor kementrian, kantor layanan pelanggan sebuah perusahaan

telekomunikasi di Faisalabad, Pakistan. Abbas dan Raja menggunakan tiga

alat ukur yaitu modal psikologis yang terdiri dari 24 aitem, performa inovatif

yang terdiri dari 6 aitem, dan stres kerja yang terdiri dari 9 aitem. Hasil
10

penelitian ini membuktikan bahwa modal psikologis memiliki hubungan negatif

terhadap stress kerja, namun memiliki hubungan yang positif terhadap

performa inovatif.

Penelitian yang mengaitkan variabel memori organisasi dengan perilaku

inovatif juga pernah dilakukan oleh Etikariena dan Muluk (2014). Penelitian

tersebut mengambil sampel sebanyak 100 karyawan dari berbagai level dan

jabatan di perusahaan yang bergerak di bidang produksi dan pemasaran alat

elektronik berbasis tenaga surya. Hasil penelitian Etikariena dan Muluk (2014)

membuktikan bahwa terdapat hubungan positif antara memori organisasi dan

perilaku inovatif.

Penelitian lain yang dilakukan di dalam negeri adalah penelitian yang

dilakukan oleh Maitri dan Purba (2018) terhadap 150 karyawan di kantor pusat

sebuah perusahaan asuransi di Jakarta. Alat ukur yang digunakan dalam

penelitian ini terdiri dari 7 aitem skala fleksibilitas SDM, 24 aitem skala modal

psikologis, dan 9 aitem skala perilaku inovatif di tempat kerja. Hasil penelitian

ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara fleksibilitas SDM dan

perilaku inovatif. Selain itu juga ditemukan bahwa flesibilitas SDM dan modal

psikologis pada karyawan memiliki hubungan yang positif.

Sweetman, Luthans, Avey, dan Luthans (2011) mengaitkan positif modal

psikologis dan performa kreatif. Subjek penelitian yang digunakan sebanyak

899 pekerja dewasa dari berbagai organisasi, level, dan pekerjaan dengan

usia 18 hingga 84 tahun. Hasil penelitian ditemukan bahwa modal psikologis

secara signifikan berhubungan dengan performa kreatif. Modal psikologis


11

dapat mengembangakan serta mempengaruhi tidak hanya pada sikap,

perilaku, dan performa, tetapi juga meningkatkan kretivitas.

Berdasarkan beberapa penelitian di atas, peneliti menjabarkan

beberapa pemikiran sebagai berikut:

1. Keaslian topik

Topik ini berbeda dengan topik penelitian yang dilakukan oleh El-

Manurwan dan Sawitri (2017) yang membahas iklim organisasi dengan

perilaku inovatif karyawan PT PLN. Maitri dan Purba (2018) melakukan

penelitian terkait modal psikologis sebagai moderator pada hubungan

antara fleksibiltas SDM dan perilaku inovatif. Penelitian lainnya dilakukan

oleh Peng (2018) menjadikan 444 pustakawan full-time di Taiwan sebagai

subjek penelitiannya. Abbas dan Raja (2015) juga melakukan penelitian

terkait perilaku inovatif dengan melibatkan karyawan di bank-bank swasta,

kantor-kantor perusahaan tekstil lokal, kantor kementrian, kantor layanan

pelanggan sebuah perusahaan telekomunikasi di Faisalabad, Pakistan.

Berbeda dengan Sweetman, Luthans, Avey, dan Luthans (2011)

mengaitkan positif modal psikologis dan performa kreatif. Topik penelitian

ini mengunakan modal psikologis sebagai variabel independen dan

perilaku inovatif sebagai variabel dependen dengan topik Hubungan

antara Modal Psikologis dengan Perilaku Inovatif Pada Pelaku UMKM di

Yogyakarta.
12

2. Keaslian Teori

Teori yang digunakan dalam penelitian ini merupakan teori yang

dikembangkan oleh Luthans, Youssef, dan Avolio (2007) mengenai modal

psikologis dan teori perilaku inovatif dikembangkan oleh Janssen (2000).

Penelitian ini melakukan penyesuaian dan perubahan terhadap teori-teori

dari hasil replikasi dari penelitian-penelitian sebelumnya sehingga dapat

sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti saat ini.

3. Keaslian Alat Ukur

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan alat ukur dengan skala

Psychological Capital Questionnaire (PCQ) berdasarkan aspek-aspek

modal psikologis yang dikembangkan oleh Luthans, Youssef, dan Avolio

(2007). Alat ukur pada perilaku inovatif menggunakan skala perilaku

inovatif yang dikembangkan oleh Janssen (2000).

4. Keaslian Subjek Penelitian

Pada penelitian sebelumnya El- Manurwan dan Sawitri (2017)

melakukan penelitian dengan mengambil 56 karyawan PT PLN Persero

Distribusi Jawa Barat APJ Bogor. Penelitian tersebut menggunakan teknik

pengambilan sampel convenience sampling. Maitri dan Purba (2018)

melakukan penelitian terhadap 150 karyawan di kantor pusat perusahaan

asuransi di Jakarta.

Penelitian lainnya dilakukan oleh Abbas dan Raja (2015)

mengambil 237 karyawan yang terdiri dari karyawan di bank-bank swasta,

kantor-kantor perusahaan tekstil lokal, kantor kementrian, kantor layanan


13

pelanggan sebuah perusahaan telekomunikasi di Faisalabad, Pakistan.

Peng (2018) mengambil 444 subjek penelitian yang merupakan

pustakawan full-time di Taiwan.

Subjek pada penelitian ini menggunakan subjek yang berbeda dari

penelitian sebelumnya. Peneliti akan menggunakan subjek penelitian

pada para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di

Yogyakarta.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penelitian ini

memiliki perbedaan topik dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Selain itu

subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah pelaku usaha mikro kecil

dan menengah yang tersebar di 5 kabupaten di Yogyakarta. Yaitu, Kabupaten

Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, Kabupaten Kulon

Progo, dan Kabupaten Gunung Kidul. Hal ini menjadikan penelitian ini dapat

dipastikan keasliannya.

Anda mungkin juga menyukai