Disusun Oleh :
IRDAH RAIS
PROFESI KEBIDANAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS PASIR PENGARAIAN
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat-Nya maka
Laporan Kasus mengambil topik “Pemasangan Infus Pada Ny. E , Dengan Diagnosa Dyspepsia
di Puskesmas Tambusai ” ini dapat selesai pada waktunya.
Pada kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih kepada pihak pihak yang telah
membantu dalam penyelesaian laporan kasus ini. Laporan ini disusun sebagai salah satu syarat
mengikuti Mata Kuliah di bagian KDPK ( Keterampilan Dasar Praktik Kebidanan ) di
Puskesmas Tambusai
Penulis menyadari laporan ini masih jauh dari sempurna dan banyak kekurangan, sehingga
saran dan kritik pembaca yang bersifat membangun sangat saya harapkan untuk kesempurnaan
laporan ini. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................................................................... i
DAFTAR ISI ....................................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................................iii
DAFTAR TAABEL .........................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................1
1.1 Latar Belakang ...........................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah........................................................................................................1
1.3 Tujuan Masalah ..........................................................................................................2
1.4 Manfaat .......................................................................................................................2
3.1 Definisi........................................................................................................................6
3.2 Tujuan .........................................................................................................................6
3.3 Indikasi .......................................................................................................................6
3.4 Kontra indikasi ...........................................................................................................7
3.5 Hal-hal yang diperhatikan ..........................................................................................7
3.6 Prosedur pemasangan infus ........................................................................................8
3.7 Cara mengatur tetesan infus ......................................................................................13
3.8 Kegagalan pemberian infus .......................................................................................13
3.9 Komplikasi ................................................................................................................13
PENDAHULUAN
TINJAUAN TEORI
2.1 Dyspepsia
2.1.1 Definisi
Dispepsia berasal dari bahasa Yunani, yaitu dys- (buruk) dan –peptin yang berupa
Pencernaan (Abdullah, 2012). Dispepsia merupakan istilah yang digambarkan sebagai
suatu kumpulan gejala atau sindrom yang meliputi nyeri atau rasa tidak nyaman di ulu
hati, kembung, mual, muntah, sendawa, terasa cepat kenyang, perut terasa penuh atau
begah. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan proses metabolisme
yang mengacu pada semua reaksi biokimia tubuh termasuk kebutuhan akan nutrisi
(Ristianingsih, 2017).
Dispepsia fungsional adalah penyakit yang bersifat kronik, gejala yang berubah-
ubah, mempunyai riwayat gangguan psikiatrik, nyeri yang tidak responsif dengan
obat-obatan, dapat ditunjukkan letaknya oleh pasien, serta secara klinis pasien tampak
sehat, berbeda dengan dispepsia organik yang gejala cenderung menetap, jarang
mempunyai riwayat gangguan psikiatri, serta secara klinis pasien tampak kesakitan
(Abdullah & Gunawan, 2012).
2.1.2 Etiologi
Dispepsia disebabkan karena makan yang tidak teratur sehingga memicu timbulnya
masalah lambung dan pencernaannya menjadi terganggu. Ketidakteraturan ini
berhubungan dengan waktu makan, seperti berada dalam kondisi terlalu lapar namun
kadang-kadang terlalu kenyang. Selain itu kondisi faktor lainnya yang memicu
produksi asam lambung berlebihan, diantaranya beberapa zat kimia, seperti alcohol,
umumnya obat penahan nyeri, asam cuka, makanan dan minuman yang bersifat asam,
makanan yang pedas serta bumbu yang merangsang Menurut Fithriyana (2018).
2.1.3 Patofisiologi
Patofisiologi dispepsia hingga kini masih belum sepenuhnya jelas dan penelitian-
penelitian masih terus dilakukan terhadap faktor-faktor psikososial, khususnya terkait
dengan gangguan cemas dan depresi dan faktor-faktor yang dicurigai memiliki
peranan bermakna, seperti :
a) Sekresi lambung
Peningkatan sensitivitas mukosa lambung dapat terjadi akibat pola makan yang
tidak teratur. Pola makan yang tidak teratur akan membuat lambung sulit untuk
beradaptasi dalam pengeluaran sekresi asam lambung. Jika hal ini berlangsung
dalam waktu yang lama, produksi asam lambung akan berlebihan sehingga dapat
mengiritasi dinding mukosa pada lambung (Rani, 2011).
b) Dismotilitas Gastrointestinal
Berbagai studi melaporkan bahwa pada dispepsia fungsional terjadi perlambatan
pengosongan lambung, adanya hipomotilitas antrum (sampai 50% kasus),
gangguan akomodasi lambung saat makan, dan hipersensitivitas gaster. Salah
satu dari keadaan ini dapat ditemukan pada setengah atau dua pertiga kasus
dispepsia fungsional. Perlambatan pengosongan lambung terjadi pada 25-80%
kasus dispepsia fungsional dengan keluhan seperti mual, muntah, dan rasa penuh
di ulu hati (Djojoningrat, 2009).
c) Helicobacter pylori
Peran infeksi Helicobacter pylori pada dispepsia fungsional belum sepenuhnya
dimengerti dan diterima. Kekerapan infeksi H. pylori terdapat sekitar 50% pada
dispepsia fungsional dan tidak berbeda pada kelompok orang sehat. Mulai
terdapat kecenderungan untuk melakukan eradikasi H. pylori pada dispepsia
fungsional dengan H. pylori positif yang gagal dengan pengobatan konservatif
baku (Djojoningrat, 2009).
Manifestasi klinis pada sindrom dispepsia antara lain rasa nyeri atau
ketidaknyamanan di perut, rasa penuh di perut setelah makan, kembung, rasa kenyang
lebih awal, mual, muntah, atau bersendawa. Pada dispepsia organik, kecenderungkan
keluhan tersebut menentap, disertai rasa kesakitan dan jarang memiliki riwayat
psikiatri sebelumnya. Sedangkan pada dispepsia fungsional terdapat dua pola yang
telah ditentukan adalah: a) postprandial distres syndrome, dan b) epigastric pain
syndrome (Drug & Stanciu, 2012).
2.1.5 Penatalaksanaan
Berbagai cara dipakai untuk mengukur derajat nyeri, cara yang sederhana dengan
menentukan derajat nyeri secara kualitatif sebagai berikut :
a) Nyeri ringan adalah nyeri yang hilang timbul, terutama sewaktu melakukan
aktivitas sehari-hari dan hilang pada waktu tidur
b) Nyeri sedang adalah nyeri terus menerus, aktivitas terganggu, yang hanya hilang
apabila penderita tidur
a) Nyeri berat adalah nyeri yang berlang sungterus menerus sepanjang hari,
penderita tak dapat tidur atau sering terjaga oleh gangguan nyeri sewaktu tidur.
BAB III
“PEMASANGAN INFUS”
Pemasangan infus adalah pemasukan cairan atau obat langsung ke dalam pembuluh
darah vena dalam jumlah yang banyak dan waktu yang lama dengan menggunakan
alat infus set (Poltekes kemenkes Maluku, 2011).
Pemasangan infus adalah suatu tindakan memasukan cairan elektrolit, obat, atau
nutrisi ke dalam pembuluh darah vena dalam jumlah danwaktu tertentu dengan
menggunakan set infus (Hidayati, et al., 2014).
Pemasangan infus termasuk salah satu prosedur medis yang paling sering dilakukan
sebagai tindakan terapeutik. Pemasangan infus dilakukan untuk memasukkan bahan-
bahan larutan ke dalam tubuh secara kontinyu atau sesaat untuk mendapatkan efek
pengobatan secara cepat. Bahan yang dimasukkan dapat berupa darah, cairan atau
obat-obatan. Istilah khusus untuk infus darah adalah transfusi darah.
Memenuhi kebutuhan cairan pada klien yang tidak mampu mengkonsumsi cairan
oral secara adekuat, menambah asupan elektrolit untuk menjaga keseimbangan
elektrolit, menyediakan glukosa untuk kebutuhan energi dalam proses metabolisme,
memenuhi kebutuhan vitamin larut-air, serta menjadi media untuk pemberian obat
melalui vena(Mubarak, et al., 2015).
Selain itu, sebagai pengobatan, mencukupi kebutuhan tubuh akan cairan dan
elektrolit, memberi zat makanan pada pasien yang tidak dapat atau tidak boleh makan
melalui mulut (Hidayati, et al., 2014).
3.1.3 Indikasi
a. Sterilitas :
Tindakan sterilitas dimaksudkan supaya mikroba tidak menyebabkan
infeksi local pada daerah tusukan dan supaya mikroba tidak masuk ke dalam
pembuluh darah mengakibatkan bakteremia dan sepsis.
Beberapa hal perlu diperhatikan untuk mempertahankan standard sterilitas
tindakan, yaitu :
1) Tempat tusukan harus disucihamakan dengan pemakaian desinfektan
(golongan iodium, alkohol 70%).
2) Cairan, jarum dan infus set harus steril.
3) Pelaku tindakan harus mencuci tangan sesuai teknik aseptik dan anti
septik yang benar dan memakai sarung tangan steril yang pas di
tangan.
4) Tempat penusukan dan arah tusukan harus benar. Pemilihan tempat
juga mempertimbangkan besarnya vena. Pada orang dewasa biasanya
vena yang dipilih adalah vena superficial di lengan dan tungkai,
sedangkan anak-anak dapat juga dilakukan di daerah frontal kepala.
b. Fiksasi
Fiksasi bertujuan agar kanula atau jarum tidak mudah tergeser atau tercabut.
Apabila kanula mudah bergerak maka ujungnya akan menusuk dinding vena
bagian dalam sehingga terjadi hematom atau trombosis.
c. Pemilihan cairan infus
Jenis cairan infus yang dipilih disesuaikan dengan tujuan pemberian cairan.
d. Kecepatan tetesan cairan
Untuk memasukkan cairan ke dalam tubuh maka tekanan dari luar
ditinggikan atau menempatkan posisi cairan lebih tinggi dari tubuh. Kantung
infus dipasang ± 90 cm di atas permukaan tubuh, agar gaya gravitasi aliran
cukup dan tekanan cairan cukup kuat sehingga cairan masuk ke dalam
pembuluh darah.
Kecepatan tetesan cairan dapat diatur sesuai dengan kebutuhan. Yang perlu
diperhatikan adalah bahwa volume tetesan tiap set infus satu dengan yang
lain tidak selalu sama dan perlu dibaca petunjuknya.
e. Selang infus dipasang dengan benar, lurus, tidak melengkung, tidak terlipat
atau terlepas sambungannya.
f. Hindari sumbatan pada bevel jarum/kateter intravena. Hati-hati pada
penggunaan kateter intravena berukuran kecil karena lebih mudah tersumbat.
g. Jangan memasang infus dekat persendian, pada vena yang berkelok atau
mengalami spasme.
h. Lakukan evaluasi secara periodik terhadap jalur intravena yang sudah
terpasang.
a. Pemilihan abbocath harus disesuaikan dengan kasus mulai dari pasien anak
sampai dewasa.
b. Harus dijaga sterilitas alat – alat yang digunakan (paling sering lupa yaitu
sterilitas pada abbocath dan ujung infus set).
c. Jangan lupa mempersiapkan pemasangan infus set dengan cairan infus karena
banyak yang lupa.
d. Tandanya jika abbocath masuk dalam pembuluh darah yaitu ada darah yang
keluar.
e. Dan waktu abbocath dihubungkan dengan infus set untuk cairan infus harus
menetes.
f. Plester jangan lupa disiapkan saat menyiapkan alat.
3.1.6 Prosedur Pemasangan Infus
a. Tahap Pra Interaksi
1) Baca catatan kebidanan
2) Kaji kebutuhan pasien
3) Cuci tangan
4) Pasang sarung tangan
b. Persiapan alat :
1) Cairan yang diperlukan, sesuaikan cairan dengan kebutuhan pasien.
Macam – Macam cairan infus :
Elektrolit :
Larutan NaCl 0.9%
Larutan Ringer
Larutan Ringer Laktat
Larutan Hartmann
Larutan Darrow
Larutan Na Laktat 1/6 molar
Larutan NaHCO3 7.5% dan 8.4%
Larutan Dialisis
Gambar 2. Dextrose 5%
Larutan Protein :
Larutan L-Asam Amino 350 kcal
Larutan L-Asam Amino 600 kcal, 500 kcal dengan Sorbitol
Larutan L-Asam Amino 1000 kcal
Gambar 3. Contoh larutan protein
Plasma Expander :
Dextran 70
Dextran 40
Human Albumin 5%, 25%
Human Plasma
2) Saluran infus (infus set) :
Infus set dilengkapi dengan saluran infus, penjepit selang infus untuk
mengatur kecepatan tetesan.
Jenis-jenis infus set beserta penggunaannya :
Makro set untuk orang dewasa
Mikro set untuk anak-anak
Transfution set ( blood set ) untuk membantu pemberian transfusi
darah untuk memenuhi volume sirkulasi darah.
TINJAUAN KASUS
4.1 PENGKAJIAN
Tanggal Pengkajian : 19 September 2022 Pukul : 08.00 WIB
Tanggal masuk : 18 September 2022 Pukul : 22.45 WIB
Ruang : Rawatan IGD No. RM : 05.94.18
1. Pasien memahami kondisinya dan setuju tentang tindakan yang akan dilakukan
serta rasa cemas mulai berkurang.
2. Keadaan Umum Pasien baik dan TTV yaitu: Tekanan Darah : 180/90 mmHg, Nadi: 80
x/menit, Pernafasan: 22 x/ menit, Suhu: 36,2 ͦ C
3. Pasien mengkonsumsi makanan teratur dan makan
4. Pasien menyetujui menghindari makanan asam dan pedas
5. Tidak ada tanda-tanda bahaya
6. Pemberian infus dan obat berjalan baik
7. Pasien Istirahat dengan cukup
BAB IV
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
Kebutuhan cairan dan elektrolit merupakan suatu proses dinamik karena metabolisme
tubuh membutuhkan perubahan yang tetap dalam merespon fisiologis dan lingkungan.
Ginjal merupakan organ yang paling berperan sebagai pengontrol volume cairan elektrolit
dalam tubuh, mengeluarkan sisa-sisa produk dari tubuh dan juga dapat dan dapat mengatur
sel darah merah kita dalam tubuh. Maka dari itu, kita perlu mengkonsumi makanan dan
minuman yang mengandung air dan yang lebih penting yaitu minum air putih.
Kebutuhan cairan tubuh tidak hanya berasal dari air putih saja, melainkan juga dari
makanan dan minuman yang mengandung air. Meskipun begitu, akan jauh lebih baik jika
kita terlatih untuk mengonsumsi air putih ketimbang jenis minuman lainnya yang banyak
mengandung gula, kalori dan zat-zat lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Mangku G, Senapathi TGA. (2010). Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Jakarta:
Indeks.
http://www.slideshare.net/pjj_kemenkes/kb-1-43233730p7