Anda di halaman 1dari 25

“Pemasangan Infus Pada Ny.

E Dengan Diagnosa Dyspepsia


di Puskesmas Tambusai

Disusun Oleh :

IRDAH RAIS

PROFESI KEBIDANAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS PASIR PENGARAIAN
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat-Nya maka
Laporan Kasus mengambil topik “Pemasangan Infus Pada Ny. E , Dengan Diagnosa Dyspepsia
di Puskesmas Tambusai ” ini dapat selesai pada waktunya.

Pada kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih kepada pihak pihak yang telah
membantu dalam penyelesaian laporan kasus ini. Laporan ini disusun sebagai salah satu syarat
mengikuti Mata Kuliah di bagian KDPK ( Keterampilan Dasar Praktik Kebidanan ) di
Puskesmas Tambusai

Penulis menyadari laporan ini masih jauh dari sempurna dan banyak kekurangan, sehingga
saran dan kritik pembaca yang bersifat membangun sangat saya harapkan untuk kesempurnaan
laporan ini. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Pasir Pengaraian, Oktober 2022

Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................................................................... i
DAFTAR ISI ....................................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................................iii
DAFTAR TAABEL .........................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................1
1.1 Latar Belakang ...........................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah........................................................................................................1
1.3 Tujuan Masalah ..........................................................................................................2
1.4 Manfaat .......................................................................................................................2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .....................................................................................3

2.1 Definisi .......................................................................................................................3


2.2 Etiologi .......................................................................................................................3
2.3 Patofisiologi ................................................................................................................3
2.4 Manifestasi klinis ........................................................................................................4
2.5 Penatalaksanaan .........................................................................................................4
2.6 Skala nyeri ..................................................................................................................5

BAB III TINJAUAN TEORI ..........................................................................................6

3.1 Definisi........................................................................................................................6
3.2 Tujuan .........................................................................................................................6
3.3 Indikasi .......................................................................................................................6
3.4 Kontra indikasi ...........................................................................................................7
3.5 Hal-hal yang diperhatikan ..........................................................................................7
3.6 Prosedur pemasangan infus ........................................................................................8
3.7 Cara mengatur tetesan infus ......................................................................................13
3.8 Kegagalan pemberian infus .......................................................................................13
3.9 Komplikasi ................................................................................................................13

BAB IV PENGKAJIAN .................................................................................................15

1.1 Data subyektif.............................................................................................................15


1.2 Data obyektif .............................................................................................................15
1.3 Assessment ...............................................................................................................16
1.4 Planning ...............................................................................................................16
1.5 Terapi obat ...............................................................................................................16

BAB V PENUTUP .........................................................................................................2O

5.1 kesimpulan ...............................................................................................................20


5.2 Saran ...............................................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................21


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Di dalam masyarakat penyakit dyspepsia sering disamakan dengan penyakit maag,
dikarenakan terdapat kesamaan gejala antara keduanya. Hal ini sebenarnya kurang tepat,
karena kata maag berasal dari bahasa Belanda, yang berarti lambung, sedangkan kata
dispepsia berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua kata yaitu “dys” yang berarti
buruk dan “peptei “ yang berarti pencernaan. Jadi dispepsia berarti pencernaan yang buruk.
Adanya perubahan pada gaya hidup dan perubahan pada pola makan masih menjadi salah
satu penyebab tersering terjadinya gangguan pencernaan, termasuk dispepsia. Pola makan
yang tidak teratur dan gaya hidup yang cenderung mudah terbawa arus umumnya menjadi
masalah yang timbul pada masyarakat. Kecenderungan mengkonsumsi makanan cepat saji
dan makanan instan, gaya hidup menjadi lebih sedentary, stres, dan polusi telah menjadi
bagian dari kehidupan sehari-hari. Gaya hidup dan kebiasaan makan yang salah akan secara
langsung akan mempengaruhi organ-organ pencernaan dan menjadi pencetus penyakit
pencernaan (Susilawati, 2013). Berdasarkan permasalahan di atas, maka perlu adanya
tindakan guna untuk menambah cairan yang telah hilang, yaitu dengan pemasangan infus
pada pasien dyspepsia.
Infus intravena (IV) merupakan instilasi cairan, elektrolit, obat-obatan, darah, atau zat
nutrien ke vena. Tujuan pemasangan infus untuk mengoreksi atau mencegah gangguan
cairan dan elektrolit (Potter & Perry, 2010). Terapi infus intravena adalah tindakan terapi
yang paling sering dilakukan kepada pasien, hampir 80% tindakan ini dilakukan di rumah
sakit (Kozier & Erb, 2009). Menurut United of Central for Nursing, Midwifery and Health
Visiting (UKCC) terapi melalui infus sekarang ini merupakan bagian integral dalam praktek
keperawatan professional tidak hanya mengawasi masuknya infus, akan tetapi dengan
perkembangan ilmu keperawatan seorang perawat professional akan terlibat dan
bertanggung jawab akan pemasangan dan pelepasan kateter, dan juga bertanggung jawab
akan komplikasi akibat pemasangan kateter (Royal College of Nursing, 2010).
Praktik KDPK di lapangan mengaplikasikan yang tedi peroleh dari kampus, tetapi di
lahan praktik ini dengan teori yang di dapatkan sangatlah berbeda. Selama praktik di sini
kami mendapatkan pengalaman yang sangat banyak dan berharga, yang sangat bermanfaat
bagi kami.
1.2 Rumusan masalah
Berdasarkan paparan latar belakang di atas bahwa terdapat jika pasien yang mengalami
dyspepsia dengan terus menerus dapat mengurangi cairan/dehidrasi di dalam tubuh sehingga
tindakan segera yaitu menambah cairan yang telah hilang dengan menggunakan infus untuk
menjaga asupan nutrisi yang hilang.
1.3 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
menerapkan pemasangan infus pada Ny.Elmi Suparman dengan diagnose dyspepsia di
ruangan IGD Puskesmas Tambusai.
1.2.2 Tujuan Khusus
a) Dapat mengetahui alat-alat yang di gunakan dalam pemasangan infus.
b) Dapat mengetahui langkah-langkah dalam pemasangan infus.
c) Untuk mengetahui pengaruh pemasangan infus pada pasien Ny. Elmi Suparman
dengan dyspepsia di ruangan IGD Puskesmas Tambusai
1.4 Manfaat Studi Kasus
1.4.1 Bagi Penulis
Untuk menambah pengetahuan penulis khususnya dalam pelaksanaan pada pasien
dengan kasus dyspepsia.
1.4.2 Bagi Pasien dan Keluarga Pasien
Agar pasien dan keluarga dapat mengetahui tentang penyakit dan perawatan
dyspepsia.
1.4.3 Bagi Institusi
Agar mahasiswi dapat melakukan tindakan dan menjadikan pengalaman bagi
mahasiswi pada pasien dyspepsia.
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Dyspepsia

2.1.1 Definisi

Dispepsia berasal dari bahasa Yunani, yaitu dys- (buruk) dan –peptin yang berupa
Pencernaan (Abdullah, 2012). Dispepsia merupakan istilah yang digambarkan sebagai
suatu kumpulan gejala atau sindrom yang meliputi nyeri atau rasa tidak nyaman di ulu
hati, kembung, mual, muntah, sendawa, terasa cepat kenyang, perut terasa penuh atau
begah. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan proses metabolisme
yang mengacu pada semua reaksi biokimia tubuh termasuk kebutuhan akan nutrisi
(Ristianingsih, 2017).

Dispepsia fungsional adalah penyakit yang bersifat kronik, gejala yang berubah-
ubah, mempunyai riwayat gangguan psikiatrik, nyeri yang tidak responsif dengan
obat-obatan, dapat ditunjukkan letaknya oleh pasien, serta secara klinis pasien tampak
sehat, berbeda dengan dispepsia organik yang gejala cenderung menetap, jarang
mempunyai riwayat gangguan psikiatri, serta secara klinis pasien tampak kesakitan
(Abdullah & Gunawan, 2012).

2.1.2 Etiologi

Dispepsia disebabkan karena makan yang tidak teratur sehingga memicu timbulnya
masalah lambung dan pencernaannya menjadi terganggu. Ketidakteraturan ini
berhubungan dengan waktu makan, seperti berada dalam kondisi terlalu lapar namun
kadang-kadang terlalu kenyang. Selain itu kondisi faktor lainnya yang memicu
produksi asam lambung berlebihan, diantaranya beberapa zat kimia, seperti alcohol,
umumnya obat penahan nyeri, asam cuka, makanan dan minuman yang bersifat asam,
makanan yang pedas serta bumbu yang merangsang Menurut Fithriyana (2018).

2.1.3 Patofisiologi

Patofisiologi dispepsia hingga kini masih belum sepenuhnya jelas dan penelitian-
penelitian masih terus dilakukan terhadap faktor-faktor psikososial, khususnya terkait
dengan gangguan cemas dan depresi dan faktor-faktor yang dicurigai memiliki
peranan bermakna, seperti :

a) Sekresi lambung
Peningkatan sensitivitas mukosa lambung dapat terjadi akibat pola makan yang
tidak teratur. Pola makan yang tidak teratur akan membuat lambung sulit untuk
beradaptasi dalam pengeluaran sekresi asam lambung. Jika hal ini berlangsung
dalam waktu yang lama, produksi asam lambung akan berlebihan sehingga dapat
mengiritasi dinding mukosa pada lambung (Rani, 2011).
b) Dismotilitas Gastrointestinal
Berbagai studi melaporkan bahwa pada dispepsia fungsional terjadi perlambatan
pengosongan lambung, adanya hipomotilitas antrum (sampai 50% kasus),
gangguan akomodasi lambung saat makan, dan hipersensitivitas gaster. Salah
satu dari keadaan ini dapat ditemukan pada setengah atau dua pertiga kasus
dispepsia fungsional. Perlambatan pengosongan lambung terjadi pada 25-80%
kasus dispepsia fungsional dengan keluhan seperti mual, muntah, dan rasa penuh
di ulu hati (Djojoningrat, 2009).
c) Helicobacter pylori
Peran infeksi Helicobacter pylori pada dispepsia fungsional belum sepenuhnya
dimengerti dan diterima. Kekerapan infeksi H. pylori terdapat sekitar 50% pada
dispepsia fungsional dan tidak berbeda pada kelompok orang sehat. Mulai
terdapat kecenderungan untuk melakukan eradikasi H. pylori pada dispepsia
fungsional dengan H. pylori positif yang gagal dengan pengobatan konservatif
baku (Djojoningrat, 2009).

2.1.4 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pada sindrom dispepsia antara lain rasa nyeri atau
ketidaknyamanan di perut, rasa penuh di perut setelah makan, kembung, rasa kenyang
lebih awal, mual, muntah, atau bersendawa. Pada dispepsia organik, kecenderungkan
keluhan tersebut menentap, disertai rasa kesakitan dan jarang memiliki riwayat
psikiatri sebelumnya. Sedangkan pada dispepsia fungsional terdapat dua pola yang
telah ditentukan adalah: a) postprandial distres syndrome, dan b) epigastric pain
syndrome (Drug & Stanciu, 2012).

2.1.5 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan dispesia menurut Arimbi (2012) mecakup pengaturan diet dan


pengobatan medis, antara lain sebagai berikut:

a) Membatasi konsumsi makanan yang dapat menyebabkan terjadinya dispepsia


seperti mengkonsumsi makanan pedas, minuman kafein dan beralkohol
b) Makan dalam porsi kecil tetapi sering dan dianjurkan untuk makan 5-6 kali dalam
sehari
c) Menghindari penggunaan atau konsumsi anti nyeri seperti aspirin dan ibu profen.
Gunakan anti nyeri lain yang lebih aman bagi lambung seperti parasetamol
d) Mengontrol stres dan rasa cemas
e) Antasida
f) Penghambat pompa proton (PPI). Golongan obat ini dapat mengurangi produksi
asam lambung
g) Penyekat H2 reseptor antagonists (H2RAs)
h) Prokinetik dapat membantu proses pengosongan lambung
i) Antibiotik. Pemberian dilakukan jika dyspepsia disebabkan oleh infeksi
j) Anti-depressants atau anti-anxiety dapat digunakan untuk menghilangkan rasa
tidak nyaman yang disebabkan oleh dispesia dengan menurunkan sensasi nyeri
yang dialami
k) Psikoterapi.

2.1.6 Skala Nyeri

Pengukuran derajat nyeri sebaiknya dilakukan dengan tepat karena sangat


dipengaruhi oleh faktor subyektif seperti faktor fisiologis, psikologi, lingkungan.
Karenanya, anamnesis berdasarkan pada pelaporan mandiri pasien yang bersifat
sensitif dan konsisten sangatlah penting. Pada saat ini nyeri di tetapkan sebagai tanda
vital kelima yang bertujuan untuk meningkatkan kepedulian akan rasa nyeri dan
diharapkan dapat memperbaiki tatalaksana nyeri akut.

Berbagai cara dipakai untuk mengukur derajat nyeri, cara yang sederhana dengan
menentukan derajat nyeri secara kualitatif sebagai berikut :

a) Nyeri ringan adalah nyeri yang hilang timbul, terutama sewaktu melakukan
aktivitas sehari-hari dan hilang pada waktu tidur
b) Nyeri sedang adalah nyeri terus menerus, aktivitas terganggu, yang hanya hilang
apabila penderita tidur
a) Nyeri berat adalah nyeri yang berlang sungterus menerus sepanjang hari,
penderita tak dapat tidur atau sering terjaga oleh gangguan nyeri sewaktu tidur.
BAB III

KETERAMPILAN DASAR PRAKTIK KLINIK

“PEMASANGAN INFUS”

3.1 Konsep Pemasangan Infus

3.1.1 Definisi Pemasangan Infus

Pemasangan infus adalah pemasukan cairan atau obat langsung ke dalam pembuluh
darah vena dalam jumlah yang banyak dan waktu yang lama dengan menggunakan
alat infus set (Poltekes kemenkes Maluku, 2011).

Pemasangan infus adalah suatu tindakan memasukan cairan elektrolit, obat, atau
nutrisi ke dalam pembuluh darah vena dalam jumlah danwaktu tertentu dengan
menggunakan set infus (Hidayati, et al., 2014).

Pemasangan infus termasuk salah satu prosedur medis yang paling sering dilakukan
sebagai tindakan terapeutik. Pemasangan infus dilakukan untuk memasukkan bahan-
bahan larutan ke dalam tubuh secara kontinyu atau sesaat untuk mendapatkan efek
pengobatan secara cepat. Bahan yang dimasukkan dapat berupa darah, cairan atau
obat-obatan. Istilah khusus untuk infus darah adalah transfusi darah.

3.1.2 Tujuan Pemasangan Infus/Terapi Intravena

Memenuhi kebutuhan cairan pada klien yang tidak mampu mengkonsumsi cairan
oral secara adekuat, menambah asupan elektrolit untuk menjaga keseimbangan
elektrolit, menyediakan glukosa untuk kebutuhan energi dalam proses metabolisme,
memenuhi kebutuhan vitamin larut-air, serta menjadi media untuk pemberian obat
melalui vena(Mubarak, et al., 2015).

Selain itu, sebagai pengobatan, mencukupi kebutuhan tubuh akan cairan dan
elektrolit, memberi zat makanan pada pasien yang tidak dapat atau tidak boleh makan
melalui mulut (Hidayati, et al., 2014).

Pemasangan infus interavena merupakan tindakan yang dilakukan dengancara


memasukan cairan melalui intravena dengan bantuan infus set, bertujuan memenuhi
kebutuhan cairan dan elektrolit serta serta sebagai tindakan pengobatan dan pemberian
makanan (Maryunani, 2015).

3.1.3 Indikasi

Indikasi pemasangan infus ada beberapa hal, seperti :

a) Menggantikan cairan yang hilang akibat perdarahan


b) Dehidrasi karena panas atau akibat suatu penyakit
c) Kehilangan plasma akibat luka bakar
yang luas.

3.1.4 Kontra Indikasi

Kontra Indikasi pemasangan infus ada beberapa hal, seperti :

a) Inflamasi ( bengkak, nyeri, demam )


b) Infeksi pada lokasi pemasangan infus
c) Luka bakar di sekitar lokasi tusukan vena
d) Prosedur bedah yang mempengaruhi saya ekstremitas
e) Cedera traumatis proksimal dari lokasi pemasangan N.
f) Infiltrasi intravena sebelumnya.
3.1.5 Hal-hal Yang Diperhatikan

Hal-hal yang perlu diperhatikan pada tindakan pemasangan infus adalah:

a. Sterilitas :
Tindakan sterilitas dimaksudkan supaya mikroba tidak menyebabkan
infeksi local pada daerah tusukan dan supaya mikroba tidak masuk ke dalam
pembuluh darah mengakibatkan bakteremia dan sepsis.
Beberapa hal perlu diperhatikan untuk mempertahankan standard sterilitas
tindakan, yaitu :
1) Tempat tusukan harus disucihamakan dengan pemakaian desinfektan
(golongan iodium, alkohol 70%).
2) Cairan, jarum dan infus set harus steril.
3) Pelaku tindakan harus mencuci tangan sesuai teknik aseptik dan anti
septik yang benar dan memakai sarung tangan steril yang pas di
tangan.
4) Tempat penusukan dan arah tusukan harus benar. Pemilihan tempat
juga mempertimbangkan besarnya vena. Pada orang dewasa biasanya
vena yang dipilih adalah vena superficial di lengan dan tungkai,
sedangkan anak-anak dapat juga dilakukan di daerah frontal kepala.
b. Fiksasi
Fiksasi bertujuan agar kanula atau jarum tidak mudah tergeser atau tercabut.
Apabila kanula mudah bergerak maka ujungnya akan menusuk dinding vena
bagian dalam sehingga terjadi hematom atau trombosis.
c. Pemilihan cairan infus
Jenis cairan infus yang dipilih disesuaikan dengan tujuan pemberian cairan.
d. Kecepatan tetesan cairan
Untuk memasukkan cairan ke dalam tubuh maka tekanan dari luar
ditinggikan atau menempatkan posisi cairan lebih tinggi dari tubuh. Kantung
infus dipasang ± 90 cm di atas permukaan tubuh, agar gaya gravitasi aliran
cukup dan tekanan cairan cukup kuat sehingga cairan masuk ke dalam
pembuluh darah.
Kecepatan tetesan cairan dapat diatur sesuai dengan kebutuhan. Yang perlu
diperhatikan adalah bahwa volume tetesan tiap set infus satu dengan yang
lain tidak selalu sama dan perlu dibaca petunjuknya.
e. Selang infus dipasang dengan benar, lurus, tidak melengkung, tidak terlipat
atau terlepas sambungannya.
f. Hindari sumbatan pada bevel jarum/kateter intravena. Hati-hati pada
penggunaan kateter intravena berukuran kecil karena lebih mudah tersumbat.
g. Jangan memasang infus dekat persendian, pada vena yang berkelok atau
mengalami spasme.
h. Lakukan evaluasi secara periodik terhadap jalur intravena yang sudah
terpasang.

Adapun yang perlu diperhatikan mahasiswa dalam melakukan pemasangan infus:

a. Pemilihan abbocath harus disesuaikan dengan kasus mulai dari pasien anak
sampai dewasa.
b. Harus dijaga sterilitas alat – alat yang digunakan (paling sering lupa yaitu
sterilitas pada abbocath dan ujung infus set).
c. Jangan lupa mempersiapkan pemasangan infus set dengan cairan infus karena
banyak yang lupa.
d. Tandanya jika abbocath masuk dalam pembuluh darah yaitu ada darah yang
keluar.
e. Dan waktu abbocath dihubungkan dengan infus set untuk cairan infus harus
menetes.
f. Plester jangan lupa disiapkan saat menyiapkan alat.
3.1.6 Prosedur Pemasangan Infus
a. Tahap Pra Interaksi
1) Baca catatan kebidanan
2) Kaji kebutuhan pasien
3) Cuci tangan
4) Pasang sarung tangan
b. Persiapan alat :
1) Cairan yang diperlukan, sesuaikan cairan dengan kebutuhan pasien.
Macam – Macam cairan infus :
Elektrolit :
 Larutan NaCl 0.9%
 Larutan Ringer
 Larutan Ringer Laktat
 Larutan Hartmann
 Larutan Darrow
 Larutan Na Laktat 1/6 molar
 Larutan NaHCO3 7.5% dan 8.4%
 Larutan Dialisis

Gambar 1. Larutan RL dan NaCl 0,9%

Karbohidrat (dengan elektrolit) :


 Larutan Glukosa 5%, 10%, 20%, 40%
 Larutan Dextrose 5%, 10%, 20%, 50%
 Larutan Fruktose 5%
 Larutan Maltose 10%
 Larutan Ringer-Dextrose
 Larutan Dextrose 5% dengan NaCl 0.9%, NaCl 0.45% atau NaCl
0.225%
 Larutan Dextrose 10% dengan NaCl 0.9%

Gambar 2. Dextrose 5%
Larutan Protein :
 Larutan L-Asam Amino 350 kcal
 Larutan L-Asam Amino 600 kcal, 500 kcal dengan Sorbitol
 Larutan L-Asam Amino 1000 kcal
Gambar 3. Contoh larutan protein

Plasma Expander :
 Dextran 70
 Dextran 40
 Human Albumin 5%, 25%
 Human Plasma
2) Saluran infus (infus set) :
Infus set dilengkapi dengan saluran infus, penjepit selang infus untuk
mengatur kecepatan tetesan.
Jenis-jenis infus set beserta penggunaannya :
 Makro set untuk orang dewasa
 Mikro set untuk anak-anak
 Transfution set ( blood set ) untuk membantu pemberian transfusi
darah untuk memenuhi volume sirkulasi darah.

Gambar 4. Jenis-jenis infus set


3) Kateter Intravena ( IV Catheter )
Gambar 5. Gambar Abboceth
4) Desinfektan : kapas alkohol, larutan povidone iodine 10%
5) Kassa steril, plester, kassa pembalut
6) Torniket
7) Gunting
8) Bengkok
9) Tiang infus
10) Perlak kecil
11) Bidai, jika diperlukan (untuk pasien anak)
12) Sarung tangan steril yang tidak mengandung bedak
13) Masker
14) Tempat sampah medis
c. Persiapan penderita :
1) Perkenalkan diri dan lakukan validasi nama pasien.
2) Beritahukan pada penderita (atau orang tua penderita) mengenai tujuan dan
prosedur tindakan, minta informed consent dari pasien atau keluarganya.
3) Pasien diminta berbaring dengan posisi senyaman mungkin.
4) Mengidentifikasi vena yang akan menjadi lokasi pemasangan infus :
- Pilih lengan yang jarang digunakan oleh pasien (tangan kiri bila pasien
tidak kidal,tangan kanan bila pasien kidal).
- Bebaskan tempat yang akan dipasang infus dari pakaian yang menutupi.
- Lakukan identifikasi vena yang akan ditusuk.
d. Prosedur tindakan :
1) Alat-alat yang sudah disiapkan dibawa ke dekat penderita di tempat yang
mudah dijangkau oleh dokter/ petugas.
- Dilihat kembali apakah alat, obat dan cairan yang disiapkan sudah sesuai
dengan identitas atau kebutuhan pasien.
- Dilihat kembali keutuhan kemasan dan tanggal kadaluwarsa dari setiap
alat, obat dan cairan yang akan diberikan kepada pasien.
Gambar 6. Alat Pemasangan Infus
2) Perlak dipasang di bawah anggota tubuh yang akan dipasang infus.
3) Memasang infus set pada kantung infus :
- Buka tutup botol cairan infus.
- Tusukkan pipa saluran udara, kemudian masukkan pipa saluran infus.
- Tutup jarum dibuka, cairan dialirkan keluar dengan membuka kran selanng
sehingga tidak ada udara pada saluran infus, lalu dijepit dan jarum ditutup
kembali. Tabung tetesan diisi sampai ½ penuh.
- Gantungkan kantung infus beserta salurannya pada tiang infus.
4) Cucilah tangan dengan seksama menggunakan sabun dan air mengalir,
keringkan dengan handuk bersih dan kering.
5) Lengan penderita bagian proksimal dibendung dengan torniket.
6) Kenakan sarung tangan steril, kemudian lakukan desinfeksi daerah tempat
suntikan.
7) Jarum diinsersikan ke dalam vena dengan bevel jarum menghadap ke atas,
membentuk sudut 30-40o terhadap permukaan kulit.
8) Bila jarum berhasil masuk ke dalam lumen vena, akan terlihat darah mengalir
keluar.
9) Turunkan kateter sejajar kulit. Tarik jarum tajam dalam kateter vena
(stylet) kira-kira 1 cm ke arah luar untuk membebaskan ujung kateter vena
dari jarum agar jarum tidak melukai dinding vena bagian dalam. Dorong
kateter vena sejauh 0.5 – 1 cm untuk menstabilkannya.
10) Tarik stylet keluar sampai ½ panjang stylet. Lepaskan ujung jari yang
memfiksasi bagian proksimal vena. Dorong seluruh bagian kateter vena yang
berwarna putih ke dalam vena
11) Torniket dilepaskan. Angkat keseluruhan stylet dari dalam kateter vena
12) Pasang infus set atau blood set yang telah terhubung ujungnya dengan
kantung infus atau kantung darah.
13) Penjepit selang infus dilonggarkan untuk melihat kelancaran tetesan.
14) Bila tetesan lancar, pangkal jarum direkatkan pada kulit menggunakan
plester.
15) Tetesan diatur sesuai dengan kebutuhan.
16) Jarum dan tempat suntikan ditutup dengan kasa steril dan fiksasi dengan
plester.
17) Pada anak, anggota gerak yang dipasang infus di pasang bidai ( spalk )
supaya jarum tidak mudah bergeser.
18) Buanglah sampah ke dalam tempat sampah medis, jarum dibuang ke dalam
sharp disposal (jarum tidak perlu ditutup kembali).
19) Bereskan alat-alat yang digunakan.
20) Cara melepas infus : bila infus sudah selesai diberikan, plester dilepas, jarum
dicabut dengan menekan lokasi masuknya jarum dengan kapas alkohol,
kemudian diplester.
3.1.7 Cara mengatur kecepatan tetesan
Supaya masuknya cairan sesuai dengan kebutuhan yang dijadwalkan, pemberian
cairan infus harus dihitung jumlah tetesan per menitnya. Untuk menghitung jumlah
milliliter cairan yang masuk tiap jam dapat dihitung dengan rumus :
- mL per jam = tetesan per menit x faktor tetesan
- faktor tetesan = 60/w
- w = jumlah tetesan yang dikeluarkan oleh infus set untuk mengeluarkan 1
mL cairan
Misalnya : Infus set dapat mengeluarkan 1 mL cairan dalam 15 tetesan, berarti
faktor tetesan = 60/15 = 4. Jadi bila infus set tersebut memberikan cairan dengan
kecepatan 25 tetes per menit berarti cairan yang masuk sebanyak 25 x 4 = 100 mL
per jam.
Bila dalam infus set tidak disebutkan jumlah tetesan per mL berarti faktor
tetesannya = 4.
Penghitungan jumlah tetesan per menit secara sederhana adalah :
Jumlah cairan yang akan diberikan(mL)
Tetesan/menit (normal) =
Lamanya infus akan diberikan ( jam ) x 3
Jumlah cairan yang akan diberikan( mL)
Tetesan/menit (mikro) =
Lamanya infus akan diberikan ( jam )
3.1.8 Kegagalan pemberian infus :
a. Jarum infus tidak masuk vena (ekstravasasi cairan infus).
b. Pipa infus tersumbat (misalnya karena jendalan darah) atau terlipat.
c. Pipa penyalur udara tidak berfungsi
d. Jarum infus atau vena terjepit karena posisi lengan tempat masuknya jarum
dalam keadaan fleksi.
e. Jarum infus bergeser atau menusuk keluar ke jaringan di luar vena (ekstravasasi
cairan infus dan darah).
3.1.9 Komplikasi yang dapat terjadi, yaitu :
a. Phlebitis
b. Hematoma
c. Ekstravasasi cairan, ditandai dengan :
- Aliran cairan melambat atau terhenti
- Pembengkakan, area yang mengalami pembengkakan berwarna lebih
pucat daripada area sekitarnya.
- Nyeri, nyeri tekan atau rasa terbakar di sekitar pembengkakan.
- Bila terjadi ekstravasasi cairan, pindahkan infus ke lokasi lain.
d. Infeksi lokal atau sistemik
e. Melukai serabut syaraf
f. Emboli udara : gejalanya adalah nyeri dada dan sakit kepala.
BAB IV

TINJAUAN KASUS

FORMAT PENGKAJIAN Ny. E DENGAN DIAGNOSA DYSPEPSIA RUANG


RAWATAN IGD PUSKESMAS TAMBUSAI TANGGAL 18-19 SEPTEMBER 2022

4.1 PENGKAJIAN
Tanggal Pengkajian : 19 September 2022 Pukul : 08.00 WIB
Tanggal masuk : 18 September 2022 Pukul : 22.45 WIB
Ruang : Rawatan IGD No. RM : 05.94.18

Langkah I. Identifikasi Data Dasar


4.1.1 DATA SUBYEKTIF
a. Biodata
Nama ibu : Ny. E
Tgl lahir :
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 60 tahun
Agama : Islam
Suku/bangsa : Melayu
Pendidikan :
Penghasilan :- : -
Alamat rumah : Ling.Kuba
No Hp :-
b. Keluhan Utama
Tanggal 18 September 2022 Ny. E mengatakan dada bagian kanan terasa
sakit ,punggung terasa sakit ,muntah,buang angin(+), perut terasa tidak nyaman
dan nyeri di ulu hati .
c. Riwayat Kesehatan
1) Sudah lama menderita sakit dyspepsia
2) Tidak ada menderita jantung, DM dan penyakit menular lainnya.
3) Tidak ada riwayat alergi dan tidak ada riwayat penyakit keluarga
d. Riwayat Kebutuhan Dasar
1) Kebutuhan Nutrisi Kebiasaan
a) Menu makan nasi dan lauk
b) Frekuensi 2 x sehari
c) Nafsu makan tidak baik
d) Kebutuhan minum 6-7 gelas/ hari
2) Kebutuhan Eliminasi Kebiasaan
a) Frekuensi BAK 5-6 x sehari
b) Warna kuning
c) Bau amoniak
d) Freuensi BAB 2 hari sekali
e) Konsisten padat
3) Kebutuhan istirahat
a) Tidur siang jam 13.30-14.30 WIB
b) Tidur malam jam 22.00-04.00 WIB
4) Kebutuhan Personal Hygiene
a) Mandi 2x sehari
b) Sikat gigi 2x sehari
c) Keramas 2 hari sekali
d) Mengganti pakaian tiap habis mandi
e. Riwayat Psikologi
1) Pasien menerima keadaannya
2) Keluarga senantiasa menjaga dan berdoa demi kesembuhan pasien
3) Dapat beradaptasi dengan lingkungan dan orang sekitar
f. Kronologi keluhan
1) Faktor : telat makan
2) Timbulnya keluhan : bertahap
3) Lamanya : 1 minggu
4) Upaya mengatasi : berobat ke rumah sakit
4.1.2 DATA OBYEKTIF
a. Pemeriksaan umum
1) Keadaan umum : baik
2) Kesadaran : composmetis
3) Bentuk tubuh : normal
4) Tanda-tanda vital :
TD : 180/90 mmHg
Suhu : 36,2℃
RR : 22x/ menit
Nadi : 80x/menit
b. Pemeriksaan Fisik
1) Kepala : tidak ada luka
2) Wajah : terlihat meringis menahan sakit di ulu hati
3) Hidung : tidak ada keluhan
4) Mulut : terlihat kering di bibir
5) Leher : tidak ada keluhan
6) Dada : dalam batas normal
7) Perut : terlihat kecil
8) Tangan : tidak ada keluhan
9) Kaki : tidak ada keluhan
4.1.3 ASSESSMENT
Diagnosa : Dyspepsia
Masalah :
a. Nyeri pada ulu hati
b. Pasien merasakan pusing
c. Pasien merasakan lemas karena kurang cairan
4.1.4 PLANNING
a. Manajemen nyeri kolaborasi dengan dokter
b. Diet ML ( makanan lunak )
c. Guyur 2 kolf NaCl
d. Cek ulang TTV
4.2 TERAPI OBAT

1 anjurkan rawat inap


Lansoprazole 30 mg 1 kali 1
Antasida syirup 3 kali 2
Paracetamol 500 mg 3 kali 1
Amlodipine 10 mg 1 kali 1

Langkah II Identifikasi Masalah/ Diagnosa Aktual


Diagnosa : Dyspepsia
Masalah Aktual
1) Nyeri pada ulu hati
2) Pasien Cemas dengan keadaannya
Langkah III Identifikasi Diagnosa/ Masalah Potensial :
Antisipasi terjadinya tukak lambung
Langkah IV. Tindakan Segera / Kolaborasi
Memasang infus RL 20 tpm pada tanggal 18 September 2022 pukul 22.45 wib.
Langkah V. Implementasi
1. Mengucapkan salam kepada pasien dan menjelaskan keadaan pasien
Rasional : Untuk menciptakan jalinan yang baik antara ibu dengan petugas
kesehatan dan pasien dapat memahami keadaannya.
2. Mengobservasi keadaan umum dan tanda-tanda vital pasien.
Rasional : Untuk mengetahui keadan umum dan TTV sebagai petunjuk untuk
melakukan pemantauan dan perawatan selanjutnya.
3. Menganjurkan pasien mengkonsumsi makanan yang bergizi seperti sayur-sayuran
dan mengandung protein, karbohidrat, vitamin A, C, D
Rasional : membantu dalam proses pemulihan.
4. Menjelaskan penyebab nyeri dan mengajarkan teknik relaksasi untuk mengurangi
nyeri.
Rasional : Dengan memberi penjelasan mengenai penyebab nyeri, maka pasien
dapat mengerti dan beradaptasi dengan nyeri yang dirasakan sehingga mau
bekerja sama dalam proses perawatannya.
5. Mengobservasi tanda-tanda dyspepsia
Rasional : Tanda-tanda dyspepsia perlu diketahui secara dini untuk mencegah
terjadinya komplikasi agar dapat mengetahui tindakan selanjutnya.
6. Memberikan konseling tentang pola makan yang tidak dapat menimbulkan nyeri
pada ulu hati
Rasional : Untuk memberikan rasa nyaman dan untuk mencegah terjadinya nyeri
ulu hati
7. Mengobservasi pemberian cairan infus
Rasional : Pemberian cairan infus mengandung elektrolit yang diperlukan oleh
tubuh untuk mencegah terjadinya hipotermi, dehidrasi dan komplikasi pada
organ-organ lainya.
8. Menganjurkan untuk istirahat yang cukup
Rasional : Istirahat yang cukup memberikan kesempatan otot dan otak untuk
relaksasi untuk pemulihan tenaga serta stamina dapat berlangsung dengan baik.
Langkah VI. Evaluasi

1. Pasien memahami kondisinya dan setuju tentang tindakan yang akan dilakukan
serta rasa cemas mulai berkurang.
2. Keadaan Umum Pasien baik dan TTV yaitu: Tekanan Darah : 180/90 mmHg, Nadi: 80
x/menit, Pernafasan: 22 x/ menit, Suhu: 36,2 ͦ C
3. Pasien mengkonsumsi makanan teratur dan makan
4. Pasien menyetujui menghindari makanan asam dan pedas
5. Tidak ada tanda-tanda bahaya
6. Pemberian infus dan obat berjalan baik
7. Pasien Istirahat dengan cukup
BAB IV

PENUTUP

1.1 Kesimpulan
Kebutuhan cairan dan elektrolit merupakan suatu proses dinamik karena metabolisme
tubuh membutuhkan perubahan yang tetap dalam merespon fisiologis dan lingkungan.
Ginjal merupakan organ yang paling berperan sebagai pengontrol volume cairan elektrolit
dalam tubuh, mengeluarkan sisa-sisa produk dari tubuh dan juga dapat dan dapat mengatur
sel darah merah kita dalam tubuh. Maka dari itu, kita perlu mengkonsumi makanan dan
minuman yang mengandung air dan yang lebih penting yaitu minum air putih.
Kebutuhan cairan tubuh tidak hanya berasal dari air putih saja, melainkan juga dari
makanan dan minuman yang mengandung air. Meskipun begitu, akan jauh lebih baik jika
kita terlatih untuk mengonsumsi air putih ketimbang jenis minuman lainnya yang banyak
mengandung gula, kalori dan zat-zat lainnya.
DAFTAR PUSTAKA

Annisa, (2009). Hubungan Ketidakteraturan Makan dengan Sindroma Dispepsia Remaja


Perempuan di SMA Plus Al- Azhar Medan. Diperoleh tanggal 17 Mei 2017 pukul 11.15
dari : http://repository.usu.ac.id/bitsr eam.pdf.

Mangku G, Senapathi TGA. (2010). Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Jakarta:
Indeks.

Dougherty L, Bravery K, Gabriel J, Kayley J, Malster M, Scales K, et al. Standards for


infusion therapy (third edition). Royal College of Nursing; 2010.

Darwis, Aprizal. (2014). Prosedur pemasangan infus. Diakses pada tanggal 15 Februari


2016 dari: http://www.abcmedika.com/2014/04/prosedur-pemasangan-infus.html

Muchtar, Amrizal. (2015). Pemasangan infus. Diakses pada 16 Februari 2016


dari :https://www.academia.edu/6658158/1_PEMASANGAN_INFUS

Potter&Perry. (2005). Buku ajar fundamental keperawatan Edisi 4. Jakarta: EGC

http://www.slideshare.net/pjj_kemenkes/kb-1-43233730p7

Anda mungkin juga menyukai