KONFLIK INTERPERSONAL
(Diajukan Untuk Memenuhi Tugas UAS Mata Kuliah Pendekatan Penyelesaian Konflik)
Dosen Pengampu : Dr. H. Abdullah Pandang, M.Pd & Sahril Buchori, S.Pd., M.Pd
Oleh :
210404501036
3-C
2022
Pendahuluan
Kehidupan damai dan tentram tanpa konflik dalam masyarakat merupakan keadaan
yang dicita-citakan.setiap individu sebagai makhluk sosial idealnya dapat saling memahami
perbedaan, bekerja sama, dan hidup rukun. Kehidupan harmonis dalam masyarakat tidak bisa
begitu saja muncul melainkan harus diciptakan (Nadya dkk., 2020). Namun pada
kenyataannya konflik dalam kehidupan akan selalu ada karena keterlibatan setiap individu
dalam perbedaan memungkinkan mereka berselisihdan bersaing (Susan, 2014). Konflik bisa
terjadi bukan hanya dalam tatanan masyarakat secara luas, tetapi juga bisa terjadi dalam
lingkup yang lebih kecil seperti dalam keluarga dan di sekolah. Konflik di sekolah biasanya
terjadi di antara peserta didik, guru, hingga pejabat struktural (Raya, 2016).
Konflik merupakan hal yang tidak bisa dihindarkan dari kehidupan manusia. Konflik
yang terjadi di kalangan remaja biasanya berupa konflik interpersonal. Konflik interpersonal
adalah konflik yang terjadi dalam hubungan interpersonal dimana tindakan atau tujuan
seseorang terganggu, terhambat, atau terhalangi orang lain karena adanya pertentangan
kepentingan atau kebutuhan (Arfiani, 2013). Konflik ini terjadi karena adanya perbedaan
atau pertentangan atau juga ketidakcocokan antara individu satu dan individu lain. Masing-
masin gindividu bersikukuh mempertahankan tujuannya atau kepentingannya masing-masing.
Fenomena permasalahan remaja di Indonesia berupa konflik interpersonal jika tidak ditangani
dan diarahkan secara tepat sedikitnya berdampak pada hubungan sosial, konsentrasi belajar,
bahkan perkembangan diri individu tersebut. Dampak paling berbahaya dari ketidakmampuan
mengatasi masaah adalah kenakalan remaja dan penyimpangan yang bisa menimbulkan
kerugian harta benda, gangguan mental, dan kehilangan nyawa.
Konflik merupakan hal umum yang terjadi dalam kehidupan sosial. Adanya interaksi
dari individu yang satu dengan individu yang lain yang masing-masing memiliki perbedaan
individual (inividual differences) menimbulkan berbagai macam pertentangan dan konflik.
Konflik interpersonal berarti suatu ketidaksetujuan antara individu-indivdu yang saling
berhubungan, sebagai contoh : teman dekat, pasangan kekasih, atau anggota-anggota
keluarga. Konflik ini terjadi karena adanya perbedaan atau pertentangan atau juga
ketidakcocokan antara individu satu dan individu lain. Masing masing individu bersikukuh
mempertahankan tujuannya atau kepentingannya masing-masing”.
Pada latar persekolahan, konflik yang sering timbul adalah konflik hubungan antar
pribadi (Sridasweni, dkk., 2017). Konflik yang dilakukan siswa tidak jarang menggunakan
kekerasan verbal maupun fisik sebagai bentuk pelampiasan rasa kesal atau kekecewaan
terhadap sesuatu yang tidak sesuai harapan dan melibatkan situasi emosional. Beberapa hal
yang dapat memicu konflik interpersonal di sekolah adalah gender, konsep diri, ekspektasi
kepada orang lain, faktor situasional, kekuasaan, dan pengalaman. Beberapa hal tersebut bisa
menjadi pemicu konflik yang hebat dan menyebabkan tindakan bully sampai pada tawuran
(Nawantara, 2017). Konflik yang terjadi pada peserta didik sangat membahayakan mengingat
usia remaja merupakan fase seseorang mengalami kondisi yang belum matang atau labil dan
masih dalam masa pencarian jati diri. Peserta didik bisa terjerumus ke dalam kegiatan tidak
bermanfaat seperti tawuran. Belum lagi ketika peserta didik tidak mampu mengatasi konflik
yang terjadi pada dirinya sendiri, mereka bisa terjerumus pada penyimpangan sosial seperti
penggunaan obat terlarang. Perselisihan dan kenakalan remaja umumnya timbul akibat
konsep diri remaja yang negatif (Saputro, 2018).
Konflik merupakan salah satu bentuk interaksi sosial yang seringkali ditanggapi
secara negatif sehingga penyelesaiannya bersifat destruktif. Konflik dapat diselesaikan secara
konstruktif melalui resolusi konflik (Nadya, dkk, 2020). Fenomena permasalahan remaja di
Indonesia berupa konflik interpersonal jika tidak ditangani dan diarahkan secara tepat
sedikitnya berdampak pada hubungan sosial, konsentrasi belajar, bahkan perkembangan diri
individu tersebut. Dampak paling berbahaya dari ketidakmampuan mengatasi masalah adalah
kenakalan remaja dan penyimpangan yang bisa menimbulkan kerugian harta benda,
gangguan mental, dan kehilangan nyawa (Maftuh, 2008).
Konseling resolusi konflik dirancang untuk membantu mengentaskan persoalan
konflik, khususnya konflik interpersonal (Purwoko, dkk, 2016). Konseling resolusi konflik
bertujuan untuk membantu individu menyelesaikan konflik secara collaborative
berparadigma win-win solutions untuk mencapai hasil penyelesaian konflik yang konstruktif.
Sebuah konflik menjadi konstruktif atau destruktif ditentukan oleh kemampuan individu
mengelola konflik. Pengelolaan konflik yang buruk akan memicu konflik terbuka, maka ada
dua aspek penting untuk hal mengantisipasi hal tersebut yakni dengan keterampilan
mengelola konflik dan kesadaran dari berbagai pihak perihal resolusi konflik (Malihah &
Nurbayani, 2015). Tujuan konseling resolusi konflik secara umum adalah membantu konseli
menyelesaikan konflik interpersonal dari akar masalahnya secara konstruktif yang
berorientasi pada kerjasama kolaboratif dengan mementingkan terpenuhinya kebutuhan yang
saling memuaskan dan terbinanya hubungan yang baik dan tahan lama (Arfiani, 2013).
Berdasar konsep Galtung (2000) serta Furlong (2005) dalam (Purwoko, 2015)
intervensi konseling resolusi konflik fokus pada aspek-aspek yang meliputi: (1) aspek
persepsi, fasilitasi perubahan persepsi konflik dari kompetitif menuju kolaboratif, (2) aspek
sikap, fasilitasi perubahan sikap menghadapi konflik dari menentang menuju kerjasama
integratif, (3) aspek tingkah laku, melatih keterampilan negosiasi kolaboratif sebagai metode
resolusi konflik. Berdasarkan sasaran intervensi, proses konseling resolusi konflik terangkai
dalam lima tahapan yang meliputi: (a) pembinaan hubungan, (b) pemahaman masalah
konflik, (c) menguatkan persepsi dan sikap kolaboratif, (d) kepemilikan keterampilan resolusi
konflik, (e) penerapan resolusi konflik dan pengakhiran.
Peran dan fungsi konselor dalam konseling resolusi konflik interpersonal adalah
sebagai pihak ketiga yang memfasilitasi konseli untuk menyelesaikan konfliknya. Dan sesuai
dengan prinsip resolusi konflik yang mennyelesaikan konflik sesuai dinamika konflik, maka
peran dan fungsi konselor dalam konseling resolusi konflik interpersonal juga bergantung
pada dinamika konflik intepersonal konseli (Arfiani, 2013). Berikut adalah peran dan fungsi
konselor dalam konseling resolusi konflik interpersonal:
1. Konselor
Dalam hal ini konselor diharapkan dapat menciptakan suasana yang kondusif
untuk menjalankan resolusi konflik interpersonal.
2. Mediator (Fasilitator)
Sebagai pengamat, konselor mengisi peran yang relatif pasif, yaitu mengamati
jalannya proses penyelesai konflik interpersonal dan mengamati bagaimana dinamika
konfliknya.
Peran penting konselor sebagai ahli netral dalam resolusi konflik adalah untuk
menyediakan dan memberikan data, fakta, dan informasi yang relevan sehingga dapat
membantu para pihak yang berkonflik meningkatkan pemahaman mereka tentang
konflik yang dialaminya.
6. Negosiator (Advokat)
1. Tahap awal
a. Pembentukan hubungan
Pada tahap ini, konselor akan memberi kesempatan pada pihak-pihak yang
berkonflik untuk melakukan resolusi konflik, dengan harapan dapat menemukan
solusi yang berfokus pada penyelesaian akar masalahnya, terpenuhi tujuan atau
kebutuhan kedua belah pihak dan terbinanya hubungan yang lebih baik di antara
pihak yang berkonflik. Yang akan dilakukan konselor pada tahap ini adalah
Dalam tahap ini kedua belah pihak diminta untuk menceritakan proses
konflik, latar belakang penyebab konflik, akibat konflik, sikap terhadap
konflik dari sudut pandang mereka masing-masing. diharapkankonseli dapat
me-reframe sikap dan perilaku konseli terhadap konflik yang dialaminya.
3. Tahap akhir
Kesimpulan
Tujuan dari konseling resolusi konflik interpersonal adalah membantu konseli untuk
menyelesaikan konflik interpersonal dari akar masalahnya, dan berorientasi padaterpenuhinya
kebutuhan yang saling memuaskan serta terbinanya hubungan yang semakin baik. Peran dan
fungsi konselor dalam konseling resolusi konflik interpersonal antara lain sebagai konselor,
negosiator, mediator, komunikator, arbiter, dan observer. Kompetensi dan keterampilan yang
perlu dimiliki konselor dalam konseling resolusi konflik interpersonal adalah pembentukan
hubungan, resolusi konflik, dan mengelolah dinamika kelompok, dan pengambilan
keputusan.
Proses konseling resolusi konflik interpersonal terdiri dari tiga tahapan, yaitu tahap
awal (pembentukan hubungan, identifikasi dan pemahaman konflik, persiapan resolusi
konflik), tahap resolusi konflik (mempertemukan konseli dan rasionel resolusi konflik,
menceritakan permasalahan, meningkatakan pemahaman konflik, mengidentifikasi
kebutuhan, mengidetifikasi, mengevaluasi, dan memilih solusi) dan tahap akhir yang
berisikan evaluasi dan tindak lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
Nadya, F., Malihah, E., & Wilodati. (2020). Kemampuan Resolusi Konflik Interpersonal
dan Urgensinya pada Siswa. Sosietas Jurnal Pendidika Sosiologi, 10(1), 775–
790.https://ejournal.upi.edu/index.php/sosietas/article/view/26007%0Ahttps://
ejournal.upi.edu/index.php/sosietas/article/download/26007/12292.
Purwoko, B., Prawitasari, J. E., Atmoko, A., & Handarini, D. M. (2016). Keefektifan
Konseling Resolusi Konflik untuk Mengatasi Konflik Interpersonal pada
Siswa Sekolah Menengah Atas. Jurnal Pendidikan Humaniora, 4(1), 53–63.
http://journal.um.ac.id/index.php/jph.
Saputro, K. Z. (2018). Memahami ciri dan tugas perkembangan masa remaja. Aplikasia:
Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, 17(1), 25-32.
Suhardono, W. (2015). Konflik dan Resolusi. Jurnal Sosial dan Budaya Syar’i, 2.
Pettalongi, S. S. (2013). Islam dan Pendidikan Humanis dalam Resolusi Konflik Sosial.
Cakrawala Pendidikan, (2), 95142.
Aminati, A.Y. (2013). Studi Kepustakaan Mengenai Landasan Teori dan Praktik
Konseling Resolusi Konflik Interpersonal. Jurnal BK Unesa, 3(1).
Malihah, E., & Nurbayani, S. (2015). Teaching conflict resolution through general
education at university: Preparing students to prevent or resolve conflicts. In a
pluralistic society. Asian Social Science, 11(12), 353.
LaRusso, M., & Selman, R. 2011. “Early Adolescent Health Risk Behaviors, Conflict
Resolution Strategies, and School Climate”. Journal of Applied
Developmental Psychology 32. Elvisier pp 354-362