Anda di halaman 1dari 10

Pembuatan Nanopartikel Pati Dari Pati Lokal Indonesia

Titi Candra Sunarti 1, Christina Winarti 2, Nur Richana 2 1 Jurusan Teknologi Industri
Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor 16002,
Indonesia
2 Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian (Balitbang) Badan

Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Badan Litbang Pertanian) Jl. Tentara Pelajar
12, Bogor 16114, Indonesia
Surel: titi-cs@ipb.ac.id (Penulis yang sesuai)

Kata kunci: Pati tapioka, pati garut, pengendapan etanol, kompleks butanol

Abstrak
Indonesia memiliki tanaman sumber pati lokal yang melimpah yang berpotensi untuk
dikembangkan sebagai bahan industri dengan modifikasi menjadi partikel berukuran nano
untuk memperluas aplikasinya. Jenis pati dengan ukuran butiran dan kristalinitas yang
berbeda dapat menghasilkan struktur yang berbeda pula. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui karakteristik dua sumber pati yang berbeda yaitu garut dan tapioka dengan
pengendapan etanol dan butanol. Pretreatment pati telah dilakukan untuk meningkatkan
karakteristiknya menggunakan hidrolisis asam (lintnerization) untuk 2; 4; 6 dan 24 jam
untuk menghasilkan dekstrin. Jenis pati mempengaruhi nanopartikel pati yang dihasilkan.
Durasi lintnerisasi juga mempengaruhi distribusi ukuran partikel, WAC dan OAC. Morfologi
pati menunjukkan struktur berpori dan halus yang meningkatkan daya serapnya. Daya
serap mencapai tingkat tertinggi pada lama lintnerisasi selama 4 jam pada pati garut dan 6
jam pada pati singkong. Pola kristal (XRD) menunjukkan bahwa nanopartikel pati endapan
butanol menghasilkan pola kristalinitas yang berbeda dibandingkan pengendapan etanol.

PENGANTAR
Akhir-akhir ini, tren meminimalkan dampak bahan kimia terhadap lingkungan serta mencari
alternatif untuk menipisnya sumber daya petrokimia telah menimbulkan permintaan tinggi akan polimer
berbasis nabati (Cadar). dkk. 2012). Pati adalah kandidat yang menjanjikan dan telah diselidiki secara
ekstensif. Pati telah banyak digunakan di berbagai industri seperti makanan, tekstil, dan farmasi. Ini
digunakan dalam banyak aplikasi termasuk ukuran permukaan, sebagai pengemulsi makanan, pengganti
lemak, eksipien untuk tablet dan pembawa pengiriman obat (Mahkam, 2010).
Pati terutama terdiri dari amilase (AM) dan amilopektin (AP), yang merupakan dua
homopolimer yang memiliki unit berulang yang sama yang masing-masing dihubungkan secara
linier dan bercabang (Pareta et al. 2006). Ada banyak gugus hidroksil di tulang punggung. Gugus
hidroksil primer dan sekunder pada C-2, C-3, dan C-6 dari setiap residu glukosa membuat pati
menjadi hidrofilik dan tersedia untuk modifikasi lebih lanjut (Tomasik., 2004). Preparasi menjadi
nanopartikel pati merupakan salah satu modifikasi untuk meningkatkan performansi pati (Xu dkk.
2010). Nanopartikel pati memiliki manfaat dalam hal luas permukaan yang lebih tinggi, viskositas yang lebih
rendah pada konsentrasi yang lebih tinggi, dan jebakan bahan aktif yang lebih tinggi (Chen dkk. 2006).
Pengendapan etanol menghasilkan pati berpori yang digunakan sebagai efek penguat dan
filler pada nanokomposit, serta sebagai matriks pembawa potensial bahan aktif yang sulit larut
dalam air. Menurut Devesvaran et al. (2012) pati berpori memiliki struktur nanoporous, densitas
rendah, luas permukaan besar dan volume pori besar. Presipitasi non-pelarut akan menghasilkan
struktur nano karena merupakan proses yang melibatkan penambahan

689
encerkan polimer menjadi non-pelarut menjadi polimer yang diendapkan dalam ukuran nano (Tan dkk. 2009),
atau penambahan non-pelarut dalam polimer. Tan dkk. ( 2009) dan Amelia dkk. ( 2007) menggunakan aseton
sementara Ma dkk. ( 2008) menggunakan ethanol, apalagi Patindol dkk. ( 2012) menggunakan etanol pada pati
gelatin dan tepung beras untuk menghasilkan pati dengan porositas tinggi.
Penelitian tentang pembuatan pati yang memiliki partikel berukuran nano oleh kompleks
butanol telah dilakukan oleh beberapa peneliti seperti Herbert dan Chancy (1994); Kim dkk,
(2009); Kim dan Lim (2010). Butanol hanya dapat membentuk kompleks dengan amilosa dan
endapan, tetapi tidak dengan amilopektin. Produksi partikel nano dengan kompleks butanol
memerlukan preparasi pati menjadi amilosa yang lebih pendek dan lebih kristal, seperti
hidrolisis asam (lintnerisasi) atau hidrolisis asam-alkohol. Kim dkk, ( 2009); Kim dan Lim, (2010).

Lintnerization atau hidrolisis asam merupakan salah satu proses modifikasi pati yang
sering digunakan untuk preparasi awal seperti yang dilaporkan Gunaratne dan Corke (2007); Kim
dan Lim (2010). Pati asal tumbuhan yang memiliki sifat berbeda dapat menghasilkan karakteristik
nanopartikel yang berbeda. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik
pecipitasi pati lintner dari dua jenis pati lokal menggunakan perlakuan awal pengendapan etanol
dan butanol dengan kadar hidrolisis asam yang berbeda.

BAHAN DAN METODE


Bahan baku yang digunakan adalah garut dengan varietas Creole yang berasal dari daerah
sekitar Bogor, tapioka diperoleh dari industri tapioka Sentul, Bogor. Bahan kimia yang digunakan untuk
proses ini antara lain HCl, etanol, butanol, metanol, dan bahan kimia lainnya yang digunakan untuk
analisis.

Produksi dan Karakterisasi Pati Cristalline dengan Hidrolisis Asam


Produksi pati kristal dilakukan dengan hidrolisis asam / lintnerisasi (Jayakody dan
Hoover, 2002). Pati dibuat suspensi dalam HCl 2,2 N dengan perbandingan 1: 2
dan diinkubasi pada suhu 35 • C selama 2, 4, 6, dan 24 jam menggunakan waterbath goyang. Suspensi pati
yang telah dihidrolisis oleh asam dan dinetralkan dengan NaOH 1 N, kemudian dicuci dengan
etanol dan akuades kemudian dikeringkan pada suhu 40 • C selama 24 jam.

Produksi dan Karakterisasi Nanopartikel Pati


Produksi nanopartikel pati dilakukan melalui pembentukan kompleks pati berlapis
dengan presipitasi etanol (Ma dkk. 2008) dan presipitasi butanol (Kim & Lim,
2010). Untuk pengendapan etanol, pati lintner didispersi dengan akuades dengan perbandingan pati:
akuades 1:20 (b / v) kemudian dipanaskan hingga menjadi gelatin (kurang lebih 30 menit) sambil diaduk
dengan kecepatan tinggi pada pengaduk hotplate. Setelah itu etanol ditambahkan tetes demi tetes
dengan laju tetesan sekitar 3 ml / menit selama kurang lebih 60 menit dengan pengadukan cepat.
Kompleks / endapan dicuci beberapa kali dengan etanol kemudian disaring, dikeringkan dengan freeze
dryer dan dianalisis.
Sedangkan untuk pengendapan butanol, pati lintnerized (40 g) didispersikan
air suling panas dan suspensi diautoklaf pada 121 • C selama 20 menit. Solusinya didinginkan
hingga 70 • C dan sekitar 20% n-butanol ditambahkan secara perlahan ke dalam larutan untuk
membentuk fasa butanol yang terpisah dari larutan pati. Larutan kemudian diaduk perlahan (100
rpm) pada kecepatan 35 • C selama 3 hari. Larutan disentrifugasi pada 5000 rpm selama 20 menit,
dan kemudian endapan dikeringkan dengan pengering beku. Berat endapan diukur untuk
menghitung hasil kompleks.

690
Perlakuan untuk preparasi etanol kompleks meliputi: lama lintnerisasi selama 2, 4, 6 dan 24
jam, sedangkan untuk pengendapan butanol meliputi: Durasi lintnerisasi (H2 = 2 jam dan H24 = 24
jam) dan konsentrasi pati lintnerized (B5 = 5% dan B10 = 10%). Desain penelitian yang digunakan
adalah Rancangan Acak Lengkap dengan tiga ulangan.
Parameter yang diamati pada nanopartikel pati meliputi rendemen, kapasitas penyerapan
air dan minyak (Leach dkk. 1959), kecernaan ( in vitro) menggunakan pancreatin amylase),
morfologi (SEM dan TEM), ukuran partikel (PSA) dan pola kristalinitas (XRD).

HASIL DAN DISKUSI

Hasil, Kecernaan, dan Penyerapan Air dan Minyak


Hasil hidrogel pati yang dibuat dari pati garut dan tapioka dengan presipitasi etanol
menunjukkan bahwa durasi lintnerisasi terlama (24 jam) menunjukkan hasil terendah dari hidrogel
pati yang dibuat dengan presipitasi etanol (kurang dari 40%). Namun, lintnerisasi selama 4, 6 jam
menunjukkan hasil yang lebih tinggi (sekitar 80%) dibandingkan dengan 2 (74%) dan 24 jam.
lintnerization ( • 40%).
Daya cerna dan absorpsi air dan minyak disajikan pada Tabel 2. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa bahan yang mengalami lintnerisasi dalam waktu lama mengalami penurunan daya cerna tetapi
sampai tingkat tertentu tetapi kemudian meningkat lagi. Berbeda dengan pati tapioka, kedua bahan
tersebut mengalami peningkatan daya cerna pada lintnerisasi 4 jam, kemudian menurun kembali pada
lintnerisasi 6 dan 24 jam. Faktor yang mempengaruhi kecernaan pati adalah proses retrogradasi dimana
pati direkristalisasi dan membentuk struktur yang kaku sehingga menyebabkan penurunan daya cerna.
Terjadinya peristiwa tersebut dapat menyebabkan fraksi retrogradasi amilosa rantai pendek membentuk
rantai heliks ganda membentuk kristalit kompak, dimana ikatan antarmolekul dibentuk kembali agar
lebih tahan terhadap kerusakan oleh enzim α-amilase.
Penyerapan air dan minyak menunjukkan peningkatan hingga 4 jam lintnerisasi untuk pati
garut dan 6 jam untuk pati tapioka, namun kemudian menurun setelah 24 jam. Perlakuan hidrolisis
asam 4 jam menghasilkan peningkatan lebih dari 900% dibandingkan sampel kering. Sedangkan
untuk dua pati lainnya meningkat sekitar 800% (Tabel 1). Faktor-faktor yang mempengaruhi daya
serap pati antara lain sumber nabati, ukuran butiran, rasio bagian kristal dan bagian amorf,
kandungan amilosa. Ukuran butiran tapioka (5-40 • m) dan pati garut (5-70 • m) (Penguji dan
Karkalas, 2002). Selain itu, Swinkels (1985) melaporkan bahwa kandungan amilosa pada pati juga
dapat mempengaruhi penyerapan minyak dan air. Menurut Wei
dkk. ( 2012) kandungan amilosa yang lebih tinggi pada super absorben pati akan lebih banyak menyerap
air karena semakin tinggi rasio grafting dan efisiensi grafting serta mobilitas rantai pati yang tinggi.
Durasi lintnerisasi yang lebih lama yaitu 24 jam menunjukkan kapasitas air dan minyak yang lebih sedikit
karena kristalinitas pati semakin tinggi. Seperti yang telah disebutkan serangan asam terutama pada
daerah amorf dan meninggalkan bagian kristal (Srichuwong dkk., 2005).
Proses lintnerisasi yang semakin lama menyebabkan peningkatan kapasitas penyerapan minyak.
WAC dan OAC yang lebih rendah pada durasi lintnerisasi yang lama mungkin terkait dengan tingkat
kristalinitas yang lebih tinggi. Das dkk ( 2010) menyebutkan bahwa penurunan OAC terjadi karena
berkurangnya wilayah amorf dalam butiran pati yang mengakibatkan berkurangnya jumlah tempat
pengikatan yang tersedia untuk minyak. Seperti disebutkan sebelumnya pada lintnerisasi 24 jam, asam
terhidrolisis terutama pada daerah amorf sehingga daerah ini berkurang dan daerah kristal tersisa.

691
SEMMorfologi
Pengamatan morfologi permukaan dengan Scanning Electron Morphology (SEM)
menunjukkan perbedaan morfologi permukaan antara durasi lintnerisasi dan asal pati yang
berbeda, dimana selama 2 jam menghasilkan struktur teraglomerasi seperti pada Gambar 2.
Sedangkan pati yang diberi perlakuan lintnerisasi yang lebih lama menghasilkan struktur yang
lebih halus. . Proses tersebut dilakukan dengan pengendapan etanol dalam pati gelatin dengan
laju tetesan sekitar 3 ml / menit. Dengan pengaturan dropping rate, pati hidrogel menghasilkan
konsistensi yang lebih halus. Selama proses temperatur dan pengendapan pati mengalami
perlakuan mekanis yang kuat yang menyebabkan ukuran partikel mengecil. Klingler dkk. ( 1986)
mengemukakan bahwa suhu dan energi mekanik yang terjadi selama proses dapat memutus
ikatan kovalen dan ikatan hidrogen antarmolekul pati.
Pengamatan dengan citra SEM tidak menunjukkan struktur nano, namun setelah dianalisis
dengan Transmission Eelectron Mycroscopy (TEM) didapatkan bahwa pati yang diberi perlakuan
lintnerisasi selama 24 jam menghasilkan struktur dan ukuran nano yang jauh berbeda yaitu di bawah 100
nm sedangkan durasi hidrolisis asam lebih singkat. perlakuan (4 jam) tidak menghasilkan partikel ukuran
nano (Gambar 3).

Distribusi Ukuran
Hasil distribusi ukuran partikel menunjukkan bahwa lintnerisasi selama 24 jam menunjukkan
partikel yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan durasi lintnerisasi yang lebih pendek. Namun indeks
polidispersitas yang masih cukup besar (0,88) menunjukkan bahwa partikel-partikel tersebut sangat
tersebar, tidak homogen. Untuk pengendapan etanol hasil lintnerisasi pati garut selama 4 dan 6 jam
belum menghasilkan partikel berukuran nano (Tabel 3) dengan ukuran partikel bijih.
dari 1 • m. Hasil dari Ma dkk ( 2008) untuk pati jagung yang diolah dengan presipitasi etanol menghasilkan
partikel berukuran nano sekitar 100 - 300 nm. Perlakuan pengendapan butanol menghasilkan ukuran
partikel yang lebih kecil dan homogen seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4.

XRD
Pati yang diolah dengan pengendapan etanol tidak menghasilkan struktur kristal
Pada gambar 4 menunjukkan bahwa pengendapan etanol berubah menjadi semistarch
seperti yang ditunjukkan struktur kristal. Perubahan pola kristalinitas pada penambahan
amorf terjadi karena terbukanya struktur heliks ganda pada daerah kristal. Pada rantai
endapan garut, proses juga terjadi dari perubahan bentuk kristal heliks ganda menjadi tetes
amilosa pendek yang menurunkan derajat kristalinitas. Ketika etanol ditambahkan
demi tetes menjadi larutan pasta pati yang telah tergelatinisasi, pati endapan nano.
gelatinisasi mengubah struktur kristal pati garut tipe A menjadi amorf dimana pengendapan
kehilangan kristalinitas pati. Hasil ini sedikit berbeda dengan studi Ma et a l. (2008) pada
pati etanol menghasilkan partikel berukuran nano yang memiliki kristalinitas tipe V.
pengendapan kompleks Butanol menghasilkan pola kristalinitas yang berbeda dibandingkan
perlakuan etanol, di mana pengendapan butanol menggeser pola kristalin dari tipe-A.
dengan tipe V.

KESIMPULAN
Pembuatan endapan pati dengan pengendapan etanol dan butanol dari lama
lintnerisasi yang berbeda dari pati tapioka dan pati garut dapat menghasilkan nanopartikel
pati termodifikasi. Morfologi nanopartikel pati masih diaglomerasi dan menghasilkan partikel
berukuran nano untuk pretreatment lintnerisasi 24 jam. Daya serap mencapai tingkat
tertinggi pada lama lintnerisasi selama 4 jam pada pati garut dan 6 jam pada pati singkong.

692
Dari pola kristal (XRD) menunjukkan bahwa pengendapan butanol menghasilkan pola
kristalinitas yang berbeda dengan pengendapan etanol.

PENGAKUAN
Pekerjaan ini secara finansial didukung oleh Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, Kementerian Pertanian, melalui tahun anggaran proyek KKP3T
2012.

Daftar pustaka
Amelia I dan Be Miller JN 2009. Persiapan nonfragmented completely amorphous,
tepung jagung jagung prelatinisasi dan penentuan efek fragmentasi terhadap daya rekat
pasta. Pati / Starke 61: 696-701. doi. 10.1002 / star.200900160 Chang, PR, Yu, JG, & Ma, XF
2011. Pembuatan pati berpori dan penggunaannya sebagai
agen pengarah struktur untuk produksi seng oksida berpori. Polimer Karbohidrat.
83: 1016–1019.
Cadar, O., Paul, M., Roman, C., Miclean, M., Majdik, C., Biodegradasi poli (asam laktat)
dan kopolimer (asam laktat-etilen-malonat atau asam suksinat) dalam kondisi pengomposan
terkontrol dalam sistem laboratorium. Polym.Degrad. Menusuk. 2012,97, 354–357.
Chin, SF, SC Pang dan SH Tay. 2011. Ukuran terkontrol sintesis nanopartikel pati
dengan metode nanopresipitasi sederhana. Komunikasi Singkat. Polimer Karbohidrat
86: 1817–1819.
Chu, M., Zhu, SQ, Li, HM, dkk., 2006. Sintesis poli (asam akrilat) / natrium humat
komposit superabsorben untuk penggunaan pertanian. J. Appl. Polym. Sci. 102, 5137–5143
Das, AB., G. Singh, S. Singh, CS Riar. Pengaruh asetilasi dan modifikasi ganda pada
sifat fisik-kimiawi, reologi dan morfologi ubi jalar ( Ipomoea batatas) pati. Polimer
Karbohidrat. 2010.80: 725-732.
Gunaratne A dan Corke H. 2007. Pengaruh perlakuan asam sebelumnya terhadap asetilasi gandum,
kentang dan jagung pati. Makanan Kimia 105: 917–925.
doi: 10.1016 / j.foodchem.2007.04.042
Jiang T, Wu C, Gao Y, Zhu W, Wan L, Wang Z, Wang S. 2013. Persiapan novel porous
busa mikrosfer pati untuk memuat dan melepaskan obat yang sulit larut dalam air. Obat Dev
Ind Pharm, Daring Awal: 1–8; http://informahealthcare.com/ddi
Kim, JY dan ST Lim. 2010. Pembentukan kompleks antara dekstrin amilomaize dan n-
butanol dengan sistem pemisahan fasa. Polimer Karbohidrat 82: 264–269.
Lopez OV, NE Naritzky dan MA Garcia. 2010. Karakterisasi fisikokimia
pati jagung yang dimodifikasi secara kimiawi terkait dengan perilaku reologi, retrogradasi dan
kapasitas pembentukan film. J dari Food Eng 100: 160-168.
Lu, DR, Xiao, CM, Xu, SJ, 2009. Polimer yang sepenuhnya dapat terurai secara hayati berbasis pati
bahan. Polim Ekspres. Lett. 6: 366–375
Ma, X., R. Jian., PR Chang dan J. Yu. 2008. Fabrikasi dan karakterisasi asam sitrat-
nanopartikel pati termodifikasi / komposit pati terplastisisasi. Biomakromolekul (9):
3314-3320.
Pang C, Chin SF, Segera HT, Fui MT. 2011. Hidrogel pati-maleat-polivinil alkohol
dengan perilaku bengkak yang terkendali. Polim Karbohidrat 84: 424–429. doi: 10.1016 /
j. foodhyd.2010.12.002
Patindol J, Shih I, Ingber B, Champagne E, Boue, S. 2012. Bubuk beras berpori dari
pengendapan gelatinized fl kami atau pasta pati dengan etanol. Pati / Sta ¨ ̈rke 00: 1–8

693
Palma-Rodriguez HM, Agama-Avecedo E, Mendez-Montealvo G, Gonzalez-Soto R,
Vernon-Carter EJ, Bello-Pe LA. 2012. Pengaruh perlakuan asam terhadap sifat fisikokimia
dan struktur pati dari berbagai sumber nabati. Pati.
64: 115–125. doi: 10.1002 / bintang. 2011.00.081
Paramera EI, Kontele SJ, Karathanos VT. 2010. Stabilitas dan sifat pelepasan kurkumin
dikemas dalam Saccharomyces cerevisiae, b-siklodekstrin dan pati termodifikasi. Kimia
Makanan. 125: 913–922. doi: 10.1016 / j.foodchem.2010.09.071
Pareta, R., Edirisinghe, MJ 2006, Metode baru untuk penyusunan film pati dan
pelapis. Karbohidrat Polym. 63: 425–431.
Qian D, Peter R. Chang, Xiaofei Ma. 2011. Pembuatan pati berpori terkontrol dengan
konsentrasi pati yang berbeda dengan proses pembekuan tunggal atau ganda. Polimer
Karbohidrat Volume 86 (3): 1181–1186
Shaikh J, Bhosale R, Singhal RS. 2006. Mikro-enkapsulasi oleoresin kertas hitam. Makanan
Chem. 94 (1): 105-110. doi: 10.1016 / j.foodchem.2004.10.056
Soottitantawat, A., Bigeard, F., Yoshi, H., Furuta, T., Ohkawara, M., Linko, P. 2005.
Pengaruh emulsi dan ukuran bubuk pada stabilitas D-limonene yang dienkapsulasi dengan
pengeringan semprot. Ilmu Pangan Inovatif dan Teknologi yang Muncul. 6 (1), 107–114.
Tan Y, Xu K, Li L, Lagu C, Wang P. 2009. Fabrikasi berbasis pati yang dikontrol ukuran
nanosfer dengan nanopresipitasi. Antarmuka ACS Appl Matter 1 (4): 956-959. doi:
10.1021 / pagi.900054f
Tomasik, P., Schilling, CH 2004. Modifikasi kimia pati. Adv. Karbohidrat
Chem. Biochem. 59: 175–403.
Wei Zou, Long Yu, Xingxun Liu, Ling Chen, Xiaoqing Zhang, Dongling Qiao, Ruozi
Zhang. 2012. Pengaruh rasio amilosa / amilopektin pada polimer superabsorben
berbasis pati. Polim Karbohidrat. 87 (2): 1583–1588

694
Tabel

Tabel 1. Kecernaan enzimatik, WAC dan OAC pati endapan etanol pada perbedaan
Durasi lintnerisasi dari tepung garut dan tapioka.

Sampel Kecernaan Enzimatis (%) WAC (%) OAC

Ararut
Pati (asli)
H2E 74,11 ± 0,13b 230.30 ± 13.37 Sebuah 264.91 ± 37.13a
H4E 69,29 ± 0,36b 589.33 ± 15.18 b 528.68 ± 4.63c
H6E 61,97 ± 0,53a 687.40 ± 106.00b 512.32 ± 14.28c
H24E 69.91 ± 0.33b 574.89 ± 103.21b 522.55 ± 20.09c
71,30 ± 0,25b 355.56 ± 44.53a 386.58 ± 90.06b
Tapioka
Asli
H2E 72.17 ± 3.16ab 478,50 ± 42,57a 130,67 ± 16,07ab
H4E 72,90 ± 2,17b 620,00 ± 42,00b 146,83 ± 28,92ab
H6E 71.30 ± 1.22ab 797.67 ± 67.56c 81,67 ± 22,72a
H24E 67,67 ± 3,00a 448,33 ± 20,51a 202,17 ± 88,79b

Tabel 2. Kecernaan enzimatik, WAC dan OAC pati endapan butanol pada perbedaan
Durasi lintnerisasi dari tepung garut dan tapioka.

Sampel Kecernaan enzimatik (%) WAC (%) OAC

Asli 74,12 ± 0,11 b 230.30 ± 13.37 264.91 ± 37.13


H2B5 64,63 ± 0,12 ab 432.45 ± 13.22 365,65 ± 27,65
H2B10 57,63 ± 0,13 Sebuah 402,05 ± 58,47 388,00 ± 17,11
H24B5 59.08 ± 0.16 Sebuah 421,05 ± 67,38 363,60 ± 25,31
H24B10 53,68 ± 0,15 Sebuah 408.65 ± 37.47 389.10 ± 10.32

Tabel 3. Distribusi ukuran dan indeks polidispersitas (PDI) nanopartikel pati garut
berdasarkan presipitasi etanol

Sampel Ukuran rata-rata (nm) Rentang ukuran (nm) PDI

H4E 1806,4 ± 42,9 1255,7 - 2526 0.71


H6E 1457,5 ± 153,6 1333,6 - 2727. 0.44
H24E 181,6 ± 27,9 61,68 - 137,63 0.88

Tabel 4. Distribusi ukuran dan indeks polidispersitas nanopartikel pati garut menurut
presipitasi butanol

Sampel Ukuran partikel (nm) Rentang ukuran (nm) PDI

H2B5 538.7 • 127.6 424.0 - 739.6 0,50


H2B10 316.2 • 28.0 94.2 - 418.6 0.63
H24 B5 324.9 • 6.3 120,5 - 580,7 0.45
H24 B10 152.9 • 39.0 119,3 - 187,4 0,51

695
Sebuah b

c d

e f

Gambar 2. Morfologi permukaan pati hasil hidrolisis dan endapan etanol


pengolahan garut H6E (a) dan H24E (b) dan tepung tapioka (c dan d); dan
butanol endapan tapioka (e) pati garut (f).

696
Sebuah b

c d

Gambar 3. Morfologi transmisi (TEM) pati garut hasil pengolahan


H4E (a) dan H24E (b) diikuti oleh presipitasi etanol dan presipitasi butanol
untuk H2B (c) dan H24B (d) dengan magnificant 8000x.

Sebuah

Gambar 4. Pola kristal endapan pati garut hasil lintnerisasi


selama 4 jam (a), 6 jam (b) dan 24 jam (c).

697
Gambar.5 Pola kristal endapan tepung tapioka hasil lintnerisasi untuk
4 jam (a), 6 jam (b) dan 24 jam (c)

698

Anda mungkin juga menyukai