Anda di halaman 1dari 23

MANDAILING NATAL CHIKI NO KASUTAMU

HAUSU
KERTAS KARYA

DIKERJAKAN :

WURI HANDAYANI SIMAMORA

NIM : 062203028

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS SASTRA

PROGRAM PENDIDIKAN NON-GELAR SASTRA BUDAYA

DALAM BIDANG STUDI BAHASA JEPANG MEDAN

2009
Wuri Handayani Simamora : Mandailing Natal Chiki No Kasutamu Hausu, 2009.
MANDAILING NATAL CHIKI NO KASUTAMU HAUSU

KERTAS KARYA

DIKERJAKAN :

O
L
E
H
WURI HANDAYANI SIMAMORA

NIM : 062203028

Dosen Pembimbing Dosen Pembaca

Adriana Hasibuan S.S.M.Hum Hj. Muhibbah S.,S

Kertas Karya Ini Diajukan Kepada Panitia Ujian Program Pendidikan Non-Gelar Fakultas

Sastra USU Medan. Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Diploma III Dalam Bidang

Studi Bahasa Jepang.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS SASTRA

PROGRAM PENDIDIKAN NON-GELAR SASTRA BUDAYA

DALAM BIDANG STUDI BAHASA JEPANG MEDAN

2010

Wuri Handayani Simamora : Mandailing Natal Chiki No Kasutamu Hausu, 2009.


KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin. Tiada kata yang layak Penulis ucapkan selain segala

puji bagi Allah SWT, yang telah memberi Anugerah dan Rahmat-nya kepada Penulis

sehingga dapat menyelesaikan studi dan kertas karya ini untuk melengkapi syarat mencapai

gelar Ahli Madya pada Universitas Sumatera Utara. Adapun judul kertas karya ini

“MANDAILING NATAL CHIKI NO KASUTAMU HAUSU”

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa kertas karya ini tidak akan lepas dari

kekurangan dan kelemahan, baik dari segi penyajian kalimat, penguraian materi dan

pembahasan masalah. Karenanya Penulis dengan tulus hati mengharapkan segala saran dan

kritik yang membangun dari semua pihak demi kesempurnaan kertas karya ini.

Dalam kertas karya ini Penulis telah banyak menerima bantuan dari berbagai pihak

yang cukup bernilai harganya. Untuk itu Penulis mengucapkan banyak terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Drs. Syaifuddin, MA., Ph.D, selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas

Sumatera Utara.

2. Ibu Adriana Hasibuan, S.S., M.Hum, selaku Ketua Jurusan Program Studi Bahasa

Jepang Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Alimansyar S.S.

4. Ibu Hj. Muhibbah S.S selaku Dosen Pembaca.

5. Seluruh staf Pengajar Program Studi Bahasa Jepang Fakultas Sastra Universitas

Sumatera Utara.

Wuri Handayani Simamora : Mandailing Natal Chiki No Kasutamu Hausu, 2009.


6. Teristimewa kepada Ayahanda dan Ibunda Tercinta yang selama ini memberikan

dukungan baik moral maupun materil sampai studi saya ini selesai.

7. Buat Amir terima kasih atas dukungannya selama ini.

8. Dan buat teman-teman saya Ana, Kharina, Suci serta teman-teman semua jurusan

Bahasa Jepang yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu terima kasih atas

bantuannya.

Akhir kata Penulis mengucapkan terima kasih untuk semua bantuan dan

dukungannya selama ini. Mudah-mudahan kertas karya ini berguna dan bermanfaat

bagi kita semua.

Medan, Januari 2009

Penulis

WURI HANDAYANI SIMAMORA

NIM : 062 203 028

Wuri Handayani Simamora : Mandailing Natal Chiki No Kasutamu Hausu, 2009.


DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR………………………………….……………………………i

DAFTAR ISI…………………………………………………………………………iii

BAB I : PENDAHULUAN

1.1 Alasan Pemilihan Judul…………………………………….….…1

1.2 Tujuan Penulisan……………………………………………....…2

1.3 Batasan Masalah……………………………………………….…2

1.4 Metode Penelitian……………………………………….…….….3

BAB II : GAMBARAN UMUM DAERAH MANDAILING NATAL

2.1 Letak Geografis…………………………………………….….…4

2.2 Kepercayaan…………………………………………..………….5

2.3 Mata Pencaharian…………………………………….…….…….7

2.4 Penduduk…………………………………………….….………..7

BAB III : BANGUNAN ADAT DAERAH MANDAILING NATAL

3.1 Pengertian Banguan Adat……………………………………….9

3.2 Jenis-jenis Bangunan Adat Daerah Mandailing Natal…………12

3.3 Fungsi Bangunan Adat Daerah Mandailing Natal……………..14

Wuri Handayani Simamora : Mandailing Natal Chiki No Kasutamu Hausu, 2009.


BAB IV : PENUTUP

4.1 Kesimpulan……………………………………………………………17

4.2 Saran…………………………………………………………………..19

DAFTAR PUSTAKA

Wuri Handayani Simamora : Mandailing Natal Chiki No Kasutamu Hausu, 2009.


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Alasan Pemilihan Judul

Indonesia merupakan Negara kepulauan yang terdiri dari berbagai macam daerah, suku, seni,

budaya, adat istiadat, serta bangunan-bangunan rumah adat sebagai cirri khas daerah itu sendiri.

Salah satunya adalah daerah Mandailing Natal yang terdapat di Indonesia. Sama seperti daerah-

daerah lainnya Mandailing Natal juga memiliki ciri khas yaitu dalam bentuk bangunan-bangunan

adatnya.

Daerah Mandailing Natal juga mempunyai beberapa bentuk bangunan rumah adat

diantaranya Bagas Godang dan Sopo Godang. Karena itu Penulis sangat tertarik untuk

membahas tentang “BANGUNAN RUMAH ADAT DAERAH MANDAILING NATAL”

ini karena memiliki keunikan dan cirri khas daerah itu sendiri.

1.2 Tujuan Penulisan

1. Untuk memperkenalkan tentang bangunan-bangunan adat daerah Mandailing Natal

kepada masyarakat dan rekan-rekan mahasiswa dan untuk mengangkat nilai

kebudayaan daerah Mandailing Natal.

2. Untuk menambah wawasan Penulis sendiri tentang bangunan-bangunan adat di

daerah Mandailing Natal.

3. Untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan dari Program Diploma III Jurusan

Bahasa Jepang Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

Wuri Handayani Simamora : Mandailing Natal Chiki No Kasutamu Hausu, 2009.


1.4 Batasan Masalah

Dalam kertas karya ini Penulis hanya membahas tentang bangunan-bangunan daerah

Mandailing Natal. Jenis-jenis serta fungsi dari bangunan adat itu sendiri.

1.2 Metode Penulisan

Untuk penulisan kertas karya ini Penulis menggunakan metode kepustakaan, yaitu metode

mengumpulkan data atau informasi dengan membaca dan mencari bahan-bahan referensi yang

berhubungan dengan tema kertas karya ini. Data-data tersebut di analisa dan diringkas ke setiap Bab

dan Sub Bab karya tulis ini.

Wuri Handayani Simamora : Mandailing Natal Chiki No Kasutamu Hausu, 2009.


BAB II

GAMBARAN UMUM DAERAH MANDAILING NATAL

2.1 Letak Geografis

Kabupaten Mandailing Natal atau sering disebut Madina berada di Provinsi

Sumatera Utara berbatasan dengan Sumatera Barat bagian paling Selatan. Kabupaten

Mandailing Natal ini terletak pada 10-50 LU dan 98-100 BT. Mempunyai ketinggian 0-

2.145 M diatas permukaan laut. Luas wilayah kabupaten Madina +/- 662.070 km atau

9,23% dari wilayah Sumatera Utara. Dengan batas-batas wilayah :

Sebelah Utara : Kab. Tapanuli Selatan

Sebelah Selatan : Prov Sumatera Barat

Sebelah Barat : Samudera Indonesia

Sebelah Timur : Prov. Sumatera Barat

Sebelum Mandailing Natal ini jadi sebuah kabupaten wilayah ini masih termasuk wilayah

kabupaten Tapanuli Selatan. Tapi setelah terjadi pemekaran pada tahun 1999 maka

dibentuklah kabupaten Madina atau Mandailing Natal ini yang berpusat di Panyabungan.

Kabupaten Mandailing Natal juga terdiri dari 23 kecamatan dan 386 desa atau kelurahan

yang mempunyai jumlah penduduk 413.740 jiwa.

Wuri Handayani Simamora : Mandailing Natal Chiki No Kasutamu Hausu, 2009.


Selain itu kabupaten Mandailing Natal ini juga memiliki enam sungai besar yang

bermuara ke Samudera India diantaranya : Sungai Batang Gadis 137,5 km, yang sekarang

digunakan sebagai PLTA. Sungai Siulangaling 46,8 km, Parlampungan 38,72 km,

Tabuyung 33,46 km, Batahang 27,91 km, dan Sungai Kunkun 27,26 km. keberadaan

sungai-sungai itu membuktikan bahwa daerah kabupaten Mandailing Natal adalah daerah

subur dan menjadi lumbung pangan bagi daerah wilayah sekitarnya.

2.2 Kepercayaan

Orang Mandailing Natal hampir 80% penganut agama islam dan 20% lainnya

penganut agama Kristen, Hindu, dan Budha. Oleh karena itu agama Islam sangat besar

pengaruhnya dalam pelaksaan upacara adat. Bahkan dalam upacara-upacara kematian dan

hokum waris sebahagian besar diantara mereka hanya memakai hukum islam.

Di Mandailing Natal ada falsafah yang menyebutkan (Hombar do adat dohot

ibadat) yang artinya adat dan ibadah tidak dapat dipisahkan, adat tidak boleh bertentangan

dengan agama islam. Jika dalam upacara adat ada hal-hal yang mengganggu dengan

pelaksaan agama, adat itu harus dikesampingkan.

Boleh dikatakan juga hukum adat Mandailing Natal adalah hukum adat yang telah

menyesuaikan diri dengan hukum islam. Karena itu ketika berjalan di jalan pinggir kota

Mandailing Natal ini kita akan menjumpai banyak bangunan-bangunan mesjid yang megah

dan berdiri kokoh yang terdapat di pinggir-pinggir jalan menuju Mandailing Natal ini.

Wuri Handayani Simamora : Mandailing Natal Chiki No Kasutamu Hausu, 2009.


Selain itu juga di kabupaten Mandailing Natal ini juga akan kita dapatkan dua

pesantren terkenal yang ada di sana yaitu Pesantren Modern Jalan Lidang dan Purba Baru.

Kedua pesantren ini juga mempunya keunikan-keunikan tersendiri seperti Purba Baru, kita

akan menemukan beberapa pondok kecil yang digunakan sebagai tempat tinggal santri laki-

laki yang berjejer di pinggir jalan Mandailing Natal.

1.3 Mata Pencaharian

Sesuai dengan keadaan alamnya mata pencaharian masyarakat Mandailing Natal ini

adalah bertani dan berkebun sesuai dengan alamnya yang bergunung-gunung. Dan adanya

Perkebunan Rakyat, Perkebunan Karet, Perkebunan Kulit Manis dan di tambah dengan

Perkebunan Coklat dan cengkeh.

Selain itu masyarakat Madina ini juga mempunyai mata pencaharian sebagai Pendulang

Emas yang berada di aliran Sungai Batang Gadis yang sekarang sudah dijadikan sebagai

Taman Nasional Batang Gadis.

Taman Nasional Batang Gadis ini merupakan salah satu sungai yang terkenal di

daerah ini. Karena adanya Taman Nasional ini mereka sangat tergantung dengan

ketersediaan air dan keseimbangan alam agar lahan pertanian mereka bisa menghasilkan

lahan yang optimal.

Wuri Handayani Simamora : Mandailing Natal Chiki No Kasutamu Hausu, 2009.


1.1 Penduduk

Madina adalah kota paling padat penduduknya Kabupaten Tapanuli Selatan dengan

jumlah penduduk 413.750 jiwa. Penduduk asli Kabupaten Madina terdiri dari dua etnis :

Masyarakat Etnis Mandailing

Masyarakat Etnis Pesisir

Kabupaten Mandailing Natal ini terdiri dari suku atau etnis sebagai berikut :

Mandailing Minang, Jawa, Batak, Nias, Melayu, dan Aceh. Namun etnis mayoritas adalah

etnis Mandailing 80,00%, etnis Melayu Pesisir 7,00%, dan etnis Jawa 6,00%. Etnis

Mandailing sebahagian besar mendiami daerah Mandailing Natal. Sedangkan etnis Melayu

dan Minang mendiami daerah Pantai Barat. Kabupaten Madina juga terdiri dari 23

kecamatan dan 386 desa atau kelurahan yang mempunyai jumlah penduduk laki-laki

203.565 jiwa atau 49,20% dan jumlah penduduk perempuan 210.185 jiwa atau 50,80% dan

mempunyai tingkat pertumbuhan 1,42% pertahun.

Wuri Handayani Simamora : Mandailing Natal Chiki No Kasutamu Hausu, 2009.


BAB III

BANGUNAN ADAT DAERAH MANDAILING NATAL

3.1 Pengertian Bangunan Adat

Menurut penelitian sejarah maupun bidang Antropologi, manusia sejak awal telah

mengenal tempat tinggal berupa gua-gua ataupun bangunan yang sangat sederhana sebagai

tempat perlindungan. Sesuai dengan perkembangan zaman, bangunan rumah atau tempat

perlindungan yang sederhana itu lambat laun mengalami perubahan dalam segi bentuk,

ukuran, fungsinya, pemakaian bahan bangunan yang lebih baik dan tahan lama, serta

memiliki nilai keindahan.

Bahan bangunan yang berkualitas dan tahan lama itu, serta di iringi bentuk

bangunan yang Nampak lebih anggun dan di sertau juga memiliki ciri-ciri daerah setempat,

membuat bangunan lebih indah serta berkepribadian cirri khas daerah. Bagi warga

setempat, menganggap bangunan yang memiliki cirri khas daerah itu harus di agungkan

sebagai simbol adat.

Akibat perubahan dan kemajuan zaman yang sekaligus membawa pengaruh

terhadap kemajuan berfikir manusia, bangunan sebagai tempat hunian akan mengalami

perubahan dalam segi bentuk, pola, keindahan, pemakain bahan. Disamping pengaruh

pembangunan pertumbuhan pembanguna perumahan yang berciri modern, namun dalam

bentuk bangunan tradisional tidak mengalami pengaruh dan tetap mempertahan identitas

sepanjang waktu.

Wuri Handayani Simamora : Mandailing Natal Chiki No Kasutamu Hausu, 2009.


Maka makna bangunan adat adalah : bangunan atau tempat tinggal yang

merupakan warisan peninggalan lama yang dihuni secara turun temurun diman bangunan

tersebut dilengkapi lambing-lambang adat sebagai suatu lambing keagungan dan kebesaran

dari suatu tatanan adat istiadat dan kehidupan social di daerah itu sendiri yang masih terikat

kepada kebiasaan-kebiasaan lama yang secara turun temurun tidak pernah memngalami

perubahan.

Oleh Karena itu bangunan adat juga dinamakan sebagai bentuk bangunan

tradisional. Karena kata tradisi dapat di artikan sebagai pewarisan atau penerusan norma-

norma adat istiadat ataupun pewarisan budaya yang turun temurun dari generasi kegenerasi.

Hampir semua bangunan-bangunan yang berciri tradisional selalu dikaitkan dengan

bangunan adat. Masalah bentuk atau corak bangunan adat tersebut, tergantung dari pola

asal daerah tempat bangunan tersebut didirikan.

Pada zaman dahulu di setiap daerah yang telah memiliki hukum adat dan tata

pemerintahan daerah, telah di atur siapa tokoh yang bertugas merancang dan membangun

rumah adat. Tokoh yang diberi wewenang sebagai perancang rumah adat ini, dapat

menentukan bagaimana bentuk dan pola banguan dengan segala unsur pendukungnya yang

sesuai dengan perilaku adat yang sudah ditetapkan di suatu daerah atau desa.

Para pimpinan adat dan pimpinan desa, tinggal mengawasi dan menyetujui apa yang

telah dirancang oleh ahli bangunan tersebut. Kepercayaan penuh telah dilimpahkan

kepadanya sebagai perancang maupun sebagai ahli tukang (Panggorga). Bangunan-

Wuri Handayani Simamora : Mandailing Natal Chiki No Kasutamu Hausu, 2009.


bangunan adat tersebut merupakan ungkapan simbol-simbol adat, sebagai manifestasi dari

kehidupan dan tatanan sosial dan adat istiadat dari masyarakat yang memiliki bangunan.

Sebagaimana disebutkan bangunan adat merupakan kumpulan-kumpulan symbol

adat berupa gambar-gambar hiasan, baik yang bercorak gambar manusia, binatang maupun

tumbuh-tumbuhan, yang di reka dan dimodifikasi sedemikian rupa hingga berbentuk

lambang-lambang.

Lambang tersebut,mewakili satu jenis simbol adat. Sehingga berapa macam adat,

sebegitu pula banyaknya simbol yang diciptakan. Maka, tidak mengherankan apabila

sebuah bangunan rumah adat sarat pesan-pesan adat maupun perilaku kehidupan

masyarakatnya.

Dari penjelasan di atas pengertian rumah adat ini dapat disebutkan bahwa setiap

rumah adat adalah merupakan suatu bangunan tempat tinggal (biasanya tempat Raja adat

maupun pewarisnya), dimana bangunan adat ini merupakan suatu simbol adat dan hukum

adat yang dilandasi oleh falsafah hidup masyarakatnya (di daerah Batak disebut falsafah

Dalihan Na Tolu).

3.2 Jenis-jenis Bangunan adat daerah Mandailing Natal

Jenis bangunan adat yang ditemukan di daerah Mandailing, pada umumnya terdiri dari

2 macam jenis bangunan yaitu :

1. Bagas Godang dan

Wuri Handayani Simamora : Mandailing Natal Chiki No Kasutamu Hausu, 2009.


2. Sopo Godang

1. Bagas Godang

Bagas Godang adalah banguan yang memiliki bentuk empat persegi panjang yang

memiliki atap seperti atap pedati yang terbuat dari ijuk, itu disebabkan karena wilayah di

daerah Mandailing Natal ini khususnya daerah Sibinggor pada umumnya dekat dengan

kawah gunung Sorik Merapi yang banyak mengandung belerang. Sehingga jika

mereka memakai atap yang terbuat dari seng maka atanya akan cepat berkarat. Selain itu

Bagas Gdang adalah rmah tinggi yang memiliki kolong, dan memiliki 7-9 anak tangga.

2. Sopo Godang

Sopo Godang adalah sebuah bangunan yang bentuknya empat persegi panjang

menyerupai bentuk Bagas Godang tapi lebih kecil, terbuka dan tidak memilki dinding,

sedangkan tingginya lebih rendah dari Bagas Godang. Terletak di depan Bagas Godang.

Dari segi fungsi bangunan, masing-masing jenis bangunan memiliki fungsi sendiri-sendiri

tetapi saling berhubungan artinya tidak lepas dari makna simbolik sebagai rumah adat.

3.3 Fungsi Bangunan daearah adat Mandailing Natal

Rumah adat Mandailing Natal memiliki arsitektur yang sangat khas. Karena itu

dilihat dari fungsi bangunannya, memiliki fungsi masing-masing tetapi masih saling

berhubungan seperti :

1. Fungsi Bagas Godang

Wuri Handayani Simamora : Mandailing Natal Chiki No Kasutamu Hausu, 2009.


Bagas Godang memiliki fungsi sebagai bangunan yang diadatkan oleh masyarakat

yang berada/bertempat tinggal di satu kampung (marga). Yang artinya bahwa kampung

tersebut telah memiliki satu kesatuan adat istiadat yang dilengkapi oleh orang-orang yang

di tuakan (namora natoras), keluarga semarga (kahanggi), keluarga pihak menantu (anak

boru), dan raja adat.

Disamping itu, bangunan adat juga berfungsi sebagai tempat berkumpul dalam kerja

adat, tempat perlindungan bagi setiap anggota masyarakat yang mendapat gangguan bahaya

dari luar. Bagas Godang memiliki struktur bangunan yang sangat khas yaitu memiliki

empat persegi panjang memakai atap seperti atap pedati yang disebut “tarup”. Rumah

tinggi pakai kolong dan memilki 7 atau 9 anak tangga, memiliki pintu depan yang sangat

lebar dan mengeluarkan bunyi yang sangat keren apabila dibuka seperti Gajah yang

mengaum.

Diatas pintu utama ada ornament matahari yang sedang bersinar. Ini merupakan symbol

kekuatan, penerangan, sumber kehidupan. Menurut bentuk dan strukturnya menyikapi

perilaku alam lingkungan. Atap di atas tangga memiliki bentuk segitiga dengan hiasan

ornament yang mempunyai arti yang hanya dapat dibaca oleh orang arif. Tetapi badan

bangunan Bagas Godang tidak beda dengan bangunan biasanya yaitu memiliki ruang

depan, ruang tengah, ruang tidur dan dapur.

2. Fungsi Sopo Godang

Wuri Handayani Simamora : Mandailing Natal Chiki No Kasutamu Hausu, 2009.


Fungsi dari Sopo Godang adalh sebagai tempat penyimpanan benda-benda atau alat-

alat kesenian seperti Gordang Sambilan, Gendang (ogung), tempat musyawarah adat, dan

tempat memutuskan suatu masalah dalam adat atau hukum. Dan di samping itu juga

berfungsi sebagai tempat tamu luar yang akan bermalam, tempat acara kesenian atau tortor.

Bangunan Sopo Godang ini biasanya berada di depan bangunan Bagas Godang.

Sopo Godang ini juga disebut “Sopo Siorancang Magodang” karena gedung ini

adalah tempat orang memperolah perlindungan yang aman. Itulah sebabnyapenduduk

Mandailing Natal tumbuh menjadi penganut demokrasi sejati, karena semua yang

diputuskan raja harus melalui musyawarah mufakat. Hali ini digambarkan pada ornament

berbentuk segitiga yang disebut “bindu” yang merupakan lambing dari dalihan na tolu yang

dapat dilihat pada atap Sopo Godang bagian depan.

Bila Sopo Godang telah berdiri, maka raja wajib memotong kerbau untuk

meresmikan yang disebut “Mambongkot Sopo Godang”. Sopo Godang adalah lambing

demokrasi yang perlu dipertahankan. Selama Sopo Godang berdiri kokoh dan keputusan-

keputusannya dipatuhi rakyat, masyarakat akan aman, tentram dan sejahtera karena tatanan

masyarakat tetap terpelihara dengan baik.

Jika Sopo Godang rubuh baik fisik maupun fungsinya maka sejak itulah masyarakat

Mandailing Natal mulai tidak teratur. Aturan-aturan bermasyarakat, berbangsa dan

bernegara yang telah tertuang dalam hukum adat daerah Mandailing Natal berangsung-

angsur pudar dan lama kelamaan akan hilang ditelan masa.

Wuri Handayani Simamora : Mandailing Natal Chiki No Kasutamu Hausu, 2009.


Dari kesimpulan diatas maka kita dapat memperhatikan perbedaan antara dua jenis

rumah adat tersebut Bagas Godang memiliki ukuran yang lebih besar dan indah, serta

memiliki variasi bangunan yang dilengkapi ruang-ruang dan dapur.

Sedangkan bangunan Sopo Godang memiliki bentuk dan struktur bangunan yang

lenih kecil dan sederhana. Kadang-kadang tidak semua badan bangunan dittutupi oleh

dinding kecuali ruang penyimpanan alat-alat kesenian. Bukan hanya perbedaan yang dapat

kita temukan tetapi persamaan juga dapat kita temukan pada bangunan Bagas Godang dan

Sopo Godang. Persamaannya dapat kita temukan dibagian pola bentuk atapnya serta

penerapan maupun penggunaan ornament.

Wuri Handayani Simamora : Mandailing Natal Chiki No Kasutamu Hausu, 2009.


BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Umumnya bangunan rumah adat selalu ada dalam setiap daerah. Bangunan atau

disebut juga arsitektur, merupakan unsure budaya yang tumbuh dan berkembang bersamaan

dengan kehidupan manusia di ala mini. Wilayah Nusantara yang memiliki berbagai ragam

budaya dan seni, telah memberikan suatu perkembangan kebudayaan Nasional yang

memiliki cirri khas Indonesia. Salah satu bentuk cirri khas kebudayaan tersebut adalah

berupa bentuk bangunan tradisional, dimana cirri khas kedaerahan benar-benar

diperlihatkan dalam bentuk bangunan adat.

Seperti di wilayah kabupaten Tapanuli Selatan, akan terlihat beberapa lokasi

sebagai daerah penyebaran bangunan rumah adat. Umumnya di daerah kecamatan

Panyabungan, kecamatan Kotanopan, dan Muara Sipongi. Dan disini Penulis hanya

mengambil ulasan dari bangunan rumah adat di daerah Mandailing Natal khususnya

Panyabungan.

Bangunan rumah adat daerah Mandailing Natal sangat bekaitan dengan masyarakat

yang mendiami satu daerah yang memiliki rumah adat tersebut. Karena masing-masing

fungsi bangunan memiliki fungsi sendiri dan tidak terlepas dari makna simbolik sebagai

rumah adat. Bangunan rumah adat daerah Mandailing Natal memiliki 2 jenis yaitu :

Wuri Handayani Simamora : Mandailing Natal Chiki No Kasutamu Hausu, 2009.


1. Bagas Godang

2. Sopo Godang

Bagas Godang memiliki fungsi sebagai bangunan yang diadatkan oleh masyarakat

yang mendiami satu desa/kampung, dan juga berfungsi sebagai tempat berkumpul dalam

kerja adat, dan tempat perlindungan bagi setiap anggota masyarakat yang mendapat

gangguan dari luar.

Sopo Godang berfungsi sebagai tempat penyimpanan benda-benda atau alat-alat

kesenian seperti : Godang Sambilan, Gendang (ogung), tempat musyawarah adat, dan juga

berfungsi sebagai tempat tamu luar yang akan bermalam dan tempat acara kesenian dan

tortor. Itulah sebabnya orang-orang Mandailing Natal tumbuh menjadi penganut demokrasi

sejati karena semua yang diputuskan Raja harus melalui musyawarah mufakat.

4.2 Saran

Mandailing Natal merupakan wilayah yang memiliki ciri khas daerah dan

masyarakat yang sangat menjunjung tinggi dan menghormati adat istiadat di daerahnya.

Daerah Mandailing Natal juga memiliki Bangunan rumah adat yaitu Bagas Godang dan

Sopo Godang. Bangunan ini sangatlah unik dilihat dari segi bentuk dan ornament.

Oleh karena itu kita sebagai kawula muda Mandailing Natal (MADINA) agar dapat

mengenal Jati dirinya sebagai orang Mandailing Natal dan dapat melestarikn dan

memelihara bangunan-bangunan adat yang ada di daerah kita, agar tidak punah oleh arus

Wuri Handayani Simamora : Mandailing Natal Chiki No Kasutamu Hausu, 2009.


perkembangan zaman dan arus globalisasi sehingga kita dapat berbangga hati kepada anak

cucu kita kelak karena masih memiliki cirri khas daerah terutama dalam hal Bangunan adat

daerah Mandailing Natal. Akhir kata semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi para

pembaca Mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila ada kesilapan dalam karya tulis ini.

Wuri Handayani Simamora : Mandailing Natal Chiki No Kasutamu Hausu, 2009.


DAFTAR PUSTAKA

Forkala, Pelestarian adat masyarakat Etnik Sumatera, FORKALASU, Medan, 2004.

Nasution, Pandapotan, SH, Adat Budaya Mandailing dalam tantangan zaman, 2005

Lubis, Syahmerdan, H, Drs, Bangunan Adat Daerah Mandailing, 2004

Lubis, Madong ( Saduran dari Willem Iskandar ), Si Bulus-bulus, Si Rumbuk-

rumbuk, Pustaka Penggemar, Oriza Sativa, Medan. 1955.

http://www.jumlah masyarakat madina.com

http://www.Gue anak madina.com

http://www.bangunan rumah adat daerah mandailing natal.com

Wuri Handayani Simamora : Mandailing Natal Chiki No Kasutamu Hausu, 2009.

Anda mungkin juga menyukai