Anda di halaman 1dari 37

Makalah Konsep Keperawatan Gawat Darurat

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Keperawatan Gawat Darurat dan
Manajemen Bencana

Dosen : Tuti Suprapti, SKp, M.Kep

Disusun oleh :

ARIN SITI NURHALIFAH AKX.18003

FAKULTAS KEPERAWATAN

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN

UNIVERSITAS BHAKTI KECANA BANDUNG


Kata Pengantar

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa, atas berkat dan rahmat-
Nya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan Makalah tugas mata kuliah Keperawatan
Gawat Darurat tepat waktu.
Makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan
saran dari pembaca untuk kemajuan makalah ini di masa mendatang. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat untuk pembaca.

Subang, 19 Juli 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .....................................................................................................................i


Daftar Isi...............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang..........................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................................2
1.3 Tujuan.......................................................................................................................2
BAB II TINJAUAN TEORI
2.1 Keperawatan Gawat Darurat.....................................................................................3
2.2 Prinsip Keperawatan Gawat Darurat........................................................................4
2.3 Kode Emergency di Rumah Sakit.............................................................................6
2.4 Code Blue.................................................................................................................11
2.5 Sistem Pelayanan Gawat Darurat Terpadu..............................................................29
BAB III PENUTUP
1.1 Kesimpulan..............................................................................................................37
1.2 Saran ......................................................................................................................38
Daftar Pustaka

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kegawatdaruratan atau dapat pula disebut sebagai emergency adalah suatu situasi
yang mendesak yang beresiko terhadap kesehatan, kehidupan, kesejahteraan atau
lingkungan. Suatu insiden dapat menjadi suatu kegawatdaruratan apabila merupakan
suatu insiden dan mendesak atau mengancam nyawa, kesehatan, kesejahteran ataupun
lingkungan; insiden yang sebelumnya menyebabkan hilangnya nyawa seseorang,
kecacatan, merusak kesejahteraan, ataupun merusak lingkungan; atau insiden yang
memiliki probabilitas yang tinggi untuk menyebabkan bahaya langsung ke kehidupan,
kesehatan, kesejahteraan ataupun lingkungan (Wikipedia 2015).
Kegawadaruratan medis adalah insiden cedera atau sakit yang akut dan menimbulkan
resiko langsung terhadap kehidupan atau kesehatan jangka panjang seseorang
(Caroline, 2013). Keadaan darurat tersebut memerlukan bantuan orang lain yang
idealnya memiliki kualisifikasi dalam melakukan pertolongan, hal ini membutuhkan
keterlibatan dari berbagai pelayanan multilevel, baik dari pemberi pertolongan
pertama, teknisi sampai kelayanan kesehatan gawat darurat.
Kegawatdaruratan medis merupakan keadaan harus mendapat intervensi segera.
Dalam merespon kegawatdaruratan telah dibentuk emergency medikal service (EMS)
atau di sebut pula layanan kegawatdaruratan medis. Tujuan utama dari layanan ini
adalah memberikan pengobatan kepada pasien yang membutuhkan perawatan medis
mendesak, dan tujuan menstabilkan kondisi saat itu, dan menyediakan transpor efisien
dan efektif bagi pasien menuju layanan pengobatan definitif.
Layanan kegawatdaruratan medis di tiap-tiap negara dan daerah menyediakan layanan
yang beragam dengan metode yang beragam pula, hal ini ditentukan oleh kebijakan
pemerintah negara masing-masing dengan metode pendekatan yang berbeda pula
tergantung dari kondisi dari negara tersebut. Secara umum, semua layanan
kegawatdaruratn medis menyediakan layanan bantuan hidup dasar.

1
Bantuan hidup dasar merupakan suatau tindakan medis yang dilakukan pada pasien
dengan sakit yang mengancam nyawa atau cidera sampai pasien tersebut
mendapatkan pelayanan kesehatan penuh dirumah sakit. Pemberian BHD bertujuan
untuk menyediakan sirkulasi darah yang adekuat serta pernapasan melalui
pembebasan jalan napas (AHA 2010).

B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian konsep keperawatan gawat darurat?
2. Apa saja prinsip-prinsip keperawatan gawat darurat?
3. Apa saja kode-kode emergency di rumah sakit?
4. Jelaskan apa yang dimaksud dengan code blue?
5. Bagaimanakah konsep sistem pelayanan gawat darurat?

C. Tujuan
Untuk memahami dan menyamakan konsep mengenai kegawatdaruratan agar dapat
diketahui dan ditangani dengan cepat dan tepat untuk menghindari perburukan
keadaan bagi masyarakat awam umumnya serta bagi tenaga kesehatan khususnya.

2
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Keperawatan Gawat darurat


Gawat darurat adalah keadaan klinis pasien yang membutuhkan tindakan medis segera
guna penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan lebih lanjut (UU no 44 tahun
2009). Gawat darurat adalah suatu keadaan yang terjadinya mendadak mengakibatkan
seseorang atau banyak orang memerlukan penanganan/pertolongan segera dalam arti
pertolongan secara cermat, tepat dan cepat. Apabila tidak mendapatkan pertolongan
semacam itu meka korban akan mati atau cacat/ kehilangan anggota tubuhnya seumur
hidup. (Saanin, 2012).
Keadaan darurat adalah keadaan yang terjadinya mendadak, sewaktu-waktu/ kapan saja
terjadi dimana saja dan dapat menyangkut siapa saja sebagai akibat dari suatu
kecelakaan, suatu proses medic atau perjalanan suatu penyakit (Saanin, 2012). Pelayanan
gawat darurat tidak hanya memberikkan pelayanan untuk mengatasi kondisi kedaruratan
yang di alami pasien tetapi juga memberikan asuhan keperawatan untuk mengatasi
kecemasan pasien dan keluarga. Keperawatan gawat darurat adalah pelayanan
professional keperawatan yang diberikan pada pasien dengan kebutuhan urgen dan kritis.
Namun UGD dan klinik kedaruratan sering digunakan untuk masalah yang tidak urgent,
sehingga filosofi tentang keperawatan gawat darurat menjadi luas, kedaruratan yaitu
apapun yang dialami pasien atau keluarga harus di pertimbangkan sebagai kedaruratan
(Hati, 2011 dalam Saanin, 2012).
System pelayanan bersifat darurat sehingga perawat dan tenaga medis lainnya harus
memiliki kemampuan, keterampilan, tehnik serta ilmu pengetahuan yang tinggi dalam
memberikan pertolongan kedaruratan kepada pasien (Saanin, 2012). Pasien yang tiba-
tiba dalam keadaan gawat atau akan menjadi gawat dan terancam nyawanya dan atau
anggota badannya (akan menjadi cacat) bila tidak mendapatkan pertolongan secepatnya .
biasanya di lambangkan dengan label merah. Misalnya AMI (Acut Miocard Infark).
Pasien berada dalam keadaan gawat tetapi tidak memerlukan tindakan darurat. Biasanya
dilambangkan dengan label biru. Misalnya pasien dengan Ca stadium akhir.

3
Pasien akibat musibah yang datang tiba-tiba, tetapi tidak mengancam nyawa dan anggota
badannya. Biasanya di lambangkan dengan label kuning. Misalnya, pasien Vulnus
Lateratum tanpa pendarahan. Pasien yang tidak mengalami kegawatan dan kedaruratan.
Biasanya dilambangkan dengan label hijau. Misalnya, pasien batuk, pilek.
Keperawatan gawat darurat atau emergency nursing merupakan pelayanan keperawatan
yang komprehensif diberikan kepada pasien dengan injuri akut atau sakit yang
mengancam kehidupan. Kegawatdaruratan medis dapat diartikan menjadi suatu keadaan
cedera atau sakit akut yang membutuhkan intervensi segera untuk menyelamatkan
nyawa atau mencegah atau mencegah kecacatan serta rasa sakit pada pasien. Pasien
gawat darurat merupakan pasien yang memerlukan pertolongan segera dengan tepat dan
cepat untuk mencegah terjadinya kematian atau kecacatan. Dalam penanganannya
dibutuhkan bantuan oleh penolong yang profesional. Derajat kegawatdaruratan serta
kualitas dari penanganan yang diberikan membutuhkan keterlibatan dari berbagai
tingkatan pelayanan, baik dari penolong pertama, teknisi kesehatan kegawatdaruratan
serta dokter kegawatdaruratannya itu sendiri. Respon terhadap keadaan
kegawatdaruratan medis bergantung kuat pada situasinya. Keterlibatan pasien itu sendiri
serta ketersediaan sumber daya untuk menolong. Hal tersebut beragam tergantung
dimana peristiwa kegawatdaruratan itu terjadi, diluar atau didalam rumah sakit (Caroline
2013).
Karakteristik keperawatan gawat darurat:
1. Tingkat kegawatan dan jumlah pasien sulit diprediksi
2. Keterbatasan waktu, data dan sarana: pengkajian, diagnosis, dan tindakan
3. Keperawatan diberikan untuk seluruh usia
4. Tindakan memerlukan kecepatan dan ketepatan tinggi
5. Saling ketergantungan yang tinggi antara profesi kesehatan

B. Prinsip Keperawatan Gawat darurat


Prinsip pada penanganan penderita gawat darurat harus cepat dan tepat serta harus
dilakukan segera oleh setiap orang yang pertama menemukan/mengetahui (orang awam,
perawat, para medis, dokter), baik didalam maupun diluar rumah sakit karena kejadian
ini dapat terjadi setiap saat dan menimpa siapa saja.
1. Bersikap tenang tapi cekatan dan berpikir sebelum bertindak (jangan panik).
2. Sadar peran perawat dalam menghadapi korban dan wali ataupun saksi.
4
3. Melakukan pengkajian yang cepat dan cermat terhadap masalah yang mengancam
jiwa (henti napas, nadi tidak teraba, perdarahan hebat, keracunan).
4. Melakukan pengkajian sistematik sebelum melakukan tindakan secara menyeluruh.
Pertahankan korban pada posisi datar atau sesuai (kecuali jika ada ortopnea),
lindungi korban dari kedinginan.
5. Jika korban sadar jelaskan apa yang terjadi, berikan bantuan untuk menenangkan dan
yakinkan akan ditolong.
6. Hindari mengangkat atau memindahkan yang tidak perlu, memindahkan jika hanya
ada kondisi yang membahayakan.
7. Jangan di beri minum jika ada trauma abdomen atau perkiraan kemungkinan
tindakan anastesi umum dalam waktu dekat.
8. Jangan dipindahkan (ditransportasi) sebelum pertolongan pertama selesai dilakukan
dan terdapat alat transportasi yang memadai.

Kondisi gawat darurat dapat diklasifikasikan sebagai berikut (kumpulan materi mata
kuliah Gadar: 2006):

1. Gawat darurat
Suatu kondisi dimana dapat mengancam nyawa apabila tidak mendapatkan
pertolongan secepatnya. Contoh : gawat nafas, gawat jantung, kejang, koma, trauma
kepala dengan penurunan kesadaran.
2. Gawat tidak darurat
Suatu keadaan dimana pasien berada dalam kondisi gawat tetapi tidak memerlukan
tindakan yang darurat contohnya : kanker stadium lanjut
3. Darurat tidak gawat
Pasien akibat musibah yang datang tibatiba tetapi tidak mengancam nyawa atau
anggota badannya contohnya : fraktur tulang tertutup.
4. Tidak gawat tidak darurat
Pasien poliklinik yang datang ke UGD

5
C. Kode-kode Emergency di Rumah Sakit
1. Code Red
Adalah kode yang mengumumkan adanya ancaman kebakaran di lingkungan rumah
sakit (api maupun asap), sekaligus mengaktifkan tim siaga bencana rumah sakit
untuk kasus kebakaran. Dimana tim ini terdiri dari seluruh personel rumah sakit,
yang masing-masing memiliki peran spesifik yang harus dikerjakan sesuai panduan
tanggap darurat bencana rumah sakit. Misalnya; petugas teknik segera mematikan
listrik di area kebakaran, perawat segera memobilisasi pasien ke titik-titik evakuasi,
dan sebagainya. Tatalaksananya (RACE):
a. (R) REMOVE/RESCUE/SELAMATKAN setiap orang yang berada dalam area
kebakaran sambil meneriakkan: code red ---- code red
b. (A) ALERT/ALARM/SEBARLUASKAN dengan cara menelpon Operator
selanjutnya operator menghubungi pihak yang terkait antara lain petugas security,
selajutnya beritahu kawan terdekat. Bila api membesar telpon Dinas Pemadam
Kebakaran.
c. (C) CONFINE/ CONTAIN/SEKAT bila sekitar ruangan penuh api dan asap, bila
memungkinkan tutup pintu dan jendela untuk mencegah api menjalar.
d. (E) EXTINGUISH/PADAMKAN bila api masih memungkinkan/bila api masih
kecil. Jangan ambil resiko yang tidak perlu.
e. Bila cukup aman, matikan semua sarana seperti listrik, gas yang kemungkinan
berkaitan dengan api, tapi tetap pertimbangkan dengan cermat bila pasien masih
memerlukan.
f. Evakuasi pasien dan pengunjung ke daerah yang aman.
g. Tetap awasi pasien. Bila perlu dihitung per kepala atau absensi berurutan.
h. Kooperatif dengan semua intruksi yang diberikan oleh Staf Senior, Manajer on
Duty (MOD), ataupun petugas pemadam kebakaran
2. Code Blue (Biru)
Adalah kode yang mengumumkan adanya pasien,keluarga pasien, pengunjung, dan
karyawan yang mengalami henti jantung dan membutuhkan tindakan resusitasi
segera. Pengumuman ini utamanya adalah untuk memanggil tim medis reaksi cepat
atau tim code blue yang bertugas pada saat tersebut, untuk segera berlari secepat
mungkin menuju ruangan yang diumumkan dan melakukan resusitasi jantung dan
paru pada pasien. Tim medis reaksi cepat (tim code blue) ini merupakan gabungan
6
dari perawat dan dokter yang terlatih khusus untuk penanganan pasien henti jantung.
Karena setiap shift memiliki anggota tim yang berbeda-beda, dan bertugas pada
lokasi yang berbeda-beda pula (pada lantai yang berbeda atau bangsal/ruang rawatan
yang berbeda); diperlukan pengumuman yang dapat memanggil mereka dengan
cepat. Tatalaksana akan dibahas dalam subbab berikutnya.
3. Code Pink (Merah muda)
Adalah kode yang mengumumkan adanya penculikan bayi/ anak atau kehilangan
bayi/ anak di lingkungan rumah sakit.Secara universal, pengumuman ini seharusnya
diikuti dengan lock down (menutup akses keluar-masuk) rumah sakit secara
serentak.Bahkan menghubungi bandar udara, terminal, stasiun dan pelabuhan
terdekat untuk kewaspadaan terhadap bayi korban penculikan. Tatalaksananya:
a. Oleh karena beberapa jam pertama merupakan waktu kritis pada kasus hilangnya
bayi/anak-anak, hal terpenting adalah menyediakan informasi akurat berkaitan
dengan bayi/anak sesegera mungkin. Apabila Bayi/Anak-Anak diculik maka
Petugas yang menemukan terjadinya penculikan bayi/anak, meneriakkan :
“ Code Pink – Code Pink !!!!”
b. Segera menelpon Operator, selanjutnya operator menghubungi pihak yang terkait
di Rumah Sakit antara lain security, Manager on Duty, Direksi, dan Staf Senior
lainnya).
c. Security atas perintah Pimpinan, menelepon POLRES atau POLSEK setempat
dan sebutkan: jenis kejadian, lokasi kejadian dengan tepat, nama anda dan
tugas/profesi Anda.
d. Petugas Kepolisian kemungkinan akan meminta gambar/foto bayi/anak yang
diculik (kalau ada), dan menanyakan beberapa pertanyaan antara lain: kapan
terjadinya, lokasi terakhir Anda masih melihat bayi/anak yang hilang, dan
memakai pakaian apa bayi/anak tersebut.
e. Setelah menerangkan kepada yang berwajib, berupayalah untuk tetap tenang.
Anda akan mampu mengingat detail bayi/anak yang diculik lebih mudah bila
Anda telah memperoleh kondisi rasional dan logisnya kembali.

7
4. Code Black (Hitam)
Adalah kode yang mengumumkan adanya ancaman orang yang membahayakan
(ancaman orang bersenjata atau tidak bersenjata yang mengancam akan melukai
seseorang atau melukai diri sendiri), ancaman bom atau ditemukan benda yang
dicurigai bom di lingkungan rumah sakit dan ancaman lain. Dalam hal adanya
ancaman terhadap seseorang (orang bersenjata atau tidak bersenjata yang
mengancam akan melukai seseorang atau melukai diri sendiri) yang dilakukan:
a. 4R (Remain calm - Tetap tenang, Retreat - Mundur bila lebih aman, Raise the
alarm - Bunyikan alarm, Record details - Catat rincian kejadian)
b. Ambil tindakan cepat untuk melindungi diri sendiri atau melindungi pasien yang
terancam.
c. Beri peringatan atau minta bantuan kepada sesama teman, sambil meneriakkan:
”Code Black - Code Black!!!!”
d. Melangkah mundur bila lebih aman. Hubungi Operator, selanjutnya operator
menghubungi pihak yang terkait antara lain security, Manager on Duty, Direksi,
dan Staf Senior lainnya, terangkan tentang:
1) Jenis kejadian
2) Lokasi kejadian
3) Nama dan tempat tugas Anda.
e. Bila tidak memungkinkan melangkah mundur:
1) Turuti perintah pengancam
2) Lakukan hanya yang diminta
f. Bila bahaya sudah berlalu, telepon Operator, dan jelaskan kejadiannya
g. Catat hasil pengamatan Anda secepatnya. (Misalnya : ciri penyerang, senjata,
cara bicara/logat, tingkah laku, tato, ciri kendaraan, arah pelarian, dll-nya)
h. Amankan tempat kejadian perkara

8
i. Bekerjasama dengan security sambil menunggu petugas kepolisian Bila
mendapatkan ancaman bom, yang perlu dilakukan adalah:
1) Tetap tenang sambil mendengarkan suara si penelepon
2) Jangan menutup telepon
3) Gunakan telpon lain untuk menghubungi nomor POLRES atau POLSEK
setempat, hubungi operator untuk selanjutnya operator menghubungi pihak
yang terkait,dan sampaikan: Bahwa terdapat ancaman bom, lokasi ancaman
bom secara tepat, nama anda dan tempat tugas/profesi Anda, evakuasi
Segera/Evacuation,
5. Code Brown (Coklat)
Adalah kode yang mengumumkan pengaktifan evakuasi pasien, pengunjung dan
karyawan rumah sakit pada titik-titik yang telah ditentukan. Pada intinya,
menginisiasi tim evakuasi untuk melaksanakan tugasnya. Terdapat tiga tahap
evakuasi:
a. TAHAP 1: Pindahkan korban dari daerah bahaya, misalnya dari ruangan ke
koridor, sambil meneriakkan: ”Code brown -- code brown” untuk
memberitahukan petugas lain
b. TAHAP 2 : Bersama-sama petugas lain pindahkan korban ke ruangan yang aman
pada lantai yang sama; lantai bawahbilabangunan bertingkat
c. TAHAP 3 : Selesaikan evakuasi dari bangunan melalui koridor atau tangga ke
titik kumpul dan ikuti petunjuk dalam Emergency Plan rumah sakit.
Pada saat evakuasi, bila diinstruksikan, evakuasikan ke area yang dialokasikan
dalam urutan sebagai berikut:
a. Pasien yang mampu bergerak sendiri
b. Pasien yang mampu bergerak dengan memerlukan bantuan
c. Pasien yang tidak mampu bergerak.
Penting untuk diperhatikan:
a. Periksa seluruh ruangan (termasuk kamar mandi dan toilet) untuk memastikan
semua orang sudah dievakuasi)
b. Lakukan penghitungan untuk memastikan semua orang sudah dievakuasi
c. Bila ada orang yang tidak diketemukan, laporkan ke Staf Senior, Manager on
Duty (MOD), atau Petugas Emergency

9
d. Jangan meninggalkan area titik kumpul sampai Staf Senior, Manager on Duty
(MOD), atau Petugas Penanggulangan Bencana mengizinkan
e. Staf Senior, atau Manajer on Duty memberitahuan kepada Petugas
Penanggulangan Bencana yang bertugas untuk mengumumkan “SEMUA
AMAN” bila keadaan telah terkendali (Usahakan rekam medik pasien harus
selalu menyertai setiap pasien yang dievakuasi bila memungkinkan)
6. Code Orange (Oranye)
Adalah kode yang mengumumkan adanya insiden yang terjadi di luar rumah sakit
(emergency eksternal) misalnya kecelakaan massal lalulintas darat, laut, dan udara;
ledakan, banjir, kebakaran, gempa bumi, tsunami, dll. Tatalaksananya:
a. Pada saat menerima pemberitahuan terjadinya darurat eksternal, petugas IGD dan
atau operator akan menyampaikan kepada semua pejabat senior dan Tim Siaga
Bencana rumah sakit
b. Rekan yang berdekatan sesudah diberitahu petugas IGD atau operator
meneriakkan: “Code Orange – Code Orange !!!”
c. Setiap staf akan merespon sesuai dengan Panduan Siaga Bencana rumah sakit.
Respon dapat meliputi salah satu atau lebih langkah berikut ini:
1) Bila memungkinkan sediakan tempat tidur untuk menampung korban, bila
perlu dengan cara memulangkan sebagaian pasien rawat inap atau
mengirimkannya ke RS lain.
2) Sediakan fasilitas penerimaan dan perawatan pasien secukupnya
3) Bila diminta oleh Manajer Senior atau Direksi ataupun utusan dari lokasi
bencana, sediakan bantuan yang dapat dikirim ke lokasi bencana
4) Semua personil lainnya merespon sesuai arahan supervisornya
5) Bila kondisi bencana memberikan dampak kepada rumah sakit (misalnya
serbuan asap, huru-hara sipil), pengisolasian/penyekatan mungkin diperlukan
6) Tunggu sampai ada pemberitahuan bahwa “SITUASI TELAH
TERKENDALI”.
7. Code Yellow (Kuning)
Adalah kode yang mengumumkan adanya situasi krisis internal (emergency internal)
rumah sakit yang meliputi: kebocoran atau dugaan kebocoran gas termasuk gas
elpiji; kebocoran dan tumpahan bahan kimia dan atau bahan berbahaya; kegagalan
sistem vital seperti kegagalan back-up daya listrik; boks pembagi daya
10
listrik;seseorang terjebak/terjerat; banjir; insiden radiasi; dan lain-lain.
Tatalaksananya:
a. Pada saat menemukan kejadian emergency internal petugas meneriakkan:
” Code Yellow – Code Yellow !!!!”
b. Hubungi nomor Operator unyuk selanjutnya menghubungi pihak yang terkait
antara lain security, Manager on Duty, Direksi, dan Staf Senior lainnya.dan
sebutkan : Jenis Emergency, Lokasi Emergency dengan tepat.Nama Anda dan
tugas/profesi Anda.
c. Jauhkan orang dari lokasi bahaya
d. Apabila evakuasi diperlukan, ikuti prosedur evakuasi, seperti pada panduan Code
Brown
e. Tunggu instruksi dari Staf Senior, Manager on Duty (MOD) atau Petugas
Emergency
f. Stanby untuk membantu bila diperlukan
g. Jangan kembali ketempat semula sampai Staf Senior, MOD, atau yan
bertanggung jawab dalam keamanan fasilitas menyatakan “ SEMUA TELAH
AMAN”.
Dalam hal insiden kimia, biologis atau radiasi:
a. Pakailah masker dan atau tutup mulut
b. Buka pakaian yang terkontaminasi, dan cuci kulit dengan air mengalir
c. Jauhi zona berbahaya.

D. Code Blue
1. Definisi
Code blue adalah isyarat yang digunakan dalam rumah sakit yang menandakan
adanya seseorang yang menandakan mengalami seragan jantung ( Cardiac Arrest )
gagal nafas akut (Respiratory Arrest) dan situasi darurat lainnya yang menyangkut
dengan nyawa pasien. Dalam bahasa aslinya berbunyi sebagai berikut,"Code Blue is
a declaration of or a state of medical emergency and call for medical personnel and
equipment to attempt to resuscitate a patient especially when in cardiac arrest or
respiratory distress or failure". Code Blue merupakan stabilisasi kondisi gawat
darurat medis yang terjadi di dalam area sakit. Kondisi darurat medis ini
membutuhkan perhatian segera. Code blue terdiri dari dokter dan paramedis untuk
11
menangani seseorang dengan penyakit jantung ( cardiac arrest ) atau respiratory
arrest dan membutuhkan resusitasi jantung dan paru segera (Royal Brisbane and
Women’s Hospital Health Service District, 2007).
Code blue/kode biru adalah Kondisi gawat darurat yang terjadi di rumah sakit atau
suatu institusi dimana terdapat pasien yang mengalami cardiopulmonary arrest dan
merupakan kata sandi yang digunakan untuk menyatakan bahwa pasien dalam
kondisi gawat darurat. Code Blue Code blue adalah dan stabilisasi kondisi darurat
medis yang terjadi di dalam area rumah sakit.
Kondisi darurat medis ini membutuhkan perhatian segera. Sebuah code blue harus
segera dimulai setiap kali seseorang ditemukan dalam kondisi cardiac atau
respiratory arrest (tidak responsif, nadi tidak teraba, atau  tidak bernapas) misalnya
pasien yang membutuhkan resusitasi kardiopulmoner (CPR). Code Blue Team Code
blue team adalah tim yang terdiri dari dokter dan paramedis yang ditunjuk sebagai
"code-team", yang secara cepat ke pasien untuk melakukan  tindakan penyelamatan.
Tim ini menggunakan  crash-cart, kursi roda/tandu, alat - alat penting seperti
defibrilator, peralatan intubasi, suction, oksigen, ambubag, obat-obatan resusitasi
(adrenalin, atropin, lignocaine) dan IV set untuk menstabilkan pasien. Tim Code
Blue adalah Tim yang terdiri dari dokter dan paramedis yang ditunjuk sebagai Code
Blue Team, yang secara cepat ke pasien untuk melakukan tindakan penyelamatan.
2. Tujuan
Tujuan dari code blue adalah :
a. Untuk memberikan resusitasi dan stabilisasi yang cepat bagi korban yang
mengalami kondisi darurat cardio- respiratory arrest yang berada dalam kawasan
rumah sakit.
b. Untuk membentuk suatu tim yang terlatih lengkap dengan perlatan medis darurat
yang dapat digunakan dengan cepat. 
c. Untuk memulai pelatihan keterampilan BLS dan penggunaan defibrillator
eksternal otomatis (AED) untuk semua tim rumah sakit baik yang berbasis klinis
maupun non klinis.
d. Untuk memulai penempatan peralatan BLS di berbagai lokasi strategis di dalam
kawasan rumah sakit untuk memfasilitasi respon cepat bagi keadaan darurat
medis.
e. Untuk membuat rumah sakit mampu menangani keadaan medis yang darurat.
12
           
3. Pengorganisasian Tim Code Blue
a. Organisasi
Organisasi Blue Team ini terdiri dari :
1) Koordinator Team
2) Penanggung jawab Medis
3) Perawat Pelaksana
4) Kelompok Pendukung
b. Uraian tugas
1) Koordinator Team
Dijabat oleh dokter ICU/NICU, bertugas :
a) Mengkoordinir segenap anggota tim.
b) Bekerjasama dengan diklat membuat pelatihan Kegawatandaruratan yang
dibutuhkan oleh anggota tim.
2) Penanggungjawab Medis
Dokter Jaga / Dokter Ruangan VKOK, Ibu, Anak, Perina, bertugas:
a) Mengidentifikasi awal / triage pasien di ruang perawatan.
b) Memimpin penanggulangan pasien saat terjadi kegawatdaruratan
c) Memimpin tim dalam pelaksanaan RJP
d) Menentukan sikap selanjutnya
3) Perawat Pelaksana, Perawat PN
a) Bersama dokter penanggungjawab medis mengidentifikasi/triage pasien di
ruang perawatan.
b) Membantu dokter penanggungjawab medis menangani pasien gawat dan
gawat darurat di ruang perawatan.
4) Tim Resusitasi
Perawat terlatih dan dokter ruangan / jaga.
a) Memberikan bantuan hidup dasar kepada pasien gawat / gawat darurat
diruang perawatan.

13
b) Melakukan resusitasi jantung paru kepada pasien gawat darurat diruang
perawatan.

4. Perencanaan Sumber Daya Manusia dan Sistem Komunikasi


a. Perencanaan Sumber Daya Manusia
Dalam satu shift harus ada 2 3 orang perawat terlatih yang bertugas. Perencanaan
SDM ditentukan berdasarkan kondisi kegawatdaruratan pasien, sebagai berikut :
1) Melakukan identifikasi awal/triage pasien di ruang perawatan : Dokter ruangan
/dokter jaga, Perawat Pelaksana (PN).
2) Melakukan penanggulangan pasien gawat di ruang perawatan : Dokter
Ruangan atau dokter jaga Perawat Terlatih 1 orang Perawat PN
3) Melakukan RJP : Dokter ruangan /dokter jaga Perawat Terlatih 2 3 orang
Perawat PN
b. Perencanaan Komunikasi
Komunikasi dalam penanganan kegawatdaruratan di rumah sakit merupakan hal
yang sangat penting, untuk itu ada hal – hal yang harus dipenuhi dalam
berkomunikasi, yaitu :
1) Komunikasi dilakukan dengan singkat, jelas dan benar.
2) Menggunakan kata sandi Kode Biru dan menyebutkan lokasi ruangan dan
nomor kamar pasien.
Alat–alat komunikasi yang dapat digunakan sebagai standar: Pagging, Interkom,
Hand Phone.

5. Peralatan Tim Code Blue

14
6. Pendidikan, Pelatihan, Jaminan Kualitas, dan perencanaan kegatan Anggota Code
Blue
a. Pendidikan dan pelatihan BLS diwajibkan bagi anggota tim code blue dan atau
harus memiliki sertifikat ACLS yang berlaku 3 tahun.
b. Meninjau semua kebijakan dan prosedur.
c. Melakukan review standar peraturan.
d. Melakukan pengukuran standar pelayanan (jam pelayanan)
e. Audit
Program pendidikan dan pelatihan BLS, ACLS dan MTLS / ATLS diberikan
kepada tim rumah sakit dan unit. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan
standar perawatan dan hasil respon code blue sebagai tim yang memainkan
peran penting sebagai responden pertama untuk situasi code blue. Pihak-pihak
yang tertarik mengikuti pendidikan atau pelatihan ini harus menghubungi
Departemen Darurat dan Trauma (ETD) atau CPR komite (Anestesiologi
departemen).
Perencanaan kegiatan Blue Tim meliputi :
a. Pelayanan Sehari – hari. Merupakan kegiatan sehari- hari dalam rangka
mengidentifikasi (Triage) pasien-pasien yang ada di ruangan perawatan. Sehingga
keadaan gawat / gawat darurat pasien dapat lebih dini diketahui dan ditanggulangi
sehingga mencegah kematian dan kecacatan yang tidak perlu terjadi
b. Pelayanan Kegawatdaruratan Pasien Di Ruangan. Merupakan kegiatan pelayanan
dalam menangani pasien gawat darurat dengan memberikan pertolongan bantuan
hidup dasar dan resusitasi jantung, paru dan otak (RJP).
c. Pelatihan dan Peningkatan SDM. Guna menjaga dan meningkatkan kualitas
kemampuan anggota tim, maka dibuatkan suatu pendidikan dan pelatihan
meliputi teori dan praktek sesuai kebutuhan tim .
d. Evaluasi dan Kendali Mutu. Pelaksanaan kegiatan penanggulangan dan
penanganan pasien gawat / gawat darurat oleh Blue Team harus dapat dievaluasi
dan kendali mutu agarkesempurnaan kegiatan menjadi lebih baik.Oleh karena
itulah Tim Pengendalian Mutu rumah sakit diharapkan dapat turut berperan dalam
hal evaluasi dan kendali mutu Blue Team

15
7. Ruang Lingkup code blue
Sistem respon cepat code blue dibentuk untuk memastikan bahwa semua kondisi
darurat medis kritis tertangani dengan resusitasi dan stabilisasi sesegera mungkin.
Sistem respon terbagi dalam 2 tahap yaitu:
a. Respon awal (responder pertama) berasal petugas rumah sakit yang berada di
sekitarnya, dimana terdapat layanan Basic Life Support (BLS).
b. Respon kedua (responder kedua) merupakan tim khusus dan terlatih yang berasal
dari departemen yang ditunjuk oleh pihak rumah sakit.
Sistem respon dilakukan dengan waktu respon tertentu berdasarkan standar kualitas
pelayanan yang telah ditentukan oleh rumah sakit. Untuk menunjang hal tersebut
yang dilakukan adalah :
a. Semua personil di rumah sakit harus dilatih dengan keterampilan BLS untuk
menunjang kecepatan respon untuk BLS di lokasi kejadian.
b. Peralatan BLS harus ditempatkan di lokasi yang strategis dalam kawasan rumah
sakit, misalnya lobi rumah sakit, ruang tunggu poliklinik dan ruang rawat inap,
dimana peralatan dapat dipindah atau dibawa untuk memungkinkan respon yang
cepat.
Tabel 1. Contoh Tim Code Blue / Asal Ruangan dan Area Cakupan
Tim Code Blue Primer
No Area Cakupan
(Koordinator)
Area gawat darurat, rekam
1 Gawat Darurat dan Trauma medis, area parker depan,
lobi, PMI, Depo farmasi.
2 Tim orthopedic Bangunan utama
3 Tim Poliklinik Bangunan poliklinik
4 Tim Medikal Rawat inap penyakit dalam
5 Tim Bedah Rawat inap bedah
Radiology, gizi,
6 Tim Imaging dan Diagnostik
Laboratorium
7 Tim Forensik Bagian Forensik
                                                                                                          (Saed & Amin, 2011)

16
8. Tata Laksanan sistem Code  Blue
Sebuah respon code blue untuk seluruh daerah Rumah Sakit tidak dapat ditangani
oleh Unit Gawat Darurat (UGD) sendiri karena kesulitan jarak dan lokasi yang tidak
terjangkau padahal idealnya waktu antara aktivasi code bluesampai kedatangan code
blue Team adalah 5 menit. Sehingga diharapkan setiap regio rumah sakit
mempunyai tim yang dapat melakukan BLS awal sambil menunggu kedatangan
tim code blue rumah sakit untuk meningkatkan harapan hidup pasien.
Tim dibentuk dengan ketentuan tiap tim terdiri dari 3 sampai 5 anggota yang terlatih
dalam BLS. Peralatan resusitasi darurat yang mudah untuk dibawa, harus
ditempatkan di lokasi strategis di seluruh kawasan rumah sakit terutama di daerah di
mana probabilitas tinggi terjadi kondisi darurat medis atau di mana tim rumah sakit
telah dilatih dalam keterampilan BLS. Setidaknya satu kit resusitasi dasar harus
ditempatkan di setiap area kerja satu departemen sehingga tim dapat dengan cepat
memobilisasi dan memanfaatkan peralatan resusitasi. Jika tersedia peralatan
resusitasi yang lebih maka efektifitas dan waktu respon dari Code Blue Tim akan
lebih baik dan harapan hidup pasien meningkat.
Hal ini sama pentingnya bahwa semua personil rumah sakit, terutama tenaga non-
dokter dan non-medis, dilatih BLS sehingga mereka juga dapat memberikan
resusitasi awal kehidupan (CPR) di lokasi kejadian sambil menunggu respon primer
atau Code Blue tiba, dengan demikian juga meningkatkan kemungkinan hasil yang
baik bagi para korban darurat medis. Pelatihan tim rumah sakit dalam keterampilan
BLS dan penggunaan AED juga dapat dilakukan oleh ETD.
a. Fase Pelaksanaan Code Blue
1) Alert System
Harus ada sistem yang baik dan terkoordinasi di tempat yang digunakan untuk
mengaktifkan peringatan terjadinya keadaan darurat medis dalam lingkup
rumah sakit kepada anggota tim code blue. Sistem telepon yang ada akan
digunakan.

17
Jika terjadi keadaan darurat medis, personil rumah sakit di mana saja dalam
lingkup rumah sakit tersebut dapat mengktifkan respon daricode blue lewat
telepon untuk bantuan dan pengaktifan:
a) Local Alert : tergantung pada mekanisme yang dibuat oleh Zone
Coordinator, contoh:
1. Pengumuman melalui sistem PA
2. Menampilkan nama-nama tim code blue primer di lokasi strategis di
zona mereka
3. Setelah kasus code blue terjadi, Tim Primer harus meninggalkan
pekerjaannya dan mengambil tas code blue dan bergegas ke lokasi dan
memulai CPR / BLS.
b) Hospital Alert : Nomor telepon code blue -> Pusat
PanggilanKegawatdaruatan Medis:
1. Prioritas 1: Untuk mengaktifkan team code blue sekunder dari ETD
2. Prioritas 2: Untuk memeriksa (sebagai jaring pengaman kedua)
pengaktifan team code blue primer.
Anggota tim respon code blue primer yang telah ditentukan di sekitar
tempat terjadinya kegawatdaruatan medis akan menanggapi situasicode
blue sesegera mungkin. Anggota tim akan memobilisasi alat resusitasi
mereka dan bergegas ke lokasi darurat medis. Tim ETD code blue juga
akan menanggapi situasi code blue. Jika semua tim tidak yakin apakah
lokasi darurat medis tersebut tercakup di daerah cakupan mereka, mereka
tetap harus merespon alarm 'code blue'.
Standar layanan untuk durasi waktu yang dibutuhkan antara menerima
pesan 'code blue' (code blue aktivasi) dan kedatangan tim code blue di
lokasi kejadian adalah 5 sampai 10 menit. Standar layanan akan diberi batas
waktu & dikaji kinerja dan pemeriksaan jaminan kualitas untuk menentukan
‘perangkap’ dalam sistem peringatan dan menjaga efisiensi dan penyebaran
cepat dari timcode blue. Tanggung jawab dari Medical Emergency Call
Center (MECC) terhadap Code Blue line :
a. Anggap setiap panggilan di code blue line adalah code bluekasus
yang sebenarnya (sampai bisa dibuktikan)
b. Panggilan code blue harus dijawab secepatnya (< 3 kali dering)
18
c. Informasi vital adalah:
1) Nama dan nama orang/ tim rumah sakit/ paramedis/ dokter tertentu
2) Lokasi pasti
3) Trauma atau kasus medis
4) Dewasa atau anak-anak
d. Pengumuman kepada ETD tim code blue- CODE BLUE 3x di area
cakupan
e. Tim code blue harus meninggalkan pekerjaannya dan berlari dengan
membawa perlengkapan jika zona ETD bisa dijangkau dengan jalan
kaki.
f. Rekaman dan dokumen dalam sensus code blue
2) Intervensi Segera di Tempat Kejadian
Tim di tempat kejadian darurat medis (pasien tidak sadar atau
dalam cardiac dan respiratory arrest) telah terjadi memiliki tanggung jawab
untuk meminta bantuan lebih lanjut, memulai resusitasi menggunakan
pedoman Basic Life Support (BLS) dan keterampilan ALS dan peralatan jika
cukup terlatih dan lengkap.
a) Nomor tim code blue Rumah Sakit/ nomor MECC ditempatkan di bangsal,
departemen, divisi, unit, kantor, lobi lift, koridor, kantin, taman, tempat
parkir, dll trotoar dan lokasi lain di dalam halaman rumah sakit.
b) Personil rumah sakit yang menemukan korban harus mengaktifkan
pemberitahuan lokal untuk tim code blue primer atau seseorang
menginstruksikkan mereka untuk melakukannya, mereka juga harus
meminta bantuan lebih lanjut dari tim terdekat jika tersedia.
c) Pada saat yang sama, aktivasi pemberitahuan rumah sakit harus dilakukan
dengan menghubungi nomor code blue rumah sakit.
d) Pihak yang bertanggung jawab atau bertanggung jawab atas daerah tertentu
(misalnya dari ruangan lain) juga harus diberitahu untuk datang ke lokasi
segera.
e) Sementara menunggu kedatangan tim utama menanggapi code blue, jika
tersedia tim yang terlatih untuk BLS, mereka harus memulai BLS (posisi
airway, bantuan pernapasan, kompresi dada dll).

19
f) Jika tidak ada tim yang terlatih BLS, tim yang ditempat kejadian harus
menunggu bantuan yang berpengalaman dan menjaga lokasi dari
kerumunan orang.
g) Jika monitor jantung, defibrillator manual atau defibrillator eksternal
otomatis (AED) tersedia, peralatan ini harus melekat kepada pasien untuk
menentukan kebutuhan defibrilasi; fase ini dilakukan oleh tim yang
berpengalaman atau tim terlatih dalamAlert Cardiac Life Support (ACLS).
h) Setiap departemen, divisi, atau unit bangsal harus berusaha untuk
memastikan bahwa tim mereka dilatih dalam setidaknya keterampilan BLS
dan mereka dilengkapi dengan resusitasi kit atau troli, setidaknya peralatan
resusitasi dasar dan ditempatkan di lokasi strategis.
i) Tim dari masing-masing ruangan akan bertanggung jawab untuk
pemeliharaan resusitasi kit mereka.
j) Jika korban berhasil disadarkan/dihidupkan kembali sambil menunggu
kedatangan tim respon code blue, tim dilokasi harus menempatkan pasien
dalam posisi pemulihan dan monitor tanda-tanda vital.
k) Semua kasus code blue harus mengirim ke ETD untuk evaluasi lebih lanjut
dan manajemen terlepas hasilnya.
3) Kedatangan Team Code Blue
a) Setelah anggota tim code blue menerima aktivasi code blue, mereka harus
menghentikan tugas mereka saat ini, mengambil resusitasi kit (tas
peralatan) mereka dan bergegas ke lokasi darurat medis dengan berjalan
kaki.
b) Mereka harus mengerahkan diri mereka sendiri dengan cepat dan lancar dan
menggunakan rute terpendek yang tersedia.
c) Waktu respon (layanan standar) dari waktu dari code blue call / aktivasi
kedatangan tim Code blue di tempat kejadian akan disimpan
.Akan ada saat ketika ETD / Kedatangan Sekunder tim code blueadalah
penundaan karena berbagai alasan, sehingga kebutuhan untuk tim Code
blue untuk tidak hanya terdiri dari tim ETD tetapi juga tim dari departemen
yang lebih strategis atau dekat. Selanjutnya, sangat penting bahwa setiap
tenaga medis di lokasi kejadian mulai langkah BLS.

20
d) Jika korban masih dalam cardiac atau respiratory arrest ketika tim
respon code blue tiba di lokasi, tim akan mengambil alih tugas resusitasi;
tim di lokasi kejadian harus tinggal di sekitar untuk memberikan bantuan
tambahan jika diperlukan.
e) Setiap kasus code blue akan kirim ke ETD terlepas kondisi pasien baik
untuk mempertahankan kembalinya sirkulasi spontan (ROSC) atau tidak.
Dalam disposisi, ETD pasien akan diputuskan setelah integrasi pasca
perawatan serangan jantung.
4) Perawatan Definitif
a) Keadaan darurat medis yang terjadi di setiap daerah baik klinis atau non-
klinis dan baik melibatkan rawat inap atau rawat jalan (umum) akan
dihadiri oleh para tim tanggap code blue, pasien ini akan diangkut ke ETD
untuk resusitasi lanjut dan perawatan definitif dimana tempat-tempat ini
biasanya tidak memiliki infrastruktur yang memadai dan peralatan untuk
perawatan lanjutan.
b) Jika resusitasi tidak berhasil (korban meninggal di TKP), korban masih
perlu ditransfer ke ETD untuk dokumentasi lebih lanjut atau konfirmasi
kematian.
c) Setiap kasus code blue akan menerima perawatan definitif setelah
perawatan pasca integrasi serangan jantung dan diskusi dalam ETD.
5) Peralatan dan pelatihan
a) Semua tingkat tim rumah sakit harus cukup terlatih setidaknya dalam BLS
dan penggunaan AED.
b) AED dan resusitasi kit dasar harus ditempatkan di berbagai daerah di dalam
halaman rumah sakit dan mudah diakses bagi tenaga medis dan tim Code
Blue untuk digunakan.
c) Lokal / code blue primer (zona risiko rendah) tim peralatan:
1. Sarung tangan
2. Pocket mask
3. Guerdel / jalan napas orofaringeal
4. Tas / kotak pertama bantuan

21
d) Dasar peralatan resusitasi kit yang dibutuhkan oleh code blue team zona
risiko tinggi dan ETD / sekunder tim tanggap :
1. Oksigen tabung dan pipa
2. Masker  
3. Pocket mask
4. Bag-valve mask
5. Pedoman defibrilator atau AED (ke dalam disiplin lain ETD dan KIV)
6. Sekali pakai sarung tangan steril
7. Oro-faring dan naso-faring saluran udara
8. Extraglottic perangkat (LMA / LT)
9. Kursi roda atau tandu
10. Stetoskop
11. Alat suntik dan jarum
12. Infus set (termasuk semangat usap, branula dan plester)
13. Glucometer
14. Obat-Dextrose 50%, Dekstrosa 10%, Normal saline / Hartmann 's,
Adrenalin, Atropin, Amiodarone, Diazepam, GTN Tab dan Aspirin
15. Sphygmomanometer
16. Obor cahaya
e) Lanjutan pelatihan BLS dapat diperoleh melalui komite CPR
Ketika muncul code blue, tim dokter dan paramedis yang ditunjuk sebagai
"code-team", bergegas ke pasien untuk melakukan tindakan penyelamatan.
Tim ini menggunakan crash-cart, kursi roda / tandu, yang berisi alat - alat
penting seperti defibrilator, peralatan intubasi, suction, oksigen, ambubag,
obat-obatan resusitasi (adrenalin, atropin, lignocaine) dan IV set untuk
menstabilkan pasien. Tim akan mempraktekkan keterampilan BLS
dan Advanced Cardiac Life Support (ACLS) untuk resusitasi pasien.
Peralatan resusitasi diletakkan di area yang sering membutuhkan bantuan
resusitasi sehingga bila code blue muncul tim yang ditunjuk sebagai code
blue. Tim akan segera dapat mengakses peralatan tersebut. Jika code
blue disebut di suatu daerah tanpa crash-cart, tim yang ditunjuk code
blue akan membawacrash-cart atau kit resusitasi.
22
b. Komunikasi
Tersedia Medical Emergency Call Centre (MECC) yaitu panggilan khusus yang
mengaktifkan tim Code Blue Respon Primer
c. Koordinasi dengan ruangan lain
Panggilan akan diperoleh dari ruangan lain yang tidak memiliki tim tanggap
darurat. Jika tidak ada rencana tanggap darurat di tempat, ETD akan mendapatkan
panggilan mengenai kebutuhan mereka untuk perawatan medis darurat dan
berkoordinasi dengan mereka tentang bagaimana untuk mendirikan tanggap
darurat medis menggunakan sistem code blue .
d. Algoritma Code Blue

23
e. Prosedur Code Blue

KEBIJAKAN DAN PROSEDUR


CODE BLUE

No. Dokumen No. Revisi Halaman


Document No. Revision No. Pages
SOP-JCI-PCC-005 00 1/2
Disahkan oleh Direktur,
Prosedur Tetap
Tanggal terbit Approved by Director,
Date Issued
Standard
Operating
Desember 2010
Procedures
Dr.Surya
Pengertian Prosedur penanganan kegawatan di ruang rawat inap dan rawat jalan melalui
Definition bantuan team blue code
1. Sebagai acuan supaya tindakan dilakukan dengan benar
Tujuan 2. Penanganan kegawatan terhadap pasien dapat dilakukan secara cepat,
Goal tepat dan komprehensif.

Kebijakan Pada keadaan gawat darurat perawat yang tergabung dalam team blue code
Policy dapat melakukan penanganan kegawatan di bawah tanggung jawab dokter
anastesi.
1. Team blue code terdiri dari perawat terlatih dan berpengalaman yang telah
mengikuti kursus BTCLS.
2. Team BlueCode terdiri dari 4 team untuk masing-masing shift yaitu team
perawatan, team poliklinik, team Gadar dan team anastesi.
3. Penanganan kegawatan di ruang rawat inap dan rawat jalan dapat
melakukan ” Paging JEC ”

1. Bila terjadi kegawatan terhadap pasien maka perawat ruangan selain


Prosedur memberikan pertolongan harus melakukan pemanggilan kepada team
Procedure Blue Code dengan menyebutkan lokasi kegawatan.
2. Bila team Blue Code Poli, Rawat Inap, Gadar tidak dapat melakukan
bantuan, maka perawat ruangan menghubungi team Blue Code anastesi
untuk melakukan bantuan pertolongan.
4. Pada saat penanganan kegawatan tersebut maka team Blue Code berperan
sebagai leader, bila ada dokter anastesi, maka peran leader diambil oleh
dokter anastesi.
5. Setelah penanganan kegawatan teratasi namun pasien masih perlu
pemantauan, maka pasien tersebut dikirim ke Rumah Sakit lain dengan
didampingi oleh team blue code setelah ada persetujuan dari pihak
keluarga.

24
KEBIJAKAN DAN PROSEDUR
CODE BLUE

No. Dokumen No. Revisi Halaman


Document No. Revision No. Pages
SOP-JCI-PCC-005 00 2/2

Prosedur dan dokter yang merawat.


Procedure 6. Bila penanganan kegawatan tidak teratasi dan pasien di nyatakan meninggal,
maka perawatan selanjutnya diserahkan kepada perawat ruangan.
7. Team Blue Code bersama perawat ruangan mendokumentasikan tindakan
yang telah dilakukan pada formulir catatan keperawatan serta
menandatanganinya.

SMF Dokter Spesialis


Unit Terkait Unit Rawat Inap
Related Units Unit Rawat Jalan

Referensi JCI PCC 3.1, IPSG 1, PAA 3, IPSG 2

Referensi ISO ISO 9001:2008 Klausul 4.1, 4.2.1, 7.1, 7.5.1, 7.5.3, 8.2.3, 8.2.4

Referensi KARS S2P2 Pelayanan Gawat Darurat

E. Konsep Sistem Pelayanan Gawat Darurat Terpadu


1. Pengertian dan Fase SPGDT
Sistem pengendalian gawat darurat terpadu adalah mekanisme yang dirancang untuk
memberikan pertolongan pada korban bencana atau gawat darurat untuk mencegah
kematian atau kerusakan organ sehingga produktifitasnya dapat didipertahankan
setara sebelum terjadinya bencana atau peristiwa gawat darurat.
System penanggulangan gawat darurat (SPGDT) mengacu pada pertolongan harus
cermat, tepat, dan cepat agar korban tidak mati atau cacat maka harus ditangani
secara bersama dan terpadu, oleh berbagai komponen penolong atau pertolongan. Ini
berarti penanganan harus dilakukan multi disiplin, multi profesi dan multi sektor
meliputi:
a. Penanganan terhadap korban banyak penyelarnatan jiwa
b. Dilakukan oleh penolong dan pertolongan banyak
c. Terjalin komunikasi dan koordinasi yang terkendali
d. Menyangkut transportasi korban
e. Tempat-tampat rujukan

25
Dalam SPGDT terdapat beberapa fase yaitu: Fase Deteksi, Fase Subpresi, Fase Pra
Rumah sakit, Fase Rumah sakit dan Fase Rehabilitasi. Fase-fase ini dapat berjalan
dengan baik bila ada ketersediaan sumber-sumber yang memadai. Beberapa
referensi ada pula yang menyebutkan bahwa SPGDT dibagi menjadi 3 subsistem,
yaitu : sistem pelayanan Pra Rumah Sakit, sistem pelayanan di Rumah Sakit, sistem
pelayanan antar rumah sakit. Ketiga subsistem ini bersifat saling terkait didalam
pelaksanaannya. Pada pelaksanaanya bergantung kepada kebijakan Negara yang
bersangkutan.
a. Fase Deteksi
Pada fase deteksi ini dapat diprediksi beberapa hal diantaranya adalah frekuensi
kejadian, penyebab, korban, tempat rawan, kualitas kejadian dan dampaknya.
Misalnya terkait dengan kecelakaan lalu lintas, maka dapat diprediksi : frekuensi,
Kecelakaan Lalu Lintas (KLL), Buruknya kualitas “Helm” sepeda motor yang
dipakai, Jarangnya orang memakai “Safety Belt”, tempat kejadian tersering
dijalan raya yang padat atau dijalan protocol, korban kecelakaan mengalami luka
mengalami luka diberbagai tempat atau multiple injuries. Contoh lain bila terkait
dengan bencana alam, maka dapat diprediksi : daerah rawan gempa, frekuensi
gempa, jenis bangunan yang sering hancur, kelompok korban, dan jenis bantuan
tenaga kesehatan yang paling dibutuhkan pada korban gempa. Melatih tenaga
kesehatan dan awam untuk pengelolaan korban gawat darurat. Pelatihan dapat
berbentuk BTCLS in Disaster, PPGD-ON (Pengelolaan Pasien Gawat Darurat
Obstetric Neonatus) untuk bidan, antisipasi Serangan Jantung dan CADR
(Community action & Disaster Response ) untuk pengawal pribadi, pasukan
keamanan/ polisi, pecinta alam, guru olahraga/ senam ; atau pelatihan Dasi pena
(Pemuda Siaga Pencana) untuk Senkom, pramuka, pemuda dan tokoh
masyarakat.
b. Fase Supresi
Kalau kita dapat memperediksi yang dapat menyebabkan kecelakaan atau terjadi
bencana yang dapat menimbulkan korban masal maka kita dapat melakukan
supresi. Supresi atau menekan agar terjadi penurunan korban gawat darurat
dilakukan dengan berbagai cara : perbaikan kontruksi jalan, peningkatan
pengetahuan peraturan lalu lintas, perbaikan kualitas “Helm” pengetatat melalui
26
UU lalu lintas atau peraturan ketertiban berlalu lintas, pengetatat peraturan
keselamatan kerja, peningkatan patroli keamanan atau membebuat pemetaan
daerah bencana.

c. Fase Pra Rumah Sakit


Pada fase ini keberhasilan begantung pada beberapa komponen yaitu: akses
masyarakat ke petugas terlatih atau petugas kesehatan terlatih, atau akses petugas
terlatih atau petugas kesehatan terlatih kekorban, komunikasi dan jaringan
komunikasi yang dapat dimanfaatkan, serta ketersediaan gawat darurat. Pada fase
ini keberhasilan korban gawat darurat salah satunya bergantung adanya akses.
Akses dari masyarakat kedalam sistem adalah yang paling penting, karena kalau
masyarakat tidak dapat minta tolong maka SPGDT yang paling baikpun tidak ada
guannya bagi korban yang memerlukan pertolongan. Mengingkat wilayah
Indonesia sangat bervariatif maka setiap provinsi atau kabupaten/kota perlu
memiliki nomor yang mudah dihapal yang mudah dihubungan untuk minta
pertolongan. Saluran informasi yang dapat diakses bila memerlukan bantuan
pertolongan gawat darurat atau bencana dimasyarakat diantaranya : polisi,
pemadam kebakaran, dinas kesehatan, rumah sakit atau ouskesmas terdekat yang
dikoordinir oleh badan penaggulangan bencana setempat.
Untuk perdesaan yang belum memiliki sarana komunikasi yag belum ada
komunikasi telepon, akses dapat berupa : bedug, kentongan, asap, radio
komunikasi, atau hamdphone.
1) Komunikasi
Lalulintas komunikasi yang vital diperlukan dalam penanggulangan bencana
diantaranya mencakup : pusat komunikasi ke ambulan, pusat komunikasi ke
rumah sakit, pusat komunikasi ke instalasi terkait lain, ambulan ke ambulan,
ambulan ke rumah sakit, masyarakat terlatih ke pusat komunikasi atau
pelayanan kesehatan.
Pusat komunikasi memiliki tugas menerima dan memberikan informasi,
memonitor, bekerjasama termasuk memberikan komando penanggulangan
bencana baik secara lintas propinsi, nasional, maupun internasional. Di pusat
komunikasi dapat dilibatkan “orang awam”, yaitu mereka yang menemukan
korban kali pertama, atau yang memberikan pertolongan pertama. “orang
27
awam” ini dapat dilatih, sehingga disebut awam khusus. Orang awam khusus
yang terorganisir dengan baik antara lain pramuka, Palang Merah Remaja,
siswa sekolah, mahasiswa, hansip atau petugas keamanan, atau karang taruna.
Pendidikan masyarakat melibatkan latihan masyarakat sebagai penolong
pertama. Dengan mewajibkan semua pelajar mendapatkan pendidikan
pertolongan pertama sebelum lulus dari SLTP dan pertolongan pertama
lanjutan sebelum lulus dari SLTA atau sebelum mendapat SIM, maka kita
dapat memastikan bahwa dalam dua generasi yang akan datang, tiap orang di
tempat kecelakaan atau pada penyakit akut akan lebih sanggup menyelamatkan
nyawa dan extremitas sampai tiba bantuan profesional.
Awam khusus dapat dilatih sehingga memiliki kemampuan cara minta tolong,
cara memberikan bantuan hidup dasar, cara menghentikan perdarahan, cara
memasang balut bidai, cara mengangkat dan mengirim korban. Keterampilan
untuk awam khusus dapat ditingkatkan sesuai dengan bidang tugas yang
diemban setiap hari, misalnya pengetahuan dan keterampilan mengenai
biomekanik kecelakaan lalu lintas dan luka tembak atau tusuk untuk polisi.
Dengan demikian korban dapat ditolong dengan benar dan optimal.
2) Ambulan Gawat Darurat (AGD)
Ambulan gawat darurat idealnya harus mampu tiba ditempat korban dalam
waktu 6-8 menit supaya dapat mencegah kematian. Kematian dapat terjadi
karena sumbatan jalan napas, henti napas, henti jantung, dan perdarahan
massif.
Untuk daerah perkotaan yang lalu lintasnya padat seperti Jakarta diperlukan
ambulan sepeda motor. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi respon time.
Selanjutnya bila sudah distabilkan maka tinggal menunggu mobil ambulan
untuk dievakuasi dan transportasi.
Ambulan Sepeda Motor Gawat Darurat dapat menjadi rumah sakit lapangan
dalam penanggulangan bencana. Sebagai unit pelayanan bencana maka
ambulan sepeda motor gawat darurat perlu meningkatkan jalinan komunikasi
dengan pusat komunikasi, rumah sakit dan ambulan lain.
3) Ambulan Gawat Darurat (AGD) Desa Siaga
AGD desa siaga dapat dikembangkan dengan meningkatkan peran Puskesmas
keliling menjadi AGD desa siaga. Peralatan standar yang diajukan seperti
28
Orotracheal Tube dan Suction untuk membebaskan jalan napas (airway),
Oksigen dan Bag and Mask untuk membantu pernafasan (breathing), balut
cepat dan dan infus untuk membantu mempertahankan sirkulasi yang baik
(circulation), dan bidai termasuk Neck Collar, Long/Short Board dan traksi
untuk membantu bila ada hendaya (disability).
Di Indonesia terdapat lebih dari 2000 rumah sakit dengan UGD yang
bervariasi dan belum ada koordinasi dalam penanggulangan korban gawat
darurat maupun penanggulangan bencana. Masing-masing berusaha untuk
mendapat citra eksklusif sehingga pelayanan kesehatan menjadi mahal apalagi
bila korban tidak memiliki asuransi ataupun tidak ada keluarga yang
mendampingi, maka kemungkinan akan terlantar. Keadaan ini bukan saja di
Indonesia tetapi juga terjadi di Negara maju seperti di Amerika Serikat
sebelum tahun 1990-an. Pada tahun 1976 setelah Perang Vietnam selesai para
dokter dan perawat kembali dan mengembangkan sistem penanggulangan
pasien gawat darurat (PPGD) sesuai dengan pengalaman mereka di Vietnam.
Pada waktu itu, fase pra rumah sakit di USA dikembangkanlah perusahaan-
perusahaan pelayanan ambulan. Akibatnya terjadi persaingan yang tidak sehat,
mahal dan saling menghancurkan sehingga banyak AGD yang bangkrut.
Rumah sakit juga saling berlomba membentuk Trauma Center dengan prinsip
“The Right Patient To The Right Hospital By The Right Surgeon”, sehingga
sering terjadi keterlambatan karena Ahli Bedah tidak ditempat. Baru tahun
1990 Amerika Serikat menyadari kesalahan ini dan mengubah sistem PPGD
menjadi “inklusif sistem”.
Sistem ini menjamin bahwa semua korban gawat darurat akan mendapat
pelayanan dan penanggulangan yang optimum pada fasilitas yang sesuai
dengan berat cederanya. Sistem ini memanfaatkan semua sarana Pra RS dan
UGD yang ada di kota dan daerah yang menjadi satu kesatuan secara terpadu.
Sejak tahun 1990-an, pada fase pra RS semua Ambulan Gawat Darurat
dihimpun dibawah satu sistem di Amerika Serikat adalah 911.
d. Fase Rehabilitasi
Semua korban yang cedera akibat kecelakaan maupun bencana harus
dilakukan rehabilitasi secara utuh, mencakup fisik, mental, spiritual dan sosial.
Hal ini perlu dilakukan agar dapat berfungsi kembali di dalam kehidupan
29
bermasyarakat. Pada fase rehabilitasi melibatkan berbagai disiplin ilmu,
dengan harapan terjadi re-orientasi terhadap kehidupannya sesuai kondisinya
saat ini.

Ada 3 subsistem dalam pelayanan kesehatan pada SPGDT:


a. Sistem pelayanan Pra Rumah Sakit, sistem pelayanan di Rumah Sakit dan
sistem pelayanan antar Rumah Sakit. Pada sistem pelayanan medic pra rumah
sakit terdapat public safety center atau Desa Siaga, Brigade Siaga Bencana,
Pelayanan Ambulance, Komunikasi, Ambulan dan masyarakat awam yang
belum digarap secara serius oleh pemerintah.
b. Sistem pelayanan kesehatan di rumah sakit. Dalam pelaksanaan sistem
pelayanan kesehatan di rumah sakit yang diperlukan adalah penyediaan sarana,
prasarana, dan SDM yang terlatih. Semua hal tersebut diatas harus tersedia
unit kerja yang ada di RS. Seperti di UGD, ICU, Ruang rawat inap,
laboratorium, Xray room, farmasi, klinik gizi, dan ruang penunjang yang
lainnya serta kamar mayat, dan lainnya.
Dalam pelaksanaan pelayanan medic di rumah sakit untuk korban bencana
diperlukan : hospital Disaster Plan, Unit Gawat Darurat, Brigade Siaga
Bencana Rumah Sakit, High Care Unit, dan kamar jenazah.
c. Sistem pelayanan kesehatan antar rumah sakit. Sistem pelayanan kesehatan
antar rumah sakit harus berbentuk jejaring rujukan yang dibuat berdasarkan
kemampuan rumah sakit dalam memberikan pelayanan, baik dari segi kualitas
maupun kuantitas untuk menerima pasien. Misal di Jakarta bila ada bencana
bila ada patah tulang pasien dapat dirujuk ke RS Fatmawati. Ini semua sangat
berhubungan dengan kemampuan SDM, fasilitas medis yang tersedia di rumah
sakit tersebut. Agar sistem ini dapat memberikan pelayanan yang baik
memerlukan sistem ambulan yang baik dan dibawa oleh SDM yang terlatih
dan khusus menangani keadaan darurat. Dalam pelayanan kesehatan antar
rumah sakit: pelayanan fiksasi dan evakuasi, transportasi dan rujukan, dan
pengelolaan lalu lintas untuk transportasi dan rujukan.
2. Tujuan pelayanan gawat darurat
Kondisi pelayanan gawat darurat dapat terjadi dimana saja, baik pre hospital
maupun in hospital ataupun post hospital. Oleh karena itu tujuan dari pertolongan
30
gawat darurat dalam kaitannya dengan rentang kegawatdaruratan dapat terbagi
menjadi 3 yaitu:

a. Pre-Hospital
Dalam rentang kondisi hospital ini dapat terjadi dimana saja serta dalam setiap
waktu, maka peran serta masyarakat, awam khusus ataupun petugas kesehatan
diharapkan dapat melakukan tindakan penanganan kondisi kegawatdaruratan
yang berupa:
1) Menyingkirkan benda-benda berbahaya di tempat kejadian yang berisiko
menyebabkan jatuh korban lagi, misalnya pecahan kaca yang menggantung
atau dicurigai masih terdapat bom. Petugas kesehatan hanya boleh
memberikan pertolongan apabila kondisi sudah aman dari risiko jatuhnya
korban berikutnya.
2) Melakukan triase atau memilah dan menentukkan kondisi korban gawat
darurat serta memberikan pertolongan pertama sebelum petugas kesehatan
yang lebih ahli dating untuk membantu.
3) Melakukan fiksasi atau stabilisasi sementara.
4) Melakukan evakuasi, yaitu korban dipindahkan ke tempat yang lebih aman
atau dikirim ke pelayanan kesehatan yang sesuai kondisi korban.
5) Mempersiapkan masyarakat, awam khusus dan petugas kesehatan melalui
pelatihan siaga terhadap bencana.
b. In Hospital
Pada tahap ini, tindakan menolong korban gawat darurat dilakukan oleh petugas
kesehatan. Di rumah sakit pada umumnya ditolong oleh petugas kesehatan di
dalam sebuah tim yang multi disiplin ilmu. Tujuan pertolongan di rumah sakit
adalah adalah
1) Memberikan pertolongan profesional kepada korban bencana sesuai dengan
kondisinya.
2) Memberikan bantuan hidup dasar dan hidup lanjut.
3) Melakukan stabilisasi dan mempertahankan hemodinamik yang akurat.
4) Melakukan rehabilitasi agar produktivitas korban setelah kembali ke
masyarakat setidaknya setara bila dibanding sebelum bencana menimpanya.
31
5) Melakukan pendidikan kesehatan dan melatih korban untuk mengenali
kondisinya dengan segala kelebihan yang dimiliki.

c. Post-Hospital
Pada kondisi post-hospital hampir semua pihak menyatakan hampir sudah tidak
ada lagi kondisi gawat darurat. Padahal, kondisi gawat darurat ada yang terjadi
justru setelah diberi pelayanan di rumah sakit, yaitu korban perkosaan. Karena
mengalami trauma psikis yang mendalam, misalnya merasa tidak berharga, harga
diri rendah, malu dan tidak punya harapan sehingga korban-korban perkosaan
mengambil jalan pintas dengan mengakhiri hidupnya sendiri. Tujuan diberikan
pelayanan dalam rentang post-hospital adalah:
1) Mengembalikan rasa percaya diri kepada korban.
2) Mengembalikan rasa harga diri yang hilang sehingga dapat tumbuh dan
berkembang.
3) Meningkatkan kemampuan bersosialisasi kepada orang-orang terdekat dan
masyarakat yeng lebih luas.
4) Mengembalikan pada permanen sistem sebagai tempat kehidupan nyata
korban
5) Meningkatkan persepsi terhadap realitas kehidupanya pada masa yang akan
datang

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

32
Kegawatdaruratan medis dapat diartikan menjadi suatu keadaan cedera atau sakit
akut yang membutuhkan intervensi segera untuk menyelamatkan nyawa atau
mencegah atau mencegah kecacatan serta rasa sakit pada pasien. Pasien gawat
darurat merupakan pasien yang memerlukan pertolongan segera dengan tepat dan
cepat untuk mencegah terjadinya kematian atau kecacatan.
Prinsip pada penanganan penderita gawat darurat harus cepat dan tepat serta harus
dilakukan segera oleh setiap orang yang pertama menemukan/mengetahui (orang
awam, perawat, para medis, dokter), baik didalam maupun diluar rumah sakit
karena kejadian ini dapat terjadi setiap saat dan menimpa siapa saja.
Code blue addalah isyarat yang digunakan dalam rumah sakit yang menandakan
adanya seseorang yang menandakan mengalami seragan jantung ( Cardiac Arrest )
gagal nafas akut (Respiratory Arrest).Code Blue merupakan stabilisasi kondisi
gawat darurat medis yang terjadi di dalam area sakit. Kondisi darurat medis ini
membutuhkan perhatian segera. Code blue terdiri dari dokter dan paramedis untuk
menangani seseorang dengan penyakit jantung ( cardiac arrest ) atau respiratory
arrest dan membutuhkan resusitasi jantung dan paru segera.
Sistem pengendalian gawat darurat terpadu adalah mekanisme yang dirancang
untuk memberikan pertolongan pada korban bencana atau gawat darurat untuk
mencegah kematian atau kerusakan organ sehingga produktifitasnya dapat
didipertahankan setara sebelum terjadinya bencana atau peristiwa gawat darurat.

B. Saran
Kegawatdaruratan harus cepat dan tepat serta harus dilakukan segera oleh setiap
orang yang pertama menemukan/mengetahui (orang awam, perawat, para medis,
dokter), baik didalam maupun diluar rumah sakit karena kejadian ini dapat terjadi
setiap saat dan menimpa siapa saja.

DAFTAR PUSTAKA

Akbar, Fredy. 2006. Kumpulan Materi Mata Kuliah Gadar. Diakses pada tanggal 18
Januari 2018
Boswick, John A. 1997. Perawatan Gawat Darurat (Emergency Care). Jakarta : EGC
33
Institute For Clinical Systems Improvement. 2011. Health Care Protocol: Rapid
Response TeamDiakses tanggal 17 Januari 2018
Margaretha, Caroline. 2013. Konsep Keperawatan Gawat Darurat. Diakses pada
tanggal 18 Januari 2018
Panduan Implementasi Kode-Kode Emergency Rumah Sakit Islam Siti Rahmah.
2014.
RSI Siti Rahmah
Panduan Penggunaan Troli Emergency. 2016. Yusrendra
Royal Brisbane and Women’s Hospital Health Service District. 2007. Kode Biru
Manual. Diakses pada tanggal 17 Januari 2018
Saed, MD & Amin, Mohd. 2011. Code Blue System.  Diakses tanggal 17 Januari
2018
Saanin, S. 2012. Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT). BSB
Dinkes Sprovinsi Sumatera Barat

34

Anda mungkin juga menyukai