Anda di halaman 1dari 16

BAB III

KEBEBASAN BEREKSPRESI DAN MAKAR

A. Kebebasan Berekspresi Di Indonesia

Bangsa Indonesia sudah mempunyai rumusan tentang Hak Asasi Manusia

sendiri yang sesuai dengan keadaan sosiologis Bangsa Indonesia, meskipun

masih banya memakai aturan HAM dari eropa. HAM di Indonesia dilindungi

dan dijamin konstitusi yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 (yang disebut UUD NRI Tahun 1945). HAM telah

jelas diatur didalam Pasal 28a-28j UUD NRI Tahun 1945.

Secara eksplisit hak untuk menyatakan pendapat, diatur dalam Pasal 28 E

ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

secara spesifik: “setiap orang berhak atas kesempatan berafiliasi, berkumpul

dan artikulasi”. Hal yang sama mengenai kesempatan artikulasi juga diatur

dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Kebebasan

Dasar, lebih spesifiknya: “setiap orang berhak menyatakan pendapat secara

terbuka, mengingat pilihan memukul untuk pengertian. dengan pengaturan

undang-undang tersebut.”.

Kebebasan berekspresi adalah kebebasan yang mengarah pada hak untuk

berbicara secara bebas tanpa adanya tindakan pembatasan dari siapapun.

Dalam hal mengeluarkan pendapat di depan umum semua orang harus

memegang prinsip bebas dan bertanggung jawab. Bebas artinya bhwa segala

ide, pikiran dan pendapat bisa dikemukakan secara bebas tanpa tekanan dari

49
Universitas Bung Karno
siapapun. Bertagung jawab maksudnya segala ide dan pikiran tersebut harus

rasional dan masuk diakal.

Berkenaan dengan kesempatan artikulasi yang merupakan hak setiap

orang, perintah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945, khususnya pasal 28F (perubahan kedua, yang ditetapkan pada bulan

Agustus 2000) menyatakan bahwa “Setiap orang berhak untuk membicarakan

dan memperoleh data untuk menumbuhkan iklim mereka sendiri dan sosial,

dan menyediakan pilihan untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,

mengukur, dan meneruskan data dengan memanfaatkan setiap saluran yang

dapat diakses". Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Kebebasan

Umum dalam pasal 14 ayat (2) menyatakan bahwa “Setiap orang mempunyai

pilihan untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengukur, dan

menyampaikan data dengan memanfaatkan berbagai cara yang dapat

diakses”.1

Dalam menyamakan perspektif untuk konteks pemikiran tentang

kebebasan, adanya suatu perbedaan dari kata kebebasan dan kemerdekaan.

Kata “kebebasan” dan “kemerdekaan” sesungguhnya dapat digunakan secara

bergantian. Penggunaan dalam kesempatan lain, kata kebebasan dan

kemerdekaan dapat dimaknai hal yang sama. Dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia menyebutkan bahwa kata “kebebasan” sinonim dengan

“kemerdekaan”, yaitu keadaan bebas.2

1
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
2
Jimly Asshiddiqie, Diskriminasi Rasial Dalam Hukum HAM, Genta Publishing,
Yogyakarta, 2013, hlm. 23.

Universitas Bung Karno


Secara etimologis definisi bebas menurut Kamus Umum Bahasa

Indonesia adalah:

a. Benar-benar gratis (tidak putus asa, kesal, dll, dengan tujuan

agar Anda dapat bergerak, berbicara, bertindak, dll tanpa

hambatan)..

b. Terbebas dari komitmen, permintaan, ketakutan, tidak

terkena beban hukuman, dll, tidak terikat atau dibatasi.

c. Otonom (tidak diatur atau dipengaruhi secara tegas oleh

negara yang berbeda).3

Menurut Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kebebasan

Menyampaikan Pendapat di Muka Umum adalah hak yang dijamin oleh

UndangUndang Dasar 1945. Kesempatan ini merupakan hak seluruh insan

Indonesia yang selama ini dikuasai untuk menyampaikan analisis, gagasan,

dan proposisi tanpa hambatan. Kesempatan ini sesuai dengan Pasal 19 dari

Assertion of Common liberties yang mencakup semua yang membaca dengan

teliti:

“Setiap orang memiliki hak istimewa untuk kesempatan penilaian


dan artikulasi tanpa halangan dan untuk mencari, mendapatkan dan
memberikan data dan sentimen melalui metode apapun dan tidak
terlalu memikirkan batas-batas.”4
Freedom of Expression is a fundamental right” yang dapat diartikan

kebebasan berekspresi adalah suatu hak yang fundamental atau mendasar.

3
7 W.J.S. Poerwadirminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,
1984.
4
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat
Di Muka Umum.

Universitas Bung Karno


Everett M. Rogers (1986) sebagaimana dikutip oleh Nasrullah, mencatat

sekitar empat periode kemajuan korespondensi manusia, lebih spesifik: tahap

waktu penulisan, tahap waktu pencetakan, tahap waktu telekomunikasi, dan

waktu korespondensi intuitif. Peluang artikulasi ditetapkan sebagai

kesempatan untuk mencari, menyebarkan, dan mendapatkan data dan

kemudian berbicara tentang apakah akan membantu atau mengutuknya,

melainkan interaksi untuk menghapus penilaian kita yang salah tentang

realitas dan kualitas..5

kebebasan bereskpresi kemudian menjadi sebuah klaim untuk melawan

penguasa yang melarangnya atau pun menghambat pelaksanaanya untuk

mendapatkan kebebasan berekspresi.6 Suatu pemerintahan yang demokratis

mensyaratkan warganya dapat menilai kinerja pemerintahannya. Dalam

memenuhi kebutuhan kontrol dan penilaian itulah warga semestinya memiliki

semua informasi yang diperlukan tentang pemerintahnya. Tidak sebatas itu,

syarat berikutnya warga dapat menyebarluaskan informasi tersebut, dan

kemudian mendiskusikannya antara satu dengan yang lainnya.7

B. Pengertian Makar dan Unsur-unsur Makar

1. Makar

Makar menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah akal busuk, tipu

muslihat, perbuatan (usaha) dengan maksud hendak menyerang (membunuh)

5
Larry Alexander, Is There A Right to Freedom of Expression, (New York: Cambridge
University Press, 2005), hlm. 128.
6
Vincenzo Zeno-Zencovich, Freedom of Expression: A Critical and Comparative
Analysis, (New York: Routledge-Cavendish, 2008), hal. 1.
7
Larry Alexander, Is There A Right to Freedom of Expression, (New York: Cambridge
University Press, 2005), hlm. 136

Universitas Bung Karno


orang dan sebagainya, perbuatan (usaha) menjatuhkan pemerintah yang sah. 8

Makar menurut Adami Chazawi dalam siti faridah berasal dari kata

“aanslag” yang berarti “aanval” yang berarti suatu penyerangan tidak dengan

baik (misdadige aanranding). Sedangkan makar secara harafiah berarti

pemnyerangan atau serangan. Tindak pidana makar adalah kejahatan

berkaitan dengan masalah keamanan terhadap keamanan negara bagian dan

negara. Kejahatan pengkhianatan diatur dalam Buku II Bab I KUHP tentang

kejahatan melanggar keamanan negara. Kejahatan pengkhianatan yang

termasuk dalamBab I Buku II KUHP terdiri dari 3 bentuk, itu adalah:

1. Pengkhianatan yang menyerang bertentangan dengan

kepentingan hukum untuk keselamatan Kepala Negara atau

Wakilnya (104);

2. Pengkhianatan yang menyerang bertentangan dengan

kepentingan hukum untuk keutuhan Wilayah Negara Bagian

(106);

3. Pengkhianatan yang menyerang bertentangan dengan

kepentingan hukum untuk penegakan hukum Pemerintah

Negara Bagian (107).

1. Unsur-unsur Makar

8
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional, Jakarta, 2008, hlm 902.

Universitas Bung Karno


Berdasarkan pasal 87 KUHP dapat disimpulkan bahwa unsur terpenting

makar untuk melakukan suatu perbuatan adalah adanya niat dan permulaan

pelaksanaan.

a. Niat

1) Sengaja dengan maksud (opzet als oogmerk),

2) Sengaja dengan sadar kepastian (opzet metzeker

heidsbewistzijn),

3) Sengaja dengan sadar kemungkinan (voorwardelijk

opzet/ doluseventualis).9

Para ahli yang berpendapat demikian diantaranya adalah Simmons, Van

Hamel, Van Dijck, Van Hattum, Hazewinkle Suringa, jonkers, Mezger,

Langemeyer. Selain daripada itu yang tidak sepakat dengan pendapat diatas

adalah VOS. Dia mengartikan secara sempit bahwa niat adalah sama dengan

kesengajaan dengan maksud (opzet als oogmerk); jadi tidak meliputi

kesengajaan dengan sadar kepastian (opzetmet zekerhaidsbewustzijn/

noodzakelijkeisbewustzijn) dan kesengajaan dengan sadar kemungkinan

(voorwaardelijk opzet atau dolus eventualis).10

b. Permulaan Pelaksanaan

Unsur kedua ini merupakan persoalan pokok dalam

percobaan yang cukup sulit karena baik secara teori maupun

praktek selalu dipersoalkan batas antara perbuatan persiapan


9
Djoko Prakoso, Tindak Pidana Makar Menurut KUHP, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985,
hlm. 59
10
Barda Nawawi Arief, Hukum Pidana II, Semarang: Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro, 1993, hlm 5

Universitas Bung Karno


(voorbereidingshandeling) dan perbuatan pelaksanaan

(uitvoeringshandeling).11

C. Macam-macam Tindak Pidana Makar

Tindak pidana makar terdiri dari beberapa macam bentuk tindak pidana

seperti tindak pidana makar dengan maksud untuk menghilangkan nyawa

Presiden atau Wakil Presiden, tindak pidana makar dengan maksud untuk

membawa seluruh atau sebagian wilayah negara kebawah kekuasaan asing

atau untuk memisahkan sebagian wilayah negara dan tindak pidana makar

dengan maksud merobohkan/ menggulingkan pemerintah.12 Kejahatan yang

masuk kategori makar yang mengancam kepentingan hukum atas keamanan

dan keselamatan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimuat dalam Bab

I Buku II KUHP terdiri dari 3 bentuk.13

1. Pasal 104 yaitu makar yang menyerang terhadap

kepentingan hukum bagi keamanan Kepala Negara atau

wakilnya.

2. Pasal 106 yaitu makar yang menyerang terhadap

kepentingan hukum bagi keutuhan wilayah Negara.

3. Pasal 107 yaitu makar yang menyerang terhadap

kepentingan hukum bagi tegaknya pemerintahan Negara.

1) Makar yang menyerang keamanan Presiden atau Wakilnya

Pasal 104 KUHP merumuskan:


11
Barda Nawawi Arief, Hukum Pidana II, Semarang: Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro, 1993, hlm 7
12
Abdurisfa Adzan Trahjurendra, Jurnal Politik Hukum Pengaturan Tindak Pidana
Makar di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, hlm 3
13
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Keamanan dan Keselamatan Negara, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2002, hlm 11

Universitas Bung Karno


Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas

kemerdekaan atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil

Presiden memerintah, diancam dengan pidana mati atau pidana

penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama

dua puluh tahun.14 Pasal 104 sebagai pasal pertama yang memuat

tindak pidana berupa makar yang dilakukan dengan tujuan akan

menghilangkan nyawa atau kemerdekaan Presiden atau Wakil

Presiden Republik Indonesia, atau dengan tujuan akan menjadikan

mereka tidak dapat menjalankan pemerintah sebagaimana

mestinya.15

2) Makar yang menyerang keamanan dan keutuhan wilayah negara

Terjaminnya keamanan dan keutuhan wilayah negara

merupakan bentuk integritas suatu negara, maka keamanan dan

keutuhan wilayah negara wajib dipertahankan. Kejahatan yang

mengancam atau menyerang keamanan dan keutuhan wilayah

negara merupakan bentuk dari kejahatan makar, kejahatan makar

yang dimaksud adalah kejahatan makar yang dirumuskan pada

Pasal 106 KUHP,16 yang menyatakan:

Makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian

dari wilayah negara, diancam dengan pidana penjara

14
Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta: Bumi Aksara, 2011, hlm
43
15
Wirjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia Cetakan Kedua,
Bandung: Refika Aditama, 2008, h. 196
16
Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta: Bumi Aksara, 2011, hlm
43

Universitas Bung Karno


seumur hidup atau pidana penjara sementara paling

lama dua puluh tahun

Dalam kejahatan makar yang dirumuskan dalam pasal 106

KUHP ini yang menjadi obyek daripada kejahatan adalah keutuhan

wilayah Negara Republik Indonesia yang dapat dilaksanakan

melalui cara;

a. Melakukan perbuatan kejahatan dengan memisahkan

seluruh atau sebagian wilayah dibawah tangan musuh atau

negara asing.

b. Melakukan perbuatan kejahatan dengan memisahkan

sebagian wilayah dari wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia

3) Makar yang menyerang kepentingan hukum tegaknya

pemerintahan negara

Pasal 107 KUHP yang menjelaskan bahwa tindak pidana makar

dengan maksud untuk merobohkan pemerintah yang dirumuskan

pada Pasal 107 KUHP yang menyatakan:

1. Makar dengan maksud untuk menggulingkan

pemerintah, diancam dengan pidana penjara paling

lama lima belas tahun.

2. Para pemimpin dan pengatur makar tersebut dalam ayat

1, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau

pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.

Universitas Bung Karno


Rumusan dari Pasal 107 KUHP adalah bahwa makar dengan maksud

menggulingkan pemerintahan (meniadakan atau mengganti bentuk

pemerintahan) tidaklah harus dilakukan dengan kekerasan (bersenjata),

namun cukup dengan segala perbuatan yang tidak sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan pada ayat 2 (dua) Pasal 107

KUHP menentukan pidana yang lebih berat bagi pimpinan atau orang yang

mengatur makar tersebut.

D. Pembuktian Tindak Pidana Makar

Menurut Pasal 183 KUHAP yang menyatakan bahwa: “Hakim tidak boleh

menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali bila dengan sekurang-

kurangnnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu

tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa yang bersalah

melakukannya” sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah diperoleh

berdasarkan pemeriksaan di sidang pengadilan, sedang pemeriksaan di

persidangan di dasarkan atas surat dakwaan yang dirumuskan Penuntut Umum

yang di limpahkan ke pengadilan. Hal tersebut di atas berdasarkan Pasal 143

ayat (1) KUHAP yaitu: “Penuntut umum melimpahkan perkara ke Pengadilan

Negeri dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai

dengan surat dakwaan.

Dalam Pasal 184 KUHAP mengatur mengenai alat bukti yang sah, yaitu17 :

1. Keterangan saksi

17
Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 1992.
hal.23-24

Universitas Bung Karno


2. Keterangan ahli

3. Surat

4. Petunjuk

5. Keterangan terdakwa

Penjelasan mengenai alat bukti yang sah tersebut adalah sebagai berikut:

1. Keterangan saksi

Menjadi saksi adalah kewajiban semua orang, kecuali dikecualikan oleh

Undangundang. Menghindari sebagai saksi dapat dikenakan pidana

(Penjelasan Pasal 159 Ayat (2) KUHAP). Semua orang dapat menjadi saksi.

Kekecualian menjadi saksi tercantum dalam pasal 168 KUHAP yaitu:

a. Keluarga beradah atau semenda dalam garis lurus ke atas atas ke

bawah sampai derajat ketiga dari atau yang sama-sama sebagai

terdakwa.

b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa,

saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka mempunyai hubungan

karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat

ketiga.

c. Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang

bersama sebagai terdakwa.

2. Keterangan ahli

Keterangan Ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang

memiliki keahlian khusus tentang suatu hal yang diperlukan untuk

Universitas Bung Karno


memperjelas perkara pidana guna kepentingan pemerksaan. Keterangan ahli

dapat berupa keterangan lisan dan dapat juga berupa surat.

3. Surat

Surat adalah pembawa tanda tangan bacaan yang berarti, yang

menerjemahkan suatu isi pikiran. Menurut Pasal 187 KUHAP yang termasuk

adalah:

a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh

pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang

memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar,

dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas

dan tegas tentang keterangannya itu.

b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan

atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam

tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan

bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan.

c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan

keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta

secara resmi dari padanya.

d. Surat lain yang dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari

alat pembuktian yang lain.

4. Petunjuk

Universitas Bung Karno


Pasal 188 KUHAP menyatakan bahwa petunjuk adalah perbuatan,

kejadian atau keadaan yang diduga memiliki kaitan, baik antara yang satu

dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, yang menandakan

telah terjadi suatu tindakan pidana dan siapa pelakunya. Petunjuk hanya dapat

diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Oleh karena

itu, petunjuk juga merupakan alat bukti tidak langsung. Penilaian terhadap

kekuatan pembuktian sebuah petunjuk dari keadaan tertentu, dapat di lakukan

oleh hakim secara arif dan bijaksana, setelah melewati pemeriksaan yang

cermat dan saksama berdasarkan hati nuraninya. Petunjuk adalah perbuatan

atau kejadian, yang karena persesuaiannya baik antara yang satu dengan yang

lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah

terjadi tindak pidana dan siapa pelakunya. Menurut Pasal 188 Ayat (2),

petunjuk hanya diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan

terdakwa.

Berdasarkan penjelasan pada Pasal 184 KUHAP diketahui bahwa KUHAP

hanya mengatur tentang 5 (lima) alat bukti yang sah, dan diluar dari alat-alat

bukti tersebut tidak dibenarkan untuk dipergunakan sebagai alat bukti dalam

membuktikan kesalahan pelaku tindak pidana, namun untuk memberikan

kepastian hukum dan perlindungan hukum yang berkenan dengan alat bukti

teknologi informasi, khususnya yang terkait dengan penggunaan alat

penditeksi kebohongan (lie detector) sebagai alat bukti petunjuk, hakim dapat

melakukan suatu penafsiran ekstentif yang merupakan pemikiran secara

meluas dari peraturan perundang-undangan yang berlaku positif dalam hal ini,

Universitas Bung Karno


alat bukti petunjuk di perluas, sehingga alat penditeksi kebohongan (lie

detector) dapat dijadikan alat bukti yang sah pada proses peradilan pidana.

Penafsiran ekstensif yang dilakukan hakim tidak hanya sebatas pada

peraturan-peraturan yang ada di dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara

Pidana melainkan dapat mengacu kepada Undang-Undang Nomor 11 Tahun

2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang merupakan dasar

hukum dalam penggunaan sistem ektronik Undang-Undang Nomor 11 tahun

2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ini lebih memberikan

kepastian hukum karena ruang lingkup berlakunya lebih luas, selain itu

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik juga mengakui hasil penggunaan sistem elektronik, khususnya

mengenai hasil tes pengujian alat penditeksi kebohongan (lie detector) sebagai

alat bukti yang sah, yaitu alat bukti petunjuk. Berdasarkan penjelasan Pasal

177 Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP),

bukti elektronik merupakan informasi yang diucapkan, dikirm, diterima, atau,

disimpan secara elektornik dengan alat optik atau serupa dengan itu, termasuk

setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau

didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana baik

yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas maupun yang

terekam secara elektronik yang berupa tulisan, gambar, peta, rancangan, foto,

huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.18

18
http://www.academia.edu/7228559/
analisa_perluasan_alat_bukti_denganpengaturan_hukum_aca ra_di_luar_kuhap. Diakses
Minggu 19 April 2020

Universitas Bung Karno


5. Keterangan terdakwa

Menurut Pasal 194 KUHAP, yang dimaksud keterangan terdakwa itu

adalah apa yang telah dinyatakan terdakwa di muka sidang, tentang perbuatan

yang dilakukannya atau yang diketahui dan alami sendiri. Pengertian

keterangan terdakwa memiliki aspek yang lebih luas dari pengakuan, karena

tidak selalu berisi pengakuan dari terdakwa. Keterangan terdakwa bersifat

bebas (tidak dalam tekanan) dan ia memiliki hak untuk tidak menjawab.

Kekuatan alat bukti keterangan terdakwa, tegantung pada alat bukti lainnya

dan hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. Keterangan terdakwa

ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan

sendiri atau ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri.19

Defenisi hukum pembuktian adalah merupakan sebagian dari hukum acara

pidana yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum,

sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan

alat bukti tersebut serta kewenangan Hakim untuk menerima, menolak, dan

menilai suatu pembuktian20. Dimana sumber-sumber hukum pembuktian

dalam hal ini adalah: undang-undang, doktrin atau ajaran, dan juga

yurisprudensi. Dan yang di maksud dengan alat bukti adalah segala sesuatu

yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti

tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan

19
Leden Marpaung, Op cit. hal.25
20
Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum pembuktian dalam Perkara Pidana, Mandar
Maju, Bandung, 2003,hal, 10.

Universitas Bung Karno


keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah

dilakukan terdakwa.21

21
Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum pembuktian dalam Perkara Pidana, Mandar
Maju, Bandung, 2003,hal, 10.

Universitas Bung Karno

Anda mungkin juga menyukai