Anda di halaman 1dari 4

Sejarah

Pertama kali pendidikan luar biasa dikenalkan oleh Jean March – Gaspard Itard pada tahun
1775 hingga 1838. Penelitian pendidikan luar biasa dilakukan lagi oleh Edouard Segun pada
tahun 1812 sampai 1880. Edouard lebih maju, karena dirinya berhasil mengembangkan
program pembelajaran yang menggunakan aktifitas sensoris dan motoris untuk belajar.
Edouard meyakinkan bahwa semua anak dapat belajar, sekalipun anak berkebutuhan
khusus. Edoard kemudian berhasil mendirikan Amerikan Association on Mental
Retardation. 
Di Indonesia sendiri pendidikan luar biasa pertamakali dibuka untuk anak tunanetra (tahun
1901), yang kedua yaitu lembaga pendidikan anak tunagrahita (tahun 1927), dan terakhir
yaitu lembaga pendidikan anak tunarungu (tahum 1930). Ketiga lembaga sekolah tersebut
didirikan di Bandung. 
Kemudian landasan pertama tentang pendidikan luar biasa di Indonesia tertuang dalam
UUD 1945 pasal 6 ayat 2 yang isinya berbunyi “pendidikan serta pengajaran luar biasa wajib
diberikan kepada mereka yang berkebutuhan khusus. Berlakunya undang-undang tersebut
membuat munculnya berbagai jenis SLB baru yakni:
1. SLB-A untuk Tuna netra
2. SLB-B bagi tuna rungu-wicara
3. SLB-C untuk tuna grahita
4. SLB-D untuk tuna daksa
5. SLB-E untuk tuna laras
6. SLB-G untuk tuna ganda

Kemudian di Inggris dalam Ed.Act. 1991 mulai dikenalkan adanya konsep pendidikan inklusif
dengan ditandai adanya pergeseran model pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus.
Konsep ini mengutamakan pada integrasi antara peserta didik biasa dengan peserta didik
yang memiliki kebutuhan khusus. Kemudian pada konvensi dunia tentang hak anak pada
tahun 1989 dan konferensi dunia tentang pendidikan tahun 1991 di Bangkok yang
menghasilkan   deklarasi ’education for all’ juga mendukung konsep inklusif agar semua
anak tanpa kecuali (termasuk anak berkebutuhan khusus) mendapatkan layanan pendidikan
secara memadai.
Di Indonesia sendiri konsep pendidikan luar biasa dan pendidikan inklusif mulai dikuatkan
kembali dengan lahirnya Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003. Yang di dalamnya
termaktub hak-hak penyandang disabilitas, yakni dalam Bab IV Pasal 5 ayat 1 dan 2 yang
berbunyi;
1) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama dalam memperoleh pendidikan yang
bermutu.
2) Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau
sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.

Juga dikuatkan melalui surat edaran (Kemendiknas, 2010: 6) Dirjen Dikdasmen Depdiknas
No. 380/C.C6/MN/2003 20 Januari 2003: ”setiap kabupaten/ kota diwajibkan
menyelenggarakan dan mengembangkan pendidikan inklusif di sekurang-kurangnya 4
(empat) sekolah yang terdiri dari: SD, SMP, SMA, SMK”.

Semua anak memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh manfaat yang
maksimal dari pendidikan. Hak dan kesempatan itu tidak dibedakan oleh keragaman
karakteristik individu secara fisik, mental, sosial, emosional, dan bahkan status sosial
ekonomi. Pada titik ini tampak bahwa konsep pendidikan inklusif sejalan dengan filosofi
pendidikan nasional Indonesia yang tidak membatasi akses peserta didik kependidikan
hanya karena perbedaan kondisi awal dan latarbelakangnya. Inklusifpun bukan hanya bagi
mereka yang berkelainan atau luar biasa melainkan berlaku untuk semua anak.

Permasalahan

Kepedulian terhadap pendidikan anak berkebutuhan khusus telah banyak dipedulikan oleh
pemerintah dengan berbagai aturan-aturan yang memberikan kemudahan bagi penyandang
kebutuhan khusus. Akan tetapi dalam pelaksanaannya di lapangan masih ditemukan
beberapa kesenjangan permasalahan yang masih luput dari perhatian. Berikut beberapa
permalasahan-permasalan terkait pelaksanaan pendidikan inklusi di masyarakat:

1) Pemahaman dan sikap yang belum merata dikalangan masyarakat tentang


pendidikan inklusif.
2)keterbatasan pengetahuan dan ketrampilan guru dalam memberikan layanan
pendidikan kepada anak berkebutuhan khusus

3)sarana dan lingkungan sekolah yang belum sepenuhnya aksesibel bagi anak
berkebutuhan khusus.

4) belum maksimalnya komitmen pemerintah daerah terhadap pelaksanaan pendidikan


inklusif

5) Kesenjangan ekonomi keluarga disabilitas

Kondisi ekonomi juga mempengaruhi karena terkait pembiayaan yang tak sedikit untuk
mengikuti sekolah inklusi / SLB yang memiliki SDM penanganan anak berkebutuhan
khusus yang memadai dan professional. Beberapa orangtua yang karena tidak mampu
mengirim anaknya untuk ke sekolah umum maupun khusus terpaksa mentelantarkan
anaknya semena-mena.

Kejadian tersebut juga diialami langsung oleh Ibu Eko selaku pemilik SLB Anugerah
Colomadu. Beliau telah mengadopsi dengan sepihak sekitar 25 anak yang mengalami
keterbelakangan mental karena mereka sudah ditinggalkan oleh keluarga kandungnya.
Menurut Bu Eko, biaya yang ditetapkan untuk orangtua yang mengirim anaknya ke SLB
Anugerah adalah seikhlasnya dan tidak wajib berpatok pada nominal tertentu. Beliau
juga

6) Masih banyak perguruan tinggi belum berperan aktif dalam implementasi pendidikan
inklusif

7) Terbatasnya jumlah guru pembimbing khusus mengunjungi sekolah inklusif,

5) SDM yang ada di sekolah (reguler) inklusif sebagian besar masih mengalami
kesulitan dalam melakukan modifikasi kurikulum, maupun assesment akademik dan non
akademik ABK,

8) Anggapan masyarakat berpendapat bahwa anak cacat sebaiknya bersekolah di


sekolah khusus, sedangkan sebagian berpendapat bahwa anak cacat sebaiknya masuk
di sekolah reguler untuk perkembangan sosialnya.

Anda mungkin juga menyukai