Sumber:
Delphie, Bandi. 2006. Pembelajaran Anak Tunagrahita. Bandung: Refika Aditama.
Dukes, Chris dan Maggie Smith. 2009. Cara Menangani Anak Berkebutuhan Khusus-Panduan
Guru dan Orang Tua. Jakarta: Indeks.
Johnsen, H Berit. 2003. Pendidikan Kebutuhan Khusus. Bandung: Unipub.
Sopandi, Asep Ahmad. 2011. Bahan Ajar Ortopedagogik Umum. Padang
PENDIDIKAN SEGREGASI
1. Hakikat Pendidikan segregasi
Sistem pendidikan segregasi adalah sistem pendidikan dimana anak berkebutuhan khusus
terpisah dari sistem pendidikan anak pada umumnya. Penyelengggaraan sistem pendidikan
segregasif dilaksanakan secara khusus dan terpisah dari penyelenggaraan pendidikan untuk
anak pada umumnya.
Pendidikan segregasi adalah sekolah yang memisahkan anak berkebutuhan khusus dari
sistem persekolahan reguler. Di Indonesia bentuk sekolah segregasi ini berupa satuan
pendidikan khusus atau Sekolah Luar Biasa sesuai dengan jenis kelainan peserta didik.
Seperti SLB/A (untuk anak tunanetra), SLB/B (untuk anak tunarungu), SLB/C (untuk anak
tunagrahita), SLB/D (untuk anak tunadaksa), SLB/E (untuk anak tunalaras), dan lain-lain.
Satuan pendidikan khusus (SLB) terdiri atas jenjang TKLB, SDLB, SMPLB dan SMALB. Sebagai
satuan pendidikan khusus, maka sistem pendidikan yang digunakan terpisah sama sekali
dari sistem pendidikan di sekolah reguler, baik kurikulum, tenaga pendidik dan
kependidikan, sarana prasarana, sampai pada sistem pembelajaran dan evaluasinya.
Kelemahan dari sekolah segregasi ini antara lain aspek perkembangan emosi dan sosial anak
kurang luas karena lingkungan pergaulan yang terbatas.
2 Fasilitas dan sarana Pendidikan Segregasi
• Tersedia alat-alat bantu belajar yang dirancang khusus untuk siswa. Sebagai contoh
tunanetra, seperti buku-buku Braille, alat bantu hitung taktual, peta timbul, dll.
• Jumlah siswa dalam satu kelas tidak lebih dari delapan orang sehingga guru dapat
memberikan layanan individual kepada semua siswa.
• Lingkungan sosial ramah karena sebagian besar memiliki pemahaman yang tepat
mengenai disability anak.
• Lingkungan fisik aksesibel karena pada umumnya dirancang dengan
mempertimbangkan masalah mobilitas disability, dan kami mendapat latihan
keterampilan orientasi dan mobilitas, baik dari instruktur O&M maupun tutor
sesama disability.
• Dapat menemukan orang disability yang sudah berhasil yang dapat dijadikan sebagai
3 Bentuk-bentuk sistem Pendidikan Segregasi:
• Sekolah Luar Biasa
• Sekolah Dasar Luar Biasa
• Kelas Jauh/Kelas Kunjung
• Sekolah Berasrama
• Hospital School
http://www.idp-europe.org/eenet-asia/eenet-asia-1-ID/page4.php
Santrock, John W. (2004). Psikologi Pendidikan Edisi Kedua. Kencana:Jakarta
PENDIDIKAN INKLUSI
Sekolah Inklusi adalah sekolah reguler yang mengkoordinasi dan mengintegrasikan siswa
reguler dan siswa berkebutuhan khusus dalam program yang sama, dari satu jalan untuk
menyiapkan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus adalah pentingnya pendidikan
Inklusif, tidak hanya memenuhi target pendidikan untuk semua dan pendidikan dasar 9
tahun, akan tetapi lebih banyak keuntungannya tidak hanya memenuhi hak-hak asasi
manusia dan hak-hak anak tetapi lebih penting lagi bagi kesejahteraan anak, karena
pendidikan Inklusi mulai dengan merealisasikan perubahan keyakinan masyarakat yang
terkandung di mana akan menjadi bagian dari keseluruhan, dengan demikian anak
berkebutuhan khusus akan merasa tenang, percaya diri, merasa dihargai, dilindungi,
disayangi, bahagia dan bertanggung jawab. Inklusi terjadi pada semua lingkungan sosial
anak, pada keluarga, pada kelompok teman sebaya, pada sekolah, dan pada institusi-
institusi kemasyarakatan lainnya.
Pendidikan inklusi merupakan sebuah pendekatan yang berusaha mentransformasi sistem
pendidikan dengan meniadakan hambatan-hambatan yang dapat menghalangi setiap siswa
untuk berpartisipasi penuh daam pendidikan. Inklusi merupakan perubahan praktis yang
memberi peluang anak dengan latar belakang dan kemampuan yang berbeda bisa berhasil
dalam belajar. Perubahan ini tidak hanya menguntungkan anak yang sering tersisihkan,
seperti anak berkebutuhan khusus, tetapi semua anak dan orangtuanya, semua guru dan
administrator sekolah, dan setiap anggota masyarakat.
Inklusi memang mengikut sertakan anak berkebutuhan khusus. Namun, secara luas inklusif
juga berarti melibatkan seluruh peserta didik tanpa terkecuali, seperti:
1. Anak yang menggunakan bahasa yang berbeda dengan bahasa pengantar yang
digunakan di dalam kelas.
2. Anak yang beresiko putus sekolah karena sakit, kelaparan atau tidak berprestasi
dengan baik.
3. Anak yang berasal dari golongan agama atau kasta yang berbeda.
4. Anak yang terinfeksi HIV atau AIDS, dan
5. Anak yang berusia sekolah tetapi tidak sekolah.
Prinsip-prinsip dasar pendidikan inklusi, yang membedakan dengan sistem integrasi, apalagi
segregasi adalah:
1. Semua anak, siapapun dia, memiliki hak untuk menempuh pendidikan di sekolah
mana pun, dan sekolah wajib menerima murid, siapapun dia.
2. Setiap anak/murid adalah individu yang unik, olehkarenanya, sistem pendidikan
harus dibuat fleksibel, memberikan kemungkinan pada guru untuk melakukan
penyesuaian, guna mengakomodasikan kebutuhan khusus setiap siswa.
3. Sistem pendidikan dalam suatu negara harus dibuat satu sistem, dan sistem
pendidikan untuk anak-anak yang menyandang kecacatan merupakan bagian
integral dari sistem pendidikan umum tersebut; bukan terpisah atau khusus.
Apakah Anda berpendapat bahwa layanan dan perlakuan masyarakat dan negara terhadap
ABK lebih baik dari pada masa yang lalu?
Jawab :
Ya.
Sejarah menunjukkan pula bahwa selama berabad-abad di semua negara di dunia, individu
yang berbeda dari kebanyakan individu lainya selalu ditolak kehadirannya oleh masayrakat.
Hal ini disebabkan oleh adanya anggapan bahwa anggota kelompok yang terlalu lemah
(ABK) tidak mungkin dapat berkontribusi terhadap kelompoknya. Mereka yang berbeda
karena menyandang kecacatan, disingkirkan, tidak memperoleh sentuhan kasih sayang dan
kontak sosial yang bermakna. Keberadaan penyandang cacat tidak diakui oleh
masyarakatnya.
Ketidaktahuan orang tua dan masyarakat pada masa lalu, mengenai hakekat dan penyebab
kecacatan dapat menimbulkan rasa takut, sehingga berkembang macam-macam
kepercayaan dan tahayul, misalnya seorang ibu yang melahirkan anak penyandang cacat
merupakan hukuman baginya atas dosa-dosa nenek moyangnya. Oleh sebab itu di masa
lampau anak-anak penyandang cacat sering disembunyikan oleh orang tuanya, sebab
memiliki anak penyandang cacat merupakan aib keluarga.
Jawab :
CRPD : (Convention on the Right of Person with Disability) adalah konvensi mengenai hak
penyandang disabilitas. CRPD diadopsi oleh PBB pada general assembly pada tanggal 13
Desember 2006 dan mendapatkan status legal penuh pada bulan Mei 2008.
Negara-negara yang telah meratifikasi konvensi PBB harus memastikan bahwa konvensi
tersebut dilaksanakan. Negara-negara yang telah menandatangani konvensi tersebut harus
melaporkan setiap 4 tahun mengenai hak-hak penyandang disabilitas.
Bagaimana mengenai CRPD di Indonesia?
Di Indonesia sendiri,setelah berjuang sekian lama untuk memperoleh payung hukum
terhadap perlindungan hak Penyandang Disabilitas akhirnya pada18 Oktober 2011 Sidang
Paripurna DPR yang dihadiri seluruh fraksi dan Komisi VIII sepakat mengesahkan Convention
on the Right of Persons with Disabilities menjadi undang-undang.
UU Ratifikasi CRPD (UU No.19 Tahun 2011) : Indonesia merupakan salah satu negara yang ikut
menandatangani CRPD, tepatnya pada tahun 2007. Namun baru diratifikasi dan diatur
dalam peraturan nasional pada tahun 2011, yaitu melalui pengesahan Undang-undang No.
19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas
(Convention on the Rights of Persons with Disabilities). Banyak faktor yang mengakibatkan
terhambatnya ratifikasi tersebut, salah satunya adalah lemahnya political will dari para
pembentuk UU yang tidak meletakan isu disabilitas sebagai prioritas.
Momentum Perubahan
Diundangkannya UU 19/2011 berdampak kepada munculnya desakan masyarakat di
berbagai daerah kepada Pemerintah atau pemerintah daerah untuk segera
mengimplementasikan UU ratifikasi CRPD tersebut. Secara nasional, desakan banyak
diarahkan untuk segera membentuk UU baru menggantikan Undang-undang No. 4 tahun
1997 tentang Penyandang Cacat. Perubahan itu sangat mendesak untuk dilakukan,
terutama dari sisi filosofis, sosiologis, yuridis, maupun politis.
UU No.8 Tahun 2016 : Profil mendasar UU No. 8 Tahun 2016 diantaranya pada istilah yang
digunakan, dari kata ‘penyandang cacat’ diganti ‘penyandang disabilitas’. Terdiri dari 13 Bab
dan 153 pasal, serta mengatur 25 sektor. Selain itu, Kementerian Sosial bukan lagi sebagai
leading sector, tetapi hanya sebagai koordinator dengan leading sektor tersebar di
kementerian/lembaga tergantung wilayah kerja masing-masing. Tidak kalah penting,
undang-undang ini mengisyaratkan perubahan cara pandang atas dasar kasihan (charity
based) menjadi atas dasar hak asasi (right based) terhadap penyandang disabilitas.