Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Berdasarkan UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana,
menyebutkan definisi bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang
disebabkan baik oleh faktor alam dan/atau faktor non-alam maupun faktor
manusia, sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Definisi tersebut
mengacu pada semua bencana, baik bencana alam, non-alam, maupun bencana
sosial. Pariwisata adalah sebuah industri yang sangat bergantung pada
keunikan alam dan budaya. Daya tarik utama sebuah destinasi wisata adalah
bentangan alam dan kekayaan budaya suatu daerah yang berbeda dari daerah
lainnya. Sehingga jika terjadi kerusakan ataupun degradasi pada sebuah
destinasi, baik akibat krisis maupun bencana, maka akan sangat berpengaruh
terhadap kelangsungan industrinya. Dapat dikatakan pula bahwa industri
pariwisata sangat rentan terhadap bencana dan krisis. Berbicara tentang
pariwisata dan bencana, berarti mengupas keduanya dari dua sisi yang
berbeda. Bencana bisa berpengaruh positif maupun negatif terhadap
pariwisata. Pengaruh negatif muncul karena adanya kerusakan dan penurunan
jumlah pengunjung, sementara pengaruh positif justru timbul saat bencana itu
sendiri dijadikan sebagai komoditi pariwisata. Ada beberapa fakta di lapangan
yang menunjukan hal unik terkait pariwisata dan bencana. Secara konseptual
bencana akan mempengaruhi permintaan industri pariwisata. Pada beberapa
kejadian, justru menunjukan sebaliknya.

1
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian bencana pariwisata?
2. Apa sajakah kebijakan penanggulangan bencana pariwisata?
3. Apa sajakah dampak bencana pada sektor pariwisata?
4. Mengapa diperlukan manajemen risiko bencana pada sektor pariwisata?
5. Bagaimanakah proses manajemen risiko bencana pariwisata?
6. Apa sajakah tahap sertifikasi kesiapsiagaan bencana dalam industri
pariwisata?

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui pengertian bencana pariwisata
2. Untuk mengetahui kebijakan penanggulangan bencana pariwisata
3. Untuk mengetahui dampak bencana di sektor pariwisata
4. Untuk mengetahui alasan diperlukannya manajemen risiko bencana pada
sektor pariwisata
5. Untuk mengetahui proses manajemen risiko bencana pariwisata
6. Untuk mengetahui tahap sertifikasi kesiapsiagaan bencana dalam industri
pariwisata

D. MANFAAT
Manfaat yang akan di dapat setalah mengetahui tentang kebijakan
pemerintah mengenai kesiapsiagaan bencana destinasi pariwisata adalah
mahasiswa dapat menerapkan pengetahuan tentang kebijakan-kebijakan
pemerintah dalam kesiapsiagaan bencana untuk melakukan tindakan
kesiapsigaan bencana di daerah destinasi pariwisata.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN BENCANA
Menurut UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, bencana
adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor
alam dan/ atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Menurut International Strategy for Disaster Reduction (ISDR), bencana
adalah suatu gangguan serius terhadap keberfungsian suatu masyarakat,
sehingga menyebabkan kerugian yang meluas pada kehidupan manusia dari
segi materi, ekonomi atau lingkungan dan melampaui kemampuan masyarakat
yang bersangkutan untuk mengatasi dengan menggunakan sumber daya
mereka sendiri.
Sistem nasional penanggulangan di Indonesia dibuat menuju upaya
penanggulangan bencana secara tepat. Pada Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 8 Tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan
Bencana, bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 17 UU Nomor 24
Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, dipandang perlu menetapkan
Peraturan Presiden tentang Badan Nasional. Penanggulangan Bencana BNPB
mempunyai tugas:
1. Memberikan pedoman dan pengarahan terhadap usaha penanggulangan
bencana yang mencakup pencegahan bencana,m penanganan tanggap
darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi secara adil dan setara;
2. Menetapkan standardisasi dan kebutuhan penyelenggaraan
penanggulangan bencana berdasarkan peraturan perundangundangan;
3. Menyampaikan informasi kegiatan penanggulangan bencana kepada
masyarakat;

3
4. Melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana kepada Presiden
setiap sebulan sekali dalam kondisi normal dan setiap saat dalam kondisi
darurat bencana;
5. Menggunakan dan mempertanggungjawabkan sumbangan/bantuan
nasional dan internasional;
6. Mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
7. Melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan peraturan
perundangundangan;dan
8. Menyusun pedoman pembentukan Badan Penanggulangan Bencana
Daerah.

Secara umum, Dasar Hukum penanggulangan bencana di Indonesia, yaitu:


1. UUD 1945 RI Pasal 4 Ayat 1
2. UU No. 24 Th. 2007 Tentang Penanggulangan Bencana
3. PP No. 38 Th. 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
4. PP No. 21 Th. 2008 Tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana
5. PP No. 32 Th. 2008 Tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan
Bencana.
6. Pepres No. 8 Th. 2008 Tentang BNPB

(Yultekni, 2012)

B. KEBIJAKAN PENANGGULANGAN BENCANA PARIWISATA


1. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1988 tentang Koordinasi Kegiatan
Instansi Vertikal di Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1988 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3373);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2006 tentang Search and Rescue
(SAR)
3. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2006 tentang Pedoman
Umum Mitigasi Bencana;

4
4. Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No.
PM.106/PW.006/MPK/2011.
5. Lampiran Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik
Indonesia Nomor : PM.106/PW.006/MPEK/2011 Tentang Sistem
Manajemen Pengamanan Hotel pada Elemen Sembilan tentang
Penanganan Keadaan Darurat berisi :
a. Usaha hotel wajib memiliki prosedur penanganan keadaan
darurat untuk menghadapi keadaan darurat dan diuji secara
berkala untuk dilakukan pada saat kejadian yang sebenarnya.
Pengujian prosedur penanganan keadaan darurat tersebut secara
berkala dilakukan oleh pekerja hotel yang memiliki kompetensi.
Untuk kegiatan pengujian prosedur penanganan keadaan darurat
seperti pada instalasi atau peralatan yang mempunyai potensi
ancaman besar, contohnya uji coba memadamkan kebakaran
dan mengatasi ancaman bom di hotel dikoordinasikan dengan
instansi terkait yang berwenang
b. Usaha hotel wajib menetapkan, menerapkan dan memelihara suatu
prosedur penanganan keadaan darurat untuk:
1) mengidentifikasi potensi terjadinya keadaan darurat;
2) menangani situasi darurat; dan
3) petunjuk pelaksanaan untuk tim manajemen krisis (crisis
management team).
c. Dalam perencanaan penanganan keadaan darurat, usaha hotel wajib
memasukkan tanggung jawab kepada pihak-pihak terkait.
d. Usaha hotel wajib mengantisipasi situasi darurat, mencegah dan
menurunkan dampak terhadap status keamanan.
e. Usaha hotel wajib menguji secara berkala prosedur penanganan
keadaan darurat agar tetap terlatih dengan melibatkan pihak-pihak
terkait.
6. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1988 tentang Koordinasi Kegiatan
Instansi Vertikal di Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

5
1988 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3373);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2006 tentang Search and Rescue
(SAR)
8. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2006 tentang Pedoman
Umum Mitigasi Bencana;
9. Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No.
PM.106/PW.006/MPK/2011.
10. Lampiran Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik
Indonesia Nomor: PM.106/PW.006/MPEK/2011 Tentang Sistem
Manajemen Pengamanan Hotel pada Elemen Sembilan tentang
Penanganan Keadaan Darurat.

C. DAMPAK BENCANA PADA SEKTOR PARIWISATA


Dampak pada situs pariwisata akibat bencana yaitu:
1. Kerusakan atau musnahnya bangunan monumental yang sangat berharga
sebagai sumber dan bukti sejarah.
2. Orang-orang yang menjadi korban banyak kehilangan harta benda
bahkan nyawa.
3. Trauma tersendiri bagi korban ataupun wisatawan. Mereka cenderung
mengesampingkan kebutuhan untuk pariwisata.

Upaya yang dapat dilakukan pemerintah untuk menaikkan kembali citra


Indonesia dimata dunia sebagai Negara yang aman dengan keindahan alam
yang menakjubkan dapat dilakukan dengan cara:
1. Meningkatkan promosi dan layanan objek wisata. Contohnya membuat
iklan yang ditayangkan di media elektronik dan media cetak.
2. Mengundang wartawan asing untuk meliput kawasan wisata.
3. Manambah perwakilan biro perjalanan diluar negeri dengan promo-
promo yang menarik.

6
4. Mempermudah akses  ke daerah tujuan wisata, misalnya memperbaiki
jalan dan membuka penerbangan tersendiri khusus menuju daerah tujuan
wisata.

D. ALASAN PERLUNYA MANAJEMEN RISIKO BENCANA PADA


SEKTOR PARIWISATA
1. Industri pariwisata melibatkan banyak orang, baik itu pekerja, penduduk
lokal, maupun wisatawan yang sama-sama terancam ketika sebuah
destinasi terkena bencana.
2. Perilaku wisatawan di sebuah destinasi tidak dapat diprediksi, sehingga
sulit untuk mengontrol terjadinya bencana. Hal ini menciptakan
kebutuhan yang kuat untuk mendapatkan informasi yang dapat diakses
dengan mudah di daerah terpencil dan di seluruh daerah tujuan secara
keseluruhan.
3. Dalam banyak kasus, wisatawan tidak berbicara bahasa lokal dan tidak
dapat dengan mudah menemukan petunjuk tentang bagaimana
berperilaku dalam penanganan bencana.
4. Banyak destinasi wisata yang berada di daerah keindahan alam, seperti
garis pantai, gunung, sungai, dan danau di mana ada risiko dan bahaya
yang lebih besar untuk terkena dan terdampak bencana alam.
5. Wisatawan memiliki sedikit pengetahuan tentang tempat yang mereka
kunjungi, bahkan kurang begitu tahu tentang bagaimana untuk bereaksi,
ke mana harus pergi, siapa yang harus diajak bicara, dan bagaimana
prosedur darurat ketika berada pada sebuah destinasi yang mengalami
bencana.
6. Industri pariwisata adalah industri multi sektor yang saling berkaitan,
sehingga tidak mudah merespon bencana. Ini juga menekankan perlunya
suatu sistem informasi di seluruh industri yang tersedia untuk semua
jenis perusahaan yang dapat digunakan dalam menghadapi bencana.

7
E. PROSES MANAJEMEN RISIKO BENCANA PARIWISATA
Tahapan Proses Manajemen Risiko di Sektor Pariwisata
1. Pencegahan (Prevention)
Pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan sebagai
upaya untuk menghilangkan dan/atau mengurangi ancaman bencana.
a. Pembuatan dan penempatan tanda-tanda peringatan, bahaya, larangan
memasuki daerah rawan bencana di kawasan pariwisata.
b. Pengawasan terhadap pelaksanaan berbagai peraturan tentang penataan
ruang, ijin mendirikan bangunan (IMB), dan peraturan lain yang
berkaitan dengan pencegahan bencana.
c. Pelatihan dasar kebencanaan bagi aparat dan masyarakat terutama pada
pekerja di kawasan pariwisata.
d. Pemindahan wisatawan serta penduduk dari daerah yang rawan
bencana ke daerah yang lebih aman.
e. Penyuluhan dan peningkatan kewaspadaan masyarakat di sekitar
kawasan wisata.
f. Perencanaan daerah penampungan sementara dan jalur-jalur evakuasi
jika terjadi bencana.
g. Pembuatan bangunan di kawasan pariwisata yang terstruktur yang
berfungsi untuk mencegah, mengamankan dan mengurangi dampak
yang ditimbulkan oleh bencana, seperti: tanggul, dam, penahan erosi
pantai, bangunan tahan gempa dan sejenisnya.

2. Mitigasi (Mitigation)
Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik
melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan
kemampuan menghadapi ancaman bencana.
a. Mitigasi Bencana yang Efektif
Mitigasi bencana yang efektif harus memiliki tiga unsur utama, yaitu
penilaian bahaya, peringatan dan persiapan.
1) Penilaian bahaya (hazard assestment); diperlukan untuk
mengidentifikasi populasi dan asset yang terancam, serta tingkat

8
ancaman. Penilaian ini memerlukan pengetahuan tentang
karakteristik sumber bencana, probabilitas kejadian bencana, serta
data kejadian bencana di masa lalu. Tahapan ini menghasilkan Peta
Potensi Bencana yang sangat penting untuk merancang kedua
unsur mitigasi lainnya;
2) Peringatan (warning); diperlukan untuk memberi peringatan
kepada masyarakat tentang bencana yang akan mengancam (seperti
bahaya tsunami yang diakibatkan oleh gempa bumi, aliran lahar
akibat letusan gunung berapi, dsb). Sistem peringatan didasarkan
pada data bencana yang terjadi sebagai peringatan dini serta
menggunakan berbagai saluran komunikasi untuk memberikan
pesan kepada pihak yang berwenang maupun masyarakat.
Peringatan terhadap bencana yang akan mengancam harus dapat
dilakukan secara cepat, tepat dan dipercaya.
3) Persiapan (preparedness); kegiatan kategori ini tergantung kepada
unsur mitigasi sebelumnya (penilaian bahaya dan peringatan), yang
membutuhkan pengetahuan tentang daerah yang kemungkinan
terkena bencana dan pengetahuan tentang sistem peringatan untuk
mengetahui kapan harus melakukan evakuasi dan kapan saatnya
kembali ketika situasi telah aman. Tingkat kepedulian masyarakat
dan pemerintah daerah dan pemahamannya sangat penting pada
tahapan ini untuk dapat menentukan langkah-langkah yang
diperlukan untuk mengurangi dampak akibat bencana. Selain itu
jenis persiapan lainnya adalah perencanaan tata ruang yang
menempatkan lokasi fasilitas umum dan fasilitas sosial di luar zona
bahaya bencana (mitigasi non struktur), serta usaha-usaha
keteknikan untuk membangun struktur yang aman terhadap
bencana dan melindungi struktur akan bencana (mitigasi struktur).

b. Mitigasi Bencana pada Sektor Pariwisata

9
Bencana yang datang silih berganti, bukan tidak mungkin untuk
diantisipasi. Ada upaya mitigasi bencana yang dapat dilakukan sedini
mungkin. Upaya mitigasi tersebut dapat dilaksanakan sebagai berikut.
1) Pertama, kolaborasi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat,
khususnya lembaga terkait kebencanaan seperti BNPB, BPBD, dan
para pelaku pariwisata dalam upaya mitigasi bencana menjadi
suatu keharusan.
2) Selain itu, pembangunan infrastruktur terutama di destinasi
pariwisata prioritas yang rawan bencana. Misalnya dengan
membangun sistem peringatan dini (Early Warning System) di titik
rawan bencana dan mendirikan shelter evakuasi sementara di
tempat yang strategis dan aman dari bencana.
3) Selain itu, diperlukan juga pemasangan jalur atau rambu evakuasi
yang mengarahkan masyarakat dan wisatawan saat ada perintah
untuk melakukan evakuasi.
4) Infrastruktur penunjang juga perlu mendapat perhatian, seperti
pembangunan model hunian penduduk dan fasilitas kritis seperti
rumah sakit dan sekolah. Fasilitas pariwisata seperti pusat
informasi pariwisata (Tourism Information Center), hotel atau
penginapan perlu dirancang sedemikian rupa sehingga tahan
terhadap ancaman gempa.
5) Hal penting lainnya adalah membangun dan meningkatkan
kapasitas masyarakat dan wisatawan karena mereka merupakan
pihak yang pertama berhadapan dengan resiko bencana. Maka,
penting untuk memberikan edukasi mengenai segala hal yang
berkaitan dengan kebencanaan di kawasan wisata rawan bencana
tadi, seperti meningkatkan kesiapsiagaan,  mengatasi kepanikan
ketika bencana datang, atau dengan mengadakan simulasi tanggap
bencana.
6) Terakhir, travel warning atau peringatan untuk tidak mengunjungi
destinasi yang sedang dalam siaga bencana penting untuk
disosialisasikan, baik melalui media cetak dan elektronik.

10
3. Kesiapsiagaan (Preparedness)
Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk
mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah
yang tepat guna dan berdaya guna. Dalam fase ini juga terdapat peringatan
dini yaitu serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin
kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana pada suatu
tempat oleh lembaga yang berwenang.
Berikut beberapa indikator yang dapat menjadi tolak ukur untuk menilai
kesiapsiagaan dalam menanggapi bencana di kawasan pariwisata.
a. Indikator Kesiapsiagaan
1) Pengetahuan dan sikap terhadap bencana
Pengetahuan terhadap bencana merupakan alasan utama seseorang
untuk melakukan kegiatan perlindungan atau upaya kesiapsiagaan
yang ada (Sutton dan Tierney, 2006). Pengetahuan yang dimiliki
mempengaruhi sikap dan kepedulian masyarakat untuk siap dan
siaga dalam mengantisipasi bencana, terutama bagi mereka yang
bertempat tinggal di daerah yang rentan terhadap bencana alam.
Indikator pengetahuan dan sikap individu/rumah tangga merupakan
pengetahuan dasar yang semestinya dimiliki oleh individu meliputi
pengetahuan tentang bencana, penyebab dan gejala-gejala, maupun
apa yang harus dilakukan bila terjadi bencana (ISDR/UNESCO
2006). Individu atau masyarakat yang memiliki pengetahuan yang
lebih baik terkait dengan bencana yang terjadi cenderung memiliki
kesiapsiagaan yang lebih baik dibandingkan individu atau
masyarakat yang minim memiliki pengetahuan.
2) Rencana tanggap darurat
Rencana tanggap darurat adalah suatu rencana yang dimiliki oleh
individu atau masyarakat dalam menghadapi keadaan darurat di
suatu wilayah akibat bencana alam (Sutton dan Tierney, 2006).
Rencana tanggap darurat menjadi bagian yang penting dalam suatu
proses kesiapsiagaan, terutama yang terkait dengan evakuasi,

11
pertolongan dan penyelamatan, agar korbanbencana dapat di
minimalkan (ISDR/UNESCO, 2006). Rencana tanggap darurat
sangat penting terutama pada hari pertama terjadi bencana atau
masa dimana bantuan dari pihak luar belum datang
(ISDR/UNESCO, 2006). Rencana tanggap darurat ini adalah
situasi dimana masyarakat memastikan bagaimana pembagian
kerja sumber daya yang ada pada saat bencana.
3) Sistem peringatan dini
Sistem peringatan meliputi tanda peringatan dan distribusi
informasi jika akan terjadi bencana. Sistem peringatan dini yang
baik dapat mengurangi kerusakan yang dialami oleh masyarakat
(Gissing, 2009). Sistem yang baik ialah sistem dimana masyarakat
juga mengerti informasi yang akan diberikan oleh tanda peringatan
dini tersebut atau tahu apa yang harus dilakukan jika suatu saat
tanda peringatan dini bencana berbunyi/menyala (Sutton dan
Tierney, 2006). Oleh karena itu, diperlukan juga adanya
latihan/simulasi untuk sistem peringatan bencana ini.
4) Sumber daya mendukung
Sumber daya yang mendukung adalah salah satu indikator
kesiapsiagaan yang mempertimbangkan bagaimana berbagai
sumber daya yang ada digunakan untuk mengembalikan kondisi
darurat akibat bencana menjadi kondisi normal (ISDR/UNESCO,
2006). Indikator ini umumnya melihat berbagai sumber daya yang
dibutuhkan individu atau masyarakat dalam upaya pemulihan atau
bertahan dalam kondisi bencana atau keadaan darurat. Yang dapat
berasal dari internal maupun eksternal dari wilayah yang terkena
bencana. Sumber daya menurut Sutton dan Tierney dibagi menjadi
3 bagian yaitu sumber daya manusia, sumber daya
pendanaan/logistik, dan sumber daya bimbingan teknis dan
penyedian materi.

12
5) Modal sosial
Modal sosial sering diartikan sebagai kemampuan individu atau
kelompok untuk bekerja sama dengan individu atau kelompok
lainnya. Masyarakat atau individu yang memiliki ikatan sosial
yang lebih baik antara satu dengan yang lainnya akan lebih mudah
dalam melakukan kesiapsiagaan yang ada. Selain itu modal sosial
yang baik diantara masyarakat di wilayah yang rentan terhadap
bencana akan mengurangi kerentanan itu sendiri (Martens, 2009).
Modal sosial yang solid antara penduduk akan mempermudah
masyarakat dalam melakukan mobilisasi pada saat evakuasi akan
dilakukan. Modal sosial juga dapat menjadi pengerak indikator
kesiapsiagaan yang lainnya seperti menyepakati tempat evakuasi
yang sama, sepakat dalam mengikuti pelatihan, dan bersama-sama
dalam melakukan tindakan kesiapsiagaan lainnya (Sutton dan
Tierney 2006).
b. Upaya Kesiapsiagaan yang Dapat Dilakukan di Kawasan Pariwisata
Berikut beberapa kegiatan yang dapat dilakukan di tahap preparedness.
1) Pengaktifan pos-pos siaga bencana dengan segenap unsure
pendukungnya di kawasan pariwisata.
2) Pelatihan siaga / simulasi / gladi / teknis bagi masyarakat sekitar
daerah pariwisata beserta pekerja di kawasan tersebut.
3) Penanggulangan bencana (SAR, sosial, kesehatan, prasarana dan
pekerjaan umum).
4) Penyiapan dukungan / stok logistik.
5) Penyiapan sistem informasi dan komunikasi yang cepat dan
terpadu guna mendukung tugas kebencanaan.
6) Penyiapan peringatan dini (early warning).
7) Penyusunan rencana kontinjensi (contingency plan).
8) Inventarisasi sumber daya pendukung kedaruratan.
9) Pembuatan standar bantuan dan pelayanan.
c. Pembentukan Tim Bencana

13
Pembetukan tim bencana juga sangat dibutuhkankan. Tim bencana
merupakan orang-orang yang mengkoordinir atau memiliki tanggung
jawab terhadap manajemen bencana. Tim bencana yang biasanya
digunakan di hotel biasanya adalah Emergency Responsible Team dan
Fire Brigade, sedangkan menurut BPBD Kota Denpasar beberapa jenis
tim bencana adalah Publict Save Community (PSC), Barisan Relawan
Bencana (BALANA), dan Search and Rescue (SAR). Adapun jenis-
jenis tim bencana tersebut adalah sebagai berikut :
1) Emergency Responsible Team
Emergency Responsible Team (ERT) didefinisikan oleh
Georgetown University (2014) sebagai berikut,”The Emergency
Responsible Team (ERT) is responsible team for coordinating the
response to crises affecting the safety and operation of some
disaster. They will be called to assist in the management of the
emergency situation”. Tim ini merupakan tim khusus yang
menangani masalah bencana, tim ini selain dibentuk oleh
Georgetown University juga dibentuk oleh berbagai organisasi
termasuk hotel.
2) Fire Brigade
Fire Brigade didefinisikan sebagai berikut “Fire Brigade is a
private or temporary organization of individual equipped to fight
fires”. Fire Brigade tersebut merupakan organisasi yang bertugas
untuk menanggulangi segala jenis bencana yang berhubungan
dengan kebakaran. Selain dari pemerintah, tim ini biasanya juga
dibentuk oleh hotel-hotel.
3) Public Save Community (PSC)
Menurut BPBD Kota Denpasar, Public Save Community
merupakan petugas yang memberikan pelayanan kedaruratan
kepada masyarakat Kota, dioprasikan oleh petugas khusus yang
dilengkapi dengan tiga mobil ambulance, dan siaga 24 jam di
setiap pos jaga. Petugas PSC bergerak mengikuti pergerakan mobil

14
pemadam pada saat terjadi kebakaran dan PSC setiap saat bertugas
mengevakuasi korban kecelakaan lalulintas dan bencana lainya.
4) Search and Rescue (SAR)
Menurut Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM.43 Tahun
2005 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen
Perhubungan, Searh and Rescue (SAR) memiliki pengertian yaitu
badan yang berfungsi melaksanakan pembinaan, pengkoordinasian
dan pengendalian potensi Search and Rescue (SAR) dalam
kegiatan SAR terhadap orang dan material yang hilang atau
dikhawatirkan hilang, atau menghadapi bahaya dalam pelayaran
dan atau penerbangan, serta memberikan bantuan SAR dalam
penanggulangan bencana dan musibah lainnya sesuai dengan
peraturan SAR Nasional dan Internasional.
5) Barisan Relawan Bencana (BALANA)
Menurut BPBD Kota Denpasar, Barisan Relawan Bencana
(BALANA) merupakan barisan relawan bencana yang direkrut dari
pegawai Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dilingkungan
Pemerintah Kota Denpasar yang ditugaskan ikut serta menangani
bencana.

4. Aksi Tanggap (Response)


Tahap tanggap darurat merupakan tahap penindakan atau pengerahan
pertolongan untuk membantu masyarakat yang tertimpa bencana, guna
menghindari bertambahnya korban jiwa. Upaya yang dilakukan pada saat
kejadian bencana, meliputi :
a. Pengerahan unsur (TNI, Polri, Linmas dan masyarakat)
1) Pencarian/penyelamatan korban
2) Pelaksanaan evakuasi
3) Penyelamatan dokumen keperdataan
4) Penyiapan akses bantuan dan penyelamatan
5) Dengan mengutamakan penanggulangan kelompok rentan
(perempuan, ibu hamil, penyandang cacat, balita, dan lansia).

15
b. Pengkajian kebutuhan (initial need assessment)
c. Penampungan sementara
1) Pelayanan kesehatan (Pos kesehatan)
2) Penyediaan pangan dan gizi
3) Penyediaan air bersih
4) Penyediaan sanitasi
d. Penyediaan dan penyebaran informasi korban, fasilitas rusak dan lain-
lain.
e. Pemberantasan vektor untuk pencegahan penyakit menular.
f. Koordinasi dan pengelolaan bantuan.

5. Pemulihan (Recovery)
Tahap pemulihan meliputi tahap rehabilitasi dan rekonstruksi. Upaya yang
dilakukan pada tahap rehabilitasi adalah untuk mengembalikan kondisi
daerah yang terkena bencana yang serba tidak menentu ke kondisi normal
yang lebih baik, agar kehidupan dan penghidupan masyarakat dapat
berjalan kembali. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan meliputi :
a. Perbaikan sarana/prasarana sosial dan ekonomi.
b. Penanggulangan kejiwaan pasca bencana (post traumatic stress)
melalui penyuluhan, konseling, terapi kelompok (di sekolah) dan
perawatan.
c. Pemulihan gizi/kesehatan.
d. Pemulihan sosial ekonomi sebagai upaya peningkatan ketahanan
masyarakat (antara lain: penciptaan lapangan kerja, pemberian modal
usaha, dll).

F. TAHAP SERTIFIKASI KESIAPSIAGAAN BENCANA DALAM


INDUSTRI PARIWISATA
Parameter Penilaian
1. Pengetahuan bencana terdiri dari:
a. Pengetahuan umum

16
1) Perusahaan memiliki program pelatihan kebencanaan atau yang
berhubungan dengan kebencanaan yang melibatkan semua
komponen manajemen dan terdokumentasi.
2) Sudah pernah melakukan/berpartisipasi dalam pelatihan singkat
kebencanaan yang diberikan oleh dinas/instansi yang relevan
dan ada tanda bukti sertifikat/surat keterangan secara individu
atau kelembagaan,
3) Jika poin b diatas terpenuhi, apakah sudah disosialisasikan
dilingkungan perusahan .
4) Apakah daftar manajemen atau staff yang telah mengikuti
pelatihan kebencanaan disediakan
5) Tersedia referensi/dokumen tentang kebencanaan dan
pengurangan risiko bencana yang mudah diakses oleh
manajemen dan staff.
6) Pernah mendatangkan ahli/konsultan dalam upaya pengurangan
risiko bencana dan peningkatkan kapasitas pengetahuan
kebencanaan.
7) Memiliki pengetahuan tentang cuaca, iklim, kualitas udara,
gempa bumi dan tsunami sesuai hazard masing-masing.
8) Mengetahui potensi risiko bencana yang terjadi dilingkungan
perusahaanya dan mengetahui cara penanganannya
9) Tersedia dokumen kajian risiko yang disusun berdasarkan
potensi hazard dilingkungan perusahannya masing-masing

b. Partisipatif dalam kegiatan kebencanan

1) Perusahaan pernah mengikuti seminar/lokakarya atau sejenisnya


yang diselenggarakan oleh lembaga profesional kebencanaan
seperti BPBD, BMKG, SAR, PMI, Dinas Kesehatan, BPPT,
LIPI, Perguruan Tinggi dll. Dibuktikan dengan sertifikat/Surat
Keterangan.
2) Perusahan pernah mengikuti drill/simulasi yang dilakukan oleh
Dinas/Lembaga yang menangani kebencanaan.

17
3) Perusahan pernah terlibat langsung dalam kegiatan-kegiatan
pengurangan risiko bencana yang diselenggarakan oleh
Dinas/Instansi kebencanaan minimal dilakukan didaerah
sekelilingnya.
4) Pernah terlibat langsung/berpartisipasi dalam kegiatan tanggap
darurat bencana.

2. Mitigasi
a. Mitigasi Struktural
1) Tersedia denah/peta bangunan yang terpasang disetiap sisi
gedung/kamar kerja/kamar istirahat dll.
2) Terdapat areal yang bisa digunakan sebagai titik kumpul (assembly
point) ketika terjadi emergency.
3) Jika point 3 diatas tersedia, apakah assembly point sudah sesuai
dengan kreteria standard persyaratan assembly point.
4) Apakah telah ditentukan daerah aman (safe area) untuk beberapa
hazard contohnya untuk gempabumi, tsunami, kebakaran atau
banjir.
5) Tersedianya sarana proteksi kebakaran aktif (Sistem deteksi dan
alarm, APAR, Hidrant, Springkler dll) yang dirancang sesuai
dengan standar tingkat bahayanya.
6) Jika point 5 diatas tersedia, apakah semua karyawan/staff mampu
mengoperasionalkan.
7) Apakah sarana proteksi dimaksud siap digunakan kapan saja ?
(Periksa kartu control)
8) Apakah tersedia fasilitas dan aksesibilitas bangunan yang
diperuntukan kepada kelompok disable (cacat),
9) Sistem penanggulangan banjir sudah didesain sedemikian rupa
( drainase, biopori)
10) Dilengkapi dengan sistem pembuangan limbah yang aman dari
pencemaran lingkungan

18
11) Dilengkapi dengan tangga darurat dan pintu keluar darurat disetiap
unit bangunan.
12) Penangkal petir telah terpasang sesuai dengan persyaratan tinggi
bangunan dan telah diperiksa dan diuji secara berkala.
13) Struktur ruang telah memperhatikan aspek pengurangan resiko
bencana/kecelakaan yang menimbulkan bencana (antara kamar
kerja/kamar tamu dengan cooler, boiler, genset, limbah dll)
14) Apakah terpasang tanda-tanda peringatan bahaya pada area-area
bahaya disekitar bangunan
15) Membangun kemandirian semua komponen manajemen
perusahan , untuk meningkatkan kesadaraan membangun
kesiapsiagaan dan pengurangan risiko bencana (Periksa dokumen
kajian risiko bencana).
16) Turut aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan pengelolaan
lingkungan untuk pengurangan resiko bencana baik yang
dilaksanakan sendiri atau patisipasi.
17) Apakah ada inisiatif bekerjasama dengan stakeholder lain dalam
kegiatan sosial fokus kepada pengelolaan lingkungan terutama
dengan masyarakat disekitar lokasi perusahaan/hotel.

b. Mitigasi Non Struktural

1) Adanya kebijakan perusahaan peduli terhadap pengelolaan


lingkungan demi keamanan dan keselamatan bila terjadi
ancaman bencana.
2) Apakah pernah mengadakan pelatihan pengurangan Risiko
Bencana
3) Memiliki MOU dengan Instansi terkait dalam rangka
membangun/meningkatkan kapasitas staff terhadap aksi-aksi
pengurangan risiko bencana.
4) Tersedia kebijakan perlindungan (santunan, asuransi dll.)
terhadap staff/karyawan, aset perusahaan dan pemakai jasa
perusahaan.

19
3. Kesiapsiagaan dan Kapasitas Respon
a. Kesiapsiagaan
1) Terbentuk tim yang terlatih khusus yang siap ditugaskan ketika
terjadi bencana dilingkungan perusahan
2) Tim tersebut diatas telah dilegalisasi oleh manajemen dan memiliki
pembagian tugas yang jelas.
3) Memiliki Standard Operating Prosedur (SOP) sesuai dengan
ancaman hazard didaerahnya.
4) Sosialisasi SOP atau kebijakan kepada karyawan, vendor dan mitra
kerja dilaksanakan terus menerus.
5) Uji coba SOP dalam bentuk drill/simulasi/table top wajib
dilakukan secara berkala minimal 6 bulan sekali.
6) Sarana dan prasarana yang disiapkan untuk menghadapi tanggap
darurat bencana siap digunakan dan bekerja dengan baik (Jejaring
komunikasi, transportasi, sarana kesehatan, perlengkapan
kebakaran dll)

b. Sistem peringatan dini


1) Perusahaan telah menentukan cara untuk memperoleh informasi
peringatan dini dari instansi terkait seperti PUSDALOPS, BMKG,
PVMBG, BPBD Provinsi dan kabupaten/kota.
2) Kalau point 1 diatas tersedia, apakah ada terpasang atau
menggunakan jenis teknologi apa.
3) Memiliki mekanisme yang jelas dalam menerima informasi
peringatan (bagan/skema sistem peringatan dini)
4) Pembagian tugas yang jelas bagi para pejabat/staff ketika
menerima informasi peringatan dini dan reaksi yang harus
dilakukan.
5) Bagaimana dengan penyampaian peringatan dini (warning) kepada
para tamu dan pekerja perusahan, adakah format arahan yang
standard untuk reaksi yang efektif dan efisien?

20
6) Rambu evakuasi terpasang atau rambu lainnya sesuai dengan
hazard diwilayahnya.
7) Tersedia peta rencana evakuasi sesuai dengan identifikasi hazard
(Gempa bumi, Tsunami. Kebakaran, banjir dll) serta prosedur dan
strategi yang digunakan.

c. Kapasitas Respon
1) Tersedia data potensi dan sumber dayaseperti, data personil
terlatih, peralatan dan perlengkapan dalam mendukung
penanggulangan bencana (data base)
2) Tersedia peralatan standard first responder seperti tandu, kotak
Pertolongan Pertama (dulu disebut kotak PPPK), spalk/bidai,
pembalut cepat/mitela, masker secukupnya.
3) Tim khusus yang dibentuk sudah dilengkapi dengan peralatan
standard Alat Pengaman Diri (APD)
4) Telah mengikuti pelatihan bantuan hidup dasar (BHD) dan Medical
First Responder (MFR)
5) Pernah menyelenggarakan sendiri atau pernah mengikuti pelatihan
(Praktis) Search and Resque (SAR)
6) Pernah menyelenggarakan sendiri atau pernah mengikuti pelatihan
penanganan kasus kejadian luar biasa (KLB) dan wabah penyakit
7) Regu pemadam kebakaran terbentuk dan terlatih menggunakan
peralatan yang tersedia di perusahaan.

4. Keamanan
a. Perusahaan memiliki prosedur yang jelas penanganan keamanan ketika
terjadi ancaman bencana.
b. Perusahaan memiliki peralatan penunjang untuk pemantauan aktifitas
keamanan dan kemungkinan terjadinya bencana seperti CCTV
c. Petugas keamanan memiliki pengetahuan praktis kebencanaan
d. Memiliki jejaring komunikasi yang kuat dengan instansi terkait Seperti
dengan TNI, POLRI, Pecalang Desa adat dll.

21
e. Tersedia check list dinas/instansi pelaku kebencanaan, contact person
dan nomor telephon penting.

Persiapan Dan Pengorganisasian


1. Kelengkapan Administrasi
Kelengkapan administrasi menjadi hal yang paling pokok yang harus
dilengkapi oleh calon penerima sertifikasi, administrasi merupakan bukti
otentik sebagai sebuah perushaan yang bisa dipertanggung jawabkan.
Berbagai jenis kelengkapan administrasi adalah sebagai berikut :
a. Perijinan usaha
b. Sertifikat/surat keterangan (First responder, rescue, manajemen
bencana dll) yang pernah diikuti
c. Seluruh SOP/PROTAP Kebencanaan yang telah dimiliki dan masih
berlaku.
d. Contoh material informasi seperti Room directory, brosur, leaflet,
poster atau booklet yang telah tersedia.
e. Dokumen kegiatan pelatihan kebencanaan yang pernah dilaksanakan

2. Kelengkapan piranti keras (Hardware)


Kelengkapan piranti keras (hardware) kebencanaan merupakan
prioritas selanjutnya, piranti keras/peralatan standar kebencanaan adalah
sarana pendukung dalam melaksanakan kegiatan kedaruratan. Tanpa
peralatan yang standar, niscaya operasi kedaruratan akan berjlan dengan
baik.

Standar piranti keras yang dimaksud adalah :

a. Perlengkapan Pertolongan Pertama (PP) termasuk tandu dll sesuai


standard seorang first responder.
b. APAR (alat pemadam kebakaran ringan) dan alat pengaman lainnya
c. Lampu senter
d. Masker
e. Rompi spotlight
f. Glove (sarung tangan)

22
g. Rambu evakuasi

23
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Menurut UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, bencana
adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan
baik oleh faktor alam dan/ atau faktor non alam maupun faktor manusia
sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Tahapan proses
manajemen risiko di sektor pariwisata yaitu pencegahan, mitigasi,
kesiapsiagaan, aksi tanggap, dan pemulihan. Tahap sertifikasi
kesiapsiagaan bencana dalam industri pariwisata adalah parameter
penilaian dan persiapan pegorganisasian.

B. SARAN
Pemerintah tidak boleh melupakan 3 unsur penting ini dalam
penanggulangan bencana. Indonesia secara peraturan dan kebijakan sudah
membuat 3 unsur penting tersebut, namun dalam pelaksanaan ini belum
terealisasi dengan sempurna. Dalam hal ini Pemerintah perlu mengadakan
promosi dan pelatihan-pelatihan bagi tim medis, kader-kader, dan orang-
orang yang terjun langsung di bidang pariwisata.

24
DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2008. Pedoman


Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana. (online)
htpps://bnpb.go.id/pdf. Diakses pada tanggal 14 Maret 2018 Pukul 12.55
WITA.

Bappenas. 2014. Telaahan Sistem Terpadu Penanggulangan Bencana di


Indonesia.
(online)http://www.bappenas.go.id/index.php/download_file/view/14057
/3930. Diakses pada tanggal 15 Maret 2018 Pukul 19.00 WITA.

Afrina, Risa. 2017. Pemberdayaan Masyarakat dalam Kesiapsiagaan


Menghadapi Bencana (online)
https://www.scribd.com/document/343049321/Bencana Diakses pada
tanggal 15 Maret 2018 Pukul 18.50 WITA.

Ari, Agung. 2017. Kebijakan Nasional Penanggulangan Bencana. (online)


https://www.scribd.com/document/349149913/kebijakan-Nasional-
Penanggulangan-Bencana. Diakses pada tanggal 14 Maret 2018 Pukul
13.25 WITA.

Dian. 2017. Penanggulangan Bencana oleh Pariwisata. (online)


https://www.scribd.com/document/360325053/penanggulangan-
Bencana-Oleh-Pariwisata. Diakses pada tanggal 14 Maret 2018 Pukul
13.15 WITA.

25

Anda mungkin juga menyukai