Anda di halaman 1dari 32

ANALISIS KANDUNGAN ANTIOKSIDAN DAN METABOLIT

SEKUNDER PADA TUMBUHAN LAMUN DI PERAIRAN TANJUNG


TIRAM, KECAMATAN MORAMO UTARA, KABUPATEN KONAWE
SELATAN, SULAWESI TENGGARA

Proposal Penelitian

Oleh :

MELISA

F1D119013

PROGRAM STUDI BIOLOGI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2022
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL i
DAFTAR ISI ii
DAFTAR TABEL iii
DAFTAR GAMBAR iv
I. PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 4
C. Tujuan Penelitian 5
D. Manfaat Penelitian 5
1. Manfaat Praktis 5
2. Manfaat Teoritis 5
II. TINJAUAN PUSTAKA 6
A. Lamun 6
B. Metabolit Sekunder 8
C. Antioksidan 11
III. METODE PENELITIAN 16
A. Waktu dan Tempat Penelitian 16
B. Jenis Penelitian 16
C. Bahan Penelitian 16
D. Alat Penelitian 17
E. Variabel Penelitian 18
F. Devinisi Operasional 18
G. Kriteria Objektif 19
H. Populasi dan Sampel 19
I. Prosedur Penelitian 20
1. Preparasi Sampel 20
2. Ekstraksi Sampel 20
3. Uji Aktivitas Metabolit Sekunder 21
1.1. Uji Alkaloid 21
1.2. Uji Flavonoid 21
1.3. Uji Terpenoid/Steroid 21
1.4. Uji Tanin 22
1.5. Uji Saponin 22
4. Uji Aktivitas Antioksidan dengan Metode DPPH 22
1.1.Penentuan Panjang Gelombang Maksimum 22
1.2.Pengukuran Aktivitas Antioksidan pada Sampel 23
a. Absorbansi Kontrol 23
b. Absorbansi Sampel 23
J. Analaisis Data 24
DAFTAR PUSTAKA 25

ii
DAFTAR TABEL

No. Teks Halaman


1. Bahan penelitian dan fungsinya 14
2. Alat penelitian dan fungsinya 15

iii
DAFTAR GAMBAR

No. Teks Halaman


1. Spesies tumbuhan lamun yang ditemukan di Indonesia 7
2. Struktur dan karakteristik lamun 8

iv
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia terkenal sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, dengan

potensi sumber daya laut dan pesisir yang sangat menjanjikan (Baransano dan

Mangimbulude, 2011). Potensi sumber daya yang terdapat di perairan laut

Indonesia adalah potensi perikanan, rumput laut, terumbu karang dan lamun.

Kementrian Kelautan dan Perikanan Indonesia mencatat sebanyak 12 jenis lamun

yang ditemukan di perairan laut Indonesia dari 20 jenis lamun yang ditemukan di

Asia Tenggara. Ekosistem padang lamun merupakan salah satu ekosistem di

wilayah pesisir yang mempunyai produktivitas primer relatif tinggi dan

mempunyai peranan penting untuk menjaga kelestarian serta keanekaragaman

organisme laut (Riniatsih, 2016).

Lamun merupakan kelompok tumbuhan di perairan laut dangkal yang

tergolong dalam tumbuhan berbunga (Angiospermae) dan memiliki kemampuan

beradaptasi secara penuh di perairan yang memiliki fluktuasi salinitas tinggi,

hidup terbenam di dalam air serta memiliki rhizoma, daun dan akar sejati.

Menurut Riniatsih dan Munasik (2017) menyatakan bahwa bahan anorganik

sebagai nutrien atau zat hara sangat dibutuhkan oleh lamun. Keberadaan bahan

anorganik maupun organik pada perairan sekaligus menjadi pemicu kekeruhan air

pada habitat lamun. Kekeruhan secara tidak langsung dapat mempengaruhi

kehidupan lamun karena dapat menghalangi penetrasi cahaya ke dalam air yang

dibutuhkkan untuk berfotosintesis bagi lamun (Hidayat, dkk., 2018). Menurut

1
Tangke (2017) bahwa cahaya merupakan salah satu faktor pembatas yang dapat

mempengaruhi fotosintesis dan distribusi berdasarkan kedalaman bagi

penyebaran tumbuhan lamun. Fotosintesis lamun akan mengubah karbon

anorganik menjadi karbon organik.

Lamun berkontribusi terhadap penyerapan karbon melalui proses

fotosintesis yang kemudian disimpan dalam bentuk biomassa pada bagian daun,

rhizoma dan akar (Ganefiani, dkk., 2019). Karbon yang diserap berasal dari

atmosfer yang kemudian terlarut dalam air dan disimpan dalam bentuk DIC

(Dissolved Inorganic Carbon). Penyerapan karbon oleh lamun berkontribusi

signifikan terhadap total serapan karbon vegetasi pesisir (Mashoreng, dkk.,

2019). Padang lamun mampu menyimpan karbon sebanyak 83.000 metrik

ton/km2 dimana jumlah tersebut lebih besar dibandingkan dengan penyimpanan

karbon yang dapat dilakukan oleh hutan di darat sebesar 30.000 metrik ton/km2.

Lamun merupakan tumbuhan tingkat tinggi yang bertoleransi terhadap

lingkungan bersalinitas. Salinitas air laut merupakan tingkat kadar garam terlarut

dalam air. Jenis garam yang terdapat di dalamnya antara lain 55% klorida, 31%

natrium, 8% sulfat, 4% magnesium dan 2% garam lainnya. Spesies lamun

memiliki toleransi terhadap salinitas yang berbeda-beda, sebagian besar memiliki

kisaran yang lebar terhadap salinitas yaitu antara 10-40‰ dan nilai optimum

toleransi terhadap salinitas di air laut adalah 35‰ (Pratiwi, 2010) serta sebagian

besarnya memiliki kisaran terhadap salinitas antara 10-30‰ (Rahman, dkk.,

2013). Kondisi habitat lamun yang bersalinitas tinggi merupakan salah satu

kondisi ekstrem yang dapat menyebabkan cekaman terhadap lamun akibat stres

2
terhadap lingkungan. Kondisi ini dapat membuat tanaman memproduksi

metabolit sekunder dan antioksidan sebagai bentuk pertahanan yang dilakukan

selama hidup pada lingkungan tersebut.

Metabolit sekunder adalah senyawa hasil biosintetik turunan dari

metabolit primer yang umumnya diproduksi oleh organisme dan berguna untuk

pertahanan diri dari lingkungan maupun dari serangan organisme lain (Murniasih,

2003). Tanaman menghasilkan senyawa-senyawa metabolit sekunder yang

bersifat toksik dan dapat digunakan untuk mengobati berbagai jenis penyakit

pada manusia (Baud, dkk., 2014). Menurut Agustina dalam Muthmainnah (2017),

senyawa metabolit sekunder merupakan senyawa kimia yang umumnya

mempunyai kemampuan bioaktifitas dan berfungsi untuk mempertahankan diri

dari lingkungan yang kurang menguntungkan seperti suhu, iklim, gangguan

hama, penyakit tanaman dan dapat juga digunakan untuk mengobati berbagai

jenis penyakit pada manusia. Senyawa metabolit sekunder memiliki struktur yang

lebih komplek dan sulit disintesa serta jarang dijumpai di pasaran karena masih

sedikit (15%) yang telah berhasil diisolasi sehingga memiliki nilai ekonomi

tinggi.

Antioksidan merupakan molekul yang mampu memperlambat atau

mencegah proses oksidasi molekul lain dengan cara memberikan elektronnya

kepada molekul radikal bebas sehingga dapat menghentikan reaksi berantai yang

disebabkan oleh radikal bebas. Oksidasi adalah reaksi kimia yang dapat

menghasilkan radikal bebas, sehingga memicu reaksi berantai yang dapat

merusak sel. Antioksidan dapat menghambat kerja radikal bebas (Hanani, dkk.,

3
2005). Menurut Sitorus (2013) berpendapat bahwa radikal bebas adalah atom atau

molekul yang sangat reaktif karena mengandung elektron yang tidak

berpasangan. Antiokisdan pada tumbuhan berada secara alami dan totalnya

sangat beragam pada setiap tumbuhan.

Analisis aktivitas metabolit sekunder pada lamun dapat dilakukan melalui

metode maserasi dan menggunakan Spektrofotometer UV-Vis. Metode yang

digunakan untuk menentukan aktivitas antioksidan adalah metode DPPH (2-2-

Diphenyl-1-Picryhidrazyl). Aktivitas antioksidan pada tumbuhan yang kuat dapat

dilihat dengan nilai medianinhibitory concentration (IC50). Menurut Julizan

(2019) medianinhibitory concentration (IC50) adalah konsentrasi ekstrak yang

dapat menghambat aktivitas oksidasi radikal sebanyak 50%. Berdasarkan latar

belakang tersebut, maka penelitian mengenai “Analisis Kandungan

Antioksidan dan Metabolit Sekunder pada Tumbuhan Lamun di Perairan

Tanjung Tiram, Kecamatan Moramo Utara, Kabupaten Konawe Selatan,

Sulawesi Tenggara” perlu untuk dilakukan.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana cara memperoleh senyawa metabolit sekunder pada lamun melalui

metode maserasi?

2. Bagaimana cara memperoleh senyawa antioksidan melalui metode DPPH (2-2-

Diphenyl-1-Picryhidrazyl)?

3. Apa saja kandungan metabolit sekunder pada ekstrak lamun?

4. Berapa presentasi aktivitas antioksidan pada ekstrak lamun?

4
C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk memperoleh senyawa metabolit sekunder pada lamun melalui metode

maserasi.

2. Untuk memperoleh senyawa antioksidan melalui metode DPPH (2-2-

Diphenyl-1-Picryhidrazyl).

3. Untuk mengetahui kandungan metabolit sekunder pada ekstrak lamun.

4. Untuk mengetahui presentasi aktivitas antioksidan pada ekstrak lamun.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diperoleh pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Manfaat Praktis

Memberikan data tentang analisis kandungan metabolit sekunder

serta aktivitas antioksidan pada lamun.

2. Manfaat Teoritis

Memberikan data mengenai presentasi aktivitas antioksidan lamun

untuk dijadikan data acuan pada penelitian mendatang.

5
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Lamun

Lamun (seagrass) atau disebut juga ilalang laut adalah satu-satunya

kelompok tumbuhan hidup di perairan laut dangkal hingga pada kedalaman 50-60

meter bahkan mencapai 90 meter, namun melimpah di daerah pasang surut

(Wagey dan Sake, 2013). Lamun tumbuh berkerumunan dan biasanya menempati

perairan laut hangat yang dangkal dan menghubungkan ekosistem mangrove serta

terumbu karang. Lamun dikenal sebagai tumbuhan berumah dua, yaitu dalam

satu tumbuhan hanya ada bunga jantan saja atau bunga betina saja. Sistem

pembiakan generatifnya cukup khas karena mampu melakukan penyerbukan di

dalam air dan buahnya terendam di dalam air. Lamun mempunyai akar dan

rimpang (rhizome) yang mencengkeram dasar laut sehingga dapat membantu

pertahanan pantai dari gerusan ombak dan gelombang (Rappe, 2010).

Lamun yang ditemukan di Indonesia tercatat sebanyak 12 spesies dari 30

spesies lamun yang ditemukan di Asia Tenggara. Kedua belas jenis lamun ini

tergolong dalam 7 genus. Genus yang ditemukan terdiri dari 3 genus dari family

Hydrocharitacea yaitu Enhalus, Thalassia dan Halophila serta 4 genus dari family

Potamogetonacea yaitu Syringodium, Cymodocea, Halodule dan

Thalassodendron. Keberadaan lamun menjadi salah satu ekosistem penting dalam

perairan laut. Padang lamun menjadi tempat pemijahan bagi ikan maupun

invertebrata laut dan melindungi anakannya dari predator. Struktur rhizoma, akar

dan daun yang membentuk kanopi di bawah air sering menjadi tempat

6
bersembunyi untuk berlindung dari predator dan menyediakan substrat untuk

menempel bagi organisme lain.

Gambar 1. Spesies tumbuhan lamun yang ditemukan di Indonesia

Malinesia termasuk Kalimantan-Malaysia, Papua-Papua Nugin serta Utara

Australia merupakan pusat asal-usul penyebaran lamun. Lamun berada pada

Kingdom Plantae, Sub kelas Monocotyledoneae dan kelas Angiospermae pada

sistem klasifikasi. Menurut Kiswara dan Hutomo dalam Syukur (2015), karakter

morfologi lamun yang sering dijadikan dasar dalam pengelompokkan

taksonominya adalah bentuk vegetatif lamun yang memperlihatkan tingkat

keseragaman yang tinggi yaitu hampir semua genera mempunyai "rhizome" yang

berkembang baik dan bentuk daun yang memanjang (linear) atau berbentuk

sangat panjang seperti ikat pinggang, kecuali pada Genus Halophila yang

umumnya berbentuk bulat telur. Lamun beradaptasi terhadap salinitas tinggi,

mempunyai kemampuan menancapkan akar di substrat dan kemampuan untuk

tumbuh serta bereproduksi pada saat terbenam (Rustam et al., 2015).

7
Gambar 2. Struktur dan karakteristik lamun (McKenzie et al., 2003)

Lamun mengandung banyak senyawa bioaktif. Senyawa-senyawa bioaktif

pada lamun dapat digunakan untuk bahan kimia alami antifouling, antibakteri,

antifungi serta bahan baku farmasi, khususnya obat alternatif. Daun lamun

memiliki kandungan nutrisi seperti protein, karbohidrat, lemak dan serat pangan

yang merupakan sumber makanan. Menurut Ukhty dalam Juwita (2013)

kandungan kimia daun lamun diantaranya favonoid, fenol, hidrokuinon dan

potensi flavonoid sebagai antioksidan. Daun lamun juga ditemukan golongan

khalkon pada identifikasi flavonoid daun lamun.

B. Metabolit Sekunder

Metabolit sekunder adalah produk akhir metabolisme primer yang

disintesis setelah fase pertumbuhan telah selesai. Metabolit sekunder hanya hadir

secara kebetulan dan tidak memiliki signifikansi yang sangat penting bagi

kehidupan organisme serta tidak membentuk kerangka molekul dasar

8
organisme. Kehadiran dan sintesisnya diamati pada spesies yang kurang

beruntung secara ekologis dalam kelompok filogenetik. Metabolit sekunder biasa

digunakan untuk perkembangbiakan dan pertahanan tanaman karena sifatnya

yang beracun bagi hewan, diantaranya adalah senyawa alkaloid, fenol, saponin

dan terpenoid (Kusbiantoro dan Purwaningrum, 2018).

Metabolit sekunder berupa molekul-molekul kecil, bersifat spesifik (tidak

semua organisme mengandung senyawa sejenis), mempunyai struktur yang

bervariasi dan setiap senyawa memiliki fungsi atau peranan yang berbeda-beda

(Ergina, dkk., 2014). Keberadaan senyawa metabolit sekunder di alam secara

kuantitatif adalah sangat sedikit atau minor dibandingkan dengan senyawa

metabolit primer. Senyawa metabolit sekunder terdiri dari aneka ragam golongan

senyawa dan masing-masing memiliki struktur yang berbeda. Senyawa metabolit

sekunder ini bisa ditemukan pada suatu organ atau jaringan yang terpapar oleh

stres dari lingkungan seperti infeksi atau serangan patogen, misalnya daun dan

akar (Gustavina, dkk., 2018).

Pembentukan metabolit sekunder diatur oleh nutrisi, penurnan kecepatan

pertumbuhan, feedback, control, inaktivasi enzim dan induksi enzim (Nofiani,

2008). Jalur pembentukan metabolit sekunder adalah jalur asam asetat, jalur asam

sikimat dan jalur mevalonat. Metabolit yang terbentuk dari jalur asam asetat

meliputi senyawa fenolik, prostaglandin dan antibiotik makrolida serta berbagai

asam lemak. Metabolit yang terbentuk dari jalur asam sikimat yakni senyawa

fenolik, turunan asam sinamat, lignan dan alkaloid. Metabolit yang terbentuk dari

jalur asam mevalonat adalah metabolit terpenoid dan steroid. Senyawa flavonoid

9
yang telah berhasil diisolasi mempunyai aktivitas biologi yang menarik, seperti

bersifat sitotoksik terhadap sel kanker, menghambat pelepasan histamin, anti

inflammantori, anti jamur dan anti bakteri (Mulyani, dkk., 2013).

Pengujian kualitatif senyawa metabolit sekunder bertujuan untuk

mengetahui ada dan tidaknya senyawa metabolit sekunder yang terkandung pada

sampel yang diuji. Uji kualitatif senyawa metabolit sekunder meliputi uji

flavonoid, alkaloid, saponin dan tanin. Pengujian yang dilakukan masing-masing

menggunakan larutan yang berbeda sesuai dengan senyawa metabolit sekunder

yang akan diuji. Larutan uji yang digunakan bisa berupa HCl untuk uji flavonoid,

reagen Dragendroff untuk uji alkaloid, HCl 2N untuk uji saponin dan pereaksi

FeCl3- untuk pengujian tanin pada sampel. Pengujian secara kualitatif di

rangkaikan dengan penentuan kadar total senyawa metabolit sekunder yang

terkandung pada sampel menggunakan Spektrofotometer UV-Vis (Tandi dkk.,

2020).

Analisis metabolit sekunder banyak menggunakan metode ekstraksi.

Ekstraksi merupakan peristiwa pemindahan zat terlarut (solut) antara dua pelarut

yang tidak saling bercampur (Suleman, dkk., 2022). Salah satu metode ekstraksi

yang digunakan adalah metode maserasi. Maserasi merupakan cara ekstraksi

sederhana yang dilakukan dengan cara merendam bahan dalam pelarut selama

beberapa hari pada temperatur kamar dan terlindung dari cahaya (Damayanti dan

Fitriana, 2012). Maserasi memiliki prinsip kerja dengan proses melarutnya zat

aktif berdasarkan sifat kelarutannya dalam suatu pelarut. Bahan tanaman yang

digunakan harus menjadi partikel kecil untuk meningkatkan luas permukaan agar

10
tepat pencampuran dengan pelarut. Maserasi merupakan cara ekstraksi yang

paling sederhana dengan cara merendam serbuk simplisia menggunakan pelarut

yang sesuai dan tanpa pemanasan serta dapat digunakan untuk senyawa yang

tidak tahan panas ataupun tahan panas.

Prinsip maserasi adalah pengikatan atau pelarutan zat aktif berdasarkan

sifat kelarutannya dalam suatu pelarut atau penyarian zat aktif yang dilakukan

dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari yang sesuai selama

tiga hari pada temperatur kamar, terlindung dari cahaya, cairan penyari akan

masuk ke dalam sel melewati dinding sel. Isi sel akan larut karena adanya

perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan di luar sel. Larutan

yang konsentrasinya tinggi akan terdesak keluar dan diganti oleh cairan penyari

dengan konsentrasi rendah. Beberapa hal yang mempengaruhi hasil ekstraksi

adalah bahan atau sampel yang diekstrak, suhu dan waktu ekstraksi, metode serta

sifat dan jenis pelarut. Metode ini digunakan karena mudah dilakukan dan tidak

membutuhkan waktu yang lama (Riyani dan Adawiah, 2015).

C. Antioksidan

Radikal bebas atau ROS adalah molekul yang terbentuk ketika molekul

oksigen bergabung dengan molekul lain menghasilkan elektron ganjil. Tubuh

memerlukan suatu substansi penting yakni antioksidan yang dapat membantu

melindungi tubuh dari serangan radikal bebas dengan meredam dampak negatif

senyawa ini. Antioksidan merupakan molekul yang mampu memperlambat atau

mencegah proses oksidasi molekul lain. Apabila radikal bebas tidak berikatan

dengan antioksidan maka reaksi oksidasi akan terus berlanjut atau membentuk

11
kaskade yang menyebabkan kerusakan sel (Andarina dan Djauhari, 2017).

Antioksidan mampu bertindak sebagai penyumbang radikal hidrogen atau dapat

bertindak sebagai akseptor radikal bebas sehingga dapat menunda tahap inisiasi

pembentukan radikal bebas (Dungir, dkk., 2012).

Menurut Kosasih, dkk., dalam Zuhra, dkk., (2008), antioksidan berfungsi

mengatasi atau menetralisir radikal bebas sehingga diharapkan dengan pemberian

antioksidan tersebut proses tua dihambat atau paling tidak tidak dipercepat serta

dapat mencegah terjadinya kerusakan tubuh dari timbulnya penyakit degeneratif.

Antioksidan diperlukan untuk mencegah stres oksidatif, hal ini sesuai dengan

pernyataan Widowati (2008) bahwa pemberian antioksidan dan komponen

senyawa polifenol menunjukkan dapat menangkap radikal bebas dan mengurangi

stres oksidatif. Stres oksidatif adalah kondisi ketidakseimbangan antara jumlah

radikal bebas yang ada dengan jumlah antioksidan di dalam tubuh (Werdhasari,

2014).

Antioksidan bisa ditemukan pada semua jenis makanan yang

seutuhnya (whole food) berasal dari tumbuhan atau dari hewan. Antioksidan

alami dapat ditemukan pada sayuran, buah-buahan dan tumbuhan

berkayu. Metabolit sekunder dalam tumbuhan yang berasal dari

golongan alkaloid, flavonoid, saponin, kuinon, tanin, steroid atau triterpenoid

dapat berperan sebagai antioksidan. Antioksidan dapat dibagi menjadi dua yaitu

yang larut dalam air dan larut dalam lemak. Antioksidan yang larut dalam air

melakukan aksinya dalam cairan di dalam dan di luar sel-sel,

sedangkan antioksidan yang larut dalam lemak beraksi di dalam membran sel-sel.

12
Antioksidan alami mempunyai struktur kimia dan stabilitas berbeda-beda

(Aisyah, dkk., 2014).

Senyawa antioksidan merupakan substansi yang diperlukan tubuh untuk

menetralisir radikal bebas dan mencegah kerusakan yang ditimbulkan oleh

radikal bebas terhadap sel normal, protein dan lemak. Senyawa ini memiliki

struktur molekul yang dapat memberikan elektronnya kepada molekul radikal

bebas tanpa terganggu sama sekali fungsinya dan dapat memutus reaksi berantai

dari radikal bebas. Tubuh manusia telah mempersiapkan penangkal berupa sistem

antioksidan yang terdiri dari 3 golongan yaitu antioksidan primer, yaitu

antioksidan yang berfungsi mencegah pembentukan radikal bebas selanjutnya

(propagasi), antioksidan tersebut adalah transferin, feritin, albumin. Antioksidan

sekunder yaitu antioksidan yang berfungsi menangkap radikal bebas dan

menghentikan pembentukan radikal bebas, antioksidan tersebut adalah

Superoxide dismutase (SOD), Glutathion peroxidase (GPx) dan katalase.

Antioksidan tersier atau Repair enzyme yaitu antioksidan yang berfungsi

memperbaiki jaringan tubuh yang rusak oleh radikal bebas, antioksidan tersebut

adalah Metionin sulfosida reduktase, Metionin sulfosida reduktase, DNA repair

enzymes, protease, transferase dan lipase (Parwata, 2016).

Metode pengujian aktivitas antioksidan biasanya menggunakan metode

DPPH (2,2-difenil-1-pikrilhidrazil), ABTS (2,2’-Azinobis (3-

ethylbenzothiazoline-6-sulfonic acid)-diammonium salt) dan FRAP (ferric

reducing antioxidant power) (Setiawan, dkk., 2018). Radikal bebas yang biasa

digunakan sebagai model dalam mengukur daya penangkapan radikal bebas

13
adalah DPPH. DPPH merupakan senyawa radikal bebas yang stabil sehingga

apabila digunakan sebagai pereaksi dalam uji penangkapan radikal bebas cukup

dilarutkan dan bila disimpan dalam keadaan kering dengan kondisi penyimpanan

yang baik dan stabil selama bertahun-tahun (Tristanini, dkk., 2016).

Mekanisme kerja dari metode DPPH adalah mereaksikan antioksidan

yang terdapat pada sampel dengan DPPH dimana antioksidan akan mendonorkan

atom hidrogennya. Kelebihan dari metode ini adalah lebih mudah diterapkan

karena senyawa radikal yang digunakan bersifat lebih stabil, metode analisisnya

yang bersifat sederhana, cepat dan mudah. Potensi aktivitas antioksidan yang

telah diuji dapat dilihat melalui nilai IC50 yang dihasilkan. IC50 adalah bilangan

yang menunjukan konsentrasi ekstrak yang mampu menghambat 50% oksidasi.

Nilai IC50 ini berbanding terbalik dengan aktivitas antioksidan. Semakin tinggi

nilai IC50 maka semakin kecil aktivitas antioksidannya, begitu pula sebaliknya

(Haeria, dkk., 2016).

Metode DPPH mudah diterapkan karena senyawa radikal DPPH yang

digunakan bersifat relatif stabil dibanding metode lainnya. Indikator

keberhasilam metode DPPH adalah terjadinya perubahan warna. Perubahan

warna yang terjadi adalah perubahan warna dari ungu menjadi kuning, dimana

intensitas perubahan warna DPPH berbanding lurus dengan aktivitas antioksidan

meredam radikal bebas tersebut. Perubahan warna terjadi karena senyawa radikal

bebas tereduksi oleh adanya antioksidan. Senyawa DPPH sangat sensitif dengan

cahaya sehingga jika terkena cahaya maka senyawa DPPH akan mudah rusak.

14
Senyawa DPPH juga sensitif terhadap suhu. Suhu yang cocok untuk menyimpan

senyawa DPPH adalah suhu dingin (Rahmawati dkk., 2018).

15
III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Maret-Mei 2023 bertempat di

Pantai Tanjung Tiram kemudian dilanjutkan di Laboratorium Biologi Unit

Botani, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,

Universitas Halu Oleo, Kendari.

B. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif yang bersifat deskriptif

kuantitatif dan kualitatif. Untuk mengetahui senyawa yang terkandung di dalam

sampel, penelitian deskriptif kualitatif ekstrak dilakukan uji fitokimia dengan

pereaksi. Sedangkan penelitian deksriptif kuantitatif berupa uji aktivitas

antioksidan ekstrak lamun dengan menggunakan metode DPPH (2,2-difenil-1-

pikrilhidrazil).

C. BahanPenelitian

Bahan yang digunakan pada penelitian ini tercantum pada Tabel 1.

Tabel 1. Bahan Penelitian dan Kegunaan


No. Nama Bahan Satuan Kegunaan
1 2 3 4
Daun dan akar 40 gr Sebagai objek yang diamati
1.
tumbuhan Lamun
2. Metanol 80% 300 mL Sebagai pelarut
3. Dragendof 1 mL Sebagai indikator Alkaloid
4. FeCl3 1 mL Sebagai indikator Tanin
5. HCl 2N 1 mL Sebagai indikator Saponin

16
Tabel 1. Lanjutan
1 2 3 4
6. HCl pekat 1 mL Sebagai indikator Flavonoid
7. Asam asetat anhidrat 1 mL Sebagai indikator Terpenoi/Steroid
8. Etil asetat 2 mL Sebagai indikator Terpenoid/Steroid
9. Asam sulfat pekat 1 mL Sebagai indikator Terpenoid/Steroid
10. Larutan DPPH 0,1 mM 5 mL Sebagai indikator uji
11. Serbuk Mg 1 mL Sebagai indikator Flavonoid
12. Aquadest 30 mL Sebagai pengencer
13. Kertas saring - Untuk menyaring sampel
Aluminium foil - Sebagai penutup dan wadah menimbang
14.
sampel
15. Kertas label - Untuk menandai sampel
16. Tissue - Untuk membersihkan alat atau bahan

D. Alat Penelitian

Alat yang digunakan pada penelitian ini tercantum pada Tabel 2.

Tabel 2. Alat Penelitian dan Kegunaan


No. Nama Bahan Jumlah Kegunaan
1 2 3 4
1. Oven 1 Untuk mengeringkan sampel
2. Blender 1 Untuk menghancurkan sampel
Rotary vaccum 1 Untuk memekatkan sampel
3.
evaporator
4. Gelas vial 1 Untuk mereaksikan sampel
5. Tabung reaksi 12 Untuk mereaksikan larutan
6. Hot plate 1 Untuk memanaskan sampel
7. Timbangan analitik 1 Untuk menimbang bahan
8. Sendok spatula 1 Untuk mengambil bubuk sampel

9. Pipet tetes 8 Untuk mengambil larutan dengan volume


kecil
Spektrofotometer UV- 1 Untuk menghitung nilai absorbansi
10.
VIS

17
Tabel 2. Lanjutan
1 2 3 4
11. Kuvet 2 Untuk mengukur konstentrasi reagen
12. Botol selai 5 Sebagai wadah sampel
13. Rak tabung 1 Untuk menyimpan tabung reaksi

E. Variabel Penelitian

1. Variabel bebas

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah variasi konsentrasi ekstrak

sampel lamun, lama preparasi sampel dan presentasi antioksidan lamun.

2. Variabel terikat

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah warna senyawa metabolit

sekunder yang teridentifikasi, waktu maserasi dan uji antioksidan, konsentrasi

metanol serta panjang gelombang Spektrofotometer UV-VIS.

F. Devinisi Operasional

1. Aplikasi pemberian metanol 80% untuk maserasi sampel dilakukan pada

sampel sebanyak 40 gram menjadi konsentrasi 200 mL.

2. Aplikasi pemberian metanol untuk absorbansi sampel ekstrak dilarutkan

dengan variasi konsentrasi 50 ppm, 100 ppm, 200 ppm, 400 ppm dan 800

ppm.

3. Pengamatan dilakukan setelah sampel di maserasi sebanyak 3 kali ulangan,

yang ditandai dengan sampel yang berwarna bening dan dipekatkan dengan

menggunakan rotary vaccum evaporator pada suhu 50oC-80oC hingga

diperoleh sampel yang menyerupai pasta.

18
4. Pengamatan warna senyawa metabolit sekunder dilakukan pada akhir

pengamatan dengan mengamati secara visual, penentuan warna ditetapkan

berdasarkan keterangan warna : jingga atau coklat untuk alkaloid, merah atau

kuning untuk terpenoid, hijau untuk steroid, merah, jingga atau ungu untuk

flavonoid, hijau biru atau hijau hitam untuk tanin serta terbentuknya buih

untuk saponin.

5. Pengamatan presentasi senyawa antioksidan dilakukan pada akhir pengamatan

dengan melihat nilai absorbansi dan nilai IC50 yang terbentuk.

G. Kriteria Objektif

Kriteria objektif pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Aktivitas metabolit sekunder dan antioksidan dianggap efektif apabila terjadi

perubahan warna pada sampel serta terdapat nilai IC50.

2. Aktivitas metabolit sekunder dan antioksidan dianggap tidak efektif apabila

tidak terjadi perubahan warna pada sampel serta tidak ada nilai IC50.

H. Populasi Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah daun dan akar dari tumbuhan lamun

yang digunakan. Sampel yang digunakan adalah daun dan akar tanaman yang

dihaluskan lalu di maserasi dan dipekatkan, setiap sampel sebanyak 40 gram pada

metanol dengan konsentrasi 80%.

19
I. Prosedur Penelitian

1. Preparasi Sampel

Sampel daun dan akar tumbuhan lamun yang telah diambil dicuci hingga

bersih lalu dikering anginkan hingga tidak ada air yang menetes, agar tidak

memakan waktu lama pada saat pengeringan menggunakan oven. Sampel

kemudian di keringkan menggunakan oven pada suhu 40 oC selama 2 hari

untuk memperoleh simplisia yang dapat disimpan lebih lama. Sampel

dipastikan kering dengan baik, yaitu jika diremas akan hancur dengan mudah.

Sampel yang kering dihaluskan dengan menggunakan blender hingga

berbentuk serbuk halus yang ketika diraba terasa lembut. Sampel yang

terbentuk harus memiliki kadar air yang tidak melebihi 10% untuk

menghindari berkurangnya konsentrasi pelarut ekstraksi serta untuk

menghindari tumbuhnya mikroba dan jamur yang dapat merusak senyawa

metabolit sekunder yang terkandung pada sampel.

2. Esktraksi Maserasi

Serbuk sampel sebanyak 40 gram dimaserasi dengan pelarut metanol

80% sebanyak 200 mL sampai seluruh sampel terendam lalu ditutup dan

dibiarkan selama 24 jam, kemudian disaring menggunakan kertas saring.

Ampas dari hasil penyaringan di maserasi kembali sebanyak tiga kali dengan

pelarut dan perlakuan yang sama sampai filtrat menjadi bening dan diulang.

Hasil masing-masing ekstrak yang diperoleh digabung menjadi satu. Masing-

masing filtrat yang diperoleh dipekatkan dengan menggunakan rotary vaccum

evaporator pada suhu 50oC-80oC hingga diperoleh sampel yang menyerupai

20
pasta. Ekstrak pekat yang dihasilkan dimasukkan dalam gelas vial yang

dilapisi alumunium foil dan disimpan pada suhu ruang.

3. Uji Aktivitas Metabolit Sekunder

Uji aktivitas metabolit sekunder dilakukan secara kualitatif dengan

tujuan untuk mengidentifikasi senyawa metabolit sekunder yang terkandung

dalam sampel. Golongan metabolit sekunder yang akan diuji yaitu flavonoid,

alkaloid, tanin, saponin dan triterpenoid atau steroid.

1.1. Uji Alkaloid

Identifikasi senyawa alkaloid dilakukan dengan memasukkan 1 mL

ekstrak pekat ke dalam tabung reaksi kemudian ditambahkan 3-5 tetes

pereaksi Dragendrof, mengandung alkaloid jika terbentuk endapan jingga

atau coklat.

1.2. Uji Flavonoid

Identifikasi flavonoid dilakukan dengan mengambil 10 mg ekstrak

dan ditambahkan 10 ml aquadest dan dipanaskan dengan menggunakan

hotplate, lalu ditambahkan sedikit serbuk Mg yaitu 1-2 sendok spatula dan

1 ml HCl pekat, kemudian dikocok-kocok. Uji positif ditandai dengan

terbentuknya warna merah, jingga atau ungu.

1.3. Uji Terpenoid/Steroid

Identifikasi terpenoid/steroid dilakukan dengan mengambil 2 gram

ekstrak sampel dimasukkan dalam tabung reaksi, lalu ditambahkan dengan

2 mL etil asetat dan dikocok. Lapisan etil asetat diambil lalu ditetesi pada

plat tetes dibiarkan sampai kering. Setelah kering, ditambahkan 2 tetes

21
asam asetat anhidrat dan 1 tetes asam sulfat pekat. Apabila terbentuk

warna merah atau kuning berarti positif terpenoid. Apabila terbentuk

warna hijau berarti positif steroid.

1.4. Uji Tanin

Identifikasi tanin dilakukan dengan mengambil 1 gram ekstrak

dimasukkan kedalam tabung reaksi ditambahkan 10 mL aquadest panas

kemudian dididihkan selama 5 menit lalu filtratnya ditambahkan FeCl3 3-4

tetes, jika berwarna hijau biru (hijau-hitam) atau biru kehitaman berarti

positif adanya tanin.

1.5. Uji Saponin

Identifikasi saponin dilakukan dengan mengambil 1 gram ekstrak

dimasukkan ke dalam tabung reaksi ditambahkan 10 mL aquadest panas

yang telah dipanaskan dengan menggunakan hotplate, didinginkan

kemudian dikocok kuat-kuat selama 10 detik. Hasil positif mengandung

saponin jika terbentuk buih setinggi 1-10 cm tidak kurang 10 menit dan

pada penambahan 1 tetes HCl 2 N, buih tidak hilang.

4. Uji Aktivitas Antioksidan dengan Metode DPPH

2.1. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum

Penentuan panjang gelombang maksimum dilakukan untuk

mengetahui pada serapan berapa zat yang dibaca oleh Spektrofotometer

Uv-Vis secara optimum, bentuk kurva absorbansi yang linear dan

menghasilkan hasil yang cukup konstan jika dilakukan pengukuran

berulang kali. Penentuan panjang gelombang maksimum dilakukan dengan

22
memasukkan metanol sebanyak 4,5 mL ke dalam tabung reaksi kemudian

ditambahkan larutan DPPH 0,1 mM sebanyak 1,5 mL dan ditutup tabung

reaksi dengan alumunium foil. Selanjutnya dimasukkan ke dalam kuvet

dan dicari λmaks larutan pada rentangan panjang gelombang 515-520.

Panjang gelombang maksimum ditentukan dengan melihat nilai absorbansi

yang konstan dan memiliki nilai yang paling optimum. Kemudian dicatat

hasil pengukuran λmaks untuk digunakan pada tahap selanjutnya.

2.2. Pengukuran Aktivitas Antioksidan pada Sampel

Pengukuran aktivitas antioksidan pada sampel dilakukan melalui 2

tahap. Holil (2020), pengukuran aktivitas antioksidan dilakukan dengan

cara sebagai berikut:

a. Absorbansi kontrol diambil 1,5 mL larutan DPPH 0,1 mM dan

dimasukkan ke dalam tabung reaksi kemudian ditambahkan metanol

sebanyak 4,5 mL. Setelah itu ditutup tabung reaksi dengan alumunium

foil agar tidak terkontaminasi dengan udara luar, lalu diinkubasi pada

suhu ruang selama 30 menit. Setelah itu dimasukkan ke dalam kuvet

dan diukur absorbansinya menggunakan Spektrofotometer Uv-Vis

pada λmaks yang diperoleh sebelumnya.

b. Absorbansi sampel ekstrak dilarutkan dalam pelarut metanol dengan

variasi konsentrasi 50 ppm, 100 ppm, 200 ppm, 400 ppm dan 800 ppm.

Variasi konsentrasi tersebut dihitung dengan menggunakan rumus:

M1.V1 = M2.V2

23
Masing-masing variasi diambil sebanyak 4,5 mL dan dimasukkan ke

dalam tabung reaksi. Setelah itu ditambahkan DPPH 0,1 mM sebanyak

1,5 mL ke dalam masing-masing variasi. Kemudian ditutup tabung

reaksi dengan alumunium foil agar tidak terkontaminasi dengan udara

luar, lalu diinkubasi pada suhu ruang selama 30 menit. Data absorbansi

yang diperoleh dihitung nilai persen (%) aktivitas antioksidannya. Nilai

tersebut diperoleh melalui persamaan:

Absorbansi kontrol − absorbansi sampel


% Aktivitas antioksidan = × 100%
Absorbansi kontrol
Nilai % IC50 (Inhibition Concentration 50) menentukan nilai IC50

diperoleh garis antara 50% daya hambat dengan sumbu konsentrasi,

dengan persamaan y = ax + b, dimana y = 50 dan x adalah konsentrasi

larutan uji yang mampu menghambat 50% larutan radikal bebas 1,1-

difenil-2- pikrilhidrazil (IC50).

J. Analisis Data

Data yang diperoleh pada penelitian ini berupa data hasil uji senyawa

metabolit sekunder dengan menggunakan preaksi dan data hasil uji aktivitas

antioksidan. Analisis data hasil uji senyawa metabolit sekunder dianalisis secara

deskriptif kualitatif, sedangkan data hasil uji aktivitas antioksidan dianalisis

secara deskriptif kuantitatif. Nilai IC50 dianalisis dengan kategori sangat kuat

apabila 200 dikatakan sangat lemah.

24
DAFTAR PUSTAKA

Agustina, S. (2016). Skrining Fitokimia Tanaman Obat di Kabupaten Bima.


Indonesia E-Journal of Applied Chemistry, 4(1), 1-10.

Aisyah,Y., Rasdiansyah, dan Muhaimin, (2014). Pengaruh Pemanasan terhadap


Aktivitas Antioksidan pada Beberapa Jenis Sayuran. Jurnal Teknologi
dan Industri Pertanian Indonesia, 6(2), 28-35.

Andarina, S., & Djauhari, T. (2017). Antioksidan dalam Dermatologi. JKK, 4(1),
39-48.

Baransano, H. K., & Mangimbulude, J. C. (2011). Eksploitasi dan Konservasi


Sumberdaya Hayati Laut dan Pesisir di Indonesia. Jurnal Biologi Papua,
3(1), 39-45.

Baud, G. S., Sangi, M. S., & Koleangan, H. S. J. (2014). Analisis Senyawa


Metabolit Sekunder dan Uji Toksisitas Ekstrak Etanol Batang Tanaman
Patah Tulang (Euphorbia tirucalli L.) dengan Metode Brine Shrimp
Lethality Test (BSLT). Jurnal Ilmiah Sains, 14(2), 106-112.

Damayanti, A., & Fitriana, E. A. (2012). Pemungutan Minyak Atsiri Mawar


(Rose oil) dengan Metode Maserasi. Jurnal Biologi, 4(1), 1-8.

Dungira, G. D., Katjaa, D. G., & Kamua, V. S. (2012). Aktivitas Antioksidan


Ekstrak Fenolik dari Kulit Buah Manggis (Garcinia mangostana L.).
Jurnal Mipa Unsrat Online, I(1), 11-15.

Ergina, Nuryanti, S., & Pursitasari, I. D. (2014). Uji Kualitatif Senyawa


Metabolit Sekunder pada Daun Palado (Agave angustifolia) yang
diekstraksi dengan Pelarut Air dan Etanol. J. Akad. Kim, 3(3), 165-173.

Ganefiani, A., Suryanti & Latifah, N. (2019). Potensi Padang Lamun Sebagai
Penyerap Karbon di Perairan Pulau Karimunjawa, Taman Nasional
Karimunjawa. Saintek Perikanan, 14(2), 115-122.

Gustavina, N. L. G. W. B., Dharma, I. G. B., & Faiqoh, E. (2018). Identifikasi


Kandungan Senyawa Fitokimia pada Daun dan Akar Lamun di Pantai
Samuh Bali. Journal of Marine and Aquatic Sciences, 4(2), 271-277.

Haeria, Hermawati, & Pine, A. T. U. D. (2016). Penentuan Kadar Flavonoid


Total dan Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol Daun Bidara (Ziziphus
spina-christi L.). Journal of Pharmaceutical and Medicinal Sciences,
1(2), 57-61.

25
Hanani, E., Mun’im, A., & Sekarini, R. (2005). Identifikasi Senyawa Antioksidan
dalam Spons Callyspongia sp. dari Kepulauan Seribu. Majalah Ilmu
Kefarmasian, 2(3), 127-133.

Hidayat, W., Warpala,W., & Dewi, N. P. S. R. (2018). Komposisi Jenis Lamun


(Seagrass) dan Karakteristik Biofisik Perairan di Kawasan Pelabuhan
Desa Celukan Bawang Kecamatan Gerokgak Kabupaten Buleleng Bali.
Jurnal Pendidikan Biologi Undiksha, 5(3), 133-145.

Julizan, N., Maemunah, S., Dwiyanti, D., & Anshori, J. A. (2019). Validasi
Penentuan Aktifitas Antioksidan dengan Metode DPPH. Kandaga, 1(1),
41-45.

Juwita, A. P., Yamlean, P. V. Y., & Edy, H. J. (2013). Formulasi Krim Ekstrak
Etanol Daun Lamun (Syringodium isoetifolium). Jurnal Ilmiah Farmasi,
2(2), 8-13.

Kiswara, W. (1999). Perkembangan Penelitian Ekosistem Padang Lamun di


Indonesia. Proseding Seminar Nasional tentang Oseanology. Puslitbang
Oseanology LIPI. Jakarta, 1999: 181-186.

Kosasih, E. N., Tony S. & Hendro H. (2006). Peran Antioksidan pada Lanjut
Usia. Pusat Kajian Nasional Masalah Lanjut Usia. Jakarta.

Kusbiantoro, D., & Purwaningrum, Y. (2018). Pemanfaatan Kandungan


Metabolit Sekunder pada Tanaman Kunyit dalam Mendukung
Peningkatan Pendapatan Masyarakat. Jurnal Kultivasi, 17(1), 544-552.

Mashoreng, S., Alprianti, S., Samad, W., Isyrini, R., & Inaku, D. F. (2019).
Serapan Karbon Lamun Thalassia hemprichii pada Beberapa
Kedalaman. Jurnal Ilmu Kelautan, 5(1), 11-17.

Mulyani, Y., Bachtiar, E., & Kurnia, M. U. (2013). Peranan Senyawa Metabolit
Sekunder Tumbuhan Mangrove terhadap Infeksi Bakteri Aeromonas
hydrophila pada Ikan Mas (Cyprinus carpio L.). Jurnal Akuatika, 4(1),
1-9.

Murniasih, T. (2003). Metabolit Sekunder dari Spons sebagai Bahan Obat-


Obatan. Oseana, 28(3), 27-33.

Muthmainnah, B. (2017). Skirining Fitokimia Senyawa Metabolit Sekunder dari


Ekstrak Etanol Buah Delima (Punica granatum L.) dengan Metode Uji
Warna. Media Farmasi, 13(2), 23-28.

Nofiani, R. (2008). Urgensi dan Mekanisme Biosintesis Metabolit Sekunder


Mikroba Laut. Jurnal Natur Indonesia, 10(2), 120-128.

26
Parwata, O. A. (2016). Antioksidan, Modul Pembelajaran Kimia Terapan,
Program Pascasarjana, Universitas Udayana, Bali.
Pratiwi, R. (2010). Asosiasi Krustasea di Ekosistem Padang Lamun Perairan
Teluk Lampung. Jurnal Ilmu Kelautan, 15(2), 66-76.

Rahman, A., Rival, M. N., & Mudin, Y. (2013). Analisis Pertumbuhan Lamun
(Enhalus acoroides) Berdasarkan Parameter Oseaonografi di Perairan
Desa Dolong A dan Desa Kalia. Jurnal Gravitasi, 15(1), 1-7.

Rahmawati, A., Muflihuna, & Sarif, L. O. M. (2018). Analisis Aktivitas


Antioksidan Produk Sirup Buah Mengkudu (Morinda citrifolia L.)
dengan Metode DPPH. Jurnal Fitofarmaka Indonesia, 2(2), 97-100.
Rappe, R. A. (2010). Struktur Komunitas Ikan pada Padang Lamun yang Berbeda
di Pulau Barrang Lompo. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis,
2(2), 62-73.

Riniatsih, I. (2016). Distribusi Jenis Lamun dihubungkan dengan Sebaran Nutrien


Perairan di Padang Lamun Teluk Awur Jepara. Jurnal Kelautan Tropis,
19(2), 101-107.

Riniatsih, I., & Munasik, (2017). Keanekaragaman Megabentos yang Berasosiasi


di Ekosistem Padang Lamun Perairan Wailiti, Maumere Kabupaten
Sikka, Nusa Tenggara Timur. Jurnal Kelautan Tropis, 20(1), 55-59.

Riyani, A., & Adawiah, R. (2015). Ekstraksi Flavonoid Metode Soxhletasi dari
Batang Pohon Pisang Ambon (Musa Paradisiaca Var. Sapientum)
dengan Berbagai Jenis Pelarut. Prosiding Simposium Nasional Inovasi
dan Pembelajaran Sains 2015 (SNIPS 2015), 8 dan 9 Juni 2015,
Bandung, Indonesia.

Rustam, A., Kepel, T. L., Kusumaningtyas, M. A., Ati, R. N. A., Daulat, A.,
Suryono, D. D., Sudirman, N., Rahayu, Y. P., Mangindaan, P., Heriati,
A., & Hutahaean, A. A. (2015). Ekosistem Lamun sebagai Bioindikator
Lingkungan di P. Lembeh, Bitung, Sulawesi Utara. Jurnal Biologi
Indonesia, 11(2), 233-241.

Setiawan, F., Yunita, O., & Kurniawan, A. (2018). Uji Aktivitas Antioksidan
Ekstrak Etanol Kayu Secang (Caesalpinia sappan) menggunakan
Metode DPPH, ABTS, dan FRAP. Media Pharmaceutica Indonesiana,
2(2), 82-90.

Sitorus, S., Momuat, L. I., & Katja, D. G. (2013). Aktivitas Antioksidan


Tumbuhan Suruhan (Peperomia pellucida (L.) Kunth). Jurnal Ilmu Sain,
13(2), 80-85.

27
Suleman, I. F., Sulistijowati, R., Manteu, S. H., & Nento, W. R. (2022).
Identifikasi Senyawa Saponin dan Antioksidan Daun Lamun (Thalassia
hemprichii). Jambura Fish Processing Journal, 4(2), 94-102.

Syukur, A. (2015). Distribusi, Keragaman Jenis Lamun (Seagrass) dan Status


Konservasinya di Pulau Lombok. Jurnal Biologi Tropis, 15(2), 171-182.

Tandi, J., Melinda, B., Purwantari, A., & Widodo, A. (2020). Analisis Kualitatif
dan Kuantitatif Metabolit Sekunder Ekstrak Etanol Buah Okra
(Abelmoschus esculentus L. Moench) dengan Metode Spektrofetometri
UV-Vis. J. Riset Kimia, 6(1), 78-80.

Tangke, U. (2010). Ekosistem Padang Lamun (Manfaat, Fungsi dan Rehabilitasi).


Jurnal Ilmiah Agribisnis dan Perikanan (Agrikan UMMU-Ternate),
3(1), 9-29.

Tristantini, D., Ismawati, A., Pradana, B. T., & Jonathan, J. G. (2016). Pengujian
Aktivitas Antioksidan Menggunakan Metode DPPH pada Daun Tanjung
(Mimusopselengi L). Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia
“Kejuangan”, Pengembangan Teknologi Kimia untuk Pengolahan
Sumber Daya Alam Indonesia, Yogyakarta, 17 Maret 2016.

Ukhty, N. (2011). Kandungan Senyawa Fitokim, Total Fenol dan Aktivitas


Antioksidan Lamun, Skripsi. Fakultas Perikanan dan Kelautan, Bogor.

Wagey, B. T., & Sake, W. (2013). Variasi Morfometrik Beberapa Jenis Lamun di
Perairan Kelurahan Tongkeina Kecamatan Bunaken. Jurnal Pesisir dan
Laut Tropis, 3(1), 36-44.

Werdhasari, A. (2014). Peran Antioksidan Bagi Kesehatan. Jurnal Biotek


Medisiana Indonesia, 3(2), 59-68.

Widowati, W. (2008). Potensi Antioksidan sebagai Antidiabetes. JKM, 7(2), 1-


10.

Zuhra, C. F., Tarigan, J. B., & Sihotang, H. (2008). Aktivitas Antioksidan


Senyawa Flavonoid dari Daun Katuk (Sauropus androgunus (L) Merr.).
Jurnal Biologi Sumatera, 3(1), 7-10.

28

Anda mungkin juga menyukai