Proposal Penelitian
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
Pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
ii
iii
HALAMAN PENGESAHAN
Bogor, 2020
Disetujui oleh
Pembimbing
Diketahui oleh,
iv
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN iv
DAFTAR ISI v
ABSTRAK vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan masalah 2
Tujuan Penelitian 3
Manfaat penelitian 3
TINJAUAN PUSTAKA 3
Alpukat 3
Perubahan Fisik dan Kimia Selama Proses Pematangan 6
Kerusakan Buah Alpukat 7
Manfaat Edible Coating untuk menunda Kematangan dan Kebusukan 8
Kitosan 10
Aplikasi Edible coating Pada Buah-buahan 11
METODOLOGI PENELITIAN 12
Waktu dan Tempat 12
Bahan dan Alat 12
Metode Penelitian 12
Rancangan Percobaan dan Analisis Data 15
DAFTAR PUSTAKA 15
v
ABSTRAK
vi
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Buah alpukat merupakan salah satu buah yang banyak digemari dan telah
dikenal luas oleh masyarakat Indonesia maupun mancanegara. Buah alpukat
memiliki banyak manfaat di antaranya dimanfaatkan sebagai buah meja, bahan
baku industri kosmetik, obat- obatan, dan lain-lain. Banyaknya manfaat yang
terkandung pada buah alpukat menjadikan buah ini memiliki prospek yang baik
untuk investasi di bidang buah-buahan. Potensi pasar dan potensi alam di Indonesia
sangat mendukung dalam pemenuhan permintaan alpukat baik di dalam negeri
maupun luar negeri. Indonesia menjadi salah satu negara penghasil buah alpukat
yang cukup besar dalam skala global. Data statistik tahun 2014 menunjukkan
bahwa produksi buah alpukat Indonesia mencapai 307.326 ton dengan urutan
daerah produksi terbesar yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatra Barat, dan Jawa
Tengah (BPS 2014). Selain untuk memenuhi konsumsi dalam negeri, buah alpukat
juga menjadi komoditi ekspor yang cukup menjanjikan.
Berdasarkan proses kematangannya, buah digolongkan menjadi buah
klimaterik dan non klimaterik. Ciri buah klimaterik yaitu adanya peningkatan
respirasi yang signifikan dan mendadak menyertai atau mendahului pemasakan
melalui peningkatan CO2 dan etilen. Masa simpan buah klimakterik yang pendek
menjadikan kerusakan pascapanen yang cepat (Widodo et al. 2013). Alpukat
termasuk ke dalam buah klimaterik. Alpukat mulai matang memiliki sifat yang
mudah rusak, mudah busuk dan cepat mengalami susut bobot karena kulit buahnya
yang tipis dan daging buah yang lunak. Semua jenis komoditi pertanian akan
mengalami susut dan perubahan pada warna karena sudah mengalami proses panen
(Retnani 2009).
Alpukat yang memiliki sifat mudah rusak menjadi kendala dalam
pemenuhan permintaan buah alpukat segar yang berkualitas baik bagi konsumen
pasar lokal maupun ekspor. Besarnya kerusakan tersebut, di samping karena sifat
buah-buahan yang mudah mengalami kerusakan atau pembusukan serta iklim tropis
yang tidak menguntungkan bagi daya tahan simpan buah, juga karena penanganan
paskapanen yang belum memadai (Leksikowati, 2013). Oleh karena itu, diperlukan
metode untuk memperlambat kerusakan buah alpukat sehingga dapat sampai ke
tangan konsumen dalam keadaan segar dan berkulitas. Salah satu metode yang
digunakan untuk memperlambat pematangan buah alpukat yaitu dengan metode
edible coating menggunakan kitosan.
Edible coating adalah suatu metode pemberian lapisan tipis pada permukaan
buah untuk menghambat keluarnya gas, uap air, dan kontak dengan oksigen
sehingga proses pemasakan dan pencokelatan buah dapat diperlambat. Lapisan
yang ditambahkan di permukaan buah ini tidak berbahaya bila ikut dikonsumsi
bersama buah (Ali et al. 2015). Metode edible coating yang mengandung
1
antimikroba, agen anti jamur telah populer di kalangan industri makanan dan
dianggap sebagai metode yang efektif untuk mengurangi pertumbuhan mikroba di
permukaan suatu bahan pangan karena menghasilkan lebih sedikit limbah dan
hemat biaya (Jasour et al. 2014)
Salah satu bahan yang sering digunakan untuk edible coating yaitu kitosan.
Pelapis kitosan telah berhasil digunakan dalam bidang pertanian dan makanan,
terutama karena sifat antimikroba dan strukturalnya yang memungkinkan
penggunaannya sebagai pelapis yang dapat dimakan. Kitosan banyak digunakan
untuk pengawetan buah dan sayur setelah pasca panen karena potensinya sebagai
edible coating dan active packaging yang tidak beracun dan biodegradable (Gol et
al. 2013). Pelapis kitosan memiliki sifat sebagai penghalang semipermeabel yang
mampu mengontrol pertukaran gas dan mengurangi kehilangan air, sehingga
menjaga kekerasan jaringan dan mengurangi pembusukan oleh mikroba pada
sayuran atau buah yang dipanen untuk periode yang lebih lama (Moreira et al. 2011).
Sifat antimikroba kitosan memiliki spektrum yang luas, baik terhadap bakteri,
jamur maupun kapang. Sifat antibakteri kitosan berasal dari struktur polimer yang
mempunyai gugus amin bermuatan positif, sedangkan polisakarida lain umumnya
bersifat netral atau bermuatan negatif dan gugus amin kitosan dapat berinteraksi
dengan muatan negatif suatu molekul seperti protein dari mikroba (Winiarti et al.
2012).
Banyaknya produk komersial kitosan yang ada di Indonseia masih dalam
bentuk kitosan belum siap pakai. Kitosan yang diproduksi masih banyak di ekspor
dan belum banyak dimanfatkan sebagai produk jadi yang siap untuk dimanfaatkan.
Salah satu produk kitosan yang siap digunakan sebagai yaitu Chitasil. Perlu
dilakukan pengujian terhadap parameter fisiologis dan biokimia buah alpukat yang
diberi perlakuan edible coating dengan berbagai lama waktu pencelupan dan
penyimpanan sehingga dapat digunakan sebagai acuan untuk pengaplikasian
produk kitosan dalam memperpanjang umur simpan buah alpukat.
Perumusan masalah
Umur simpan buah alpukat yang sangat singkat disebabkan karena sifatnya
yang mudah rusak dan termasuk buah klimaterik. Pemenuhan alpukat segar yang
tinggi membutuhkan penanganan pascapanen yang baik dan mampu
memperpanjang umur simpan buah alpukat. Umur simpan buah dilihat dari
parameter fisiologis buah yaitu susut bobot, kadar air, tekstur, dan warna serta
penerimaan oleh konsumen. Salah satu solusi untuk memperpanjang umur simpan
buah alpukat yaitu penggunaan edible coating berbahan dasar chitosan. Aplikasi
edible coating yaitu dengan mencelupkan buah alpukat. Lama waktu pencelupan
yang efektif perlu diketahui agar diperoleh lama pencelupan yang optimum untuk
buah alpukat sehingga penggunaannya lebih efisien.
2
Tujuan Penelitian
Manfaat penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Alpukat
Buah Alpukat berasal dari Amerika Tengah yang memiliki iklim tropis
seperti Indonesia. Kandungan gizi buah alpukat yang tinggi membuat buah ini
banyak diminati baik oleh konsumen lokal maupun untuk ekspor (Budiana 2013).
Alpukat (Persea americana Mill.) salah satu buah yang digemari oleh masyarakat,
mudah didapatkan, dan memiliki berbagai macam manfaat. Manfaat buah alpukat
diantaranya sebagai antioksidan, sebagai bahan pangan yang diolah dalam berbagai
masakan, untuk bahan dasar kosmetik, serta alpukat mempunyai efek protektif
terhadap risiko aterosklerosis (Febrianti dan Zulfikar 2016).
Alpukat tumbuh di daerah tropis dan subtropis dengan curah hujan antara
1 800-4 500 mm/tahun. Umumnya, tumbuhan ini cocok dengan iklim sejuk dan
basah. Di Indonesia, tanaman alpukat tumbuh pada ketinggian antara 1-1 000 m di
atas permukaan laut (Prawita 2012). Alpukat secara umum terbagi atas tiga tipe:
tipe West Indian, tipe Guatemalan, dan tipe Mexican. Warna daging buah alpukat
berwarna hijau di bagian bawah kulit dan menguning kearah biji. Warna kulit buah
bervariasi, warna hijau karena kandungan klorofil atau hitam karena pigmen
antosiasin (Andi 2013). Bentuk buah alpukat dapat dilihat pada Gambar 1. Adapun
klasifikasi dari buah alpukat. Menurut Ashari (2004), tanaman alpukat (Persea
americana Mill.) diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
3
Bangsa : Ranales
Keluarga : Lauraceae
Marga : Persea
Spesies : Persea Americana Mill.
Alpukat mengandung zat gizi yang beragam. Zat gizi yang terkandung pada
buah alpukat antara lain kalori, protein, lemak, karbohidrat, kalsium, fosfor, besi,
vitamin A, vitamin B1, vitamin C, dan air. Dalam 100 gram buah alpukat
mengandung kalori sebanyak 85,0 kalori, protein 0,9 gram, lemak 6,5 gram,
karbohidrat 7,7 miligram. Kandungan gizi tertinggi yang terdapat pada 100 gram
buah alpukat adalah lemak sebesar 6,5 gram. Namun jenis lemak yang terdapat pada
buah alpukat termasuk jenis lemak nabati yang dibutuhkan oleh tubuh (Almatsier,
2010).
Penggolongan mutu buah alpukat dilakukan berdasarkan syarat mutu buah
alpukat. Menurut Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (2005), seperti yang
terlihat pada Tabel 1.
4
Keterangan dari setiap karakteristik yang tertera pada Tabel 1 menurut BPPT
(2005) yaitu :
5
Perubahan Fisik dan Kimia Selama Proses Pematangan
Perubahan fisik dan kimia yang terjadi pada buah alpukat selama proses
pematangan yaitu susut bobot, tekstur, total padatan terlarut, dan warna. Susut
bobot berkaitan erat dengan penampakan fisik pada buah alpukat. Susut bobot
disebabkan terutama karena adanya proses transpirasi atau terlepasnya air dalam
bentuk uap melalui permukaan kulit yang terjadi selama masa penyimpanan
(Mulyadi A F 2014). Selain karena transpirasi, susut bobot juga disebabkan oleh
proses respirasi selama pematangan buah. Proses resipirasi akan menyerap oksigen
untuk pembakaran senyawa-senyawa kompleks yang terdapat dalam sel seperti
karbohidrat. Senyawa kompleks tersebut diubah menjadi molekul yang lebih
sederhana seperti karbondioksida, energi, dan uap air sehingga buah akan
kehilangan bobotnya. Secara umum susut bobot buah selama penyimpanan pada
suhu ruang mengalami peningkatan (Nisah dan Barat 2019). Menurut Leksikowati
(2013), kadar air yang cukup tinggi memperlihatkan buah dalam kondisi bagus
selama penyimpanan.
Tingkat kekerasan buah alpukat juga berubah saat proses pematangan.
Tingkat kekerasan merupakan salah satu indikasi kematangan buah. Menurut
Aprilliani (2017), penurunan tingkat kekerasan atau kelunakan tekstur akan
mempercepat proses pembusukan dan meningkatkan potensi kerusakan buah
selama penanganan. Bertambahnya nilai tekstur buah alpukat selama proses
pematangan atau penyimpanan dikarenakan oleh proses degradasi pektin oleh
enzim pektin metilesterase dan poligalakturose. Buah alpukat tersusun dari
polisakarida dengan komponen utama dinding selnya yaitu selulosa dan pektin.
Komponen tersebut merupakan substrat yang mendukung aktivitas enzim pektin
metilesterase dan poligalakturose untuk terus bekerja selama penyimpanan. Akibat
aktivitas enzim tersebut, pektin yang semula tidak larut dalam air menjadi larut
dalam air. Sehingga dinding sel akan melemah dan daya kohesi akan menurun yang
mengikat sel satu dengan yang lainnya (Anova dan Kamsina 2013).
Bahan pangan yang dinilai bergizi, enak dan tekstur sangat baik, tidak akan
dimakan apabila memiliki warna yang tidak sedap karena menyimpang dari warna
seharusnya. Warna juga sebagai indikator terhadap tingkat kesegaran (Winarno,
1993). Perubahan yang paling menonjol pada saat pematangan buah adalah
perubahan warna. Kulit berwarna hijau disebabkan adanya klorofil atau hitam
disebabkan pigmen antosianin. Selama proses pematangan, disamping terjadinya
perombakan klorofil, terjadi sintesa pigmen tertentu seperti karotenoid dan
flavonoid. Komponen warna atau kecerahan pada buah alpukat secara keseluruhan
mengalami penurunan selama penyimpanan. Berdasarkan penelitian Manik dan
Sari (2018), buah alpukat terus mengalami penurunan warna selama masa
penyimpanan. Perubahan warna buah alpukat terjadi karena adanya sintesis
pigmen tertentu seperti karotenoid dan flavonoid selain terjadi perombakan klorofil.
6
Perombakan klorofil selama pematangan menyebabkan karotenoid yang
sebelumnya tidak nyata menjadi nyata dan menimbulkan warna kekuningan.
Perombakan warna ini terjadi sesudah tercapainya puncak klimaterik dan disertai
peubahan tekstur.
Total padatan terlarut juga akan mengalami perubahan selama pematangan.
Total padatan terlarut akan meningkat dengan cepat ketika buah mengalami
pematangan dan akan terus menurun seiring dengan lamanya penyimpanan.
Kenaikan total padatan terlarut terjadi karena karbohidrat terhidrolisis menjadi
senyawa glukosa dan fruktosa, sedangkan penurunan total padatan terlarut terjadi
karena kadar gula sederhana yang menjadi perubahan alkohol, aldehid dan asam
(Rahayu dan Eris 2017). Kandungan glukosa meningkat selama proses
penyimpanan seiring dengan pematangan buah dan akan terus menurun seiring
lamanya penyimpanan. Peningkatan kadar glukosa disebabkan adanya hidrolisis
pati menjadi glukosa. Penurunan kadar glukosa pada akhir penyimpanan diduga
karena hidrolisi pati berkurang sedangkan glukosa digunakan sebagai bahan
respirasi yang terus berlangsung selama proses penyimpanan (Azzumar et al.
2018). Menurut Winarno (2002) bila pati terhidrolisis dan membentuk glukosa
menyebabkan kadar glukosa buah meningkat, sedangkan penurunan kadar
glukosa buah terjadi karena glukosa digunakan sabagi bahan dasar proses
respirasi.
7
pembusukan. Penyimpanan buah yang buruk merupakan faktor utama yang
menyebabkan tingginya kerusakan buah dan menimbulkan kerugian bagi para
pelaku usaha buah alpukat (Wogu dan Ighile 2014)
Buah alpukat merupakan buah klimaterik. Hal ini membatasi penyimpanan
alpukat setelah pemanenan karena sifat buah klimaterik memiliki pola pematangan
yang menunjukkan akumulasi etilen tinggi sehingga pematangan lebih cepat terjadi
sebagai hasil dari tingkat respirasi yang tinggi (Blakey et al. 2012). Pada buah yang
tergolong dalam buah klimaterik ketika berada pada periode klimaterik hingga
pasca klimaterik buah akan mengalami perubahan. Perubahan tersebut berupa
terjadinya pelunakan serta terjadinya sintesa karotinoid, perubahan warna eksternal
seperti pemecahan klorofil, perubahan warna hijau menjadi kuning, penipisan
dinding sel dll. Secara kasat mata akan terlihat kondisi buah yang semakin lama
semakin membusuk.
Proses pematangan buah alpukat termasuk cepat yaitu ± 7 hari setelah dipanen
alpukat sudah matang dan hari selanjutnya kulit buah alpukat akan mengalami
kerusakan seperti kulit buah menjadi hitam. Buah alpukat juga dianggap memiliki
kehilangan massa pascapanen yang tinggi akibat hilangnya kelembaban melalui
transpirasi. Proses transpirasi buah alpukat berkontribusi sebesar 90% terhadap
kehilangan massa pascapanen. Tentu hal ini menyebabkan kerugian yang besar
karena salah satu faktor penentu harga buah didasarkan pada massanya (Tesfaya
dan Magzawa 2017).
Buah alpukat rentan terhadap penyakit bakteri, virus, dan jamur yang
menyebabkan pembusukan. Penyakit dan mikroorganisme dapat menyebabkan
bercak, busuk, kanker, lubang dan perubahan warna. Banyak spesies
mikroorganisme mudah menyerang buah. Tingkat kerusakan yang tinggi ditambah
dengan kandungan gizinya yang tinggi pada uah alpukat dapat dikatakan bahwa
berbagai mikroorganisme dapat terlibat dalam pembusukannya buah alpukat
(Wogu dan Ighile 2014). Berdasarkan penelitian Aminah dan Supraptini (2013),
genus kapang yang berhasil teridentifikasi pada buah alpukat yang berasal dari
pasar tradisional dan swalayan yaitu Fusarium sp., Penicillium sp., Rizhopus sp..
Kapang yang menginfeksi buah biasanya berasal dari spora yang menempel pada
kulit buah. Infeksi kapang dapat terjadi saat buah belum dipanen maupun setelah
dipanen. Proses infeksi akan dipercepat oleh kerusakan buah karena jatuh,
perlakuan mekanis, dan infestasi serangga selama penanganan pascapanen sehingga
kapang mampu menginfeksi sampai ke dalam daging buah.
8
umur simpan buah dan sayur yaitu edible coating. Edible coating merupakan
lapisan tipis yang dapat dimakan dan berpotensi memperpanjang masa simpan dan
mengendalikan pembusukan buah karena kemampuannya dalam memodifikasi
kondisi atmosfer internal dalam jaringan (Gol et al. 2013). Edible coating
merupakan lapisan tipis yang bertujuan untuk memberikan penahanan yang selektif
terhadap perpindahan massa, juga untuk meningkatkan kemudahan penanganan
makanan. Edible coating ini biasanya langsung digunakan dan dibentuk di atas
permukaan produk, seperti buah dan sayur dalam upaya mempertahankan kualitasnya
(Anggarini et al. 2016).
Secara umum, bahan yang digunakan untuk membuat edible coating tersusun
dari polisakarida, protein atau lemak atau kompositnya. Edible coating/film yang
dibuat dari polisakarida (karbohidrat), protein, dan lipid memiliki banyak
keunggulan seperti biodegradable, dapat dimakan, biocompatible, penampilan yang
estetis, dan kemampuannya sebagai penghalang (barrier) terhadap oksigen dan
tekanan fisik selama transportasi dan penyimpanan. Edible coating/film berbahan
dasar polisakarida berperan sebagai membran permeabel yang selektif terhadap
pertukaran gas O2 dan CO2 sehingga dapat menurunkan tingkat respirasi pada buah
dan sayuran (Winarti et al. 2012). Edible coating mampu menghambat laju
respirasi, kehilangan air dan proses oksidasi dengan menimbulkan gerakan
membran semi permeabel di sekitar buah sehingga akan bertindak sebagai
penghalang terhadap kelembaban gas (O2 dan CO2) serta zat terlarut (Nawab, 2017)
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa edible coating/film dapat berfungsi
sebagai pembawa (carrier) aditif makanan, seperti bersifat sebagai agens
antipencoklatan, antimikroba, pewarna, pemberi flavor, nutrisi, dan bumbu (Rojas-
Grau et al. 2009). Jenis bahan antimikroba yang dapat ditambahkan ke dalam
matriks edible coating/film antara lain adalah minyak atsiri, rempah-rempah dalam
bentuk bubuk atau oleoresin, kitosan, dan bakteriosin seperti nisin. Bahan
antimikroba dari senyawa kimia antara lain adalah asam organik seperti asam laktat,
asetat, malat, dan sitrat, serta sistem laktoperoksidase yang merupakan antimikroba
alami yang terdapat dalam susu dan saliva dari mamalia (Campos et al. 2011)
Konsentrasi edible coating yang akan diaplikasikan sangat penting kareana
berpengaruh terhadap efektifitas pemanfaatannya. Jika terlalu kental akan
menyulitkan di dalam penggunaanya serta dapat menyebabkan terjadinya respirasi
anaerobik yang akan menyebabkan kerusakan atau pembususkan yang lebih cepat
dari keadaan normal. Begitu juga sebaliknya, larutan bahan pelapis yang terlalu
encer akan menghasilkan pelapis yang kurang efektif. Oleh karena itu, penentuan
konsentrasi pada bahan yang akan digunakan sangat diperlukan agar dapat
mengetahui tingkat kekentalan larutan yang sesuai untuk aplikasi bahan pelapis
(Rachmawati 2010). Ada beberapa teknik aplikasi edible coating pada produk
menurut Miskiyah (2011), yaitu :
a. Pencelupan (Dipping)
9
Biasanya teknik ini digunakan pada produk yang memiliki permukaan
kurang rata. Setelah pencelupan, kelebihan bahan coating dibiarkan
terbuang. Produk kemudian dibiarkan dingin hingga edible coating
menempel. Teknik ini telah diaplikasikan pada daging, ikan, produk ternak,
buah dan sayuran.
b. Penyemprotan (Spraying)
Teknik ini menghasilkan produk dengan lapisan yang lebih tipis
atau seragam daripada teknik pencelupan. Teknik ini digunakan untuk
produk yang mempunyai dua sisi permukaan.
c. Pembungkusan (Casting)
Teknik ini digunakan untuk membuat film yang berdiri sendiri,
terpisah dari produk. Teknik ini diadopsi dari teknik yang dikembangkan
untuk nonedibel coating.
d. Pengolesan (Brushing)
Teknik ini dilakukan dengan cara mengoles edible coating pada
produk. Pengolesan dilakukan dengan bantuan kuas..
Kitosan
10
atmosfer termodifikasi di sekitar buah-buahan sehingga memperlambat
pematangan dan penuaan. Kitosan memiliki struktur kimia mirip selulosa telah
lama dikenal mampi melindungi produk pangan yang mudah rusak dengan
mengurangi dehidrasi dan respirasi serta menjaga kualitas tekstur (Ali 2011).
Faktor instrinsik kitosan yang mempengaruhi kemampuannya sebagai
antimikroba yaitu deasetilasi dan tingkat polimerasi, komposisi kimia atau substrat
atau keduanya. Kitosan yang dengan tingkat deasetilasi lebih tinggi memiliki
kemampuan antimikroba yang lebih tinggi. Aktivitas kitosan sebagai antimikroba
bisa disebabkan karena adanya sifat polikationik molukel yang memungkinkan
interaksi dan pembentukan kompleks polielektrolit dengan polimer yang terdapat
di permukaan sel bakteri (Moreira 2011). Liu et al. (2004) menyatakan bahwa
aktivitas bakterisida kitosan disebabkan oleh interaksi elektrostatik antara
kelompok NH3 + kitosan dan kelompok fosforil komponen fosfolipid dari
membran sel. Dutta et al. (2009) melaporkan bahwa kitosan dapat menghambat
berbagai pembusukan dan bakteri patogen melalui kapasitasnya untuk mengikat air
dan menonaktifkan berbagai enzim dan kemampiannya untuk menyerap nutrisi
yang biasanya digunakan oleh bakteri. Selain itu, kitosan juga menunjukan aktifitas
antifungi. Aktifitas antifungi kitosan berasal dari enzim kitinase yang menghambat
pertumbuhan hifa cendawan. Hernandez et al. (2011) menyatakan bahwa kitosan
berinteraksi langsung dengan membran sel kapang sehingga mengganggu
permeabilitas membran dan kematian sel.
11
METODOLOGI PENELITIAN
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah baskom, piring, gelas,
gelas piala 100 mL, kipas angin, timer, neraca analitik, penetrometer, chromameter
CR – 400 (Konica Minolta Sensing, Japan), pH meter, dan refraktometer, cawan
petri, tabung reaksi, labu erlenmeyer, gelas ukur, autoklav, inkubator
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah alpukat, kitosan
siap pakai dari perusahaan BIKI (Berkah Inovasi Kreatif Indonesia, styrofoam, tisu,
kertas label, air, media plate count agar (PCA) dan akuades.
Metode Penelitian
1. Persiapan Bahan
12
3. Penyimpanan buah
Buah alpukat yang telah diberi pelapisan kitosan disimpan pada suhu ruang
selama kurun waktu satu bulan dan dilakukan pengujian terhadap parameter
fisikokimianya setiap satu minggu. Buah alpukat diletakkan pada wadah terbuka
yang disusun pada rak yang tersedia. Peletakkan buah alpukat dilakukan dengan
menggunakan sterofoam yang dilubangi sesuai dengan ukuran buah dengan
tujuan meminimalisir permukaan buah yang menempel pada permukaan wadah
selama penyimpanan.
a. Susut bobot
Susut bobot diukur berdasarkan metode Gonzales et al. (2011),
bobot buah yang dilapisi dan tidak diberi pelapis diukur pada waktu
penyimpanan yang berbeda. Penurunan berat badan kumulatif adalah
dinyatakan sebagai persentase kehilangan berat awal (penyimpanan waktu =
0) sesuai dengan rumus perhitungan :
% susut bobot buah = Bobot buah awal – bobot buah akhir x 100%
Bobot buah awal
b. Kekerasan buah
Metode pengukuran kekerasan buah mengikuti metode (Fauzia et al.
2013) menggunakan alat Penetrometer PCE-PTR 200 dengan jarum spindle
ukuran 6 mm (luasan jarum 0.28 cm2). Nilai kuat tekan dinyatakan dalam
satuan kg/cm2. Analisa kekerasan alpukat dilakukan dengan menggunakan
penetrometer. Prinsip pengukuran kekerasan dengan menggunakan
penetrometer adalah semakin dalam jarak penembusan jarum penetro
(mm/sec/50 gr) maka nilai kekerasan buah semakin kecil hal ini disebabkan
karena semakin lunak buah, jarum penetro akan semakin mudah menembus
buah. Hal ini dapat dilihat dari semakin meningkatnya kemampuan probe
cone (jarum penetro) menembus bahan.
c. Pengukuran warna
Nilai warna dilakukan dengan menggunakan Chromameter Minolta
tipe CR-200 yang menghasilkan nilai Hunter Lab. Nilai L* menunjukkan
pengukuran tingkat kecerahan, yang dinyatakan sebagai cahaya pantul yang
menghasilkan warna akromatik putih, abu-abu dan hitam. Nilai L* berkisar
dari 0 (hitam) hingga 100 (putih).Nilai a* menentukan warna kromatik
campuran merah-hijau di dalam sampel. Nilai a+ (positif) dari 0 sampai +80
untuk warna merah dan a- (negatif) dari 0 sampai -80 untuk warna hijau.Nilai
b* menentukan warna kromatik gradasi kuning-biru. Nilai b+ (positif) dari 0
13
sampai +70 untuk warna kuning dan b- (negatif) dari 0 sampai -70 untuk
warna biru (Hastarini et al. 2014). Pengukuran warna dilakukan dengan
meletakkan alat di atas permukaan buah alpukat yang sudah ditandai dan
diposisikan agar cahaya Chromameter mengenai bagian kulit buah alpukat.
Pengujian ini dilakukan pada tiga titik yang berbeda yaitu pangkal, tengah
dan ujung.
d. Total padatan terlarut
Total Padatan Terlarut diukur menggunakan refractometer digital
dengan range 0-32°Brix. Sampel yang akan dianalisa diperas dan cairan
yang diperoleh diteteskan pada prisma pengukur refraktometer. Kandungan
TPT dibaca dengan satuan °Brix (Nasution 2012).
e. Analisa Organoleptik
Uji organoleptik merupakan penilaian terhadap mutu produk
berdasarkan panca indera manusia melalui sensorik. Uji organoleptik
terhadap produk aplikasi ini meliputi warna, tekstur dan aroma. Pengamatan
dilaksanakan dengan skala hedonik bernilai 1-5 (sangat tidak suka = 1, tidak
suka = 2, netral = 3, suka = 4, sangat suka = 5) yang bertujuan untuk
mengetahui tanggapan panelis terhadap produk. Penilaian dilakukan oleh 15
panelis terlatih.
f. Uji Mutu Mikrobiologi
Mutu mikrobiologi buah alpukat selama penyimpanan mengacu
pada Miskiyah (2011) dengan beberapa modifikasi. Pengujian dilakukan 1
hari setelah coating dan pada hari kerusakannya. Parameter kerusakan yang
ditetapkan, yaitu kisut, adanya kapang, dan atau lepasnya bagian tangkai
buah. Jika ditemukan salah satu parameter tersebut, maka sampel
14
n2 = jumlah cawan pengenceran kedua
= pengenceran pertama yang dihitung
DAFTAR PUSTAKA
15
International Journal of Postharvest Technology and Innovation. 2: 334-
344
Budiana NbudianaS (2013). Buah Ajaib. Jakarta (ID): Penebar Swadaya
Campos CA, Greshcenson LN, and S.K. Flores. 2011. Development of edible films
and coatings with antimicrobial activity. Food Bioprocess Technol. 4: 849–
875
Dutta P, Tripathi S, Mehrotra G, & Dutta J. 2009. Review: perspectives for chitosan
based antimicrobial films in food applications. Food Chemistry. 114: 1173-
1182.
Fauzia K, Lutfi M, Hawa LC. 2013. Penentuan tingkat kerusakan buah alpukat pada
posisi pengangkutan dengan simulasi getaran yang berbeda. Jurnal
Keteknikan Pertanian Tropis dan Biosistem. 1(1): 50-54.
Febrianti N, Zulfikar M. 2016. Aktivitas antioksidan buah alpukat (Persea
americana Mill.) dan buah stroberi (Fragaria vesca L.). (Prosiding) Symbion
Symposium on Biology Education, 613-620.
Hastarini E, Rosulva I, Haryadi Y. 2014. Karakteristik udang kupas vannamei dengan
penambahan edible coating berbahan kitosan dan ekstrak lindur (Bruguiera
gymnorrhiza) selama penyimpanan. JPB Perikanan. 9(2): 175–184.
Hernandez AN, Miguel GVV, Maria GG. 2011. Current statu of action mode and
effect of chotisan againts pyhtophatogens fungi. African Journal of
Microbiology Research. 5(25): 4243-4247.
Huse, M.A. 2011. Aplikasi edible coating dari karagenan dan gliserol untuk
mengurangi penurunan kerusakan Apel Romebeauty. Jurnal Jurusan
Teknologi Industri Pertanian. 2(3): 1-10
Gol NB, Patel PR, Rao R. 2013. Improvement of quality and shelf-life of
strawberries with edible coatings enriched with chitosan. Postharvest Biology
and Technology. 85 (2013): 185–195.
Marpaung DA, Susilo B, Argo BD. 2015. pengaruh penambahan konsentrasi
CMC dan lama pencelupan pada proses edible coating terhadap sifat fisik
anggur merah (Vitis vinifera l.). Jurnal Keteknikan Pertanian Tropis dan
Biosistem. 3(1): 67-73.
Miskiyah, Widaningrum dan C Winarti. 2011. Aplikasi Edible Film Berbasis Pati
Sagu dengan Penambahan Vitamin C pada Paprika.. Jurnal Hortikultura.
21(1): 68-76.
Moreira MR, Roura SI, Ponce A. 2011. Effectiveness of chitosan edible coatings
to improve microbiological and sensory quality of fresh cut broccoli. J.
Food Science and Technology. 44(2011): 2335-2341.
Mudyantini W, Anggarwulan E, Rahayu P. 2015. Penghambatan pemasakan buah
srikaya (Annona squamosa L.) dengan suhu rendah dan pelapisan kitosan.
Jurnal Ilmu Pertanian. 27(1): 23-29.
Nasution IS, Yusmanizar, Melianda K. 2012. pengaruh penggunaan lapisan edibel
(edible coating), kalsium klorida, dan kemasan plastik terhadap mutu nanas
(Ananas comosus merr.) terolah minimal. Jurnal Teknologi dan Industri
Pertanian Indonesia. 4(2): 21-26
16
Nawab AA. 2017. Mango kernel starch as a novel edible coating for enhancing
shelf- life of tomato (Solanum lycopersicum) fruit. . International Journal of
Biological Macromolecules. 103(2): 581-598
Nisah K, Barat YM. 2019. Efek edible coating pada kualitas alpukat (Persea
americana Mill.) selama penyimpanan. Jurnal AMINA. 1(1): 11-17
Novita D D. 2016. Pengaruh konsentrasi karagenan dan gliserol terhadap perubahan
fisik dan kandungan kimia buah jambu biji varietas “Kristal” selama
penyimpanan. Jurnal Teknik Pertanian Lampung. 5(1): 49–56.
Paramita, Octavianti. 2010. Pengaruh memar terhadap perubahan pola respirasi,
produksi etilen dan jaringan buah mangga (Mangifera indica l) var gedong
gincu pada berbagai suhu penyimpanan. Jurnal Kompetensi Teknik. 2(1):
29-38
Rachmawati, M. (2010). Kajian Sifat Kimia Salak Pondoh (Salacca edulis) dengan
Pelapisan Khitosan selama Penyimpanan untuk Memprediksi Masa
Simpannya. Jurnal Teknologi Pertanian. 6(1): 20-24.
Rahayu, WP., dan Nurwitri. 2012. Mikrobiologi Pangan. Bogor (ID): IPB Press.
Rahayu R, Eris FR. 2017. Konsentrasi lilin dan kemasan polietilen terhadap umur
simpan buah sawo (Achras zapota l.). Jurnal Agroekotek. 9(1): 28-38.
Rihayat T, Fitriyani CN. 2018. Modifikasi Pla/Kitosan dengan Essensial Oil
untuk Aplikasi Antibakterial. Jurnal Reaksi (Journal of Science and
Technology). 16(1): 1-9.
Rojas-Grau, M.A., R. Soliva-Fortuny, and O. Martin-Belloso. 2009. Edible coating
as corrier to active ingredients for fresh cut fruit .Food Hydrocolloids 21:
118−127.
Sari M, Manik FG. 2018. Pengaruh campuran pati jagung dan gliserol sebagai
edible coating sifat fisik dan kimia alpukat (Persea gratissima gaertn )
selama penyimpanan. Jurnal Agroteknosains. 2(1): 140-149
Summeisey GN, Umboh SD, Tallei TE. 2019. Penyalutan bakteri asam laktat
menggunakan nanopartikel kitosan. Jurnal Ilmiah Farmasi. 8(4): 115-122
Tesfaya SZ, Magwazaa LS. 2017. Evaluating the efficacy of moringa leaf extract,
chitosan and carboxymethyl cellulose as edible coatings for enhancing
quality and extending postharvest life of avocado (Persea americana Mill.)
fruit. Food Packaging and Shelf Life. 11 (2017) 40–48.
Vásconez, M.B., S.K. Flores, C.A. Campos, J. Alvarado, and L.N. Gerschenson.
2009. Antimicrobial activity and physical properties of chitosan-tapioca
starch based edible films and coatings. Food Res. Intl. 42: 762−769.
Widodo, S.E., Zulferiyenni dan D.W. Kusuma. 2013. Pengaruh Penambahan
Benzila denin Pada Pelapis Kitosan Terhadap Mutu dan Masa Simpan Buah
Jambu Biji “Crystal”. Jurnal Agrotek Tropika. 1: 55-60.
Winiarti C, Miskiyah, Widaningrum. 2012. Teknologi Produksi dan Aplikasi
Pengemas Edible Antimikroba Berbasis Pati. Jurnal Litbang Pert. 31(3): 85-
93
Wogu MD, Ighile NE. 2014. Microorganisms associated with the spoilage of
avocado pear, Persea americana fruits. AFRREV STECH. 3(2). 224-258
17
Dalam buah-buahan klimakterik seperti alpukat, proses pematangan terutama
ditandai dengan peningkatan produksi etilena dan laju respirasi, pelunakan
mesocarp dan dalam kasus spesifik 'Hass', perubahan warna kulit dari hijau
menjadi ungu tua. Laporan sebelumnya mendokumentasikan penurunan
kandungan klorofil (Cox et al., 2004), dan peningkatan anthocyanin cyanidin
3-O-glukosida (Cox et al., 2004; Ashton et al., 2006) di kulit matang ' Buah
alpukat Hass.
Umur simpan dapat didefinisikan sebagai periode di mana suatu produk harus
mempertahankan tingkat kualitas yang telah ditentukan di bawah kondisi
penyimpanan yang ditentukan (Perez et al., 2004).
Perez K, Mercado J, Soto-Valdez H (2004). Note. Effect of Storage
Temperature on the Shelf Life of Hass Avocado (Persea americana).Food Sci.
Technol. Inter. 10(2):73-77.
Waktu di mana alpukat dipanen memainkan peran penting dalam
pematangan dan umur simpan yang diharapkan. Pemanenan yang
terlalu awal di musim berkontribusi terhadap bahan kering pulp yang
rendah. Ini terkait dengan pemasakan yang tidak teratur, tekstur berair,
buah tanpa rasa, layu, menghitam (Gamble et al., 2010; Osuna-Garcia et
al., 2010) dan konsentrasi minyak yang rendah (Blakey, 2011). Perez et
al. (2004) melaporkan bahwa panen sebelum kematangan fisiologis
menghasilkan pelunakan yang tidak teratur, rasa yang buruk dan
kerentanan yang lebih tinggi terhadap pembusukan. Umumnya jika
buah tidak dipanen pada waktu yang tepat kualitasnya menjadi
terganggu dan umur simpan lebih pendek (Wu et al., 2011).
18
S.Z. Tesfay, L.S. Magwaza
/ Food Packaging and
Shelf Life 11 (2017) 40–
48
Alpukat Karagenan dan 1 menit
gliserol AMINA 1(1) 2019 EFEK
EDIBLE COATING PADA
KUALITAS ALPUKAT
(Persea america Mill)
SELAMA PENYIMPANAN
Khairun nisah*, Yati
Mardianti Barat
19