Tingkat kehilangan pada produk hortikultura, dalam hal kualitas maupun kuantitas
antara panen sampai ke konsumen berkisar 20-50 % di negara berkembang dan 5-25% di
negara maju, tergantung dari jenis komoditi, varietas dan kondisi penanganannya (Kader,
2002). Di Indonesia kehilangan pascapanen pada produk sayuran berkisar 25-40%
(Muchtadi, 1995). Kader (2002) lebih lanjut menyatakan bahwa untuk mengurangi
kehilanganan tersebut produsen dan pedagang harus : 1) mengetahui faktor biologi dan
lingkungan yang mengakibatkan deteorisasi (penurunan mutu), dan 2) menggunakan
teknik pascapanen yang menunda penuaan dan menjaga mutu.
Kubis segar yang didefinisikan dalam Standar Nasional Indonesia (1998) adalah
kumpulan daun-daun yang masih menempel pada batang dan membentuk telur/krop
berasal dari tanaman kubis (Brassica Oleracea, var.capitata,LINN) dalam keadaan segar
dan bersih. Kubis digolongkan dalam 3 (tiga) ukuran 1) Kecil : 500 gram, 2) Sedang :
500 – 1250 gram, dan 3) Besar : > 1250 gram.
Standar Nasional Indonesia untuk Kubis Segar adalah SNI 01-3174-1998 yang
berisikan syarat mutu kubis adalah sebagai berikut :
5
Rantai Suplai Sayuran di Jawa Barat
Adiyoga (2003) menyatakan bahwa rantai suplai sayuran di Jawa Barat adalah
pelayanan kelembagaan untuk menghantarkan pergerakan sayuran dari produsen kepada
konsumen. Intervensi pemerintah sangat terbatas untuk mendukung ketersediaan sarana
fisik seperti jalan dan pasar. Rantai suplai sayuran di Jawa Barat yang teridentifikasi,
dijelaskan seperti Gambar 1 berikut :
Produsen/Petani
Pengangkutan
Unit Pengangkutan
Konsumen Akhir/Pengguna
6
Penanganan Pascapanen pada Kubis
Menurut Syarief (1990), sebagian besar buah dan sayuran lebih disukai dalam
keadaan segar. Oleh karena itu berbagai cara diupayakan untuk mempertahankan mutu
dan kesegaran buah dan sayuran agar bisa bertahan lebih lama dan bisa dikonsumsi
dalam keadaan segar. Winarno dan Betty (1983) menyatakan suatu bahan dianggap rusak
jika menunjukkan penyimpangan yang melewati batas yang dapat diterima secara normal
oleh panca indra atau parameter lainnya.
7
2. Pengemasan
Pengemasan merupakan salah satu cara untuk melindungi atau
mempertahankan mutu produk pangan. Selain itu pengemasan juga merupakan
penunjang bagi transportasi, distribusi, dan merupakan bagian penting dari usaha
untuk mengatasi persaingan dalam pemasaran (Rahardi et al., 1998.). Setyowati et
al.,(1992) menyatakan fungsi pengemasan dilakukan untuk mempermudah
pengangkutan ditingkat petani dan untuk melindungi mutu sayuran bagi pedagang
serta dapat menarik minat konsumen. Komoditi kubis dari Cipanas umumnya di
kemas dengan 3 cara yaitu ikatan, keranjang dan kantong plastik berlubang
(Anastasia, 1983). Asgar (1989) menjelaskan bahwa pengepakan yang baik
adalah dengan dikemas dalam keranjang plastik ukuran 75 x 50 x 50 cm3 karena
mengalami kerusakan mekanis yang lebih kecil (12,27%) dibandingkan dengan
pengepakan dalam peti kayu ukuran 54 x 50 x 32 cm3 (15,92%), keranjang bambu
ukuran 42 x 32 x 43 cm3 (18,88%), karung plastik ukuran 93,5 x 54 cm2 (25,27%)
dan tanpa pengemasan (33%).
3. Pengangkutan
Pengangkutan merupakan mata rantai penting dalam penanganan,
penyimpanan, dan distribusi buah-buahan atau sayur-sayuran. Pengangkutan
dimulai dari kebun ke tempat-tempat pengumpulan. Dari tempat-tempat ini
dilakukan pengangkutan hasil sebagai barang curahan oleh pengecor, tengkulak,
pedagang besar, pemroses, pengeskpor dan pengimpor di stasiun-stasiun
pengemasan, tempat-tempat penyimpangan, tempat-tempat pengiriman dan
pelabuhan pemuatan dan pembongkaran (Kamariyani dan Gembong T.,1993).
Kendaraan pengangkut kubis di pedesaan adalah truk, dan mobil pick-up.
a. Pengkelasan mutu
Setyowati et. al (1992) menyatakan sebenarnya agak susah menyeragamkan
sayuran dari beragam petani. Hal ini disebabkan oleh perbedaan budidaya,
areal penanaman dan penganganan pascapanen.
8
b. Pemasaran.
Secara umum pemasaran dapat diartikan pelaksanaan semua aktivitas yang
berguna untuk menciptakan, memajukan dan mendistribusikan barang yang
dihasilkan (Dalimartha,1978)
Sayuran dan buah-buahan setelah dipanen, pada dasarnya masih merupakan jaringan
hidup dan masih berlangsung respirasi. Proses ini ditandai dengan perubahan warna
produk, tekstur dan rasanya demikian pula kandungan nutrisinya (Ashari,1995). Susut
bobot dapat dicegah dengan pengemasan yang baik, pengangkutan yang baik dan
pemilihan varietas yang tahan angkut jarak jauh (Sunarjono,1976). Selama pengangkutan
sayuran, pertimbangan terhadap faktor-faktor seperti pengaturan suhu dan kelembaban
dan kehati-hatian penanganan selalu penting (Ronopriwo,1993).
Menurut Frazier dan Westhoff (1978), beberapa jenis kebusukan yang biasa terjadi
selama pemasaran adalah busuk lunak bakteri yang disebabkan Erwinia carotovora, yang
menyebabkan degradasi pektin pada sayuran sehingga menjadi lunak dan berbau busuk.
Organisme lain penyebab kebusukan adalah Sclerotinia sclerotiorum,Fusarium roseum,
9
Phytothora sp Rhizoctonia, dan Alternaria sp yang tumbuh selama pengangkutan dan
penyimpanan. Organisme ini menyebabkan cacat yang tidak kelihatan (Adair, 1971).
Pengemasan yang buruk (tanpa bungkus) adalah salah satu sebab turunnya kualitas
selama pengangkutan. Pembungkusan berfungsi sebagai pelindung terhadap bahaya
(resiko) selama perjalanan. Jika tidak cukup, kerusakan mekanis akan terjadi
(Ronoprawiro, 1993). Levi, 1964 dalam Pantastico (1989) dalam surveynya mengenai
persoalan pengangkutan dinegara berkembang, menyatakan bahwa usaha-usaha untuk
memperbaiki kondisi pengangkutan dapat dimulai dengan pembuatan wadah-wadah yang
diisolasi dengan baik.
Ukuran kemasan untuk distribusi buah dan sayuran segar agar penanganan lebih
mudah, yang direkomendasi oleh The Organization for Economic Cooperation and
Development adalah yang berukuran 60 x 40, 50 x 40, 50 x 30, 40 x 30 (cm). Tinggi
kemasan bervariasi berdasarkan ukuran produk yang dikemas (Ryall dan Pentzer, 1982).
Lebih lanjut, Soedibyo (1985) mengemukakan berat bersih isi kemasan yang ideal
berkisar antara 10 -20 kg. Sementara itu Mc. Gregor (1989) menyatakan kemasan yang
lebih dari 23 kg (50 lb) mendorong penanganan kasar, kerusakan pada produk dan
kesalahan pada penyusunan.
10
Kitinoja dan Gorny (1999) menyatakan cara penanganan pada pengangkutan atau
transportasi yang mengakibatkan kehilangan pascapanen, mutu dan keamanan pangan
yaitu :
1. Pengiriman yang melebihi kapasitas
2. Menempatkan produk yang berat diatas produk yang lebih lunak
3. Pengiriman dengan kendaraan berpendingin tanpa ‘pre-cooling’ baik kendaraan
maupun produk
4. Menggunakan kemasan dengan mutu rendah atau tanpa kemasan dapat
mengakibatkan kerusakan karena penekanan.
5. Kurangnya ventilasi yang cukup selama transportasi
6. Kurangnya tekanan udara pada kendaraan
7. Penanganan yang kasar atau tidak baik selama bongkar-muat pada kendaraan
8. Alat pendingin yang mati atau membiarkan produk terkena panas matahari.
9. Kerusakan karena etilen, odor dan atau ‘chiling injury’ karena pengiriman yang
dicampur dengan produk lain.
Mc. Gregor (1987) menyatakan bahwa kubis merupakan salah satu produk yang
sensitive dengan etilen dan tingkat kepekaan terhadap ‘freezing injury termasuk golongan
sedang atau moderat artinya kubis cukup baik disimpan pada suhu rendah.
Pantastico (1989) menyebutkan bahwa sayuran daun paling baik disimpan pada suhu
32 0F, RH 90-95%. Untuk Kubis suhu 32-41 0F dapat mempertahankan umur simpannya
3-5 minggu dan pada suhu 50 0F hanya dapat bertahan 10 hari. Sedangkan Sarimadona
11
A.L (1988) menemukan adanya umur ekonomis yang lebih lama pada kubis yang
disimpan pada suhu 5-10 0C dibandingkan dengan penyimpanan pada suhu kamar baik
untuk kubis bulat maupun kubis gepeng. Kitinoja dan Gorny (1999) juga menyatakan
pengiriman saat-saat lebih dingin (malam atau dini hari) dapat mengurangi panas pada
produk sehingga dapat meminimalkan kerusakan.
Kadariah (1988) menyatakan kalau biaya dan manfaat telah diukur dalam
satuan/ukuran uang dengan sebaik-baiknya, maka hasilnya dapat disusun atau dinyatakan
dalam empat bentuk, ialah a) internal rate of return (IRR) bagi investasi, b) benefit-cost
ratio (gross dan net), c) net present worth, dan d) payback period atau break even point
(BEP). Lebih lanjut, dikatakan bahwa masing-masing kriteria tersebut mempunyai
keunggulan maupun kelemahannya dibandingkan dengan kriteria lainnya.
Usahatani kubis masih merupakan salah satu usaha pertanian yang cukup
memberikan keuntungan bagi petani sayuran hortikultura dengan rasio pendapatan dan
biaya diatas 1. Dinas Pertanian propinsi Jawa Barat dalam situs resminya
www.diperta.jabarprov.go.id menunjukkan bahwa usahatani kubis diwilayah propinsi
Jawa Barat memiliki nilai rasio pendapatan dan biaya produksi (R/C rasio) mencapai 1.21
dengan biaya produksi Rp. 17,328,000 dan nilai produksi Rp. 21,000,000.
12
dengan R/C rasio masing-masing 1.5, 1.39 dan 1.32. Dinyatakan juga bahwa, jika ditinjau
dari pendapatan petani per bulan, dengan rata-rata pendapatan petani Indonesia sekitar
Rp. 1,000,000 per bulan, maka Kabupaten Magelang mempunyai pendapatan rata-rata di
atas rata-rata pendapatan petani Indonesia sedangkan pendapatan petani kubis di Malang
dan Probolinggo masih rendah.
13